Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
----------------------------------------------------------
PENGANTAR:
tentang pembantaian dan kekejaman massal yang terjadi di daerah Jawa Timur pada
tahun 1965-66 sebagai kelanjutan dari peristiwa G30S. Disertasi itu dijadikannya buku
Tepat sekali judul buku Dr. Sulistyo itu mencerminkan keadaan kita sekarang. Seolah-
olah kita sekarang telah melupakan pembantaian besar-besaran oleh ABRI dan bangsa
sendiri terhadap bangsa sendiri --sebagian terbesar dari mereka tidak tahu apa-apa dan
tidak berdosa.
Pembantaian itu memakan korban sekurang-kurangnya 500 ribu orang, kalau tidak
hendak dikatakan jauh lebih banyak lagi. Seolah-olah kita membenarkan apa yang pernah
menggemparkan dunia itu, dengan dalih "penumpasan PKI dan Komunisme yang jahat
dan anti-Tuhan".
Kekejaman itu telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Orde Baru, dan
kemudian terbukti telah menjadi bagian dari struktur dan sistem kekuasaan Orde Baru
sampai tumbangnya di tahun 1998. Orde Baru itu sendiri berdiri sebagai hasil
Namun -- sebagaimana diajukan dalam tesis David Johnson, Center for Defense
Information, AS, (lihat artikel "[SP] Bukan G30S/PKI melainkan G30S/Soeharto #1-#4"
dicurigai merupakan dalang G30S, bekerja sama dengan CIA. Faktanya KASAD Jenderal
Pahlawan Revolusi lainnya telah dibantai oleh kesatuan-kesatuan G30S yang berasal dari
Kostrad, sedangkan Soeharto sendiri, Panglima Kostrad waktu itu, secara aneh "lolos"
dalam artikel #9; begitu sadis, sebaiknya tidak dibaca oleh mereka yang berhati lembut.
(Sekalipun di sini artikel itu tidak jelas sumbernya, namun barang siapa yang telah
menginjak usia remaja atau dewasa pada tahun 1965 itu pasti masih ingat apa yang
itu.)
Sukar dibayangkan bahwa selama 3 dasawarsa bangsa Indonesia telah dikelabui oleh
suatu rezim yang berkuasa dengan dalih "melaksanakan Pancasila secara murni dan
suatu penolakan psikologis dalam diri kita, suatu rasa tidak percaya, bahwa selama ini
ternyata kita telah hidup dan menghirup kenikmatan di bawah bayang-bayang dosa dan
kutukan. Ada perasaan sedikit-banyak ikut bersalah di dalam ketidaktahuan dan
keawaman kita.
digunakan sebagai slogan dan penghias bibir belaka. Itu adalah sifat politis dan struktural
Serangkaian tulisan ini bertemakan kekerasan dan kekejaman yang merajalela pada era
Indonesia (#3);
* "Pembunuhan 3 Juta Orang dan Kup terhadap Presiden Sukarno", dimuat dalam Pijar,
* "Tak Ada Konsep Seragam dalam Pembunuhan Massal '65", wawancara dengan r.
* "Orde Baru Itu Lahir dari Kekerasan", wawancara dengan YB angunwijaya, Topik
1997 #9).
Pengungkapan di dalam milis ini dimaksudkan untuk membuka mata kita elebar-lebarnya
akan apa yang terjadi di masa lampau yang belum terlalu auh. Suatu peristiwa mahahebat
yang menimbulkan luka yang dalam pada bangsa kita, luka yang sampai sekarang belum
selesai, menurut Dr Sulistyo. Dan luka itu hanya bisa kita harapkan sembuh -- bukan
berani dan terus terang, diakui bersama, sehingga tidak akan terulang kembali di
----------------------------------------------------------
==========================================
Oleh Kartaprawira
peristiwa G30S-nya sendiri belum tuntas jelas? Bukankah belum jelas juga
apakah G30S anti Pancasila? Maka adalah suatu tanda tanya besar mengapa
berhasil dipatahkan. Dan akhirnya pada tahun 1962 Irian Barat dapat
direbut kembali meski melalui perjuangan fisik dan diplomasi yang berat.
Tapi toh tidak perlu pada hari jatuhnya RMS dijadikan Hari Kesaktian
Hari Kesaktian Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari direbutnya kembali
Memang benarlah apa yang ditulis LPSI bahwa tekad pelaksanaan Pancasila
secara murni dan konsekwen itu "perlu dipertanyakan terus menerus agar
tetap segar dan tidak sekedar jadi slogan politik sementara isinya tidak
kami ulang kembali beberapa bagian apa yang pernah kami tulis mengenai
hal tersebut(#).
Kita tidak boleh menutup mata bahwa di samping kesaktian yang telah
disimpan dalam lemari kaca sebagai perhiasan belaka. Dan Pancasila hanya
Yang sangat tidak terpuji adalah ucapan Menteri Agama Dr. Tarmizi Taher.
di Surabaya (17 Juni '97) dihadapan 500 kyai, yang di atas mimbar dengan
keras mengucapkan: 'Halal darah dan nyawa para perusuh' dengan diikuti
dengan jiwa Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab) terhadap sesama
jiwanya, kalau para perusuh itu ternyata juga muslimin, seperti terjadi
bahwa para perusuh itu PASTI orang komunis atau anak-cucunya yang mau
balas dendam. Saya kira Tarmizi sebagai menteri harus masih banyak
seperti apa yang diinginkan. Dewasa ini banyak suara protes yang
perlu dibenahi supaya berjalan wajar dan lancar sesuai dengan tuntutan
hakekat Pancasila. Dewasa ini dengan nyata bahwa 5 paket UU politik dan
hanya 3 partai saja (Golkar, PPP, PDI). Ini berarti orang yang tidak
totaliter-otoriter-militeristik.
yang tergambar sebagai makin melebarnya jurang pemisah antara sikaya dan
Benarlah teori 'rumput kering' Amien Rais, dimana kesenjangan sosial ini
macam-macam pembakar, tidak mesti dari bensin yang disulut, tapi bisa
juga dari puntung rokok. Jelasnya api penyulutnya itu bisa dari
perselisihan etnis, agama, politik, dan apa saja. Seandainya kue hasil
dll.) ditambah dengan hutang luar negeri yang berjumlah lebih dari 200
milyar USD. Maka jelaslah 'pemerataan' yang pada tahun-tahun silam ramai
subsidi sewa rumah, tunjangan anak-anak dll. Sedang orang yang karena
menerima uang tunjangan sosial sebanyak f.1330,- tiap bulan bagi orang
yang hidup sendirian, sedang bagi orang yang hidup berkeluarga jumlah
yang diterima lebih banyak lagi (sebesar gaji minimum). Selain itu
dosen IAIN yang pernah tugas belajar di Nederland, dia dengan mata
menyala-nyala mengomentari hal tersebut diatas: "Betul-betul
tidak mempunyai Pancasila. Sungguh luar biasa!". Kalau dia tahu bahwa
tapi juga terhadap orang asing yang mempunyai izin mukim tetap (waktu
tak terbatas), maka dia akan lebih memuji lagi. Mengapa Indonesia yang
yang hidup di sekitar garis kemiskinan? (Tentu saja tidak usah sama
sehebat Nederland).
masih perlu diluruskan. Adalah wajar bahwa setiap perbuatan yang melawan
hukum harus ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi jelas
tidak wajar bahwa didalam negara hukum Indonesia telah terjadi puluhan
yang ada. Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa orang yang menjadi
korban penyerbuan (di gedung DPP PDI jalan Diponegoro) malah diseret ke
pengrusakan gedung dan isinya. Dimana sila Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab? Bukankah didalam buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa slira', serta sikap tidak
Suatu pertanyaan yang meskipun utopis perlu juga kami teriakkan demi
---------
Kemakmuran',
=============================================================
Publikasi 29/1997
============================================================
SEPTEMBER TO REMEMBER
30 September datang dan pergi lagi. Walaupun ritus apa yang dinamakan
"G30S/PKI". Kian tampak bahwa hari itu tak ada kaitannya dengan
merupakan salah satu 'cover up story' yang paling besar dalam sejarah
semua dan masih ada serentetan pertanyaan yang belum terjawab mengenai
peristiwa ini, banyak orang kian yakin bahwa PKI bukan biang keladi
orang. Logika itu bisa dilumpuhkan sementara dengan berbagai cara, tapi
penguasa tertinggi Orba. Yang perlu ditegaskan dalam konteks ini adalah
bahwa prakarsa itu timbul karena Soeharto masih mampu menyadari bahwa
menggunakan logika.
yang akan mendamaikan hati kita dalam berhadapan dengan sejarah. Tanpa
itu kita tak bisa lepas dari asap maharaksasa yang ditimbulkan oleh rekayasa.
Bagi orang yang berbalik pikirannya mengenai peristiwa tragis itu, mudah
peristiwa Madiun yang juga terjadi dalam bulan September (1948). Ini
Beberapa waktu yang lalu, dalam majalah Tiras, wartawan senior Rosihan
Mengenai peristiwa "G30S" ada seorang saksi mahkota yang tak pernah
PKI.
Madiun 1948. Kira-kira 10 tahun yang lalu saya membaca sebuah brosur
bahkan dicetak sampai ampat kali pada jaman pra-Orba. Kali terakhir di
tahun 1964. Sayang buku itu pinjaman, dan pemiliknya kini entah di mana.
Kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh Rosihan Anwar dan
orang-orang lain. Tapi kita perlu juga mendengar kisah yang diceritakan
oleh orang PKI sendiri. Karena itu, berilah kesempatan kepada Aidit
Peristiwa besar ini mempunyai pengaruh yang besar dan dalam, bukan hanya
pada waktu itu tetapi juga sampai sekarang, bukan hanya secara nasional
masih belum jelas benar apakah peristiwa itu sebenarnya, siapakah aktor
Dalam menelaah peristiwa besar ini tidak dapat melepaskan dari situasi
berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Salah satu peranan besar
pada eksepsi tertuduh & pembela tanggal 6 Mei 1978, antara lain
persoalan pokok:
(a) Jenderal Suharto terlibat langsung dalam G.30-S (tahu lebih dulu
persoalan G.30-S);
surat kolonel Latief tertanggal 9 Mei 1978 yang ditujukan kepada Ketua
antara lain mengatakan: "...demi terciptanya hukum yang adil dan tidak
4. Ibu RM Suharyono
11. Wartawan Der Spiegel Jerman Barat yang pernah mewancarai Bapak
Jenderal Suharto.
Disini perlu saya ungkapkan dimuka sidang Mahmilti ini agar persoalannya
lebih jelas.
Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga
sebelum saya datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya
info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan
tsb banyak sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan dalam soal-soal lain,
Saya datang ke rumah Bapak jenderal Suharto bersama istri saya dan tamu
istri saya berasal dari Solo, Ibu kolonel Suyoto dan dalam perjamuan di
ruangan beliau ada terdapat Ibu Tien Suharto, orang tua suami istri Ibu
Tien, tamu Ibu Tien Suharto berasal dari Solo bersama Bapak Dul dan Ibu
Dul, juga termasuk putera bungsu laki-laki Bapak Jenderal Suharto, yang
sup panas dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. Banyak kawan-kawan yang
datang menjenguk anak saya di malam tanggal 30 September 1965. Saya juga
berada di situ. Lucunya kalau ingat kembali. Saya ingat kolonel Latief
datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya.
penting dalam kup yang kemudian terjadi. Kini menjadi jelas bagi saya
bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukanlah untuk menengok anak saya,
bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya diam
rumah.
Adalagi sebuah wawancara dari surat kabar Der Spiegel Jerman Barat pada
bulan Juni 1970 yang menanyakan bagaimana Suharto tidak termasuk dalam
"Kira-kira jam 11 malam itu, kolonel Latief dari komplotan Pucht datang
Dari dua versi keterangan tsb diatas yang saling bertentangan satu sama
lain, yaitu yang satu hanya "mencek" dan yang satu "untuk membunuh",
saya kira Hakim Ketua sudah bisa menilai dari dua keterangan tsb dan
akan timbul pertanyaan tentunya: mengapa Latief datang pada saat yang
malam itu?
Mungkinkah saya akan berbuat jahat kepada orang yang saya hormati, saya
perbuatan saya itu adalah merupakan suatu blunder yang akan menggagalkan
Yang sebenarnya bahwa saya pada malam itu datang di samping memang
sebagai pembantu setia Presiden Sukarno itu... Beliau yang kami harapkan
Dalih Jenderal Suharto yang bohong itu, yang kepada Brackman menyatakan
mana ia berjaga bersama Ibu Tien, dan Latief jalan di koridor melalui kamar itu.
menangkap Kolonel Latief dan komplotannya! Juga operasi itu tidak akan
dirinya untuk menjadi orang pertama dalam AD. Karena ada semacam
Jenderal Suharto.
perwira tinggi anti-kiri tetapi setia pada Presiden Sukarno dan pernah
didukung AS/CIA.
Sukarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko agar setiap perintah yang
karena Halim akan diserbu pasukan Kostrad dan RPKAD (Lihat buku "G.30-S
facto berada di tangan Jenderal Suharto. Yang tinggal pada Presiden Sukarno
dihancurkan. Hal ini dapat diketahui dari pemeriksaan atas diri Presiden
Sukarno, baik yang dilakukan Mayjen (purn) Sunarso selaku ketua Teperpu,
Menurut Forum Keadilan Mayjen (purn) Sunarso pada tgl 9 Sept 1966
yang ditanyakan: Apakah benar Bapak memanggil kembali Aidit dari Moskow,
itu saya minta sumbangan dari belbagai pihak, antara lain agama,
Soebandrio.
Inti dari kasaksian Bung Karno yang dikejar Durmawel adalah soal siapa
kepulangan Aidit di tengah isu sakitnya Bung Karno adalah dalam rangka
itulah yang tahu tentang rencana G.30-S. Ternyata Bung Karno tidak
memanggil Aidit. Kesaksian itu bagi Durmawel adalah kartu truf yang
rencana G.30-S dan berusaha melibatkan Aidit sebagai pimpinan PKI dalam
peristiwa yang akan terjadi. Ya, Soebandrio sebelum itu juga telah
(Lihat Dr Sulastomo dan Eckky Sahrudin dalam majalah Sinar 17 Juni 1995,
hal 11).
G.30-S itu dilatar belakangi oleh sikap Bung Karno yang sangat tak sabar
yang mengetahui rencana itu setelah ia kembali dari RRC 7 Agustus 1965.
Inilah yang membuat PKI terlibat dan karena tak ada pilihan lain
dihancurkan, maka Kamaruzzaman (alias Syam) bekas kader Wijono dan Johan
Sjahruzah (yang kemudian menjadi tokoh PSI) di zaman Jepang, yang telah
supaya Untung, bekas anak buah Suharto di Jawa Tengah, yang menjadi
Kolonel Latief mengusulkan supaya yang menjadi Ketua itu seorang Jenderal.
penumpang gelap pada kapal yang baru datang dari Vietnam. Hal itu
dimungkinkan karena Kamaruzzaman ketika itu adalah pimpinan Sarekat
Kamaruzzaman ini diawal revolusi pernah menjadi anak buah Suharto dalam
tentara Jepang di Kota Baru. Pada tahun 1951 dia salah seorang dari 9
dikenalnya sebagai perwira yang berhaluan kiri. Itu juga dinyatakan Yoga
Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa
itulah maka tanggal 11 Maret 1966 pasukan Kostrad dan RPKAD (tanpa
pasukan liar.
Supersemar itu mereka anggap sebagai "Pelimpahan kekuasaan", padahal
bubarkan PKI, mereka tangkap sejumlah Menteri, mereka tangkap dan ganti
Sesungguhnya yang melanggar GBHN adalah DPRGR sendiri, karena GBHN yang
Begitu pula MPRS yang lahir dari Dekrit Presiden Sukarno kembali ke UUD
1945 tanggal 5 Juli 1959 tidaklah sama fungsinya dengan dengan MPR,
November 1960. Presiden Sukarno mengatakan bahwa fungsi MPRS itu sama
dengan lembaga-lembaga negara yang lain, yaitu sebagai alat revolusi dan
tidak berwenang merubah UUD 1945 serta memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
Menurut JK Tumakaka bahwa MPRS tsb adalah semacam Komite Nasional. Ini
Padahal belum ada pemilihan umum untuk memilih MPR seperti yang
ditetapkan UUD 1945. Nampaknya Jenderal Nasution tidak mau kalah hebat
antara lain mengatakan: "Sidang Umum I, II dan III berbeda dengan Sidang
hal: 163-164).
"Sebelum MPR, DPR, DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaan
seperti yang dimaksud pasal IV itu belum terbentuk, belum ada pemilihan.
Yang ada hanya MPRS, hasil Dekrit 5 Juli 1959 dari Presiden Sukarno.
Dengan "Dekrit" Nasution yang merubah kedudukan MPRS menjadi MPR, yang
diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat Jenderal Suharto sebagai pejabat
Presiden.
kudeta merayap dari Jenderal Suharto dari kekuasaan secara de facto yang
1967.
Sebenarnya usaha untuk meminggirkan Presiden Sukarno dan menaikkan
ketua MPRS.
hal: 215).
Mahmilti II Jawa Bagian Barat pada tahun 1978 bahwa Jenderal Suharto
TOPIK UTAMA
Ia tolak anggapan, bahwa pembunuhan massal tahun 1965-1966 di Jawa Timur dilakukan
secara sistematis oleh tentara saja. Dalam "The Forgotten Years", desertasi yang baru
penyebab yang saling tumpang-tindih. Yang ingin ia katakan, persoalan itu tidaklah
sesederhana konflik antara tentara dengan PKI. Sebab, "tentara yang ada di Jawa Timur
itu tentara yang semuanya PKI." Kiranya harus diakui bahwa tragedi itu, dalam banyak
hal disebabkan pertentangan sesama masyarakat sendiri. Benar bahwa di Jawa Tengah,
pembantaian itu sepenuhnya adalah operasi militer, tapi di Bali dan Jawa Timur, sungguh
berbeda. Khusus Jawa Timur, konflik sosial-politik yang terjadi sudah berkepanjangan.
"Selama satu dekade penuh, orang bertarung tiap hari, wajar saja kalau bunuh-bunuhan,"
ujar mantan dosen Unas yang perlu 13 tahun mengumpulkan data untuk desertasinya.
G30S baginya, hanya menjadi satu faktor pemicu pembantaian itu. Ia juga menjelaskan
mengapa PKI sebagai partai besar bisa dengan mudah kalah. Ikuti selengkapnya,
-----------------------------
* Apa yang membedakan hasil penelitian Anda tentang pembunuhan massal '65 dengan
** Selama ini, hanya ada dua versi mengenai pembunuhan-pembunuhan massal '65.
Pertama, versi mereka yang menang; bahwa PKI itu jahat. Oleh karena itu pembunuhan-
oleh negara yang diwakili tentara pada kelompok yang memiliki hak hukum sah, yaitu
PKI. Nah, kita tidak punya versi alternatif selain dari dua ini. Karena dalam proses
pembentukan ingatan kolektif bangsa ini, kita dibiasakan menerima tanpa ada pertanyaan
lagi. Padahal, fakta sejarah itu ditafsirkan untuk kepentingan masing-masing. Ternyata,
temukan di Jawa Timur, ternyata, tentara yang ada semuanya PKI. Pada Pemilu tahun
1955, di beberapa batalyon, PKI menang. Tentara kan banyak yang bersimpati pada PKI.
** Bahwa tak ada satu konsep yang seragam, atau cetak biru, yang bisa dikenakan secara
(pembantaian itu dilakukan melalui) operasi militer, penuh. Tentara masuk, lalu perang
operasi militer ditambah konflik lokal. Di Jawa Timur, mayoritas disebabkan oleh konflik
bertarung tiap hari. Wajar saja kalau bunuh-bunuhan. Ketanpa-adaan blue print ini yang
* Di Jawa Timur, kelompok mana yang saling konflik dan apa penyebabnya?
** Antara buruh-buruh yang afiliasinya PKI dengan petani-petani yang afiliasinya NU.
Sebabnya: perbedaan afiliasi politik yang tumpah-tindih dengan orientasi kultural, dan
dengan kepentingan ekonomi. Tumpang-tindih lagi dengan lifestyle. Ini terasa sekali,
karena seluruh kawasan perkebunan di sana punya ciri-ciri wilayah perambahan, frontier
area. Misalnya, pabrik-pabrik gula dan kantong-kantong persentuhan industri dan agraria.
Suatu wilayah baru yang terbuka, yang biasanya diasosiasikan dengan sifat-sifat sekuler.
oleh massa politik. Di berbagai koran partai, Harian Rakyat milik PKI, koran NU dan
diterjemahkan harafiah di tingkat bawah, berarti "bunuh". Dan pembunuhan itu terjadi
hampir tiap minggu. Bukan pasca '65 saja. Dari tahun lima puluhan, sudah ada. Semua
pelaku yang saya wawancarai bilang, "Biasa saja kalau mati dua puluh, tiga puluh..."
** Sama sekali bukan. Karena PKI-nya banyak orang Islam juga. Para korban, banyak
Konsep Marxisme itu kan pertentangan kelas. Dengan kacamata yang tajam, dan
gampang dilihat, ada konflik kelas antara petani dan tuan tanah, dan sebagainya. Itu
studi saya menunjukkan, yang terjadi sebaliknya. Ketika kampanye dimulai, terutama
dengan adanya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) tahun 1960 dan UUPBH
(Undang-undang Pokok Bagi Hasil) tahun yang sama, yang terjadi konflik pada lapisan
yang sama. Antara buruh pabrik gula dan kelas petani yang orientasinya pesantren. Sama-
sama bukan pemilik modal. Dan terjadinya, bukan antara buruh yang
unskilled, tapi buruh kelas menengah yang paling aktif. Serikat Buruh Gula yang
berorientasi ke PKI, semua aktifisnya di level menengah. Buruh semi-skilled, setengah
Padahal, kepemilikan tanah itu, sulit dibedakan antara kepemilikan pribadi kyai dengan
kepemilikan pesantren sebagai institusi. Itu, salah satu faktor yang membuat marah para
kyai.
** Kalau berbicara tentang deprivasi ekonomi -teori yang menganggap sumber utama
konflik semacam itu adalah ketertindasan ekonomi dan alienasi ekonomi-, studi saya
menemukan yang sebaliknya. Makin miskin, makin mereka tidak ikut. Yang ikut, justru
** Yang berafiliasi dengan PKI. Umumnya kalau aktif, tidak bawa bendera PKI. Tapi,
onderbouw-nya. Misalnya, Serikat Buruh Gula dan Pemuda Rakyat. Buruh ini ada juga
yang bukan anggota PKI. Tapi, karena secara organisatoris di bawah naungan PKI, jadi
korban juga.
prakteknya tidak siap bertarung. Mereka tidak pernah dilatih tentara, bergerilya atau
erang-perangan. Apalagi dipersenjatai. Jadi, ketika konflik memuncak, mereka tidak siap.
** Istilah saya vigilante group, kelompok kewaspadaan - dalam tanda petik. Bukan juga
Ansor. Kyai Mahrus dari NU, salah satu yang paling berpengaruh di Kediri, sempat
dapatkan dari jumlah desanya, sekitar 300-an. Tiap desa, aktifis PKI-nya 25 sampai 40.
Jadi, satu kabupaten bisa dapat angka antara 8000 sampai 13.000. Dan, bila daerah yang
intensitas konfliknya tertinggi saja jumlah korbannya seperti itu, saya kira secara
nasional, jumlahnya sekitar 400.000. Mereka bilang, maksimal membunuh 40 orang, "Itu
antara Angkatan Darat dengan PKI-red.). Setelah peristiwa itu, terjadi kevakuman hingga
5 Oktober. Usai penguburan jenderal-jenderal itu, terjadi titik balik. Di level nasional,
keseimbangan mulai bergeser ke "kanan" (tentara). PKI yang di level bawah tak
melakukan serangan lebih dulu. Di Kediri, tanggal 13 Oktober. Tapi, konflik ini sama
sekali bukan baru. Musuhnya pun musuh lama. Ibarat kita sedang berantem, tiba-tiba
dihentikan karena ada kejadian di luar ring. Semua menunggu. Begitu terjadi perubahan
keseimbangan di pusat, PKI digebug duluan. Karena menunggu, ya tidak siap. Habis.
Kata pengurus PKI itu, "Lho kami ini 'nunggu, dan nggak ada perintah. Kalau kami
* Lawan-lawan PKI di situ merasa menang secara moril, begitu tahu perubahan
keseimbangan di pusat?
** Nggak juga. Ketika pertama, NU, Masyumi dan sebagainya menyerang, mereka
sendiri juga tidak yakin menang. Karena melihat kekuatan PKI sebelumnya. Kodimnya
Batalyon Ronggolawe dan Madiun itu, PKI-nya menang (dalam pemilu 1955).
meskipun bentuknya luka-luka, ini adalah bagian dari sejarah kita. Bicara tentang
400.000 korban, artinya kita bicara juga tentang jutaan orang yang membuat ada korban.
Bila sudah jutaan orang, itu bukan sekedar persoalan pemerintah dengan masyarakat. Tak
sesederhana state versus society. Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka
Peristiwa ini sampai ke tingkat tertentu, harus tetap dibuka dan dipelajari. Kalau tidak
kita tak akan pernah belajar. Dengan mudah, orang bisa dicap PKI. PKI kan partai sah
waktu itu. Hanya saja, mereka kalah dalam percaturan politik. Seandainya PKI menang,
Kelompok Arief Kusno alias Romo Imam Mahdi Prawironegoro sejak Juli 1997
semuanya sudah digulung dan ditahan pihak berwajib dan mereka dituduh
Karno. Dan memang di antara anak buahnya terdapat anggota ABRI yang
Memang, penampilan Imam Mahdi hampir sempurna seperti Bung Karno, selalu
dan bicaranya tegas seperti Ir Soekarno semasa hidupnya. Jika hal ini
mendapatkan tokoh yang sangat persis dengan Bung Karno semasa hidupnya.
Di Jawa Timur, di mana Menpen Jenderal Hartono masih punya link, memang
dibuat gempar dengan adanya peristiwa ini. Malah para pengikut Imam
Mahdi, atau Romo Yoso ini dikhabarkan sudah menyebar sampai ke Jember
sudah kurun waktu 27 tahun Bung Karno wafat, masih saja ada hal-hal yang
menggelikan.
Menurut pengakuan Romo Yoso kepada yang berwajib, ia mendapatkan ilham
langsung dari Bung Karno dan diberinya nama Arief Kusno Saputro. Dan
menurutnya, Bung Karno pada tahun 1970-an pernah pesan kepadanya untuk
bantuan dari negara jiran 600 juta dan juga dari para simpatisannya.
Dari sumber yang sangat dapat dipercaya, Soeharto sangat gusar dengan
menyingkirkan saya".
rupa kondisi seakan-akan bahaya laten tetap ada termasuk bahaya akan
pidato Bung Karno itu kalau diputar kembali justru akan menghancurkan
dibatalkan.
Soerjadi menjadi ketua DPP PDI yang ternyata hancur lebur dengan hanya
memperoleh 11 suara untuk PDI dalam pemilu yang lalu. Mereka mencari
jalan lain supaya kekuatan Mega pada umumnya dan nama harum Bung Karno
pada khususnya dapat dirusak sebelum sidang umum Maret tahun depan.
Bayangkan saja, pasukan-pasukan gadungan ini sudah enam bulan yang lalu
sudah enam bulan dibuntuti kenapa tidak ditangkap enam bulan yang lalu?
Para tokoh yang tersangkut paut dengan rekayasa ini tergugah hatinya
tidak sampai hati merusak nama baik Bung Karno, di saat-saat seperti ini
Tapi ternyata hal yang berbeda telah terjadi. Alam telah menurunkan
azabnya. Berbagai bencana telah menimpa bangsa ini. Mulai dari krisis
ekonomi, asap kebakaran dari hutan yang dibakar, tewasnya 234 penumpang
menelan korban lebih dari 351 orang, sampai berbagai kecelakaan akibat
Puluhan tahun setelah pembunuhan massal 1965, potensi keberingasan masih saja
mengancam. Penyebabnya, bukan semata-mata datang dari pemegang kuasa dan senjata.
Seperti peristiwa saling bantai di Sanggau Ledo, keberingasan juga dibuahi oleh
masyarakat sendiri. Seharusnya, keadaan ini tak perlu jadi kian memburuk, andaikan
Time edisi 17 Desember 1966: “Dipersenjatai berbagai pisau ukuran besar yang disebut
ke seluruh desa...”
Demikianlah rekaman situasi mencekam dari peristiwa pembantaian massal 1965, yang
dikutip salah satu majalah terkemuka di dunia itu. Peristiwa yang sayangnya, sampai kini
tak pernah dibuka tuntas. Sehingga, masyarakat Indonesia tak pernah belajar, mengambil
hikmah di balik itu. Yang muncul akhirnya, hanyalah cerita-cerita serba hitam-putih.
Pemerintah Orde Baru, memang berkepentingan untuk menutupi kisah tragis ini. Sebab,
“penyelamat Pancasila”, yang telah menyingkirkan “musuh negara”. Meskipun, ketika itu
Tentu ada pula kepentingan lain, apalagi kalau bukan untuk mencegah “bocornya” versi-
versi alternatif Peristiwa ‘65. Versi-versi yang umumnya, mendukung asumsi keterlibatan
Ketiadaan sikap berterus terang akan sejarah ini, akibatnya terkadang membuat mereka
yang punya sikap kritis juga terjebak dalam pilihan hitam-putih. Mereka tidak lagi
berusaha mencari sejarah yang apa adanya, tapi lebih menyukai mencari versi sejarah
yang “anti-mitos”
Perang „mitos“ ini yang membuat kebanyakan orang melihat, peristiwa pembunuhan
massal 1965 itu sebagai persoalan struktural semata-mata. Persoalan negara lawan
masyarakat, state versus society. Seperti dalam sebuah artikel bernada kritis yang beredar
di internet kira-kira setahun lalu, disebutkan, „orang-orang Islam dukungan tentara dan
para pelajar ‚dimobilisasi’ untuk melawan PKI, dan tentara telah melatih dan
Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian selama belasan tahun Dr. Hermawan
Sulistyo tentang pembunuhan massal 1965 di Jombang dan Kediri, persoalan ketika itu
begitu rumit. Yang ia temukan di Jawa Timur, malah tak ada mobilisasi oleh tentara.
ataupun golok. Pembantaian itu terjadi, karena sejak lama telah ada konflik yang
penyebabnya tumpang tindih (lihat: wawancara Hermawan Sulistyo, „Tak Ada Konsep
momentum pemicu dari meletusnya peristiwa G30S yang menyudutkan posisi PKI.
Dengan kejatuhannya di tingkat nasional, maka para kader PKI di Jawa Timur yang “tak
Sekali lagi, persoalannya memang tidak sederhana. Bahwa di Jawa Tengah dan Bali,
pembantaian massal itu umumnya dilakukan oleh tentara, itu memang sudah faktanya.
Tapi, untuk kasus Jawa Timur, tentaranya bahkan banyak yang PKI. Seperti di Batalyon
Nah, jika memang persoalannya tak melulu bisa diasalkan dari kesalahan pemerintah,
secara tidak langsung, bukankah ini merupakan pengakuan akan adanya sesuatu yang tak
beres dalam masyarakat Indonesia? Harus diakui bahwa tak cuma penguasa yang
bersenjata saja, di dalam masyarakat Indonesia pun masih banyak yang ‘sakit’. Sebab,
jika tidak, sulit membayangkan angka korban yang diperkirakan mencapai 500.000 jiwa
itu.
Bukti bahwa “penyakit” itu memang ada dalam masyarakat, sebenarnya, dapat dilihat
dari berbagai peristiwa saling bantai sebelum dan sesudah Pembunuhan Massal ‘65 itu.
pernah terjadi peristiwa yang juga tak kalah tragisnya di Batavia -kini sudah jadi Jakarta.
Ketika itu pun, kanal-kanal dipenuhi bangkai serta darah tumpah ruah di mana-mana.
Para tentara, pelaut, warga Belanda serta budak-budak memenuhi jalan-jalan. Mereka tak
anak-anak, tapi juga merampok para korban yang umumnya adalah orang-orang Cina.
paksa orang-orang Cina yang menganggur ke Ceylon (Sri Lanka). Namun, geng-geng
Cina di luar Batavia menduga yang terjadi adalah penenggelaman di Laut Jawa.
pun meletus, tak lama setelah pemerintah menggeledah semua rumah orang Cina.
Keadaan tak bisa dikontrol pemerintah Hindia-Belanda sendiri. Apalagi ternyata, ada
konflik antara Kanselir Baron van Imhoff -yang kala itu berusaha meredakan amarah
Contoh lain yang paling segar dalam ingatan, adalah „Peristiwa Sanggau Ledo“.
Penyebabnya, sungguh sepele. Gara-gara sejumlah pemuda Madura yang ingin menonton
orkes dangdut di Ledo, dengan kasar menarik-narik tangan gadis Dayak untuk ikut
mereka. Sehingga membuat para pemuda Dayak marah. Lalu terjadi perkelahian.
Peristiwa yang terjadi di Bulan September 1996 itu pun terus berbuntut. Apalagi, ketika
Desember 1996, dua orang Dayak ditusuk oleh pemuda Madura. Tak pelak lagi, aksi anti
Madura meletus di Ledo dan Sanggau Ledo, yang segera meluas menjadi perang antar
suku di seluruh Kalbar. Dua ribu orang, diperkirakan tewas. Sebagian besar orang
Madura.
Sebetulnya, benih-benih pertikaian di antara kedua suku ini, sudah berlangsung lama.
Sangat laten. Sedari awal, penyulutnya muncul dari masyarakat sendiri. Sejak tahun
1968, pertikaian Dayak-Madura ini dimulai. Camat Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak
bernama Sani dibunuh oleh seorang Madura di Anjungan. Penyebabnya, cuma lantaran
Sang Camat tidak mau melayani urusan pembuatan keterangan tanah pada hari Minggu.
Mulai saat itulah, setiap terjadi peristiwa kecil saja, saling bunuh tak dapat terelakkan.
Setidaknya, di pertengahan tahun 70-an, letupan di antara keduanya makin sering terjadi.
Selain peristiwa tahun 1996, kejadian besar lainnya terjadi tahun 1979, di Kabupaten
Sambas. Dimulai tak lama setelah seorang petani Madura membunuh petani Dayak.
petani Dayak tadi tanpa ijin. Perang pun berkobar. Puluhan jiwa melayang. Sempat pula
didirikan „tugu perdamaian“ di Salamantan, atas prakarsa pemerintah. Namun, tugu itu
ternyata bukan obat mujarab. Tahun 1983 dan 1993, perang masih juga berkobar.
Bahwa benih-benih keberingasan ini, masih tertanam pada alam bawah sadar masyarakat
dapat dilihat dari berbagai peristiwa „kecil“ sepanjang tahun 1995 dan 1996. Hanya
karena isu dan sebab sepele kerusuhan dengan mudahnya meletus. Boleh dibilang, tahun-
tahun itu adalah rekor terjadinya kerusuhan. Mulai dari pembakaran toko-toko dan gereja,
Katholik pada pemuda lainnya yang dianggap menodai air suci, sehari setelah Natal 1995
melakukan penghancuran.
Lalu apa hikmah semua ini? „Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka
bangsa yang dalam sekali,“ ujar Hermawan Sulistyo. Dengan itu ia mengingatkan agar
kehadiran benih-benih tak sehat ini, akan ada keinginan semua pihak untuk berusaha
membangun kultur yang lebih baik, yang minimal harus dimulai dari diri sendiri. Bahwa
masyarakat -dan mungkin kita sendiri- juga bisa salah, bukan cuma penguasa.
Bukan berarti, tak perlu lagi membenahi persoalan struktural seperti demokratisasi. Justru
itu yang lebih penting. Bukankah keberingasan itu dimungkinkan terjadi, karena ada
ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem? Setiap kali rakyat digusur tanahnya, kehilangan
mata pencahariannya, sistem tak berpihak pada mereka. Makanya, tak perlu heran bila
terjadi peristiwa pembakaran kantor polisi seperti di Pameungpeuk, baru-baru ini. Jika
rakyat sudah tak percaya pada sistem, tak ada jalan lain memang, selain memakai cara
mereka sendiri. Tak peduli betapa pun mahal harga yang harus dibayar.
„Demokrasi adalah sarana mengelola konflik yang sehat,“ demikian ucap Arief Budiman,
suatu kali. Kiranya, memang itulah prioritas utama yang harus segera diwujudkan, agar
Sayangnya, penguasa memang tak pernah mau belajar. Peristiwa berdarah sudah semakin
ruang gerak bagi demokrasi, malah memberi kekuasaan tanpa batas pada presiden dengan
Tap MPR VI yang kontroversial itu. Mimpi buruk ini, kapankah berakhir?
hampir setiap karyanya. Tokoh ini pula, yang tak henti-henti menyarankan agar Tragedi
65 dipelajari secara tuntas, agar tak terulang di masa depan. Mangun berpendapat,
kekerasan di masa Orde Baru ini lebih sistematis, dibanding Orde Lama. Intensitasnya
masyarakat menumpuk; dan siap meledak kapan saja, seperti lahar gunung berapi yang
yang juga novelis itu, di rumahnya. Termasuk soal Kalimantan Barat, yang dinilainya
belum selesai.
· Setelah kekerasan massal tahun 1965, ternyata masih saja terjadi kekerasan antar
masyarakat...
** Ya, kekerasan setelah tahun 1965 agaknya melebihi jaman Orla. Tapi memang
kekerasan itu gejala umum, semua negara, semua negeri ada kekerasan. Hanya saja, ada
kekerasan yang dapat dikekang oleh adat istiadat. Kalau „kekerasan gaya modern
internasional“ itu kan karena manusia terlepas dari kerangka adat istiadat lama, tapi
belum menemukan adat istiadat baru. Orang itu kalau lepas dari suatu kerangka terus
** Orde Baru itu lahir dari kekerasan dan memang metodenya adalah kekerasan, paksaan.
Tidak sekeras, misalnya, Hitler, atau Stalin tapi toh intinya itu kekerasan. Lain dengan
revolusi atau Orde Lama generasi ‚28 memang ada kekerasan tapi bukan „struktural“.
Jadi revolusi waktu itu pun selalu mencari jalan damai. Hanya karena Belanda
mempergunakan kekerasan maka dilawan. Tapi secara struktural, revolusi dan Orde
· Bagaimana menjelaskan kekerasan masyarakat yang terjadi sejak ‘65 hingga akhir akhir
** Karena bangsa Indonesia itu tidak mempunyai suatu struktur dan sistem mengajukan
pendapat pribadi atau mengeluarkan uneg-uneg itu tidak ada. Ya masyarakat dan negara.
Masyarakat juga terkekang, kalau ada yang punya pendapat lain dengan teman-teman di
kampung ya dipukuli. Jadi dari segi masyarakat, pergaulan sehari hari, berpendapat lain
itu musuh. Agama juga begitu, „Kalau bukan agama saya berarti musuh.“ Kalau negara
dan masyarakat saling memperkuat suasana ketakutan yang timbul dari kekerasan fisik
maupun psikis, lalu suatu ketika meledak, atau orang lari. Banyak orang lari; daripada
mengamuk, minggat. Sekarang yang lari itu siapa? Kaum yang punya duit, ijasah tinggi,
punya kemampuan itu lari ke luar negeri; yang tidak suka sama Orde Baru itu ya lari.
· Negara sering menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang cinta damai « toto
** Itu kan watak bangsa, suka damai. Tapi itu lain dari struktur politik. Cinta damai itu
setiap bangsa, setiap orang. Bangsa kita itu memang cinta damai, tapi cinta damai ini
sering dikacaukan dengan “cinta mengalah”. Jadi, kalau tidak berani, terus mengalah,
dongkol tapi diam. Itu sering disebut cinta damai tapi sebenarnya bukan itu cinta damai.
Terus menghindari konflik atau ya, “jangan ramailah, jangan bikin heboh”, itu belum
tentu cinta damai. Jadi cinta damai bagi bangsa kita itu sebetulnya ideal. Tapi
** Ya, mestinya begitu. RI itu dulu, jaman revolusi dan Orla, tidak pakai kekerasan.
Bahwa ada orang yang keras, itu memang ada, tapi tidak struktural, tidak sistematis,
karena ada arus top down dan bottom up. Jadi kalau top down melulu, pasti ada
kekerasan. Dan kekerasan itu tidak hanya kekerasan brutal, fisik, tapi juga ada kekerasan
batin, mental.
Kalau ada suatu suasana di mana masyarakat takut, dan ketakutan itu tidak hanya di
kalangan bawah tapi juga kalangan menengah, kalangan atas, itu indikator paling jelas
ada kekerasan struktural. Di Orde Lama orang tidak takut. Ada orang menderita, orang
lapar, orang menggerutu, orang protes, orang maki-maki Soekarno, tapi tidak takut.
Revolusi juga begitu. Jaman Belanda itu takut dan sejak tahun 1965. Dan yang takut
bukan orang kecil saja; semua pegawai negeri itu semua kan takut, walaupun menteri
atau dirjen ya takut, gubernur takut, panglima pun takut, profesor juga takut. Nah, itu
menumpuk. Gambaran paling tepat itu seperti gunung berapi itu. Laharnya menumpuk..
masyarakat itu seperti Gunung Merapi ini, laharnya bisa keluar, seperti gunung di Hawai,
ya tidak meletus. Tapi kalau tersumbat seperti Kelud, Semeru, Galunggung; nah, di
** Di mana-mana amok itu ada. Di Inggris juga ada orang menembaki anak-anak TK, di
Australia juga ada orang yang menembaki orang mandi di pantai. Itu jika orang sedang
frustrasi, seperti vulkan yang menumpuk, tersumbat, tidak ada outlet. Jadi, demokrasi itu
mencegah ledakan amok, itu demokrasi. Kalau tidak demokratis, ya mesti ada amok.
** ‘65 itu ya amok, jelas itu. Jadi jaman Orla itu sampai Soekarno menjadi diktator itu
orang mengeluarkan pendapat tidak takut. Tapi sesudah PKI kuasa, sejak konstituante
dibubarkan, ‘59 , itu orang mulai takut. Karena PKI memang keras, walaupun yang keras
tidak hanya PKI, semua pihak keras. Di situlah mulainya terjadi kekerasan.
** Ya banyak, yang non-PKI juga keras, Soekarno kemudian juga jadi keras, ada
Manikebu, LEKRA, itu kan kekerasan juga. Jadi sejak Soekarno jadi diktator -selalu
diktator, ketakutan dan kekerasan itu suatu tritunggal. Selalu ada diktator, ketakutan dan
kekerasan. Nah, mulai Soekarno jadi diktator, PKI banyak (melakukan) intimidasi, partai
lain juga intimidasi, sama saja terus ketakutan merayap di kalangan masyarakat.
Sehingga seperti yang dikatakan Aidit itu, “Republik kita hamil tua”. Hamil tua apa, tidak
jelas. Tapi memang betul istilah Aidit itu. Ternyata ya itu, meledak kekerasan ‘65.
· Apa ada kesamaan background antara kekerasan massal ‘65 dengan yang baru-baru ini
terjadi beruntun?
** Itu agak lain. Kebanyakan amok akhir-akhir ini rekayasa, bukan massa.
Bukan penduduk asli di situ; datang dengan truk-truk itu kan orang luar. Kalau amok ‘65
itu kan massa di situ sendiri yang membunuh kawannya sendiri. Tapi yang akhir-akhir ini
kan tidak; yang membakar itu kan bukan orang di situ, didatangkan.
** Lha, itu mungkin. Yang jelas itu Dayak (Sangau Ledo). Kalau Dayak itu memang
psikologi massa. Itu mengamok sungguh, frustrasi, trance. Orang sudah tidak sadar
berbuat apa. Seperti kerasukan. Kalau Dayak yang membunuh Madura itu sungguh
kerasukan, bukan dari luar. Itu memang perselisihan antara Dayak dan Madura. Itu
sejarahnya memang mengerikan. Jadi di sana itu kalau ada proyek yang mengambil
biasanya selalu orang Madura, atau orang Banjar atau orang Jawa. Orang Dayak itu
tersingkir.
Suatu ketika ada seorang kepala desa Dayak, yang entah bagaimana kebetulan mendapat
proyek, tapi kemudian dicemburui. Suatu ketika dia, anaknya dan sopirnya bepergian di
jalan, mereka dihadang oleh pihak yang mencemburui itu. Anak dan sopirnya kemudian
diculik dan disembunyikan, tapi sopirnya masih sempat melihat bagaimana bosnya itu
dipukul dan dianiaya. Anak dan sopir ini kemudian disuruh pergi tapi nasib kepala desa
ini sudah tidak jelas. Ini kan sudah lama ada api dalam sekam. Rakyat kemudian
menuntut,yaitu paling tidak ABRI harus mengembalikan jenazah kepala desa yang
dibunuh.
Tentu saja ABRI kemudian mencari korban itu. Saya punya sahabat-sahabat pastor di
sana, ABRI datang minta tolong. Sudah ketemu jenazahnya. Nah jenazah itu akan
dikembalikan ke keluarga korban. Keluarga ini sudah didatangi oleh ribuan orang Dayak,
berkumpul di desa korban. Mereka menuntut supaya jenazah ini dikembalikan. Nah,
ABRI minta tolong (pada pastor-pastor) karena tahu situasi gawat, bagaimana
mengembalikan jenazah ini. Pastor sebagai pimpinan agama supaya meredakan suasana.
Lalu disiapkan. Ada 10 pastor mempersiapkan ini. Kemudian menentukan hari untuk
mengambil jenazah. Pada hari „H“, pastor dan beberapa suster naik mobil berangkat ke
tempat ABRI seperti yang sudah disepakati. Sesampai di sana, ada berita dari ABRI itu
bahwa jenazah sudah dipulangkan ke desa. Nah, pastornya terkejut. „Waduh gawat,
sungguh gawat,“ gitu. Kemudian rombongan pastor ini dengan mobil ngebut ke desa itu.
Persis pada saat rombongan pastor ini sampai di desa itu, peti jenazah kepala desa itu
Ketika penduduk membuka peti, ternyata mayatnya penuh lumpur, belum dibersihkan,
tangannya sudah tidak ada, kepalanya sudah putus tapi dijahit lagi, dan yang gawat itu
kemaluannya hilang. Sudah; ribuan yang datang itu, pastor sudah tidak mampu untuk
menguasai situasi. Ketika itu kepala keluarga masih bisa mengekang perasaan, kemudian
dia pidato, „Inilah jenazah Ayahanda kepala desa sudah datang, tapi jelas bahwa kami
orang-orang Dayak sudah tidak dianggap sebagai lelaki!“ Langsung ribuan orang itu
menjadi semacam trance sambil mengeluarkan bunyi, „uuu..uuu... uuu..“; itu ribuan.
Trance itu bagi kepercayaan Dayak adalah ketika nenek moyang datang dan manjing
(merasuk) kembali pada penduduk (istilahnya „Tariu“). Kalau sudah demikian, orang
Dayak sudah lupa segala-galanya, tidak kenal takut, tidak takut mati, terus mengamuk.
Mengamuknya luar biasa, berhari-hari. Sampai polisi dan tentara tidak berani.
Gereja mencoba meredakan itu tapi para panglima bilang, „Ini bukan urusan gereja, ini
urusan Dayak.“ Trance ini bahkan sampai menjalar ke daerah Serawak Malaysia, dan
penduduk sana juga ikut kesurupan dan membantu, tapi distop oleh Malaysia sendiri dan
ABRI dengan menutup perbatasan. Tapi ya pasti ada yang menyusup. Terus berhari-hari,
Tapi masjid tidak ada yang dibakar, dan kalau menemukan Al Quran di rumah orang
Madura, maka Al Quran tersebut dikumpulkan di masjid. Jadi mereka tidak menyentuh
diamankan di masjid. Tapi rumah semua dibakar, habis, dibunuh habis. Mereka itu bisa
mencium siapa orang yang Madura. Bis-bis distop, masuk dalam bis, diciumi
penumpangnya, „Wah ini Madura!“ diambil lalu dibunuh. Sesudah ‚65, ya ini yang
mendatangkan bantuan 3 ribu tentara dari Sumatera, terus agak reda sedikit. Tapi ini
belum selesai.
** Jadi ada 3 tahap, perdamaian (perdamaian pertama itu bagi orang Dayak tidak ada
artinya, hanya formalitas saja), tahap kedua juga belum, tahap ketiga yang trance itu juga
belum. Jadi trance, kesurupan nenek moyang berdasarkan kepercayaan orang Dayak itu
namanya „Tariu“. Kalau sudah „Tariu“ itu roh-roh nenek moyang manjing (merasuk) di
situ, mereka mengamuk dan tidak kenal takut. Teman-teman pastor itu cerita mereka
melihat, „Waduh..sudah, menutup mata tidak bisa lihat, tidak tega“. Orang-orang biasa
itu terus membunuh, minum darah memenggal kepala, makan hati enak saja pada saat itu.
Nah, fase „Tariu“ itu sekarang belum klikmaks. Fase pertama perdamaian itu, bagi orang
Nah, sekarang mereka berhenti karena ada pemilu tapi mereka tetap membuat senjata,
senapan-senapan. Mereka membuat sendiri senapan itu dan yang dicari sebagai bahan
senapan itu pipa-pipa setir mobil itu menjadi senapan yang besar. Dan pelurunya diambil
dari Malaysia, katanya ada peluru khusus yang besar. Mereka terus produksi senapan.
Makanya saya pikir, pembakaran hutan di Kalimantan itu apa ya betul hanya dilakukan
** Itu harus diinvestigasi. Apa betul itu seperti kata presiden „Bukan penduduk asli tetapi
perusahaan-perusahaan!“ Biasanya kan kalau secara resmi dibantah itu kan biasanya ada
udang di balik batu. Kok dibantah. Level presiden lho ini, bahwa ada kebakaran hutan itu
tidak oleh penduduk asli. Lha ini bagi kita, „Jangan-jangan justru oleh penduduk asli.“
Tapi bukan karena mereka berladang pindah-pindah sebagai nomad, itu mereka sudah
tahu caranya. Tapi mungkin pembalasan dendam, kemarahan. Jadi mungkin pembalasan
Secara politis, kalau hal ini dinyatakan karena „Tariu“ itu, sungguh membahayakan dan
SARA dan juga memalukan. Lebih baik kalau perusahaan-perusahaan itu yang dijadikan
kambing hitam saja, netral. Keterangan resmi memang begitu, yang membakar itu
perusahaan atau clearing hutan. Tapi saya pikir, kalau perusahaan-perusahaan besar itu,
ya apa mereka sebodoh itu dalam membakar hutan. Karena mereka sudah berpengalaman
berpuluh-puluh tahun membakar hutan, apa ya seperti ini sampai jalan, sungai pun penuh
dengan asap. Jangan-jangan yang membakar hutan itu penduduk (orang Dayak) yang
„Tariu“. Mereka itu kan sudah berpuluh-puluh tahun dendam karena perkebunan-
perkebunan dari konsesi-konsesi HPH. Makanya ketika dijelaskan oleh koran bahwa
presiden mengatakan bahwa yang membakar itu bukan penduduk, malah saya curiga, kok
sampai presiden, wong Sarwono saja belum ngomong, kok presiden sudah mendekritkan
pembakaran, tapi anehnya perusahaan itu menurutnya tak bisa dilacak alamatnya....
** Makanya itu, karena kok presiden sendiri langsung mengatakan bahwa ini bukan
penduduk. Lho.. bagi saya dalam kaitan dengan „Tariu“ tadi, rupa-rupanya ya
pembalasan dendam orang Dayak. Kalau perusahaan ya aneh, bunuh diri itu namanya.
Lagian kayunya dijual kan masih bisa, kok dibakar. Ya saya tidak mengatakan pasti, tapi
saya curiga.
** Ya, demokratisasi itu ditangani serius. Orang bisa bicara, ketakutan-ketakutan itu
harus dihilangkan. Jangan sampai takut mengutarakan pendapat, itu satu satunya jalan
menggemboskan insting-insting yang terpendam, yang mendongkol itu. Orang itu kalau
** Kalau sistem politiknya berubah ya bisa. Kalau sistemnya begini ya tidak bisa, wong
semua takut kok. Kalau semua takut ya bagaimana? Jadi harus struktur yang efektif
menghilangkan ketakutan. Kalau orang takut terus, ya ndongkol terus, wong takut.
· Apakah aparat militer yang kuat selalu meredam gejolak kejengkelan masyarakat?
** Tidak mungkin, 200 juta orang kok. Kalau ketel dikompor masih bisa, tapi kalau
masyarakat itu tidak seperti ketel. Masyarakat itu kalau sudah out of control, sudah habis.
Seperti orang mengamuk, bisanya kalau sudah membunuh ini-ini lalu sadar kemudian dia
nangis.
Orde Baru lahir dengan genangan darah dan airmata. Inilah sejarah hitam pembantaian
massal yang menumpuk ketakutan. Tapi sampai kapan ketakutan mampu ditahan?
-----------------------------
Tahun 1965 bagi Indonesia sungguh menyayat hati. Apa yang kita rayakan sebagai hari
“Kesaktian Pancasila” sesungguhnya adalah saling bunuh saudara sebangsa. Terlepas dari
siapa yang benar ; Soekarno? Soeharto? TNI AD? PKI? atau partai dan ormas saat itu?
Peristiwa itu berbuntut ajal yang tak pasti jumlahnya. Mereka dituduh PKI, sebagian
memang PKI, tapi sebagian lain tak tahu apa-apa, termasuk ibu-ibu dan anak-anak.
Berapa yang mati? Angka resmi pertama yang diumumkan di akhir 1965 adalah 78.832
jiwa. Perinciannya; korban di pihak PKI di Bali 12.500, Jawa Timur 54.000, Jawa
Tengah 10.000, Sumatra Utara 2.000, sementara korban non PKI yang dibunuh orang-
orang PKI tercatat 328 orang. Itu hasil Komisi Pencari Fakta dengan anggota 9 orang
yang dibentuk Soekarno. Tapi dari wawancara John Hughes tahun 1968 dengan salah
satu anggota Komisi, angka yang benar adalah 780.000 jiwa (baca: tujuh ratus delapan
puluh ribu jiwa). Oei Tjoe Tat, Menteri Negara d/p Presidium Kabinet yang juga anggota
Komisi, saat ditanya Bung Karno usai penyampaian laporan resmi menjawab 500.000
Memang angka resmi baru kemudian muncul setelah Kantor Berita Antara menyatakan
ada 500.000 orang yang mati. Laksamana Soedomo dalam wawancara resmi tahun 1977
dengan wartawan Newsweek, Bernard Krisher, mengaku ada setengah juta korban
dibunuh. Begitu banyak orang PKI yang mati dilatari dendam warga non PKI karena aksi
sepihak, kampanye PKI yang begitu provokatif, hingga penculikan dan pembunuhan
terencana oleh aktivis PKI. Di samping itu, pemuda-pemuda anti PKI dilatih dua-tiga hari
oleh Pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhie, lalu dilepas untuk menggerakkan
masyarakat di bawah gerakan Komite Aksi Pengganyangan.
Pembunuhan massal
Seperti mendapat pembenaran dengan maraknya demonstrasi anti PKI dan berita-berita
media massa yang menyiarkan betapa kejamnya PKI membunuhi para jendral. Koran-
koran terbitan Angkatan Darat, seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, koran
Kristen Sinar Harapan, dan koran umum seperti Duta Masyarakat dan Mingguan Berita,
menyiarkan kekejian PKI dan ormas-ormasnya yang membunuhi para jendral dengan
silet, sabit, sundutan rokok, dengan diiringi tarian cabul para Gerwani sampai memotong
alat vital korban. Sedangkan menurut otopsi dokter yang diperintahkan Soeharto, para
jendral mati karena tembakan, sama sekali tak ada luka pukulan atau akibat senjata tajam,
sedangkan lebam di kulit diakibatkan benturan saat korban dijatuhkan ke sumur Lobang
Buaya (Anderson, 1987). Tapi dendam dan pengkondisian anti PKI terlanjur menyulut
pembantaian. Cara-cara yang digunakan sering di luar nalar, sampai Mayjen Achmadi -
Menteri Penerangan yang juga anggota Komite Pencari Fakta- mengucap, “Wah terlalu,
kok bangsaku bisa begitu kejam”. Di Jakarta, menurut pelaku, mereka menjerang air
dalam drum sampai mendidih. Seorang aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)
diikat dengan kepala di bawah lantas dicelupkan ke air yang menggelegak itu. Saat
diangkat, kulitnya melepuh, sebagian terkelupas matang, dan kedua bola matanya
seluruh keluarga ditusuk dengan sebatang bambu, masuk dari dubur dan keluar pada
Di Jawa Tengah, menurut fakta yang ditemukan H.J. Princen, 800 orang dibunuh massal
dengan pukulan batang-batang besi ke kepala. Pembantaian itu terjadi setelah dua bulan
penggulungan atas orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang sebelumnya
Interogator dari Batalyon 404 dan 409 menggunakan listrik untuk menstroom alat vital
para tahanan demi mengorek info gerakan bawah tanah PKI. Saksi mata mengatakan
pada Princen bahwa Let.Kol. Tedjo Suwarno adalah orang yang memerintahkan
pembantaian massal di Purwodadi. Para pemuka umat diancam agar tidak lapor ke
Semarang. TNI AD membantah bahwa telah terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah.
Panglima Kodam VII (kini IV) Mayjen. Surono mengatakan bahwa para tahanan
ditembak saat hendak melarikan diri. Sementara yang lainnya mati karena bunuh diri
dipenjara.
Massa PKI di Jawa Tengah dan DIY memang cukup besar. Di Yogya, Kol. Katamso dan
Let.Kol. Sugijono mati dibantai PKI. Oleh sebab itu Kol. Sarwo Edhie Wibowo meminta
perempuan yang dituduh Gerwani. Ketika penduduk desa kasak-kusuk tak puas atas
Di Jawa Timur, Gatot Lestario (tokoh PKI) sebelum dieksekusi sempat membeberkan
“Sadisme dan penyiksaan tak manusiawi yang tak terperikan,” gugat Gatot, “Menyertai
mana anak-anak satu demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba
giliran sang ayah. Seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil. Perempuan-
kompetisi dilakukan dalam pembunuhan, siapa yang terbaik membelah dalam sekali
bacok dari atas ke bawah akan memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari).
Banyak pembunuhan terjadi di pesisir-pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak
perlu lagi menggali kuburan. Kepala-kepala yang telah dipenggal digantungkan di pasar-
pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa di antaranya dilabur dengan kapur.
sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro banjaran mayat-mayat diikat satu menjadi rakit.
Pada sebuah jembatan di lingkungan Babat yang telah berfungsi sebagai rumah potong
manusia, aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan betapa banyak orang yang
telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-lahan, dengan cara
memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang lainnya dipaksa terjun ke
Di Jawa Barat, menurut John Hughes (Indonesian Upheaval) dan Robert Cribb (The
Subang dan Cirebon. Meski dekat dengan pusat kekuasaan, pendukung PKI di daerah ini
relatif sedikit. Hanya di Indramayu PKI punya massa karena wilayah ini selalu miskin.
Alasan lain, dendam terhadap orang-orang PKI tidak begitu terasa di Jawa Barat. Meski
bukan berarti tak ada kebengisan, seperti pengiriman kepala tanpa badan seorang tokoh
Di Aceh, pengganyangan dikomandani Kolonel Ishak Djuarsa. Semua orang PKI di Aceh
binasa, tidak hanya kader-kader tapi juga seluruh keluarga, bahkan para pembantu-
pembantu rumah mereka. Di Medan, kantor SARBUPRI/SOBSI diserang saat ada rapat.
Gedung tingkat tiga itu disiram bensin dan dibakar. Para aktivis serikat buruh yang panik
mencoba menyelamatkan diri. Tapi begitu keluar dari pintu, mereka segera disambut
dengan berondongan peluru atau keroyokan orang ramai. Melihat tak ada lagi jalan
keluar kecuali maut, sebagian menyelimuti tubuh dengan bendera serikat buruh atau
spanduk merah dengan menyerukan slogan „Hidup SARBUPRI, Hidup SOBSI,“ lalu
terjun ke jilatan api. Tindakan itu makin menyulut kemarahan penyerbu yang banyak di
antaranya adalah aktivis Pemuda Pancasila, sehingga korban yang terbakar itu diseret dari
Di Bali, pembunuhan massal berlangsung tak kalah mengerikan. „Teror massa“, sebuah
term yang populer di Rusia jaman Stalin, justru dirasakan orang-orang PKI. Mereka
dengan perasaan takut dan tiada harapan menyerahkan diri untuk diapakan saja oleh
penguasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari siksa aniaya oleh massa lawan politiknya.
Sebulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965, Gubernur Bali, Sutedja (tokoh PKI) masih
berkuasa. Ketika ditanya Bung Karno di hadapan Sabur, Chaerul Saleh, dan pejabat lain,
apakah dia PKI? Sutedja menjawab bahwa itu hanya fitnah belaka. Para pejabat Bali yang
punya sangkut paut dengan PKI mulai cuci tangan. Saat itu kabar tentang pembantaian di
Rakyat menunggu ABRI. Tapi rupanya pimpinan ABRI di Bali, khususnya Pangdam
Sjafiuddin pun menunggu siapa yang akan menang di Jakarta. Sebetulnya istri Sjafiuddin
sendiri adalah simpatisan Gerwani. Ketua DPRGR I Gusti Media, Ketua Bamumas I
Gede Puger, Ketua Lembaga Pariwisata Ida Bagus Komjang juga tokoh-tokoh PKI.
Namun ketika gelagat Bung Karno kalah kian menguat, para pejabat itu mulai
menghilangkan jejak. Dan pembunuhan, adalah jalan paling cepat dan aman sebab orang
mati tidak akan bisa bersaksi. Orang-orang Nasakom yang berkuasa di Bali ingin
menunjukkan bahwa merekalah yang paling anti PKI dan paling Pancasilais.
Wedagama (tokoh PNI) menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan
dan tidak akan disalahkan hukum. Wijana, yang mengaku masih kerabat Bung Karno,
peraturan. Pembakaran rumah orang PKI dianjurkan sebagai warming up. Dan akhirnya
pembunuhan itu pun berlangsung di seluruh pelosok Pulau Dewata. Menurut Soe Hok
Gie yang menggunakan nama samaran Dewa dalam tulisannya di Mahasiswa Indonesia
(Des’67), pembunuhan massal di Bali telah memakan korban sedikitnya 80.000 jiwa.
Korban material tak terhitung. Sementara itu pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh
anggota Gerwani merajalela. Widagda, tokoh PNI adik Wedastra Suyasa yang jadi
anggota DPRGR Pusat, diketahui umum telah memperkosa belasan wanita yang
dituduhnya Gerwani.
Anak Agung Made Agung, Kepala Djawatan Penerangan Bali diculik dan dibunuh.
jabatan kepala. Sedangkan Lie Lie Tjien, pengusaha yang jadi kasir PKI, selamat jiwa
dan hartanya karena menyogok Widjana birokrat Bali Utara. Saingan Lie Tjien, Tjan Wie
difitnahnya hingga gudang kopi milik tauke itu diserbu massa dan ratusan ton kopi
dibuang berserakan di jalan-jalan Singaraja. Tjan Wie pun jadi gila setelah peristiwa itu.
Begitulah..., fitnah, pemerkosaan dan pembunuhan massal terjadi di berbagai pelosok
tanah air. Indonesia yang „hamil tua“ akhir-nya melahirkan Orde Baru dengan genangan
air mata dan darah. Siapa yang salah, barangkali bukan pertanyaan yang relevan sebab
menumpuk.
Kelihatannya damai, indah, tapi 10 tahun kemudian meledak,” ujar Romo Mangunwijaya.