Sie sind auf Seite 1von 38

SEORANG G1P0A0 24 TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK, FETAL

DISTRESS, PERDARAHAN ANTEPARTUM ET CAUSA PLASENTA


PREVIA TOTALIS, DAN LETAK LINTANG PADA PRIMIGRAVIDA
HAMIL PRETERM

ABSTRAK
Latar Belakang: Kasus gawat darurat obstetri apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Dari sisi
obstetri empat penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir ialah 1)
perdarahan; 2) infeksi dan sepsis; 3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; 4)
distosia. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus yang dihadapi
dapat berakibat fatal.
Metode: Observasi analitik pada seorang wanita 24 tahun G1P0A0 dengan
perdarahan yang keluar dari jalan lahir berwarna merah segar. Kenceng-kenceng
teratur sudah dirasakan. Air kawah sudah dirasakan keluar. Gerakan janin
dirasakan berkurang. Dari pemeriksaan fisik didapati keadaan umum pasien
lemah, mengarah ke syok. Dari hasil USG, tampak janin tunggal intrauterine,
melintang (kepala di kanan, punggung di atas), DJJ (+) 57x/menit; tampak
placenta menutupi OUI.
Hasil: Prinsip penanganan pada pasien ini yang pertama adalah memperbaiki
keadaan umum pasien terlebih dahulu. Setelah itu segera melakukan prosedur
seksio caesaria emergency karena adanya plasenta previa totalis untuk
mengurangi resiko pada ibu maupun janin.
Kesimpulan: Seorang wanita 24 tahun G1P0A0 dengan syok hipovolemik, fetal
distress, perdarahan antepartum et causa plasenta previa totalis dan letak lintang
pada primigravida hamil preterm.
Kata Kunci: gawat darurat obstetri, syok hipovolemik, seksio caesari

BAB I

PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator suatu negara
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dewasa ini
masih tinggi di Indonesia bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003 AKI
adalah 307 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat dua ibu meninggal dunia oleh
sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2005).
Sementara tahun 2007 sampai sekarang AKI adalah 262 per 100.000 kelahiran
hidup (Santoso, 2007). Kegawatdaruratan obstetri bertanggung jawab pada 70,6%
kematian ibu dan 86% kematian perinatal (Adelaja dan Taiwo, 2011).
Kasus gawatdarurat obstetri apabila tidak segera ditangani akan berakibat
kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Dari sisi obstetri empat
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir ialah 1) perdarahan; 2)
infeksi dan sepsis; 3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; 4) distosia.
Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus yang dihadapi dapat
berakibat fatal (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2014).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. SYOK HIPOVOLEMIK

1. Definisi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi
akibat perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah (Sudoyo,
2006).
2. Etiologi
Syok hipovolemik dalam kehamilan biasa diakibatkan oleh
perdarahan yang banyak. Akibat kehamilan muda, misalnya abortus,
kehamilan ektopik dan penyakit trofoblas (mola hidatidosa); perdarahan
antepartum misalnya plasenta previa, solution plasenta, rupture uteri dan
perdarahan pascapersalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan lahir
(Tanjung, 2009).
3. Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah
rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang
menimbulkan penurunan curah jantung. Keadaan syok akan melalui tiga
tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat ditangani oleh tubuh),
dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel
(tidak dapat pulih) (Sudoyo, 2006).
a. Tahap kompensasi
Adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi
normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap
awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan
darah normal, gelisah,dan pengisian pembuluh darah yang lama.

Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya


individu yang mengalami syok terlihat normal.
b. Tahap dekompensasi
Dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsifungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga
organ-organ vital yaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan,
tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan
paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah
rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan
darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu.
c. Tahap ireversibel
Dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan
tidak dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan
pertolongan sesegera mungkin, maka aliran darah akan mengalir
sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah
dan

denyut

jantung.

Mekanisme

pertahanan

tubuh

akan

mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke


organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi
penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan
pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang terjadi
telah menetap dan tidak dapat diperbaiki (Price, 2006).
4. Diagnosis
Gejala klinik syok hemoragik tergantung perdarahan yang terjadi
mulai dari ringan sampai berat. Derajat syok hipovolemik berdasarkan
adanya perdarahan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi Perdarahan


Kelas

Jumlah Perdarahan

15% (Ringan)

II

20-25% (sedang)

Gejala Klinik
Tekana darah dan nadi normal
Tes Tilt (+)
Takikardi-Takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler lambat
Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah

III

30-35% (Berat)

Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
Hipertensi berat

IV

40-45% (sangat berat)

Hanya nadi karotis yang teraba


Syok ireversibel

(Tanjung, 2009)
5. Tatalaksana
Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan adalah (Tanjung,
2009):
a. Cari dan hentikan segera sumber perdarahan.
b. Bersihkan saluran nafas dan beri oksigen atau pasang selang
endotrakheal.
c. Naikkan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah ke sirkulasi
sentral.
d. Pasang 2 set infus atau lebih untuk transfusi, cairan infus dan obatobat IV bagi pasien yang syok.
e. Kembalikan volume darah dengan:
i.
Darah segar (whole blood) dengan cross matched dari grup
ii.

yang sama
Larutan kristaloid: ringer laktat, larutan garam fisiologis
atau glukosa 5%. Larutan ini mempunyai waktu paruh yang

pendek dan pemberian yang berlebihan menyebabkan


edema paru.
Larutan koloid: dekstran 40 atau 70, fraksi protein plasma

iii.

atau plasma segar.


f. Terapi obat-obatan
i.
Analgesik: morfin 10-15 mg IV jika ada rasa sakit,
kerusakan jaringan atau gelisah
Kortikosteroid: hidrokortison 1 g atau dexamethasone 20

ii.

mg IV pelan. Cara kerjanya masih kontroversial; dapat


menurunkan resistensi perifer dan meningkatkan kerja
jantung dan meningkatkan perfusi jaringan.
Sodium bikarbonat: 100 mEq IV jika terdapat asidosis
Vasopresor: untuk menaikan tekanan darah dan

iii.
iv.

mempertahankan perfusi renal. Dopamin 2,5 mg/kg/menit


IV menjadi pilihan utama.
g. Monitoring
i.
Central venous pressure (CVP) normal 10-12 cm air
ii. Nadi
iii.
Tekanan darah
iv. Produksi urine
v. Tekanan kapiler paru, normal 6-18 Torr
vi.
Perbaikan klinik: pucat, sianosis, sesak, keringat dingin,
dan kesadaran
6. Komplikasi
Jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang
mencetuskan sindroma distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut,
koagulasi

intravaskuler

diseminata,

dan

gagal

multiorgan

yang

menyebabkan kematian.
Hipovolemia dianggap menimbulkan cedera vaskular alveolus
akibat anoksia sel. DIC terjadi akibat penggunaan PRC tanpa plasma
dalam resusitasi selama syok perdarahan hipovolemik akibat koagulopati
dilusional (Sudoyo, 2006).

B. PERDARAHAN ANTEPARTUM
1. Definisi
Perdarahan

antepartum

adalah

perdarahan

pervaginam

pada

kehamilan diatas 28 minggu atau lebih. Karena perdarahan antepartum


terjadi pada umur kehamilan diatas 28 minggu maka sering disebut atau
digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.
2. Klasifikasi
a. Perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan
i)
Plasenta previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim demikian rupa, sehingga dapat menutupi sebagian atau
seluruh osteum uteri internum.
ii)

Solusi plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya


dengan

implantasi

normal

pada

kehamilan

trimester

ketiga.

Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan


darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan
gangguan penyulit terhadap ibu dan janin.
iii)

Perdarahan pada plasenta letak rendah

Plasenta rendah dimaksudkan bila pada pemeriksaan dalam jari tangan


yang dimasukkan dapat mencapai tepi bawah plasenta, perdarahan
pada plasenta letak rendah baru terjadi bila pembukaan mendekati
lengkap.
iv)

Pecahnya sinus marginalis

Pecahnya sinus marginalis merupakan perdarahan yang sebagian besar


baru dapat diketahui setelah persalinan. Pada waktu persalinan
perdarahan terjadi tanpa sakit dan menjelang pembukaan lengkap,

perlu diperkirakan kemungkinan perdarahan karena sinus marginalis


yang pecah.
v)

Perdarahan karena pecahnya vasa previa

Vasa previa adalah menyilangnya pembuluh darah plasenta yang


berasal dari insersio vilamentosa pada kanalis servikalis, dan agak
sukar untuk menegakkan diagnosa. Gejala klinik yang perlu
diperhatikan adalah ketuban pecah diikuti perdarahan dan terjadi
asfiksia janin dalam kandungan. Sikap yang harus dilakukan adalah
mengirim penderita kerumah sakit untuk persalinan dengan primer
seksio. (Manuaba, 1998)
b. Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan

i)
ii)
iii)
iv)

Pecahnya varices vagina


Perdarahan polip serviks
Perdarahan polip serviks
Perdarahan karena keganasan serviks

C. PLASENTA PREVIA
1. Definisi
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal, yaitu segmen bawah rahim sehingga menutupi seluruh
atau sebagian dari ostium uteri internum (Chalik, 2010).

Gambar 2.1. Plasenta Previa (John, 2006)


2. Klasifikasi

Didasarkan atas jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir


pada waktu tertentu:
a. Plasenta previa totalis, bila seluruh pembukaan tertutup oleh
jaringan plasenta.

Gambar 2.2. Plasenta previa totalis (John, 2006)


b. Plasenta previa lateralis, bila sebagian pembukaan tertutup oleh
jaringan plasenta.

Gambar 2.3. Plasenta previa lateralis (John, 2006)


10

c. Plasenta previa marginalis, bila pinggir plasenta berada tepat pada


pinggir pembukaan.

Gambar 2.4. Plasenta previa marginalis (John, 2006)


d. Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di
segmen bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi
pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta kira-kira 3 atau 4 cm diatas
pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan
jalan lahir.

A. Letak plasenta

normal

Plasenta letak

B.

rendah

Gambar 2.5.

Plasenta letak

rendah (John,

2006)
11

3. Etiologi
Beberapa faktor dan etiologi dari plasenta previa tidak diketahui.
Tetapi diduga hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas dari
vaskularisasi endometrium yang mungkin disebabkan oleh timbulnya
parut akibat trauma operasi/infeksi. Perdarahan berhubungan dengan
adanya perkembangan segmen bawah uterus pada trimester ketiga.
Plasenta yang melekat pada area ini akan rusak akibat ketidakmampuan
segmen bawah rahim. Kemudian perdarahan akan terjadi akibat
ketidakmampuan segmen bawah rahim untuk berkonstraksi secara adekuat
(Wardana dan Karkata, 2007).
4. Faktor Risiko
Faktor risiko plasenta previa termasuk (Wardana dan Karkata,
2007):
a. Riwayat plasenta previa sebelumnya
b. Riwayat seksio cesarea
c. Riwayat aborsi
d. Kehamilan ganda
e. Umur ibu yang telah lanjut, wanita lebih dari 35 tahun
f. Multiparitas
g. Adanya

gangguan

anatomis/tumor

pada

rahim,

sehingga

mempersempit permukaan bagi penempatan plasenta


h. Adanya jaringan rahim pada tempat yang bukan seharusnya.
Misalnya dari indung telur setelah kehamilan sebelumnya atau
endometriosis.
i. Adanya trauma selama kehamilan
j. Sosial ekonomi rendah/gizi buruk, patofisologi dimulai dari usia
kehamilan 30 minggu segmen bawah uterus akan terbentuk dan
mulai melebar serta menipis
k. Mendapat tindakan kuretase.

12

5. Patofisiologi
Implantasi plasenta diprakarsai (initiate) oleh embrio (embryonic
plate) menempel diuterus (cauda) bagian bawah. Dengan pertumbuhan
dan penambahan plasenta, perkembangan plasenta dapat menutupi mulut
rahim (cervical os). Bagaimanapun juga, diperkirakan bahwa suatu
vaskularisasi decidua (jaringan epitel endometrium) defective terjadi di
atas (over) serviks, mungkin ini sekunder terhadap inflamasi atau
perubahan atrofik. Sebagian plasenta yang sedang mengalami perubahan
atrofik dapat berlanjut sebagai vasa previa (Cunningham, 2005).
Sebagai penyebab penting perdarahan pada trimester ketiga,
plasenta previa memberikan gambaran sebagai perdarahan tanpa disetai
rasa nyeri (painless bleeding). Perdarahan ini dipercaya memiliki
hubungan dengan perkembangan segmen bawah rahim (the lower uterine
segmen) pada trimester ketiga. Tambahan (attachment) plasenta terganggu
(distrupted) karena daerah ini (segmen bawah rahim) menipis secara
bertahap dalam rangka persiapan untuk permulaan kelahiran (the onset of
labor). Saat ini berlangsung, maka perdarahan terjadi pada daerah
implantasi/nidasi darah dari pembuluh darah yang terbuka. Thrombin yang
dilepaskan dari area perdarahan memacu (promotes) kontraksi uterus dan
timbulnya lingkaran setan (vicious cycle) : perdarahan-kontraksipemisahan plasenta-perdarahan (Cunningham, 2005).
6. Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis plasenta previa secara tepat dan
akurat maka perlu dilakukan pemeriksaan yang komprehensif mulai dari
anamnesa

sampai

pemeriksaan

penunjang.

Hal-hal

yang

harus

diperhatikan dalam mendiagnosis plasenta previa (Wiknjosastro, 2007):


a. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya

13

perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada


pemeriksaan hematokrit.
b. Pemeriksaan luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul
presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas
panggul mengarah ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu
atas panggul.
c. Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan
berasal dari ostium uteri eksternum atau dari ostium uteri internum,
adanya plasenta previa harus dicurigai.
d. Penentuan letak plasenta tidak langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan
radiografi,

radioisotope,

dan

ultrasonografi.

Ultrasonografi

penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat,


tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak
menimbulkan rasa nyeri. Pemeriksaan ultrasonografi, dengan
pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak
tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 2 cm disebut plasenta
letak rendah.
e. Diagnosis plasenta previa secara definitif
Dilakukan dengan Pemeriksaan Dalam Meja Operasi (PDMO)
yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan
serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan
anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya
menentukan diagnosis.
Tabel 2.2. Perbandingan plasenta previa terhadap perdarahan antepartum
lain

14

(Wiknjosastro, 2007)
7. Tatalaksana
a. Terapi Ekspektatif
1) Tujuan supaya janin tidak lahir prematur, penderita dirawat tanpa
melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Syaratsyarat terapi ekspektatif :
a) Kehamilan

preterm

dengan perdarahan

sedikit

yang

kemudian berhenti
b) Belum ada tanda-tanda inpartu
c) Keadaan umum ibu cukup baik
d) Janin masih hidup
2) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
3) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi
plasenta
4) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
a) MgSO4 i.v dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6
jam
b) Nifedipin 3 x 10 mg perhari
c) Dexamethason 24 mg i.v untuk pematangan paru janin.

15

5) Pada terapi ekspektatif kita rawat pasien di rumah sakit sampai


berat anak 2500 gram atau kehamilan sudah sampai 37
minggu. Kalau kehamilan 37 minggu telah tercapai kehamilan
diakhiri (Wiknjosastro, 2007).
b. Terapi Aktif (Tindakan segera)
Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang
aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa
memandang maturitas janin.
Lakukan PDMO jika :
1) Infus I transfusi telah terpasang
2) Kehamilan > 37 minggu (berat badan > 2500 gram) dan inpartu
3) Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor,
seperti anesefali.
4) Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati
pintu atas panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar).
c. Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio
caesarea
1) Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin
meninggal atau tidak punya harapan untuk hidup, tindakan ini
tetap dilakukan. Tujuan seksio caesarea : persalinan dengan
segera sehingga uterus segera berkontraksi dan menghentikan
pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi robekan pada
serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
2) Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan
kondisi ibu (Oswari, 2005).
8. Komplikasi
Komplikasi pada plasenta previa dapat terjadi pada ibu maupun
janin (Manuaba, 2008):
a. Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan,
anemia karena perdarahan, dan endometritis pasca persalinan.

16

b. Pada janin biasanya terjadi persalinan prematur dan komplikasi


seperti asfiksia berat.
9. Prognosis
Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan
kecepatan perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu
dapat dihindari apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan
segera lakukan pembedahan seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih
burik oleh karena kelahiran yang prematur lebih banyak pada penderita
plasenta previa melalui proses persalinan spontan maupun melalui
tindakan penyelesaian persalinan. Namun perawatan yang intensif pada
neonatus sangat membantu mengurangi kematian perinatal (Cunningham
et al., 2005).
D. FETAL DISTRESS
1. Definisi
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat
gangguan oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat atau kronik
(Velayudhareddy dan Kirankumar, 2010).
2. Etiologi
Penyebab dari fetal distress diantaranya (Velayudhareddy dan
Kirankumar, 2010):
a. Ibu: hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun, penyakit
kardiovaskuler, anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi, asidosis
dan dehidrasi
b. Uterus: kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu lama,
degenerasi vaskuler
c. Plasenta: degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta
d. Tali pusat: kompresi tali pusat
e. Fetus: infeksi, malformasi dan lain-lain

17

3. Gejala
Gawat janin dapat terjadi: mendadak (akut) atau kronik. Kejadian
akut berkaitan dengan: kompresi tali pusat, solusio plasenta, vasa previa,
dan plasenta previa. Sedangkan kondisi kronik berkaitan dengan fungsi
plasenta yang menurun atau janin sendiri yang sakit (infeksi, kelainan
kromosom, postterm, preeklampsia). Gejala pada yang akut mungkin
mudah diketahui, namun pada kondisi kronik maka penolong harus
cermat.
Gawat janin kronik dapat terjadi pada preeklampsia, postterm,
pertumbuhan janin terhambat, anemia (misalnya: thalassemia), kelainan
jantung, perdarahan kronik (vasa previa), dan sebagainya.
Khusus mengenai pertumbuhan janin terhambat pengamatan serial
hendaknya dapat dilakukan secara rutin, misalnya dengan pemeriksaan
tinggi fundus atau pengukuran biometri serta jumlah cairan amnion.
Umumnya deteksi gawat janin dilakukan dengan pengukuran
denyut jantung baik secara fetoskop atau kardiotokografi. Namun terbukti
bahwa pengawasan kontinu hampir tak berbeda dengan pengawasan
intermiten.
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa
oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas
dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila
hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH
janin yang menurun (Wiknjosastro, 2007).
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat
janin.

Tetapi biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali

indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut
jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya variabilitas, atau
deselerasi lanjut) (Wiknjosastro, 2007).
4. Diagnosis
a. Pemantauan denyut jantung janin

18

Pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinu dalam


hubungan dengan kontraksi uterus memberikan suatu penilaian
kesehatan janin yang sangat membantu dalam persalinan. Indikasiindikasi kemungkinan gawat janin adalah (Wijayanegara, 2009):
i.
ii.

Bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit


Takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>
160) dapat dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder
terhadap terhadap infeksi intrauterin. Prematuritas dan atropin
juga dihubungkan dengan denyut

iii.

jantung dasar yang

meningkat.
Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti
depresi sistem saraf otonom janin oleh medikasi ibui (atropin,
skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesik

iv.

narkotik).
Pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin
yang disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental. Deselerasi
yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus
adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus.
Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi
lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang

menetap dan pola gelombang sinus.


b. Contoh darah janin memberikan informasi objektif tentang status asam
basa janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu
sensitif terhadapt perubahan-perubahan dalam denyut jantung janin
dimana gawat janin dapat diduga bahkan bila janin dalam keadaan
sehat dan hanya menber reaksi terhadap stess dari kontraksi uterus
selama persalianan. Contoh darah janin diindikasikan bila mana pola
denyut jantung janin abnormal atau kacau memerlukan penjelasan
(Wijayanegara, 2009).
c. Mekonium dalam cairan ketuban: arti dari mekoneum dalam cairan
ketuban adalah tidak pasti dan kontroversial sementara beberapa ahli
berpendapat bahwa pasase mekoneum intrauterun adalah suatu tanda
19

gawat janin dan kemungkinan kegawatan, yang lainya merasakan


bahwa adanya mekoneum tanpa kejadian asfiksia janin lainnya tidak
menunjukan bahaya janin. Tetapi, kombinasi asfiksia janin dan
mekoneum timbul untuk mempertinggi potensi asfirasi mekoneum dan
hasil neonatus yang buruk (Wijayanegara, 2009).
5. Tatalaksana
a. Prinsip-prinsip umum
i.
Bebaskan setiap kompresi tali pusat
ii. Perbaiki aliran darah uteroplasental
iii.
Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau
terminasi kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran
didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat
obstetri pasien, dan jalannya persalinan (Wijayanegara, 2009).
b. Langkah-langkah khusus :
i.
Posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring, sebagai
usaha untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan
aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posis juga dapat
ii.

membebaskan kompresi tali pusat.


Oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha meningkatkan

iii.

penggantian oksigen fetomaternal.


Oksitosin dihentikan karena kontraksi uterus akan mengganggu

iv.

sirkulasi darah keruang intervilli.


Hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL. Transfusi

v.

darah dapat diindikasikan pada syok hemorragik.


Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan
menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara

vi.

lembut dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.


Pengisapan mekoneum dari jalan nafasi bayi baru lahir
mengurangi resiko asfirasi mekoneum. Segera setelah kepala
bayi lahir, hidung dan mulut dibersikan dari mekoneum dengan
kateter penghisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus
dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk
menyingkirkan

mekoneum

(Wijayanegara, 2009).
20

dengan

pipa

endotrakeal

E. KEHAMILAN PRETERM
1. Definisi
Menurut WHO (2002) umur kehamilan dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu:
a. Preterm: kurang dari 37 minggu lengkap
b. Aterm: mulai dari 37 minggu sampai kurang dari 42 minggu
lengkap
c. Post term: 42 minggu lengkap atau lebih
Kehamilan preterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada
seorang wanita dengan usia kehamilan antara 20 minggu sampai 37
minggu, sedangkan persalinan preterm atau kurang bulan didefinisikan
sebagai masa kehamilan yang terjadi sesudah 20 minggu dan sebelum
genap 37 minggu. Persalinan yang terjadi di antara usia gestasi ini
didefinisikan sebagai persalinan kurang bulan (Prawirohardjo, 2014).
2. Etiologi
Sebagian kejadian yang menjadi predisposisi untuk persalinan
preterm (Prawirohardjo, 2014; Thaddeus et al., 2009):
a. Ruptura spontan selaput ketuban
Persalinan spontan yang jauh sebelum aterm umumnya didahului
oleh ruptura spontan selaput ketuban. Penyebab ruptura selaput
ketuban ini jarang diketahui, tetapi infeksi setempat semakin sering
terlibat dalam tahun-tahun belakangan ini.
b. Infeksi cairan ketuban
Meskipun insiden yang tepat bagi terjadinya persalinan preterm
tidak diketahui, terdapat semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa kemungkinan sepertiga dari kasus-kasus persalinan preterm
berkaitan dengan infeksi membran koriamnion. Kasus-kasus ini
mempunyai hubungan dengan ruptura preterm selaput ketuban di
samping dengan persalinan idiopatik.

21

c. Anomali hasil pembuahan


Malformasi janin atau plasenta bukan hanya merupakan faktor
predisposisi terjadinya retardasi pertumbuhan janin, tetapi juga
meningkatkan kemungkinan persalinan preterm.
d. Persalinan preterm sebelumnya atau abortus lanjut
Wanita yang pernah melahirkan jauh sebelum aterm, lebih besar
kemungkinan untuk mengalami hal yang sama sekalipun tidak
ditemukan faktor predisposisi lainnya.
e. Uterus yang overdistensi
Hidramnion, khususnya kalau bersifat akut atau mencolok, atau
keberadaan dua janin atau lebih, akan meningkatkan resiko
persalinan preterm yang mungkin disebabkan oleh overdistensi
uteri.
f. Kematian janin
Kematian janin yang terjadi sebelum aterm umumnya, tapi tidak
selalu diikuti oleh persalinan preterm spontan.
g. Inkompetensi serviks
Pada wanita dalam presentasi kecil dengan kehamilan yang jauh
dari aterm, serviks yang inkompeten dapat menipis dan berdilatasi
bukan sebagai akibat dari peningkatan aktivitas uterus, melainkan
akibat dari kelemahan intrinsik serviks.
h. Anomali uterus
Sangat jarang terjadi, anomali uterus ditemukan pada kasus-kasus
persalinan preterm.
i. Plasentasi yang salah
Solusio plasenta dan plasenta previa besar kemungkinan berkaitan
dengan persalinan preterm.
j. Retensio IUD
Kemungkinan persalinan preterm meningkat secara nyata kalau
kehamilan terjadi sementara pasien menggunakan alat kontrasepsi
dalam rahim (IUD).

22

k. Kelainan maternal yang serius


Penyakit sistemik pada ibu kalau berat dapat menyebabkan
persalinan preterm.
l. Induksi persalinan elektif
Perkiraan usia gestasional yang keliru dapat menyebabkan
kekhawatiran yang tidak semestinya mengenai kemungkinan
kehamilan posterm, atau menimbulkan desakan yang cukup besar
dari pasien agar melakukan tindakan. Induksi persalinan pada
sebagian kasus terutama dilakukan demi kenyamanan ibu namun
menggunakan oksitosin khusus.

3. Diagnosis
Diagnosis persalian kurang bulan harus didasarkan pada adanya
kontraksi rahim teratur pada kehamilan kurang bulan yang berkaitan
dengan perubahan serviks akibat dilatasi atau pembukaan (Prawirohardjo,
2014).
Pada umumnya seperti Inggris, Amerika juga Indonesia tidaklah
lazim untuk memeriksakan serviks pada kunjungan antenatal. Beberapa
peneliti melaporkan manfaat pemeriksaan tersebut untuk meramalkan
kemungkinan persalinan preterm. Papiernik menemukan untuk indikator
yang paling sensitif ialah servik yang pendek < 2 cm dan pembukaan
(tanda servik yang matang) mempunyai risiko relatif persalinan preterm
mencapai 3-4x. Meskipun masih terdapat kendala, yakni kuantifikasi
penilaian dan perbedaan antar pemeriksa (Prawirohardjo, 2014).
4. Pencegahan Persalinan Preterm
a. Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun)
b. Hindari jarak kehamilan terlalu dekat

23

c. Menggunakan

kesempatan

periksa

hamil

dan

memperoleh

pelayanan antenatal yang baik


d. Anjuran tidak merokok dan mengonsumsi obat-obatan terlarang
e.

Hindari kerja berat dan cukup istirahat

f. Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm


g. Kenali dan obati infeksi saluran kencing/genital
h. Deteksi dan pengamanan faktor risiko terhadap persalinan preterm
(Mochtar, 2009).
5. Kriteria Persalinan Preterm
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis persalinan
reterm:
a. Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2b.
c.
d.
e.

3 kali dalam 10 menit


Adanya nyeri pada punggung bawah
Perdarahan bercak
Perasaan menekan di daerah serviks
Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan

sedikitnya 2 cm dan penipisan 50-80%


f. Presentasi janin rendah, sudah mencapai spina isiadika
g. Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya
persalinan preterm
h. Terjadi pada usia kehamilam 22-37 minggu (Mochtar, 2009)
6. Penanganan
Tujuan utama adalah bagaimana mengetahui dan menghalangi
terjadinya

persalinan

premature

(Prawirohardjo,

2014).

Ketika

mendiagnosis persalinan kurang bulan, beberapa keputusan penanganan


perlu dilakukan tentang:
a. Umur kehamilan, karena lebih bisa dipercaya untuk penentuan

prognosis dari berat janin


b. Pemeriksaan dalam

24

Penilaian ini dilakukan bila tidak ada kontraindikasi seperti


plasenta previa. Penilaian awal harus dilakukan untuk memastikan
panjang dan dilatasi servikal serta kedudukan dan sifat dan bagian
yang berpresentasi.
c. Apakah ada demam atau tidak
d. Kondisi janin (jumlahnya, letaknya, presentasi, taksiran berat

badan janin, hidup/gawat janin/mati, kelainan kongenital dan


sebagainya dari USG).
e. Letak plasenta perlu diketahui untuk antisipasi seksio seksaria
f.

Fasilitas dan petugas yang mampu menangani calon bayi terutama


adanya seorang neonatologi
Pada pasien juga diperiksa untuk mencari ada tidaknya setiap

masalah yang mendasari yang dapat dikoreksi, misalnya infeksi saluran


kencing. Selama periode observasi hidrasi oral dan parental harus
dilakukan (Prawirohardjo, 2014).
Beberapa langkah yang dilakukan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas pada persalinan preterm adalah (Mochtar, 2009):
a. Mencegah proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik
Beberapa obat yang dapat digunakan sebagai tokolitik adalah:
i.

Kalsium antagonis: Nifedipin 10mg/oral dilanjutkan tiap 8

ii.
iii.

jam sampai kontraksi hilang.


Obat -mimetik: terbutalin, ritrodin, salbutamol
Sulfas magnesikus dan antiprostaglandin (indometasin):

jarang dipakai karena efek samping pada ibu dan janin


b. Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid
i.
Betametason 2 x 12 mg IM dengan jarak pemberian 24
ii.

jam
Dexamethason 4 x 6 mg IM dengan jarak pemberian 12

jam
c. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi
Antibiotik hanya diberikan bila kehamian mengandung risiko
terjadinya infeksi seperti pada kasus KPD. Obat yang diberikan
per oral, yaitu eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan

25

lain adalah ampisilin 3 x 500 g selama 3 hari atau dapat


memberikan antibiotik lain seperti klindamisin.
F. LETAK LINTANG
1. Definisi
Letak lintang merupakan keadaan dimana janin melintang dalam
uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong pada sisi
lainnya. Umumnya, bokong janin berada sedikit lebih tinggi dibandingkan
kepala dan bahu berada pada pintu atas panggul. punggung janin dapat
berada di depan (dorsoanterior), di belakang (dorsoposterior), di atas
(dorsosuperior), atau di bawah (dorsoinferior). (Prawirohardjo, 2014)
2. Etiologi
a. Multiparitas disertai dinding uterus dan abdomen yang lembek.
b. Kehamilan prematur
c. Hidramnion
d. Gemelli
e. Panggul sempit
f. Tumor di daerah panggul
g. Plasenta previa
h. Kelainan bentuk rahim, seperti uterus arkuatus dan uterus
subseptus
3. Diagnosis
Letak lintang dapat diduga dengan pemeriksaan fisik. Pada inspeksi
didapatkan uterus tampak lebih melebar dan fundus uteri lebih rendah
tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pada palpasi, fundus uteri dan atas
simfisis kosong, kepala janin berada di lateral, kecuali jika bahu sudah
turun ke panggul, denyut jantung janin ditemukan di sekitar umbilikus.
Jika bahu sudah turun ke panggul, pada pemeriksaan dapat teraba bahu
dan tulang iga. Arah menutup ketiak menunjukkan letak kepala janin.
Punggung ditentukan dengan terabanya skapula dan vertebra, sedangkan
dada ditentukan dengan terabanya klavikula. Terkadang dapat pula diraba
tali pusat menumbung.

26

4. Tata Laksana
Jika pada pemeriksaan antenatal ditemukan letak lintang, maka
diusahakan mengubah menjadi presentasi kepala dengan versi luar.
Dilakukan pula pemeriksaan ada tidaknya panggul sempit, tumor dalam
panggul, maupun plasenta previa, sebab dapat membahayakan janin dan
janin dapat memutar kembali. Untuk mencegah janin berputar kembali,
ibu dianjurkan untuk menggunakan korset serta dilakukan pemeriksaan
antenatal ulang untuk menilai letak janin.
Pada primigravida, jika versi luar tidak berhasil, maka dilakukan
seksio sesarea. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa bahu tidak dapat
melakukan

dilatasi

pada

serviks

dengan

baik,

sehingga

dapat

mengakibatkan kala I yang lama; dapat terjadi ketuban pecah dini dan
dapat berakibat pada prolapsus funikuli karena tidak adanya bagian besar
janin yang menahan tekanan intrauterin pada waktu his; dan versi ekstraksi
sulit dilakukan pada primigravida.
Pada multigravida, jika riwayat obstetri ibu baik, dapat ditunggu dan
diawasi hingga pembukaan serviks lengkap dan kemudian dilakukan versi
ekstraksi. Selama menunggu, ketuban diusahakan tetap utuh. Jika ketuban
pecah sebelum pembukaan lengkap, maka harus dilakukan seksio sesarea.
Versi ekstraksi juga dapat dilakukan pada kehamilan kembar apabila
setelah bayi pertama lahir, bayi kedua berada dalam keadaan lintang.
5. Prognosis
Letak lintang dapat diubah menjadi presentasi kepala, namun kelainan
yang menyebabkan letak lintang masih dapat menimbulkan kesulitan
persalinan. Persalinan lintang memberikan prognosis malam baik terhadap
ibu maupun janin. Faktor-faktor yang mengakibatkan kematian janin
antara lain ruptura uteri, tali pusat menumbung, dan trauma akibat versi
ekstraksi.

27

G. SEKSIO SESAREA
1. Definisi
Seksio sesarea merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding abdomen dan uterus. Indikasi untuk seksio sesarea
antara lain: disproporsi kepala panggul, gawat janin, plasenta previa,
riwayat seksio sesarea, kelainan letak, pre eklampsia dan hipertensi.
(Prawirohardjo, 2014)
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan seksio sesarea antara lain
seksio sesarea elektif, anestesia, transfusi darah, dan pemberian
antibiotika.
2. Teknik
a. Teknik seksio sesarea transperitonealis profunda
1. Pasien diletakkan dalam posisi trendelenburg ringan dan dipasang
dauercatheter.
2. Dilakukan insisi dinding perut pada garis tengah dari simfisis
sampai beberapa sentimeter dibawah umbilikus hingga peritoneum
terbuka.
3. Dipasang spekulum perut dan lapangan operasi dipisahkan dari
rongga perut dengan satu atau lebih kain kasa panjang.
4. Peritoneum dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan
pinset, plika vesikouterina dibuka dan insisi diteruskan melintang
jauh ke lateral, lalu vesika urinaria dengan peritoneum depan
uterus didorong ke bawah dengan jari
5. Padah segmen bawah uterus yang sudah tidak tertutup peritoneum
dan vesika urinaria yang sudah menipis diadakan insisi melintang
selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke
atas untuk menghindari terbukanya cabang arteria uterina.
6. Posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan ligamentum
rotunda dekstra dan sinistra.

28

7. Insisi diteruskan sampai dinding uterus terbuka dan ketuban


nampak, lalu insisi dilebarkan dengan gunting berujung tumpul
mengikuti sayatan yang telah dibuat sebelumnya.
8. Ketuban dipecahkan dan air ketuban dihisap
9. Spekulum perut diangkat dan tangan dimasukkan ke dalam uterus di
belakang kepala janin dengan memegang kepala dari belakang,
diusahakan lahirnya kepala melalui lubang insisi.
10. Jika sulit melahirkan kepala janin dengan tangan, dapat dipasang
cunam Boerma.
11. Sesudah kepala, badan janin dilahirkan, muka dan mulut dibersihkan,
tali pusat dipotong.
12. Pada presentasi sungsang atau letak lintang, kaki janin dicari dan janin
dilahirkan dengan menarik kaki.
13. Diberikan injeksi oksitosin 10 IU dalam dinding uterus atau IV untuk
mengusahakan kontraksi yang baik
14. Pinggir luka insisi dipegang dengan cunam ovum, plasenta dan selaput
ketuban dikeluarkan secara manual.
15. Tampon dimasukkan ke dalam uterus untuk memudahkan jahitan luka
uterus, lalu tampon diangkat sebelum luka ditutup seluruhnya.
16. Jahitan otot dilakukan dalam dua lapisan. Lapisan pertama terdiri atas
jahitan simpul dan laipsan kedua terdiri atas jahitan menerus
17. Amati kontaksi uterus
18. Tutup dinding perut

b. Teknik seksio sesarea korporal


1. Dinding perut dan peritoneum parietale dibuka pada garis tengah dan
dipasang beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan uterus untuk
mencegah masuknya air ketuban ke dalam rongga perut.
2. Insisi pada bagian tengah korpus uteri selebar 10 12 cm dengan ujung
3.
4.
5.
6.

bawah diatas plika vesikouterina


Dibuat lubang kecil pada kantong ketuban dan air ketuban dihisap.
Lubang dilebarkan
Janin dilahirkan dengan menarik kaki janin.
Setelah janin lahir, korpus uteri dapat dikeluarkan untuk memudahkan
tindakan selanjutnya.

29

7. Injeksi oksitosin 10 IU dalam dinding uterus atau IV, plasenta dan selaput
ketuban dikeluarkan secara manual.
8. Dinding uterus dijahit dalam dua lapisan, yaitu jahitan simpul dan jahitan
menerus
9. Dinding perut ditutup
3. Komplikasi
a. Pada ibu
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas antara lain
plasenta previa, perdarahan masive, infeksi postoperatif.1
Komplikasi yang dapat timbul antara lain1:
1.
2.
3.
4.

Infeksi puerperal
Perdarahan
Komplikasi lain seperti luka vesika urinaria, embolisme pulmo
Ruptura uteri pada kehamilan berikutnya akibat kurang kuatnya parut
pada dinding uterus

b. Pada anak
Dapat terjadi kematian perinatal pasca seksio sesarea yang berkisar
antara 4 7 %.

BAB III
ANALISA KASUS

30

Pasien merupakan G1P0A0, usia 24 tahun, UK: 33+5 minggu


datang rujukan dari RSUD Sukoharjo dengan keterangan APH plasenta letak
rendah. Pasien mengeluh keluar darah secara tiba-tiba dari jalan lahir 3 jam
SMRS. Darah yang keluar berwarna merah segar, tidak disertai mrongkol
mrongkol, tidak ada jaringan seperti gajih yang keluar, dan perdarahan kira kira
1 gelas belimbing. Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri perut saat terjadinya
perdarahan dan tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien mengaku sudah
merasakan adanya kenceng kenceng yang teratur, air kawah sudah dirasakan
keluar, dan gerakan janin dirasakan berkurang. Berdasarkan anamnesis ini, kita
dapat mengetahui bahwa pasien mengalami perdarahan anterpartum yang
kemungkinan besar disebabkan adanya plasenta previa yang ditandai adanya
perdarahan segar secara tiba-tiba tanpa disertai nyeri dan riwayat trauma
sebelumnya. Hal ini juga didukung dengan adanya riwayat perdarahan pada usia 7
bulan sebanyak 2x dengan keluhan yang serupa. Perdarahan pada usia ini dikenal
dengan istilah Initial Bleeding yang merupakan salah satu tanda khas terjadinya
plasenta previa. Faktor risiko yang mungkin berperan pada terjadinya plasenta
previa pada pasien ini adalah kebiasaan diet pasien sebelum dan selama hamil
yang cenderung memilih-milih makanan sehingga dimungkinkan terdapat
defisiensi nutrisi. Kondisi ini juga didukung oleh usia kehamilan 33+5 minggu di
mana segmen bawah rahim sudah terbentuk sehingga bisa terjadi kontraksi kapan
saja. Namun pada usia kehamilan ini, kondisi janin masih preterm sehingga
apabila terpaksa terjadi persalinan, kemungkinan risiko mengalami penyulit di
kemudian hari semakin meningkat. Hal ini ditambah dengan kondisi paru paru
janin yang masih belum matang. Sehingga pada pasien ini diberikan injeksi
dexamethasone 2 gr untuk mematangkan paru-paru janin.
Pasien mengatakan bahwa gerak janin masih dirasakan berkurang saat
pertama kali terjadi perdarahan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi janin
mungkin mulai terpengaruh dengan keadaan ibu. Pada pukul 00.15 pasien dirujuk
ke RSDM karena kondisi pasien semakin memburuk. Berdasarkan keterangan dari
bidan yang mengantar, perdarahan yang dialami pasien sebanyak 1000 cc dan

31

pasien mengalami syok hipovolemik. Kemudian selama di RSUD Kabupaten


Sukoharjo sudah mendapatkan penanganan berupa : infus 2 jalur, injeksi asam
tranexamat 1 ampul, dan tranfusi 2 kolf PRC. Tatalaksana yang dilakukan di
RSUD Kabupaten Sukoharjo sudah sesuai dengan protap yang ada. Hal ini
ditandai dengan adanya usaha untuk menghentikan perdarahan aktif yang masih
berlangsung dan upaya penggantian volume darah yang hilang sehingga syok
dapat teratasi.
Hasil pemeriksaan fisik pada saat pasien tiba di RSDM didapatkan pasien
tampak sakit sedang dan compos mentis dengan tekanan darah 100/70 mmHg,
nadi 122 x/menit, konjungtiva anemis (+/+), abdomen supel, nyeri tekan (-),
teraba janin tunggal, intrauterine, melintang, kepala di kanan, punggung di atas,
his (+) 3x/10/40, DJJ (+) 57x per menit irreguler. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik awal didapatkan tanda tanda pre syok pada pasien dan adanya
anemia yang berat. Kedua kondisi ini dapat disebabkan oleh perdarahan akibat
plasenta previa dan usaha untuk menghentikan perdarahan yang belum berhasil.
Kondisi janin sudah mulai terpengaruh oleh kondisi ibu yang ditandai dengan DJJ
yang lemah dan irreguler. Hal ini diakibatkan oleh berkurangnya suplai oksigen
dari ibu ke janin karena berkurangnya volume darah dan kandungan hemoglobin
yang berfungsi mengikat oksigen. Pada pasien juga sudah mulai muncul kontraksi
yang lebih sering. Hal ini disebabkan oleh rangsangan thrombin yang dikeluarkan
saat perdarahan akan memicu munculnya kontraksi. Kontraksi yang terjadi ini
lama kelamaan akan menyebabkan plasenta yang teregang semakin banyak dan
perdarahan yang terjadi semakin banyak pula.
Pada pemeriksaan VT didapatkan V/U tenang, dinding vagina dbn, portio
livid, tampak OUE terbuka disertai adanya jaringan menyerupai plasenta, air
ketuban (+), STLD (+). Pada kasus plasenta previa, tindakan pemeriksaan dalam
bukan merupakan cara yang umum dilakukan. Hal ini dikarenakan pada kasus
plasenta previa, terutama yang totalis seperti pada kasus ini, cara terminasi
kehamilan yang digunakan adalah per abdominal. Selain itu, pemeriksaan dalam

32

umumnya menyebabkan rangsangan pada servik yang bisa menyebabkan


terjadinya his yang semakin kuat.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien saat pertama kali
datang adalah pemeriksaan USG dan pemeriksaan laboratorium darah. Hasil USG
tampak janin tunggal, intrauterine, melintang (kepala di kanan, punggung di atas),
DJJ (+) 60x/menit dengan fetal biometri: BPD= 7.11, FL= 6.55, AC= 25.80,
EFW= 1692 gram. Plasenta insersi di SBR menutupi OUI. Air ketuban kesan
cukup. Tak tampak kelainan congenital mayor. Hasil ini menyokong gambaran
plasenta previa totalis dengan fetal bradikardia. Berdasarkan hasil USG tersebut,
terminasi harus dilakukan secara perabdominal karena seluruh OUI tertutup oleh
insersi plasenta. Hasil USG juga menunjukkan bahwa janin sudah mulai
mengalami fetal distress akibat pre syok.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan terdapat penurunan Hb
yaitu 7,7 g/dL, penurunan eritrosit sebesar 2.58 x 106 juta/ul, dan peningkatan
leukosit sebesar 29.5 x 103/ul. Penurunan Hb dan eritrosit yang cukup besar ini
merupakan salah satu indikasi untuk dilakukannya transfusi darah sehingga
kebutuhan oksigen baik untuk ibu dan janin dapat tercukupi. Angka leukosit yang
meningkat dapat pula diakibatkan oleh berkurangnya volume darah sehingga
jumlah leukosit tampak menjadi lebih banyak. Namun hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya infeksi yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, pada
pasien ini diberikan terapi antibiotik sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut.
Pasien kemudian dilakukan terminasi kehamilan dengan SCTP em untuk
menyelamatkan ibu dan bayi yang sudah mulai mengalami fetal distress. Bayi
yang lahir berjenis kelamin perempuan dengan BB: 1900 gr dan intrapartum fetal
death. Bayi tersebut akhirnya meninggal karena gangguan pernafasan. Setelah
operasi dilakukan pengawasan terhadap keadaan umum dan vital sign pasien,
pasien dipuasakan hingga peristaltic usus kembali normal, cek darah rutin post
operasi (Hb = 11.0 g/dl, leukosit = 26.0 ribu/ul, eritrosit = 2.68 juta/ul), injeksi
ceftriaxon 2 gram/24 jam, injeksi metronidazol 500 mg/ 8 jam, injeksi ketorolac 1

33

gram/ 8 jam, injeksi asam tranexamat 500 mg/ 8 jam, dan rawat inap di HCU.
Selanjutnya pasien dipindah ke bangsal pada tanggal 13 November 2015, dan
masih diberikan obat-obatan berupa injeksi ceftriaxon 2 gr/ 24 jam, injeksi
metronidazol 500 mg/ 8 jam, injeksi ketorolac 1 ampul/ 8jam, injeksi asam
tranexamat 500 mg/ 8 jam, dan crypsa 3x1. Kemudian pada tanggal 14 November
2015, obat pasien diganti obat oral berupa cefadroxil 2 x 500 mg, metronidazol 2
x 500 mg, asam mefenamat 3 x 500 mg, vitamin C 2 x 500 mg.

DAFTAR PUSTAKA

34

Adelaja LM, Taiwo OO. Maternal and fetal outcome of obstetri emergencies in a
tertiary health institution in South Western Nigeria. ISRN Obstet
Gynecol. 2011:14.Anderson JM, Etches D (2007). Prevention and
management of postpartum hemorrhage. American Family Physician
Volume 75, Number 6.
B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum
Hemorrhage 1st Published. UK: Sapiens Publishing, pp: 287-98.
Breathnach F, Geary M (2009). Uterine atony: definition, prevention, nonsurgical
management, and uterine tamponade. Semin Perinatol Apr; 33(2):82-7.
Chalik TMA (2009). Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Chalik TMA (2010). Plasenta previa. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi
Ed I. Jakarta: Widya Medika, pp: 129-43.
Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, and Spong CY
(2005). Obstetrical hemorrhage. In: Williams Obstetrics 23th Edition.
USA: The McGraw-Hil Companies.
Febrianto HN (2007). Perdarahan Pasca Persalinan. Palembang: Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Giordani R, Cacciatore A, Cignini P, Vigna R, Romano M (2010). Antepartum
hemorrhage. Prenat Med. 4(1): 1216.
Guyton CA , Hall EJ. Syok sirkulasi dan fisiologi pengobatannya. Dalam:
Fisiologi Kedokteran Textbook of Medical Physiology. Edisi 11. Jakarta:
EGC. Hal:359-371
Hofmeyr GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem MA (2008). Uterine massage for
preventing postpartum haemorrhage. The Cochrane Library, Issue 3.

35

Hofmeyr GJ, Walraven G, Gulmezoglu AM, Maholwana B, Alfirevic Z, Villar J


(2005). Misoprostol to treat postpartum haemorrhage: a systematic review.
BJOG;112:54753.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/158_05Faktorrisik
oplasentaprevia.pdf/ 158_05Fakto rrisikoplasentaprevia.html [Diakses 16
Oktober 2015].
JNPK-KR (2008). Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Jaringan
Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi.
John YO (2006). Types of Placenta Previa. Scientific Figure on Research Gate.
Available from: http://www.researchgate.net/figure/7197992_fig6_Figure1-Types-of-placenta-previa.-Illustration-John-Yanson.Oyelese.-PlacentaPrevia [Diakses Oct 18, 2015]
Koh E, Devendra K, Tan L K (2009). B-Lynch suture for the treatment of uterine
atony. Singapore Med Journal; 50(7) : 693
Manuaba IBG, IA Chandranita Manuaba, IBG Fajar Manuaba (2007). Pengantar
Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Mochtar AB (2009). Persalinan preterm. Dalam: Prawirohardjo S., Winkjosastro
H., Saifudin A B., Rachimhadi T., (eds). Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Montufar-Rueda C, Rodriguez l, Jarquin JD, Barboza A, Bustillo MC, Marin F,
Ortiz G and Estrada F (2013). Severe postpartum hemorrhage from uterine
atony: a multicentric study. Journal of Pregnancy. Volume 2013.
Nelson GS, Birch C (2006). Compression for uterine atony and hemorrhage
following cesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet; 92:248250.
Oswari (2005). Bedah dan Perawatannya Edsi Ke-4, Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

36

Pengurus Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (2006). Perdarahan


antepartum. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi Bag.I.
Jakarta.
Prawirohardjo S dan Wiknjosastro (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka FK UI.
Price AS, Wilso ML (2006). Gangguan volume, osmolalitas, dan elektrolit cairan.
Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6 Vol.1.
Jakarta: EGC. Hal:328-373
Rachimhadi T, Wibowa B (2005). Perdarahan antepartum. Dalam: Prawirohardjo
S., Winkjosastro H., Saifudin A B., Rachimhadi T., (eds). Ilmu Kebidanan
Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
pp:362-76.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) (2005). Placenta
praevia and placenta praevia accreta: diagnosis and management.
Guideline, No. 27. London: RCOG.
Sibuea, W H, Panggabean MM, dan Gultom SP (2005). Ilmu Penyakit Dalam.
Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Sjamsuhidajat, R, Jong de Wim (2005). Syok. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal:118-124
Sudoyo WA (2006). Syok hipovolemik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV
Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. Hal:183-184
Sziller I., Hupuczi P., dan Papp Z. (2007). Hypogastric artery ligation for severe
hemorrhage in obstetric patients. Journal of Perinatal Medicine, Vol. 35,
No. 3, pp. 187-19.
Tanjung MT (2009). Syok dalam kebidanan. Dalam: Prawirohardjo S.,
Winkjosastro H., Saifudin A B., Rachimhadi T., (eds). Ilmu Kebidanan
Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
37

Velayudhareddy S. and H Kirankumar (2010). Management of foetal asphyxia by


intrauterine foetal resuscitation. Indian J Anaesth. 54(5): 394399.
Wardana GA, Karkata MK (2007). Faktor risiko plasenta revia. Cermin Dunia
Kedokteran 34: 229-32. Available From:
WHO (2012). WHO recommendations for the prevention and treatment of
postpartum haemorrhage.
Wijayanegara H (2009). Gawat janin dalam persalinan. Dalam: Prawirohardjo S.,
Winkjosastro H., Saifudin A B., Rachimhadi T., (eds). Ilmu Kebidanan
Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Winkjsosastro, Hanifa dkk (2007). Perdarahan antepartum. Sinopsis Obstetri,
Edisi 1. Jakarta: EGC.

38

Das könnte Ihnen auch gefallen