Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
ABSTRAK
Latar Belakang: Kasus gawat darurat obstetri apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Dari sisi
obstetri empat penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir ialah 1)
perdarahan; 2) infeksi dan sepsis; 3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; 4)
distosia. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus yang dihadapi
dapat berakibat fatal.
Metode: Observasi analitik pada seorang wanita 24 tahun G1P0A0 dengan
perdarahan yang keluar dari jalan lahir berwarna merah segar. Kenceng-kenceng
teratur sudah dirasakan. Air kawah sudah dirasakan keluar. Gerakan janin
dirasakan berkurang. Dari pemeriksaan fisik didapati keadaan umum pasien
lemah, mengarah ke syok. Dari hasil USG, tampak janin tunggal intrauterine,
melintang (kepala di kanan, punggung di atas), DJJ (+) 57x/menit; tampak
placenta menutupi OUI.
Hasil: Prinsip penanganan pada pasien ini yang pertama adalah memperbaiki
keadaan umum pasien terlebih dahulu. Setelah itu segera melakukan prosedur
seksio caesaria emergency karena adanya plasenta previa totalis untuk
mengurangi resiko pada ibu maupun janin.
Kesimpulan: Seorang wanita 24 tahun G1P0A0 dengan syok hipovolemik, fetal
distress, perdarahan antepartum et causa plasenta previa totalis dan letak lintang
pada primigravida hamil preterm.
Kata Kunci: gawat darurat obstetri, syok hipovolemik, seksio caesari
BAB I
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator suatu negara
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dewasa ini
masih tinggi di Indonesia bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003 AKI
adalah 307 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat dua ibu meninggal dunia oleh
sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2005).
Sementara tahun 2007 sampai sekarang AKI adalah 262 per 100.000 kelahiran
hidup (Santoso, 2007). Kegawatdaruratan obstetri bertanggung jawab pada 70,6%
kematian ibu dan 86% kematian perinatal (Adelaja dan Taiwo, 2011).
Kasus gawatdarurat obstetri apabila tidak segera ditangani akan berakibat
kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Dari sisi obstetri empat
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir ialah 1) perdarahan; 2)
infeksi dan sepsis; 3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; 4) distosia.
Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus yang dihadapi dapat
berakibat fatal (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SYOK HIPOVOLEMIK
1. Definisi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi
akibat perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah (Sudoyo,
2006).
2. Etiologi
Syok hipovolemik dalam kehamilan biasa diakibatkan oleh
perdarahan yang banyak. Akibat kehamilan muda, misalnya abortus,
kehamilan ektopik dan penyakit trofoblas (mola hidatidosa); perdarahan
antepartum misalnya plasenta previa, solution plasenta, rupture uteri dan
perdarahan pascapersalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan lahir
(Tanjung, 2009).
3. Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah
rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang
menimbulkan penurunan curah jantung. Keadaan syok akan melalui tiga
tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat ditangani oleh tubuh),
dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel
(tidak dapat pulih) (Sudoyo, 2006).
a. Tahap kompensasi
Adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi
normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap
awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan
darah normal, gelisah,dan pengisian pembuluh darah yang lama.
denyut
jantung.
Mekanisme
pertahanan
tubuh
akan
Jumlah Perdarahan
15% (Ringan)
II
20-25% (sedang)
Gejala Klinik
Tekana darah dan nadi normal
Tes Tilt (+)
Takikardi-Takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler lambat
Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah
III
30-35% (Berat)
Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
Hipertensi berat
IV
(Tanjung, 2009)
5. Tatalaksana
Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan adalah (Tanjung,
2009):
a. Cari dan hentikan segera sumber perdarahan.
b. Bersihkan saluran nafas dan beri oksigen atau pasang selang
endotrakheal.
c. Naikkan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah ke sirkulasi
sentral.
d. Pasang 2 set infus atau lebih untuk transfusi, cairan infus dan obatobat IV bagi pasien yang syok.
e. Kembalikan volume darah dengan:
i.
Darah segar (whole blood) dengan cross matched dari grup
ii.
yang sama
Larutan kristaloid: ringer laktat, larutan garam fisiologis
atau glukosa 5%. Larutan ini mempunyai waktu paruh yang
iii.
ii.
iii.
iv.
intravaskuler
diseminata,
dan
gagal
multiorgan
yang
menyebabkan kematian.
Hipovolemia dianggap menimbulkan cedera vaskular alveolus
akibat anoksia sel. DIC terjadi akibat penggunaan PRC tanpa plasma
dalam resusitasi selama syok perdarahan hipovolemik akibat koagulopati
dilusional (Sudoyo, 2006).
B. PERDARAHAN ANTEPARTUM
1. Definisi
Perdarahan
antepartum
adalah
perdarahan
pervaginam
pada
Solusi plasenta
implantasi
normal
pada
kehamilan
trimester
ketiga.
i)
ii)
iii)
iv)
C. PLASENTA PREVIA
1. Definisi
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal, yaitu segmen bawah rahim sehingga menutupi seluruh
atau sebagian dari ostium uteri internum (Chalik, 2010).
A. Letak plasenta
normal
Plasenta letak
B.
rendah
Gambar 2.5.
Plasenta letak
rendah (John,
2006)
11
3. Etiologi
Beberapa faktor dan etiologi dari plasenta previa tidak diketahui.
Tetapi diduga hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas dari
vaskularisasi endometrium yang mungkin disebabkan oleh timbulnya
parut akibat trauma operasi/infeksi. Perdarahan berhubungan dengan
adanya perkembangan segmen bawah uterus pada trimester ketiga.
Plasenta yang melekat pada area ini akan rusak akibat ketidakmampuan
segmen bawah rahim. Kemudian perdarahan akan terjadi akibat
ketidakmampuan segmen bawah rahim untuk berkonstraksi secara adekuat
(Wardana dan Karkata, 2007).
4. Faktor Risiko
Faktor risiko plasenta previa termasuk (Wardana dan Karkata,
2007):
a. Riwayat plasenta previa sebelumnya
b. Riwayat seksio cesarea
c. Riwayat aborsi
d. Kehamilan ganda
e. Umur ibu yang telah lanjut, wanita lebih dari 35 tahun
f. Multiparitas
g. Adanya
gangguan
anatomis/tumor
pada
rahim,
sehingga
12
5. Patofisiologi
Implantasi plasenta diprakarsai (initiate) oleh embrio (embryonic
plate) menempel diuterus (cauda) bagian bawah. Dengan pertumbuhan
dan penambahan plasenta, perkembangan plasenta dapat menutupi mulut
rahim (cervical os). Bagaimanapun juga, diperkirakan bahwa suatu
vaskularisasi decidua (jaringan epitel endometrium) defective terjadi di
atas (over) serviks, mungkin ini sekunder terhadap inflamasi atau
perubahan atrofik. Sebagian plasenta yang sedang mengalami perubahan
atrofik dapat berlanjut sebagai vasa previa (Cunningham, 2005).
Sebagai penyebab penting perdarahan pada trimester ketiga,
plasenta previa memberikan gambaran sebagai perdarahan tanpa disetai
rasa nyeri (painless bleeding). Perdarahan ini dipercaya memiliki
hubungan dengan perkembangan segmen bawah rahim (the lower uterine
segmen) pada trimester ketiga. Tambahan (attachment) plasenta terganggu
(distrupted) karena daerah ini (segmen bawah rahim) menipis secara
bertahap dalam rangka persiapan untuk permulaan kelahiran (the onset of
labor). Saat ini berlangsung, maka perdarahan terjadi pada daerah
implantasi/nidasi darah dari pembuluh darah yang terbuka. Thrombin yang
dilepaskan dari area perdarahan memacu (promotes) kontraksi uterus dan
timbulnya lingkaran setan (vicious cycle) : perdarahan-kontraksipemisahan plasenta-perdarahan (Cunningham, 2005).
6. Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis plasenta previa secara tepat dan
akurat maka perlu dilakukan pemeriksaan yang komprehensif mulai dari
anamnesa
sampai
pemeriksaan
penunjang.
Hal-hal
yang
harus
13
radioisotope,
dan
ultrasonografi.
Ultrasonografi
14
(Wiknjosastro, 2007)
7. Tatalaksana
a. Terapi Ekspektatif
1) Tujuan supaya janin tidak lahir prematur, penderita dirawat tanpa
melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Syaratsyarat terapi ekspektatif :
a) Kehamilan
preterm
dengan perdarahan
sedikit
yang
kemudian berhenti
b) Belum ada tanda-tanda inpartu
c) Keadaan umum ibu cukup baik
d) Janin masih hidup
2) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
3) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi
plasenta
4) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
a) MgSO4 i.v dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6
jam
b) Nifedipin 3 x 10 mg perhari
c) Dexamethason 24 mg i.v untuk pematangan paru janin.
15
16
17
3. Gejala
Gawat janin dapat terjadi: mendadak (akut) atau kronik. Kejadian
akut berkaitan dengan: kompresi tali pusat, solusio plasenta, vasa previa,
dan plasenta previa. Sedangkan kondisi kronik berkaitan dengan fungsi
plasenta yang menurun atau janin sendiri yang sakit (infeksi, kelainan
kromosom, postterm, preeklampsia). Gejala pada yang akut mungkin
mudah diketahui, namun pada kondisi kronik maka penolong harus
cermat.
Gawat janin kronik dapat terjadi pada preeklampsia, postterm,
pertumbuhan janin terhambat, anemia (misalnya: thalassemia), kelainan
jantung, perdarahan kronik (vasa previa), dan sebagainya.
Khusus mengenai pertumbuhan janin terhambat pengamatan serial
hendaknya dapat dilakukan secara rutin, misalnya dengan pemeriksaan
tinggi fundus atau pengukuran biometri serta jumlah cairan amnion.
Umumnya deteksi gawat janin dilakukan dengan pengukuran
denyut jantung baik secara fetoskop atau kardiotokografi. Namun terbukti
bahwa pengawasan kontinu hampir tak berbeda dengan pengawasan
intermiten.
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa
oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas
dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila
hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH
janin yang menurun (Wiknjosastro, 2007).
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat
janin.
indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut
jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya variabilitas, atau
deselerasi lanjut) (Wiknjosastro, 2007).
4. Diagnosis
a. Pemantauan denyut jantung janin
18
iii.
meningkat.
Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti
depresi sistem saraf otonom janin oleh medikasi ibui (atropin,
skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesik
iv.
narkotik).
Pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin
yang disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental. Deselerasi
yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus
adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus.
Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi
lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang
iii.
iv.
v.
vi.
mekoneum
(Wijayanegara, 2009).
20
dengan
pipa
endotrakeal
E. KEHAMILAN PRETERM
1. Definisi
Menurut WHO (2002) umur kehamilan dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu:
a. Preterm: kurang dari 37 minggu lengkap
b. Aterm: mulai dari 37 minggu sampai kurang dari 42 minggu
lengkap
c. Post term: 42 minggu lengkap atau lebih
Kehamilan preterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada
seorang wanita dengan usia kehamilan antara 20 minggu sampai 37
minggu, sedangkan persalinan preterm atau kurang bulan didefinisikan
sebagai masa kehamilan yang terjadi sesudah 20 minggu dan sebelum
genap 37 minggu. Persalinan yang terjadi di antara usia gestasi ini
didefinisikan sebagai persalinan kurang bulan (Prawirohardjo, 2014).
2. Etiologi
Sebagian kejadian yang menjadi predisposisi untuk persalinan
preterm (Prawirohardjo, 2014; Thaddeus et al., 2009):
a. Ruptura spontan selaput ketuban
Persalinan spontan yang jauh sebelum aterm umumnya didahului
oleh ruptura spontan selaput ketuban. Penyebab ruptura selaput
ketuban ini jarang diketahui, tetapi infeksi setempat semakin sering
terlibat dalam tahun-tahun belakangan ini.
b. Infeksi cairan ketuban
Meskipun insiden yang tepat bagi terjadinya persalinan preterm
tidak diketahui, terdapat semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa kemungkinan sepertiga dari kasus-kasus persalinan preterm
berkaitan dengan infeksi membran koriamnion. Kasus-kasus ini
mempunyai hubungan dengan ruptura preterm selaput ketuban di
samping dengan persalinan idiopatik.
21
22
3. Diagnosis
Diagnosis persalian kurang bulan harus didasarkan pada adanya
kontraksi rahim teratur pada kehamilan kurang bulan yang berkaitan
dengan perubahan serviks akibat dilatasi atau pembukaan (Prawirohardjo,
2014).
Pada umumnya seperti Inggris, Amerika juga Indonesia tidaklah
lazim untuk memeriksakan serviks pada kunjungan antenatal. Beberapa
peneliti melaporkan manfaat pemeriksaan tersebut untuk meramalkan
kemungkinan persalinan preterm. Papiernik menemukan untuk indikator
yang paling sensitif ialah servik yang pendek < 2 cm dan pembukaan
(tanda servik yang matang) mempunyai risiko relatif persalinan preterm
mencapai 3-4x. Meskipun masih terdapat kendala, yakni kuantifikasi
penilaian dan perbedaan antar pemeriksa (Prawirohardjo, 2014).
4. Pencegahan Persalinan Preterm
a. Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun)
b. Hindari jarak kehamilan terlalu dekat
23
c. Menggunakan
kesempatan
periksa
hamil
dan
memperoleh
persalinan
premature
(Prawirohardjo,
2014).
Ketika
24
ii.
iii.
jam
Dexamethason 4 x 6 mg IM dengan jarak pemberian 12
jam
c. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi
Antibiotik hanya diberikan bila kehamian mengandung risiko
terjadinya infeksi seperti pada kasus KPD. Obat yang diberikan
per oral, yaitu eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan
25
26
4. Tata Laksana
Jika pada pemeriksaan antenatal ditemukan letak lintang, maka
diusahakan mengubah menjadi presentasi kepala dengan versi luar.
Dilakukan pula pemeriksaan ada tidaknya panggul sempit, tumor dalam
panggul, maupun plasenta previa, sebab dapat membahayakan janin dan
janin dapat memutar kembali. Untuk mencegah janin berputar kembali,
ibu dianjurkan untuk menggunakan korset serta dilakukan pemeriksaan
antenatal ulang untuk menilai letak janin.
Pada primigravida, jika versi luar tidak berhasil, maka dilakukan
seksio sesarea. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa bahu tidak dapat
melakukan
dilatasi
pada
serviks
dengan
baik,
sehingga
dapat
mengakibatkan kala I yang lama; dapat terjadi ketuban pecah dini dan
dapat berakibat pada prolapsus funikuli karena tidak adanya bagian besar
janin yang menahan tekanan intrauterin pada waktu his; dan versi ekstraksi
sulit dilakukan pada primigravida.
Pada multigravida, jika riwayat obstetri ibu baik, dapat ditunggu dan
diawasi hingga pembukaan serviks lengkap dan kemudian dilakukan versi
ekstraksi. Selama menunggu, ketuban diusahakan tetap utuh. Jika ketuban
pecah sebelum pembukaan lengkap, maka harus dilakukan seksio sesarea.
Versi ekstraksi juga dapat dilakukan pada kehamilan kembar apabila
setelah bayi pertama lahir, bayi kedua berada dalam keadaan lintang.
5. Prognosis
Letak lintang dapat diubah menjadi presentasi kepala, namun kelainan
yang menyebabkan letak lintang masih dapat menimbulkan kesulitan
persalinan. Persalinan lintang memberikan prognosis malam baik terhadap
ibu maupun janin. Faktor-faktor yang mengakibatkan kematian janin
antara lain ruptura uteri, tali pusat menumbung, dan trauma akibat versi
ekstraksi.
27
G. SEKSIO SESAREA
1. Definisi
Seksio sesarea merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding abdomen dan uterus. Indikasi untuk seksio sesarea
antara lain: disproporsi kepala panggul, gawat janin, plasenta previa,
riwayat seksio sesarea, kelainan letak, pre eklampsia dan hipertensi.
(Prawirohardjo, 2014)
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan seksio sesarea antara lain
seksio sesarea elektif, anestesia, transfusi darah, dan pemberian
antibiotika.
2. Teknik
a. Teknik seksio sesarea transperitonealis profunda
1. Pasien diletakkan dalam posisi trendelenburg ringan dan dipasang
dauercatheter.
2. Dilakukan insisi dinding perut pada garis tengah dari simfisis
sampai beberapa sentimeter dibawah umbilikus hingga peritoneum
terbuka.
3. Dipasang spekulum perut dan lapangan operasi dipisahkan dari
rongga perut dengan satu atau lebih kain kasa panjang.
4. Peritoneum dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan
pinset, plika vesikouterina dibuka dan insisi diteruskan melintang
jauh ke lateral, lalu vesika urinaria dengan peritoneum depan
uterus didorong ke bawah dengan jari
5. Padah segmen bawah uterus yang sudah tidak tertutup peritoneum
dan vesika urinaria yang sudah menipis diadakan insisi melintang
selebar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke
atas untuk menghindari terbukanya cabang arteria uterina.
6. Posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan ligamentum
rotunda dekstra dan sinistra.
28
29
7. Injeksi oksitosin 10 IU dalam dinding uterus atau IV, plasenta dan selaput
ketuban dikeluarkan secara manual.
8. Dinding uterus dijahit dalam dua lapisan, yaitu jahitan simpul dan jahitan
menerus
9. Dinding perut ditutup
3. Komplikasi
a. Pada ibu
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas antara lain
plasenta previa, perdarahan masive, infeksi postoperatif.1
Komplikasi yang dapat timbul antara lain1:
1.
2.
3.
4.
Infeksi puerperal
Perdarahan
Komplikasi lain seperti luka vesika urinaria, embolisme pulmo
Ruptura uteri pada kehamilan berikutnya akibat kurang kuatnya parut
pada dinding uterus
b. Pada anak
Dapat terjadi kematian perinatal pasca seksio sesarea yang berkisar
antara 4 7 %.
BAB III
ANALISA KASUS
30
31
32
33
gram/ 8 jam, injeksi asam tranexamat 500 mg/ 8 jam, dan rawat inap di HCU.
Selanjutnya pasien dipindah ke bangsal pada tanggal 13 November 2015, dan
masih diberikan obat-obatan berupa injeksi ceftriaxon 2 gr/ 24 jam, injeksi
metronidazol 500 mg/ 8 jam, injeksi ketorolac 1 ampul/ 8jam, injeksi asam
tranexamat 500 mg/ 8 jam, dan crypsa 3x1. Kemudian pada tanggal 14 November
2015, obat pasien diganti obat oral berupa cefadroxil 2 x 500 mg, metronidazol 2
x 500 mg, asam mefenamat 3 x 500 mg, vitamin C 2 x 500 mg.
DAFTAR PUSTAKA
34
Adelaja LM, Taiwo OO. Maternal and fetal outcome of obstetri emergencies in a
tertiary health institution in South Western Nigeria. ISRN Obstet
Gynecol. 2011:14.Anderson JM, Etches D (2007). Prevention and
management of postpartum hemorrhage. American Family Physician
Volume 75, Number 6.
B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum
Hemorrhage 1st Published. UK: Sapiens Publishing, pp: 287-98.
Breathnach F, Geary M (2009). Uterine atony: definition, prevention, nonsurgical
management, and uterine tamponade. Semin Perinatol Apr; 33(2):82-7.
Chalik TMA (2009). Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Chalik TMA (2010). Plasenta previa. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi
Ed I. Jakarta: Widya Medika, pp: 129-43.
Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, and Spong CY
(2005). Obstetrical hemorrhage. In: Williams Obstetrics 23th Edition.
USA: The McGraw-Hil Companies.
Febrianto HN (2007). Perdarahan Pasca Persalinan. Palembang: Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Giordani R, Cacciatore A, Cignini P, Vigna R, Romano M (2010). Antepartum
hemorrhage. Prenat Med. 4(1): 1216.
Guyton CA , Hall EJ. Syok sirkulasi dan fisiologi pengobatannya. Dalam:
Fisiologi Kedokteran Textbook of Medical Physiology. Edisi 11. Jakarta:
EGC. Hal:359-371
Hofmeyr GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem MA (2008). Uterine massage for
preventing postpartum haemorrhage. The Cochrane Library, Issue 3.
35
36
38