Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
mereka
yang
disertai
gejala
alarm,
harus
melakukan
2.1 Batasan
Dispepsia adalah ketidakmampuan fungsi gaster atau upset stomach
akibat gangguan dari perut. Dikarakteristikan dengan nyeri epigastrium, kadang
perasaan terbakar, mual dan kembung. Dyspepsia = gastric indigestion
(Stedmans, 1998). Indigestion adalah bentuk nonspesifik yang mencakup berbagai
keluhan upper GIT yaitu mual, muntah, heartburn, regurgitasi, dan dispepsia
(adanya gejala yang diduga berasal dari regio gastroduodenal) (Fauci, 2008).
Beberapa orang mengeluhkan rasa terbakar di epigastrium, perih, ataupun nyeri
yang lebih predominan, dapat pula perasaan penuh setelah makan, dan
kekenyangan dini sehingga tidak menghabiskan makanannya, kembung,
bersendawa, dan anoreksia.
2.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun (Tack et al,
2006). Data Depkes tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari
daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan
proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan sakit
maag merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai
contoh dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya
25% populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi
diperkirakan
dialami
oleh
sedikitnya
20%
dalam
populasi
umum
(library.usu.ac.id, 2007).
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa
terkena penyakit itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua,
sama saja. Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan dr. Ari F Syam dari FKUI
pada tahun 2001 menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang
diteliti. Tidak hanya di Indonesia di luar negeri juga, banyak orang yang tidak
peduli dengan dispepsia itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada
lambung mereka, tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera
ke dokter.
Padahal, menurut penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa
dari mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki
ulkus pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri,
penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1
persen disebabkan oleh kanker lambung (library.usu.ac.id, 2007). Pada dispepsia
fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas
sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20
tahun. Begitu pula wanita lebih sering daripada laki-laki.
Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden
ulkus meningkat pada usia pertengahan. Penyakit ulkus memperlihatkan interaksi
kompleks dari berbagai faktor lingkungan dan genetik yang menghasilkan
penyakit, antara lain (Askandar et al, 2007):
a. Genetik dan faktor yang berhubungan dengan penyakit. Insiden akan
meningkat pada keadaan:
Sanak keluarga tingkat pertama dari penderita, peningkatannya 3
kali lebih besar.
Penderita ulkus yang kembar meningkat 3 kali lebih besar.
Golongan darah O, meningkat 30 %
b. Perokok : Merokok berkaitan dengan peninggian frekuensi ulkus 33-110
% dibandingkan dengan yang tidak merokok.
c. Aspirin : Penggunaan yang kronis meningkatkan insiden ulkus
d. Obat anti peradangan non steroid : Obat-obat seperti indometasin,
ibuprofen dan lain-lain, menyebabkan perubahan mekanisme pertahanan
lambung.
e. Kopi dan alkohol: kafein yang terkandung dalam kopi merupakan stimulan
kuat dari sekresi asam, seperti susu, bir dan minuman ringan.
f. Kortikosteroid : Sifat ulserogenik dari kortikosteroid secara umum masih
kontroversial
g. Stress: stress dan tipe personal masih kontroversial, meskipun beberapa
penelitian menghubungkan pepsinogen serum yang tinggi (Citra, 2003).
2.3 Anatomi
Perut adalah suatu kontinuitas dengan esofagus terdapat di proksimal dan
duodenum di distalnya. Sebuah struktur otot polos sirkular, esophageal sphincter,
yang berlokasi didistal esofagus dapat menimbulkan zona bertekanan tinggi yang
normalnya mencegah isi gaster refluks ke esofagus. Mekanisme serupa juga
terdapat pada sfingter pilorus (Gambar 1). Bagian terdistal perut, memiliki peran
penting dalam triturasi partikel makanan solid dan menjamin propulsi aliran
bawah bolus makanan, mencegah refluks duodenogastrik. Perut dibagi menjadi 4
regio. Cardia adalah zona transisi dari esophagogastric junction ke fundus. Bagian
fundus yang berbentuk kubah terproyeksi dibagian atas, diatas cardia dan
merupakan bagian paling superior dari perut yang kontak dengan hemidiafragma
kiri dan spleen. Bagian corpus berlokasi di bawah dan kelanjutan dari fundus,
merupakan bagian terbesar dari perut, dan dicirikan dengan adanya lipatan
longitudinal (rugae). Bagian antrum keluar dari incissura angularis, indentasi tetap
yang tajam yang menandai akhir dari badan gaster, ke pilorus, atau pyloric
channel, sebuah struktur tubular yang menyatukan gaster dengan duodenum
(Shaver et al, 2007).
Mukosa, atau tepi dalam dari perut, dibentuk oleh lapisan epitel kolumnar.
Submukosa, lapisan setelah mukosa, menyediakan kerangka dari jaringan ikat
tebal, yang mana berisi limfosit, sel plasma, arteriol, venula, jaringan limfatik, dan
plexus myentericus. Lapisan ketiga adalah muscularis propria, merupakan
kombinasi dari lapisan otot polos oblique dalam, sirkular tengah dan otot polos
longitudinal luar. Serosa, merupakan kontinuitas transparan yang tipis dari
peritoneum visceral dan merupakan lapisan akhir dari dinding gaster (Shaver et al,
2007).
Perut diinervasi otonom oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Truncus anterior dan posterior nervus vagus menyediakan sistem parasimpatis,
dan plexus celiac bersamaan dengan vaskularisasi dari perut menyediakan inervasi
simpatis. Permukaa mukosa gaster terdiri atas satu lapis sel epitel kolumner
bermukus. Tepi permukaan diinvaginasi dengan gastric pits, yang menyediakan
akses ke lumen gaster untuk kelenjar gaster. Gastric glands dari berbagai regio
dari gaster dikelompokkan dengan berbagai tipe sel yang terspesialisasi. Oxytin,
atau regio yang memproduksi asam dari gaster ditemukan dibagian fundus dan
corpus, dimana gastric glands mengandung sel parietal yang menyekresikan asam
dan faktor intrinsik. Kelenjar-kelenjar ini juga mengandung chief cell yang kaya
zymogen, yang mensintesis pepsinogen dan enterochromaffin-like endocrine cell,
yang mensekresikan histamin (Shaver et al, 2007).
Antral glands memiliki sel endokrin yang berbeda, termasuk gastrinsecreting G cells dan somatostatin-secreting D cells. Duodenum, bagian paling
proksimal dari intestinal, membentuk C-shaped loop disekitar caput pankreas dan
merupakan kelanjutan dari pylorus proksimal dan jejunum distal. Perubahan
angular ini menyebabkan duodenum terbagi menjadi 4 porsi. Bagian pertama dari
duodenum adalah duodenal bulb atau cap yang dicirikan dengan permukaan
luminal yang halus. Duonedum sisanya memiliki ciri lipatan sirkular yaitu plika
sirkularis atau valvulae conniventes, yang meningkatkan luas permukaan yang
tersedia untuk pencernaan. Seperti gaster, dinding duodenal dibentuk oleh
mukosa, submukosa, muskularis, dan lapisan serosa. Mukosa duodenal dibentuk
oleh sel epitel kolumnar membentuk vili yang dikelilingi oleh kripta Lieberkuhn.
Submukosa terdiri atas kelenjar Brunner yang memproduksi sekresi kaya
bikarbonat yang berperan dalam netralisasi asam. Inervasi dari duodenum sama
dengan gaster (Shaver et al, 2007).
2.4 Fisiologi
histamin dari sel ECL. Asam diperlukan untuk mengkonversi pepsinogen, yang
dikeluarkan dari gastric chief cells, menjadi pepsin, yaitu sebuah enzim proteolitik
yang aktif pada pH lebih besar dari 4. Sel parietal lambung juga mengeluarkan
faktor intrinsik, suatu glikoprotein yang mengikat vitamin B12 yang dimakan
sehingga memungkinkan penyerapannya dalam ileum terminal (Fauci, 2008).
Beberapa mekanisme yang terlibat dalam menjaga protective mucosal
barrier. Lendir dan bikarbonat, faktor defensif pre-epitel, merupakan pertahanan
lini pertama mukosa. Lendir membentuk lapisan stabil yang mencegah ion H+
berdifusi balik serta melumasi mukosa, melindungi terhadap kerusakan mekanis
dan mempertahankan gradien pH yang signifikan antara lumen lambung dan
permukaan sel epitel. Faktor defensif endogen epitel, seperti migrasi sel dan
proliferasi, menyebabkan pembaruan mukosa konstan dan cepat serta menjamin
kontinuitas epitel dan integritas keketatan penghubung interselular. Faktor-faktor
defensif subepitel seperti aliran darah mukosa yang memadai, merupakan baris
kedua perlindungan dan memainkan peran penting dalam menjaga lingkungan pH
normal dan dengan demikian integritas mukosa saluran cerna (Fauci, 2008).
2.5 Diagnosis
Indigestion
Mechanisms
The most common causes of indigestion are gastroesophageal acid reflux and
functional dyspepsia. Other cases are a consequence of a more serious organic
illness.
Gastroesophageal Acid Reflux
Acid reflux can result from a variety of physiologic defects. Reduced lower
esophageal sphincter (LES) tone is an important cause of reflux in scleroderma
and pregnancy; it may also be a factor in patients without other systemic
3 months
All other patients should first undergo testing for Helicobacter pylori or a
trial of empiric proton pump inhibitor.
General Considerations
Dyspepsia refers to acute, chronic, or recurrent pain or discomfort centered in the
upper abdomen. An international committee of clinical investigators (Rome III
Committee) has defined dyspepsia as epigastric pain or burning, early satiety, or
postprandial fullness. Heartburn (retrosternal burning) should be distinguished
from dyspepsia. When heartburn is the dominant complaint, gastroesophageal
reflux is nearly always present. Dyspepsia occurs in 25% of the adult population
and accounts for 3% of general medical office visits.
Etiology
analogs, GLP-1 receptor antagonists), antihypertensive medications (angiotensinconverting enzyme [ACE] inhibitors, angiotensin-receptor blockers), cholesterollowering agents (niacin, fibrates), neuropsychiatric medications (cholinesterase
inhibitors [donepezil, rivastigmine]), SSRIs (fluoxetine, sertraline), serotoninnorepinephrine-reuptake inhibitors (venlafaxine, duloxetine), Parkinson's drugs
(dopamine agonists, monoamine oxidase [MAO]-B inhibitors), corticosteroids,
estrogens, digoxin, iron, and opioids.
Luminal Gastrointestinal Tract Dysfunction
Peptic ulcer disease is present in 515% of patients with dyspepsia.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) is present in up to 20% of patients with
dyspepsia, even without significant heartburn. Gastric cancer is identified in 1%
but is extremely rare in persons under age 55 years with uncomplicated dyspepsia.
Other causes include gastroparesis (especially in diabetes mellitus), lactose
intolerance or malabsorptive conditions, and parasitic infection (Giardia,
Strongyloides).
Helicobacter pylori Infection
Although chronic gastric infection with H pylori is an important cause of peptic
ulcer disease, it is an uncommon cause of dyspepsia in the absence of peptic ulcer
disease. The prevalence of H pylori-associated chronic gastritis in patients with
dyspepsia without peptic ulcer disease is 2050%, the same as in the general
population.
Pancreatic Disease
Pancreatic carcinoma and chronic pancreatitis may present with dyspepsia.
Biliary Tract Disease
The abrupt onset of epigastric or right upper quadrant pain due to cholelithiasis or
choledocholithiasis should be readily distinguished from dyspepsia.
Other Conditions
In patients younger than 55 years with uncomplicated dyspepsia (in whom gastric
cancer is rare), initial noninvasive management strategies should be pursued (see
below). In most clinical settings, a noninvasive test for H pylori (urea breath test,
fecal antigen test, or IgG serology) should be performed first. Although serologic
tests are inexpensive, performance characteristics are poor in low-prevalence
populations. If breath test or fecal antigen test results are negative in a patient not
taking NSAIDs, peptic ulcer disease is virtually excluded.
Upper Endoscopy
Upper endoscopy is indicated to look for gastric cancer or other serious organic
disease in all patients over age 55 years with new-onset dyspepsia and in all
patients with "alarm" features, such as weight loss, dysphagia, recurrent vomiting,
evidence of bleeding, or anemia. Upper endoscopy is the study of choice to
diagnose gastroduodenal ulcers, erosive esophagitis, and upper gastrointestinal
malignancy. It is also helpful for patients who are concerned about serious
underlying disease. For patients born in regions in which there is a higher
incidence of gastric cancer, an age threshold of 45 years may be appropriate.
Endoscopic evaluation is also warranted when symptoms fail to respond to initial
empiric management strategies or when frequent symptom relapse occurs after
discontinuation of antisecretory therapy.
Other Tests
Abdominal imaging (ultrasonography or CT scanning) is performed only when
pancreatic or biliary tract disease is suspected. Gastric emptying studies are
valuable only in patients with recurrent vomiting. Ambulatory esophageal pH
testing may be of value when atypical gastroesophageal reflux is suspected.
Treatment
Initial empiric treatment is warranted for patients who are less than 55 years and
who have no alarm features (defined above). All other patients as well as patients
whose symptoms fail to respond or relapse after empiric treatment should undergo
upper endoscopy with subsequent treatment directed at the specific disorder (eg,
peptic ulcer, gastroesophageal reflux, cancer). Most patients will have no
significant findings on endoscopy and will be given a diagnosis of functional
dyspepsia.
Empiric Therapy
H pylorinegative patients most likely have functional dyspepsia or atypical
GERD and can be treated with an antisecretory agent (proton pump inhibitor) for
4 weeks. For patients who have symptom relapse after discontinuation of the