Sie sind auf Seite 1von 67

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL KEDOKTERAN KOMUNITAS


PEMICU 2

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK DISKUSI 4
Yosep Andrianu Loren
Hayati
M. Anugerah Perdana
Risci Intan Parmita
Gilang Pramanayuda
Putri Sondang Pasaribu
Khuswatun Hasanah
Risa Muthmainah
Albert Tito
Pamela Rita Sari
Maylisa Santauli Manurung

I11112050
I11112053
I1011121001
I1011131002
I1011131006
I1011131017
I1011131054
I1011131067
I1011131070
I1011131085
I1011131087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu

Revolusi KIA adalah satu program yang telah dicanangkan Gubernur


Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rangka perecepatan pencapaian MDGs,
yang diawali tahun 2009. Program tersebut merupakan lintas sektoral. Persiapan
dalam bidang kesehatan adalah melengkapi fasilitas-fasilitas kesehatan supaya
dapat menangani kegawatdaruratan maternal dan neonatus, dengan melengkapi
Puskesmas menjadi Pelayanan Obstetrik dan Neonatus Emergency Dasar serta
Rumah sakit umum daerah menjadi RSU PONEK (komprehensif). Khususnya di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, didapatkan hasil-hasil sebagai berikut :
Equity for under-five mortality is not improving

1.2 Klarifikasi dan Definisi


-

1.3 Kata Kunci


a. Revolusi KIA
b. MDGs
c. Kegawatdaruratan maternal
d. Kegawatdaruratan neonatus
e. Persentase BBLR meningkat di Kab. Timor Tengah Selatan
f. Rata-rata mortalitas di bawah 5 tahun relatif tetap di NTT, Maluku, dan
Papua
1.4 Rumusan Masalah
a. Apa masalah kesehatan masyarakat di daerah Provinsi NTT dan Kab.
Timor Tengah Selatan?
b. Bagaimana perbandingan KIA di Indonesia & Vietnam?
MDGs

Bidang Kesehatan

Kematian bayi & anak


1.5 Analisis Masalah

Provinsi NTT Kab. TTS

Kesehatan ibu

Revolusi KIA

Permasalahan KIA:
Kesehatan maternal
Kesehatan neonatus & anak:
BBLR
Rata-rata mortalitas dibawah 5 tahun relatif tetap

Evaluasi SKN

Penilaian indikator MDGs

Pran pelayanan kesehatan (program puskesmas) dan pemerintah

1.6 Hipotesis
a. Provinsi NTT (Kab. TTS) mengalami peningkatan persentase BBLR dan
rata-rata kematian di bawah 5 tahun relatif tetap meskipun ada program
revolusi KIA.
b. Angka mortalitas maternal dan kematian neonatus di Indonesia lebih
tinggi daripada di Vietnam
1.7 Pertanyaan Diskusi
1.7.1 Jelaskan mengenai program MDGs dalam menurunkan angka kematian
anak?
1.7.2 Jelaskan mengenai program MDGs dalam meningkatkan kesehatan ibu?
1.7.3 Jelaskan mengenai SKN 2012!
1.7.4 Apa faktor risiko internal dan eksternal yang mempengaruhi kematian
neonatus di Indonesia?
1.7.5 Apa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kesehatan ibu?
1.7.6 Apa saja peran dan fungsi puskesmas dalam pelayanan kesehatan primer
di Indonesia?
1.7.7 Apa saja program puskesmas untuk menyehatkan setiap individu di
wilayahnya terkait kasus pemicu?
1.7.8 Jelakan mengenai program-program kesehatan untuk penanggulangan
kematian neonatus yang telah dimiliki oleh pemerintah dan hasil-hasilnya
(UKM & UKP)!
1.7.9 Bagaimana gambaran permasalahan KIA di Indonesia?
1.7.10 Bagaimana gambaran permasalahan KIA di Vietnam?
1.7.11 Bagaimana mekanismenya terjadinya masalah kesehatan pada kasus?
1.7.12 Bagaimana perbandingan pencapaian penanggulangan kematian maternal
di Indonesia dibandingkan dengan negara Vietnam?
1.7.13 Bagaimana peran negara dalam penanggulangan penyakit dan atau
kematian maternal?
1.7.14 Bagaimana tabel perbandingan sistem kesehatan di Indonesia dan
Vietnam?

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Program MDGs dalam menurunkan angka kematian anak
Menurunkan angka kematian anak adalah target keempat dalam program
MDGs. Target 4A adalah menurunkan angka kematian balita sebesar dua
pertiganya antara tahun 1990 dan 2015. Karena itu, indikator utama tujuan ini
adalah angka kematian anak di bawah lima tahun (balita). Target MDGs adalah
untuk mengurangi dua pertiga angka tahun 1990. Saat itu, jumlahnya 97
kematian per 1.000 kelahiran hidup. Target pada tahun 2008 adalah 32 kematian
per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian, Indonesia cukup berhasil.
Indikator kedua adalah proporsi anak usia satu tahun yang mendapat imunisasi
campak. Angka ini telah meningkat menjadi 72% untuk bayi dan 76% untuk
anak dibawah 23 bulan pada 2006, namun perlu lebih ditingkatkan lagi.1

Gambar 2.1 Laju angka kematian bayi dan balita


Sumber: BPS- Susenas, berbagai tahun
Catatan: Angka kematian balita juga mencakup angka kematian bayi. Jadi
di antara dua garis tersebut adalah jumlah anak yang meninggal antara usia 1
dan 5 tahun.

Gambar 2.1 menunjukkan proporsi anak yang meninggal, baik ketika


masih bayi ataupun sebelum mencapai usia lima tahun. Jelas bahwa kita
mencapai kemajuan karena proporsi balita yang meninggal kurang dari separuh
angka tahun 1990. Pada 2007, angkanya sekitar 44 per 1.000 kelahiran hidup.
MDGs menargetkan pengurangan angka tahun 1990 menjadi duapertiganya.
Artinya, kita harus menurunkannya dari 97 kematian menjadi 32.1
Laju kematian bayi juga menurun, namun lebih lambat dibandingkan
penurunan kematian balita. Dengan demikian proporsi kematian yang lebih
besar terjadi pada bulan-bulan pertama setelah dilahirkan. Pada tahun 1990, 70%
kematian terjadi pada bayi, namun pada 2005 proporsinya meningkat hingga
77%. Salah satu alasan terjadinya penurunan ini adalah berkurangnya tingkat
kemiskinan. Artinya, anak-anak tumbuh berkembang di lingkungan yang lebih
sejahtera dan sehat.
Saat ini kita memang memberikan imunisasi untuk hampir semua anakanak di republik ini. Namun, belum untuk semuanya. Pada 2007, anak-anak
yang menerima imunisasi difteri, batuk rejan dan tipus adalah 84.4% 2, meskipun
hanya separuh dari mereka yang menerima imunisasi lengkap. Selain itu 82%
anak-anak menerima imunisasi Tubercolosis (TBC), dan 80% imunisasi
hepatitis. Namun ini harus menjadi satu proses berkesinambungan. Hal yang
mencemaskan adalah turunnya angka imunisasi terhadap polio dan campak
Jerman (rubella), yaitu dari sekitar 74% beberapa tahun lalu menjadi 70%.
Campak juga menjadi kekhawatiran karena angka imunisasi hanya 72% untuk
bayi dan 82% untuk anak hingga 23 bulan, sementara target pemerintah adalah
90%. Diperkirakan 30.000 anak meninggal setiap tahun karena komplikasi
campak3 dan baru-baru ini ada beberapa KLB (kejadian luar biasa) polio dimana
303 anak menjadi lumpuh.

Gambar 2.2 Persentase anak di bawah satu tahun yang diimunisasi campak.4
2.2 Program MDGs dalam meningkatkan kesehatan ibu
Setiap tahun sekitar 20.000 perempuan di Indonesia meninggal akibat
komplikasi dalam persalinan. Melahirkan seyogyanya menjadi peristiwa bahagia
tetapi seringkali berubah menjadi tragedi. Sebenarnya, hampir semua kematian
tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima MDGs difokuskan pada
kesehatan ibu, untuk mengurangi kematian ibu. Meski semua sepakat bahwa
angka kematian ibu terlalu tinggi, seringkali muncul keraguan tentang angka
yang tepat. Adapun target dari MDGs kelima ini adalah:1
a. Target 5A: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga
perempatnya antara 1990 dan 2015. Data tersedia yang terdekat
dengan tahun 1990 berasal dari tahun 1995. Berdasarkan datadatatersebut, target yang harus dicapai adalah 97. Melihat
kecenderungan saat ini, Indonesia tidak akan mencapai target.
Indikator kedua yaitu proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga
kesehatan terlatih, saat ini menunjukkan angka 73%.
b. Target 5B: Mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi
untuk semua pada 2015. Penggunaan kontrasepsi oleh wanita usia
15-49 tahun meningkat menjadi 61.0%. Perawatan antenatal juga
mengalami peningkatan. Akan tetapi, dengan keterbatasan data,
sulit untuk mengukur sejauh mana pencapaian target akses untuk
kesehatan reproduksi.

Gambar 2.3 Tingkat Kematian Ibu


Sumber: SDKI - berbagai tahun
Gambar grafik 2.3 menunjukkan bahwa tingkat kematian ibu telah turun
dari 390 menjadi sekitar 307 per 100.000 kelahiran. Artinya, seorang perempuan
yang memutuskan untuk mempunyai empat anak memiliki kemungkinan
meninggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. Angka tersebut bisa jauh lebih
tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil. Satu survei di
Ciamis, Jawa Barat, misalnya, menunjukkan bahwa rasio tersebut adalah 56117.
Target MDGs adalah untuk menurunkan rasio hingga tiga perempatnya dari
angka tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio saat itu adalah sekitar 450, target
MDGs adalah sekitar 110.1
Sekitar 60% persalinan di Indonesia berlangsung di rumah. Dalam kasus
seperti ini, para ibu memerlukan bantuan seorang tenaga persalinan terlatih.
Untungnya banyak perempuan yang mendapatkan bantuan tersebut. Seperti
tampak pada gambar 2.4, pada 2007 proporsi persalinan yang dibantu oleh
tenaga persalinan terlatih, baik staf rumah sakit, pusat kesehatan ataupun bidan
desa, telah mencapai 73%. Sekali lagi angka ini sangat bervariasi di seluruh
Indonesia, mulai dari 39% di Gorontalo hingga 98% di Jakarta.1

Gambar 2.4 Proporsi Kelahiran yang Dibantu oleh Tenaga Persalinan Terlatih
Sumber: BPS-Susenas damn SDKI, berbagai tahun
2.3 SKN 2012
Sistem Kesehatan Nasional, yang selanjutnya disingkat SKN adalah
pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya Pengelolaan kesehatan
adalah proses atau cara mencapai tujuan pembangunan kesehatan melalui
pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan serta
pemberdayaan masyarakat. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis. SKN merupakan kebijakan kebijakan pengelolaan
kesehatan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.5
Penyusunan SKN 2012 adalah untuk menyesuaikan SKN 2009 dengan
berbagai perubahan dan tantangan eksternal dan internal agar dapat digunakan
sebagai pedoman dalam pengelolaan kesehatan baik oleh pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha


dan lembaga swasta. Tersusunnya SKN ini mempertegas makna pembangunan
kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia secara terpadu.6
Tersusunnya SKN ini mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam
rangka

pemenuhan

hak

asasi

manusia,

memperjelas

penyelenggaraan

pembangunan kesehatan sesuai dengan visi dan misi Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025 (RPJP-K), memantapkan
kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif, melaksanakan pemerataan
upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu, meningkatkan investasi
kesehatan untuk keberhasilan pembangunan nasional. SKN ini merupakan
dokumen

kebijakan

pengelolaan

kesehatan

sebagai

acuan

dalam

penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Tujuan SKN adalah terselenggaranya


pembangunan kesehatan oleh semua komponen bangsa, baik Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha,
dan lembaga swasta secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna,sehingga
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.5
Berdasarkan Perpres Nomor 72 tahun 2012, pasal 5-6 SKN menjadi acuan
dalam penyusunan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dimulai dari
kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi. Pasal 6
ayat (1), pelaksanaan SKN ditekankan pada peningkatan perilaku dan
kemandirian masyarakat, profesionalisme sumber daya manusia kesehatan, serta
upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan
rehabilitatif. Pasal 6 ayat (2), profesionalisme sumber daya manusia kesehatan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dibina oleh Mentri hanya bagi
tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan
bekerja serta mengabdikan dirinya dalam upaya dan managemen kesehatan.
Pasal 6 ayat (3), pelaksanaan SKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan:5
a. Cakupan pelayanan kesehatan berkualitas, adil, dan merata;
b. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat;
c. Kebijakan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi
kesehatan masyarakat;
d. Kepemimpinan dan profesionalisme dalam pembangunan kesehatan;

e. Inovasi atau terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang etis dan
terbukti bermanfaat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara
luas, termasuk penguatan sistem rujukan;
f. Pendekatan secar global dengan mempertimbangkan kebijakan kesehatan
g.
h.
i.
j.
k.

yang sistematis, berkelanjutan, tertib, dan responsif gender dan hak anak;
Dinamika keluarga dan kependudukan;
Keinginan masyarakat;
Epidemiologi penyakit;
Perubahan ekologi dan lingkungan; dan
Globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi dengan semangat persatuan dan
kesatuan nasional serta kemitraan dan kerja sama lintas sektor.

2.4 Faktor risiko internal dan eksternal yang mempengaruhi kematian


neonatus di Indonesia
Menurunkan angka kematian anak merupakan salah satu tujuan MDGs
2015. Di Indonesia angka kematian bayi sangat tinggi, pada tahun 2007 terjadi
kematian 32 anak per 1.000 kelahiran. Hal ini berarti setiap 1 jam terdapat 10
kematian bayi. Contohnya adalah di RSUPN Cipto Mangunkusumo, angka
kematian neonatus mencapai 30% dari angka kematian 42,7% per 1000
kelahiran hidup pada 2009. Berdasarkan Riskesdes 2007 penyebab kematian
adalah:7
1. Neonatus (0-6 hari) asfiksia (37%), prematuritas (34%), dan sepsis
(12%)
2. Neonatus (7-28 hari) sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%),
pneumonia (17%), RDS (14%), dan prematuritas (14%).
Kematian neonatal adalah akhir kehidupan, ketiadaan nyawa dalam
organisme biologis. Kematian neonatal adalah kematian Neonatal yang berumur
0 sampai 29 hari.8 Setiap tahun diperkirakan delapan juta Neonatal lahir mati
atau meninggal pada bulan pertama dari kehidupannya. Sebagian besar dari
kematian ini terjadi di Negara berkembang. Angka kematian neonatal di
Indonesia pada tahun 2001 adalah 25 per 1000 kelahiran hidup, dan angka
tersebut masih termasuk dalam kategori tinggi bila dibandingkan dengan angka
kematian neonatal dunia yaitu 28 per 1000 kelahiran hidup.
a. Infeksi
Infeksi adalah terkena hama, kemasukan bibit penyakit, atau peradangan,
serta pengembangan parasit dalam tubuh. Beberapa tanda dan gejala infeksi

yaitu Malas minum, gelisah, frekuensi pernapasan meningkat, berat badan


tiba-tiba turun, pergerakan kurang, diare, selain itu dapat terjadi edema,
purpura, ikterus, hepatospleno megalia dan kejang, serta pada bayi BBLR
seringkali terjadi hipotermia dan sklerema. Infeksi yang terbanyak Pada masa
antenatal. Pada masa antenatal. kuman masuk ke tubuh janin melalui
peredaran darah ibu ke plasenta dan selanjutnya infeksi melalui serkulasi
umbilikalis masuk ke janin. Infeksi intranatal lebih sering terjadi dengan cara
kuman dari vagina naik dan masuk kedalam rongga amnion setelah ketuban
pecah. Pecah ketuban lebih dari 12 jam akan menjadi penyebab timbulnya
plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat terjadi walaupun ketuban masih utuh.
Janin terkena infeksi karena inhalasi likuor yang septic sehingga terjadi
pneumonia congentinal atau karena kuman memasuki peredaran darahnya
dan menyebabkan seplikerta. Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan
kontak langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina misalnya
blennorhoe. Sedangkan infeksi terjadi akibat penggunaan alat-alat perawatan
yang tidak steril, tindakan yang tidak antiseptik, atau dapat juga terjadi akibat
infeksi silang, misalnya tetanus neonatorum, omfalitis, dan lain-lain.9
b. Asfiksia
Asfiksia adalah perubahan patologis yang disebabkan oleh kekurangan
oksigen dalam udara pernapasan yang mengakibatkan hipoksia dan
hiperkapnia. Asfiksia berarti hipoksia yang progresif akibat penimbunan CO2
dan asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh maka dapat
mengakibatkan kerusakan pada otak dan kematian. Asfiksia juga bisa
mempengaruhi fungsi organ fital lainnya. Asfiksia neonatorum adalah
keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur dalam 1
menit setelah lahir. Biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan kelahiran kurang bulan (<34 minggu), dan kelahiran lewat waktu. 10
Kasus asfiksia berat bayi akan mengalami asidosis sehingga memerlukan
perbaikan dan resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang muncul
pada asfiksia berat seperti Frekuensi jantung kecil, yaitu <40 kali per menit,
tidak ada usaha nafas pada neonatal, Tonus otot lemah bahkan hampir tidak
ada.

c. BBLR
BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya 2500 gram atau
kurang. Menurut WHO BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan
kurang atau sama dengan 2500 gram.Bayi lahir dengan BBLR memiliki
kemungkinan untuk meninggal selama masa neonatal sebanyak 20-30 kali
lebih besar dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat cukup.
Neonatal berat lahir rendah (BBLR) ialah Neonatal yang lahirnya dengan
berat badan kurang dari 2500 gram pada saat lahir. Masalah yang muncul
pada Neonatal BBLR meliputi asfiksia, gangguan nafas, hipotermia,
hipoglikemi, masalah pendarahan, dan rentan terhadap pemberian ASI yang
kurang. Masalah-masalah tersebut sangat rentan terhadap timbulnya kematian
neonatal.10
Persalinan prematur adalah persalinan belum cukup umur di bawah 37
minggu atau berat lahir kurang dari 2500 gram. Persalinan prematur
merupakan penyebab tertinggi kematian neonatus, tumbuh kembang janin
sering terlambat. Salah satu penyebab utama kematian neonatus tersebut
adalah asfiksia atau sindrom gawat nafas. Kehamilan lewat waktu adalah
kehamilan yang melampaui usia 292 hari (42 minggu) dengan gejala
kemungkinan komplikasinya. Komplikasi dapat terjadi pada ibu dan janin,
komplikasi

pada

janin

diantaranya

adalah

oligohidramnion

yang

mengakibatkan asfiksia dan gawat janin intrauterine, dan aspirasi air ketuban
disertai mekonium yang mengakibatkan gangguan pernafasan janin dan
gangguan sirkulasi bayi setelah lahir.11

2.5 Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kesehatan ibu


Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat
antara lain adalah penanganan komplikasi, anemia, ibu hamil yang menderita
diabetes, hipertensi, malaria, dan empat terlalu (terlalu muda <20 tahun, terlalu
tua >35 tahun, terlalu dekat jaraknya 2 tahun dan terlalu banyak anaknya > 3
tahun). Sebanyak 54,2 per 1000 perempuan dibawah usia 20 tahun telah
melahirkan, sementara perempuan yang melahirkan usia di atas 40 tahun

sebanyak 207 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini diperkuat oleh data yang
menunjukkan masih adanya umur perkawinan pertama pada usia yang amat
muda (<20 tahun) sebanyak 46,7% dari semua perempuan yang telah kawin.
Peserta KB cukup banyak merupakan potensi dalam penurunan kematian ibu,
namun harus terus digalakkan penggunaan kontrasepsi jangka panjang.
Keanekaragaman makanan menjadi potensi untuk peningkatan gizi ibu hamil,
namun harus dapat dikembangkan paket pemberian makanan tambahan bagi ibu
hamil yang tinggi kalori, protein dan mikronutrien.12
2.6 Peran dan fungsi puskesmas dalam pelayanan kesehatan primer di
Indonesia
Adapun peran dan fungsi pokok dari Puskesmas adalah:13
1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat diwilayah kerjanya.
Dalam kaitannya dengan peran yang ketiga yaitu memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu, kegiatan penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat tentang berbagai masalah kesehatan juga harus diberi tempat.
Petugas Puskesmas memberikan penyuluhan tentang kesehatan pribadi, sanitasi,
gizi, kesehatan jiwa, imunisasi, KIA, pencegahan penyakit dan KB. Yang mana
tugas tersebut sangat berkaitan dengan tugas promotif,yang bertujuan agar
konsep dan praktek kesehatan yang masih baru dapat diterima masyarakat.13
Menurut Trihono, ada 3 (tiga) fungsi puskesmas yaitu: pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan yang berarti puskesmas selalu berupaya
menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor
termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga
berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Disamping itu
puskesmas

aktif

memantau

dan

melaporkan

dampak

kesehatan

dari

penyelenggaraan setiap program pembangunan diwilayah kerjanya. Khusus


untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah
mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.14

2.7 Program puskesmas untuk menyehatkan setiap individu di wilayahnya


terkait kasus pemicu
Secara umum, terdapat enam program kesehatan pokok yang dilakukan
oleh Puskesmas, yaitu promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, pencegahan
dan pemberantasan penyakit menular, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi
masyarakat serta penyembuhan penyakit dan pelayanan kesehatan. Pada kasus di
pemicu, program Puskesmas yang paling menonjol adalah terkait kesehatan ibu
dan anak. Program yang dapat dilaksanakan oleh Puskesmas terkait pemicu
adalah melalui upaya kesehatan ibu dan anak yang dapat dilakukan dengan
pelayanan Puskesmas PONED, pemberdayaan masyarakat, pengadaan fasilitas
memadai terkait kesehatan ibu dan anak, sosialisasi pada masyarakat mengenai
pentingnya kesehatan ibu dan anak, pendataan dan evaluasi terkait kesehatan ibu
dan anak, penelitian dan pengembangan terkait permasalahan kesehatan ibu dan
anak serta berinteraksi secara internal maupun eksternal dalam pemecahan
masalah.4
2.8 Program-program kesehatan untuk penanggulangan kematian neonatus
yang telah dimiliki oleh pemerintah dan hasil-hasilnya (UKM & UKP)
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Selain melaksanakan tugas tersebut,
puskesmas

memiliki

fungsi

sebagai

penyelenggara

Upaya

Kesehatan

Masyarakat (UKM) tingkat pertama dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP)


tingkat pertama serta sebagai wahana pendidikan tenaga kesehatan. Upaya
kesehatan

masyarakat

adalah

setiap

kegiatan

untuk

memelihara

dan

meningkatkan kesehatan sertamencegah dan menanggulangi timbulnya masalah


kesehatan denga sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. Upaya kesehatan
perseorangan

adalah

pelayanankesehatan

suatu
yang

kegiatan

ditujukan

dan/atau
untuk

serangkaian

peningkatan,

kegiatan

pencegahan,

penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan


memulihkan kesehatan perseorangan.15
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari)
menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59%
kematian bayi. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar
19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan AKN berdasarkan SDKI
tahun 2007 dan hanya menurun 1 point dibanding SDKI tahun 2002-2003 yaitu
20 per 1.000 kelahiran hidup.15

Gambar 2.5 Tren angka kematian neonatal, bayi, dan balita15


Untuk mencapai target penurunan AKB pada MDG 2015 yaitu sebesar 23
per 1.000 kelahiran hidup maka peningkatan akses dan kualitas pelayanan bagi
bayi baru lahir (neonatal) menjadi prioritas utama. Komitmen global dalam
MDGs menetapkan target terkait kematian anak yaitu menurunkan angka
kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015. Data dan
informasi yang akan disajikan berikut ini menerangkan berbagai indikator
kesehatan anak yang meliputi prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR),
penanganan komplikasi neonatal, pelayanan kesehatan neonatal, pelayanan
kesehatan bayi, pemberian ASI eksklusif, pemberian vitamin A, penimbangan
balita di Posyandu, imunisasi dasar, pelayanan kesehatan balita, pelayanan
kesehatan pada siswa SD/setingkat, pelayanan kesehatan peduli remaja,
pelayanan kesehatan pada kasus kekerasan anak, dan pelayanan kesehatan anak
terlantar dan anak jalanan di panti.15
a. Berat Badan Lahir Bayi
Berat badan lahir bayi adalah berat badan bayi yang di timbang
dalam waktu satu jam pertama setelah lahir. Jika dilihat dari hubungan
antara waktu kelahiran dengan umur kehamilan, kelahiran bayi dapat
dikelompokan menjadi tiga. Pertama yakni kelompok bayi kurang bulan

(prematur), yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi (kehamilan)


<37 minggu (<259 hari). Kedua, bayi cukup bulan, yaitu bayi yang
dilahirkan dengan masa gestasi antara 37-42 minggu (259 - 293 hari).
Kelompok ke tiga adalah bayi lebih bulan, ialah bayi yang dilahirkan
dengan masa gestasi >42 minggu (>294 hari). Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari
2500 gram. BBLR tidak hanya dapat terjadi pada bayi prematur, tapi juga
pada bayi cukup bulan yang mengalami hambatan pertumbuhan selama
kehamilan. Persentase berat bayi lahir rendah disajikan pada gambar
berikut ini.15

Gambar 2.6 Persentase berat bayi lahir rendah menurut provinsi, Riskesdas
201315
Sumber : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Hasil Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa persentase balita


(0-59 bulan) dengan BBLR sebesar 10,2%. Persentase BBLR tertinggi
terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah (16,8%) dan terendah di Sumatera
Utara (7,2%). Masalah BBLR terutama pada kelahiran prematur terjadi
karena ketidakmatangan sistem organ pada bayi tersebut. Bayi berat lahir
rendah mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya
infeksi dan mudah terserang komplikasi. Masalah pada BBLR yang
sering terjadi adalah gangguan pada sistem pernafasan, susunan saraf
pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal, dan
termoregulasi.15
b. Penanganan Komplikasi Neonatal
Neonatal dengan komplikasi adalah neonatal dengan penyakit
dan atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian,
seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis,
trauma lahir, BBLR, sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan
kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning dan merah pada
pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).
Komplikasi yang menjadi penyebab kematian terbanyak yaitu asfiksia,
bayi berat lahir rendah, dan infeksi. Komplikasi ini sebetulnya dapat
dicegah dan ditangani, namun terkendala oleh akses ke pelayanan
kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan, keadaan sosial ekonomi,
sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik, terlambatnya deteksi
dini, dan kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan kesehatan.
Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah penanganan terhadap
neonatal

sakit

dan

atau

neonatal

dengan

kelainan

atau

komplikasi/kegawatdaruratan yang mendapat pelayanan sesuai standar


oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan atau perawat) terlatih baik di rumah,
sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan
rujukan.15
Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar
MTBM, manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, manajemen Bayi Berat
Lahir Rendah, pedoman pelayanan neonatal essensial di tingkat
pelayanan kesehatan dasar, PONED, PONEK atau standar operasional

pelayanan lainnya. Pada gambar berikut disajikan gambaran cakupan


penanganan neonatal dengan komplikasi menurut provinsi tahun 2014.15

Gambar 2.7 Cakupan penanganan komplikasi neonatal menurut provinsi tahun 2014
Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015
Capaian penanganan neonatal dengan komplikasi mengalami
peningkatan dari tahun 2013 yang sebesar 51,47% menjadi 59,68 pada
tahun 2014. Meskipun terjadi peningkatan capaian, namun masih
terdapat disparitas yang cukup besar antar provinsi. Capaian tertinggi
diperoleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan angka sebesar
92,21% diikuti Nusa Tenggara Barat sebesar 85,21%, dan Jawa Tengah
sebesar 84,56%. Tiga provinsi dengan capaian terendah ialah Provinsi
Papua Barat (3,34%), Papua (19,12%), dan Sulawesi Tenggara
(23,17%).15
c. Pelayanan Kesehatan Neonatal
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28
hari. Pada masa tersebut terjadi perubahan yang sangat besar dari

kehidupan di dalam rahim dan terjadi pematangan organ hampir pada


semua sistem. Bayi hingga usia kurang satu bulan merupakan golongan
umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi, berbagai
masalah kesehatan bisa muncul. Sehingga tanpa penanganan yang tepat,
bisa berakibat fatal. Beberapa upaya kesehatan dilakukan untuk
mengendalikan

risiko

pada

kelompok

ini

diantaranya

dengan

mengupayakan agar persalinan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di


fasilitas kesehatan serta menjamin tersedianya pelayanan kesehatan
sesuai standar pada kunjungan bayi baru lahir.15
Kejadian kematian tertinggi pada bayi dan balita terjadi pada
masa neonatus. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 78,5% dari
kematian neonatal terjadi pada umur 0-6 hari. Dengan melihat adanya
risiko kematian yang tinggi dan berbagai serangan komplikasi pada
minggu pertama kelahiran, maka setiap bayi baru lahir harus
mendapatkan pemeriksaan sesuai standar lebih sering, minimal dua kali
dalam minggu pertama. Langkah ini dilakukan untuk menemukan secara
dini jika terdapat penyakit atau tanda bahaya pada neonatus sehingga
pertolongan dapat segera diberikan untuk mencegah penyakit bertambah
berat yang dapat menyebabkan kematian. Kunjungan neonatus
merupakan salah satu intervensi untuk menurunkan kematian bayi baru
lahir.15
Terkait hal tersebut, pada tahun 2008 ditetapkan perubahan
kebijakan dalam pelaksanaan kunjungan neonatal, dari dua kali (satu kali
pada minggu pertama dan satu kali pada 8-28 hari) menjadi tiga kali (dua
kali pada minggu pertama dan satu kali pada 828 hari). Dengan
demikian, jadwal kunjungan neonatal yang dilaksanakan saat ini yaitu
pada umur 6-48 jam, umur 3-7 hari, dan umur 8-28 hari. Indikator ini
mengukur kemampuan manajemen program Kesehatan Ibu Anak (KIA)
dalam menyelenggarakan pelayanan neonatal yang komprehensif.15

Gambar 2.8 Cakupann kunjungan neonatal pertama (KN1) menurut provinsi tahun 2014
Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015
Kunjungan neonatal pertama (KN1) adalah cakupan pelayanan
kesehatan bayi baru lahir (umur 6 jam-48 jam) di satu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu yang ditangani sesuai standar oleh tenaga kesehatan
terlatih di seluruh sarana pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diberikan
saat kunjungan neonatal yaitu pemeriksaan sesuai standar Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru lahir
termasuk ASI eksklusif dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan
neonatal pertama (KN1), bayi baru lahir mendapatkan vitamin K1 injeksi
dan imunisasi hepatitis B0 (bila belum diberikan pada saat lahir).
Cakupan indikator kunjungan neonatal pertama menurut provinsi
digambarkan pada gambar 5.27. Capaian KN1 Indonesia pada tahun
2014 sebesar 97,07%. Capaian ini telah memenuhi target Renstra tahun
2014 yang sebesar 90%. Terdapat 17 provinsi yang telah memenuhi
target tersebut.15

Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan


bagi neonatal adalah Kunjungan Neonatal Lengkap (KN lengkap) yang
mengharuskan agar setiap bayi baru lahir memperoleh pelayanan
Kunjungan Neonatal minimal tiga kali sesuai standar di satu wilayah
kerja pada kurun waktu satu tahun. Tiga provinsi dengan capaian
tertinggi yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Kepulauan
Riau. Dua provinsi dengan capaian terendah ialah Papua (13,27%) dan
Papua Barat (56,54%).15
d. Pemberian ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak
dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral).
Pengaturan pemberian ASI eksklusif bertujuan untuk:15
1) Menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif
sejak dilahirkan sampai dengan berusia enam bulan dengan
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
2) Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya; dan
3) Meningkatkan peran dan dukungan

keluarga,

masyarakat,

pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap ASI eksklusif.


ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena
mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman
dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi
risiko kematian pada bayi. Kolostrum berwarna kekuningan dihasilkan
pada hari pertama sampai hari ketiga. Hari keempat sampai hari
kesepuluh ASI mengandung immunoglobulin, protein, dan laktosa lebih
sedikit dibandingkan kolostrum tetapi lemak dan kalori lebih tinggi
dengan warna susu lebih putih. Selain mengandung zat-zat makanan, ASI
juga mengandung zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan
menganggu enzim di usus. Susu formula tidak mengandung enzim
sehingga penyerapan makanan tergantung pada enzim yang terdapat di
usus bayi.15
Mengacu pada target program pada tahun 2014 sebesar 80%,
maka secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 52,3%

belum mencapai target. Menurut provinsi, hanya terdapat satu provinsi


yang berhasil mencapai target yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat
sebesar 84,7%. Provinsi Jawa Barat, Papua Barat, dan Sumatera Utara
merupakan tiga provinsi dengan capaian terendah.15

Gambar 2.9 Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan menurut provinsi
tahun 2014
Sumber: Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2015
e. Cakupan Penimbangan Balita di Posyandu (D/S)
Cakupan penimbangan balita di posyandu (D/S) adalah jumlah
balita yang ditimbang di seluruh posyandu yang melapor di satu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu dibagi jumlah seluruh balita yang ada di
seluruh posyandu yang melapor di satu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Manfaat penimbangan balita diantaranya untuk (1) mengetahui
kesehatan, (2) mengetahui dan mencegah gangguan pertumbuhan, (3)
mengetahui balita sakit atau berat badan dua bulan tidak naik, berat
badannya berada di bawah garis merah di kartu menuju sehat, (4)

mengetahui balita gizi buruk sehingga dapat dirujuk ke puskesmas, (5)


mengetahui kelengkapan imunisasi, dan (6) mendapatkan penyuluhan
tentang gizi. Tindak lanjut dari hasil penimbangan selain penyuluhan
juga pemberian makanan tambahan dan pemberian suplemen gizi.15
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan daya tahan anak
sehingga anak mudah sakit hingga berakibat pada kematian. Gizi buruk
dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi yang perlu lebih
diperhatikan adalah pada kelompok bayi dan balita. Pada usia 0-2 tahun
merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period)
terutama untuk pertumbuhan janin sehingga bila terjadi gangguan pada
masa ini tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan
berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus. Semakin banyak
balita yang ditimbang di posyandu, maka akan semakin mudah
mendeteksi adanya balita gizi kurang atau gizi buruk dan semakin cepat
dilakukan upaya untuk penanggulangannya.15
Cakupan penimbangan balita dari tahun 2010 sampai tahun 2014
di Indonesia cenderung meningkat. Cakupan balita ditimbang pada tahun
2014 di Indonesia sebesar 80,8%. Sejak tahun 2010 sampai tahun 2013
cakupan penimbangan balita telah mencapai target Renstra 2010-2013,
namun pada tahun 2014 target Renstra sebesar 85% tidak tercapai.
Cakupan tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan
cakupan 91,2% dan Jawa Barat sebesar 90,2%. Sedangkan cakupan
penimbangan balita terendah terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat.15
f. Imunisasi
Setiap tahun lebih dari 1,4 juta anak di dunia meninggal karena
berbagai penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila
suatu saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke
dalam Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara
lain: TBC, Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, radang
selaput otak, dan radang paru-paru. Anak yang telah diberi imunisasi

akan terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya tersebut, yang dapat


menimbulkan kecacatan atau kematian.15
Proses
perjalanan
penyakit

diawali

ketika

virus/bakteri/protozoa/jamur, masuk ke dalam tubuh. Setiap makhluk


hidup yang masuk ke dalam tubuh manusia akan dianggap benda asing
oleh tubuh atau yang disebut dengan antigen. Secara alamiah sistem
kekebalan tubuh akan membentuk zat anti yang disebut antibodi untuk
melumpuhkan antigen. Pada saat pertama kali antibodi berinteraksi
dengan antigen, respon yang diberikan tidak terlalu kuat. Hal ini
disebabkan antibodi belum mengenali antigen. Pada interaksi antibodiantigen yang kedua dan seterusnya, sistem kekebalan tubuh sudah
mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh, sehingga antibodi yang
terbentuk lebih banyak dan dalam waktu yang lebih cepat.15
Proses pembentukan antibodi untuk melawan antigen secara
alamiah disebut imunisasi alamiah. Sedangkan program imunisasi
melalui pemberian vaksin adalah upaya stimulasi terhadap sistem
kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi dalam upaya melawan
penyakit dengan melumpuhkan antigen yang telah dilemahkan yang
berasal dari vaksin. Program imunisasi merupakan salah satu upaya
untuk melindungi penduduk terhadap penyakit tertentu. Program
imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap rentan terjangkit
penyakit menular, yaitu bayi, balita, anak-anak, wanita usia subur, dan
ibu hamil.15

1) Imunisasi dasar pada bayi


Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Seorang anak
diimunisasi dengan vaksin yang disuntikkan pada lokasi tertentu
atau diteteskan melalui mulut. Sebagai salah satu kelompok yang
menjadi

sasaran

program

imunisasi,

setiap

bayi

wajib

mendapatkan imunisasi dasar Lengkap yang terdiri dari : 1 dosis


BCG, 3 dosis DPT-HB dan atau DPT-HB-Hib, 4 dosis polio, dan
1 dosis campak. Dari imunisasi dasar lengkap yang diwajibkan

tersebut, campak merupakan imunisasi yang mendapat perhatian


lebih, hal ini sesuai komitmen Indonesia pada global untuk
mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90% secara
tinggi dan merata. Hal ini terkait dengan realita bahwa campak
adalah salah satu penyebab utama kematian pada balita. Dengan
demikian pencegahan campak memiliki peran signifikan dalam
penurunan angka kematian balita.15
Indonesia memiliki cakupan imunisasi campak pada tahun
2014 sebesar 94,67% yang berarti telah memenuhi target 90%
dari yang telah ditetapkan secara nasional. Menurut provinsi,
terdapat 16 provinsi yang telah berhasil mencapai target 90%.
Provinsi Jawa Barat, Kepulauan Riau, Lampung, dan Nusa
Tenggara Barat telah mendapatkan imunisasi campak. Sedangkan
provinsi dengan cakupan terendah yaitu Papua sebesar 61%,
diikuti oleh Nusa Tenggara Timur sebesar 69,20% dan
Kalimantan Selatan sebesar 69,55%. Sedangkan berdasarkan
laporan Riskesdas 2013, persentase imunisasi campak pada anak
1223 bulan secara nasional sebesar 82,1%. Capaian tersebut
belum memenuhi target 90% dari yang ditetapkan secara
nasional. Menurut Riskesdas 2013, pada tingkat provinsi, hanya
delapan provinsi yang telah berhasil mencapai target 90% yaitu
DI Yogyakarta, Gorontalo, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Tengah,
Kepulauan Riau, NTB, dan Bengkulu.15
2) Imunisasi Lengkap pada Bayi
Program imunisasi pada bayi mengharapkan agar setiap
bayi mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap. Keberhasilan
seorang bayi dalam mendapatkan imunisasi dasar tersebut diukur
melalui indikator imunisasi dasar lengkap. Capaian indikator ini
di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 86,9%. Angka ini belum
mencapai target Renstra pada tahun 2014 yang sebesar 90%.
Sedangkan

menurut

provinsi,

terdapat

sembilan

provinsi

(27,27%) yang mencapai target Renstra tahun 2014. Tiga provinsi


dengan capaian imunisasi dasar lengkap pada bayi yang tertinggi

pada tahun 2014 yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, dan


DKI Jakarta. Sedangkan tiga provinsi dengan capaian terendah
yaitu Papua Barat sebesar 44,95%, diikuti oleh Papua sebesar
47,95%, dan Kalimantan Tengah sebesar 57,01%.15
3) Desa/Kelurahan UCI (Universal Child Immunization)
Indikator lain yang diukur untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan imunisasi yaitu Universal Child Immunization (UCI)
desa/kelurahan. UCI desa/kelurahan adalah gambaran suatu
desa/kelurahan dimana 80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang
ada di desa/kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar
lengkap. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk cakupan
desa/ kelurahan UCI pada tahun 2014 sebesar 100%. Sedangkan
pada tahun 2014 cakupan desa/kelurahan UCI sebesar 81,82%
yang berarti belum mencapai target yang telah ditetapkan. Pada
tahun 2014 terdapat lima provinsi memiliki capaian sebesar
100% yang berarti mencapai target Renstra tahun 2014, yaitu
Lampung, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, DI Yogyakarta,
dan DKI Jakarta. Sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian
terendah sebesar 13,66%, diikuti oleh Papua Barat sebesar
34,55%, dan Kalimantan Tengah sebesar 66,93%.15
2.9 Gambaran KIA di Indonesia
a. Kesehatan Anak
Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam
kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan
belas) tahun. Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu
menurunkan angka kematian anak. Indikator angka kematian yang
berhubungan dengan anak yakni Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka
Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA). Perhatian
terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi
penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59%
kematian bayi. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun
2012 sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan AKN

berdasarkan SDKI tahun 2007 dan hanya menurun 1 point dibanding SDKI
tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup. ntuk mencapai target
penurunan AKB pada MDG 2015 yaitu sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup
maka peningkatan akses dan kualitas pelayanan bagi bayi baru lahir
(neonatal) menjadi prioritas utama.15
Komitmen global dalam MDGs menetapkan target terkait kematian
anak yaitu menurunkan angka kematian anak hingga dua per tiga dalam
kurun waktu 1990-2015. Data dan informasi yang akan disajikan berikut ini
menerangkan berbagai indicator kesehatan anak yang meliputi prevalensi
bayi berat lahir rendah (BBLR), penanganan komplikasi neonatal, pelayanan
kesehatan neonatal, pelayanan kesehatan bayi, pemberian ASI eksklusif,
pemberian vitamin A, penimbangan balita di Posyandu, imunisasi dasar,
pelayanan kesehatan balita, pelayanan kesehatan pada siswa SD/setingkat,
pelayanan kesehatan peduli remaja, pelayanan kesehatan pada kasus
kekerasan anak, dan pelayanan kesehatan anak terlantar dan anak jalanan di
panti.15

Gambar 2.10 Tren angka kematian neonatal, bayi, dan balita15


b. Kesehatan ibu
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur status
kesehatan ibu pada suatu wilayah, salah satunya yaitu angka kematian ibu

(AKI). AKI merupakan salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan
aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negaranegara
tetangga di Kawasan ASEAN. Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia
mencapai 228, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup,
Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran
hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000
kelahiran hidup.15
Tren mengenai AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga 2012 hasil
SDKI dapat dilihat pada gambar di 1.2. Dari Gambar 1.2 tersebut dapat
dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2007 mengalami
penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah
sejak tahun 1990 telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan
AKI dengan pendekatan safe motherhood yaitu memastikan semua wanita
mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama
kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe Motherhood Initiative
ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan Sayang Ibu di tahun
1996 oleh presiden yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan
disamping sektor kesehatan.15
Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah
kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran
yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir ke masyarakat. Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI
memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian
ibu dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer.15
Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang
signifikan, yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup. Oleh karena itu, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan
meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS)
dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%.
Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian

ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi
tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di
Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan
angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat
menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan. Upaya
penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui
program EMAS dilakukan dengan cara:15
1. Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir
minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas
(PONED).
2. Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan
rumah sakit.
Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab
untuk menjamin setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu
yang berkualitas, mulai dari saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan
khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, memperoleh cuti hamil dan
melahirkan, serta akses terhadap keluarga berencana. Disamping itu,
pentingnya melakukan intervensi lebih ke hulu, yakni kepada kelompok
remaja dan dewasa muda dalam upaya percepatan penurunan AKI.15
Upaya pelayanan kesehatan ibu meliputi: (1) Pelayanan kesehatan ibu
hamil, (2) Pelayanan kesehatan ibu bersalin, (3) Pelayanan kesehatan ibu
nifas, (4) Pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan, dan (5) Pelayanan
kontrasepsi.

Gambar 2.11 Angka kematian Ibu di Indonesia


Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di
Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu
perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun proporsinya
telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan
sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu
di Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh HDK. Lebih jelasnya mengenai
hal itu dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Penyebab Kematian Ibu di Indonesia


2.10
Gambaran KIA di Vietnam
a. Kesehatan anak
Vietnam sudah mencapai target untuk angka kematian di bawah usia 5
tahun dan kematian bayi dengan rata-rata sudah mencapai setengah antara
tahun 1990 dan 2006 (gambar 1.4). Angka kematian bayi berkurang dari
44,4 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 14 pada tahun 2011
(MICS 2011). Angka kematian di bawah usia 5 tahun juga mengalami
penurunan cukup berarti dari 58 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 16 pada
tahun 2011 (MICS 2011). Rasio anak di bawah usia 5 tahun yang mengalami
berat badan rendah ikut menurun dari 25,2% pada tahun 2005 menjadi
18,9% pada tahun 2009.16
Sementara itu, kematian neonatus merupakan proporsi terbesar dalam
angka kematian di bawah usia 1 tahun, yang dihitung hampir mendekati 70%
dari seluruh kematian anak di bawah usia 1 tahun dan 52% dari seluruh
kematian di bawah usia 5 tahun. Rata-rata kematian di area pedesaan dekat
pegunungan adalah 2-2,5 kali lebih besar daripada di area urban dan
pedesaan di daerah dataran. Kehidupan neonatus sangat berkaitan dengan

kesehatan maternal. Banyak wanita di pedesaan dekat pegunungan tidak


memperoleh akses ke pelayanan dasar kesehatan, termasuk pemeriksaan saat
kehamilan, post-natal care, vaksinasi, delivery support, dan akses pelayanan
dan pengobatan rutin.16
Tingkat kematian usia di bawah 5 tahun disebabkan oleh berbagai
penyebab dapat dilihat dari gambar 1.5 di bawah. Diketahui bahwa pada
tahun 2010 kematian usia di bawah 5 tahun paling tinggi disebabkan oleh
kelainan kongenital yaitu sebanyak 22%. Urutan kedua dan ketiga diduduki
oleh prematuritas (18%) dan penyakit lain (13%). Sementara itu penyebab
lainnya adalah pneumonia, asfiksia, diare, sepsis neonatus, campak, injuries,
HIV/AIDS, dan malaria.16

Gambar 2.12 Mortalitas dibawah 5 tahun16

Gambar 2.13 Distribusi penyebab kematian anak dibawah 5 tahun16

b. Kesehatan ibu
Kematian ibu di Vietnam mengalami penurunan yang cukup berarti
dalam dua dekade, dari 233 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990
menjadi 69 per 100.000 kelahiran hidup, dengan rata-rata duapertiga dari
penurunan ini berkaitan dengan kehamilan yang aman dan sehat. Sistem
yang baik juga telah dibuat untuk memperluas akses kualitas kesehatan
reproduktif, termasuk kesehatan maternal dan neonatal; keluarga berencana;
meningkatkan penggunaan kontrasepsi modern; dan meneruskan programprogram yang sudah baik, kebijakan dan hukum untuk hak dan kesehatan
reproduksi yang diberikan sama untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pada orang miskin dan kelompok tidak berdaya.16
Angka kematian ibu pada antara tahun 2006 dan 2009 tidak
mengalami perubahan. Dalam mencapi target MDGs untuk menurunkan
angka kematian maternal diperlukan usaha yang lebih keras. Selain itu,
terdapat perbedaan yang besar yaitu rata-rata kematian maternal tertinggi ada
di area terpencil dan etnik minoritas. Faktor geografi, tingkat pengetahuan
ibu, dan praktik tradisional di area terpencil sering menghambat ibu untuk
mengakses pelayanan kesehatan maternal. Gambaran kematian ibu dari
tahun 1990-2010 dapat dilihat pada gambar 1.6.16

Gambar 2.14 Tren Maternal Mortalitas 1990 201516


2.11

Mekanisme terjadinya masalah kesehatan pada kasus

Bayi berat lahir rendah dapat disebabkan oleh faktor ibu, faktor janin,dan
faktor lingkungan. Faktor ibu meliputi umur ibu, jarak kelahiran terlalu dekat,
status gizi, kehamilan kembar, paritas, status ekonomi, pendidikan, dan
pekerjaan ibu . Faktor janin yang memengaruhi BBLR yaitu cacat bawaan dan
infeksi dalam rahim. Faktor lingkungan adalah ibu yang tinggal di dataran
tinggi, terkena radiasi dan terpapapr zat beracun.17
Untuk mendukung pelayanan PONED dan PONEK dibutuhkan
pembentukan sistem rujukan yang sesuai standar agar upaya pencapaian target
terkait kematian ibu dan anak yaitu menurunkan AKI hingga tiga per empat
dan angka kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015.
Masih tingginya AKI dan AKB termasuk neonatal juga dipengaruhi dan
didorong berbagai faktor yang mendasari timbulnya risiko maternal dan atau
neonatal, yaitu faktor-faktor penyakit, masalah gizi dari WUS/ maternal serta
faktor 4T (terlalu muda dan terlalu tua untuk hamil dan melahirkan, terlalu
dekat

jarak

kehamilan/

persalinan

dan

terlalu

banyak

hamil atau melahirkan). Kondisi tersebut di atas lebih diperparah lagi oleh
adanya keterlambatan penanganan kasus emergensi/komplikasi maternal
dan atau neonatal secara adekuat akibat oleh kondisi 3T (Terlambat), yaitu:
1) Terlambat mengambil keputusan merujuk, 2) Terlambat mengakses
fasyankes yang tepat, dan 3) Terlambat memperoleh pelayanan dari
tenaga kesehatan yang tepat/ kompeten.18
Berikut merupakan gambaran sebaran PONED dan PONEK di wilayah
nusa tenggara timur :

Gambar 2.15 Gambaran sebaran PONED dan PONEK di wilayah nusa tenggara
timur18
Berdasarkan data dapat dilihat bahwa terdapat 4 buah PONED di daerah
timur tengah selatan, namun hal ini tidak ditunjang dengan pendirian PONEK
didaerah Timur Tengah Selatan sebagai rumah sakit rujukan PONED. PONEK
terdekat didaerah tersebut berada di kota kupang dan jaraknya lumayan jauh
untuk merujuk pasien. Hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan angka
kematian anak dibawah 5 tahun dan juga peningkatan kasus BBLR karena
jauhnya rumah sakit rujukan, sehingga terlambat untuk ditangani.18
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500
gram tanpa memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang
ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Untuk keperluan bidan di desa berat lahir
masih dapat diterima apabila dilakukan penimbangan dalam 24 jam pertama
setelah lahir. Bayi BBLR mempunyai resiko meninggal 40 kali lebih tinggi
dibandingkan bayi dengan berat badan normal pada tahun pertama. Faktor
faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir adalah sebagai berikut:19,20
a. Umur ibu
Umur ibu mempunyai hubungan erat dengan berat bayi lahir
pada umur ibu yang

masih

muda, perkembangan organ-organ

reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal. Selain itu emosi


dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan
ibu tersebut belum dapat mengadapi kehamilannya secara sempurna,
dan sering terjadi komplikasi-komplikasi. Telah dibuktikan pula bahwa
angka kejadian persalinan kurang bulan akan tinggi pada usia dibawah
20 tahun dan kejadian paling rendah pada usia 26 35 tahun, semakin
muda umur ibu maka anak yang dilahirkan akan semakin ringan.
Berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan Depkes RI dalam
hubungannya dengan umur ibu melahirkan, dikatakan bahwa risiko
kehamilan akan terjadi pada ibu yang melahirkan dengan umur kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun erat kaitannya dengan terjadinya
kanker rahim dan BBLR.
b. Jarak kehamilan

Menurut ketentuan yang di keluarkan oleh badan kordinasi


keluarga berencana (BKKBN) menyatakan bahwa jarak antara
kelahiran yang ideal adalah 3 tahun atau lebih. Hal tersebut karena jarak
kelahiran yang pendek dapat menyebabkan seorang ibu belum cukup
waktu

untuk

memulihkan kondisi tubuhnya

sebelumnya, sehingga

setelah

kelahiran

merupakan salah satu faktor penyebab

kelemahan dan kematian ibu dan bayi yang di lahirkan.


c. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan adalah kondisi dimana ibu hamil tinggal
apabila kondisi lingkungan tidak sehat

dan miskin maka akan

menyebabkan kejadian infeksi yang meningkat dan pengaruhnya dapat


berlipat ganda pada ibu hamil dan janinnya. Penyakit infeksi tersebut
antara lain penyakit malaria, hepatitis, syphilis dan penyakit karena
bakteri lainnya yang diderita ibu hamil yang dapat memberikan angka
kematian dan kesakitan yang lebih tinggi pada bayi.
Selain itu pada daerah geografis yang buruk, juga dapat
menyebabkan anemia

gizi.

Hal ini yang sulit dijangkau dari segi

pendidikan dan ekonomi, seperti daerah terpencil sert daerah yang


endemis dengan penyakit yang memperberat anemia seperti kejadian
endemis malaria.
d. Asupan makanan ibu selama hamil
Kebutuhan fisiologis sewaktu hamil adalah jumlah energi,
protein dan zat- zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin, perubahan metabolisme tubuh ibu, ibu hamil dan
bayi merupakan kelompok rawan dalam risiko kematian yang tinggi.
Apabila asupan makanan ibu selama kehamilan kurang 1800 kalori
sehari angka prevalensi bayi dengan BBLR akan timggi karena
pemenuhan akan zat-zat yang di perlukan janin berkurang.
e. Tingkat pendidikan ibu
Pendidikan yang rendah, adapt istiadat yang ketat serta
nilai

dan kepercayaan akan takhayul disamping tingkat penghasilan

yang masih rendah merupakan faktor penghambat dalam upaya


penggalakkan

potensi

masyarakat

untuk

berperan serta

dalam

pengembangan kesehatan. Pendidikan rata-rata penduduk yang masih


rendah, khususnya dikalangan ibu hamil merupakan salah satu masalah

yang berpengaruh terhadap masalah- masalah kesehatan, sehingga sikap


hidup dan perilaku yang mendorong peningkatan kesehatan masyarakat
masih kurang.
Pendidikan ibu yang masih rendah dapat
kejadian BBLR meningkat

akibat

kurang

mengakibatkan

pengetahuan

dalam

menjaga kehamilannya, makin tanggi pendidikan ibu, mortalitas dan


morbiditas makin menurun, hal tersebut hanya akibat kesadaran ibu
akan kesehatannya lebih tinggi, tetapi juga karena adanya pengaruh
social ekonominya. Kemungkinan melahirkan anak dengan berat
3000-3499 gram paling banyak ditemukan pada ibu dengan pendidikan
perguruan tinggi dan makin menurun dengan makin rendahnya
pendidikan.
f. Keadaan sosial ekonomi
Anemia gizi juga lebih sering terjadi pada golongan ekonomi
yang rendah karena kelompok penduduk ekonomi rendah, khususnya
pada ibu hamil kurang mampu membeli makanan sumber zat besi
dikarenakan harga yang relative mahal, kurang mempunyai akses
terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia. Selain itu keadaan
ekonomi dapat mempengaruhi daya beli ibu hamil. Apabila makin
rendahnya daya beli semakin sedikit makanan yang di konsumsi. Lebih
jauh lagi semakin rendah makanan yang dikonsumsi ibu selama hamil,
semakin tinggi pula prevalensi kejadian BBLR.
2.12

Perbandingan pencapaian penanggulangan kematian maternal di

Indonesia dibandingkan dengan negara Vietnam


Pencapaian penanggulangan kematian maternal di Vietnam lebih baik
daripada di Indonesia. Hal tersebut dapat diketahui melalui data angka
kematian ibu (AKI) per 100.000 kelahiran pada periode 1990-2015 yang
terdapat pada gambar 1.21

500

446

450
400

ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA DAN VIETNAM


(PER 100.000 KELAHIRAN BAYI)
PERIODE 1990-2015
326

350
300

265

250

Indonesia

212

200

139

150

165
126

107
81

100
50
0
1990

Vietnam

1995

2000

61

2005

58

2010

54

2015

Gambar 2.16 Perbandingan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia dan


Vietnam
Meskipun kedua negara terus mengalami penurunan angka kematian ibu,
namun angka kematian ibu di Indonesia selalu lebih tinggi dibandingkan
dengan negara Vietnam. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yang meliputi kesadaran masyrakat, kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan
hingga strategi pelaksanaan pelayanan kesehatan yang melibatkan berbagai
pihak secara terpadu.21
2.13

Peran negara dalam penanggulangan penyakit dan atau kematian

maternal
Salah satu upaya masif pemerintah untuk menurunkan AKI adalah
Program penempatan bidan di desa, yang telah mulai dilaksanakan sejak tahun
1990-an. Program ini bertujuan untuk mendekatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir terutama pada saat kehamilan dan
persalinan. Penerapan standar APN di pelayanan dasar dengan harapan
menurunkan proporsi perdarahan dan infeksi.

APN merupakan pelatihan

persalinan yang salah satu komponennya adalah manajemen aktif kala III
(MAK III) untuk mencegah sebagian perdarahan pasca-salin dan penggunaan
Partograf untuk mendeteksi masalah dalam proses persalinan. Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) untuk membantu

keluarga membuat perencanaan persalinan dan membantu mewujudkan


rencana itu dengan baik tepat pada waktunya.22
Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih
merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di
Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
meningkat dari 66,7% pada tahun 2002 menjadi 77,34% pada tahun 2009
(Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010
(Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih
antarwilayah

masih

merupakan

masalah.

Data

Susenas

tahun

2009

menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14% di DKI Jakarta sedangkan


terendah sebesar 42,48% di Maluku.22
Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan, diperlukan
pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), hal ini juga dilakukan untuk
menjamin ibu untuk melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Sekitar 93%
ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional
selama masa kehamilan. Terdapat 81,5% ibu hamil yang melakukan paling
sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru
65,5% yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan.
Namun ternyata masih banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses
penurunan AKI di Indonesia yakni sebagai berikut:22
1.

Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan


kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah
tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK).

2.

Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi


jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan.

3.

Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan


pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan ibu.

4.

Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.

5.

Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya


unmet need.

6.

Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pencatatan


penyebab kematian ibu masih belum adekuat.
Upaya peningkatan kesehatan ibu ke depannya perlu diprioritaskan pada

perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang


komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan
komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Penyediaan fasilitas
pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan
obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi
darah yang belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh
penduduk harus menjadi prioritas pemerintah sebagai upaya penurunan AKI di
Indonesia. Sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga
belum berjalan optimal. Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan
transportasi, dan faktor budaya. Selain itu pemerintah juga harus merapikan
sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data
yang ditampilkan benar-benar menggambarkan kondisi kesehatan perempuan
Indonesia saat ini. Mengingat pentingnya AKI sebagai salah satu indikator
pembangunan Negara, maka sudah sewajarnya pemerintah membuat sebuah
kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan kesehatan perempuan.
Tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi juga indikator
input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan perempuan, pemerataan
jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta pendidikan kesehatan
reproduksi untuk perempuan.22
Pemerintah harus mengambil tindakan untuk segera meningkatkan
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan. Kebijakan untuk memberikan
fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja harus
segera diberikan. Selain itu, kebijakan anggaran kesehatan, khususnya
kesehatan perempuan pun harus menjadi komitmen pemerintah untuk
menjalankan amanah Undang-Undang Kesehatan. Semakin lambat kebijakan
tersebut diberikan dapat dipastikan angka KTD dan AKI di Indonesia akan
terus meningkat. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di
Indonesia antara lain:22

1. Memiliki persepsi bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap warga


Negara.
2. Pemerintah berkomitmen mengalokasikan dana kesehatan 5% APBN 2013
serta memastikan daerah-daerah untuk menganggarkan 10% APBD untuk
kesehatan diluar gaji.
3. Memastikan bahwa 2/3 dari total anggaran kesehatan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan bukan untuk insfrastruktur seperti yang selama ini
banyak dilakukan pemerintah daerah.
4. Pemerintah membuat kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan
kesehatan perempuan, misalnya dengan mengharuskan 20% anggaran
kesehatan untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan memastikan
anggaran tersebut tepat sasaran.
5. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif
(PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED),
posyandu dan unit transfusi darah yang belum merata dan belum
seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk.
6. Menjamin kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil, untuk
mendukung kinerja mereka sebagai ujung tombak pemberi pelayanan
kesehatan untuk ibu hamil dan melahirkan.
7. Memastikan sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit
berjalan optimal.
8. Memperbaiki infrastruktur jalan dan fasilitas kesehatan sebagai upaya
multisektor.
9. Memperbaiki sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia
sehingga data yang ditampilkan menggambarkan kondisi kesehatan
perempuan Indonesia saat ini.
10. Memasukkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan
kesehatan reproduksi) untuk remaja dan perempuan ke dalam indikator
SPM serta mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi remaja
di Puskesmas yang secara aktif juga memberikan pendidikan kesehatan
reproduksi di sekolah-sekolah sesuai jenjang pendidikan.
11. Membentuk peer conseling untuk remaja terkait kesehatan reproduksi.
12. Menyediakan fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan aman untuk
pemulihan haid
13. Menghapus praktik aborsi tidak aman yang berpotensi menyebabkan AKI
di Indonesia.

14. Melakukan pendekatan budaya kepada masyarakat untuk mengubah pola


pikir agar permasalahan kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan
reproduksi

remaja,

merupakan

masalah

bersama

dan

tidak

lagi

menganggapnya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan.


15. Pemerintah tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi
juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan
perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta
pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.
2.14
Tabel perbandingan sistem kesehatan di Indonesia dan Vietnam
1. Sistem kesehatan (ideologi, intervensi pemerintah dalam pelayanan dan
pembiayaan kesehatan)
a. Indonesia
Sistem kesehatan yang digunakan adalah sistem kesehatan
nasional (SKN) yang berasal dari perpres RI No.71 tahun 2012.
SKN merupakan pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh
semua komponen bangsa Indonesi dengan tujuan menjamin
tercapainya tingkat kesehatan yang optimal. Pengelolaan dilakukan
berjenjang di pusat dan daerah dengan memperhatikan otonomi
daerah dan fungsional di bidang kesehatan. Intervensi pemerintah
adalah menjalankan SKN dengan menganut 7 subsistem yaitu upaya
kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan
kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat
kesehatan,

dan

makanan,

serta

subsistem

pemberdayaan

masyarakat.5
b. Vietnam
Pemerintah mendukung pembanguan sistem kesehatan yang
komprehensif dan terintegrasi dengan kemampuan perubahan pola
penyakit dan peningkatan kemandirian kesehatan pada penduduk.
Program penunjang pemerintah mencakup program nasional
terakreditasi,
penjaminan

pendidikan
mutu,

kedokteran

peningkatan

akses

berkelanjutan,
pelayanan

program
kesehatan,

perkembangan penelitian kedokteran, informasi teknologi, dan


berkoordinasi dnegan jaringan kesehatan nasional, provinsi, dan
perifer sebagai perantara hubungan lintas sektor (militer dan sipil).

2. Sistem pembiayaan (tax based, social insurance, commercial insurance,


komunis)
Seperti sistem pembiayaan kesehatan negara-negara sosialis lainnya di
masa lalu, Pembiayaan kesehatan Vietnam telah didasarkan pada
pendapatan pemerintah secara umum. Sistem pelayanan kesehatan telah
berhasil

dalam mengembangkan jaringan

layanan

kesehatan

yang

menyediakan perawatan kesehatan primer gratis dan pelayanan rujukan bagi


semua warga negara. Pada akhir 1970an, negara mengalami krisis ekonomi
yang serius dan pada tahun 1986 pemerintah meluncurkan Doi-Moi nya
(atau renovasi) reformasi ekonomi. Dibidang kesehatan, empat besar
reformasi diperkenalkan yaitu : pengenalan, retribusi, pengenalan asuransi
kesehatan, izin praktek swasta dalam perawatan kesehatan, dan pembukaan
pasar farmasi. Sebagaimana reformasi dilaksanakan, pengeluaran untuk
kesehatan perawatan meningkat drastis, mencapai 71% dari total
pengeluaran kesehatan pada tahun 1993 dan terus meningkat menjadi 80%
pada tahun 1998.
a. Indonesia
Sistem pembiayaan yang dilakukan adalah jaminan kesehatan
sebagai asuransi sosial dan komersial yang juga selalu meningkat per
tahun. Jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu
menjadi lokomotif pengembangan jaminan di berbagai daerah.
Proporsi penduduk dengan jaminan kesehatan dengan yang tidak
memiliki jaminan kesehatan adalah 59,07% berbanding 40,39%.
Cakupan pada tahun 2010 meliputi 54,8% Jamkesmas, 22,6%
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), 12,4% Asuransi Kesehatan
(Askes) dan TNI/Polri, 3,5% Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek), 4,6% dari perusahaan, dan 2,0% asuransi swasta.
Pembiayaan pelayanan kesehatan primer untuk penduduk miskin
dibiayai oleh pemerintah sedangkan status ekonomi lainnya dibiayai
dalam sistem pembiayaan yang telah diatur pemerintah.
b. Vietnam
Pembiayaan kesehatan difasilitasi oleh pemerintah. Bagi
masyarakat dengan status ekonomi rendah, sebelum tahun 2005
diberlakukan sistem bebas biaya untuk mendapatkan fasilitas

kesehatan dengan menggunakan kartu keterangan. Akan tetapi, pada


tahun 2005, sistem tersebut mengalami modifikasi yakni pemerintah
memberikan subsidi untuk harga premium. Selain itu, terdapat
asuransi sosial dan komersial yang berlaku, khususnya bagi
masyarakat dengan status ekonomi rendah. Sistem lainnya adalah
pembayaran rumah tangga atau out-of-packet (payment).
3. Indikator kesehatan (vital statistik dan MDG)
a. Communicable disease
1) Penyakit Menular TBC di Indonesia
Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak
176.677 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus
tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah
dapat dilihat pada gambar 1.2. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi
tersebut sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada
perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus
BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Kep.
Bangka Belitung, kasus pada laki-laki hampir dua kali lipat dari kasus
pada perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak
ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76%
diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada
kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,24%. Proporsi kasus baru
BTA+ menurut kelompok umur dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut
ini. Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan
proporsi yang paling rendah. Dengan demikian terlihat bahwa kasus
baru BTA+ rata-rata terjadi pada kelompok umur dewasa.15

Gambar 2.17 Proporsi kasus baru BTA + menurut kelompok umur

Gambar 2.18 Proporsi BTA+ diantara seluruh kasus TB paru menurut


provinsi tahun 2014
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi TB berdasarkan
diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk. Menurut provinsi,
prevalensi TB paru tertinggi berdasarkan diagnosis yaitu Jawa Barat
sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-masing sebesar 0,6%.
Sedangkan Provinsi Riau, Lampung, dan Bali merupakan provinsi
dengan prevalensi TB paru terendah berdasarkan diagnosis yaitu
masing-masing

sebesar

0,1%.

Sedangkan

menurut

Global

Tuberculosis Control, estimasi insidens semua tipe TB tahun 2013


yang sebesar 183 per 100.000 penduduk mengalami penurunan
dibandingkan tahun 1990 yang sebesar 343 per 100.000 penduduk.

Begitu juga dengan prevalensi TB dan mortalitas yang mengalami


penurunan pada tahun 2013 seperti yang terlihat pada Tabel 1.1. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa program pengendalian TB di
Indonesia telah berhasil menurunkan insidens, prevalensi, dan
mortalitas akibat penyakit TB. Menurut jenis kelamin, prevalensi TB
paru pada laki-laki lebih tinggi yaitu sebesar 0,4% dibandingkan pada
perempuan yang sebesar 0,3%. Sedangkan menurut tipe daerah,
prevalensi TB paru pada penduduk di perkotaan sebesar 0,4%, lebih
tinggi dibandingkan dengan penduduk di perdesaan yang sebesar
0,3%.15

Tabel 2.1 Estimasi insidens, prevalensi, dan mortalitas TB per 100.000 penduduk tahun
1990 dan 2013
2) Penyakit Menular HIV AIDS di Indonesia
Setelah 3 tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil,
perkembangan jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2013 dan 2014
kembali mengalami peningkatan secara signifikan. Perkembangan HIV
positif sampai tahun 2014 disajikan pada Gambar 2.1. Sebanyak 15
provinsi di Indonesia memiliki jumlah kasus HIV > 440, meliputi seluruh
provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Pulau Papua serta beberapa provinsi di
Sumatera (Sumatera Utara dan Riau), Kalimantan (Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur), dan satu provinsi di Sulawesi yaitu Sulawesi
Selatan. Jumlah kasus HIV di lima belas provinsi tersebut menyumbang
hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia. Provinsi

dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa
Barat. Sebanyak empat provinsi memiliki jumlah kasus HIV kurang dari
90 kasus yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Aceh, dan Maluku Utara.15

Gambar 2.19 Jumlah kasus baru HIV positif


Kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru sampai tahun
2013. Namun pada tahun 2014 terjadi penurunan kasus AIDS menjadi
sebesar 5.494 kasus. Diperkirakan hal tersebut terjadi karena jumlah
pelaporan kasus AIDS dari daerah masih rendah. Secara kumulatif,
kasus AIDS sampai dengan tahun 2014 sebesar 65.790 kasus. Menurut
jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS tahun 2014 pada kelompok
laki-laki 1,8 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan.
Penderita AIDS pada laki-laki sebesar 61,6% dan pada perempuan
sebesar 34,4%. Sebesar 4% penderita AIDS tidak diketahui jenis
kelaminnya. Beberapa kasus baru AIDS dari Provinsi DKI Jakarta dan
Papua Barat tidak dilaporkan jenis kelaminnya. Gambaran kasus baru
AIDS menurut kelompok umur menunjukkan bahwa sebagian besar
kasus baru AIDS terdapat pada usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan 4049 tahun dapat dilihat pada gambar 2.2. Kelompok umur tersebut

masuk ke dalam kelompok usia produktif yang aktif secara seksual


dan termasuk kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik.
HIV/AIDS dapat ditularkan melalui beberapa cara penularan, yaitu
hubungan seksual lawan jenis (heteroseksual), hubungan sejenis
homoseksual/biseksual, penggunaan alat suntik (penasun) secara
bergantian, transfusi darah, dan penularan dari ibu ke anak
(perinatal).15

Gambar 2.20 Persentase kasus baru AIDS menurut kelompok umur


AIDS menurut cara penularan tersebut. hubungan heteroseksual
merupakan cara penularan dengan persentase tertinggi pada kasus
AIDS yaitu sebesar 81,3%, diikuti oleh homoseksual sebesar 5,1%
dan perinatal sebesar 3,5%. Sedangkan penasun yang biasanya cara
penularan tertinggi kedua, pada tahun 2014 turun secara signifikan
menjadi 3,3% dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 9,3%. Penyakit
AIDS dilaporkan bersamaan dengan penyakit penyerta. Pada tahun
2014 penyakit kandidiasis, tuberkulosis, dan diare merupakan
penyakit penyerta AIDS tertinggi masing-masing sebesar 1.316 kasus,
1.085 kasus, dan 1.036 kasus. Angka kematian atau Case Fatality
Rate (CFR) akibat AIDS sejak 2004 cenderung menurun seperti

Gambar 2.3 berikut ini. Pada tahun 2014 CFR AIDS di Indonesia
sebesar 1,22%.15

Gambar 2.21 Angka kematian akibat AIDS yag dilaporkan


3) Gambaran penyakit menular (HIV/AIDS) dan TBC di Vietnam
Target TB GHI global akan memberikan kontribusi pada
pengobatan minimal 2,6 juta sputum BTA kasus baru positif TB dan
57.200 kasus TB MDR, pengurangan 50 % kematian TB dan beban
penyakit relatif terhadap data tahun 1990. Sejak tahun 1997 USG telah
memberikan dukungan keuangan dan teknis terbatas pada Program TB
Nasional. Sejak tahun 2004, diperluas pendanaan dan dukungan teknis
telah diberikan kepada Vietnam NTP dan mitra lainnya melalui
PEPFAR dengan fokus utama pada TB/HIV; fokus yang telah
diperluas untuk memastikan bahwa investasi di TB/HIV yang
berkelanjutan dan optimal efektif.16
Melalui tujuan Kerangka Kemitraan Vietnam, strategi GHI akan
mendukung seluruh sistem kesehatan nasional dan berkontribusi untuk
keseluruhan HSS . Komponen HSS dari PEPFAR dan GF karya

intensif akan mempromosikan penyediaan layanan berkelanjutan


melalui penguatan sistem kesehatan, dan respon nasional diperluas
dan diperkuat untuk HIV/AIDS melalui peningkatan kapasitas untuk
GVN dan pemangku kepentingan lainnya termasuk mitra swasta dan
masyarakat sipil.16
HSS tertanam di seluruh spektrum pencegahan PEPFAR
Vietnam HIV/AIDS, perawatan, pengobatan, pengendalian infeksi,
dan kegiatan laboratorium. Melalui kegiatan PEPFAR dalam
mendukung strategi GHI, kami akan memperkuat sistem kesehatan di
Vietnam

dengan

menyediakan

bantuan

dalam

pemerintahan,

pelayanan, HRH, manajemen rantai pasokan, sistem informasi


kesehatan, dan pembiayaan. Prioritas bawah GHI mencakup bantuan
teknis untuk mengembangkan satu sistem distribusi nasional untuk
komoditas HIV/AIDS, yang akan tumpah untuk memperkuat seluruh
rantai pasokan komoditas kesehatan. PEPFAR juga akan memberikan
bantuan teknis kepada Depkes dan MOLISA untuk memperkuat preservice dan in-service training, dukungan untuk organisasi perawat
profesional untuk mengadvokasi ruang lingkup yang ditetapkan
praktek, dan dukungan untuk memperluas kader profesional pekerjaan
sosial dengan keterampilan untuk menangani manajemen kasus dan
konseling kecanduan. pembiayaan kesehatan juga menjadi prioritas,
termasuk uji coba skema asuransi kesehatan bagi orang yang hidup
dengan HIV dan menjelajahi fee-for-service model.16
Untuk membangun kapasitas petugas kesehatan, PEPFAR akan
bekerja dengan universitas Vietnam untuk mengembangkan kurikulum
standar untuk informatika kesehatan masyarakat dan menggunakan
data kompetensi. Upaya ini akan menciptakan kader profesional
kesehatan berkaliber tinggi termasuk dokter, perawat, laboratorians,
dan paraprofesional. Vietnam baru mulai mengembangkan strategi
untuk CME, dan USG, melalui PEPFAR, memainkan peran katalisator
dalam mendukung pengembangan nasional strategi dan kurikulum
materi yang berhubungan dengan HIV/AIDS, TB, dan penyakit
menular lainnya. pekerjaan ini akan dilaksanakan melalui kemitraan

dengan Depkes dan universitas lokal dan Amerika, dan didukung oleh
sistem kesehatan antar kelompok kerja teknis.16
Keberlanjutan dari respon nasional terhadap HIV dan masalahmasalah

mendesak

kesehatan

lainnya

juga

tergantung

pada

membangun kapasitas untuk GVN untuk menganggap manajemen dan


kepemimpinan teknis di tidak hanya tingkat pusat, tetapi juga tingkat
kabupaten dan provinsi . bantuan teknis telah diintegrasikan ke dalam
beberapa inisiatif donor didukung dalam beberapa tahun terakhir,
namun komprehensif, pendekatan strategis untuk membangun
kapasitas dalam sistem pemerintah belum dikembangkan. Strategi
GHI merupakan langkah maju dalam mengembangkan pendekatan
semacam itu.16

Gambar 2.22 MDGs Vietnam


b. Non-communicable disease
1) Indonesia
Penyakit tidak menular merupakan 71% penyebab dari seluruh
kematian di Indonesia. Sebagian besar penyakit tidak menular di

Indonesia adalah penyakit jantung, yaitu sebesar 37% dari total penyakit
tidak menular. Kemungkinan kematian akibat penyakit tidak menular
antara usia 30-70 tahun berdasarkan penyakit kanker, diabetes, penyakit
jantung dan penyakit pernapasan kronik adalah sebesar 23%. Proporsi
jumlah kematian penyakit tidak menular di Indonesia dapat dilihat pada
gambar 1.23

Gambar 2.23 Proporsi Penyebab Mortalitas Akibat Penyakit Tidak Menular di


Indonesia23
2) Vietnam
Penyakit tidak menular menjadi penyebab kematian sebesar 75%
dari total seluruh kematian di Vietnam. Sebagian besar penyebab
kematian adalah akibat penyakit jantung, yaitu sebesar 4%. Proporsi
penyebab mortalitas akibat penyakit tidak menular di Vietnam terdapat
pada gambar 2.23

Gambar 2.24 Proporsi Penyebab Mortalitas Akibat Penyakit Tidak Menular di


Vietnam23
c. Hospital coverage
1) Indonesia
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia secara garis besar
dibagi menjadi dua yaitu publik dan pribadi. Fasilitas pelayanan
kesehatan publik meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit
Daerah, Rumah Sakit Kabupaten/Kota, Puskesmas, Pustu dan Klinik
berjalan. Sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan pribadi meliputi
Rumah Sakit Spesialis, Rumah Sakit Umum dan Klinik Pribadi.24
Fasilitas pelayanan kesehatan publik dibagi menjadi beberapa
kelas, yaitu kelas A, B, C dan D. Pelayanan kesehatan pada kelas A
meliputi dokter spesialis dan sub-spesialis. Pelayanan kesehatan pada
kelas B meliputi dokter spesialis dan sub-spesialis yang terbatas.
Pelayanan kesehatan pada kelas C meliputi minimal 4 dokter spesialis
dasar. Pelayanan kesehatan pada kelas D meliputi fasilitas kesehatan
dasar. Sedangkan pelayanan kesehatan pribadi dibagi menjadi
prioritas (pelayanan kesehatan umum, spesialis dan sub-spesialis),
madya (pelayanan kesehatan umum dan minimal 4 spesialis dasar)
dan pratama (pelayanan kesehatan umum).24
2) Vietnam
Fasilitas pelayanan kesehatan di Vietnam adalah berjenjang
berdasarkan cakupan wilayah. Unit profesional di bawah kementerian
kesehatan di antaranya adalah unit kuratif yang terdiri dari 30 rumah

sakit, unit preventif yang terdiri dari 17 institusi, unit kontrol kualitas
yang terdiri dari 5 rumah sakit, unit pelatihan yang terdiri dari 14
universitas serta pusat edukasi dan komunikasi kesehatan yang terdiri
dari 17 unit.25
Fasilitas pelayanan kesehatan pada tingkat provinsi meliputi
Rumah Sakit Umum dan Spesialis, pusat kesehatan preventif, pusat
kontrol kualitas kesehatan, unit pelatihan tenaga kesehatan serta pusat
edukasi dan komunikasi kesehatan. Sedangkan pada tingkat
kabupaten/kota, fasilitas pelayanan kesehatan terdiri dari Rumah
Sakit Umum Kabupaten/Kota, Klinik, Pusat Kesehatan Preventif
Kabupaten/Kota. Dan di desa terdapat pusat kesehatan desa.25
4. Health economy
a. Indonesia
Pembiayaan kesehatan di Indonesia selalu meningkat. Saat ini
tercatat, presentase pengeluaran nasional kesehatan terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) tahun 2005 adalah Rp. 57,106.46 triliun (2,06%)
dan meningkat menjadi Rp. 132,472.09 triliun (2,36%) pada tahun 2009.
Presentase pengeluaran kesehatan bersumber publik adalah 1,10%
berbanding 1,26% terhadap PDB pada tahun 2009. Selain itu, terdapat
peningkatan pengeluaran nasional kesehatan per kapita, tahun 2010
adalah 33,0 triliun. Dana yang dikeluarkan meningkat dari Rp. 33,0
triliun pada tahun 2010 menjadi Rp. 71,1 triliun pada tahun 2015
(gambar 2.25). Pada umumnya, tiap individu akan membayar dana
asuransi kesehatan serta jaminan kesehatan lainnya.26

Gambar 2.25 Anggaran kesehatan RI tahun 2010-2015


b. Vietnam27,28
Vietnam merupakan negara dengan ekonomi nasional yang
meningkat cepat dan Gross Domestic Product (GDP) tiap tahun
meningkat 6-8 persen sejak tahun 2000. Pengeluaran biaya kesehatan
meningkat dalam 10 tahun mencapai US$ 66 pada tahun 2008 (gambar
2.26).

Gambar 2.26 Pengeluaran per kapita kesehatan di Viet Nam (US$ harga
saat ini ), 1998-2008
Pengeluaran pemerintah umum sebagai bagian dari PDB adalah
32 % pada tahun 2008. Sebagai negara berkembang dengan pendapatan
rendah, sumber utama Vietnam pendapatan adalah pajak tidak langsung
(pajak pajak bisnis, impor dan ekspor, dan pajak pertambahan nilai),
dengan cukup bagian dari pendapatan negara yang berasal dari produksi
minyak (24,2 % dari total anggaran tahun 2006). Sebaliknya, penerimaan
pajak langsung-pajak penghasilan- sangat rendah, di hanya 1,8 % dari
total pendapatan anggaran dalam struktur penerimaan negara pada tahun
2006 (Nasional Majelis Vietnam, 2006) Pertumbuhan PDB tahunan
cukup stabil pada 8 %, yang dengan demikian juga telah memfasilitasi
peningkatan alokasi anggaran negara untuk kesehatan. Pada tahun 2008
anggaran negara yang diberikan untuk sektor kesehatan adalah 2,3 kali
lebih tinggi dari 2002 alokasi harga konstan (Gambar 2.27).

Gambar 2.27 pembiayaan berbasis pajak untuk kesehatan ( harga saat ini dan konstan )
selama 2002-2008
Menurut National Health Accounts untuk 2002-2008, proporsi
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan ( tidak termasuk dana SHI )
dari total pengeluaran kesehatan menurun dari 21,2 % pada tahun 2002
menjadi 15,1% pada 2005, namun meningkat menjadi 25,4 % pada tahun
2008. Pengeluaran anggaran pemerintah untuk kesehatan (tidak termasuk
dana SHI) sebagai proporsi belanja APBN Total turun dari 3,9 % pada
tahun 2002 menjadi 3,6% pada tahun 2006, namun meningkat menjadi
4.0 % pada tahun 2008 (Gambar 2.28) Tiap rumah tangga melakukan
pembayaran rutin untuk mendapatkan akses kesehatan. Jumlah tesebut
mengalami penurunan dalam beberapa tahun, walaupun demikan,
jumlahnya masih sangat tinggi (55% dari total health expenditure).

Gambar 2.28 pengeluaran pemerintah untuk kesehatan ( tidak termasuk pengeluaran


SHI) dibandingkan dengan total pengeluaran kesehatan dan total pengeluaran
pemerintah
5. Mekanisme sistem rujukan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 tahun
2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan BAB III,
Pasal 4:
1. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan
medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan
dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan
dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.
4. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau
dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis.
Tata Cara Rujukan Pasal 7:
1. Rujukan dapat dilakukan s ecaravertikal dan horizontal.
2. Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

merupakanrujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan.


3. Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan.

Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan


dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang
lebih tinggi atau sebaliknya.

Gambar 2.29 struktur administratif sistem kesehatan di Vietnam


6. Kapasitas tenaga kesehatan
a. Indonesia
Pada tahun 2013 mencapai 29% dokter spesialis anak, 27% dokter
spesialis kandungan, 32% dokter spesialis bedah, dan 33% dokter
spesialis
penyakit dalam. Dokter umum yang memiliki STR berjumlah 88.309
orang, sehingga rasio dokter umum sebesar 3,61 orang dokter per 10.000
penduduk. Padahal menurut rekomendasi WHO seharusnya 10 orang

dokter umum per 10.000 penduduk. Sementara itu, mutu lulusan tenaga
kesehatan juga masih belum menggembirakan.

Rasio dokter umum di Indonesia tahun 2013 adalah 37,2 per 100.000
penduduk, dengan rentang 8,9 151,5 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan target indikator Indonesia Sehat rasio dokter 40 per 100.000
penduduk, secara nasional belum mencapai target dan hanya 8 provinsi
telah mencapai target. Strategi yang akan dilakukan berbagai upaya
antara lain:
a) Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan berbasis Tim (Team Based).
b) Peningkatan distribusi tenaga yang terintegrasi, mengikat dan lokal
spesifik.

c) Pengembangan insentif baik material dan non material untuk tenaga


kesehatan

dan

SDM Kesehatan.
d) Peningkatan produksi SDM Kesehatan yang bermutu.
e) Penerapan mekanisme registrasi dan lisensi tenaga dengan uji
kompetensi

pada

seluruh tenaga kesehatan.


f) Peningkatan mutu pelatihan melalui akreditasi pelatihan.
g) Pengendalian peserta pendidikan dan hasil pendidikan.
h) Peningkatan pendidikan dan pelatihan jarak jauh.
i) Peningkatan pelatihan yang berbasis kompetensi dan persyaratan
jabatan.
j) Pengembangan sistem kinerja.
b. Vietnam
Jumlah dokter per 10000 populasi di Vietnam pada 2011 adalah 8.
Hal ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2010, yang bias dilihat pada
tabel dibawah ini :

BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulan dari rumusan masalah adalah:


a. Provinsi NTT (Kab. TTS) mengalami peningkatan persentase BBLR dan
rata-rata kematian di bawah 5 tahun relatif tetap meskipun ada program
revolusi KIA.
b. Angka mortalitas maternal dan kematian neonatus di Indonesia lebih
tinggi daripada di Vietnam

DAFTAR PUSTAKA

1. Stalker, P. Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia. Jakarta:


Menteri Negara Perencanaan Pembagunan Nasional. 2008.
2. Departemen Kesehatan. Every Year 30,000 Die by Measles. 2007. [diakses
tanggal 21 Juni 2016 dari www.depkes.go.id/en/2102ev.html].
3. World Bank. Spending for Development: Making the Most of Indonesias New
Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007. Jakarta: World Bank;
2007.
4. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
5. Kemenkes RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72/2012 Tentang
SKN; 2012
6. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.
7. IDAI. Salah satu penangan bayi prematur yang perlu diketahui. 2014. [diakses
23 Juni 2016 dari http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/salahsatu-penanganan-bayi-prematur-yang-perlu-diketahui]
8. Cunningham, G. Obstetri William. Jakarta: EGC; 2006.
9. Suradi Suharyono, et al. ASI Tinjauan dari Beberapa Aspek. Jakarta Yayasan
Bina Pustaka; 2008.
10. Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga jilid kedua cetakan pertama.
FKUI: Jakarta; 2005.
11. Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana.
Jakarta: EGC; 2010.
12. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019. Jakarta; 2015.
13. Sciortino, Rosalia. Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
1999.
14. Trihono. Manajemen puskesmas berbasis paradigma sehat. Jakarta: Sagung
Seto; 2005.
15. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2015.
16. World Health Organization. Vietnam Health Profile. WHO: 2013.

17. Proverawati, A. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Yogyakarta: NuhaMedika;


2010.
18. Kementerian kesehatan 2013. Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas Mampu
PONED. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta; 2013
19. Hidayat, A. Z. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika; 2008.
20. Pantiawati, I. Bayi dengan BBLR. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
21. World Health Organization. Maternal Mortalitiy in 1990-2015. Geneva: WHO;
2016
22. Kementrian Kesehatan RI. Direktorat Bina Kesehatan Ibu. Ditjen Bina Gizi dan
KIA. Rencana Aksi Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu Di Indonesia.
2013.
23. World Health Organization. Noncommunicable Diseases (NCD) Country
Profiles. Geneva: WHO; 2014.
24. Kementerian Kesahatan Republik Indonesia. Laporan Akuntabilitas Kinerja
Kementerian Kesahatan Tahun 2014. Jakarta: Kemenkes RI; 2015.
25. Department of Health. Healthcare Delivery System. Vietnam: Ministry of
Health; 2010.
26. Peraturan Presiden Republik Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta:
Perpres RI No.72. 2014
27. Global Health Initiative Strategy. Socialist republic of Vietnam. Vietnam: United
States Government; 2011.
28. Tran Van Tien, et al. A health financing review of viet nam with a focus on
social health insurance.2011

Das könnte Ihnen auch gefallen