Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Definisi
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam cavum/rongga pleura
(1-8)
Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru
dalam keadaan berkembang (inflasi)
(3)
s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O. Kerusakan pada pleura parietal
dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga pleura,
sehingga paru akan kolaps.
Epidemiologi
Laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 2030 (4, 14) tahun
Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun sering disebabkan oleh
adanya
bronkitis
kronik
dan
empisema
(1,
2).
Lebih
sering
pada
orang-orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang
mempunyai kebiasaan merokok (2, 4). Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dan pada
kiri.
Insiden
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-kasus yang
tidak didiagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab. Johnston & Dovnarsky (4)
memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2, 4-17, 8 per 100.000 per tahun.
Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita
(4: 1); paling sering pada usia 2030 (4, 14) tahun Pneumotoraks spontan yang timbul pada
umur lebih dan 40 tahun sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema (1, 2).
Lebih sering pada orang-orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama
pada mereka yang mempunyai kebiasaan merokok (2, 4). Pneumonotoraks kanan lebih sering
terjadi dan pada kiri.
Klasifikasi
A. Berdasarkan kejadian
1. Pneumotoraks spontan: Terbagi kepada dua yaitu pneumotoraks primer dan sekunder.
Timbul sobekan subpleura dari bulla sehingga udara dalam rongga pleura melalui
suatu lubang robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan sering
menjadi keadaan yang kronis. Penyebab lain ialah suatu trauma tertutup terhadap
dinding dan fistula bronkopleural akibat neoplasma atau inflamasi.
2. Artifisial-Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk
atau pneumotoraks disengaja (artificial) dengan terapi dalam hal pengeluaran atau
pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan lagi. Tujuan
pneumotoraks sengaja lainnya ialah diagnostik untuk membedakan massa apakah
berasal dari pleura atau jaringan paru. Penyebab-penyebab lain ialah akibat tindakan
biopsi paru dan pengeluaran cairan rongga pleura.
3. Trauma-Masuknya udara melalui mediastinum yang biasanya disebabkan trauma pada
trakea atau esophagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat (endoskopi) atau
benda asing tajam yang tertelan. Keganasan dalam mediastinum dapat pula
mengakibatkan udara dalam rongga pleura melalui fistula antara saluran nafas
proksimal dengan rongga pleura.
4. Udara berasal dari subdiafragma dengan robekan lambung akibat suatu trauma atau
abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.
B.Berdasarkan Jenis Fistel
1. Pneumotoraks Terbuka: Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antara
ruang pleura dan lingkungan atau terbentuk saluran terbuka yang dapat menyebabkan udara
dapat keluar masuk dengan bebas ke rongga pleura selama proses respirasi.
2. Pneumotoraks Tertutup: Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan
nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif.
3. Pneumotoraks Valvular/Ventil: Jika udara dapat masuk ke dalam paru pada proses inspirasi
tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi. Akibat hal ini dapat terjadi peningkatan
tekanan intrapleural. Karena tekanan intrapleural meningkat maka dapat terjadi tension
pneumotoraks.
C. Berdasarkan Derajat Kolaps
1. Totalis
2. Parsialis
D. Berdasarkan Lokasi
1. Parietalis
2. Medialis
3. Basalis
Tabel 1. Penyebab Pneumotoraks Spontan Sekunder
Penyakit saluran napas
PPOK
Fibrosis kistik
Asma bronchial
Sarkoidosis
Limfangileiomiomatous
Sklerosis tuberus
Arthritis rheumatoid
Ankylosing spondylitis
Skleroderma
Sindroma Marfan
Sindroma Ehler-Danlos
Kanker
Sarkoma
Kanker paru
Endometriosis torakis
Patogenesis
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan negatif
disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan dinding dada yang
cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveol atau ruang udara
intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara
akan mengalir dari alveol ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau
hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan mekanisme di atas, maka bila ada hubungan
antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding dada; udara akan masuk ke rongga
pleura sampai perbedaan tekanan menghilang atau hubungan menutup. Pada pneumotoraks
spontan baik primer maupun sekunder mekanisme yang terdahulu yang terjadi, sedang
mekanisme kedua dapat dijumpai pada jenis traumatik dan iatrogenik. 1, 2
Salah satu yang berperan dalam proses pernapasan adalah adanya tekanan negatif pada
rongga pleura selama berlangsungnya siklus respirasi. Apabila terjadi suatu kebocoran akibat
pecahnya alveoli, bula atau bleb sehingga timbul suatu hubungan anara alveoli yang pecah
dengan rongga pleura, atau terjadi kebocoran dinding dada akibat trauma, maka udara akan
pindah ke rongga pleura yang bertekanan negatif hingga tercapai tekanan yang sama atau
hingga kebocoran tertutup. Tekanan negatif di rongga pleura tidak sama besar di seluruh
pleura, tekanan lebih negatif pada daerah apeks dibandingkan dengan daerah basal.
Mekanisme terjadinya pneumothoraks spontan adalah akibat dari lebih negatifnya tekanan di
daerah puncak paru dibandingkan dengan bagian basal dan perbedaan tekanan tersebut akan
menyebabkan distensi lebih besar pada alveoli daerah apeks. Distensi yang berlebihan pada
paru normal akan menyebabkan rupture alveoli subpleural.1, 2
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya pneumotoraks spontan adalah pecahnnya bula
atau bleb subpleural. Mekanisme terbentuknya bula masih dipertanyakan. Suatu teori yang
menjelaskan pembentukan bula pada perokok menghubungkan proses degradasi benang
elastin paru yang diinduksi asap rokok. Proses tersebut kemudian diikuti oleh serbukan
neutrofil dan makrofag. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan rasio proteinaseantiproteinase dan sistem oksidan-antioksidan di dalam paru, menyebabkan obstruksi akibat
inflamasi. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra-alveolar sehingga terjadi
kebocoran
udara
menuju
ruang
interstisial
paru
ke
hilus
yang
menyebabkan
tekanan oksigen darah (PO2) sehingga terjadi hipoventilasi dan menimbulkan asidosis
respiratorik. Evakuasi udara dari rongga pleura sesegera mungkin akan memperbaiki
gangguan ventilasi dan kapasitas vital paru, sehingga akan membantu peningkatan PO2. 2, 3
MANIFESTASI KLINIS
Pneumothoraks sekunder biasanya terjadi dengan sesak atau insufisiensi respiratori yang
kemudian akan membahayakan pasien oleh karena buruknya pernafasan pasien. Hal ini
membuat pneumothoraks menjadi salah satu dari kasus kegawatdaruratan. Pneumothoraks
biasa diikuti dengan nyeri dada ipsilateral, hipoksemia atau hipotensi atau bahkan
hiperkapnia. Patofisologi pneumothoraks sekunder melibatkan banyak faktor dan masih
kurang dipahami. Seperti yang telah diyakini, udara masuk ke rongga pleura melalui alveoli
yang ruptur sebagai akibat dari nekrosis pada bagian perifer paru seperti pada
pneumonia P.carinii. TB paru juga meningkatkan resiko pneumothoraks pada pasien AIDS.
Pasien dengan pneumothoraks minimal (melibatkan <15% dari hemithoraks) mungkin akan
mempunyai pemeriksaan fisik yang normal. Takikardi merupakan pemeriksaan fisik yang
paling sering didapati. Pada pasien dengan pneumothoraks yang besar, mungkin akan
dijumpai pengurangan gerakan dada, dijumpai suara hiperresonan atau timpani pada perkusi
dinding dada, suara fremitus yang menghilang atau melemah, dan hilangnya atau
melemahnya suara pernafasan pada bagian dada yang mengalami pneumothoraks. Takikardi
yang menlebihi 135 kali per menit, hipotensi atau sianosis mungkin harus diduga sebagai
suatu pneumothoraks tension.
penderita PPOK.
Garis pleura pada bulla yang besar konkaf terhadap dinding dada,
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksaan pneumotoraks spontan adalah evakuasi udaradi dalam rongga
pleura, memfasilitasi penyembuhan pleura dan mencegahterjadinya rekurensi secara
efektif.Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi, aspirasi sederhanadengan
kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi single port, VAST dan torakotomi.
Pemilihan penatalaksanaan tergantung pada:
-tipe pneumotoraks spontan primer atau sekunder
-luas pneumotoraks
-gejala klinis, terjadinya kebocoran udara yang menetap (persistent airleak)
-faktor risiko lain : jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan merokok, dll
Terapi oksigen
Suplemen oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga torakssebanyak 4 x
dibandingkan dengan tanpa suplementasi oksigen.
Oksigen akan mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler darahsekitar rongga
pleura dan akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan
nitrogen ke dalam kapiler pembuluhdarah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh gas lain.
Suplementasi oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus
fisioterapi
denagn
pemberian
penyinaran
gelombang
pendek
perludilakukan
pemasngan
tube
thoracostomy
dan
tidak
mungkin
torakoskopi
atau
torakotomi.
Pemasangan
tube
thoracostomy pada
pneumotoraks teutama ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengantindakan aspirasi dan
penderita PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi. Pada penderita PSP
angka keberhasilan pemasangan tubethoracostomy lebih tinggi dibandingkan dengan PSS.
Bahan yang biasanya digunakan adalah tetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau talk. Bahan
terbaik dalam mengurangi rekurensi adalah talk.
Torakoskopi Tindakan torakoskopi untuk episode petama PSP yang masih tertangani dengan
aspirasi masih menjadi perdebatan, karena pada dasarnya sekitar 64% PSP tidak terjadi
rekurensi pada pemasangan. Tindakan yang dilakukanadalah reseksi bula dan pleurodesis.
Torakoskopi pada PSS harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam. Pada
PSS komplikasi VATS lebih tinggi dibandingkan pada PSP. Torakotomi Merupakan tindakan
akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini memiliki angka rekurensi terendah yaitu
kurang dari 1 % bila dilakukanpleurektomi dan 2-5 % bila dilakukan pleurodesis dengan
abrasi mekanik
Komplikasi
Komplikasi dari pneumotoraks yang berhubungan cedera atau penyakit-terkait meliputi:
Kambuh Banyak orang yang memiliki satu pneumotoraks telah lain, biasanya dalam
waktu tiga tahun pertama.
Kebocoran udara persisten. Udara terkadang dapat terus bocor jika pembukaan di
paru-paru tidak akan menutup. Bedah akhirnya mungkin diperlukan untuk menutup
kebocoran udara.
Perhentian jantung
Kegagalan pernafasan
Syok
Prognosis
Jika pneumotoraks adalah suatu peristiwa terisolasi dan pengobatan dimulai dini, prognosis
sangat baikTingkat kekambuhan pneumotoraks spontan sederhana dapat setinggi 30% dan
10% ipsilateral kontralateral. Sebuah insiden tinggi kambuh dicatat setelah episode pertama
dari pneumotoraks sekunder dan pada pasien yang berpartisipasi dalam kegiatan seperti
menyelam laut dalam. Pasien dengan fibrosis kistik memiliki tingkat kekambuhan sangat
tinggi.
Jika trauma lainnya didukung pada waktu yang sama atau tension pneumothorax terjadi
dengan kejutan berikutnya dan hipoperfusi, prognosis memburuk.
Jika pasien diizinkan untuk menjadi hipoksia untuk waktu yang lama, cedera otak adalah
mungkin.
Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran
udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap
derajat berat penyakit.. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.4
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :5
a) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan.
b) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat.
c) Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan dan
tempat kerja).
d) Sesak pada saat melakukan aktivitas.
e) Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).
Bronkitis kronik adalah keadaan pengeluaran mukus secara berlebihan ke batang
bronchial secara kronik atau berulang dengan disertai batuk, yang terjadi hampir setiap hari
selama sekurangnya tiga bulan dalam 1 tahun selama 2 tahun berturut-turut.5
Emfisema kelainan paru-paru yang ditandai dengan pembesaran jalan nafas yang
sifatnya permanen mulai dari terminal bronchial sampai bagian distal (alveoli : saluran,
kantong udara dan dinding alveoli).5
Epidemiologi
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). 5
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan RumahTangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :4
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %).
Pertambahan penduduk.
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
sebanyak 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok didalam rumah ketka bersama anggota keluarga
lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota keluarga merupakan perokok pasif.4
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala
sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik,
klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit
Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).5
Faktor Risiko
1.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :4,5
a) Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
2.
3.
4.
5.
6.
Klasifikasi
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1.4
Derajat
Klinis
Gejala klinis (batuk, produksi
Faal Paru
Normal
sputum)
Gejala batuk kronik dan
prediksi
memeriksakan kesehatannya.
Gejala sesak lebih berat,
prediksi
Berat
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama
mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak
pada paru bagian bawah.
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan
Sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
Struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
Merokok (dan bahan iritan lain) mengaktivasi makrofag pada salauran respiratori yang
menyebabkan pelepasan faktor-faktor kemotaktik neutrofil seperti IL-8 dan TB4. Faktorfaktor ini kemudiannya melepaskan protease yang melisis tisu penghubung pada parenkim
paru yang menyebabkan terjadinya emfisema dan juga menstimulasi hipersekresi mucus.
Enzim-enzim ini terdiri dari protease inhibitor seperti 1-antitrypsin, SLPI, dan TIMP. Sel-sel
T sitotoksik (CD 8) juga mungkin direkruit dan terlibat dalam dekstruksi dinding alveolar.
Fibroblas juga dapat diaktivasi oleh faktor-faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh
makrofag dan sel-sel epitel.2
*CTG; connective tissue growth factor; COB; chronic obstructive bronchiolitis.
DIAGNOSIS1
Pada pasien dengan PPOK, gejala dan tanda sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul
tanda dan gejala seperti:
Gejala
Keterangan
Sesak
Batuk kronik
Setiap
batuk
kronik
berdahak
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor resiko
Asap PPOK
PPOK rokok
Debu
Bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur
dapat
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang dengan atau tanpa dahak,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
Inspeksi
o Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
o Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
o Penggunaan otot bantu nafas
o Hipertrofi otot bantu nafas
o Pelebaran sela iga
o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
o Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema, pasien
kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips breathing) atau blue
blotter (gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer)
Palpasi
Perkusi
o Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
o Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
o Terdapat ronki atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
o Ekspirasi memanjang
o Bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Rutin
1. Faal Paru
Uji Bronkodilator
o Dilakukan
dengan
menggunakan
spirometri,
bila
tidak
ada
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Volume Residu (VR), kapasitas residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total
(KPT), VR/KPT meningkat
Jentera (treadmill)
5. Radiologi
Mendeteksi emfisema dini atau menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
6. Elektrokardiografi (EKG)
7. Ekokardiografi
8. Bakteriologi
9. Kadar -1 antitripsin
Diagnosis Banding1
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.
Asma
PPOK
SOPT
++
Sakit mendadak
++
Riwayat merokok
+/-
+++
Riwayat atopi
++
+++
++
Hipereaktiviti bronkus
+++
+/-
Reversibiliti obstruksi
++
Variabiliti harian
++
Eosinofil sputum
Neutrofil sputum
Makrofag sputum
PENATALAKSANAAN1
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
i.
Mengurangi gejala
ii.
iii.
iv.
ii.
iii.
iv.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di
poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat
mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus
disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat bpendidikan, lingkungan sosial, kultural
dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
i.
ii.
iii.
iv.
v.
Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan,
c. Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )
d. Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
a. Kapan oksigen harus digunakan
b. Berapa dosisnya
c. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok
permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti
merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas
), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
ii.
iii.
ii.
iii.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
Gejala
Tanpa gejala
Gejala intermiten
(pada waktu aktiviti)
Gejala terus menerus
Golongan obat
Dosis
Agonis 2
Antikolinergik
Ipratropium bromida
2 - 4 semprot 3- 4
Inhalasi agonis 2
20 gr
Fenoterol 100
x/hari
2 - 4 semprot 3- 4
gr/semprot
Salbutamol 100
x/hari
2 - 4 semprot 3- 4
gr/semprot
Terbutalin 0,5
x/hari
2 - 4 semprot 3- 4
gr/semprot
Prokaterol 10
x/hari
2 - 4 semprot 3
gr/semprot
x/hari
kerja cepat
Bila perlu
Kombinasi terapi
Ipratropium bromid
2 - 4 semprot 3- 4
20 gr + salbutamol
x/hari
100 gr
Pasien memakai
Inhalasi agonis 2
persemprot
Formoterol 6 gr, 12
inhalasi agonis 2
gr/semprot
kerja
dipakai untuk
1 2 semprot
2x/hari tidak
melebihi 2x/hari
eksaserbasi)
Atau
Timbul gejala pada
Salmeterol 25
1 -2 hari semprot
gr/semprot
2x/hari tidak
melebihi 2x/hari
400 800 mg/hari 3-
Teofilin/aminofilin
4 x/hari
600 mg/hari
30 40 mg/hari
pagi hari
Teofilin
Pasien tetap
Anti oksidan
Kortikosteroid oral
mempunyai gejala
(uji kortikosteroid)
Metil Prednisolon
selama 2 mg
maksimal
Uji kortikosteroid
Inhalasi
Beklometason 50
1 2 semprot 2
memberikan respon
kortikosteroid
4 x/hari
Sebaiknya pemberian
gr/semprot
Flutikason 125
gr/hari
120 250 gr 2
kortikosteroid
gr/semprot
positf
gr/hari
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ
-organ lainnya.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat
digunakan selama di rumah.
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure
(NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern
Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
- Analisis gas darah
Indikasi penggunaan NIPPV
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal
paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping
harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila
ditemukan keadaan sebagai berikut :
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
misalnya pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan
abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi
pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai
berikut :
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning
Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan
- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
- Nutrisi seimbang
- Dibantu dengan NIPPV
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi
akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
feedings)dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen
comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK
dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus
respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi
adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti
hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah
mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya
cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena
meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya
pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satusatunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOK menghentikan latihannya, faktor lain
yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki
mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal.
Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter
serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam
jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol
kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan diubah
setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan
keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan subyektif atau
obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi
yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walkingjogging. Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan
denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut
jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu.
Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.
walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,
dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau pusing
latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan
menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih
ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.
B. Penatalaksanaan PPOK stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan
PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya
bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya
digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat
yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama
pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita PPOK dapat
menggunakan mesin bantu napas di rumah
4. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
- Tanda eksaserbasi
- Efek samping obat
- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
Penyebab eksaserbasi akut
Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan)
atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat) Penatalaksanaan eksaserbasi akut
ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau
rawat inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU
Penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan
Indikasi :
- Eksaserbasi ringan sampai sedang
- Gagal napas kronik
- Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik
ii.
Terdapat komplikasi
iii.
iv.
v.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
Rehabilitasi awal
vii.
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis.
Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan
agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai
oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap
dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan
di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian
lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping
bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang
dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan,
dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan
morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan kematian.
Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan
menghindari penggunaan ventilasi mekanik. Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi :
- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura dan
emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
primer / Puskesmas1
D. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
i.
ii.
iii.
iv.
i.
Bulektomi
ii.
Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS)
iii.
Transplantasi paru
KOMPLIKASI1
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Kor pulmonal
Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
a. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
b. Sputum bertambah dan purulen
c. Demam
d. Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan
Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala
klinis waktu berobat. Pasien dengan penyakit emfisema paru yang lebih dominan, akan lebih
baik dari pada pasien dengan penyakit bronkitis kronik yang lebih dominan. Pada pasien yang
berumur kurang dari 50 tahun dan datang dengan sesak ringan 5 tahun kemudian akan terlihat
ada perbaikan, tetapi bila pasien itu datang dengan sesak sedang, maka 5 tahun kemudian
42% pasien akan sesak lebih berat dan meninggal. Pada pasien yang sudah berumur lebih dari
50 tahun dengan sesak ringan, 5 tahun kemudian pasien akan lebih berat atau meninggal.
Apalagi pasien dengan blue bloater.3
EPIDEMIOLOGI
Pneumotoraks adalah suaru kondisi dimana terjadinya akumulasi udara di ruang
pleura akibat kolaps paru. Pneumotoraks dapat diklasifikasi berdasarkan etiologi dan
presentasi klinis antaranya adalah Pneumotoraks Spontan, Trauma dan Iatrogenik.
Pneumotoraks Spontan terdiri dari Pneumothoraks Spontan Primer; terjadi pada individu
yang sehat tanpa didasari penyakit paru dan Pneumothoraks Spontan Sekunder (SSP)
merupakan komplikasi dari penyakit paru terutamanya pada PPOK. (Bauhman MH,2001)
Terjadinya penurunan fungsi paru pada pasien SSP ditambah dengan penyakit paru
yang mendasarinya menimbulkan suatu keadaan yang gawat dan menyulitkan penangganan.
SSP sering terjadi pada pasien berusia 60-65 tahun dengan insidens SSP pada laki-laki adalah
6,3 kasus per 100,000 orang dan 2,0 kasus per 100,000 orang wanita. Merokok meningkatkan
resiko terjadinya pneumotoraks spontan mahupun reakurans secara porportional dengan
batang rokok yang dikonsumsi seseorang. PPOK adalah penyebab tersering dari terjadinya
SSP dengan insidens 26 kasus per 100,000 orang. Pada laki-laki resiko terjadinya SSP adalah
102 kali lebih tinggi pada perokok berat dibanding yang tidak merokok. (Sahn SA, 2000)
PATOGENESIS
Salah satu yang berperan dalam proses pernapasan adalah adanya tekanan negatif
pada rongga pleura selama berlangsungnya siklus respirasi. Apabila terjadi suatu kebocoran
akibat pecahnya alveoli, bula atau bleb sehingga timbul suatu hubungan anara alveoli yang
pecah dengan rongga pleura, atau terjadi kebocoran dinding dada akibat trauma, maka udara
akan pindah ke rongga pleura yang bertekanan negatif hingga tercapai tekanan yang sama
atau hingga kebocoran tertutup.
Tekanan negatif di rongga pleura tidak sama besar di seluruh pleura, tekanan lebih
negatif pada daerah apeks dibandingkan dengan daerah basal. Mekanisme terjadinya
pneumothoraks spontan adalah akibat dari lebih negatifnya tekanan di daerah puncak paru
dibandingkan dengan bagian basal dan perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan
distensi lebih besar pada alveoli daerah apeks. Distensi yang berlebihan pada paru normal
akan menyebabkan rupture alveoli subpleural. Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya
pneumotoraks spontan adalah pecahnnya bula atau bleb subpleura
Probabilitas terjadinya pneumothorax meningkat dengan derajat keparahan PPOK
terutamanya pada pasien dengan volume expirasi paksa (FEV) dalam satu detik < 1 liter atau
ratio FEV kepada kapasitas vital paksa (FVC) < 40 % berada pada resiko tinggi. Mekanisme
terjadinya pneumotoraks spontan sekunder pada pasien PPOK adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar melebihi tekanan interstisial paru setelah batuk, udara dari alveolus yang
ruptur bergerak ke dalam interstisial dan kearah belakang menuju bronkovaskular seterusnya
ke hilum paru ipsilateral dan akhirnya menyebabkan terjadinya pneumomediastinum.
Sekiranya ruptur terjadi pada hilum, udara akan bergerak melalui mediastinal pleura parietal
kedalam ruang pleura sehingga terjadinya Pneumothoraks. (Sahn SA, 2000)
MANISFESTASI KLINIS
Menurut suatu penelitian pada pasien 54 pasien dengan PPOK dan SSP , dilaporkan semua
pasien mengalami sesak nafas dan 42 (74%)orang pasien mengalami nyeri dada pada lokasi
pneumothoraks. Selain itu, 5 pasien dilaporkan mengalami sianosis dan 4 orang pasien
mengalami hipotensi.(Light, 2007)
DIAGNOSIS
Diagnosis Pneumothoraks spontan sekunder dilakukan berdasarkan foto thoraks. Pasa pasien
PPOK , gambaran pneumothoraks dipengaruhi oleh udara dan kehilangan fungsi elastic paru.
Bagian paru yang normal kolaps sepenuhnya dibandingkan dengan area paru dengan
emphysema kronis atau giant bula pada keadaan tanpa adhesi. Penggunaan ultrasound untuk
mendiagnosis pneumothoraks pada PPOK. Diagnosis SSP ditegakkan dengan adanya garis
pleura viseral. Garis pleural viseral harus dibedakan dengan bulla besar berisi udara dan
dinding tipis. Garis pleura pada pneumothoraks sering dalam bentuk convex kearah dinding
dada lateral sedangkan garis pleura dengan bula besar berbentuk concave kearah dinding
dada lateral. Sekiranya terdapat keraguan dalam mendiffrensiasi bula atau pneumothoraks,
CT-Scan harus dilakukan, ini adalah karena hanya Pneumothoraks ditanggani dengan tube
thoracostomy. ( Light,2007)
PENATALAKSANAAN
Penanganan pneumothorax spontan sekunder pada PPOK meliputi penanganan keduanya.
Penanganan pneumothorax mengutamakan pengeluaran udara dari rongga pleura dan
mencegah terjadi reakurans. Terapinya meliputi observasi setelah aspirasi mengunakan
kateter , pleurodesis, thoracoskopi, operasi menggunakan video- assissted torakoskopi dan
torakstomy setiap methode yang dilakukan harus dipertimbangan keadaan pasien (Sahn SA,
2000). Menurut suatu penelitian oleh Biswas et el, Pleurodesis kimia dengan tetracycline
hydroklorida merupakan pilihan yang baik untuk mengurangi terjadinya pneumothorax
reakuran tanpa morbilitas yang nyata dan ekonomik (Biswas,2007).
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
H. M. S. Noer, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: PPOK. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI: 2001
4.
Antariksa, B., Djajalaksana, S., Pradjnaparamita, Riyadi, J., Yunus, F., Suradi, dkk.
Penyakit Paru obstruktif Kronik. Diagnosis dan Penatalaksanaan. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Jakarta, Juli 2011.
5.
6.
7.
8.
9.
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74
Chang AK. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and Pneumomediastinum. 2007.
Available from: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM (diunduh pada
11 oktober 2011)
Sylvia A. Price. Pneumotoraks. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. 2005.
10.
https://somelus.wordpress.com/2009/11/22/pneumothorax/
11.
12.
http://www.scribd.com/doc/64265321/Penatalaksanaan-Pneumotoraks
13.
http://www.mayoclinic.com/health/pneumothorax/DS00943/DSECTION=complications
14.
http://emedicine.medscape.com/article/1003552-overview