Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PTERIGIUM
1.
DEFINISI
Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General
sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen,
iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20
49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih
sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Laki-laki lebih beresiko 4 kali daripada perempuan.
3. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter .
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan
faktor penting
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom
dominan.
3 . Faktor lain.
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterygium. Yang juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis
factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
4.
PATOFISIOLOGI
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain
itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah
beriklim kering mendukung teori ini.
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenarasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor
supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses
kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya,
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik
dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan
3
yang
berfungsi
untuk
memperbaiki
jaringan
yang
rusak,
KLASIFIKASI
Apex
Body
Cap
- Regressif pterygium
: dengan
gambaran
tipis,
atrofi,
sedikit
2. Derajat 2
3. Derajat 3
4. Derajat 4
Pterigium stadium 1
Pterigium stadium 2
Pterigium stadium 3
Pterigium stadium 4
MANIFESTASI KLINIK
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal
karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan
dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stokers line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
antara lain:
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah
dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat
trauma sebelumnya.
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi
ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan
pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapt pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler
yang disebabkan oleh pterigium.
8.
PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
Teknik Pembedahan
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Tantangan
utama dari terapi pembedahan pterygium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan
pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel.
pteryigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterygium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epitelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal
dan halus dari permukaan kornea. Teknik lain yang bisa digunakan pada
pembedahan pterygium, yaitu :
a. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sklera
untuk epitelisasi. Bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sclera. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 40 75 %, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
b. Teknik Autograft Conjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan antara 2 40 % pada beberapa studi prospektif.
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbi
bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis). Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang
optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari
graft conjungtiva penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
graft tersebut. Lawrence W. Hirst dari Australia merekomendasikan penggunaan
sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan
sangat rendah dengan teknik ini.
10
11
dan
penggunaan
obat
tetes
mata
MMC
topikal
setelah
efek
buruk
dari
radiasi
termasuk
nekrosis
yang
sklera,
terhadap
penggunaannya.
Untuk
mencegah
terjadi
12
13
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar
pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien
dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan
conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan
resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock
dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
BAB II
STATUS PASIEN
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. M
Umur
: 42 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Pendidikan
: SLTA
Pekerjaan
Tanggal masuk
: 12 Juli 2016
No CM
: 0059xx
II. SUBYEKTIF
Autoanamnesis tanggal 12 Juli 2016
15
Keluhan Utama
Mata sebelah kiri terasa ada yang mengganjal sejak 2 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata sebelah kiri terasa ada yang
mengganjal sejak 2 tahun yang lalu. Terdapat selaput pada mata kiri, selaput
ini berbentuk segitiga. Pada awalnya, pasien mengatakan munculnya selaput
ini tidak mengenai bagian hitam mata, lalu selaput yang tumbuh ini semakin
menjalar ke bagian hitam mata pasien. Keluhan mata merah dan terasa kering
diakui hilang timbul dengan sendirinya. Pasien pernah berkonsultasi dengan
dokter mata dan dianjurkan untuk operasi. Keluhan mata gatal dan keluarnya
kotoran mata yang banyak disangkal. Rasa nyeri dan bengkak disangkal.
Gangguan pada penglihatan juga disangkal oleh pasien. Keluhan pandangan
menjadi kabur, berbayang ataupun berkabut disangkal.
Riwayat trauma pada mata disangkal. Riwayat mata terkena bahan
kimia disangkal. Penggunaan kacamata ataupun kontak lens disangkal.
Riwayat penyakit mata sebelum muncul selaput disangkal. Pasien
mengaku belum pernah mengalami hal yang serupa.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
sebelumnya.
Riwayat diabetes mellitus: disangkal
Riwayat hipertensi: disangkal
Riwayat alergi makanan atau obat: disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh adanya keluhan yang sama
seperti yang dirasakan pasien.
16
Riwayat Kebiasaan:
Pasien merupakan pengguna kendaraan bermotor, yang biasanya
menggunakan helm tanpa kaca pelindung mata sehingga sering terpapar
sinar matahari dan matanya sering terkena debu. Pasien tidak
menggunakan topi ataupun kacamata.
III. OBJEKTIF ( 12 Juli 2016 )
Status Present
Kesadaran
: Composmentis
GCS
: 15 (E4.M6.V5)
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80 x/ menit
Respirasi
: 18 x/ menit
Suhu
: 36,7 oC
Status Oftalmologi
Pemeriksaan eksternal
Visus
Kedudukan bola mata
Gerakan bola mata
Tekanan intraokular
Palpebra superior
OD
5/5 E
Ortoforia
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Hiperemis (-) ; edema (-) ; Hiperemis (-) ; edema (-) ;
nyeri tekan (-) ;benjolan (-)
Palpebra inferior
OS
5/5 E
(-)
Hiperemis (-) ; edema (-) ; Hiperemis (-) ; edema (-) ;
nyeri tekan (-) ;benjolan (-)
17
sekret (-)
sekret (-)
Hiperemis (-) ; papil (-) ; Hiperemis (-) ; papil (-) ;
folikel (-) ; sikatriks (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ;
Konjungtiva bulbi
sekret (-)
sekret (-)
Injeksi konjungtiva (-) ; Terdapat
injeksi
siliar
perdarahan (-)
(-)
; fibrovaskular
jaringan
berbentuk
IV. Resume
Seorang wanita, 42 tahun, datang dengan keluhan mata sebelah kiri
terasa ada yang mengganjal sejak 2 tahun yang lalu. Terdapat selaput pada
mata kiri, selaput ini berbentuk segitiga. Pada awalnya, pasien mengatakan
munculnya selaput ini tidak mengenai bagian hitam mata, lalu selaput yang
tumbuh ini semakin menjalar ke bagian hitam mata pasien. Keluhan mata
merah dan terasa kering diakui hilang timbul dengan sendirinya.
Pasien merupakan pengguna kendaraan bermotor, yang biasanya
menggunakan helm tanpa kaca pelindung mata sehingga sering terpapar sinar
matahari dan matanya sering terkena debu. Pasien tidak menggunakan topi
ataupun kacamata.
18
IX. Prognosis
Ad vitam
: ad bonam
Ad fungsionam
: ad bonam
Ad sanationam
: ad bonam
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Edisi III. Airlangga. Surabaya. Hal: 102 104.
2. Ilyas, Sidharta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. FKUI. Jakarta.
Hal:2-6, 116 117.
3. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
4. Suharjo. Ilmu kesehatan Mata. edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 40-41
5. Vaughan, G. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Widya Medika. Jakarta.
6. Wijaya, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Abdi Tegal. Jakarta.
20