Sie sind auf Seite 1von 11

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi telah memasuki tahun kesepuluh, tetapi kabar

buruk tentang pengelolaan keuangan daerahbelum mau menjauh dari proses yang telah membuat
Indonesia menjadi sangat berbeda dibanding era sebelum tahun 2000.
Banyak tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam reformasipengelolaan keuangan
daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selain berupa peraturan yang selalu
mengalami
perubahan,
kesulitan muncul
dalam keseluruhan
siklus pengelolaan keuangan daerah.Siklus pengelolaan keuangan daerah dimulai dari
perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, penatausahaan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Siklus penganggaran keuangan daerah dapat dilihat pada
gambar berikut ini.

Pemerintah daerah dianggap kurang kredibel dalam pengelolaan keuangan daerah, hal ini
terindikasi dengan opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (BPK RI). Hanya sedikit sekali dari laporan keuangan daerah yang mendapatkan
predikat wajar tanpa pengecualian. Kebanyakan mendapat predikat wajar dengan

pengecualian dan ada sekelompok daerah yang bahkan berpredikat lebih buruk daripada itu
yaitu opini tidak wajardan disclaimer atau menolak memberi pendapat.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan kualitas pertanggungjawaban keuangan negara
yang dikelola pemerintah daerahmulai mengalami kecenderungan membaik pada tahun anggaran
2008walau prosesnya tidak secepat di tingkat pusat. Hal ini dilihat semakin berkurang LKPD
yang mendapat opini Tidak Memberi Pendapat (disclaimer) dan tidak wajar dan semakin
meningkat
LKPD
yang
mendapat
opini
Wajar Tanpa Pengecualian dan
Wajar Dengan Pengecualian. Komposisi opini tahun 2008 semakin membaik yaitu dari 482
LKPD tahun 2008, BPK memberikan opini WTP pada 12 LKPD (3,0 persen), opini WDP pada
324 LKPD (67 persen), opini tidak wajar pada 31 LKPD (6,0 persen) dan disclaimer pada 115
LKPD (24 persen). Sedangkan pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 menunjukkan bahwa
dari 463 LKPD tahun 2006, BPK memberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada tiga
LKPD atau (1,0 persen). Opini wajar dengan pengecualian (WDP) pada 327 LKPD (70 persen),
opini tidak wajar pada 28 LKPD (6,0 persen), dan disclaimer pada 105 LKPD (23
persen). Walaupun semakin berkurang opini tidak wajar dan disclaimer, akan tetapi hanya 3%
dari LKPD yang mendapat nilai wajar tanpa pengecualian hal ini menunjukkan masih rendah
kualitas pengelolaan keuangan daerah di Indonesia.
Perencanaan dan Penganggaran
Perencanaan keuangan daerah sering menghadapi masalah, hal ini dimulai ketika
perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dengan baik. Kegagalan dalam
perencanaan dan penganggaran di Pemerintah daerah sesungguhnya merencanakan sebuah
kegagalan.
Perencanaan
dan
penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara
sistimatis mengatur
alokasi sumber daya manusia, material, dan
sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran
pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk
guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari
penggunaan dana dan pertanggunjawaban kepada publik.
Pemerintah Indonesia telah dan sedang menggulirkan reformasi di bidang perencanaaan dan
penganggaran dimulai pada tahun 2005 dengan mengacu pada UndangUndang Nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan peraturan
perundangan tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004
yang menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun menggunakan tiga
pendekatan, yaitu:
(1) anggaran terpadu (unified budget);
(2) kerangka pengeluaran jangka menengah biasa MTEF (medium term expenditure framework); dan
(3) anggaran berbasis kinerja biasa disebut ABK (performance based budget).
Kemudian Pemerintah menerbitkan peraturan mengenai pengelolaan keuangan negara melalui
PP no 58 tahun 2006 yang mendasari pelaksanan pengelolaan keuangan yang mencakup
perencanaan, penganggaran, penatausahan, akuntansi dan pelaporan. Pada pelaksanaan di tingkat

Pemerintah Daerah, ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29
tahun 2002 yang mengawali penerapan anggaran berbasis kinerja. Selanjutnya diterbitkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2007 dan kemudian Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 59 tahun 2008 semakin melengkapi peraturan dan petunjuk pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja di Daerah.
Anggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan
setiap
pendanaan
yang
dituangkan
dalam kegiatankegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan
termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut.Keluaran dan hasil tersebut
dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai,
dituangkan
dalam
program diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian
tujuan.
Ciri utama ABK adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan (input), dan hasil yang diharapkan(outcomes), sehingga dapat memberikan informasi
tentang efektivitas dan efisiensi kegiatan. Ciri utama tersebut sampai saat ini belum tercermin
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran yang ada. Penyebabnya antara lain adalah:
1.

Belum digunakannya resource envelope sebagai landasan penyusunan Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah, dan
Renstra.
2. Program dan kegiatan belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat efektivitas
pencapaian sasaran pembangunan daerahdan efisiensi belanja;
3. Program dan kegiatan juga belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur akuntabilitas
kinerja unit kerja;
4. Pada tingkat operasional masih ada beberapa pertanyaan mendasar mengenai keterkaitan
dokumen perencanaan dan anggarannya. Misalnya bagaimana melakukan penilaian terhadap:
keterkaitan program dengan sasaran pembangunan daerah; keterkaitan kegiatan dengan program;
keterkaitan indikator keluaran dengan keluarannya.
Reformasi perencanaan dan penganggaran yang berorientasi kepada hasil telah menjadi tren
perkembangan di banyak negara seiring dengan perkembangan budaya kepemerintahan yang
muncul pada dua puluh tahun terakhir, yaitu budaya manajemen publik baru (the new public
management) atau mewirausahakan pemerintah (reinventing government) yang berorientasi
kepada hasil, pelayanan publik, dan akuntabilitas(Bappenas, 2009).
Penerapan ABK dimulai oleh Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, diikuti oleh
Amerika Serikat, Belanda, Canada, Denmark, Finlandia, Inggris, Perancis, dan Swedia pada
tahun 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai dengan awal tahun 2000-an
diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Metode yang digunakan dalam penganggaran
kinerja di antara negara-negara tersebut berbeda-beda. Amerika Serikat dan beberapa negara
mengembangkan perencanaan strategis dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja.
Negara lain seperti Canada dan Inggris menggunakan kontrak kinerja (performance contract)
antara menteri dengan instansi di bawahnya. Untuk mengaitkan kinerja dengan anggaran,
Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama anggarannya. Perancis
menyajikan informasi pemetaan kinerja dan keterkaitan outcome dengan output sebagai lampiran

dokumen utama anggaran. Sementara Canada, Inggris, dan Amerika menggunakan dokumen
kinerja yang terpisah dengan dokumen anggaran. Meskipun sebagian besar negara-negara
tersebut telah memasukkan informasi non keuangan dalam dokumen anggarannya, kenyataannya
hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan
pengeluaran dengan hasil, melaporkan kinerja atas target-target tersebut dan menggunakan
informasi kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti
Australia dan New Zealand. Beberapa negara masih menghadapi kendala dalam
mengintegrasikan kinerja dalam dokumen anggaran, seperti Canada, Inggris, dan
Amerika(Wahyuni, 2007) .
Perubahan menuju ABK memang merupakan proses yang kompleks karena berkaitan dengan
perubahan yang fundamental baik dalam sistem, manajemen maupun perilaku manusianya.
Selain itu, ABK membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntansi
pemerintahan, dan perhitungan biaya.
Negara yang paling maju dalam penerapan ABK adalah Australia, karena telah mengintegrasikan
sistem akuntansi dengan sistem penganggarannya dan merestrukturisasi keduanya dengan
berorientasi kepada outcome. Dalam merencanakan kinerjanya, Australia mengembangkan
outcomes-outputs approach di mana pemerintah menetapkan prioritas dan platform
kebijakannya, yang selanjutnya menjadi rujukan bagi menteri untuk merumuskan outcome dan
bagi unit kerja di bawahnya mengembangkan output untuk mendukung outcome tersebut.
Banyak unit kerja yang menggunakan pendekatan balance scorecard dalam merumuskan
outcome/output-nya. Agar tercapai keselarasan kebijakan dengan outcome/output yang akan
dihasilkan, penyusunan Government Outcome Statement dan Agency Output dilakukan dengan
konsultasi secara ekstensif dengan berbagai pihak terkait, seperti stakeholders dan grup
pelanggan. Keterkaitan output unit kerja dengan outcome Menteri tergambar dengan jelas dan
terpetakan/terstruktur dengan baik dengan indikator yang spesifik dan terukur. Pembahasan
anggaran di parlemen dilakukan dengan mempertimbangkan kinerja yang ditargetkan. Apropriasi
anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan. Dalam dokumen anggarannya (Portfolio
Budget Statement) tergambar secara jelas alokasi anggaran per outcome dan output. Informasi
mengenai kinerja berupa definisi indikator, target, serta cara mengukur kinerja outcome dan
output diuraikan secara lengkap dalam dokumen anggaran tersebut. Outcome diukur dengan
menggunakan ukuran efektivitas, yaitu dengan melihat seberapa jauh program yang dilakukan
dapat mencapai sasaran dalam arti memenuhi harapan/memuaskan kepentingan
masyarakat/stakeholders. Sedangkan output diukur dari tiga hal, yaitu kuantitas, kualitas, dan
harganya.
Sebagai gambaran, Australian National Audit Office (ANAO) mempunyai dua outcome yaitu (1)
memperbaiki administrasi publik dan (2) memberikanassurance atas laporan keuangan,
pengendalian dan akuntabilitas sektor publik. Outcome tersebut diukur dengan menilai seberapa
besar pengakuan parlemen atas nilai kontribusi ANAO, pengakuan entitas sektor publik atas nilai
tambah yang diberikan oleh produk dan jasa ANAO serta tingkat kepuasan atas kualitas,
ketepatan waktu dan cakupan produk dan jasa ANAO. Capaian kinerja tersebut diukur melalui
analisis atas sejumlah pertanyaan (survai) yang dilakukan terhadap parlemen maupun klien
auditnya. Sedangkan, untuk mengukur output, misalnya untuk kegiatan jasa audit tidak sekedar
diukur dengan berapa jumlah opini audit yang diterbitkan, namun juga diukur kualitas (ketepatan
waktu dan kesesuaian dengan standar audit) dan harganya. Setelah tahun anggaran berakhir,
dibuat annual report yang selain melaporkan realisasi penggunaan anggaran per outcome dan
output, juga melaporkan realisasi capaian kinerja per outcome atau output tersebut. Secara

periodik dilakukan reviu atas struktur outcome-output khususnya apabila terjadi perubahan
pemerintahan, ada kebijakan baru atau perubahan kondisi ekonomi. Selain itu, juga dilakukan
pricing review dengan metode activity based costing, market testing dan benchmarking untuk
memastikan bahwa harga produk atau jasa yang dilakukan instansi pemerintah adalah harga yang
kompetitif(Wahyuni, 2007).
Banyak permasalahan yang muncul dalam proses perencanaan dan penganggaran di
daerah disamping belum diterapkan secara maksimal ABK, diantaranya adalah:
1. Keterlambatan Pengesyahan APBD. Keterlambatan pengesyahan APBD disebabkan
beberapa factor diantaranya adalah terlalu kuat intervensi hak budget DPRD dimana
anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan
masyarakat dalam musrenbang mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu
panjang untuk melakukan negosiasi antara eksekutif dan legislative.
Disamping itu di beberapa daerah, penyebab lambatnya penetapan APBD adalah karena pemda
harus menunggu perhitungan final APBD tahun sebelumnya dan harus menunggu Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan. Selain itu, penyusunan program dan
anggaran dari satuan kerja perangkat dinas (SKPD) juga tidak tuntas dengan cepat.
Keterlambatan pengesyahan APBD mengakibatkan pencairan dana ke sektor riil berupa
dana alokasi khusus (DAK) menjadi terlambat. Kondisi mengakibatkan tertundanya
pelaksanaan proyek atau program sehingga sumbangan pemerintah daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi akan menjadi minim. Daerah yang akan mendapatkan DAK harus
memenuhi dua syarat, pertama, telah mengesyahkan peraturan daerah (Perda) tentang
APBD. Kedua, daerah telah menyampaikan laporan resmi tentang pelaksanaan DAK
tahun sebelumnya.
Keterlambatan perda APBD membawa pengaruh dalam pelaksanaan APBD.
Program/kegiatan akan terlambat dilaksanakan dan tak jarang berakibat dalam
pertanggungjawabannya. Ada usaha dari beberapa dinas untuk melaporkan kegiatan
tersebut sudah selesai agar dana bisa dicairkan dalam anggaran berjalan, padahal dalam
kenyataannya tingkat penyelesaian pekerjaan masih sangat rendah.
2. Alokasi belanja untuk public dan pembangunan relative masih rendah hanya sekitar 30%
40%, sedangkan belanja public idealnya antara 60%-70%. Padahal, p rinsip dasar
pengelolaan APBD yang tepat adalah bahwa APBD merupakan anggaran untuk mendukung
perekonomian daerah. Bukan anggaran operasional pemerintah daerah. Sebagian besar daerah
masih terjebak, belum mampu melepaskan diri dari paradigma bahwa APBD diprioritaskan
untuk operasional pemerintah daerah. APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan
stimulus ekonomi lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya.
Birokrasi lokal akan dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis
produktivitas mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda
bermanfaat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal
(Brodjonegoro, 2009).
APBD beberapa daerah lebih banyak dihabiskan untuk belanja pegawai, sedangkan untuk
meningkatkan keberhasilan di suatu daerah, alokasi belanja di sector public seharusnya lebih
besar.Pengalokasian belanja yang tepat merupakan kunci keberhasilan pembangunan di suatu
daerah. Pemerintah daerah diharapkan harus melakukan reformasi birokrasi local untuk dapat
mengefesiensikan belanja pegawai dan sekaligus meningkatkan produktifitas pegawai.
3. Perencanaan dan penganggaran masih didominasi oleh kebijakan kepala daerah, hasil
reses DPRD dan program dari SKPD, sehingga menimbulkan kekecewaan di tingkat desa

dan kecamatan karena usulan yang mereka ajukan tidak terealisasi. Musrenbang
dilakukan hanya memenuhi kewajiban dalam proses penyusunan anggaran tanpa
menggunakan informasi yang terkumpul dari proses Musrenbang.
Sebelum rancangan APBD disampaikan ke DPRD, semestinya ada sosialisasi atau ekspos atas
RAPBD tsb sehingga masyarakat tahu apakah usulan di Musrenbang sudah diakomodasi atau
belum, sekaligus untuk menilai apakah DPRD memotong usulan masyarakat. Sering terjadi di
RKPD program/kegiatan yang diusulkan masyarakat sudah masuk, tapi di PPAS hilang tanoa
bekas.
4. Ketidakjelasan kaitan antara Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis
(Renstra) satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Ada kecenderungan dokumen RPJP
maupun RPJMD/Renstra seringkali tidak dijadikan acuan dalam menyusun Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) atau Rencana Kerja (Renja) SKPD. Usulan kegiatan sifatnya
hanya copy paste dari kegiatan yang lalu.
5. Ketakutan pemerintah daerah dalam membuat usulan kegiatan yang memerlukan dana
besar. Ada kecenderungan SKPD untuk membuat usulan kegiatan yang sifatnya rutin dan
kurang menyentuh kepentingan pembangunan daerah karena rasa takut atas pengawasan
yang dilakukan jika usulan kegiatan dengan dana besar tersebut dilaksanakan. Rasa takut
tersebut lebih besar disebabkan karena ketidakjelasan serta ketidaksamaan persepsi
mengenai batasan penyimpangan dan terlalu ketat peraturan sehingga adanya pergeseran
dan perubahan dari yang di rencanakan dianggap suatu penyimpangan, walau terkadang
tidak ada penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian Negara/daerah.
Pelaksanaan dan Penatausahaan Anggaran
Dampak dari terlambatnya pengesahan anggaran akan mempengaruhi proses pelaksanaan
anggaran. Hal ini sering kali menghambat penyelesaian rencana kerja pada akhir tahun
anggaran karena sebuah rencana kerja membutuhkan perencanaan yang matang dan
mobilisasi sumber daya. Sebahagian besar Pemerintah daerah telah mengesyahkan APBD
bulan Desember tahun sebelumnya, tetapi proses pelaksanaan anggaran yang dimulai
dengan penyiapan Rancangan Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD dan Rancangan
Anggaran Kas sampai Surat Penyediaan Dana (SPD) sering mengalami keterlambatan
sehingga dana sering lambat tersedia. Ini suatu yang aneh, walau tahun anggaran dimulai
1 Januari tapi sampai Mei anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapat.
Pada akhirnya, walaupun penganggaran yang berbasiskan kas lebih sederhana, seringkali
ini berarti pengguna anggaran harus menunggu sampai uang kas tersedia untuk dapat
melaksanakan pekerjaan mereka. Dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat
dan dana bagi hasil dari provinsi seringkali terlambat pencairannya, akibatnya pekerjaan
menjadi tertunda dan terpaksa dilakukan pemadatan kegiatan menjadi hanya beberapa
bulan di akhir tahun.Pemerintah pusat maupun provinsi masih harus memastikan bahwa
pencarian dana bagi hasil dapat mencapai daerah sebelum tutup tahun anggaran sehingga daerah
masih bisa memanfaatkannya. Masalah penyerapan anggaran tiap tahun yang selalu muncul di
media, tetapi belum banyak kemajuan untuk perbaikan. Dari segi pemanfaatan APBD, jelas hal
ini merugikan masyarakat lokal yang berhak menikmati penggunaan APBD tersebut pada
waktunya.
Bukti dari terjadinya jeda pendanaan ini tercermin dari adanya surplus kas yang dimiliki
pemerintah daerah pada akhir tahun. Surplus dana ini bukan berasal dari efesiensi yang

dilakukan oleh Pemerintah daerah tetapi akibat ada beberapa kegiatan yang belum
sempat dilaksanakan karena proses pencairan dana yang terlambat.
Tetapi ada sebahagian daerah berusaha untuk melaksanakan kegiatan dengan melakukan
pemadatan diakhir tahun. Pelaksanaan kegiatan yang terburu-buru untuk mengejar tahun
anggaran berakhir selalu mempunyai dampak yang negatif dalam pengelolaan keuangan
daerah, terutama di dalam penatausahaan APBD dan pertanggungjawaban pelaporan.
Terkadang ada proses atau prosedur yang tidak dilaksanakan. Ketidakpatuhan terhadap
prosedur yang diatur UU dan peraturan pemerintah lainnya, bukan tidak mungkin akan
menimbulkan konsekuensi hukum sebagaimana terlihat dari berbagai kasus hukum yang
menindaklanjuti laporan BPK
Banyak permasalahan yang timbul akibat kurang pemahaman dari masing-masing
komponen yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah, disamping adanya
perbedaan persepsi diantara mereka tentang prosedur penatausahaan yang mereka
lakukan. Permasalahan ini sering menjadi temuan BPK yang berakibat adanya tuntutan
ganti rugi (TGR) bahkan sering menimbulkan konsekuensi hukum.
Disamping itu, permasalahan timbul akibat Permendagri No 13 tahun 2006 memandatkan
bahwa anggaran yang disetujui oleh DPRD pada tingkat kegiatan dan wajib menyajikan
rincian fungsi, urusan pemerintahan, organisasi, program, kegiatan, jenis, obyek dan
rincian obyek belanja. Salah satu konsekuensi mewajibkan rincian pada tingkat kegiatan
(satu tingkat di bawah program) adalah DPRD harus menyetujui anggaran di tingkat
pengguna anggaran (SKPD).Persetujuan pada tingkat yang serinci itu membuat anggaran
menjadi tidak fleksibel dalam pelaksanaannya dan secara signifikan menyebarkan
tanggung jawab pelaksanaan anggaran.
Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Era reformasi dan otonomi daerah telah ikut mempengaruhi perubahan paradigma dalam
pelaporan keuangan daerah. Pemerintah daerah sekarang mendapat amanat untuk mengelola
dana publik dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dalam berbagai
bidang atau urusan. APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan stimulus ekonomi
lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Birokrasi lokal akan
dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis produktivitas
mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda bermanfaat
meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal. Dasar dari segala
aspek pengelolaan keuangan daerah tentunya adalah akuntansi keuangan daerah yang rapi dan
sesuai kaidah yang ada sehingga APBD sendiri menjadi transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Laporan keuangan harus disusun berdasarkan standar, sistem maupun pedoman terkait akuntansi
pemerintahan, di mana di dalamnya ada sejumlah aturan (kriteria/prosedur) yang harus
diperhatikan sebagai rambu-rambu dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
yang benar dan sesuai dengan yang apa diinginkan. Apalagi jika hal tersebut didukung oleh
semangat good willingness dari semua elemen terkait pengelolaan keuangan daerah, maka spirit
menghadirkan LKPD sesuai dengan standar tentu bukan persoalan yang rumit.
Sebelum masa otonomi, aturan pemerintah daerah membuat laporan keuangan tidak seketat
sekarang. Pengelolaan keuangan daerah saat ini tidak saja harus mengalokasikan dana publik
bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat daerah, tetapi juga harus mengelola dana publik
tersebut sesuai dengan UU dan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Kepatuhan terhadap

UU dan aturan dalam pengelolaan keuangan daerah diperiksa institusi pemeriksa internal daerah
(Inspektorat) maupun pemeriksa eksternal (BPK).
Pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola dana publik secara efektif, efisien, ekonomis,
dan juga patuh terhadap semua aturan serta mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan
pengelolaan keuangan daerah secara tepat waktu dan akuntabel
Dalam memenuhi kewajiban untuk patuh terhadap aturan terkait pengelolaan keuangan daerah
yang begitu banyak, dalam pelaksanaannya tidak mudah. Padahal, pemerintah daerah juga
dituntut untuk transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab. Konsekuensi dari keterbukaan
adalah teraksesnya semua prosedur dan realisasi penggunaan keuangan pemerintah daerah tidak
hanya oleh instansi pemeriksa, namun juga seluruh elemen masyarakat.
Pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah relative masih buruk, hal ini terlihat dari
opini yag diberikan BPK. Masih banyak daerah yang mendapat opini buruk yaitu pendapat tidak
wajar dan disclaimer. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pada tahun anggaran 2008 ada
24 % Pemda mendapat opini disclaimer dan 6% mendapat opini tidak wajar, hanya 3% yang
mendapat opini wajar tanpa pengecualian.
Pemberian opini disclaimer oleh BPK, disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah:
penyusunan LKPD yang belum melalui prosedur akuntansi serta tidak memiliki kebijakan
akuntansi dalam menyusun laporan keuangan. Sebagai contoh, opini wajar tanpa pengecualian
yang diberikan pada LPKP Kota Banjar, semata-mata karena LKPD yang dilaporkan dinilai
memenuhi semua kriteria pemeriksaan mengenai kesesuaian, kecukupan pengungkapan,
efektivitas sistem pengendalian intern dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan,
neraca tidak memberikan gambaran yang sebenarnya, nilai asset tidak diyakini kebenarannya.
Sebahagian asset tidak didukung dengan bukti kepemilikan yang syah. Tidak ada catatan
mengenai barang pakai habis, hal ini terjadi karena masih ada persepsi bahwa barang pakai habis
pada akhir tahun anggaran dianggap semuanya sudah habis terpakai, walau dalam kenyataan
masih banyak yang tersisa,
masih ada perbedaan persepsi diantara pemeriksa dan pemda terhadap pengelompokan belanja
barang dan jasa dengan belanja modal. Ada sebahagian menganggap belanja dianggap sebagai
belanja modal jika nilainya cukup material. Padahal ada kalanya barang tersebut masa pakainya
hanya 3 bulan, dan dianggap material karena dibeli dalam jumlah besar, misalnya slang infuse di
rumah sakit. Akibat hal ini, neraca menyajikan nilai asset yang sangat tinggi sedangkan
keberadaan asetnya sudah tidak ada,
lemahnya pengelolaan barang milik daerah terutama dalam penatausahaan barang milik daerah
menyebabkan neraca daerah kurang diyakini kewajarannya. Sering perpindahan asset dari satu
SKPD ke SKPD lainnya tidak didukung oleh prosedur yang seharusnya, sehingga ada kalanya
asset tersebut tercatat di SKPD asal dan SKPD penerima aset.
Dalam konsep auditing, opini disclaimer dari auditor atas laporan keuangan teraudit bukan
merupakan satu-satunya opini buruk karena auditor "hanya" tidak memberikan pendapat atau
penilaian (no opinion) atas objek yang diauditnya. Opini terburuk adalah adverse opinion
(pendapat tidak wajar) jika auditor percaya bahwa secara material keseluruhan laporan keuangan
telah disajikan secara tidak wajar karena tidak menyajikan posisi keuangan atau hasil usaha dan
arus kas yang wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Adapun kondisi yang
melatarbelakangi terbitnya opini disclaimer adalah jika auditor tidak dapat meyakinkan dirinya
sendiri bahwa laporan keuangan yang diauditnya telah disajikan secara wajar. Masalah tersebut
dapat disebabkan antara lain karena adanya pembatasan ruang lingkup audit, atau terdapat

hubungan yang tidak independen antara auditor dengan kliennya, atau terdapat masalah
mengenai kelangsungan hidup entitas.
Menurut Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri,
Timbul Pudjianto masih banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, yang laporan
keuangannya buruk, setidaknya ada 209 pemerintah daerah atau 40 persen dari 524 pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang laporan keuangannya buruk. Hal itu, dia
sampaikan usai memberikan ceramah pengelolaan keuangan daerah pada Semiloka Nasional
Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Kerjasama Antar-Daerah di Purwokerto, Kabupaten
Banyumas Juni 2010. Timbul mengatakan, ada dua masalah utama yang menyebabkan pelaporan
keuangan daerah masih buruk. Masalah pertama, sumber daya manusia yang menangani
pengelolaan keuangan daerah di sebagian besar pemerintahan daerah tidak ditangani oleh tenaga
profesional. Masalah kedua, pencatatan aset daerah masih kurang diperhatikan pemerintah
daerah.
Ada beberapa penyebab lambatnya kemajuan pemda dalam mewujudkan laporan keuangan yang
akuntabel. Penyebab utama adalah ketersediaan sumber daya manusia di setiap SKPD yang
mampu menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan PP no. 24 tahun 2005 tentang standar
akuntansi pemerintahan (SAP) dan paradigma pengguna anggaran/ kepala daerah terhadap
laporan keuangan SKPD/Pemda.
Reformasi pengelolaan keuangan daerah sejak 1999 menyebabkan berubahnya praktik akuntansi
sederhana single entry berbasis kas menjadi praktik akuntansi double entry berbasis cash toward
akrual yang relatif lebih rumit tetapi memiliki kelebihan memiliki kandungan informasi yang
lebih baik kepada public. Dalam menerapkan pencatatan double entry yang berbasis cash toward
acrrual diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami logika akuntansi secara
baik.Aparatur pemda yang menangani masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai
penatausahaan anggaran, melainkan juga harus memahami karakteristik transaksi yang terjadi
dan pengaruhnya pada rekening-rekening dalam laporan keuangan pemda. Kegagalan SDM
pemda dalam memahami dan menerapkan logika akuntansi akan berdampak pada kekeliruan
laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan SAP.
Pemda umumnya memiliki keterbatasan jumlah SDM yang menguasai logika akuntansi secara
baik. Banyaknya SDM bagian keuangan pemda yang berlatar belakang nonakuntansi merupakan
satu kendala utama saat ini. Akibatnya, berbagai pelatihan yang diadakan pemda maupun
pemerintah pusat tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian, upaya melakukan
rekrutmen pegawai berlatar belakang akuntansi dengan spesifikasi teknis akuntansi yang baik
merupakan suatu pilihan yang tepat untuk dikembangkan. Perlu dilakukan reformasi dalam
perekrutan pegawai, model seleksi pegawai yang diterapkan masih bersifat umum dan belum
menggali aspek kompetensi akuntansi peserta ujian harus diubah.
Disamping itu, sering terjadi keluhan di Pemda, sarjana akuntansi yang baru direkrut belum siap
pakai dalam hal menyusun laporan keuangan Pemda. Hal ini disebabkan, mereka lebih disiapkan
untuk menyusun laporan keuangan perusahaan.
Faktor yang cukup signifikan menyebabkan lambatnya kemajuan akuntabilitas laporan keuangan
pemda adalah paradigma Pengguna anggaran/kepala daerah terhadap benefit dibuatnya laporan
keuangan. Banyak pengguna anggaran/kepala daerah masih memandang penyediaan laporan
keuangan tidak memberikan benefit yang berarti bagi unit kerja/daerah yang dipimpinnya,
bahkan cenderung dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan.
Pengguna anggaran sering berpikiran bahwa tanggungjawab penyusunan anggaran berada di
Pejabat Pengelola keuangan Daerah, sehingga mereka tidak menyiapkan laporan keuangan

SKPD sebagai wujud pertanggungjawaban atas anggaran yang telah diberikan kepadanya. Hal
ini menyebabkan sering terjadi keterlambatan dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemda.
Satu alasan utama bagi sebagian besar pemda mau membuat dan menyerahkan laporan keuangan
kepada pemerintah pusat adalah adanya ancaman dari departemen keuangan untuk tidak
mencairkan dana alokasi umum sekiranya pemda tidak menyerahkan laporan keuangan mereka.
Hal ini tentulah cukup memprihatinkan karena seharusnya laporan keuangan yang akuntabel
merupakan hak publik yang harus dipenuhi kepala daerah yang telah dipilih rakyat.
Pengawasan Keuangan Daerah
Dalam rangka mewujudkan good governance di lingkungan pemerintahan daerah. Pemerintah
harus melakukan reformasi dalam segala aspek pengelolaan keuangan daearah. Salah satu
langkah yang haus dilakukan pemerintah daerah pada saat ini adalah melakukan reformasi audit
baik internal maupun eksternal dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Melalui reformasi audit ini diharapkan kegiatan audit di lingkungan instansi pemerintah dapat
berjalan lebih maksimal, sehingga terjadinya kesalahan prosedur dan tindak pidana yang sering
dilakukan auditee, yang berdampak pada kerugian negara, dapat semakin berkurang. Melalui
reformasi audit ini diharapkan setiap auditor, selain mampu menjalankan prosedur audit sesuai
dengan standar audit yang berlaku, juga mampu untuk terus mengembangkan kemampuan
auditnya dengan semakin mengembangkan prosedur dan program auditnya sesuai dengan
perkembangan lingkup dan model transaksi keuangan yang dilakukan oleh auditan.
Diharapkan dengan ada reformasi dalam bidang pengawasan maka kualitas pengawasan yang
dilakukan inspektorat daerah akan semakin baik, sehingga akan meningkatkan peranan pengawas
internal/inspektorat dalam pengawasan pengelolaan keuangan daerah
Banyak kasus temuan ketidakefektifan dalam pengelolaan keuangan daerah yang didapati oleh
BPK RI. Hal ini harus menjadi perhatian bagi stakeholder terutama DPRD, BPK daerah dan
Inspektorat untuk bekerja keras meningkatkan pengawasan daerah. Penyebab utama terjadinya
kasus ketidakefektifan pengelolaan keuangan daerah di Indonesia adalah masalah pengelolaan
barang milik daerah serta ketidakefektifan penggunaan APBD dan dana bantuan dari pusat.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Timbul
Pudjianto, menyatakan bahwa sistem pengawasan yang diberikan untuk dana transfer ini pun
berlapis-lapis. Mulai pengawasan internal yang dilakukan oleh inspektorat daerah di tingkat
kabupaten/kota, melibatkan gubernur di tingkat provinsi, hingga Inspektorat
Kemendagri.Seringkali inspektorat daerah itu sudah menemukan ada kejanggalan, tapi tidak
berani berbuat apa-apa. Mereka sungkan karena menganggap kebijakan itu kan datangnya dari
kepala daerah. Di situlah pengawas eksternal bisa membantu.
Banyaknya kasus kebocoran anggaran di daerah juga tidak bisa dilepaskan dari lemahnya fungsi
pengawasan. Karena pengawasan juga bisa dilakukan oleh tingkat provinsi, lanjutnya, DPRD
semestinya
memperkuat
lagi
pengawasannya
atas
alokasi
anggaran
daerah.
DPRD diharapkanjangan hanya tertarik dalam aspek penyusunan anggaran saja. Tapi yang
penting juga bagaimana anggaran itu dilaksanakan, dan bagaimana anggaran itu
dipertanggungjawabkan.
Menurut UU no,15/2004 dan UU no. 15/2006, BPK adalah institusi yang melakukan
pemeriksaan atas pengelolan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan daerah. Sementara
di daerah dibentuk sebuah SKPD yang berfungsi sebagai pengawas internal pemerintah daerah

yang biasa disebut inspektorat. Pada pasal 9 dinyatakan bahwa BPK dapat memanfaatkan hasil
pemeriksaan inspektorat dan oleh karenanya laporan hasil pemeriksaan inspektorat wajib
disampaikan kepada BPK. Tetapi kenyataan yang di dapat berbeda, seperti kasus yang terjadi di
provinsi Jawa Timur, dimana BPK mendapati adanya penyelewengan penggunaan dana APBD
2007 dan Bawasprov Jatim menindaklanjuti hasil peneluam BPK dengan memanggil dinas yang
di duga bermasalah. Hal ini menjadi suatu sorotan di masyarakat. Inspektorat bukanlah lembaga
yang memanfaatkan informasi atas penyimpangan dari BPK karena semestinya mereka yang
lebih dahulu mengetahui persoalan-persoalan di daerahnya. Selaku institusi pengendalian
internal, sebelum terjadi penyimpangan, inspektorat semestinya sudah bisa mendeteksi sehingga
bisa mencegah hal itu terjadi. Kalau hanya menunggu hasil pemeriksaan BPK, keberadaan
inspektorat dalam suatu pemerintah daerah perlu dipertanyakan, seolah-olah tidak ada
manfaatnya dan hanya membebani anggaran daerah.
Permasalahan di Jatim dan di daerah lainnya bisa terjadi karena dalam melaksanakan tugasnya
auditor inspektorat kurang independensinya Hal ini dapat dilihat dalam strukturnya, inspektorat
berada di bawah kepala daerah dan sejajar dengan kepala dinas/badan/ kantor lainnya. Dalam
kasus bawasprov Jatim memanggil dinas yang bermasalah menunjukan peran auditor inspektorat
dalam pengawasan keuangan daerah relatif masih rendah.

Das könnte Ihnen auch gefallen