Sie sind auf Seite 1von 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir
dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis
tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu
terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses
tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian,
memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut
usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih

harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses
menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine
maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan
oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk
diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu
diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani,
2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko
terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri
pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat
untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya dalam praktek
pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang
mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya
urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang
cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urine
merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine. (kamus
keperawatan).
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 30% usialanjut di
masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia
urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saa tberumur 65-74
tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi
saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.

B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat

menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus
terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya
penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan
terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika
memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat
yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam
IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang
disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul,

karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan
terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo,
2009).

C. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling
dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur
aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo,
2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi
oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton,
1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan
kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek
serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya

penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering
mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara
kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

D. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008)
yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis.
2. Distensi vesika urinaria.
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml).

Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.


Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.
Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

E. Klasifikasi
Adapun klasifikasi inkontinensia urin (IU) menurut Hidayat, 2006 :
1. Inkotinensia dorongan
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai
dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih
(Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing
segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah
mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
2. Inkotinensia total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.

3. Inkontinensia stress
Tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen,
adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya
tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).
4. Inkontinensia reflex
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi
medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur.
5. Inkontinensia fungsional
Keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak
dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup
kuat untuk mengeluarkan urin.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut

Ouslander,

untuk mengidentifikasi

tes

faktor

diagnostik
yang

pada

potensial

inkontinensia

perlu

mengakibatkan

dilakukan

inkontinensia,

mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.


Mengukur sisa urine setelah berkemih, dilakukan dengan cara : setelah buang air
kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan
pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung
kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti
hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria.

Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
Tes lanjutan tersebut adalah :

Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium

glukosa sitologi.
Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian

bawah.
Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat

dinamis.
Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

2. Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan


alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine.
Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut
juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk
berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain
saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak
terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
3. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri.
4. Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan
inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan
tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai
intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu
terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,


mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar,
baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu catat
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)

dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih

setiap 2-3 jam.


Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.

Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang.

3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah : antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine.


Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu : pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.

4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow

umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi


ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
Penatalaksanaan pembedahan
Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina,
suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter
artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme
penekanan swa-regulasi dpat digunakan untuk menutup uretra. Metode lain untuk
mengontrol inkontinensia stress adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul
dengan bantuan pulsa generator miniature yang dilengakapi electrode yang dipasang pada
sumbat intra-anal.
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal,
komod dan bedpan.
6. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter
menetap, terdapat kateter sementara yang merupakanalat yang secara rutin digunakan
untuk mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat
mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi
padasaluran kemih.
7. Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjutyang tidak
mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebutakan menolong lansia

terhindar dari jatuh serta membantu memberikankemandirian pada lansia dalam


menggunakan toilet.
8. Latihan otot dasar panggul
Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul sejajar

dengan lantai.
Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau

sesanggupnya.
Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.
Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.
Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.

Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa,
tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,
kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.

Riwayat kesehatan dahulu


Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan
catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan
klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia
4. Pemeriksaan sistem
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah
apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra,
banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik/pelvis, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
5. Pengkajian psikososial
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman nyeri b/d penyebaran infeksi dari uretra.
Kekurangan Volum cairan b/d diuresis osmotic.
Resiko tinggi infeksi b/d glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia).
Kelelahan b/d kelemahan otot.
Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau
urine.

C.

Rencana Keperawatan

N
O

Diagnosa
keperawatan

Tujuan

kriteria
hasil

1.

Gangguan rasa
nyaman nyeri b/d
penyebaran
infeksi dari uretra

Setelah
Nyeri
dilakukan
terkontro
tindakan
l atau
kepeawatan
hilang.
selama 2x24 Klien dapat
jam
kembali
diharapakan
tenang
nyeri dapat
dan
teratasi atau
rileks.
berkurang
Klien
mampu
beristirah
at seperti
biasanya.

Intervensi

Rasional

Mandiri :
Kaji nyeri,
perhatikan lokasi,
intensitas atau
skala nyeri dan
lamanya nyeri

Catat lamanya
intensitas (skala
0-10) dan
penyebaran

Memberi kan
informasi
untuk
membantu
dalam
menentukan
pilihan dan
keefektifan
intervensi.

Membantu
mengevaluasi
tempat
obstruksi dan

Berikan tindakan
keyamanan.

kemajuan
gerakan
kalkulus.

Contoh :
Membantu pasie
memberikan
posisi yang
nyaman,
mendorong
penggunaan
relaksasi atau
latihan nafas
dalam.

Meningkat-kan
relaksasi,
memfokuskan
kembali
perhatian dan
dapat
meningkatkan
kembali
kemampuan
koping.

Kolaborasi :
Berikan obat
sesuai indikasi.
Contoh: analgesik

Berikan
pemanasan local
sesuai indikasi

Menghilangka
n nyeri,
menentukan
obat yang tepat
untuk
mencegah
fluktuasi nyeri
ber-hubungan
dengan
tegangan .

Digunakan
untuk
menningkatkan
relaksasi, dan
sirkulasi
2.

Kekurangan
Volum cairan b/d
diuresis osmotic

Klien
TTV stabil.
menunjukkan
hidrasi yang Membrane
mukosa
adekuat/
bibir
kekurangan

Mandiri :
Dapatkan riwayat
pasien/ orang
terdekat

Untuk
memperoleh
data tentang

cairan dapat
diatasi

lembab.
Turgor kulit
elastic.
Intake dan
output
seimban
g.

sehubungan
dengan lamanya
gejala seperti
muntah dan
pengeluaran urine
yang berlebihan

Pantau TTV, catat


adanya perubahan
TD, warna kulit
dan
kelembabannya.

Pantau masukan
dan pengeluaran
urine.

Timbang BB
setiap hari.

Pertahankan
untuk
memberikan
cairan paling
sedikit 2500
ml/hari dalam
batas yang dapat
ditoleransi
jantung.

penyakit
pasien, agar
dapat
melakukan
tindakan sesuai
yang
dibutuhkan.

Indicator
hidrasi/volum
sirkulasi dan
kebutuhan
intervensi.

Membandingk
an keluaran
actual dan
yang
diantisipasi
membantu
dalam evaluasi
adanya/ derajat
stasis/
kerusakan
ginjal.

Peningkatan
BB yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi.

Mempertahank
an
keseimbangan
cairan.

Kolaborasi:
Berikan terapi
cairan sesuai
indikasi.

Berikan cairan
IV.

Memenuhi
kebutuhan
cairan tubuh.

Mempertahank
an volum
sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal.
3.

Resiko tinggi
infeksi b/d
glukosa darah
yang tinggi
(hiperglikemia)

Mandiri:
Berikan
perawatan
perineal dengan
air sabun setiap
shift. Jika pasien
inkontinensia,
cuci daerah
perineal sesegera
mungkin.

Jika di pasang
kateter
indwelling,
berikan
perawatan kateter
2x sehari
(merupakan
bagian dari waktu
mandi pagi dan
pada waktu akan
tidur) dan setelah
buang air besar.

Untuk
mencegah
kontaminasi
uretra.

Kateter
memberikan
jalan pada
bakteri untuk
memasuki
kandung kemih
dan naik ke
saluran
perkemihan.

Untuk
mencegah

stasis urine.
Kecuali
dikontraindikasik
an, ubah posisi
pasien setiap
2jam dan
anjurkan
masukan
sekurangkurangnya 2400
ml / hari. Bantu
melakukan
ambulasi sesuai
dengan
kebutuhan.

Berikan terapi
antibiotoik.

Mungkin
diberikan
secara
profilaktik
sehubungan
dengan
peningkatn
resiko infeksi.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia
urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan
konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila
dasar inkontinensia
faktor penyebab.

B. Saran

neurogen

atau

mental

maka

pengobatan

disesuaikan

dengan

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis.

DAFTAR PUSTAKA

FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
http://allwhyoechy.blogspot.co.id/2012/10/askep-gerontik-inkontenensia-urine.html
https://gustomoridho.wordpress.com/2012/05/25/askep-inkintinensia-urin/

Das könnte Ihnen auch gefallen