Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir
dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis
tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu
terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses
tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian,
memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut
usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses
menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine
maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan
oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk
diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu
diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani,
2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko
terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri
pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat
untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya dalam praktek
pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang
mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya
urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang
cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urine
merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine. (kamus
keperawatan).
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 30% usialanjut di
masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia
urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saa tberumur 65-74
tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi
saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.
B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus
terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya
penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan
terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika
memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat
yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam
IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang
disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul,
karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan
terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo,
2009).
C. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling
dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur
aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo,
2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi
oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton,
1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan
kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek
serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering
mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara
kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).
D. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008)
yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis.
2. Distensi vesika urinaria.
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml).
E. Klasifikasi
Adapun klasifikasi inkontinensia urin (IU) menurut Hidayat, 2006 :
1. Inkotinensia dorongan
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai
dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih
(Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing
segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah
mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
2. Inkotinensia total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.
3. Inkontinensia stress
Tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen,
adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya
tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).
4. Inkontinensia reflex
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi
medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur.
5. Inkontinensia fungsional
Keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak
dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup
kuat untuk mengeluarkan urin.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut
Ouslander,
untuk mengidentifikasi
tes
faktor
diagnostik
yang
pada
potensial
inkontinensia
perlu
mengakibatkan
dilakukan
inkontinensia,
Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitologi.
Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah.
Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dinamis.
Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
G. Penatalaksanaan
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih
kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah : antikolinergik
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
dengan lantai.
Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau
sesanggupnya.
Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.
Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.
Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa,
tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,
kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan
klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia
4. Pemeriksaan sistem
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah
apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra,
banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik/pelvis, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
5. Pengkajian psikososial
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman nyeri b/d penyebaran infeksi dari uretra.
Kekurangan Volum cairan b/d diuresis osmotic.
Resiko tinggi infeksi b/d glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia).
Kelelahan b/d kelemahan otot.
Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau
urine.
C.
Rencana Keperawatan
N
O
Diagnosa
keperawatan
Tujuan
kriteria
hasil
1.
Gangguan rasa
nyaman nyeri b/d
penyebaran
infeksi dari uretra
Setelah
Nyeri
dilakukan
terkontro
tindakan
l atau
kepeawatan
hilang.
selama 2x24 Klien dapat
jam
kembali
diharapakan
tenang
nyeri dapat
dan
teratasi atau
rileks.
berkurang
Klien
mampu
beristirah
at seperti
biasanya.
Intervensi
Rasional
Mandiri :
Kaji nyeri,
perhatikan lokasi,
intensitas atau
skala nyeri dan
lamanya nyeri
Catat lamanya
intensitas (skala
0-10) dan
penyebaran
Memberi kan
informasi
untuk
membantu
dalam
menentukan
pilihan dan
keefektifan
intervensi.
Membantu
mengevaluasi
tempat
obstruksi dan
Berikan tindakan
keyamanan.
kemajuan
gerakan
kalkulus.
Contoh :
Membantu pasie
memberikan
posisi yang
nyaman,
mendorong
penggunaan
relaksasi atau
latihan nafas
dalam.
Meningkat-kan
relaksasi,
memfokuskan
kembali
perhatian dan
dapat
meningkatkan
kembali
kemampuan
koping.
Kolaborasi :
Berikan obat
sesuai indikasi.
Contoh: analgesik
Berikan
pemanasan local
sesuai indikasi
Menghilangka
n nyeri,
menentukan
obat yang tepat
untuk
mencegah
fluktuasi nyeri
ber-hubungan
dengan
tegangan .
Digunakan
untuk
menningkatkan
relaksasi, dan
sirkulasi
2.
Kekurangan
Volum cairan b/d
diuresis osmotic
Klien
TTV stabil.
menunjukkan
hidrasi yang Membrane
mukosa
adekuat/
bibir
kekurangan
Mandiri :
Dapatkan riwayat
pasien/ orang
terdekat
Untuk
memperoleh
data tentang
cairan dapat
diatasi
lembab.
Turgor kulit
elastic.
Intake dan
output
seimban
g.
sehubungan
dengan lamanya
gejala seperti
muntah dan
pengeluaran urine
yang berlebihan
Pantau masukan
dan pengeluaran
urine.
Timbang BB
setiap hari.
Pertahankan
untuk
memberikan
cairan paling
sedikit 2500
ml/hari dalam
batas yang dapat
ditoleransi
jantung.
penyakit
pasien, agar
dapat
melakukan
tindakan sesuai
yang
dibutuhkan.
Indicator
hidrasi/volum
sirkulasi dan
kebutuhan
intervensi.
Membandingk
an keluaran
actual dan
yang
diantisipasi
membantu
dalam evaluasi
adanya/ derajat
stasis/
kerusakan
ginjal.
Peningkatan
BB yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi.
Mempertahank
an
keseimbangan
cairan.
Kolaborasi:
Berikan terapi
cairan sesuai
indikasi.
Berikan cairan
IV.
Memenuhi
kebutuhan
cairan tubuh.
Mempertahank
an volum
sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal.
3.
Resiko tinggi
infeksi b/d
glukosa darah
yang tinggi
(hiperglikemia)
Mandiri:
Berikan
perawatan
perineal dengan
air sabun setiap
shift. Jika pasien
inkontinensia,
cuci daerah
perineal sesegera
mungkin.
Jika di pasang
kateter
indwelling,
berikan
perawatan kateter
2x sehari
(merupakan
bagian dari waktu
mandi pagi dan
pada waktu akan
tidur) dan setelah
buang air besar.
Untuk
mencegah
kontaminasi
uretra.
Kateter
memberikan
jalan pada
bakteri untuk
memasuki
kandung kemih
dan naik ke
saluran
perkemihan.
Untuk
mencegah
stasis urine.
Kecuali
dikontraindikasik
an, ubah posisi
pasien setiap
2jam dan
anjurkan
masukan
sekurangkurangnya 2400
ml / hari. Bantu
melakukan
ambulasi sesuai
dengan
kebutuhan.
Berikan terapi
antibiotoik.
Mungkin
diberikan
secara
profilaktik
sehubungan
dengan
peningkatn
resiko infeksi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia
urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan
konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila
dasar inkontinensia
faktor penyebab.
B. Saran
neurogen
atau
mental
maka
pengobatan
disesuaikan
dengan
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
http://allwhyoechy.blogspot.co.id/2012/10/askep-gerontik-inkontenensia-urine.html
https://gustomoridho.wordpress.com/2012/05/25/askep-inkintinensia-urin/