Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
MAKALAH
Ummul Quran
Dosen Pembimbing :
Abdul Rosyid M.Si
Disusun oleh :
Ikka Wulandari
Lena Setiastri
Riska Tazkiatul Jannah
Septiani Suhendah
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah
Bogor 2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
UMMUL QURAN yang berjudul ILMU QIRAAT .
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR....
...i
DAFTAR
...ii
ISI......
BAB
PENDAHULUAN....
...1
BAB
II
PEMBAHASAN.3
A. PENGERTIAN QIRAAT.....3
B.
C.
III
PENUTUP...11
DAFTAR
PUSTAKA..12
BAB I
PENDAHULUAN
Al-quran adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa
Taala menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, demi membebaskan
manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Illahi, dan membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikannya kepada para
sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat
yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.[1]
Metode penyampaian ilmu pengetahuan pada waktu itu, termasuk ilmuilmu Al-Quran, di zaman awal-awal Islam bahkan hingga masa-masa tabi altabiin yang berlangsung sejak abad pertama hingga abad kedua atau abad ketiga
hijrah,
lebih
banyak
mengandalkan
metode simaiy(pendengaran)
arti
dan
maksud
Al-Quran,
sehingga
mereka
tidak
tentang
cara
mengucapkan
kalimat-kalimat
Al-Quran
dan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QIRAAT
Qiraat adalah bentuk jamak dari kata qiraah yang secara bahasa berarti
bacaan. Ia adalahmashdar dan qaraa. Dalam istilah keilmuan, qiraat adalah
salah satu madzhab pembacaan Al-Quran yang dipakai oleh salah seorang imam
qurra[5] sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.[6] Secara
istilah, ilmu qiraat berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang
cara membaca Al-Quran. Menurut Muhasyin, qiraat adalah suatu ilmu yang
mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) AlQuran, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan
orang yang menukilkannya[7]. Menurut Al-Zarqani mengemukakan defenisi
qiraat sebagai berikut:
Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan
yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran Al-Karim serta sepakat riwayatriwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan
huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaanya.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksud
menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua, cara cara bacaan yang dianut dalam suatu
mahzab qiraat didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga,
para sahabat. Selain itu termasuk qiraat syadz. Ada yang berpendapat, bahwa
kesepuluh qiraat itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang
menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qiraat yang
shahih, baik dalam qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya.[10]
Menurut para ulama, syarat-syarat qiraat yang shahih adalah sebagai berikut:
[11]
1.
Kesesuaian qiraat tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu
segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qiraat adalah Sunnah yang harus
diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,
bukan rasio.
2.
Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar
mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah
bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacammacam dialek qiraat yang mereka ketahui.
Dalam menentukan qiraat yang shahih, ia tidak diisyaratkan harus sesuai dengan
semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
3.
Qiraat itu isnadnya harus shahih, sebab qiraat merupakan Sunnah yag diikuti
yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa
Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun
demikian para imam qiraat bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qiraat yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah
terpenuhi, maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shaih. Dan bila salah satu
syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah,
syadz atau batil.
As-syuyuti
mengutib
Ibnu Al-Jazari
yang
mengelompokkan
qiraat
yang berstatus mutawatir ini adalah qiraat yang sah dan resmi sebagai AlQuran. Qiraat ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Quran ini dijadikan
sumber atau hujjah dalam menetapkan hokum.
2.
Masyhur, yaitu qiraat yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya
tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi AlShalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib
meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3.
Ahad, yaitu qiraat yang sanadnya shahih. Akan tetapi qiraat ini menyalahi
tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti
kemasyhuran tersebut diatas. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang
dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa
Nabi SAW.
4.
Syaz, yaitu qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti qiraat. Terjadinya
kejanggalan pada qiraat nya.
5.
Maudu, yaitu qiraat yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti
qiraat yang dihimpun oleh Muhammad bin Jafar Al-Khuzai (wafat 408 H) dan
dibangsakan kepada Abu Hanifah
6.
Mudraj, yaitu qiraat yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan
yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Quran seperti qiraat Sad bin
Abi Waqqas.
Keempat macam contoh qiraat terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Menurut jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak
mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar
shalat. [13]
Imam Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh AlMuhazzab bahwa tidak sah membaca qiraat syazzah (aneh) di dalam dan di luar
shalat. Sebab, qiraat syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat
tidak demikian maka orang itu salah dan jahil. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk
menyuruh orang yang membaca riwayat yang syazz bertaubat.[14]
C.
Perbedaan antara satu qiraat dan qiraat lainnya bisa terjadi pada perbedaan
huruf, bentuk kata, susunan kalimat, Irab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan
kepada
makna
yang
selanjutnya
berpengaruh
kepada
hukum
yang
diistibathkannya.[15]
Dalam hal ini, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih detail
dan cermat, perbedaan qiraat Al-Quran yang berkaitan dengan subtansi lafadz
atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut namun
adakalanya tidak. Dengan demikian, maka
2.
3.
4.
Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.
Para ulama menulis qiraaat-qiraat dan sebagiannya menjadi masyhur
sehingga lahirlah istilah qiraat tujuh, qiraat sepuluh, dan qiraat empat
belas.[17]
Penyebutan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid tentang ketujuh imam
qiraat yang masyhur itu, karena menurutnya, mereka adalah ulama yang terkenal
kuat hafalan, ketelitian, amanah dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta
Abu Amru bin Al-Ala. Seorang syaikh para perawi. Nama lengkapnya Zabban
Al-Mazini Al-Bashri. Ada yang mengatakan, namanya adalah Yahya. Juga
dikatakan bahwa nama aslinya adalah gelarannya itu. Ia wafat di Kufah pada 154
H. dua orang perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi.
2.
3.
Nafi Al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi bin Abdirrahman bin
Nuaim Al-Laitsi, berasal dari Isfaham, dan wafat di Madinah pada 169 H.
4.
Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir AlYahsubi, seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdil
Malik. Nama panggilannya adalah Abu Imran, ia termasuk orang tabiin. wafat di
Damaskus pada 118 H.
5.
Ashim Al-Kufi. Ia adalah Ashim bin Abi An-Najud, dinamakan juga Ibnu
Bahdalah, Abu Bakar. Dari kalangan tabiin. wafat di Kufah pada 128 H.
6.
7.
Al-Kisai A-Kufi. Ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di
Kufah. Ia digelari Abul Hasan. Dinamakan dengan Al-Kisai karena ia karena
memakai kisa (potongan kain penutup Kabah/kiswah) di saat ihram. Ia wafat di
Ranbawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan
bersama Harun Ar-Rasyid pada 189 H.
8.
Abu Jafar Al-Madani. Ia bernama Yazid bin Al-Qaqa. Wafat di Madinah pada
128 H, tapi ada yang mengatakan 132 H. dua orang perawinya adalah Ibnu
Wardan dan Ibnu Jammaz.
9.
Yaqub Al-Bashri. Ia adalah Abu Muhammad Yaqub bin Ishaq bin Zaid AlHadhrami. Wafat di Bashrah pada 205 H. Ada yang mengatakan pada 185 H.
10. Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsalab Al-Bazzar AlBaghdadi. Wafat pada 229 H. Ada yang mengatakan bahwa tahun wafatnya tidak
diketahui.
Sebagian ulama menambahkan juga empat qiraat kepada qiraat yang
sepuluh diatas. Keempat qiraat berikut qarinya tersebut adalah:[19]
1.
Qiraat Al-Hasan Al-Bashri, seorang maula kaum Anshar dan salah seorang
tabiin besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Wafat pada 110 H.
2.
3.
4.
Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Wafat pada 388 H.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Quran baik
menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki
bermacam-macam, yakni qiraat sabah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah.
Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum
akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
Aziz M. Ag, Prof. Dr. KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas AL-Quran. Surabaya:
IMTIYAZ Surabaya
Suma, H. Muhammad Amin. 2000. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (1). Jakarta: Pustaka
Firdaus
Syadali M.A, Drs.H. Ahmad, RofI, Drs. H. Ahmad. 2000. UMMUL QURAN I.
Bandung: CV Pustaka Setia
Yusuf, Kadar M. 2010. Studi Alquran. Jakarta: Amzah
[17] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 227
[18] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 223-225
[19] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 226