Sie sind auf Seite 1von 14

AL-QURAN DALAM ILMU QIRAAT

MAKALAH
Ummul Quran

Dosen Pembimbing :
Abdul Rosyid M.Si

Disusun oleh :
Ikka Wulandari
Lena Setiastri
Riska Tazkiatul Jannah
Septiani Suhendah
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah
Bogor 2013

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
UMMUL QURAN yang berjudul ILMU QIRAAT .

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan


dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah UMMUL
QURAN.
Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah
sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan semua pembaca pada umumnya .

Bogor, Oktober 2013

Penulis

DAFTAR ISI
KATA

PENGANTAR....

...i
DAFTAR
...ii

ISI......

BAB

PENDAHULUAN....

...1
BAB

II

PEMBAHASAN.3
A. PENGERTIAN QIRAAT.....3
B.

SYARAT-SYARAT QIRAAT YANG MUKTABAR DAN JENISNYA..4

C.

PENGARUH QIRAAT TERHADAP ISTINBATH ..7

D. FAEDAH KEBERAGAMAN DALAM QIRAAT YANG SHAHIH.8


BAB

III

PENUTUP...11
DAFTAR
PUSTAKA..12

BAB I
PENDAHULUAN
Al-quran adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa
Taala menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, demi membebaskan
manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Illahi, dan membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikannya kepada para
sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat
yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.[1]
Metode penyampaian ilmu pengetahuan pada waktu itu, termasuk ilmuilmu Al-Quran, di zaman awal-awal Islam bahkan hingga masa-masa tabi altabiin yang berlangsung sejak abad pertama hingga abad kedua atau abad ketiga

hijrah,

lebih

banyak

mengandalkan

metode simaiy(pendengaran)

dan musyafahah (penyampaian dari mulut ke mulut).[2]


Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabiin yang
mengajarkan Al-Quran di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai
macam qiraat. Perbedaan antara satu qiraat dan lainnya bertambah besar
sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan.
Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca Al-Quran.
Sebagian mengambil satu cara bacaannya dari Rasulullah SAW, dengan
kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat berpencar ke berbagai
kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka
ketahui sehingga cara baca menjadi popular di kota atau daerah tempat mereka
mengerjakannya. Sehingga terjadilah perbedaan cara baca Al-Quran dari suatu
kota ke kota yang lain. Kemudian, para tabiin menerima cara baca tertentu dari
sahabat tertentu. Para tabiin At-Tabiin menerimanya dari tabiin dan
meneruskannya pula kepada generasi berikutnya. Dengan demikian tumbuhlah
berbagai qiraat yang kesemuanya berdasarkan riwayat. Hanya saja, sebagian
menjadi popular dan yang lain tidak riwayatnya juga sebagian mutawatir dan
yang lainnya tidak.[3]
Dalam mengajarkan bacaan Al-Quran kepada para sahabat, Nabi
Muhammad SAW memilihkan bacaan yang sesuai dengan logat sahabat. Tidak
sedikit sahabat yang memahami macam-macam bacaan dari Nabi Muhammad
SAW. Karenanya, sahabat yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam
membaca Al-Quran. Meski demikian, para sahabat mempelajari macam-macam
bacaan dan memahami adanya perbedaan tersebut. Selain mereka mengetahui
secara langsung dari Nabi Muhammad SAW, bacaan yang berbeda itu juga tidak
mengubah

arti

dan

maksud

Al-Quran,

sehingga

mereka

tidak

memperdebatkannya. Namun, persoalan aneka bacaan ini muncul ketika


perbedaan bacaan semakin meluas dan menimbulkan perselisihan yang tajam.
Untuk itu, ide penyatuan maca-macam bacaan pada masa Khalifah Usman RA
menjadi kebijakan yang tepat.[4]

Tidak sedikit ulama yang masih mempertahankan dan mengajarkan


macam-macam bacaan Al-Quran. Mereka menamakannya dengan Ilmu Qiraah,
yakni ilmu

tentang

cara

mengucapkan

kalimat-kalimat

Al-Quran

dan

perbedaannya serta menyatakan kejelasan sumbernya sambung menyambung


sampai kepada Nabi SAW.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QIRAAT
Qiraat adalah bentuk jamak dari kata qiraah yang secara bahasa berarti
bacaan. Ia adalahmashdar dan qaraa. Dalam istilah keilmuan, qiraat adalah
salah satu madzhab pembacaan Al-Quran yang dipakai oleh salah seorang imam
qurra[5] sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.[6] Secara
istilah, ilmu qiraat berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang
cara membaca Al-Quran. Menurut Muhasyin, qiraat adalah suatu ilmu yang
mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) AlQuran, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan
orang yang menukilkannya[7]. Menurut Al-Zarqani mengemukakan defenisi
qiraat sebagai berikut:
Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan
yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran Al-Karim serta sepakat riwayatriwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan
huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaanya.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksud
menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua, cara cara bacaan yang dianut dalam suatu
mahzab qiraat didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga,

perbedaan antara qiraat-qiraat bisa terjadi dalam pengucapannya dalam berbagai


keadaan.
Disamping itu, Ibn al-Jazari membuat definisi berikut:
Qiraat adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat AlQuran dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
Menurut Ibn al-Jazari, Al-Muqri adalah seorang yang mengetahui qiraatqiraat dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Dalam masalah
qiraat banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan
penyampaian secara lisan. Al-Qari Al-Mubtadi (qari pemula) adalah orang yang
mulai melakukan personifikasi qiraat hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga
qiraat. Al-Muntahi (qari tingkat akhir) ialah orang yang mentransfer kebanyakan
qiraat atau qiraat-qiraat yang paling masyhur. Al-Quran yang tercetak belum
dapat dijadikan pegangan dalam masala qiraat.[8]
B.

SYARAT-SYARAT QIRAAT YANG MUKTABAR DAN JENISNYA


Untuk menangkal penyelewangan qiraat yang sudah mulai muncul, para
ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk
membedakan antara qiraat yang benar dan qiraat yang aneh (syazzah), para
ulama membuat tiga syarat bagi qiraat yang benar. Pertama, qiraat itu sesuai
dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan. Kedua, qiraat itu sesuai dengan
salah satu muhsaf-muhsaf Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, bahwa
sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qiraat yang tujuh dan yang
sepuluh, maupun dari imam-imam qiraat yang diterima selain mereka. Setiap
qiraat yang memenuhi kriteria ini adalah qiraat yang benar yang tidak boleh
ditolak dan harus diterima. Sebaliknya qiraat yang kurang salah satu dari tiga
syarat ini disebut sebagai qiraat yang lemah atau aneh atau batal, baik qiraat
terbebut diriwayatkan dari imam qiraat yang tujuh maupun dari imam yang lebih
besar dari mereka.[9]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad,
dan syadz. Menurut mereka, qiraat yang mutawatir adalah qiraat yang tujuh.
Qiraat ahad ialah qiraat pelengkap menjadi sepuluh qiraat, ditambah qiraat

para sahabat. Selain itu termasuk qiraat syadz. Ada yang berpendapat, bahwa
kesepuluh qiraat itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang
menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qiraat yang
shahih, baik dalam qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya.[10]
Menurut para ulama, syarat-syarat qiraat yang shahih adalah sebagai berikut:
[11]
1.

Kesesuaian qiraat tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu
segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qiraat adalah Sunnah yang harus
diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,
bukan rasio.

2.

Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar
mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah
bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacammacam dialek qiraat yang mereka ketahui.
Dalam menentukan qiraat yang shahih, ia tidak diisyaratkan harus sesuai dengan
semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.

3.

Qiraat itu isnadnya harus shahih, sebab qiraat merupakan Sunnah yag diikuti
yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa
Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun
demikian para imam qiraat bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qiraat yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah
terpenuhi, maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shaih. Dan bila salah satu
syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah,
syadz atau batil.
As-syuyuti

mengutib

Ibnu Al-Jazari

yang

mengelompokkan

qiraat

berdasarkan sanad kepada enam macam.[12]


1.

Mutawatir, yaitu qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang


banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin
mereka sepakat berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Menurut
Jumhur ulama, qiraat yang ketujuh adalah mutawatir. Menurut H. Ahmad
Fathoni, para ulama Al-Quran dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa qiraat

yang berstatus mutawatir ini adalah qiraat yang sah dan resmi sebagai AlQuran. Qiraat ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Quran ini dijadikan
sumber atau hujjah dalam menetapkan hokum.
2.

Masyhur, yaitu qiraat yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya
tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi AlShalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib
meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.

3.

Ahad, yaitu qiraat yang sanadnya shahih. Akan tetapi qiraat ini menyalahi
tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti
kemasyhuran tersebut diatas. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang
dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa
Nabi SAW.

4.

Syaz, yaitu qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti qiraat. Terjadinya
kejanggalan pada qiraat nya.

5.

Maudu, yaitu qiraat yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti
qiraat yang dihimpun oleh Muhammad bin Jafar Al-Khuzai (wafat 408 H) dan
dibangsakan kepada Abu Hanifah

6.

Mudraj, yaitu qiraat yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan
yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Quran seperti qiraat Sad bin
Abi Waqqas.
Keempat macam contoh qiraat terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Menurut jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak
mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar
shalat. [13]
Imam Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh AlMuhazzab bahwa tidak sah membaca qiraat syazzah (aneh) di dalam dan di luar
shalat. Sebab, qiraat syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat
tidak demikian maka orang itu salah dan jahil. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk
menyuruh orang yang membaca riwayat yang syazz bertaubat.[14]

C.

PENGARUH QIRAAT TERHADAP ISTINBATH

Perbedaan antara satu qiraat dan qiraat lainnya bisa terjadi pada perbedaan
huruf, bentuk kata, susunan kalimat, Irab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan
kepada

makna

yang

selanjutnya

berpengaruh

kepada

hukum

yang

diistibathkannya.[15]
Dalam hal ini, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih detail
dan cermat, perbedaan qiraat Al-Quran yang berkaitan dengan subtansi lafadz
atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut namun
adakalanya tidak. Dengan demikian, maka

perbedaan Qiraat Al-Quran

adakalanya berpengaruh terhadap istinbat hukum, dan adakalanya tidak. Qiraat


shahih (mutawatir dan masyhur) biasa dijadikan sebagai tafsir dan penjelasan
serta dasar penetapan hukum.

D. FAEDAH KEBERAGAMAN DALAM QIRAAT YANG SHAHIH


Keberagaman qiraat yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi,
diantaranya:[16]
1.

Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan


dan penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang
berbeda-beda.

2.

Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Quran.

3.

Bukti kemukjizatan Al-Quran dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena


setiap qiraat menunjukkan sesuatu hokum syariat tertentu tanpa perlu
pengulangan lafazh.

4.

Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.
Para ulama menulis qiraaat-qiraat dan sebagiannya menjadi masyhur
sehingga lahirlah istilah qiraat tujuh, qiraat sepuluh, dan qiraat empat
belas.[17]
Penyebutan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid tentang ketujuh imam
qiraat yang masyhur itu, karena menurutnya, mereka adalah ulama yang terkenal
kuat hafalan, ketelitian, amanah dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta

telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnya.[18] Mereka itu


adalah:
1.

Abu Amru bin Al-Ala. Seorang syaikh para perawi. Nama lengkapnya Zabban
Al-Mazini Al-Bashri. Ada yang mengatakan, namanya adalah Yahya. Juga
dikatakan bahwa nama aslinya adalah gelarannya itu. Ia wafat di Kufah pada 154
H. dua orang perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi.

2.

Ibnu Katsir. Nama lengkapnya Abdullah bin Katsir Al-Makki. Ia termasuk


seorang tabiin dan wafat di Makkah pada 120 H.

3.

Nafi Al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi bin Abdirrahman bin
Nuaim Al-Laitsi, berasal dari Isfaham, dan wafat di Madinah pada 169 H.

4.

Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir AlYahsubi, seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdil
Malik. Nama panggilannya adalah Abu Imran, ia termasuk orang tabiin. wafat di
Damaskus pada 118 H.

5.

Ashim Al-Kufi. Ia adalah Ashim bin Abi An-Najud, dinamakan juga Ibnu
Bahdalah, Abu Bakar. Dari kalangan tabiin. wafat di Kufah pada 128 H.

6.

Hamzah Al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Imarah Az-Zayyat Al-Fardhi At-Taimi.


Ia digelari Abu Imarah, dan wafat di Hilwan pada masa pemerintahan Abu Jafar
Al-Manshur tahun 156 H.

7.

Al-Kisai A-Kufi. Ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di
Kufah. Ia digelari Abul Hasan. Dinamakan dengan Al-Kisai karena ia karena
memakai kisa (potongan kain penutup Kabah/kiswah) di saat ihram. Ia wafat di
Ranbawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan
bersama Harun Ar-Rasyid pada 189 H.

8.

Abu Jafar Al-Madani. Ia bernama Yazid bin Al-Qaqa. Wafat di Madinah pada
128 H, tapi ada yang mengatakan 132 H. dua orang perawinya adalah Ibnu
Wardan dan Ibnu Jammaz.

9.

Yaqub Al-Bashri. Ia adalah Abu Muhammad Yaqub bin Ishaq bin Zaid AlHadhrami. Wafat di Bashrah pada 205 H. Ada yang mengatakan pada 185 H.

10. Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsalab Al-Bazzar AlBaghdadi. Wafat pada 229 H. Ada yang mengatakan bahwa tahun wafatnya tidak
diketahui.
Sebagian ulama menambahkan juga empat qiraat kepada qiraat yang
sepuluh diatas. Keempat qiraat berikut qarinya tersebut adalah:[19]
1.

Qiraat Al-Hasan Al-Bashri, seorang maula kaum Anshar dan salah seorang
tabiin besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Wafat pada 110 H.

2.

Qiraat Muhammad bin Abdirrahman yang terkenal dengan Ibnu Muhaisin.


Wafat pada 123 H. dia adalah syaikhnya Abu Amru.

3.

Qiraat Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi dari Baghdad. Ia belajar


qiraat dari Abu Amru dan Hamzah. Dia juga syaikhnya Ad-Duri dan As-Susi,
wafat pada 202 H.

4.

Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Wafat pada 388 H.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Quran baik
menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki
bermacam-macam, yakni qiraat sabah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah.
Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum
akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
Aziz M. Ag, Prof. Dr. KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas AL-Quran. Surabaya:
IMTIYAZ Surabaya
Suma, H. Muhammad Amin. 2000. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (1). Jakarta: Pustaka
Firdaus
Syadali M.A, Drs.H. Ahmad, RofI, Drs. H. Ahmad. 2000. UMMUL QURAN I.
Bandung: CV Pustaka Setia
Yusuf, Kadar M. 2010. Studi Alquran. Jakarta: Amzah

[1] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,


Jakarta, halaman 3
[2] H. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (1), 2000,
Jakarta, halaman 13
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 227

[4] Moh. Ali Aziz, Mengenal Tuntas Al-Quran, 2012, SURABAYA,


halaman 165-166
[5] Qurra adalah jama dari qari, yang artinya orang yang
membaca. Qari atau qurra ini sudah menjadi suatu istilah baku dalam
disiplin ilmu-ilmu Al-Quram, maksudnya yaitu seorang ulama atau imam
yang terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu qiraah yang
mutawatir. Qurra bisa juga diartikan secara mudah sebagai para imam
qiraat (Edt.)
[6] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 211
[7] Kadar m. Yusuf, STUDI AL-QURAN, 2010, Jakarta, halaman 46
[8] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 225
[9] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 227-228
[10] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 216-217
[11] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 217-218
[12] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 228-230
[13] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-quran, 2013,
Jakarta, halaman 221
[14] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 231
[15] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 232
[16] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 221-222

[17] Ahmad Syadali dan Ahmad RofI, Ummul Quran I, 2000, Bandung,
halaman 227
[18] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 223-225
[19] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, halaman 226

Das könnte Ihnen auch gefallen