Sie sind auf Seite 1von 2

Renungan: Ayah...

Takkan Kumaafkan Diriku Ini...

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai
sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari.
Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami
kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.
Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai
anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di
Kuala Lumpur.
"Nggak usah... lain kali saja...!"jawab ayah. Jawaban itu yang selalu Diberikan kepada kami saat
mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami,
namun 2 hari kemudian dia minta diantar
balik. Ada-ada saja alasannya.
Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur,
maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki
hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang berikannya. "Saya
sibuk, ayah... tak
boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi... akhir minggu ini saya akan antar ayah," balas saya.
Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk.
Tolong belikan tiket bus saja yah..."
katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik
bus sendirian.
"Nggak usah saja yah..." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke kamar
bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah sekali lagi
minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah...
saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.
Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam mobil,
istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan
khan dia...!" Saya terus membisu. Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan
agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, bang.. belikan tiket buat ayah," katanya
singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor
membeli tiket bus buat ayah.
Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pk. 14.00," kata
saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat
sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan bajubajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah
kata pun.
Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya. Setibanya di
stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit dan terus turun dari bus. Ayah

tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu
kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas
meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang sangat
menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari
itu ayah tidak minta apa pun.
Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di
kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat istri yang berada di kantornya. Malam
itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di
kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam
berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba,"
jawab saya sambil meninggikan suara.
Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Ayah sudah tiada..." kata
sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas saat
Maghrib tadi." Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai
dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa,
bang?"
Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah tiada!!"
Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu saya sadar betapa
berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang,
kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih
berganti menyerbu pikiran.
Hanya Allah yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat merasa
kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman
yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya
tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anakanaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.
Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek
saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat
semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan
tidak dapat memaafkan diri ini. Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu
ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.
Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. Kasihilah mereka
sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.
RENUNGKANLAH...

Das könnte Ihnen auch gefallen