Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali
penderita laki-laki pada usia yang sama.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita Skleroderma pada kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin
berhubungan dengan timbulnya Skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon.
Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan
seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya
Sklerosis Sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya
Skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan
pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum,
ternyata berhubungan dengan timbulnya Skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis
paru.Sclerosis Sistemik merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia dan dijumpai pada
semua bangsa. Biasanya dimulai pada usis 20-50 tahun, jarang pada anak-anak. Frekuensi pada
wanita 3 kali frekuensi pria.
Berdasarkan informasi dari Scleroderma Foundation, penyakit ini menyerang wanita dan
pria dengan perbandingan 4:1. Penyakit ini menyerang 30 orang dari 100.000 orang di Amerika.
C. KLASIFIKASI
Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit.
Kriteria ini terdiri atas :
a.
Kriteria mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan
abdomen)
b. Kriteria minor :
1. Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari.
2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau
hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
3. Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler terutama di
bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard. Gambaran paru mungkin
menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan
primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih
kriteria minor .
Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1. Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka
dan seluruh batang tubuh.
2. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga
mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome(C=kalsinosis subkutan,
R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T= teleangiektasis).
3. Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun
terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis sistemik.
4. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap untuk
sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus sistemik,
arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
5. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena Raynaud
dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.
Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai kelainan
sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis sistemik
terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan skleroderma en,
coup de sabre.
Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh
mana saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.
Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan
skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang
dibawahnya.
Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang
sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang
mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
Table 1. Perbedaan antara Sklerosis Sistemik Terbatas dan Sklerosis Sistemik Difus.
Sklerosis sistemik terbatas
Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka
waktu yang lama.
disertai
Progesifitas cepat.
artralgia
ringan,
mengenai tendon.
karpal.
Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus, Semua organ viseral dapat terkena.
usus halus dan paru.
10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.
Antisentromer pada 50 90% kasus: Anti-topi- Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1 pada
1 pada 10 15% kasus.
20 30% kasus.
D. FAKTOR PENCETUS
Mengutip dari Info Sehat tabloid Nyata edisi April 2005, beberapa ahli menduga penyakit
ini disebabkan oleh faktor pencetus berupa hormon terutama hormon estrogen, zat kimia seperti
vinyl chloride atau trichloroehylene dan infeksi virus seperti Human Cytomegalovirus dan
Human Herpes Virus. Penyakit ini diduga tidak menular dan tidak bersifat turunan. Faktor resiko
terjadinya skleroderma adalah pemaparan debu silika dan polivinil klorida.
E. PATOLOGI
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan
gambaran patologik yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik.Peningkatan matriks
ekstraseluler pada
dermis,
terutama
kolagen
dan
III,
yang
disertai penipisan
epidermis dan hilangnya rate pegs merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis
sistemik. Hal ini menyebabkan penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal,
tampak infiltrasi sel radangmononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Selsel ini, banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase
atrofik), kulit relatif aseluler.
Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ
lainnya. Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit.
Dengan tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin
lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga
lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan
kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan
skleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu
penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal
yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.
Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang akut yang
ditandai oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian
in vitro, ternyata makrofag alveolar penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin
dalam jumlah yang banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium
lanjut, tampak deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang interstitial alveolar
sehingga pada akhirnya akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang
udara alveolar. Akibatnya proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat.
Pada jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium.
Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan
viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada
miokardium, tampak proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling
pembuluh darah koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme
dan infark miokard.
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus
proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi, tampak gambaran fibrosis pada
tunika propia dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat
fibrisis maka peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot dan
berkurangnya peristaltik, akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus
dapat timbul Barretts esophagus(gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden
adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah.
Pada ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika
media dan redupikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi
tidak ada tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda
khas infark korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang disertai
kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit
yang beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.
Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang ringan. Selain itu dapat
juga terjadi kelainan seperti yang tampak pada poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit
perivaskuler, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan tampak
kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan
tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat
timbul kontraktur fleksi, terutama pada jari-jari
F. PATOFISIOLOGI
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor
pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan
kerusakan-kerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit,
sehingga trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun
juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks.
Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar :
Produksi matriks poliferasi
Factor Pencetus
Aktivasi system imun
Kerusakan endothelial dan aktivasi
Fenomena Raynauds
Sel LAK
IL-2
Sel T
Sel B
Autoantibod i
IL-3
IL-4
Sel Mast
Heparin
IL-1
PDGT
Makrofag
TGF-B
Aktivasi trombosit dan pelepasan PDGT,TGF-B, CAPT III
Fibroblast
G. GAMBARAN IMUNOPATOLOGI
Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis
sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang
terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.
Beberapa
kelainan
serologik
yang
nonspesifik
adalah
ditemukannya
III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan
kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi
pulmonal dan ANA spesifik lainnya (table 1).
Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat
pada 30% penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome.Ada 3 antigen
sentromer yang spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein),
CENP-B (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap
antigen sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom.
Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi antimitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer.
Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI.
Antibodi anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis
sistemik. Selain itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex(CIC) yang berhubungan
dengan perjalanaan penyakit yang lama.
Saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel
pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada
perusakan sel endotelial.
Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis
sistemik. Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi
didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga
terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis
sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi
interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer)
yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan
pada Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum
tulang. Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada
jari) dan kelainan vaskuler.
Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9
Abnormalitas humoral
Persentase
Hipergamaglobulinemia poliklonal
30%
Faktor rheumatoid
30 50%
95 %
5%
Anti DNA-histone-complex
5%
25%
86%
44%
55%
Anti Ku
Anti PM-Sel (PM-1)
Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)
Anti Sel-4
Anti Sel-6
Antibodi antisentromer
Antibodi antimitokondrial
Antibodi antikardiolipin
Antibodi anti-kolagen tipe I
Antibodi anti-kolagen tipe IV
Circulating immune cimplex (CIC)
Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis
sklerosis sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin
seperti transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor
necrosis factor(TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis
sklerosis sistemik.
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel
mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat
merusak sel endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks
fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel.
Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti
fibronektin, IL 1, IL 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP),
endotelin dan interferon-gamma(IFN-g).
Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik
Jenis Sitokin
Fibronektin
Sumber
Fibroblas,
hepatosit
endotel,
IL-1
Makrofag,
sel
endotel,
Sel T
PDGF
TGF-B
Megakariosit,
Mitogen fibroblas
makrofag,
endotel,
mitogen
fibroblas
in
CATP I : limfosit
Mitogen
fibroblas,
glikosaminoglikan
meningkatkan
si
Merusak endotel
Endotelin
Sel endotel
Vasokonstriktor
IFN-g
Sel T, sel NK
H. ETIOLOGI
* Etiologi dan patogenesis yang pasti tentang penyakit ini belum diketahui. Diduga
patogenesisnya berdasarkan kelainan vascular. Dugaan ini timbul karena sebelum terjadi
perubahan pada dermis dan epidermis, telah ada reaksi peradangan vascular dan perivaskular
pada jaringan subkutan. Reaksi peradangan dan perubahan vascular subkutan ini akan
menyebabkan hilangnya kapiler-kapiler kulit (devaskularisasi) yang selanjutnya mengakibatkan
atrofi epidermis dan penebalan dermis.
Hipotesis yang diajukan berdasarkan hasil observasi pada biakan jaringan, ternyata pada
scleroderma, fibroblast kulit mensintesis kolagen lebih banyak dibandingkan dengan fibroblast
kulit normal. Peningkatan produksi kolagen yang dideposit pada jaringan ikat di sekitar tunika
adventisia akan mengekang arteri kecil/arteriol yang bersangkutan, sehingga kontraktilitas dan
vasodilatasi arteri kecil dan arteriol terganggu. Akibatnya timbul gangguan vasomotor seperti
yang terlihat pada Syndrome Raynaud dan sclerosis sistemik progresif. Kolagen ini dapat
melekat pada endotel pembuluh darah. Kemudian terjadi adhesi antara trombosit dan kolagen,
atau antara trombosit dan leukosit, yang menyebabkan kerusakan endotel dan membran basal.
Peristiwa ini akan diikuti oleh fibrosis reaktif berupa proliferasi intima yang sangat menoniol
pada sklerosis sistemik progresif.
Penipisan tunika intima media mungkin terjadinya sekunder terhadap perubahan
distensibilitas struktur mikrovaskular yang terjepit diantara materi fibrotik yang terdapat pada
intima dan adventisia. Dengan demikian, gangguan metabolisme kolagen pada fibroblast dapat
menerangkan baik manifestasi vascular maupun manifestasi fibrosis pada sclerosis sistemik
progresif.
*Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana
didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun
demikian peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui.
asil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC (Major
Histocompability Complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti dengan
peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLA-A1, B8,
DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak
menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya
dengan HLA-Bw52, DR2 dan DR4.
Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel C4-null
(C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada penderita sklerosis sistemik
yang mengidap gen HLA-DR3.
Faktor genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah instabilitas
kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup etnik
ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada orang berkulit putih di Amerika
dan tidak pernah pada orang berkulit hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA polimerase I, II, III
dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih dan kulit hitam.
I.
1. Fenomena Raynaud (perubahan warna jari tangan dan jari kaki menjadi pucat, kebiruan atau
kemerahan, jika terkena panas ataupun dingin).
2. Nyeri, kekakuan dan pembengkakan pada jari tangan dan persendian
3. Kulit tangan dan lengan depan tampak mengkilat dan menebal .
4. Kulit menjadi keras.
5. Kulit wajah menjadi kencang dan seperti topeng.
6. Koreng di ujung jari tangan atau jari kaki.
7. Refluks esofagus atau heartburn (rasa panas di lambung atau dada akibat gangguan pencernaan).
8. Gangguan menelan.
9. Penurunan berat badan (kerusakan pada usus halus dapat mempengaruhi penyerapan makanan
(malabsorbsi) dan menyebabkan penurunan berat badan).
10. Sesak nafas (skeroderma bisa menyebabkan terjadinya jaringan parut di paru-paru, sehingga
terjadi sesak nafas pada saat penderita melakukan aktivitas).
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan :
1. Nyeri pergelangan tangan.
2. Kulit menjadi putih atau hitam abnormal.
3. Nyeri persendian.
4. Rambut rontok.
5. Mata terasa perih, gatal dan beberapa kelainan jantung yang bisa berakibat fatal, yaitu gagal
jantung dan kelainan irama jantung .
6. Penyakit ginjal yang berat (gejala pertama kerusakan ginjal biasanya berupa peningkatan
tekanan darah yang tiba-tiba, tekanan darah yang tinggi adalah tanda yang kurang baik,
walaupun biasanya bisa dikendalikan dengan pengobatan).
7. Pembuluh balik yang memberi gambaran seperti laba-laba (telangiektasi) muncul pada jari-jari
tangan, dada, wajah, bibir dan lidah.
8. Benjolan yang mengandung kalsium bisa timbul di jari tangan, daerah bertulang lainnya atau
pada sendi.
9. Kadang-kadang terdengar suara yang mengganggu, bila jaringan yang meradang bergesekan satu
sama lain, terutama di lutut dan dibawah lutut.
10. Jari-jari tangan, pergelangan tangan dan sikut bisa terfiksasi dalam posisi fleksi karena adanya
jaringan parut di kulit.
11. Pertumbuhan sel abnormal di kerongkongan (Sindroma Barrett) terjadi pada sekitar sepertiga
penderita, dan hal ini meningkatkan resiko terjadinya penyumbatan kerongkongan atau kanker.
12. Sistem penyaluran hati bisa tersumbat oleh jaringan parut (sirosis bilier), menyebabkan
kerusakan hati dan sakit kuning.
13. Sindroma Crest juga disebut sklerosis yang terbatas pada kulit (skleroderma), biasanya
merupakan bentuk yang tidak terlalu berat dan jarang menyebabkan kerusakan organ.
J.
KOMPLIKASI
a.
Kulit
Pada kasus yang khas trias terdiri atas penipisan epidermis, hilangnya alat-alat seperti
rambut, kelenjar keringat, kelenjer lemak di epidermis, dan kulit menjadi tegang. Fibrosis
menyebabkan kulit melekat pada struktur dibawahnya. Sklerodaktili ialah keadaaan kakunya
kulit bagian distal dari sendi interfalangeal proksimal. Terdapat pembengkakan dan ketegangan
lengan bawah dan tangan yang difus dan simetris. Klien tidak dapat dicubit, keringat berkurang,
rambut dan lemak menghilang. Kulit tampak kering dan retak-retak. Jari-jari mengalami fleksi
kontraktur. Terdapat daerah-daerah dengan pegmentasi dan vitiligo. Epidermis mudah terkelupas
karena tipis.
b. Saluran pencernaan
Hipomotilitas asofagus merupakan manifestasi paling sering dari terlibatnya organ dalam.
Sering timbul dini dan dirasakan swebagai rasa penuh di substernal. Karena timbul dini, sangat
berguna sebagai gejala diagnostic. Keluhan akan lebih berat jika terjadi esofagitis atau striktur.
Pada keadaaan lanjut, terjadi striktur esophagus yang memerlukan dilatasi mekanis. Dilatasi
dan hipoosmolalitas duodenum dan jejunum menyebabkan malabsorbsi sehingga mengakibatkan
berat badan menurun. Dapat juga terjadi anemia karena telangiektasis di saluran pencernaan
mengalami perdarahan. Ditemukan juga kelainan kolon yang dianggap diagnostic. Kelainan ini
ditandai dengan terbentuknya kantong-kantong bermulut lebar pada dinding kolon. Biasanya
kalainan ini asimptomatik
c.
Paru
Scleroderma paru yang klasik ditandai dengan fibrosis intestinal yang klasik ditandai dengan
fibrosis interstitial difus. Keluhan mungkin baru timbul lama setelah terdapat gangguan fungsi
paru dan kelainan pada gambaran radiologist. Jarang ditemukan jari clubbing. Pengawasan
terhadap perkembangan hipertensi paru dapat dilakukan dengan memperhatikan peningklatan
intensitas komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 dan derajat pecahnya (splitting bunyi
jantung 2. ini penting karena pada kebanyakan penderita telah terdapat hipertensi paru sebelum
timbul keluhan pada paru.
d. Jantung
infark jantung.
Fibrosis miokard.
Kelainan perikard : berupa epikarditis akut, efusi perikard tanpa gejala yang berlangsung lambat
tapi progresif.
Gejala gangguan jantung sering sukar dibedakan dengan gejala gangguan paru, misalnya
dyspnea deffort atau nafas pendek. Untuk ini kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
lain seperti foto rongten/analisis jantung, EKG/ekokardiografi dan kateterisasi jantung.
e.
Ginjal
Tanda-tanda klinis kelainan ginjal yaitu hipertensi ( tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg),
proteinuria > 1+, dan uremia. Kelainan ginjal sering timbul akut. Factor presipitasi untuk
timbulnya gangguan ini adalah berhurangnya volume darah sehingga aliran darah ginjal
terganggu, misalnya karene operasi besar, perdarahan, pemakaian diuretic yang berlebihan.
obat
(penghambat
reseptor-beta),
kelainan
onkologik
dan
hematologik
Sclerosis Sistemik
Primer
Perempuan : Laki-laki
20 : 1
4:1
Pubertas
> 24 tahun
>10 x
>5 x
Faktor pencetus
Dingin, emosi
Dingin
Proliferasi intimal
Negatif
Positif
Antibodi antinuclear
Negatif
90 95%
Antibodi antisentromer
Negatif
50 60%
Antibodi anti-Sel-70
Negatif
20 30%
Kapilaroskopi abnormal
Negatif
>95%
Negatif
>75%
Fenomena Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik.
Sebagian kecil (5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak mengalami fenomena Raynaud
umumnya laki-laki dan mempunyai prognosis yang buruk karena risiko yang tinggi untuk
mendapatkan kelainan ginjal dan miokardial.
Berbagi faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis
sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan
akan menghasilkan vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az)
dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan
vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent
relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap
vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor
endothelin-1. akibatnya akan terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat
oleh adanya hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi gangguan
deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan meningkat dan oklusi pembuluh
darah akan makin berat.
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya iskemi jari
yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren.
Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada
organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang terjadi pada
mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel
endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit,
plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat
rentan terhadap perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan krisis
renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal.
Kerusakan vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar berbagai
petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM 1 (interleukin adhesion
dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat
juga berupa masa yang besar.
Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor
sendi yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu
3. Kelainan Sistemik
Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya terjadi
akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.
Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru. Fibrosis paru umumnya
terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik toraks. Keadaan
ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya akan
terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan bronkoalveolar, akan
ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya lebih
berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase 1 dan anti U3 RNP yang positif dan
lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif.
Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada subtipe
terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif.
Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis sistemik
harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik, kecuali setelah
ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu dianjurkan
pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 6 bulan sekali) dan bila dicurigai terdapat
penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi dengan komputer (CT Scan) dan bilasan
bronkoalveolar.
Kelainan pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan saluran
cerna yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas motorik sehingga timbul
disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan
flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasi mukosa
(metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi
keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas
dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan
menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan
tampak pada gambaran radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga
mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik.
Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi
atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti.
Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan akan
meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung,
sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan
oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadangkadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan penebalan perikardium parietal dan
viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan
fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal.
Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat
hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal
yang progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang
difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab
kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal adalah kelainan
vasuker, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut
terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid.
Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus. Secara
radiologik akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius dan ulna,
ramus mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat
hipovaskularisasi sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut.
Pada otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati yang lain juga
dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama otot proksimal dan peningkatan kadar
ezim otot serum (keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat miofibril
yang mengalami fibrosis.
Xerostomia ditemukan pada 20 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini berhubungan
dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari penderita xerostomia
memiliki antibodi terhada presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La).
Tiroiditis Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis sistemik dan hal
ini akan menyebabkan hipotiriodisme
M. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
1. Obat vasoaktif
Fenoksibenzamin, suatu obat alfa adrenergic, diberikan peroral, 10-40 mg/hari.
Guanetidin dengan dosis 40 mg, sekali sehari.
Metildopa, kerjanya menurunkan depot katekolamin. Dimulai dengan dosis rendah sampai
mencapai dosis 2 g/hari
Reserpin, juga merupakan penghambat simpatis. Dianjurkan pemberian dosis rendah sacara intra
arteri untuk menghindari pengaruh sistemik dan mencapai pengaruh maksimal pada arteri perifer.
Pemberian 0,5 mg menghasilkan perlindungan terhadap vasokonstriksi perifer selama 6 bulan.
2. Obat-obat antiinflamasi
Asam asetilsilat, terutama untuk atralgia dan mialgia. Dosis mungkin mencapai 4-5 g/hari.
Kortikosteroid, diberikan jika terdapat tanda-tanda peradangan pada awal penyakit.
Potassium para-aminobenzoat 12-16 g/hari. Efek sampingnya terhadap saluran pencernaan serta
timbulnya reaksi alergi di kulit menyulitkan pemberian jangka lama.
Antimalaria
3. Lain-lain
Rheomacrodex
Imunosupresif misalnya klorambusil.
Colchicines, 7-10 mg/minggu. Mengurangai sekresi proklagen oleh fibroblast.
D- penisilamin, dosis 0,5-2,0 g/hari.
Fisioterapi
Fisioterapi merupakan hal yang tak boleh dilupakan pada penatalaksanaan scleroderma.
Latihan range of motion aktif/pasif, pemanasan. Keduanya bermanfaat untuk memperbaiki
peredaran darah dankontraktur yang disebabkan oleh fibrosis pada sendi dan kulit. Pencegahan
vasokonstriksi karena dingin dan usaha mempertahankan pembuluh darah dalam keadaan sedikit
vasodilatasi dilakukan misalnya dengan melindungi tubuh terhadap dingin dan melakukan
latihanjasmani bertahap.
Tindakan operatif
Tindakan operatif terutama ditujukan terhadap :
Ulserasi : debridement dan sebagainya
Simpatektomi : hasilnya hanya bersifat sementara, tidak berlangsung lama
Pengobatan khusus
Bergantung pada organ/system yang terkene misalnya esophagus, usus halus, paru, ginjal,
jantung, dan sebagainya.
Perawatan di Rumah sakit
histopatologik
kulit
menunjukkan
adanya
penebalan
epidermis
disertai
menghilangnya organ-organ epidermis dan tampak pula bertambahnya jaringan kolagen dalam
dermis.
Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan
respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi
patologis.
Pulse rate
Respiratory rate
Suhu
c.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk diagnosis penyakit ini:
Inspeksi
Pada pemeriksaan fisik, saat inspeksi ditemukan adanya kelainan berupa adanya
perubahan pada kulit seperti ulserasi (borok atau koreng), kalsifikasi (pengapuran), dan
perubahan pigmentasi (warna kulit), fenomena raynaud (perubahan warna jari tangan dan jari
kaki menjadi pucat, kebiruan, atau kemerahan, jika terkena panas ataupun dingin), kulit tangan
dan lengan depan tampak mengkilat dan menebal, kulit wajah tampak kencang seperti topeng.
Apabila scleroderma menyebabkan terjadinya jaringan parut di paru-paru, akan ditemukan
dipsnea pada saat bernapas, adanya penggunaan otot bantu pernapasan, klien tampak sesak nafas.
Apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut di jantung klien tampak menglami palpitasi,
terdapat sianosis sikumoral.
Palpasi
Ditemukan adanya pembengkakan, nyeri tekan, dan kekakuan pada persendian. Kulit
menjadi keras saat diraba, apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut dijantung, paru,
ginjal dan organ-organ lainya akat detemukan tacicardia, denyut nadi meningkat, turgor kulit
menurun, Fremitus raba meningkat disisi yang sakit, Hati mungkin membesar.
Perkusi
Apabila scleroderma menyebabkan jaringan parut di paru maka didapatkan suara perkusi
pekak bagian dada dan suara redup pada paru yang sakit.
Auskultasi