Sie sind auf Seite 1von 21

MEMAHAMI PERILAKU EMPATI

OLEH

Ns. Reni Purbaningsih S. Kep

APA ITU PERAWAT???


Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat
sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang
optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Nilai-nilai yang harus di miliki perawat profesional
Gambaran

nilai-nilai

keperawatan

adalah

bagaimana

pengetahuan,

profesional,

pemahaman, pemberian makna serta sikap perawat mengenai nilai-nilai keperawatan yang
tersebar dalam beberapa pernyataan, yakni :
1. Altruisme
Merupakan perilaku yang menggambarkan kepedulian dan kesejahteraan orang lain.
Sikap dari nilai altruisme yang ditampilkan perawat meliputi pemberian perhatian,
komitmen atau prinsip yang dipegang teguh oleh perawat untuk mempertahankan
janji, rasa iba, kemurahan hati, serta ketekunan.
Pada altruisme salah satu yang penting adalah sifat empati atau merasakan perasaan
orang lain di sekitar kita. Hanya altruisme timbal balik yang mempunyai dasar
biologis. Kerugian potensial dari altruisme yang dialami individu diimbangi dengan
kemungkinan menerima pertolongan dari individu lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa altruisme merupakan bagian sifat manusia yang ditentukan secara genetika,
karena keputusan untuk memberikan pertolongan melibatkan proses kongnisi sosial
komplek dalam mengambil keputusan yang rasional (Latane&Darley, Schwartz, dalam
Sears, 1991).
Perawat yang memiliki nilai yang baik pasti akan menggali metode dan
keterampilan yang diperlukan untuk memberdayakan asuhan yang efektif (Bishof &
Scudder, 1990). Mereka menunjukkan kepedulian terhadap klien dengan mendukung
dan menguatkan klien, sehingga klien dapat sembuh dari sakitnya, dapat mengatasi
kelemahannya, dan hidup lebih sehat. Mereka peduli dengan kesejahteraan klien.
Kehadiran kepedulian seringkali membantu proses penyembuhan (Bishof & Scudder,
1990).
2. Persamaan
Persamaan adalah mempunyai hak dan status yang sama, sikap yang dapat ditunjukkan
perawat yaitu menerima, adil atau tidak diskrinatif.
3. Empati

Adalah berusaha menempatkan diri pada seseorang yang bersangkutan sehingga dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang besangkutan tersebut. Empati berbeda
dengan simpati, sikap melibatkan perasaan terhadap sesuatu hal, sehingga tidak dapat
lagi berfikir objektif merupakan sikap simpati yang tidak seharusnya dimiliki
oleh perawat. Senyum dan rasa empati yang ditimbulkan setidaknya akan menjadi
multivitamin dosage tinggi yang tanpa antibiotik atau obat yang super keras akan
menyembuhkan rasa terpelentirnya hati seorang pasien yang sedang menderita
penyakit sekeras apapun. Ada hal yang tidak bisa di teliti secara ilmiah dan juga tidak
harus dengan percobaan yang mahal, ada yang timbul dari hati yaitu keikhlasan untuk
menolong sesama.
4. Kebebasan
Kebebasan adalah memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan termasuk percaya diri,
harapan, disiplin, serta kebebasan.
5. Keadilan
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung
direfleksikan

dalam

prinsip-prinsip

moral,

prkatek

profesional

legal

dan

kemanusiaan. Nilai ini

ketika perawat bekerja

untuk

terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
6. Otonomi
Otonomi adalah kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri.
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang
dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang
sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan
hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak hak pasien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
7. Non- Malefience
Non malefience adalah tidak melukai atau tindak menimbulkan bahaya atau cidera
bagi orang lain.
8. Benefience
Benefience adalah hanya melakukan suatu yang baik, kebaikan, memerlukan
penegakan dari kesalahan atau

kejahatan orang lain. Benefisiensi berarti hanya

mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari

kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan


kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan
kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.
9. Kejujuran
Kejujuran adalah berarti dengan penuh dengan kebenaran nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan
untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berarti penuh dengan
kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat
mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan
objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan
mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat
beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran
akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik
bahwa doctors knows best sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak
untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar
dalam membangun hubungan saling percaya.
10. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan untuk kebutuhan individu mengharigai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk
menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada
komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan,
adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan
bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan,
mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

KONSEP SIKAP DAN PERILAKU EMPATI


Profesional merupakan sesuatu hal yang ada didalam diri di implementasikan secara totalitas,
menekankan pada prinsip minat, bakat, menjiwai dan ideal. Hal ini juga harus didukung
tanggung jawab dan disiplin. Segala sesuatu yang dikerjakan dilaksanakan dengan teliti, rapi,

lengkap, dilandasi dengan kecerdasan,akhlak mulia dan ketaqwaan. Dan untuk mencapai itu
semua harus melewati tahapan dan memupuk potensi yang ada didalam diri.
A. SIKAP
Sikap

adalah

kecenderungan

individu

untuk

bertingkah

laku

berdasarkan

pengetahuan,perasaan dan kemauan.


a. Sikap mengandung 3 komponen
Kognitif (konseptual)
Efektif (emosional)
Konoaktif (kemauan bertindak)
b. Sikap memiliki 4 fungsi yaitu :
Sebagai instrument atau alat mencapai tujuan
Sebagai pertahanan ego
Sebagai ekspresi nilai
Sebagai fungsi pengetahuan
c. Sikap positif
Sikap positif terkait erat dengan keberhasilan seorang demikian sebaliknya. Oleh sebab itu
sikap positif perlu dikembangkan dan dipelihara.
Cara mengembangkannya diantarannya adalah :
Berupaya untuk pemenuhan diri
Melakukan dialog internal
Menghadapi masalah

Selalu melihat dari sisi baik


d. Sikap sosial
Sikap sosial dapat dibentuk melalui cara :
1. Adopsi
Proses Adopsi terjadi bilamana kejadian-kejadian terhadap objek sikap berulangulang.
2. Diferensiasi
Proses Diferensiasi terjadi karena adanya perkembengan intelegensi,pengalaman
sejarah, dan bertambahnya usia
3. Integrasi
Proses integrasi terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman dengan
berhubungan dengan satu hal tersebut
4. Trauma
Proses trauma terjadi bilamana pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang
meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan.
B. Empati
Empati adalah kemampuan memahami kerangka berfikir dan merasakan orang lain secara
akurat dan menggunakan komponen emosional dan kognisi makna yang berhubungan dengan
seolah-olah as if seperti yang dialami orang tersebut, namun tanpa pernah hanyut kedalam
kondisi tersebut. Dengan demikian,empati berarti merasakan suasana hati atau kesenangan
orang lain sebagai mana yang dia rasakan dan memahami penyebab seperti yang ia rasakan,
tetapi tanpa pernah kehilangan pengakuan bahwa itu adalah seolah-olah saya yang terluka
atau yang sedang berbahagia,dsb.
a. Kemampuan berempati

Kemampuan berempati berkembang sejak anak usia dini dan terus berkembang
melaui proses pembelajaran.
Perilaku empati melipatkan kemampuan kognisi dan afeksi.
1. Kemampuan kognitif berfungsi memahami perasaan orang lain dan kemampuan
untuk mengambil perspektif mereka.
2. Kemampuan afektif empati yang merupakan tanggapan emosional yang tepat
bagi orang lain yanglagi dalam keadaan emosional
Kemampuan empati akan lebih mungkin meningkat apabila individu tersebut
memiliki kedekatan dan keseringan berinteraksi, perilaku empati melibatkan ekspresi
tidak saja bersifat verbal namun juga perilaku non verbal.
b. Individu
Bagi individu yang berperilkaku menyimopang seperti agresif dasn autis, kemampuan
empati mereka tidak sebaik individual normal. Perilaku empati dapat diukur dengan
berbagai istrumen, namun yang sering digunakan adalah self reporting. Dalam
perkembangan teknologi instrumen medis seperti fMRI memberikan instrument yang
sangat signifikan untuk mengetahui kerja syaraf otak berkenaan dengan perilaku
empati.

KONSEP EMPATI
A. Pengertian Empati
Istilah empati menurut Jumarin (Panuntun, 2012), berasal dari perkataan yunani yaitu
phatos yang artinya perasaan mendalam atau kuat. Selain itu, istilah empati juga berasal
dari kata einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, yang secara harfiah
yaitu memasuki perasaan orang lain (feeling into).
Hurlock (1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri
sendiri di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati ini mulai dapat dimiliki seseorang
ketika menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6 tahun) dengan demikian dapat dikatakan
bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan untuk dapat berempati, hanya saja
berbeda tingkat kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah

dimiliki oleh remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanakkanak awal.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati
merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik,
dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain.
Empati sangat penting untuk hubungan yang sehat dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Dalam komponen afektif empati adalah respons emosional terhadap tekanan orang lain dan
dapat dibagi menjadi dua bentuk: personal distress dan empathic concern (Cassels dkk, 2010)
Hoffman (1978) mendefinisikan empati yang mengacu kepada dua aspek kognitif dan
afektif. 1) Empati sebagai kesadaran kognitif terhadap kondisi internal orang lain (thoughts,
feelings, perceptions, dan intentions) dan 2) Respon afektif yang dilakukan untuk orang lain.
Kemudian Hoffman juga mendefinisikan empati afektif sebagai pertemuan antara observer
dan feeling terhadap orang lain. Sebagian besar riset pada empati afektif sebagai motif
prososial fokus kepada empathic distress karena aksi moral prososial menimbulkan dorongan
untuk menolong seseorang yang dalam kondisi tidak nyaman, marah, menderita, dan
sebagainya.
Menurut Stewart (Setiawan, 2012) merumuskan empati sebagai kemampuan untuk
menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa memahami dan mengerti kebutuhan dan
perasaannya. Sedangkan menurut Sutardi (2007), empati dapat dianggap sebagai kelanjutan
dari toleransi. Empati dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk merasakan apa yang
dirasakan orang lain oleh seorang individu atau suatu kelompok masyarakat.
Menurut Goleman (Wahyuningsih, 2004) kemampuan seseorang untuk mengenali orang
lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima
sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain.
Ahli lain yang berpendapat mengenai empati yaitu Nancy Eisenberg (Panuntun, 2012)
yang menyatakan bahwa empati adalah sebuah respons afektif yang berasal dari penangkapan
atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan perasaan orang
lain. Empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain
dan mampu menghayati pengalaman orang lain. Penangkapan atau pemahaman keadaan
emosi, yaitu dimana empati terjadi ketika seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan
orang lain, namun tetap tidak kehilangan realitas dirinya sendiri. Hal ini berarti emosi yang
tergugah untuk ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tidak lantas membuat seseorang
menjadi kehilangan identitas dan sikap dirinya. Seseorang tetap memiliki integritas diri.

Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen


yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang
terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain.
Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan
keinginan orang lain.
Ketepatan dalam berempati

sangat dipengaruhi kemampuan

seseorang

dalam

menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang
dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka.
Adapun konsep empati menurut Al-Hadits, yaitu sebagaimana dengan sabda Rasulullah
SAW, ''Jika orang-orang tidak lagi mempedulikan orang miskin, memamerkan kekayaannya,
bertingkah seperti anjing (menjilat atasan, menendang bawahan), dan hanya mengeruk
keuntungan, maka Allah mendatangkan empat perkara: paceklik, kezaliman penguasa,
pengkhianatan penegak hukum, dan tekanan dari pihak musuh.'' (HR Ad-Dailami). Dapat kita
tafsirkan dalam hadits tersebut, Rasulullah mengajarkan kita semua untuk mempunyai sikap
empati. Sehingga, bukan hanya kasih sayang sesama yang dirasakan, tapi kasih sayang Allah
juga kita rasakan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan sikap seseorang dari
kesadaran diri dalam memahami orang lain ataupun suatu kelompok, baik yang berbentuk
respon kognitif maupun afektif dengan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain.

B. Perkembangan Empati
Menurut Taufik (2012), empati bukanlah sekedar sifat alami yang dianugerahkan Tuhan
yang keberadaannya secara otomatis dimiliki oleh individu, melainkan potensi-potensi yang
harus terus dipupuk dan dikembangkan dalam berbagai setting kehidupan, termasuk
pembelajaran yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil.
Hoffman (Taufik, 2012) empati memiliki basis genetic atau empati diturunkan oleh orang
tua kepada anak-anaknya. Namun Hoffman tidak mempercayai bahwa empati muncul pada
masa anak-anak atau setelah anak melampaui beberapa tugas perkembangannya, tahapan
perkembangan itu memang ada namun tidak menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk
bersikap empati. Menurutnya, empati individu sudah mulai terbentuk saat ia masih bayi, yaitu
tangisan saat dilahirkan.
Hoffman memberikan contoh saat bayi perempuan berusia 11 bulan melihat bayi lainnya
jatuh dan mulai menangis, kemudian bayi perempuan tersebut seakan-akan ikut menangis.

Fenomena ini menurut Hoffman merupakan salah satu indikator empati dan merupakan
bentuk dari self cetered emotional responses karena tidak bisa menimbulkan keinginan pada
diri anak untuk menolong dan memaahami kesedihan orang lain dengan hanya bisa
diekspresikan untuk dirinya sendiri (empati pasif).
Menurut Gordon (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Empathic Civilization: Building a
New World One Child at a Time menyatakan bahwa sepuluh tahun studi oleh para peneliti
independen di beberapa negara telah menunjukkan bahwa anak-anak mengalami Roots of
Empathy telah secara dramatis mengurangi tingkat agresi dan meningkatkan tingkat melek
sosial dan emosional. Program ini mengurangi bullying, menciptakan landasan positif bagi
kesehatan mental, mengajarkan anak-anak tentang orangtua yang bertanggung jawab dan
responsif, dan menciptakan sebuah lingkungan di mana anak-anak yang rentan menjadi anakanak lebih tangguh dan agresif atau dominan menjadi lebih inklusif. Manfaat tahun terakhir
dan memiliki efek positif pada hasil akademik. Memberikan anak Roots of Empathy adalah
seperti menyediakan bahan bakar roket masyarakat sehingga empati yang dapat berkembang.
Menurut De Waal (Segal dkk,2012), empati adalah kemampuan untuk memahami apa
yang orang lain rasakan dan pikirkan yang merupakan keterampilan penting dalam
memfasilitasi kesepakatan sosial dan berhasil menavigasi hubungan pribadi. Hal ini penting
untuk kelangsungan hidup individu karena memerlukan keakuratan dalam persepsi,
interpretasi, dan respon terhadap sinyal emosiorang lain. Oleh karena itu, empati adalah
sebuah blok bangunan penting untuk perilaku prososial, atau tindakan orang mengambil
manfaat lain dan masyarakat.
Pada perkembangannya, empati selalu dikaitkan dengan sikap. Batson dkk (1991) dalam
tiga eksperimennya mengenai empati dan sikap menguji bahwa empati akan membangkitkan
motivasi altruistik. Pada penelitian ini Batson mendefinisikan empati sebagai orientasi lain
dari respons emosional yang kongruen mengenai kondisi orang lain, jika orang lain dalam
tekanan atau dalam kondisi sedang membutuhkan maka akan tumbuh sikap empathic feeling.
Empathic feeling akan muncul ketika seseorang sedang melakukan pengamatan terhadap
kondisi orang lain yang sedang membutuhkan atau merasakan kondisi orang tersebut.
Untuk memperkuat penelitian sebelumnya, Batson dkk (1997) dalam jurnalnya yang
berjudul Information Function Of Empathic Emotion: Learning That We Value the Other's
Welfare melakukan penelitian untuk mengetahui efek empati terhadap sikap yang
menghasilkan tiga tahapan model yaitu:

a. Melakukan perspektif terhadap seseorang yang dalam kondisi membutuhkan


(misalnya dengan membayangkan apa yang sedang indivdu rasakan) akan
meningkatkan feeling empati terhadap individu itu
b. Feeling empati ini akan membawa kepada persepsi untuk meningkatkan kondisi
individu
c. Asumsi bahwa individu sebagai anggota kelompok membutuhkan pertolongan, maka
penilaian positif digeneralisasikan kepada kelompok secara keseluruhan, sehingga
seseorang yang berempati kepada seorang anggota kelompok jiga akan berempati
pula kepada kelompok secara keseluruhan.
Penelitian ini cukup memiliki peranan penting dalam empati karena selama ini empati
dimaknai lebih dekat ke arah konseling dan psikoterapi. Namun pada penelitian Batson ini
lebih ditekankan pada hubungan antar kelompok.
Selain itu, Ioannidou dan Konstantikaki (2008) mengemukakan bahwa teamwork merupakan
cara yang cukup efektif dalam memfokuskan individu dalam membentuk sikap empati,
dengan mendorong individu untuk memahami kebutuhan orang lain dan memberikan
beberapa masukan yang dibutuhkan orang lain, serta bekerja sama dalam mencapai suatu
tujuan. Ini merupakan salah satu cara mengembangkan kepercayaan diri individu dalam
pergaulan dan kehosivitasan antar anggota kelompok agar semakin erat.
Dewasa ini, empati sering dijadikan faktor penting dalam pekerjaan sosial dan konseling.
Penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa empati adalah alat penting untuk intervensi
terapeutik yang positif dan perlakuan dalam pekerjaan sosial. Studi menunjukkan bahwa
klien yang mengalami empati melalui pengobatan menghambat perilaku anti-sosial dan
agresi. Dalam hal ini, kurangnya empati berkorelasi dengan bullying, perilaku agresif,
kejahatan kekerasan dan menyinggung pada penyimpangan seksual (Questia 2009).
Menurut Ioannidou dan Konstantikaki (2008) empati juga tepat digunakan sebagai alat
komunikasi dan memfasilitasi wawancara klinis konseling, meningkatkan efisiensi
pengumpulan informasi, dan dalam menghormati klien. Emotional Intelligence (EQ), sering
digunakan untuk menggambarkan sebuah konsep yang melibatkan kapasitas, keterampilan
dalam mengelola emosi baik dalam diri maupun orang lain, serta kemampuan dalam ikut
merasakan perasaan orang lain, sehingga disini berkaitan erat dengan sikap empati. Walaupun
isu ini masih menjadi perdebatan dan dapat terus berubah.

Mercer dan Reynolds (2002) mengemukakan pentingnya empati dalam hubungan terapeutik
berkaitan dengan tujuan dari hubungan tersebut. Terlepas dari konteks hubungan terapeutik,
tampaknya ada sebuah tujuan dari empati, meliputik:
a. mendukung komunikasi interpersonal dalam rangka memahami persepsi dan
kebutuhan konseli
b. memberdayakan konseli untuk belajar, atau mengatasi masalahnya lebih efektif
dengan lingkungannya
c. penyelesaian masalah konseli.
Mercer dan Reynolds (2002) mengemukakan empati dapat menciptakan iklim antarpribadi
yang bebas dari defensif dan memungkinkan individu untuk berbicara tentang persepsi
mereka terhadap kebutuhannya.
Davis (Gerdes dan Segal, 2009) mengembangkan sebuah model yang mencakup sebagian
besar konstruksi empati yang telah dikembangkan sebelum penemuan neurobiologis terakhir
berkaitan dengan empati. Modelnya dimulai dengan apa yang dia sebut anteseden, berjalan
melalui beberapa proses, dan hasil dalam hasil. Anteseden termasuk kapasitas biologis serta
sosialisasi dipelajari. Proses meliputi tindakan motor mimikri serta pengolahan kognitif aktif.
Hasil dibagi menjadi dua kategori, intrapersonal dan interpersonal, termasuk respons afektif
(fisiologis merasakan sesuatu), dan pengolahan kognitif atribusi (mencari tahu bagaimana
orang lain merasa dan mengapa didasarkan pada perilaku yang diamati). Modelnya,
sementara yang komprehensif dan inklusif dari semua konsep utama, sangat rumit dan
campuran aspek fisiologis dan kognitif empati seluruh model. Dan tidak termasuk hasil dari
perasaan empatik, tetapi terbatas pada tingkat individu.

C. Karakteristik Empati
Goleman (1997) menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam
berempati, yaitu:
1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain

Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain
dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek
kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan
pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia
akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.
2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain
Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap
hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan,
misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah
akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain.
3. Mampu Mendengarkan Orang Lain
Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah
kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik
terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap
perbedaan yang terjadi.
Adapun menurut Departemen Agama Republik Indonesia (Irani, 2007) karakteristik
seseorang yangberempati tinggi, yaitu:
1. Ikut merasakan (sharing feeling) kemampuan untuk mengetahuibagaimana perasaan
orang lain. Hal ini berarti individu mampu merasakansuatu emosi, mampu
mengidentifikasi perasaan orang lain.
2. Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri, semakin kita mengetahui emosidiri sendiri
semakin terampil kita meraba perasaan orang lain. Hal ini berartimampu membedakan
antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang laindengan reaksi dan penilaian
individu itu sendiri. Dengan meningkatkankemampuan kognitif, khususnya
kemampuan menehrima perspektif oranglain dan mengambil alih peran, seseorang
akan memperoleh pemahamanterhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang
lebih lengkap danaktual, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan yang akan
lebih banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat.
3. Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering diungkapkanmelalui bahasa
isyarat. Hal ini berarti individu mampu membaca perasaanorang lain dalam bahasa
non verbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerakdan bahasa tubuh lainnya.
4. Mengambil peran (role taking) empati melahirkan perilaku konkrit, jika individu
menyadari apa yang dirasakan setiap saat, maka empati akandatang dengan sendirinya
dan lebih lanjut individu akan bereaksi terhadapsyarat-syarat orang lain dengan

sensasi fisiknya sendiri tidak hanyadengan pengakuan kognitif terhadap perasaan


mereka.

D. Esensi dari Empati


Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) dalam dirinya, tergantung
bagaimana cara anak dan juga orangtuanya mengasah kemampuan anak tersebut. Oleh
karena itu, orangtua ataupun guru sangat disarankan untuk menanamkan sifat empati
kepada anak sejak dini. Eisenberg (2002) menyatakan bahwa tiadanya attunement
(penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orangtua dengan anak akan menimbulkan
kerugian emosional yang sangat besar bagi anak tersebut. Apabila orangtua terus menerus
gagal memperlihatkan empati apa pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan,
kesedihan, kebutuhan membelai) pada anak, maka anak akan mulai menghindar untuk
mengungkapkannya.
Eisenberg (2002) juga menyatakan empati penting bagi individu, karena dengan empati
seseorang dapat:
1. Menyesuaikan Diri
Empati mempermudah proses adaptasi, karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut
pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa empati yang baik, maka
penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis dan fleksibel.
2. Mempercepat Hubungan dengan Orang Lain
Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu akan mudah untuk
merasa diterima dan dipahami oleh orang lain.
3. Meningkatkan Harga Diri
Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang.Dimulai dari peran empati dalam
hubungan sosial, yang merupakan media berkreasai dan menyatakan identitas diri.
4. Meningkatkan Pemahaman Diri
Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkan perasaan tersebut tanpa
harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang lain, menyebabkan seorang individu
sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu
menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang
dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk pemahaman diri yang terjadi dengan
perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan
orang lain.

Sedangkan menurut pandangan Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) empati berperan
penting dalam pembelajaran, empati terbukti menjadi bagian penting juga dalam proses
belajar mengajar. Dalam konteks sebagai calon konselor dan untuk menjadi pengajar yang
efektif, seseorang perlu memiliki kemampuan ini.Seorang pengajar memerlukan empati
untuk memahami kondisi muridnya untuk dapat membantunya belajar dan memperoleh
pengetahuan. Pengajar yang tidak memahami perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif
dan orientasi tindakan muridnya akan sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan
belajar murid-muridnya.
E. Faktor yang Mempengaruhi Empati
Eisenberg

(2002)

menyebutkan

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi

proses

perkembangan empati pada diri seseorang, yaitu:


1. Kebutuhan
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat
empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan
afiliasi yang rendah akan mempunyai tingkat empati yang tinggi.
2. Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki.Persepsi
ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat
memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki. Untuk
respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empati dalam
merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Empati adalah merupakan ciri
khas dari wanita yang lebih peka terhadap emosi orang lain dan bisa lebih
mengungkapkan emosinya dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990). Kemampuan
berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Selanjutnya Koestner
(1990) menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang semakin baik kemampuan
empatinya. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif.
3. Derajat Kematangan Psikis
Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Yang dimaksud dengan derajat
kematangan dalam hal ini adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang,
menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati
secara proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi
kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan
yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula.
4. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang
berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial.
Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan
seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.
Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap
empati pada anak, kepekaan sosial juga berpengaruh pada perkembangan empati anak
terhadap lingkungan.
Selain itu, ada pula faktor lain yang mempengaruhi empati, yaitu:
1. Pola Asuh
Menurut Hoffman dalam Taufik (2012), empati memiliki basis genetic atau empati
diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Gordon (2003) mengatakan bahwa
orang tua yang memiliki sifat agresi, kasar, dan lalai dalam mengasuh anak
merupakan bukti dari rendahnya tingkat empati. Oleh karena itu, Franz (Ginting,
2009), menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa-masa
awal dengan emphatic concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam
pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of
dependency) akan mempunyai empati yang lebih tinggi.
2. Variasi Situasi, Pengalaman, dan Objek Respon
Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh
situasi, pengalaman, dan respon empati yang diberikan (Ginting, 2009)

Kemampuan empati dapat dilatih atau diasah meskipun usia seseorang telah beranjak dewasa.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar kemampuan empati kita terbentuk, antara lain :
1. Rekam semua emosi pribadi
Setiap orang pernah mengalami perasaan positif maupun negatif, misalnya sedih,
senang, bahagia, marah, kecewa dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman
tersebut apabila kita catat atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang
sama saat kondisi tertentu menjumpai kita kembali. Disamping itu ketika kita
mengetahui perasaan tersebut sedang dialami oleh seseorang, kita dapat memahami
kondisi tersebut sehingga kita dapat memperlakukannya sesuai dengan apa yang
diharapkannya. Cara mencatat atau merekamnya dapat berupa tulisan di buku harian
atau sekedar mengingat-ingat dalam alam sadar kita.
2. Perhatikan lingkungan luar (orang lain)

Memperhatikan lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak informasi
tentang kondisi orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk dijadikan
panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga dapat
dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi, sehingga kita
dapat mengatahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai dengan lingkungan
sekitarnya. Memperhatikan orang lain merupakan ketrampilan tersendiri yang tidak
semua orang menyukainya. Memperhatikan tidak sekedar melihat orang per orang
tetapi juga mencoba menghilangkan perasaan-perasaan subyektif kita saat
memperhatikan, sehingga akan muncul keinginan untuk mendalami perasaan orang
yang sedang kita lihat tersebut.
3. Dengarkan curhat orang lain
Mendengarkan adalah sebuah kemampuan penting yang sering dibutuhkan untuk
memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap
permasalahan yang sedang dihadapi orang lain. Kemampuan mendengarkan juga
harus latih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi sosial kita. Syarat
yang

dibutuhkan

untuk

dapat

mendengarkan

adalah

menghilangkan

atau

meminimalkan perasaan negatif atau prasangka terhadap obyek yang menjadi sasaran
dengar. Disamping itu juga perlu adanya kemauan untuk membuka diri kita untuk
orang lain, khususnya dengan memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara
yang dia inginkan tanpa kita potong sebelum selesai pembicaraannya. Mendengar
keluh kesah atau cerita gembira orang lain akan mampu memberikan pengalaman lain
dalam suasana hati kita. Mendengarkan cerita sedih akan mampu membawa kita
kedalam suasana hati orang lain yang sedang bersedih dan dapat membangkitkan
keinginan untuk memahami masalah atau perasaan orang tersebut. Begitu pula
perasaan yang lain. Semakin banyak cerita, masalah dan ungkapan perasaan yang kita
dengarkan akan membuat kita semakin kaya dengan pengalaman tersebut dan pada
akhirnya semakin mengetahui bagaimana cara memahami orang lain atau
perasaannya.
4. Bayangkan apa yang sedang dirasakan orang lain dan akibatnya untuk diri kita.
Membayangkan sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri kita ke
dalam sebuah situasi yang hampir sama dengan yang dialami orang tersebut. Refleksi
keadaan orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialami orang
tersebut dan mampu membangkitkan suasana emosional. Membayangkan sebuah
kondisi tersebut dapat lebih mudah manakala kita pernah mengalami perasaan atau

kondisi yang sama. Seseorang yang sering membayangkan apa yang dialami atau
dirasakan orang lain dan akibat yang akan ditimbulkan manakala hal tersebut terjadi
pada diri kita saat kejadian atau setelah kejadian akan memudahkan kita merasakan
suasana emosi seseorang manakala melihat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan
situasi penuh dengan emosi-emosi tertentu.
5. Lakukan bantuan secepatnya.
Memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan dapat
membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat terhadap situasi di
lingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih kemampuan kita untuk
empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama tetapi
kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita saat melihat atau menyaksikan
orang-orang yang membutuhkan. Pertolongan yang kita berikan akan menstimulus
keadaan emosi kita untuk melihat lebih jauh perasaan orang yang kita beri
pertolongan dan semakin sering kita memberikan respon dengan cepat akan semakin
mudah kita mengembangkan kemampuan empati kepada orang lain.

Ada beberapa manfaat yang dapat kita temukan dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala
kita mempunyai kemampuan berempati, diantaranya :
1. Menghilangkan sikap egois
Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan
sikap egois (mementingkan diri sendiri). Ketika kita dapat merasakan apa yang
sedang dialami orang lain, memasuki pola pikir orang lain dan memahami perilaku
orang tersebut, maka kita tidak akan berbicara dan berperilaku hanya untuk
kepentingan diri kita tetapi kita akan berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku
yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan
kepada orang lain. Kita akan berhati-hati dalam mengembangkan sikap dan perilaku
kita sehari-hari, khususnya jika berada pada kondisi yang membutuhkan pertolongan
kita.
2. Menghilangkan kesombongan
Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang terjadi pada
diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita. Manakala kita membayangkan kondisi
ini maka kita akan terhindar dari kesombongan atau tinggi hati karena apapun akan
bisa terjadi pada diri kita jika Tuhan berkehendak. Kita tidak akan merendahkan orang

lain karena kita telah mengetahui perasaan dan memahami apa yang sebenarnya
terjadi, sehingga orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung
memiliki jiwa rendah hati dan senantiasa memahami kehidupan ini dengan baik.
RODA SENANTIASA BERPUTAR, ITULAH KEHIDUPAN.
3. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri
Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi diri
sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri orang
lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari bagaimana
kita akan merefleksikan keadaan tersebut dalam diri kita. Jika kita telah mempunyai
kemampuan ini maka kita telah dapat mengembangkan kemampuan evaluasi diri yang
baik dan akhirnya kita dapat melakukan kontrol diri yang baik artinya kita akan
senantiasa berhati-hati dalam melakukan perbuatan atau memahami lingkungan
sekitar kita.

F. Aspek-aspek Kemampuan Empati


Menurut Eisenberg (2002) dalam Panuntun (2012) bahwa dalam proses individu
berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan kecenderungan
seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang
lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti,sedangkan aspek kognitif
dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain
dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain
ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari; cara berbicara, dari raut
wajah, cara pandang dalam berpendapat.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A. dan Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna
Djuwita. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga.
Hoffman, M. L. (1978). Empathy: The Formative Years, Implications for Children
Practice. Journal New Direction in Psychotherapy.
Hurlock, Elizabeth. (1999). Perkembangan Anak. Jilid 2. Alih Bahasa: Med.
Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Sutardi, T. (2007). Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT.
Setia Purna Inves.
Taufik. (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Batson, C. D, dkk (1991). Empathy Joy and the Empathy Altruism Hypotesis.
Jurnal of Personality and Social Psychology University of Kansas. Vol 61, No 3.
Batson, C. D, dkk. (1995). Information Function Of Empathic Emotion: Learning
That We Value the Other's Welfare. Journal of Personality and Social Psychology
University of Kansas. Vol 5.
Batson, C. D. (1991). Empathy-Altruism Hypothesis. Journal of Personality and
Social Psychology University of Kansas. Vol 61, No 3.
Cassels, T. G, dkk. (2010). The Role of Culture in Affective Empathy: Cultural and
Bicultural Differences. Journal of Cognition and Culture. Vol 10.
Gerdes, K. E. dan Segal, E. A. (2009). A Social Work Model of Empathy. Advance
in Social Work. Vol 10 No 2.
Ioannidou, F. dan Konstantikaki, V. (2008). Empathy and Emotional Intelligence:
What is it Really About?. International Journal of Caring Sciences 1(3).
Mercer, S. W. dan Reynolds, W. J. (2002). Empathy and Quality Care. CSO health
services research training fellow, Department of General Practice, University of
Glasgow. W J. Vol 52.

Segal, E. A dkk. (2012). Developing the social Empathy Index: an Exploratory


Factor Analysis. Advances in Social Work. Vol 13 No 3.
Andreas, Krisan. 2011. Penggunaan Metode Bermain Peran (Role Play) dalam
Meningkatkan Empati Teman Sebaya Siswa Kelas XII.D Jurusan Administrasi
Perkantoran di SMK PGRI 02 Salatiga. Skripsi Sarjana pada FKIP UKSW Salatiga:
tidak diterbitkan
Ginting, A. O. (2009). Hubungan Empati dengan Cooperative Learning pada
Proses Belajar Siswa di SMP Negeri 10 Medan. Skripsi Jurusan Psikologi
Universitas Sumatera Utara. Tidak diterbitkan.
Haryani.(2013).

LAYANAN

DASAR

BIMBINGAN

DAN

KONSELING

UNTUK

MENGEMBANGKAN EMPATI SISWA SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di SD Negeri


Nogotirto Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012). Tesis Magister pada
PSBK SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan
Panuntun, J. G. (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Empati Pada
Siswa Kelas X SMK 3 Salatiga Tahun Pelajaran 2012/2013. Skripsi Sarjana pada
FKIP UKSW Salatiga: tidak diterbitkan.
Saadah,

Munjiati.

2011.

EFEKTIVITAS

TEKNIK

SOSIODRAMA

UNTUK

MENINGKATKAN PERCAYA DIRI SISWA (Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas X SMA
Negeri 1 Pagelaran Kabupaten Pringsewu Lampung Tahun Ajaran 2010/2011).
Tesis Magister pada PSBK SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan
Gordon, M. (2010). Empathic Civilization: Building a New World One Child at a
Time. Journal Online.

Das könnte Ihnen auch gefallen