Sie sind auf Seite 1von 27

Laporan Kasus

SYOK HIPOVOLEMIK

Oleh :

SARAH OVINITHA, S.Ked

1208152348

Pembimbing :

dr. Anwar Bet, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Syok adalah suatu kondisi darurat yang terjadi akibat gangguan


hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Keadaan
ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk waktu yang terbatas, selanjutnya dapat
timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Kematian karena syok terjadi bila
keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. 1
Kondisi syok dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti infark miokard luas
atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat infeksi yang tak terkontrol
(syok septic, tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik), respons
imun yang berlebihan (syok anafilaktik dan perdarahan masif atau luka bakar
yang luas (syok hipovolemik).2
Data epidemiologis menunjukkan bahwa syok hipovolemik merupakan
salah satu penyebab kematian di negara-negara dengan mobilitas penduduk yang
tinggi. Salah satu penyebab syok yang paling sering terjadi adalah kecelakaan.
Menurut WHO, angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok
hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6%,
sedangkan angka kematian akibat trauma yang mengalami syok hipovolemik di
rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai angka 36%. 3
Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun
laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan.
Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok
mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan
pemahaman tentang patofisiologi syok.4 Tatalaksana syok bertujuan memperbaiki
gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi


Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya
atau penurunan volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling
sering ditemui pada pasien di antara jenis syok lainnya. Penyebab primernya
adalah defisit volume darah sehingga perfusi ke jaringan menurun. Kehilangan
cairan dapat disebabkan oleh :
- Kehilangan darah/syok hemoragik

Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal

Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks

- Kehilangan plasma: luka bakar


- Kehilangan cairan dan elektrolit

Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih

Internal : asites, obstruksi usus

Kehilangan cairan intravaskuler bisa berupa eksogen atau endogen.


Pada kehilangan cairan yang eksogen cairan keluar dari jaringan tubuh seperti
pada perdarahan atau kasus luka bakar. Sedangkan pada kehilangan cairan
endogen maka cairan telah keluar dari intravaskuler tetapi masih dalam
jaringan atau rongga tubuh atau belum keluar dari dalam tubuh.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan
mukosa saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan yang
terselubung adalah trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur
limpa atau ileus obstruksi dan peritonitis.
2.2. Patofisiologi

Kehilangan cairan intravascular akan menurunkan tekanan pengisian


pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal
inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung, dimana curah jantung yang
rendah/di bawah normal akan menimbulkan respon yang berbeda dari masingmasing organ. Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan
mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi,
kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin. Sistem hematologi berespon
terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade
koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan
A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan
waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan
menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard,
dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat
peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus
vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan
penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan
mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi
kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan
sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi
menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek
utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik,
yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron

dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif


natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan
dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan
darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi
natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH
menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus
distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle

2. 3

Klasifikasi Syok
Sistem klasifikasi ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan
patofisiologi keadaan syok: 5

Klasifikasi
Kelas I : kehilangan

Penemuan Klinis
Hanya takikardi minimal,

Pengelolaan
Tidak perlu penggantian

volume darah < 15 % EBV nadi < 100 kali/menit


volume cairan secara IVFD
Kelas II : kehilangan
Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah 15 30 %

takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan

EBV

penurunan pulse pressure,

kristaloid (RL atau NaCl

penurunan produksi urin

0,9%) sejumlah 3 kali

Kelas III : kehilangan

(20-30 cc/jam)
volume darah yang hilang
Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah

volume darah 30 - 40 %

takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan

EBV

perubahan status mental

kristaloid (NaCl 0,9% atau

(confused), penurunan

RL) dan darah

Kelas IV : kehilangan

produksi urin (5-15 cc/jam)


Takikardi (>140 kali/menit), Pergantian volume darah

volume darah > 40 % EBV takipnea (35 kali/menit),

yang hilang dengan cairan

perubahan status mental

kristaloid (NaCl 0,9% atau

(confused dan lethargic),

RL) dan darah

Bila kehilangan volume


darah > 50 % : pasien tidak
sadar, tekanan sistolik sama
dengan diastolik, produksi
urin minimal atau tidak
keluar
2.4. Diagnosis6
2.4.1 Tanda dan Gejala
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi
premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respon
kompensasi. Pasian muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan
cairan dengan jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia. Kehilangan
volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien
usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu
yang cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan
hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali
dalam beberapa menit. Tanda-tanda syok adalah:
1. Kilit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian
kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon
homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran
darah ke homeostasis penting untuk hopovolemia.peningkatan kecepatan
aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah
sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor yang
esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah

otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak dibawah 70


mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik.
Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30ml/jam.

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang


1. Hematokrit mungkin meningkat pada status hipovolemik karena
hemokonsentrasi.
2. Leukopenia
3. Elektrolit serum : berbagai ketidak seimbangan mungkin terjadi dan
menyebabkan asidosis, perpindahan cairan, dan perubahan fungsi ginjal.
4. Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit.
5. PT/PTT mungkin memanjang mengindentifikasikan koagulopati yang
diasosiasikan dengan iskemia hati / sirkulasi toksin / status syok.
6. Laktat serum meningkat dalam asidosis metabolic,disfungsi hati, syok.
7. Hiperglikemia

yang

terjadi

menunjukan

glukoneogenesis

dan

glikogenolisis di dalam hati sebagai respon dari perubahan selulaer dalam


metabolisme.
8. BUN/Kr terjadi peningkatan kadar disasosiasikan dengan dehidrasi ,
ketidakseimbangan / gagalan hati.
9. GDA terjadi alkalosis respiratori dan hipoksemia dapat terjadi sebelumnya
dalam tahap lanjut hipoksemia, asidosis respiratorik dan asidosis
metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.
10. EKG dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T dan
disritmia yang menyerupai infark miokard.
2.4. Penatalaksanaan

Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah


mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat
mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul
akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi
syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan
perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi perangkat
untuk diagnosis dan terapi.8
Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari
penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme
cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik.8
Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus
mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari
kemungkinan penyebab dari keadaan syok tersebut.8
Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir
semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah olah penderita menderita
syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan
oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus
dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8
a.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisiknya diarahkan lepada diagnosis cedera yang
mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital
awal (baseline recordings) penting untuk memantau respons penderita
terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin,
dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul
bila keadaan penderita mengijinkan.8
1) Airway dan Breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan


cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan
oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.8
2) Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang
jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya
dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan.
Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang
diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan
perdarahan internal.8
3) Disability (Pemeriksaan neurologis)
Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan
tingkat kesadaran, pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan
sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti
perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan
fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intrakranial
tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan
perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut
dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial

4) Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)


Setelah

mengurus

prioritas-prioritas

untuk

menyelamatkan

jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai


ke jari kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi
penderita, sangat penting dilakukan tindakan untuk mencegah hipotermia.
Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan internal
maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.8

5) Dilatasi lambung Dekompresi


Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya
pada anak-anak, dan dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung
yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi
saraf

vagus yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok

menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung


membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi
yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukkan selang/pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan
memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun,
walaupun penempatan pipa sudah baik, masih ada kemungkinan terjadi
aspirasi.8
6) Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau
produksi urin.8
b.

Akses pembuluh darah


Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling
penting dilakuakan dengan memasukkan dua kateter intravenaukuran besar
sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral.8

c.

Terapi awal cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis
cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan
volume vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam
ruang interstitial dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan
pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis
merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk

10

Pasang cepat,
infus jarum
besar,
ambil sampel
darah
Ringer Laktat atau NaCl 0,9% 20ml/kgBB
ulangi.
1000-2000
ml dalam
1 jam

CA

Penderita datang dengan perdarahan

Hemodinamik baik
terjadinya
asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
Tekanan sistolik 100,
nadi 100
fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan
Perfusi hangat, kering
Urin ml/kg/jam tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa
dan 20 ml/kg pada anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini
dipantau, dan keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut
akan tergantung pada respons ini.8
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar
diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan
darah, dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin
diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume
kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah
yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi
volume plasma yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini
dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk
menilai respons penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat
kesadaran dan perfusi perifer. Bila, sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang
diperlukan untuk memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh
melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan
perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab lain untuk syok.8

11

Hemodinamik baik

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada
kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan
untuk menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai
sumber perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan.
Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu

perdarahan masih berlangsung terus

(continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia
terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.7
Pada jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil
yang diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah hasil yang
diukur setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan.
Penderita dalam keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia,
dapat mentolerir hematokrit 10 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan
dengan nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan
kompensasinya tidak terkuras habis.7
a. Jumlah Perdarahan Dan Penanganannya

12

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan


patokan berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah
kira-kira 7% dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg,
mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk
maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan
idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya
mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8%
sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 70
ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara
dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 4 x volume
yang hilang.7
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic
Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan
Ringer Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai
terjadi keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan
Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak
berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organorgan tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan
furosemid setelah transfusi diberikan.7
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan
darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi
badan, maka cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15%
perlu transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan

13

untuk orang dewasa dengan kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah
20%. Kehilangan darah sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan
kristaloid untuk mengisi ruang intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat
jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan
tujuan

untuk

menaikkan

kapasitas

pengangkutan

oksigen

dan

volume

intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan


koloid atau kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua,
kelainan paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.
II.
Monitor resusitasi
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang
digunakan untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons
penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi
merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke
normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberikan informasi
tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan peredaran
kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar
ditentukan.8
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk
perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran
darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik.
Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi
dan respons penderita.8
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau
aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada

14

anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang,
atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini
menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya
penggantian volume dan usaha diagnostik.8
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk
menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara
berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah
pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada resusitasi cairan awal.
Dengan melakukan observasi terhadap respons penderita pada resusitasi awal
dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang
diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian
perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat
dilakukan kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan
pemulihan volume intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga
membatasi kemungkinan transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya
tidak seimbang jumlah kehilangan darah. Adalah penting untuk membedakan
penderita dengan hemodinamik stabil dengan hemodinamik normal. Penderita
yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi, takipneu, dan oliguri, dan
jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya, penderita yang
hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan yang
kurang memadai.
III.

Tanda-tanda kegagalan resusitasi


a. TVS dan diuresis yang meningkat di atas normal. Hal ini menunjukkan
kelebihan cairan intra vaskular dan harus segera dikurangi.
b. TVS dan diuresis masih di bawah normal. Hal ini menunjukkan
kekurangan cairan intra vaskular dan perlu ditambah.
c. TVS meningkat, diuresis menurun. Perlu mengukur TBKP dan curah
jantung untuk penentuan terapi lebih lanjut.

15

IV.

Evaluasi terapi

Evaluasi yang penting adalah kontinuitas pengamatan parameter fisiologik


sebagaimana yang telah dianjurkan terdahulu.
Tambahan evaluasi antara lain :
a. Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, dan pernapasan tiap 15-30
menit.
b. Pengukuran keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan. Ingat
bahwa syok berat atau berlanjut sering disertai nekrosis tubular akut dan
kegagalan ginjal.
c. Pengukuran

hematokrit

periodik

jika

perdarahan

diduga

masih

berlangsung. Perlu diketahui bahwa penurunan hematokrit pada syok


hemoragik tanpa terapi tidak terjadi segera malainkan bertahap selama 2448 jam. Hal ini disebabkan karena terdapat hemodilusi.
d. AGD perlu dilakukan berulang-ulang karena pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan fungsi kardiorespirasi
dalam keadaan gawat darurat.
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama

: Tn. MRWK

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 62 tahun 6 bulan

Alamat

: Tampan - Pekanbaru

Tanggal Masuk RS

: 31 Mei 2016

Tanggal Pemeriksaan : 1 Juni 2016

16

ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan istri pasien)


Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 4 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 4 jam SMRS istri pasien mengatakan bahwa suaminya tidak sadar dan tidak
merespon terhadap panggilan. Sebelum mengalami penurunan kesadaran pasien
mengalami muntah darah sebanyak 2 kali berturut-turut dengan jumlah aqua
botol ( 300 cc), muntah berisi darah segar, bergumpal seperti jelly, bercampur
makanan dan tidak berbuih. Muntah di dahului rasa mual dan rasa perih pada ulu
hati. 1 hari SMRS pasien mengalami BAB berwarna hitam, BAB sebanyak 2 kali
dalam sehari dengan konsistensi lembek dan berwarna seperti aspal, jumlah 1
gelas belimbing. Darah segar pada BAB (-). 2 hari SMRS pasien mengeluhkan
sesak nafas, sesak terus menerus dan disertai batuk. Sesak tidak disertai nyeri
dada dan sesak tidak dipengaruhi aktivitas, posisi tubuh dan cuaca. Batuk (-).
Demam (-). BAK (+) sebanyak 2 kali sebelum penurunan kesadaran.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat stroke karena pecah pembuluh darah di otak (3 minggu SMRS);


pasien dirawat dirumah sakit selama 1 minggu dan masih mengonsumsi

obat-obat dari Rumah Sakit.


Riwayat tekanan darah tinggi (+) tidak terkontrol; sejak 5 tahun yang lalu.
Riwayat maag (+) sejak usia 25 tahun
Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat sakit gula (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat terjatuh (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat keluarga menderita hipertensi (+); ayah pasien

17

Riwayat sakit gula (-)

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan dan Sosial Ekonomi

Pasien seorang pegawai swasta, berasal dari keluarga ekonomi menengah

ke bawah, sudah menikah, memiliki 3 orang anak


Merokok (+) 9 tahun 1bungkus/hari, alkohol (-), jarang berolahraga.
Suka mengonsumsi makanan pedas.
Riwayat mengonsumsi obat-obatan (+) setelah menderita penyakit stroke
Konsumsi jamu (-)
Konsumsi obat-obat penghilang rasa sakit (-)

PEMERIKSAAN UMUM

Keadaan umum

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Sopor

BB

: 93 kg

TB

: 170 cm

IMT

: 32,17 (Obesitas II)

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 100/60 mmHg


Nadi

: 100x/menit (teratur, lemah, isian cukup)

Nafas

: 32x/menit

Suhu

: 37,8C

Pemeriksaan khusus
Kepala dan leher

18

Kulit dan wajah

: Wajah pucat
Mata

Konjungtiva

anemis (+/+), sklera tidak ikterik, pupil bulat,


isokor dengan diameter 3/3 mm, reflek cahaya (+/
+), mata cekung (+)
Mulut

Lidah

tidak

kotor, bibir kering, sianosis (-), faring tidak


hiperemis
Leher

KGB

tidak

membesar, JVP 5-2 cmH2O


Thorak
Paru
Inspeksi

:
Pengembangan dada simetris

kiri dan kanan, gerak nafas simetris, tidak ada


bagian yang tertinggal. Spider navi (-).
Palpasi

Vokal fremitus

simetris kanan = kiri normal


Perkusi

Sonor

pada

kedua lapangan paru, redup di bagian basal paru


dekstra
Auskultasi

Vesikuler

kedua lapangan paru, ronki basah kasar (+/+) di


basal paru dekstra
Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

19

Palpasi

Ictus

cordis

teraba pada SIK IV, 2 jari medial garis linea


midclavicularis sinistra
Perkusi

:
o Batas
:

jantung
SIK

kiri
III

atas
garis

parasternal sinistra
o Batas jantung kiri bawah
:
medial

SIK IV 2 jari
dari

garis

linea

midclavicularis sinistra
o Batas jantung kanan atas
:

SIK III garis

sternalis dextra
o Batas jantung kanan bawah
:

SIK V garis

sternalis dextra
Auskultasi

Bunyi jantung

I-II murni regular, gallop (+), murmur (-)


Abdomen

Inspeksi

: Perut cembung, venektasi (-), distensi (-)


Auskultasi

Bising

usus

(+) 18x/menit, bruit (-), undulasi (+)


Perkusi

: Redup, asites (+),

shifting dullness (+)


Palpasi

Supel,

tekan (-), hepar sulit dinilai, lien sulit dinilai.


Ballotement (-/+), CVA (-/+)

20

nyeri

Ektremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema pretibial (+).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (15/1/2015)

Hemoglobin

: 14,58 gr/dl

Hematokrit

: 46,34 %

Leukosit

: 16.700/mm3

Trombosit

: 234.600/mm3

Eritrosit

: 5,76 juta/mm3

GLU

: 99 mg/dL

URE

: 79 mg/dL

CRE

: 4,99 mg/dL

AST

: 22 /L

ALT

: 22 /L

RESUME
Tn.A, laki-laki,usia 53 tahun, datang ke RSUD AA dengan keluhan lemas
yang semakin memberat 3 jam SMRS. Sejak 1 hari SMRS pasien mengeluhkan
lemas setelah meminum obat yang diresepkan oleh dokter ketika pasien dirawat di
Rumah Sakit. Lemas disertai berkeringat banyak dan sesak nafas yang tidak
berkurang dengan istirahat. Selain itu, timbul bercak kemerahan secara mendadak
pada seluruh tubuh. Bercak tidak gatal, tidak nyeri, permukaan datar dan kering.
Demam (+) terus menerus. Mual (+).

21

PF : IMT 32,17 (Obesitas II), Tekanan darah : 80/60 mmHg, Nafas

: 28x/menit,

Suhu:38,5C, redup pada basal paru kanan, ronki basah kasar pada basal paru
kanan, asites (+), shifting dullness (+), undulasi (+), Ballotement (-/+), CVA (-/+),
PP : Leukosit : 16.700/mm3 , ureum 79 mg/dL, kreatinin 4,99 mg/dL

DAFTAR MASALAH
1.
2.
3.
4.

Syok Hipovolemik
Dispepsia
Chronic Kidney Disease
Fatty Liver

DIAGNOSIS KERJA
-

Syok Hipovolemik

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non farmakologi :
1. Tirah baring
2. Diet makanan lunak rendah lemak
Farmakologi :

IVFD Ringer Laktat 20 tpm


Nasal Kanul O2 3 L
Inj Ranitidin 1 x 30 mg
Paracetamol 3x 500 mg
Domperidon 3 x 10 mg
Spironolakton

22

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien diduga mengalami syok hipovolemik. Hal ini didasarkan atas keluhan
lemas dan sesak nafas yang semakin memberat, disertai keringat yang sangat
banyak. Namun, gejala syok dapat lebih jelas ditemukan melalui pemeriksaan
fisik dimana pasien mengalami penurunan status mental (bingung), hipotensi dan
takipneu. Sementara, pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan kadar
leukosit, peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Syok hipovolemik dapat terjadi karena hilangnya cairan tubuh baik secara
endogen maupun eksogen. Pada kasus ini, pasien menyangkal adanya trauma,
luka bakar atau perdarahan, oleh karena itu dapat dipikirkan kehilangan cairan
endogen. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya akumulasi cairan
pada tungkai (edema pretibial), rongga perut (asites), paru-paru (efusi pleura).
Berdasarkan pemeriksaan fisik, dapat diklasifikasikan pasien mengalami syok
kelas

23

Nyeri kepala dapat dipikirkan atas 2 hal, yaitu: nyeri kepala primer dan
nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer berupa migrain, tension headache dan
cluster headache. Pada pasien tidak ada ditemukan tanda tanda dari ketiga hal
tersebut.1,2 Nyeri kepala akibat migrain muncul unilateral di daerah temporal.
Nyeri kepala akibat tension type headache dirasakan bilateral dan nyeri kepala
disertai dengan nyeri pada daerah periorbita, lakrimasi, dan rhinorhea. Sedangkan
nyeri karena cluster headache dirasakan nyeri seperti berputar-putar.9.10
Pada nyeri kepala sekunder terjadi akibat suatu penyakit yang mendasari,
seperti gangguan vaskularisasi pada daerah kepala dan leher, kelainan yang
berhubungan dengan non vaskular intrakranial, infeksi, homeostasis, nyeri pada
daerah wajah yang berhubungan dengan kelainan pada kranium,mata, telinga,
leher, hidung, sinus, gigi, mulut atau bagian wajah dan kepala lainnya serta nyeri
akibat gangguan psikiatri.7-13
Berdasarkan anamnesis, nyeri kepala primer dapat disingkirkan. Pada pasien
ini kemungkinan yang terjadi adalah nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala akibat
kelainan pada kepala dan leher akibat trauma dapat disingkirkan karena tidak
terdapat riwayat trauma. Nyeri kepala akibat infeksi dapat disingkirkan karena
dari hasil pemeriksaan fisik, suhu pasien dalam keadaan normal (36,80C) dan hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit dalam batas normal. Pasien juga
tidak mengeluhkan adanya nyeri pada wajah yang berhubungan dengan kelainan
kranium, mata, telinga, leher, hidung, sinus, gigi, mulut atau bagian wajah dan
kepala lainnya serta nyeri akibat gangguan psikiatri.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 4 tahun yang lalu, nyeri kepala
dirasakan pada daerah dahi dan berdenyut, badan terasa lemah, mual dan muntah.
Kerusakan endotel pembuluh darah yang terjadi pada saat peningkatan tekanan
darah di daerah injuri akan menyebabkan terjadinya pelepasan sitokin dan
protaglandin yang menyebabkan sensitisasi terminal neuron, rangsangan ini akan
diteruskan ke kornu dorsalis servikal atas berlanjut ke raphe magnus medula
oblongata kemudian ke periakuaduktum substansua grisea mesenfalon, ke
talamus, dan selanjutnya ke korteks somatosensori sehingga timbullah persepsi

24

nyeri kepala9. Adapun mual dan muntah yang terjadi berkaitan dengan impul saraf
yang terjadi akibat nyeri kepala. Mual dan muntah disebabkan oleh teraktifasinya
zona pencetus kemoreseptor untuk muntah yang terletak di daerah bilateral pada
dasar ventrikel keempat.10
Pada hasil laboratorium didapatkan nilai ureum yang tinggi URE:
85,4mg/dL,CRE:2,59mg/dL,Pada sebagian pasien manifestasi pada organ target
seperti ginjal bisa saja muncul lebih dominan dengan nilai ureum dan creatinin
yang tinggi hal ini dapat terjadi akibat tingginya tekanan darah yang
mengakibatkan terlibatnya organ target salah satunya ginjal yang berakibat
terjadinya gagal ginjal akut.

DAFTAR PUSTAKA
1. PB PAPDI. Hipertensi. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
2. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009.
3. Qureshi AI, Suri MF, Kirmani JF, Divani AA. Prevalence and trends of
prehypertension and hypertension in United States: National Health and
Nutrition Examination Surveys 1976 to 2000. Med Sci Monit.Sep 2005; 11
(9):CR403-9.
4. [Guideline] James PA, Oparil S, Carter BL, et al. 2014 Evidence-based
guideline for the management of high blood pressure in adults: report from
the panel members appointed to Eifhth Joint National Comitee (JNC 8).
JAMA. Dec 18 2013.
5. Wood S. JNC 8 at last! Guidelines ease up on BP thresholds, drug choices.
Heartwire [serial online]. December 18, 2013.

25

6. Butar-butar WR. Hipertensi. Presentasi KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD


Arifin Ahmad. 2014.
7. American Heart Association. Hypertensive crisis [updated
2012 dec 20]; cited January 2015]. Available from :
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBloodPress
ure/AboutHighBloodPressure/HypertensiveCrisis_UCM_3017
82_Article.isp.
8. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan
Hipertensi Urgensi.BIK Biomed. [database on the internet]
2007. [cited January 2015]. Vol.3, No.4 :163-8. Available
from:http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3408163168.pdf .
9. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. [database on
the internet]2012. [cited January 2015]. Vol.3, No.4 :163-8.
Available from: http://emedicine.medscape.com.
10.

Majid

A.

Krisis

Hipertensi

Aspek

Klinis

dan

Pengobatan. USU DigitalLibrary [database on the internet]


2004.

[cited

January

2015].Available

from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/fisi
ologi-abdul % 20 majid.pdf .
11.

Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and

Emergency.HospitalPhysician

Article

[article

on

the

internet] 2007. [cited January 2015]. pp. 43 50. Available


from:

http://www.turner-white.com/memberfile. php?

PubCode=hp_mar07_hypertensive.pdf .
12.

Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management

of Hypertensivecrises. Critical Care Journals [data base on


the internet] 2003. [cited on January 2015]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC270718/pdf/c
c2351.pdf .

26

13. Roesma J. Krisis Hipertensi dalam buku ajar ilmu penyakit dalam edisi: IV
jilid I. Jakarta: FK UI; 2006:616-7.
14. Kaplan NK. Hypertensive crises. In: Kaplans clinical hypertension 8 th
edition. Lipincott Williams & Wilkins; 2002.
15. Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and ugencies. Clev clinic med;
2003.

27

Das könnte Ihnen auch gefallen