Sie sind auf Seite 1von 13

AKUNTANSI SYARIAH

PRAKTEK BISNIS DALAM ISLAM

Nama

: MUTMAINNA

Nim

: A31114001

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

PRAKTEK BISNIS DALAM ISLAM


1. PRAKTEK BISNIS YANG DIPERBOLEHKAN DAN DILARANG
MENURUT ISLAM
Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan
yang cukup memprehatinkan, namun sengat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas
hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya,
menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika
ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis.
Padahal secara tegas Rasulullah pernah bersabda bahwa perdagangan (bisnis) adalah
suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Dengan demikian, aktivitas
perdagangan atau bisnis nampaknya merupakan arena yang paling memberikan keuntungan.
Namun harus dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap
manusia, menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam
memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram).
Tingkat Perilaku yang Halal dan Tidak Halal Dalam Islam
Dalam menjelaskan aturan-aturan moral Islam, sangat penting bagi kita untuk memahami
bahwa tindakan-tindakan dapat dikategorikan menurut tingkat yang halal ataupun yang tidak
halal. Dalam fiqh, terdapat 5 jenis tindakan sebagai berikut:
1) Fard menunjukan jenis tindakan yang bersifat wajib bagi setiap orang yang
mengaku sebagai Muslim. Misalnya, melaksanakan shalat lima kali sehari,
berpusa, dan zakat adalah sejumlah tindakan wajib yang harus dilaksanakan
seorang muslim.
2) Mustahabb menunjukan tindakan yang tidak bersifat wajib namun sangat
dianjurkan bagi kaum Muslim. Contoh tindakan ini mencakup puasa sunnah
setelah Ramadhan, melaksanakan sholat tarawih di bulan ramadhan dan lain
sebagainya.
3) Mubah menunjukan tindakan yang boleh dilakukan dalam pengertian tidak
diwajibkan namun juga tidak dilarang. Sebagai contoh, Seorang muslim
barangkali menyukai jenis makanan halal tertentu dibidang makanan halalyang
lain, Atau seorang muslim mungkin suka berkebun.
4) Makruh menunjukkan tindakan yang tidak sepenuhnya dilarang, namun dibenci
oleh Allah. Tingkatan makruh lebih kurang dibanding haram, dan hukumannya
jika lebih kurang dibanding hukuman haram, kecuali jika dilakukan secara
berlebihan dan dengan cara yang cenderung membawa kepada yang haram.
Sebagai contoh, meskipun merokok tidak dilarang sebagaimana meminum
alkohol, merokok merupakan tindakan makruh.
5) Haram menunjukan tindakan yang berdosa dan dilarang. Berbuat sesuatu yang
haram adalah sebuah dosa besar, misalnya membunuh, berzina dan meminum
alkohol. Tindakan seperti ini cenderung akan mendatangkan hukuman dari Allah
SWT baik di Akherat maupun secara legal di dunia ini.

Batas-batas antara kelima kategori yang telah disebutkan di atas bersifat absolut. Sebagai
contoh, apa yang haram dalam satu kondisi mungkin boleh dilakukan dalam kondisi yang
lain. Seorang muslim tidak boleh makan daging babi. Namun demikian, jika ia dalam kondisi
menghadapi maut karena kelaparan, dan tidak ada yang lain kecuali daging babi, maka
diperbolehkan untuk memakan daging babi dalam situasi khusus tersebut.
Tabel dibawah ini merangkum prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan persoalan
halal dan haram seperti dipaparkan oleh Yusuf al-Qardhawi. Berdasarkan kategori di atas dan
prinsip keempat dan kelima, atauran yangpertama adalah bahwa apa yang halal adalah juga
pasti bermanfaat dan suci. Sementara apa yang tidak halal akan melukai kita. Sebagai
conatoh, Islam telah lama melarang kaum muslim untuk meminum alkohol. Baru-baru ini
terdapat studi mengenai kelahiran anak yang menunjukkan bahwa berapapun banyaknya
alkohol yang dikonsumsi oleh seorang wanita selama masa kehamilan dapat mempengaruhi
sang anak dalam kandungannya, dan akan mengakibatkan sindrom alkohol bagi janin ataupun
hambatan perkembangan mental. Secaraimplisit, apa yang halal adalah juga bermoral dan apa
yang tidak halal adalah tidak bermoral. Sebagai contoh, perzinaan adalah perbuatan yang
tidak halal dan juga tidak bermoral. Aturan yang kedua adalah bahwa apa yang akan
membawa tindakan yang tidak halal adalah juga tidak halal. Karenanya, pornogarfi adalah
tidak halal dan juga tidak bermoral karena dapat membawa kepada perzinaan.
Dalam memetakan perilaku etis seseorang, sangatlah penting bagi kaum muslim baik
untuk menghindari hal-hal yang tidak halal dan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak
halal menjadi sesuatu yang halal. Allah SWT berfirman:
Katakanlah: Terangkanlah kepadaku mengenai rezeki yang diturunkan Allah SWT
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagaian halal. Katakanlah: Apakah
Allah SWT telah memberikan izin kepadamu mengenai hal ini ataukah kamu mengadaadakan saja terhadap Allah SWT QS. Yunus (10);59.
Hal yang sebaliknya juga berlaku sama. Kaum muslim tidak boleh mengharamkan
apa yang menurut Allah SWT halal. Sebagai contoh, kerbau barangkali merupakan spesies
yang mulai langka. Seseorang mungkin akan berhenti memburunya agar spesies ini
berkembang kembali, namun ia tidak dapat menyatakan bahwa memakan daging kerbau atau
memperdagangkan kulit kerbau adalah dilarang.

TABEL

Prinsip-prinsip Islam mengenai Halal dan Haram


1. Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
2. Untuk membuat absah dan melarang adalah hak Allah semata.
3. Melarang yang Halal dan membolehkan yang Haram sama dengan syirik.
4. Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
5. Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang Haram adalah yang
dilarang.
6. Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
7. Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
8. Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
9. Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
10. Yang haram terlarang bagi siapapun.
11. Keharusan menentukan adanya pengecualian.

2. ETIKA BISNIS DALAM ISLAM


Dengan memperhatikan asas dan etika bisnis Islam ini seseorang akan terhindar dari
berbagai praktek bisnis yang yang dilarang oleh agama, serta dapat menjadikan usaha yang
dijalankannya bernilai ibadah di hadapan Allah swt. Dalam etika bisnis Islam ini mencakup
berbagai macam larangan yang harus dihindari sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Adapun larangan-larangan berbisnis dalam Islam tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kesamaran (Jahalah)
Kesamaran atau ketidakjelasan (jahalah) merupakan salah satu bentuk larangan yang
harus dihindari dalam berusaha, terlebih lagi dalam urusan berbisnis. Dalam percakapan
umum, istilah jahalah semakna dengan ungkapan tidak transparan atau membeli kucing
dalam karung, yang mengisyaratkan tentang perlunya transparansi dalam melakukan segala
bentuk transasksi muamalah.
Dalam praktek jual beli misalnya, orang yang terbebas dari unsur jahalah adalah orang
yang melakukan transaksi jual beli dengan transparan dan akuntable, baik menyangkut jenis
barang, jumlah atau ukuran, kehalalan dan keharamannya, masa kadaluarsa dan lain
sebagainya, sehingga dalam praktek bisnis yang dijalankannya tidak ada pihak yang merasa
tertipu dan dirugikan.
Dalam banyak hadis, Rasulullah saw menjelaskan tentang pentingnya persoalan ini,
antara lain dalam hadis berikut:







Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli muhaqalah (yaitu;
jual beli buah yang masih di atas pohonnya),dan muhadharah (jual beli buah yang belum
matang/masih hijau dan belum jelas kualitasnya), jual beli raba (yaitu; jual beli dengan

tidak mengetahui ukuran, jenis dan kualitas barang), jual beli lempar dan jual beli
muzabanah. (HR. Al-Bukhari)
Esensi yang terkandung dalam hadis tersebut terkait dengan berbagai bentuk usaha
yang dijalankan secara tidak transparan dan penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja praktekpraktek bisnis atau berusaha semacam itu tidak hanya terjadi pada kurun waktu tertentu saja,
namun hal tersebut dapat ditemukan di setiap kurun dan generasi. Salah satu jenis praktek
jual beli yang banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini dan memiliki banyak kesamaan
dengan praktek jual beli terlarang sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah jual beli
dengan sistem ijon.
Jual beli ijon yang dimaksudkan di sini adalah jual-beli buah-buahan (seperti padi dan
lainnya) yang masih hijau atau masih di atas pohonnya. Prakteknya, seorang pembeli
membayar padi atau buah-buahan yang masih di atas pohonnya tersebut secara kontan jauh
sebelum musim panen tiba, tanpa mengetahui secara pasti kuantitas dan kualitas barang yang
akan didapatkannya nanti. Praktek jual beli seperti ini tentu akan membuka peluang
terjadinya kerugian yang bisa menimpa salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
Praktek jual beli semacam ini bisa terjadi karena masing-masing pihak baik penjual
maupun pembeli memiliki strategi dan tujuan tertentu. Bagi pihak penjual (buah yang masih
di atas pohon) mau melepas dengan harga tertentu karena ia memprediksi bahwa volume
barang sesuai dengan harga yang ditetapkan atau bahkan keuntungan yang akan didapatkan
jauh melebihi volume barang yang dijualnya. Sedangkan pihak pembeli rela membeli dengan
harga tertentu, karena ia memprediksi bahwa barang yang akan didapatkan di musim panen
nanti melebihi harga yang telah ditentukan jauh sebelumnya. Maka jika prediksi yang telah
mendorong kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan, niscaya akan melahirkan kekecewaan (gelo) dan bahkan penyesalan yang
sangat mendalam atau bahkan terjadi percekcokan di antara kedua belah pihak.
Oleh sebab itu, dalam hadis lain Nabi saw. ditegaskan;
:


Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw datang ke Madinah, sementara mereka sudah
biasa melaksanakan akad salam terhadap buah-buahan untuk waktu satu tahun dan dua
tahun. Beliau bersabda: Barangsiapa melakukan akad salam, hendaklah dilakukan dengan
takaran tertentu, timbangan tertentu dalam jangka waktu tertentu. (HR. Muslim)
b) Perjudian (Maisir)
Salah satu motivasi seseorang melakukan praktek perjudian adalah untuk
mendapatkan penghasilan sekalipun dengan cara yang diharamkan. Dalam
perkembangannya, praktek perjudian (maisir) tidak lagi sekedar praktek penyimpangan yang
berdiri sendiri dan tidak terkait dengan aspek muamalah lainnya. Namun saat ini praktek
perjudian (maisir) justru dapat dijumpai dalam beberapa bentuk muamalah seperti jual-beli
dan lainnya.

Salah satu contoh praktek jual beli yang mengandung unsur maisir (perjudian) adalah;
jual beli minuman botol (seperti; sprite/coca cola dan lainnya) dengan cara (media) gelang
yang terbuat dari plastik atau rotan, untuk disewakan atau dijual dengan harga tertentu. Lalu
gelang-gelang tersebut dilemparkan ke arah botol-botol minuman yang dijajakan secara
berbaris. Jika gelang tersebut masuk (melingkari) botol, maka minuman tersebut menjadi hak
pembeli, tetapi jika tidak ada yang masuk maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa
sekalipun gelang yang dibeli jauh melampui harga minuman yang disediakan. Praktek
semacam ini banyak ditemukan di pasar-pasar tradisional hingga mal-mal besar dengan teknis
yang beraneka ragam.
Sebagaimana perjudian (maisir) pada umumnya, orang yang sudah terlanjur
mengeluarkan uang untuk mendapatkan sesuatu barang, ia akan semakin terobsesi untuk
mendapatkan barang yang menjadi targetnya. Jika ia belum berhasil, ia akan semakin
penasaran hingga barang yang diincar bisa didapatkan, sekalipun ia harus mengeluarkan
biaya yang banyak bahkan melebihi harga barang yang menjadi targetnya. Begitu pula jika
dengan kelihaiannya ia berhasil mendapatkan suatu barang, maka ia akan terobsesi untuk
mendapatkan barang yang lebih banyak dengan biaya yang relatif sedikit.
Keharaman segala bentuk perjudian (maisir) ini banyak dijelaskan dalam ayat alQuran maupun hadis Nabi SAW., antara lain:
90 : .

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntunga. (QS. al-Maidah: 90)



Dari Abdullah bin Amru, bahwasanya Nabi saw melarang (meminum) khamar, perjudian,
menjual barang dengan alat dadu atau sejenisnya (jika gambar atau pilihannya keluar maka
ia yang berhak membeli) dan minuman keras yang terbuat dari biji-bijian (biji
gandum). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

c) Penindasan (Az-Zhulmu)
Kezaliman merupakan tindakan melampui batas yang sering terjadi dan digunakan
oleh seseorang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tindakan dengan
melakukan kezaliman untuk mendapatkan keuntungan ini sering juga disebut dengan
Machiavellian yaitu sikap menghalalkan segala cara asal tujuan bisa tercapai (al-ghayah
tubalighul washilah).
Kezaliman (penindasan) merupakan salah satu hal yang sangat dimurkai dan
diharamkan dalam Islam. Bahkan kezaliman kepada orang lain tidak akan diampuni oleh
Allah sehingga orang tersebut meminta maaf kepada orang yang dizaliminya. Kezaliman juga

dapat menjadi faktor penyebab seseorang mengalami kerugian besar (muflis) pada hari
kiamat. Karena semua kebaikan dan pahala yang diperolehnya di dunia habis untuk
membayar setiap kezaliman yang pernah dilakukannya saat ia hidup di dunia. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis Nabi saw;








Dari Abi Hurairah ra berkata; bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kamu
sekalian apakah yang dimaksud orang yang merugi itu? Para sahabat menjawab: orang
yang merugi di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki uang (dirham) dan harta
benda. Lalu Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang yang merugi dari umatku adalah
orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa, zakat,
(namun ia juga) datang pada hari kiamat dengan (membawa dosa karena) telah mencaci
orang lain, menuduh orang lain (berzina), memakan harta orang lain (secara bathil),
membunuh orang lain, memukul (menyiksa/menzalimi) orang lain, lalu diambillah
kebaikan-kebaikan (pahala) nya untuk membayar semua kesalahan-kesalahannya itu. Jika
kebaikan (pahala) nya sudah habis sebelum selesai menebus semua kesalahannya, maka
diberikanlah dosa-dosa dari orang-orang yang pernah disakiti/dizaliminya, lalu dibebankan
atasnya kemudian ia dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Larangan untuk melakukan kezaliman (penindasan) dapat diujumpai dalam banyak
ayat al-Quran maupun hadis Nabi saw antara lain:
279 : .


Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. alBaqarah: 279)



.
Dari Abi Dzar ra., dari Nabi saw. berupa sesuatu yang telah beliau riwayatkan (dapatkan)
dari Allah tabarakata wa taala, bahwasanya Allah berfirman; wahai hamba-hamba-Ku,
sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman
itu di antara kamu sekalian (sebagai) sesuatu yang diharamkan, maka janganlah kamu
sekalian saling menzalimi. (HR. Muslim)
Adapun contoh-contoh kezaliman yang seringkali terjadi dalam bidang muamalah
antara lain; melakukan penipuan, penimbunan barang sehingga menyebabkan kelangkaan
barang dan melonjaknya harga barang di pasaran (ihtikar), pemaksaan, pencurian,
perampokan dan lain sebagainya. Termasuk di antaranya salah satu bentuk bisnis yang
banyak digandrungi oleh sebagian orang, yaitu Multi Level Marketing (MLM), sekalipun
tidak semua bentuk MLM memiliki unsur maisir, kezaliman dangharar (penipuan atau

manipulasi). Namun pada umumnya MLM sarat dengan money game, dan tidak murni
sebagai praktek jual beli yang syari.

d) Mengandung Unsur Riba


Riba merupakan salah satu rintangan sekaligus tantangan yang seringkali
menggiurkan banyak orang untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu dalam banyak ayat dan
hadis Nabi saw. persoalan riba ini memperoleh perhatian yang sangat serius dan dijelaskan
dengan sangat rinci. Diharamkannya riba dalam Islam tentu memiliki banyak hikmah baik
bagi diri sendiri maupun orang lain, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Beberapa ayat dan hadis di bawah ini sangat cukup memberikan gambaran kepada kita
tentang maksud, tujuan dan hikmah diharamkannya riba dalam Islam.


275 :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba (QS.al-Baqarah: 275)
Bahkan Rasulullah SAW memasukkan persoalan riba ini sebagai salah satu dari tujuh
hal yang membinasakan, sebagaimana sabda beliau:









Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. bersabda: Jauhilah oleh kamu sekalian tujuh hal
yang membinasakan, (para sahabat bertanya) wahai Rasulullah apakah tujuh hal yang
membinasakan itu ? Rasulullah saw bersabda: menyekutukan Allah, sihir, membunuh nyawa
(seseorang) yang diharamkan kecuali karena kebenaran, memakan riba, memakan harta
anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita terhormat lagi beriman melakukan
zina. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

e) Unsur Membahayakan (adh-Dharar)


Perintah maupun larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat prinsip dan
mendasar guna menjaga lima kebutuhan mendasar manusia. Kelima kebutuhan pokok
manusia (dlaruriyat) ini lebih dikenal dengan maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum
Islam), yaitu: Menjaga nyawa (hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul Aql), menjaga harta
(hifzhul mal), menjaga keturunan (hifzhun Nasl), dan menjaga agama (hifzhud din).

Maka barometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha, bisnis atau
segala usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar),
tentu mengacu kepada maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam ) di atas.
Adapun ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi saw.yang menjelaskan tentang persoalan ini
antara lain:



29 :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta di antara kamu
sekalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah maha penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa/4: 29)



Dari Ubadah bin shamit r.a.; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh
membuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan. (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah)

f) Penipuan atau Kecurangan (al-Gharar)


Menurut bahasa, al-gharar berarti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan
(al-jahalah). Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu
yang tidak jelas hasilnya (majhul al-aqibah). Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa semua
praktik jual-beli, seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buahbuahan sebelum tampak buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah
jual-beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian.
Di dalam syariat Islam, jual-beli gharar termasuk salah satu bentuk jual-beli yang
terlarang. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
:
Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan lempar
kerikil dan jual-beli gharar (spekulasi). [HR. Muslim]
Sekalipun telah dilarang, tetapi praktik jual-beli gharar masih dapat ditemukan di
tengah-tengah masyarakat. Pertama, seorang penjual menjajakan berbagai bentuk barang
dagangan dengan variasi harga dan menyediakan batu kerikil, atau gelang yang terbuat dari
rotan atau sejenisnya. Kemudian, seorang pembeli melemparkan kerikil atau gelang tersebut
ke arah barang yang diinginkannya. Apabila kerikil yang dilempar mengenai salah satu
barang atau gelang tersebut masuk pada barang yang diinginkannya, maka secara otomatis
barang tersebut menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika kerikil tersebut tidak mengenai atau
gelang yang dilempar tidak masuk pada barang yang diinginkan, maka pembeli tidak
mendapatkan apa-apa, sekalipun harga barang sudah diserahkan kepada penjual. Kedua,

menjual tanah atau pekarangan dengan harga tertentu sejauh batas lemparan pembeli. Apabila
lemparannya jauh, maka pekarangan yang akan didapatkannya pun luas, dan begitu pula
sebaliknya. Ketiga, jual-beli barang yang belum ada atau belum jelas (madum), seperti
misalnya jual-beli janin binatang yang masih dalam rahim induknya (habal al habalah).
Dalam syariat Islam, larangan jual-beli gharar tentu memiliki banyak hikmah. Di
antara hikmah tersebut adalah agar seseorang tidak memakan harta orang lain secara batil. Di
dalam Islam, memakan harta orang lain secara batil termasuk perbuatan yang dilarang agama.
Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT:
188:

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Q.s. al-Baqarah: 188].
Larangan memakan harta orang lain secara batil juga dikuatkan dengan pengharaman
perbuatan judi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
90:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan [Q.s. alMaaidah: 90]

g) Penyalahgunaan Hak (atTaassuf )


Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (taassuf fi istimalil haqq) berarti
penggunaan hak secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan pelanggaran hak dan
kerugian terhadap kepentingan orang lain maupun masyarakat umum. Jika difahami secara
mendalam, adanya larangan penyalahgunaan hak (at-taassuf) ini tidak lepas dari
pembicaraan tentang hakikat kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan
harta benda tidak bersifat absolut sebagaimana dianut oleh faham kapitalis, dan juga tidak
membenarkan kepemilikan serba negara seperti dianut oleh faham sosialis.
Islam mengakui hak individu sebagai amanah Allah SWT, dan dalam saat yang sama
juga mengakui bahwa di dalam kepemilikan individu terdapat hak orang lain (fakir miskin).
Terkait dengan masalah kepemilikan, Islam mengatur tentang dua hal sekaligus, yaitu dari
mana sumbernya (halal atau haram) dan untuk apa pendistribusian atau penggunaannya. Oleh
sebab itu, sekalipun harta benda merupakan milik seseorang, namun tidak berarti ia dengan
leluasa menggunakannya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemudharatan
yang mungkin akan dialami oleh masyarakat luas. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:


Dari Ubadah bin Shamit, bahwasanya Rasulullah SAW menetapkan tidak boleh berbuat
kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan [HR. Ahmad dan Ibnu
Majah].
Di antara beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan
hak (taassuf) adalah: pertama, penggunaan hak yang dapat mengakibatkan pelanggaran hak
orang lain. Islam tidak membenarkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggapnya
sebagai hak asasi dengan mengabaikan dan melanggar hak asasi orang lain. Dalam ungkapan
para ulama disebutkan haqqul mari mahjbun bihaqqi ghairihi (hak seseorang dibatasi
oleh hak orang lain. Kedua, penggunaan hak untuk kemaslahatan pribadi tetapi dapat
mengakibatkan madharat yang besar terhadap pihak lain serta tidak sesuai tempatnya atau
bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Ketiga, penggunaan hak secara ceroboh
dan tidak hati-hati.

h) Monopoli dan Konglomerasi (Ihtikar)


Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Sedangkan
menurut istilah, para ulama telah mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin
Ali as-Syaukani mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang
dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang
dagangan oleh penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut.
Sedangkan, ulama madzhab Maliki menyatakan bahwaihtikar adalah penyimpanan barang
oleh produsen, baik makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa ihtikar adalah penimbunan barang dalam jumlah banyak yang menyebabkan
kelangkaan dan harganya melonjak naik, sehingga mengakibatkan harga pasar menjadi rusak
serta kebutuhan konsumen terganggu. Imam as-Syaukani dalam kitab Nailul Authaar V/338
menjelaskan bahwa penimbunan (ihtikar) yang diharamkan Islam adalah sebagai
berikut: pertama, menimbun barang kebutuhan manusia dengan tujuan menaikkan harga di
pasaran. Kedua, memborong barang kebutuhan pokok dengan cara memonopoli dan
menimbunnya sehingga terjadi kelangkaan dan memunculkan kemudharatan bagi banyak
orang.
Dengan demikian, stok barang yang sengaja disimpan di gudang dalam jumlah
terbatas sebagaimana dilakukan oleh para pemilik toko, mini market dan swalayan pada
umumnya, tentu tidak termasuk kategori penimbunan (ihtikar). Sebab tindakan tersebut
hanya dijadikan sebagai persediaan, sehingga tidak sampai mengakibatkan kelangkaan
barang dan merusak harga pasar. Hal ini sesuai dengan spirit yang terkandung dalam firman
Allah SWT dan sabda Rasulullah sebagai berikut:




7 : .
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-

orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang dibawa Rasul
kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya [Qs. al-Hasyr:
7].


: :
.
Dari Yahya beliau adalah ibn Said, ia berkata: Bahwa Said ibn Musayyab memberitakan
bahwa Mamar berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang menimbun barang,
maka ia berdosa [HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud]

i) Obyek Bisnis Bukan Sesuatu yang Haram


Islam tidak menganut paham serba boleh, sebagaimana yang diyakini oleh kaum
sekuler. Islam tidak pula menganut faham yang serba tidak boleh (haram) sebagaimana
keyakinan segelintir orang. Namun, dalam syariat Islam diatur regulasi tentang persoalan
yang halal dan haram. Kehalalan sesuatu bisa disebabkan oleh zat barang itu sendiri yang
dihukumi haram, atau karena cara memperolehnya yang dilarang oleh agama. Karena itu,
faham Machiavellian, yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, sebagaimana
dilakukan sebagian orang dalam memperoleh keuntungan materi, merupakan faham yang
sangat menyimpang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu, salah satu etika bisnis dalam Islam yang harus diperhatikan dan
dipraktikkan oleh setiap muslim adalah menghindari segala sesuatu yang diharamkan
sekalipun hal tersebut menguntungkan secara finansial. Setiap muslim dilarang memperjualbelikan barang yang diharamkan oleh agama, seperti menjual daging babi, minuman keras,
dan narkotika. Selain itu, setiap muslim juga haram memakan hasil penjualan barang-barang
tersebut. Dalam haditsnya, Rasulullah SAW menjelaskan beberapa contoh barang yang haram
untuk diperjualbelikan:





.

.
Dari jabir Ibn Abdullah r.a. Ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu tahun
kemenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada
beliau: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia
dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orangorang untuk penerangan. Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau
bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan
lemaknya, mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan makan hasil
penjualannya [HR. al-Jamaah].

.
Artinya: Dari Ibnu Abbas Nabi SAW bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi,
karena telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya
dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu
kaum memakan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya [HR. Ahmad dan Abu
Dawud].

j) Tidak Boleh Mubazzir


Salah satu persoalan yang sangat dimurkai oleh agama adalah sikap berlebihan dalam
menggunakan sesuatu hingga melampui batas yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Dalam
terminologi agama, persoalan itu disebut tabzir atau mubazzir. Bahkan orang yang
melakukan tindakan mubazzir dianggap sebagai saudaranya setan. Penyerupaan manusia
yang melakukan tindakanmubazzir sebagai saudara setan tentu memiliki makna penghinaan
dan larangan yang sangat keras. Karena itulah, setiap muslim harus menghindari tindakan
tersebut. Allah SWT menjelaskan:
.
27-26 : .
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. [Qs. al-Israa: 26-27].
Salah satu makna dan tindakan tabzir dalam perilaku bisnis adalah menimbun
kekayaan dan keuntungan secara berlebihan (dengan tidak wajar), sehingga ia hidup dalam
bergelimang harta namun keluarga dekat, tetangga dan orang yang seharusnya mendapatkan
santunannya diabaikan dan hidup dalam kekurangan. Sikap semacam ini, di samping
merupakan tindakan berlebihan (tabzir), juga merupakan tindakan zalim, rakus, pelit, kufur
nikmat dan beberapa bentuk perilaku (akhlak) yang dilarang oleh agama. Wallahu Alam bis
Shawab.

Das könnte Ihnen auch gefallen