Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
dialami
al-Hallaj.
Berdasarkan
keputusan
seorang
hakim
Enam
kali
persoalan
putusan
tersebut
semantik,
filsafat
berasal
dari
bahasa
Yunani
berarti
kebijaksanaan)
cinta;
yang
dan
sophia
dalam
yang
bahasa
berarti
Inggris
kearifan
atau
philosophy.
Jadi
oleh
karena
itu
berusaha
ingin
mencapai
sesuatu
yang
Philein dalam arti cinta dan sophos dalam arti hikmat (wisdom).
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa
mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata
Arab, yaitu falsafa dengan pola falala dan filal. Dengan demikian
kata benda dari kata kerja falsafa seharusnyalah falsafah dan filsaf.
Dalam bahasa Indonesia banyak dipakai kata filsafat. Dan ini,
lanjut Harun Nasution, kelihatannya bukan berasal dari kata Arab
falsafah dan bukan pula dari kata Barat philosophi. Mungkin fil diambil
dari kata Barat dan safah dari kata Arab, sehingga terjadilah
gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.
Adapun pengertian filsafat secara terminologis seperti
dirumuskan oleh beberapa pemikirberikut ini:
Fuad Hasan mendefinisikan filsafat sebagai ikhtiar manusia untuk
memahami berbagai manifestasi kenyataan melalui upaya berfikir
sistematis (systema = keteraturan, tatanan, saling keterkaitan), kritis
(kritikos = kemampuan menilai; kritein = memilah-milah), dan radikal (radix
= akar). Dengan kata lain: filsafat ditandai oleh proses berfikir yang teratur
sambil menilai sesuatu hal secara mendasar. 8
ilmu
istimewa
yang
mencoba
menjawab
konsep
dan
pernyataan
dapat
disebut
sebagai
ilmiah,
bagaimana
konsep
tersebut
dilahirkan,
bagaimana
ilmu
dapat
memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu
obyek materia yang untuk selama-lamanya tidak empiris. 15 Hal itu
13 Suwardi Endraswara, Op. Cit. h. 31.
14 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet. Ke-6, 1990, h. 19.
15 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet . XII 2003, h. 21.
berarti bahwa filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam
semesta mulai dari mineral (benda mati), benda hidup (vegetativa,
animalia, dan manusia), dan causaprima (sang Pencipta). Selanjutnya
obyek ini sering disebut pula sebagai realitas atau kenyataan (the
reality).16
Sementara itu, Tri Astutik Haryati menyebutkan ada perbedaan
lain antara filsafat dan ilmu. Kalau ilmu-ilmu lain membatasi
pembahasannya pada alam yang dapat diamati (empiris), menyelidiki
obyeknya dengan pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.
Maka filsafat menggunakan pertanyaan apa itu, dari mana, dan
ke mana. Sehingga yang hendak dicari dalam filsafat bukan sebab
dan akibat dari suatu masalahseperti yang diselidiki oleh ilmutapi
apa hakekat yang sebenarnya dari sesuatu itu, dari mana asalnya,
dan ke mana tujuannya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa
pertanyaan dalam filsafat menyangkut persoalan kenyataan sebagai
kenyataan, dan hal ini perlu dibedakan antara yang nampak
(appearance) dengan kenyataan (reality). Inilah yang membedakan
filsafat dengan ilmu-ilmu lain.17
Sedangkan yang dimaksud obyek forma filsafat adalah sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan oleh filsafat dalam
mengkaji obyek materia. Obyek forma dari filsafat adalah berpikr
radikal, bebas, dan berada dalam dataran makna untuk mencari
hakekat segala sesuatu yang terdapat dalam obyek materia (yaitu
alam, manusia, dan Tuhan).
Jadi sudut pandang filsafat tidak terbatas pada salah satu
perspektif saja melainkan menyeluruh dan terbuka bagi sudut
pandang lain sebanyak-banyaknya untuk dapat mencakup wawasan
yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya, sehingga hakekat dan
16 Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz,
2004, h. 114.
17 Tri Astutik Haryati, Manusia Perspektif Soren Kierkegaard dan
Muhammad Iqbal, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012, h. 22.
disiplin
ilmu.
Jadi
obyek
material
filsafat
ilmu
adalah
dengan
metode
ilmiah
tertentu,
sehingga
dapat
Ontologi
berarti being, dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah the
theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Atau bisa juga disebut ontologi sebagai ilmu tentang
yang ada. Yang dimaksud ada adalah dari dan akan ke mana ada
itu. Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Dua pengertian
ini merambah ke dunia hakikat sebuah ilmu. Ontologi membahas
masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal-muasalnya. Ilmu
itu ada yang nampak dan ada yang tidak nampak. Dengan berfikir
ontologi, manusia akan memahami tentang eksistensi sebuah ilmu.22
Sementara itu dalam studi ilmu-ilmu keislaman terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu ilmu qauliyah, seperti syaria, Ushul al-din dan
dakwah atau tarbiyah; serta kelompok ilmu kauniya, yang obyeknya
adalah alam semesta dan manusia. Kelompok yang kedua ini kurang
diperkenalkan dalam studi ilmu-ilmu keislaman.23
Karena filsafat ilmu memiliki obyek berupa kebenaran dalam
semua disiplin ilmu, maka ilmu-ilmu keislaman tersebut akan menjadi
obyek kajian ontologis filsafat Ilmu.
b. Epistemologi
Menurut Jacques Veuger, sebagaimana yang dikutip oleh
Suparman Syukur, di antara gejala-gejala eksistensi manusia yang
dialami,satu hal yang amat menyolok mata dan amat penting ialah
pengetahuan.
Sebab
ia
merefleksikan
eksistensinya
secara
22 Ibid, h. 98
23 Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007, h. 204
Cabang
ini
berusaha
menemukan
jawaban
atas
pertanyaan bagaimana ada itu berada. Proses ada itu dari sisi ilmu
pengetahuan tentu mengkuti prinsip-prinsip teoritik yang jelas.25
Dengan kata lain
meneliti
asal-usul,
asumsi
memperoleh
pengetahuan
menentukan
sebuah
model
dasar,
sifat-sifat
menjadi
filsafat.
penentu
Dengan
dan
bagaimana
penting
dalam
pengertian
ini
adalah
rasionalisme,
empirisme,
positivisme
dan
menurutnya
dapat
dipastikan
oleh
manusia
adalah
berarti
aliran
rasionalisme
ini
indera
diperlukan
untuk
merangsang
akal
dan
inderawi.
Epirisme memilih
pengalaman
sebagai
pengalaman
lahiriah
yang
menyangkut
dunia
maupun
bila
rasionalisme
pendirian
yang
dan
sangat
empirisme
berlainan
masing-masing
tentang
sifat
sejati
berasal
dari
rasio,
sehingga
pengenalan
inderawi
berpendapat
bahwa
pengetahuan
berasal
dari
adalah
awal
segala
pengetahuan,
juga
awal
adalah
filsafat
yang
menyatakan
bahwa
dihindari oleh para positivis. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
filsafat ini berkembangdi Eropa dan Amerika. Pandangan positivisme
ini dipegang oleh para teknokrat yang menggantikan sejarah
pemikiran metafisika dengan metode ilmiah.39
Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah dikeahui, yang
faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa
yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Apa yang
diketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala gejala.40
Tokoh aliran ini adalah Auguste Comte (1798-1857). Gagasan
pokok positivisme Comte ialah menerima ilmu pengetahuan positif
sebagai titik tolak kefilsafatan, dan menolak pengalaman batiniah
sebagai titik tolak atau sumber pengetahuan.41
Comte membagi perkembangan pemikiran manusia menjadi
tiga tahap, yaitu teologis, metafisik dan positif-ilmiah. Pada tahap
pertama
manusia
memahami
gejala-gejala
alam
sebagai
hasil
didukung
bukti
empiris
yang
terukur.
Terukur
itulah
sumbangan positivisme.
Jadi pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang
berdiri
sendiri.
rasionalisme
Ia
yang
hanya
menyempurnakan
bekerja
sama.
Dengan
empirisme
kata
lain,
dan
ia
berkembang
dengan
cepat,
yang
mengakibatkan
terdiri
dari
banyak
bagian,
yang
masing-masing
menempati
karena
keharusan,
seperti
umpamanya:
ginjal
harus
oleh
akal.
Itu
tidak
sama
dengan
pengetahuan
berpendapat
(analysis)
bahwa
kenyataan
penalaran
sehingga
lebih
cenderung
berakibat
pemilahan
tersendiri,
keindahannya.
maka
Keindahan
fragmentasinya
yang
tampil
sekaligus
melalui
meniadakan
bunga
sebagai
kenyataan yang utuh itu hanya dapat ditangkap secara langsung oleh
intuisi, karena intuisi tidak mengurai dan memilah-milah, melainkan
menangkap secara keseluruhan. Berbeda dengan penalaran yang
bersifat mengraikan kenyataan, intuisi cenderung secara langsung
menangkap kenyataan dalam keutuhannya.48
Demikialah
sekilas
pembahasan
tentang
Epistemologi.
kita
bisa
memahami
epitemologi
ilmu-ilmu
keislama.
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan,
rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap
institusi terwujud.
Nilai sebuah ilmu berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu
bagi kehidupan manusia akan mengantarkan hidup semakin tahu
tentang resep-resep kehidupan. Pengetahuan itu diharapkan memiliki
aspek tepat guna bagi pemiliknya. Aksiologi memberikan jawaban
untuk
apa
pengetahuan
yang
berupa
ilmu
itu
dipergunakan.
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidahkaidah nilai. Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
nilai.49
Aksiologi ini penting karena pada kenyataannya tidak semua
orang yang memiliki penalaran tinggi selalu diikuti dengan perilaku
yang baik. Bahkan sebaliknya, semakin tinggi penalaran orang,
kadang semakin tinggi pula kemampuannya untuk membenarkan
yang salah dan menyalahkan yang benar.
Kenyataan
yang
tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
peradaban
kemudahan
dalam
bidang-bidang
seperti
kesehatan,
sebaliknya,
ilmu
justru
membawa
kesengsaraan.
49 Suwardi Endraswara, Op. Cit. h. 146
malapetaka
dan
dan
cara
memperbudak
massa.
Di
pihak
lain,
50
DAFTAR PUSTAKA
50 Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit. h. 231.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet . XII 2003.
Yuana, Kumara Ari, The Greatest Philosophers, Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2010.
Zuhri, Amat dalam Ilmu Tasawuf, Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press, 2005