Sie sind auf Seite 1von 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan
anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang
dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa
diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain itu bahasa
dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa
juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural
atau pantomim.(1)
Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara
adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua
kepada dokter. Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat.(1)
Laki-laki diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa hampir
dua kali lebih banyak daripada wanita. Menurut penelitian anak dengan
riwayat sosial ekonomi yang lemah memiliki insiden gangguan bicara dan
bahasa yang lebih tinggi daripada anak dengan riwayat sosial ekonomi
menengah ke atas.(2)

Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara,


bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah.
Prevalensi keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara pada anak usia 2
sampai 4,5 tahun adalah 5-8%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2,319%. Sebagian besar studi melaporkan prevalensi dari 40% sampai 60%.(2)
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum
pernah diteliti secara luas. Kendalanya dalam menentukan kriteria
keterlambatan perkembangan berbahasa. Data di Departemen Rehabilitasi
Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat
10,13% anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa. Penelitian
Wahjuni tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan
prevalensi keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia
bawah tiga tahun.(2)

B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui fisiologi bicara, fisiologi pendengaran, etiologi,
pemeriksaan penunjang dan deteksi dini delayed speech.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. A

Usia

: 4 tahun

Berat Badan

: 16 kg

Tinggi Badan

: 103 cm

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Karangsembung 01/04, Kab. Cirebon

Tanggal Pemeriksaan

: 10 Oktober 2016

II.

ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap orang tua pasien

saat kontrol di Poli THT RSUD Waled


A. Keluhan Utama
Belum bisa bicara
B.

Riwayat Penyakit Sekarang


Orang tua pasien datang ke poli THT RSUD Waled karena anaknya
yang sudah berusia 4 tahun, belum bisa bicara dengan lancar. Menurut
orangtuanya, kemampuan berbicara pasien dirasa lebih lambat dibandingkan
dengan anak seusianya. Di usia 4 tahun ini pasien baru bisa mengoceh dan
mengucapkan satu sampai dua kata saja, seperti mama, papa, makan,
dan kata-kata lain yang tidak spesifik. Pasien belum bisa mengkombinasikan

kata kata dan belum bisa menirukan bunyi kata-kata. Pasien belum bisa
mengenal nama dirinya sendiri, sulit menyebutkan nama-nama benda, dan
sulit mengungkapkan keinginannya.
Selain sulit berbicara, orangtua pasien juga mengeluhkan saat
dipanggil, pasien jarang menoleh, hanya menoleh ketika disentuh saja. Saat
ada suara keras seperti petir, pasien juga jarang menunjukkan respon apapun.
Pasien juga dirasakan jarang memahami perintah sederhana yang diberikan
kedua orang tuanya. Pasien tidak pernah mengeluhkan nyeri telinga, keluar
cairan dari telinga disangkal, riwayat trauma pada telinga disangkal, riwayat
benda asing pada telinga juga disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang

: disangkal

Riwayat alergi obat / makanan

: disangkal

Riwayat sesak napas

: (+)

Riwayat dirawat di RS

: pasien pernah dirawat di RS satu


kali dengan keluhan sesak napas
1 tahun yang lalu

Riwayat trauma dan jatuh

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa

: saudara

kembar

pasien

mengalami keluhan serupa.


Riwayat kelainan bawaan

disangkal

Riwayat alergi obat / makanan

: disangkal

Riwayat kejang pada keluarga

: disangkal

E. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Faringitis

(-)

Morbili

(-)

Pertusis

(-)

Difteri

(-)

Varicella

(-)

Polio

(-)

Cacingan

(-)

Gegar otak

(-)

Fraktur

(-)

F. Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di rumah bersama kedua orangtuanya, satu orang
kakaknya, dan satu saudara kembar. Menurut pengakuan orang tua pasien,
kakaknya tidak mengalami keterlambatan bicara ataupun mengalami
gangguan pendengaran. Orang tua pasien sering mengajak anaknya bicara,
bermain bersama anak, dan mengajarkan anaknya berbicara. Ayah pasien
bekerja sebagai buruh pabrik, penghasilan <2.000.000 per bulan. Orang tua
pasien memeriksakan pasien dengan BPJS.
G. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal
Ibu pasien hamil dalam usia 30 tahun dan merupakan kehamilan yang
ke-2. Pasien memeriksakan kehamilannya secara teratur ke bidan, yaitu
pertama pada umur kehamilan 1 bulan. Pada trimester pertama dan kedua 1
kali sebulan. Pada trimester ketiga, periksa ke bidan setiap 2 minggu sekali.
Ibu mendapatkan asupan Fe dan nutrisi yang cukup selama kehamilan. Tidak
didapatkan adanya keluhan selama kehamilan. Riwayat sakit berat, konsumsi
obat-obatan, atau trauma saat kehamilan juga disangkal.
H. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir di RSUD Waled dengan section caesarea atas indikasi
gemelli dengan letak lintang, pada usia kehamilan 38 minggu, kedua bayi
langsung menangis segera setelah lahir dan tidak tampak kebiruan. Berat

waktu lahir 2700 gram, panjang badan saat lahir 48 cm. Bayi tidak pernah
dirawat di RS, sakit kuning disangkal, riwayat kejang disangkal.
I. Riwayat Pemeriksaan Post Natal
Rutin ke posyandu tiap bulan untuk timbang dan mendapatkan
imunisasi.
J. Riwayat Imunisasi
Imunisasi
Hep. B

Awal
Usia 1 hari

Ulangan

BCG

Usia 1 bulan

DPT-HB

Usia 2 bulan

Usia 3 dan 4 bulan

Polio

Usia 1 bulan

Usia 2,3 dan 4 bulan

Campak
Usia 9 bulan
Kesimpulan : pasien mendapatkan imunisasi dasar lengkap
K. Genogram

An. A
4 tahun

III.PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan Umum

: baik

Kesadaran

: compos mentis

Status gizi

: kesan gizi cukup

2. Tanda vital
S

: 36,5 oC

: 100 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup.

RR

: 26 x/menit, reguler

3. Kulit : warna kecoklatan, kelembaban baik, turgor baik.


4. Kepala : bentuk mesocephal, sutura sudah menutup, rambut hitam tidak
mudah rontok dan sukar dicabut. Lingkar kepala 45 cm (-2SD < LK < 0 SD,
normocephal)
5. Muka : sembab (-), wajah down syndrome (-), laserasi (-)
6. Mata : cowong (-/-), slanted eyes (-/-), bulu mata hitam lurus tidak rontok,
conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), strabismus (-), xeroftalmia (-),
7. Hidung : deformitas(-), napas cuping hidung (-), deviasi septum (-), hipertrofi
konkha (-), sekret (-)
8. Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+)
9. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 T1, faring hiperemis (-)
10. Telinga : bentuk aurikula dextra et sinistra normal, microtia (-/-), kelainan
MAE (-), serumen (+/-), secret (-/-), MT intak
11. Leher : bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.
12. Limfonodi

kelenjar

limfe

auricular,

submandibuler,

suparaklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.


13. Thorax : bentuk normothorax, retraksi (-), gerakan simetris ka = ki
Cor :

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung kesan tidak melebar

servikalis,

Kiri atas

: SIC II LPSS

Kiri bawah

: SIC IV LPSS

Kanan atas

: SIC II LPSD

Kanan bawah : SIC IV LPSD


Pulmo :

Auskultasi

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: Sonor / Sonor di semua lapang paru

Batas paru-hepar

: SIC V kanan

Batas paru-lambung : SIC VI kiri

14. Abdomen :

Redup relatif di

: SIC V kanan

Redup absolut

: SIC VI kanan (hepar)

Auskultasi

: SD vesikuler (+/+), ST (-/-)

Inspeksi

: dinding dada sejajar dinding perut

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: tympani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien


tidak teraba.

15. Urogenital

: penis (+) ukuran normal, hipospadia/epispadia (-), testis (+)

16. Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik
17. Kuku

: keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)

18. Status Neurologis


N. II

: dalam batas normal

N. III, IV, VI

: dalam batas normal

N. V

: dalam batas normal

N. VII

: dalam batas normal

N. VIII

: dalam batas normal

N. IX, X, XI, XII : dalam batas normal


Refleks Fisiologis : dalam batas normal
Refleks Patologis : (-)
Meningeal Sign

: (-)

B. Status Lokalis
1.

Pemeriksaan telinga

No

Pemeriksaan

Telinga kanan

Telinga kiri

.
1.
2.

Telinga
Tragus
Auricula

Nyeri tekan (-), edema (-)


Nyeri tekan (-), edema (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri

3.

CAE

tarik aurikula (-)


tarik aurikula (-)
Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)

4.

Membran timpani

(-)

Intak. Retraksi (-), bulging (-), Intak. Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi

(-),

edema

(-), hiperemi

perforasi (-), cone of light (+)

(-),

edema

(-),

perforasi (-), cone of light (+)

IV. Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan hidung Dextra

Sinistra

Hidung

Bentuk normal

Bentuk normal

Sekret

V.
Pe
-

Mukosa konka media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Mukosa

konka Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

inferior
Meatus media

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Meatus inferior

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Septum

Deviasi (-)

Deviasi (-)

Massa

(-), polip (-)

(-), polip (-)

meriksaan Tenggorokan
Bibir
Mulut
Geligi
Ginggiva
Lidah

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mukosa mulut basah berwarna merah muda, stomatitis (-)
Warna kuning gading, caries (-), gangren(-), berlubang (-)
Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal,

Uvula
Palatum mole
Faring

luka (-)
Bentuk normal, hiperemis (-), edema (-)
Ulkus (-), hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-), eksudat
(-)

Tonsila palatine
Ukuran
Warna
Permukaan
Kripte
Detritus
Eksudat
Peri Tonsil
Fossa
Tonsillaris

Kanan
T1
Hiperemis (-)
rata
Tidak tampak
(-)
(-)
Abses (-)
hiperemi (-)

Kiri
T1
Hiperemis (-)
rata
Tidak tampak
(-)
(-)
Abses (-)
hiperemi (-)

dan Arkus Faringeus


VI.

Pemeriksaan Maksilofacialis

Bentuk
Edema
Massa
Parese

Kanan
Kiri
Simetris, tidak tampak facies adenoid
(-)
(-)
(-)
(-)
N Kranialis (-)
(-)

VII
Nyeri tekan
Krepitasi

(-)
(-)

(-)
(-)

VII. Pemeriksaan Leher


Deviasi trakhea (-), Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-), Pembesaran
kelenjar parotis (-)

V.

RESUME
Orang tua pasien datang ke poli THT RSUS Waled karena anaknya
yang sudah berusia 4 tahun, belum bisa bicara dengan lancar. Menurut
orangtuanya, kemampuan berbicara pasien dirasa lebih lambat dibandingkan
dengan anak seusianya. Di usia 4 tahun ini pasien baru bisa mengoceh dan
mengucapkan satu sampai dua kata saja, seperti mama, papa, makan,
dan kata-kata lain yang tidak spesifik. Pasien belum bisa mengkombinasikan

kata kata dan belum bisa menirukan bunyi kata-kata. Pasien belum bisa
mengenal nama dirinya sendiri, sulit menyebutkan nama-nama benda, dan
sulit mengungkapkan keinginannya.
Selain sulit berbicara, orangtua pasien juga mengeluhkan saat
dipanggil, pasien jarang menoleh, hanya menoleh ketika disentuh saja. Saat
ada suara keras seperti petir, pasien juga jarang menunjukkan respon apapun.
Pasien juga dirasakan jarang memahami perintah sederhana yang diberikan
kedua orang tuanya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal,
kesan status gizi cukup, ditemukan adanya serumen impacted pada telinga
kanan, tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan status generalis.
VI.

DIAGNOSIS KERJA
Speech delay + serumen impacted AD

VII.

PENATALAKSANAAN

1.

Edukasi orangtua pasien tentang penyakitnya

2.

Fisioterapi wicara

3.

Irigasi telinga kanan untuk membersihkan serumen

VIII. PLANNING
1. Pemeriksaan OAE (Otoacoustic Emissions)
2. Pemeriksaan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry)
3. Konsul Rehabilitasi Medik
4. Konsul Anak
IX.

PROGNOSIS

Ad vitam

: bonam

Ad sanam

: dubia

Ad fungsionam

: dubia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Bicara
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan
anak

untuk

berkomunikasi

dengan

bahasa

oral

(mulut)

yang

membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk


mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan
beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat
khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di
dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta
rongga hidung. (1)
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan
motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba
berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek
motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan
artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara.

Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme


berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan
bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang
mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di
hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat.
Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42
disebut area wernick, merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu
mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan
dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi
visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu
yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah
pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain
melalui serabut asosiasi.

B. Fisiologi Pendengaran
Saat

mendengar

pembicaraan

maka

getaran

udara

yang

ditimbulkan akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian


menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari sini rangsangan
diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian
dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk
pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai
coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII ke area pendengaran

primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban


diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area
motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses
bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh
aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir,
lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan
koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran
sangat penting.(1)
Proses reseptif Proses dekode
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada
batang otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan
rangsang mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh
talamus dan selanjutnya diteruskan ke area korteks auditori pada girus
Heschls, dimana sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini berasal
dari sisi telinga yang berlawanan.(3)
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna
yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke
lobus temporal kiri untuk diproses. Sementara masukan paralinguistik
berupa intonasi, tekanan, irama dan kecepatan masuk ke lobus temporal
kanan. Analisa linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri.

Girus angular dan supramarginal membantu proses integrasi informasi visual,


auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan
dekode fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan
dengan dekode gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan
pemahaman konsep atau ide yang disampaikan lewat pengkodean tersebut.
Proses ekspresif Proses encode
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur
untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan
melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi
verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang
mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini
merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses
enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode
gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini
terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu
pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini
terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode
diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan

bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus


berkembang dengan baik.

C. Etiologi
Penyebab Gangguan Bicara dan Bahasa menurut Blager BF(4)

Penyebab

Efek pada Perkembangan


Bicara

1. Lingkungan
a. Sosial ekonomi kurang

a. Terlambat

b. Tekanan keluarga

b. Gagap

c. Keluarga bisu

c.Terlambat pemerolehan bah


asa

d.Dirumah menggunakan bahasa


d.Terlambat pemerolehan stru
ktur bahasa bilingual

2. Emosi

a.

Terlambat pemerolehan baha


a.
Ibu yang tertekan

sa
b. Terlambat atau gangguan
perkembangan bahasa

b.Gangguan serius pada orang tu


a

c. Terlambat atau gangguan


perkembangan bahasa

c.Gangguan serius pada anak

3. Masalah pendengaran
a.

a.Terlambat atau gangguan bica

Kongenital

ra permanen
b.Terlambat atau gangguan bica
ra permanen

b.Didapat

4.Perkembangan terlambat

a. Perkembangan lambat

a. Terlambat bicara

b.Retardasi mental

b. Pasti terlambat bicara

5. Cacat bawaan
a.Palatoschizis

a.Terlambat dan terganggu kem


ampuan bicara
b.Kemampuan bicaranya lebih r

b.Sindrom Down
endah

6. Kerusakan otak
a.

a.

Kelainan neuromuscular

Mempengaruhi kemampua
n
menghisap, menelan, men

gunyah dan akhirnya timb


ul gangguan
bicara dan artikulasi seper
ti disartria
b.

Kelainan sensorimotor

b.Mempengaruhi kemamp
uan menghisap,menelan,
akhirnya menimbulkan ga
ngguan artikulasi, seperti
dispraksia
c.Berpengaruh pada perna
pasan, makan dan timbul

c.
juga masalah artikulasi ya
Palsi serebral
ng dapat mengakibatkan
disartria dan dispraksia
d.Kesulitan membedakan
suara, mengerti bahasa, si
mbolisaasi, mengenal kon
sep, akhirnya menimbulk
d.Kelainan persepsi

an kesulitan belajar

di sekolah

Dalam literatur lain, disebutkan beberapa penyebab keterlambatan bicara dan


berbahasa yang terlihat pada tabel di bawah ini : (1)

Penyebab

Bahasa
reseptif

Bahasa
ekspresif

Kemampuan
Pola perkembangan
pemecahan
masalah visuomotor

Keterlambatan
fungsional

Normal

Kurang
normal

Normal

Hanya ekspresif yang


terganggu

Gangguan
pendengaran

Kurang
normal

Kurang
normal

normal

Disosiasi

Redartasi mental

Kurang
normal

Kurang
normal

Kurang normal

Keterlambatan global

Gangguan
Kurang
komunikasi sentral normal

Kurang
normal

normal

Disosiasi, deviansi

Kesulitan belajar

normal,
kurang
normal

Normal

normal,
kurang normal

Disosiasi

Autis

Kurang
normal

normal,
Tampaknya
Deviansi, disosiasi
kurang normal normal, normal,
selalu lebih baik
dari bahasa

Mutisme elektif

Normal

Normal

normal,
kurang normal

D. Pemeriksaan Penunjang
a. TES

BERA

(Brainstem

Evoked

Response

Auditory)

atau

ABR

(Auditory Brainstem Response).(5)


Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar)
sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi
yang berbedabeda pada tingkat kekerasan yang berbedabeda pula
responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan

(un-invasive), tidak perlu respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh.
Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi gangguan pendengaran.
b. TES OAE (Oto Acoustic Emission).
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi
terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke
telinga dan menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran
telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif
dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena OME,
OMA

atau

sensorinerual

hearing

loss

(SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.


c. TES TYMPANOMETRI
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang
sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi
(perubahan gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif
dan tidak perlu respon aktif dari pasien.

Biasanya digunakan untuk

mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah jika hasil OAE


menunjukkan respon negatif.
d. TES AUDIOMETRI
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan
pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah : (6)
* audiometri nada murni

* audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada
tidaknya gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan
mendengar nada murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui
sebuah headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi
sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan
diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke
bentuk audiogram. (7)
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone
(direct to ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari
pasien apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun
agak subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit
dilakukan khususnya untuk anak anak.(8)
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien
pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frkwensi yang
berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada
diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan
earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air
bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang
pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.(6)
Untuk anakanak biasanya dilakukan Play Audiometri yaitu uji
pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman

untuk

mendapatkan

hasil

yang

baik.

Biasanya

untuk

menguji

kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan


pendengaran.(8)
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan
mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah

kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau pengeras suara free
field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang dites. Setelah selesai,
persentase berapa kata yang dapat diulang dengan benar dapat diketahui. (7)

e. TES ASSR (Auditory Steady State Response).


Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke
otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni
seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari
pasien karena respon langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas
otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun

pasien

harus

diam

dan

tenang

dalam

waktu

yang

cukup

lama, kurang lebih 1 jam.


Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika
memang
untuk

sulit,

diminta

mendeteksi

untuk

gangguan

tetap

tenang

dan diam.

pendengaran

pada

Digunakan
bayi

dan

anak - anak yang masih kecil.(8)

E. Deteksi Dini Delay Speech


Semakin dini kita mendeteksi kelainan atau gangguan tersebut maka
semakin baik pemulihan gangguan tersebut. Semakin cepat diketahui
penyebab gangguan bicara dan bahasa pada maka semakin cepat stimulasi dan
intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi dini gangguan bicara
dan bahsa ini harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat dalam
penanganan anak ini, mulai dari orang tua, keluarga, dokter kandungan yang
merawat sejak kehamilan dan dokter anak yang merawat anak tersebut.(3)
Ada beberapa tahap bicara yang sebaiknya diperhatikan orangtua,
dijabarkan sebagai berikut : (9)

Usia
0-1 bulan

Kemampuan
Respons bayi saat mendengar suara dengan
melebarkan mata atau perubahan irama pernafasan

atau kecepatan menghisap susu


2-3 bulan

Respons

bayi

dengan

memperhatikan

dan

mendengar orang yang sedang bicara


4 bulan

Menoleh atau mencari suara orang yang namanya


dipanggil

6-9 bulan

Babbling (mengucapkan satu suku kata), mengerti


bila namanya disebut

9 bulan

Mengerti arti kata "jangan"

10-12 bulan

Imitasi suara, mengucapkan mama/papa dari tidak


berarti sampai berarti kadang meniru 2-3 kata
Mengerti perintah sederhana seperti "Ayo berikan
pada saya"

13-15 bulan

Perbendaharaan 4-7 kata, 20% bicara mulai


dimengerti orang lain

16-18 bulan

Perbendaharan 10 kata, beberapa ekolalia (meniru


kata yang diucapkan orang lain), 25% dapat
dimengerti orang lain

22-24 bulan

Perbendaharan 50 kata, kalimat 2 kata, 75% dapat


dimengerti orang lain

2-2,5 tahun

Perbendaharan > 400 kata, termasuk nama, kalimat


2-3 kata, mengerti 2 perintah sederhana sekaligus

3-4 tahun

Kalimat dengan 3-6 kata ; bertanya, bercerita,


berhubungan dengan pengalaman, hampir semua

dimengerti orang lain


4-5 tahun

Kalimat degan 6-8 kata, menyebut 4 warna,


menghitung sampai 10

Untuk memudahkan orangtua ada beberapa tahap bicara yang dapat dijadikan
parameter. Seperti telah dijelaskan bahwa semakin dini diketahui adanya gangguan
perkembangan, semakin cepat dapat dilakukan intervensi berupa stimulasi. Orangtua
harus mulai waspada bila : (9)

Pada usia 6 bulan, bayi tidak melirik atau menoleh pada sumber suara yang
datang dari belakang atau sampingnya

Pada usia 10 bulan, bayi tidak merespons bila dipanggil namanya

Pada usia 15 bulan, anak tidak mengerti atau merespons terhadap kata "tidak"
atau "jangan"

Pada usia 21 bulan, anak tidak merespons terhadap perintah : duduk, kesini,
atau berdiri

Pada usia 24 bulan, anak tidak dapat menunjuk dan menyebutkan bagian
tubuh seperti mulut, hidung, mata atau kuping.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Proses terjadinya bicara ada dua, yaitu proses sensoris dan motoris.
2. Etiologi delayed speech antara lain faktor lingkungan, emosi, masalah
pendengaran, perkembangan terlambat, cacat bawaan dan kerusakan otak.
3. Pemeriksaan penunjang pada delayed speech dapat berupa BERA, OAE,
tympanometri, audiometri dan ASSR.
4. Deteksi dini delayed speech sangat penting agar stimulasi dan intervensi dapat
segera dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Asad. 2003. Aspek Klinik Dan Sosiologik Gangguan Pendengaran Sensorineural


Bilaterlal Kongenital Pada Anak Balita Yang Dideteksi Dengan Pemeriksaan
BERA. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis Kesehatan THT-KL.
Bandung
Berg, A. L., Prieve, B. A., Serpanos, Y. C., & Wheaton, M. A. 2011. Hearing
Screening in a Well-Infant Nursery: Profile of Automated ABR-Fail/OAE-Pass.
Pediatrics, 127(2), 269-275. doi: 10.1542/peds.
Lily Rundjan, Idham Amir, Ronny Suwerno, Irawan Mangunatmadja. 2005. Skrining
Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Divisi Perinatologi
Depertemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. 2007. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, edisi keenam. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. p 31-42
Yussy Afriani Dewi. 2005. Karakteristik Gangguang Pendengaran Sensorinerual
Bilateral Kongenital Pada Anak yang Dideteksi Dengan Pemeriksaan BERA
dibagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNPAD / RS PERJAN dr. Hasan Sadikin
Bandung. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung
Yussy Afriani Dewi. 2005. Pengaruh Lama Paparan dan Kadar Bilirubin Terhadap
Kejadian Gangguan Dengar Sensorineural Pada Neonatus Cukup Bulan.
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Das könnte Ihnen auch gefallen