Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BY
ARI DIBYANTARA
1
Dibyantara 2014
Musik internasional yang berlabel "Western Music" berbasis pada sistem 12-Tone Equal Temperament (12-TET)
telah menyebar luas dan diterima secara umum di hampir seluruh masyarakat dunia. Penyebaran tersebut meliputi
penggunaan alat-alat musik beserta teori dan teknik memainkan yang mengacu pada sistem 12-TET, termasuk juga
komposisi-komposisi musiknya.
Penerimaan masyarakat terhadap "Western Music" ini sedemikian kuat sehingga menggeser eksistensi musik
tradisional. Banyak kemungkinan hal tersebut terjadi karena proporsi 12-TET sebagai bentuk media imitasi alam
internal dan eksternal dalam diri manusia adalah yang paling mendekati kesesuaian kolektif terhadap instink
rasionalisasi manusia dibanding sistem musik lainnya. Terutama karena bentuk simetris dari 12-TET yang
memungkinkan untuk dilakukan siklus transposisi nada secara sebanding, sehingga musik berbasis 12-TET sangat
kaya akan variasi. Selain itu, interval penyusun terkecilnya (semitone) relatif masih cukup jelas bisa terdiskriminasi
dalam indra pendengaran, serta masih dalam wilayah kemampuan rata-rata optimum-maksimum pita suara manusia
untuk menyanyikan (setelah cukup terlatih) dibanding sistem yang memasuki wilayah mikrotonal (misal, 19-TET,
24-TET, 32-TET).
Secara general, dari segi teori dan teknik sejak era Musik Abad ke-20 hingga saat ini, "Western Music" terbagi
menjadi dua prinsip: Musik Tonal dan Musik Atonal.
MUSIK TONAL
Musik tonal adalah musik seperti yang kita kenal secara umum saat ini. Musik yang mengikuti aturan tertentu
sehingga setiap bagian nada yang menyusunnya mempunyai keterkaitan nilai terukur yang berpusat pada suatu
nada tertentu (tonality) yang membentuk magnitude sehingga bisa menimbulkan suatu kesan paparan logis dalam
karya musik tonal. Kesan paparan logis inilah yang memberikan pegangan kepada pendengar untuk bisa
memperoleh kesan pemahaman terhadap apa yang dikomunikasikan oleh suatu karya musik.
Dalam musik tonal, tangga nada diatonik adalah sistem (catatan: lebih tepat sebenarnya subsistem) yang merupakan
pembentuk karakteristik dasar pengaturan musik tonal. Tangga nada diatonik ini berawal dari eksperimen
Pythagoras, yang mengawali tonalisasi instrument musik secara matematis, kemudian melalui evolusi berabad-abad
menjadi bentuk standar diatonik Major dan Minor ( sejak sekitar tahun 1700 The Harvard Brief Dictionary of Music, Willi Apel
and Ralph T. Daniel). Tangga nada diatonik merupakan susunan pola tujuh langkah interval nada di dalam fase nada
bertingkat (oktaf) yang setiap bagian fasenya (satu oktaf) terbagi dalam dua belas langkah nada berinterval
semitonal setara (tangga nada Kromatik) yang disempurnakan kepresisiannya dengan teknik 12-TET. Pada awal
perkembangan, nada Kromatik dianggap sebagai nada sela tambahan pada nada-nada diatonis, hingga pada suatu
periode baru diberlakukan sebagai tangga nada tersendiri secara lengkap ( sesudah tahun 1900 The Harvard Brief
Dictionary of Music, Willi Apel and Ralph T. Daniel ).
tangga nada C Kromatik satu oktaf
2
Dibyantara 2014
Berdasarkan pada konsep Major dan Minor sebagai model primer, disertai variasi kromatis, juga beberapa jenis
tangga nada lain yang ditemukan secara terpisah-pisah (beberapa dianggap sebagai modifikasi dari Minor dan
Major), musik tonal menjadi bagian dari fenomena budaya manusia yang berkembang dan memuncak di era musik
klasik hingga romantik. Di awal abad ke-20, musik tonal dianggap sudah sangat mapan di sisi teori serta tekniknya,
dan mencapai titik jenuh di dalam perkembangannya. Bahkan ada pemikiran, yang mungkin juga saat itu merupakan
suatu kenyataan, bahwa sangat sukar menciptakan karya original disebabkan hampir semua kemungkinan dianggap
sudah dijelajahi oleh para komponis sebelumnya.
MUSIK ATONAL
Musik atonal adalah musik yang berprinsip pada teknik yang membebaskan musik dari keterikatan terhadap tonality
dan memberikan kesetaraan fungsi pada setiap nada dari 12 nada (semitone) pada tangga nada Kromatik. Secara
konseptual, berkesebalikan dengan musik tonal, musik atonal justru mencegah terbentuknya magnitude dari suatu
nada tertentu sebagai tolok ukur terhadap nada-nada lainnya (catatan: hal ini tidak berlaku untuk orang yang
berkemampuan perfect pitch). Dalam hal ini, musik atonal menghilangkan kepedulian terhadap kepentingan
pemahaman dari pihak pendengar untuk mencapai terobosan dari kejenuhan di awal abad ke-20 menuju
karakteristik musik yang sangat berbeda. Schoenberg sebagai pemrakarsa musik atonal ini memperkenalkannya
dalam bentuk teknik yang dia sebut "Twelve-Tone Technique".
"Twelve-Tone Technique" memanipulasi pendengaran dengan menonjolkan fitur simetris dan efek cermin pada
tangga nada Kromatik. Sifat simetris dan efek cermin inilah yang menimbulkan kesan keberlanjutan tanpa awal dan
tidak terikat pada suatu akhir pada musik atonal. Kondisi dari efek ini diperkuat dengan pilihan kombinasi nada-nada
disonan untuk menghindari familiaritas terhadap kombinasi tertentu yang bisa menimbulkan tonalisasi. Penonjolan
kombinasi disonan ini disebut oleh Schoenberg sebagai "emansipasi disonan". Pengkondisian-pengkondisian inilah
yang menyebabkan munculnya istilah "atonal". Schoenberg sendiri sebenarnya tidak menyenangi sebutan ini karena
menurutnya berkesan tidak musikal.
Schoenberg mengeksplorasi fitur efek-efek kromatis tersebut di atas dengan melakukan sekuensi periodik tangga
nada Kromatik melalui satu fase variatif tangga nada Kromatik ke fase variatif lainnya. Teknik ini tidak
memperkenankan terjadinya pengulangan nada yang sama, sebelum masing-masing nada dari dua belas nada pada
tangga nada Kromatik dimainkan pada satu fase variatif. Kondisi ini bisa ditempuh dengan berbagai cara, salah
satunya adalah "tone row" atau serial nada (bagian-bagian dari fase variatif kromatis) yang diperkenalkan
Schoenberg dalam "Twelve-Tone Technique". Sejak itu musik atonal berkembang dan dikenal juga salah satunya
sebagai "Serial Music".
POLARISASI
Sangat manusiawi jika suatu konsep besar yang baru menggunakan atau berada pada suatu prinsip yang berlawanan
(berkesebalikan) dengan suatu konsep besar yang sudah mapan sebelumnya, maka akan terjadi pertentangan antara
pihak yang bisa menerima (hingga mendukung) dan tidak bisa menerima (hingga menentang). Pertentangan ini
biasanya berlanjut dengan keterpisahan pada prinsip-prinsip yang terkait walau sevalid apa pun. Maksudnya, sevalid
apa pun suatu prinsip, jika itu berkaitan dengan pihak yang berseberangan akan diabaikan atau dihindari. Hal
demikian juga terjadi pada musik tonal dan musik atonal, masing-masing mengembangkan standardisasi teori dan
tekniknya secara eksklusif.
Musik tonal meskipun dianggap mengalami degradasi terus bertahan mapan dan semakin tersebar sebagai bagian
penting dari budaya manusia dan terus dikomunikasikan melalui musik yang lebih popular. Selain itu, pendidikan
secara umum dari tingkat dasar juga memperkenalkan musik dengan landasan teori musik tonal. Bahkan, melalui
musik jazz, meskipun tidak diterima sebagai musik serius oleh kalangan elit musik klasik, musik tonal sebenarnya
sempat mengalami siklus evolusi lanjutan (pada aspek harmoni dengan variasi melodi melalui teknik improvisasi dan
variasi chord progression dengan tipe ekstensi serta voicing chord yang berbeda).
3
Dibyantara 2014
Di sisi lain, musik atonal masih terus bertumbuh pada segi teori dan teknik. Apalagi dengan loncatan teknologi
komputer, musik atonal semakin terbebas dari hampir segala bentuk batasan (misal, membelah fase oktaf di wilayah
mikrotonal dengan bebas dalam tingkat presisi yang tinggi), termasuk penggunaan rumus-rumus matematika. Hanya
saja, karena prinsipnya yang mengabaikan keperluan pemahaman pada tingkat rata-rata pendengar, juga setiap
karya mempunyai referensi tersendiri (mengandung pembaharuan), sebaran musik atonal terbatas pada kalangan
pemusik dan akademisi, serta peminat tertentu. Sering juga musik atonal bisa didapati sebagai bagian dari musik
pengiring film untuk efek-efek tertentu.
KETERKAITAN BUDAYA
Musik popular bukan merupakan masalah, bahkan merupakan pemerkayaan terhadap musik, karena kerampingan
dan kesederhanaan formatnya justru memancing timbulnya banyak variasi (eksterior); serta kelebihan pada aspek
pemahaman yang berhasil, dengan kenyataan membawa musik menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat luas.
Yang menjadi masalah adalah sifat dominasi dari musik popular serta apa yang dikomunikasikan. Dalam pandangan
umum, masyarakat dunia menganggap bahwa musik adalah musik popular ini, yang merupakan primadona industri
musik. Sehingga, musik popular yang berbasis tonal menjadi model terbaik yang secara umum digunakan oleh
masyarakat sebagai identifikasi terhadap musik.
Uraian di atas bukan merupakan pembelaan terhadap musik serius, dan masalah degradasi bukan merupakan
peremehan terhadap eksistensi dan fungsi musik popular. Persoalan degradasi di sini adalah masalah arah
pertumbuhan yang terbalik! Misalnya, sekolah dari tingkat SMA turun ke SMP karena mengalami kesulitan
pemahaman di SMA, atau menyenangi pelajaran di SD dan bertahan tidak melanjutkan ke tingkat lanjutan untuk
menghindari tantangan pemahaman yang dianggap lebih sukar. Perumpamaan ini bermaksud mengungkap
kenyataan dalam bentuk gambaran bahwa fenomena di dunia musik yang dipaparkan di atas menyebabkan
terjadinya permasalahan sangat serius yang berdampak pada budaya manusia secara luas. Dan, penggambaran
mengenai permasalahan degradasi dalam dunia musik ini sengaja menggunakan analogi mengenai tingkatan dalam
pendidikan karena memang sangat berhubungan.
Pendidikan merupakan media serah terima struktur gagasan yang besar dan rumit dari budaya manusia antar
generasi, yang dikomunikasikan secara berjenjang dari suatu tingkat pemahaman ke tingkat pemahaman yang lebih
luas dan lanjut. Sehingga, seandainya arah pertumbuhan yang terbalik terjadi pada dunia pendidikan, tentu hal itu
akan menjadi masalah besar bagi masyarakat dunia. Hal demikianlah yang justru benar-benar terjadi dengan musik
serta kaitannya dengan masyarakat, bahkan menjadi lebih serius lagi karena hal tersebut tidak disadari secara
kolektif! Suatu ironi mengenai nilai musik di masyarakat modern secara umum sering kita temui pada artikel
mengenai seorang musisi justru lebih banyak membahas isu pribadi daripada konten musikalnya.
Jika argumen dari perumpamaan di atas kelihatannya kurang memberikan alasan yang kuat, itu lebih disebabkan
karena musik selama ini diakrabi secara fitur saja, bukan secara substansial. Jika demikian, lalu apakah substansi dari
musik dan fenomena apakah musik itu sebenarnya, sehingga menimbulkan permasalahan serius dengan kondisi
perkembangannya saat ini? Juga, secara nyata apa permasalahan serius yang ditimbulkan dengan kondisi tersebut?
Sebelum melanjutkan mengenai dampak permasalahan yang menyangkut fenomena budaya dan definisi esensial
musik, saya perlu mengajukan suatu versi pemikiran untuk mengkaitkannya. Versi pemikiran saya ini sebenarnya
hanya suatu upaya untuk secara ringkas mengungkapkan visi saya mengenai musik dan esensinya sebagai bagian
dari seni yang merupakan bagian penting budaya manusia. Tetapi, karena musik seperti halnya seni lainnya
merupakan entitas yang secara murni sukar untuk dilukiskan definisinya dengan kata-kata, saya mencoba secara
analogis atau mungkin secara fiksi membuat suatu landasan perspektif guna selanjutnya mendefinisikan substansi
esensial musik.
Sebagai transformator, manusia mencari dan menerima input untuk dirinya, yang kemudian dikonversi menjadi
bentuk-bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri (internal) maupun menjadi output yang bermanfaat
bagi lingkungannya (eksternal). Entitas manusia sebagai transformator ini sangat mendasar dan menyeluruh,
sehingga jika fungsi ini tidak berjalan lagi (sudah tidak bisa menerima input, mengkonversi, dan memberikan output)
maka manusia akan mati (dalam berbagai konteks, termasuk mati secara klinis).
Dengan adanya kebutuhan untuk menerima input dan memberikan output dalam berbagai aspek, manusia perlu
melakukan pertukaran dengan lingkungan dan sesamanya. Pertukaran ini dilakukan dalam interaksi melalui ekspresi
komunikasi yang berbasis pada obyek kesadaran internal dalam realita pikiran. Obyek kesadaran tersebut berupa
dua fenomena: yaitu konsepsi bahasa (rasional) dan konsepsi seni (abstrak). Sebagai pengamat, melalui media
kesadaran, kita mengamati pergerakan dua konsepsi ini dalam keseharian pikiran kita.
Konsepsi bahasa merupakan alur proses berbasis rasionalisasi dari berbagai macam input yang diterima pikiran
dalam bentuk informasi, kemudian dikelola menjadi bentuk-bentuk asosiasi logis yang saling terkait dalam pola-pola
yang bisa dikenali kembali (sesuai standar interaksi dengan komunitasnya) dan disimpan dalam memori untuk
keperluan kognitif dirinya sendiri, maupun dijadikan potensi output yang memungkinkan terjadinya dialog dengan
komunitasnya. Secara umum, konsepsi bahasa dalam perwujudannya meliputi semua aspek penting dalam budaya
manusia yang terstandarisasi dan bisa dirasionalisasi, semua jenis bahasa dan ilmu pengetahuan yang digunakan
manusia, dan termasuk juga kata-kata yang secara batin berbicara dalam pikiran kita. Sederhananya, segala sesuatu
dalam proses pikiran yang menggunakan dan bisa diterangkan dengan kata-kata. Manifestasi dari konsepsi bahasa
ini kemudian akan kita sebut sebagai sistem bahasa.
Konsepsi seni kurang lebih merupakan arus pengelolaan bagian yang tidak/ belum bisa masuk dalam filtrasi konsepsi
bahasa karena sifatnya yang abstrak tidak menggunakan dan tidak/ belum bisa diterangkan dengan kata-kata
secara utuh. Dari berbagai macam input yang diterima pikiran, konsepsi seni cenderung lebih menerima bentukbentuk kesan daripada bentuk informasi. Kesan-kesan tersebut dikelola melalui perasaan, membaur serta
membungkus informasi dalam bentuk-bentuk potensi asosiasi analogis dengan pola-pola yang dikenali. Hal ini
kadang menyebabkan terjadinya sensasi "deja vu", atau kita melihat seseorang yang baru kita kenal sangat mirip
dengan salah satu teman lama, atau perasaan suatu lagu mirip dengan lagu yang lain. Ini bukan berupa pengenalan
kognitif yang lebih definitif, tapi lebih pada pengenalan kesan yang mengandung pola mendekati sama secara esensi
perasaan. Manifestasi dari konsepsi seni ini kemudian akan kita sebut sebagai sistem seni.
Supaya lebih jelas definisinya, kita jabarkan fitur utama dan karakteristik pendukung masing-masing konsepsi yang
kurang lebihnya:
Konsepsi Bahasa:
Konsepsi Seni :
Informasi, Realitas, Logis
Kesan (Sensasi), Abstrak, Analogis
Rasional, Baik/ Buruk
Emosional, Intuitif/ Vibrasi Gelombang Perasaan
Material, Kata-Kata
Abstrak, Imajiner, Kreasi
Analisis/ Mengurai ke Luar
Sintesis/ Memadatkan ke Dalam
Ekspresif
Impresif
Rentang Waktu, Fokus
Serentak, Menyebar
Pengetahuan
Pemahaman
Target, Hasil
Proses Pengalaman, Gerakan
Urutan, Serial
Sinkronisasi, Paralel
Parameter, Standar
Berbagai Potensi Kemungkinan
Konkrit/ Tersurat
Dualisme/ Tersirat
Kebiasaan
Ketertarikan/ Alternasi Pola
Fungsi Kepastian, Terikat
Fungsi Perubahan, Bebas
Menjelaskan
Membayangkan
Keteraturan Pola Tertentu
Acak/ Sebaran Pola Variatif
Menyaring
Menampung
Orang Tua, Serius
Anak-Anak, Humor
Struktur kokoh, Konstanta
Adaptif, Variabel
Alasan/ Sebab Akibat
Penghayatan
6
Dibyantara 2014
Penjabaran di atas bertujuan memperjelas untuk keperluan pengenalan pada saat sistem dengan dua konsepsi
tersebut berproses, bukan perbandingan mana yang lebih baik. Meski ada sebagian kemiripan dengan brain
hemispheric, saat menyusun karakteristik di atas saya tidak berpikir dan sama sekali tidak bermaksud mengaitkan hal
tersebut. Saya lebih bermaksud menunjukkan kenyataan perilaku yang bisa kita amati sebagai obyek kesadaran
dalam realita pikiran kita sehari-hari, yang saya kategorikan sebagai dua konsepsi (bahasa dan seni) berdasarkan
karakteristiknya dalam gerak pengamatan pikiran. Dan, pada kenyataannya, kedua konsepsi tersebut saling terjalinterlibat tumpang-tindih bergerak di realita pikiran, serta pada berbagai poin memicu dan terpicu fungsional di realita
perbuatan. Sehingga, pada suatu skala akan sangat sukar membuat definisi karakteristik yang terpisah.
Daftar di atas menunjukkan sifat yang saling berlawanan, tapi sebenarnya merupakan dua sisi mata pisau yang sama
tajam. Tajam pada dua sisi yang berlawanan, tapi berbaur menyatu di tengah membentuk keseimbangan satu pisau.
Dan, titik pertemuan di ujung yang membentuk sudut runcing yang terfokus merupakan potensi kekuatan yang siap
dan bisa diarahkan. Ini hanya abstraksi bahwa konsepsi bahasa dan konsepsi seni tidak saling terisolasi. Keduanya
saling terhubung dalam gradasi perubahan yang nuansatif, saling melengkapi, dan saling mengkonversi menjadi
suatu kekuatan saat mencapai keseimbangan. Sederhananya, konsepsi bahasa dan konsepsi seni sebenarnya adalah
satu pisau pikiran yang mempunyai kekuatan daya cipta pada titik keseimbangannya.
Berkaitan dengan dua konsepsi (bahasa dan seni) pada realita pikiran, permukaan kesadaran adalah fitur paling
sederhana dari realita pikiran, semakin mendekati realita perbuatan semakin kuat dan jelas. Ini akan termanifestasi
dalam fitur paling dasar perbuatan dan ekspresi perilaku manusia sehari-hari. Semakin matang dan terasah oleh
pengalaman, manusia akan semakin terdorong untuk lebih mampu menggali potensi kedalaman di bawah
permukaan kesadarannya dan mengekspresikan dalam kreativitas yang lebih kompleks. Ini adalah langkah
menerima, menata, dan memahami konflik-konflik di bawah ke permukaan kesadaran.
8
Dibyantara 2014
Bukan berarti hanya sistem bahasa saja yang bisa mengarah pada kesalahan tak terdeteksi, sebaliknya juga dapat
terjadi pada sistem seni. Bisa digambarkan dengan lembar bahasa: 1 + 2 + 3 + dan lembar seni: x = 10. Di sini lembar
bahasa memberikan petunjuk akan ketidaklengkapan, yang bisa menuntun ke faktor "x", bahkan kemudian faktor
"y". Sehingga, mungkin bisa disusun persamaan: 1 + 2 + 3 + x = y, atau kemungkinan persamaan lain. Meski belum
tentu bisa segera menemukan kelengkapan dari persamaan tersebut untuk mendapat jawaban yang tepat, paling
tidak bisa mencegah pengambilan keputusan yang salah, atau penggunaan logika secara prematur, dengan
menyadari adanya ketidaklengkapan. Sementara itu, lembar seni di sini justru memberikan asumsi definisi yang
pasti, sehingga sukar untuk disadari kemungkinan adanya kesalahan.
Kalau diperhatikan pada dua analogi di atas, terdapat ketidak-konsistenan jika sistem bahasa dan sistem seni
dikategorikan dalam lembar yang terpisah terutama pada analogi terakhir yang dipaksakan dengan mengganti
lembar kesatu dan lembar kedua menjadi lembar bahasa dan lembar seni. Tetapi, jika faktor angka kita anggap
sebagai bagian sistem bahasa, sedangkan faktor huruf kita anggap sebagai bagian sistem seni, dan simbol operasi
sebagai pertemuan keduanya dalam proses, maka kita akan melihat keterikatan antara kedua sistem pada setiap
divisi keberadaan dalam proporsi yang relatif. Hal ini menyarankan bahwa fungsi kebersamaan keduanya sangat
vital, sehingga ketidakseimbangan perhatian pada keduanya secara menyeluruh akan sangat fatal.
SOFTWARE PIKIRAN
Semakin matang dan terasah oleh pengalaman, manusia akan semakin terdorong untuk lebih mampu menggali potensi
kedalaman di bawah permukaan kesadarannya dan mengekspresikan dalam kreativitas yang lebih kompleks. Ini adalah
langkah menerima, menata, dan memahami konflik-konflik di bawah ke permukaan kesadaran.
Kalimat-kalimat ini merupakan pengulangan dari yang sudah saya tulis di atas sebelumnya. Sebenarnya lebih dari itu,
di sini saya perlu menekankan kembali fungsional manusia sebagai multi-transformator dengan fasilitas canggih yang
tak tertandingi, yaitu fasilitas pikirannya. Fasilitas pikiran ini menjelma sebagai konsepsi bahasa dan konsepsi seni
yang memproses segala input yang kita terima menjadi kristal-kristal mulia yang disimpan terpendam di bawah
permukaan kesadaran. Semakin padat terpendam, semakin berkualitas. Sehingga, pada dasarnya, manusia memiliki
harta karun yang tak ternilai di dalam dirinya. Untuk itu dia harus menggali lebih dalam lagi ke dalam dirinya untuk
mendapatkannya.
Tetapi menggali harta karun tersebut adalah hal yang sulit dan akan mengalami banyak hambatan. Permukaan
kesadaran manusia modern bagaikan jalan raya dengan lalu lintas yang sangat padat yang menyita perhatian.
Sehingga, tentu saja sukar untuk melakukan penggalian di tengah jalan yang ramai. Hambatan lain adalah kita terlalu
sibuk mengurusi refleksi kita di cermin permukaan kesadaran kita. Karena, dunia eksternal dengan budaya yang kita
ciptakan ini sebenarnya refleksi atau imitasi proyeksi dari dunia internal kita, yang kita gunakan sebagai ancangan
untuk menata kedalaman diri kita supaya bisa menggali lebih dalam lagi. Akan tetapi, refleksi yang kita lihat ternyata
justru memikat kita untuk mengejar keluar. Mungkin ini pengartian lain dari mitos Narcissus yang jatuh cinta pada
bayangannya di air.
Gambaran yang mudah, kita sering menyebut komputer sebagai model sederhana dari otak kita. Dalam pemakaian
komputer, kita bisa mengikuti arahan untuk perawatan dalam pemakaiannya. Seperti rutin melakukan antivirus
scanning atau menjalankan fungsi defragmenter . Tetapi, kita sendiri tidak pernah melakukan semacam antivirus
scanning dan defragmentasi pada pikiran kita, karena kita lebih terpukau/ jatuh cinta pada komputer dan gadgetgadget sejenis yang merupakan refleksi/ imitasi sebagian kecil di teknologi otak kita.
Kembali ke soal harta karun yang ada dalam pikiran kita, banyak refleksi kejadian di dunia eksternal yang sebenarnya
merupakan petunjuk mengenai kapasitas pikiran manusia. Seperti seorang dengan cacat mental yang mampu
menjawab perkalian dalam hitungan milyar dalam beberapa detik; atau beberapa orang yang mempunyai
kemampuan photographic memory sehingga mampu mengingat dan membaca ulang isi sebuah buku tanpa melihat
tapi seolah dia melihat dari halaman ke halaman; juga seseorang yang sesudah mengalami kecelakaan, yang
berakibat terjadinya benturan di kepalanya, kemudian mempunyai kemampuan mental atau fisik yang luar biasa.
Dari beberapa kasus seperti itu kita bisa melihat bahwa ada berbagai fitur kemampuan ekstra dari pikiran yang
belum sempat/ bisa kita akses.
10
Dibyantara 2014
Menjajaki keterkaitan di atas antara suatu kondisi dan kejadian dengan akibat perbedaan kemampuan, kita mungkin
bisa menduga-duga bahwa ada hubungannya dengan perbedaan dalam pengaturan koneksi yang memungkinkan
akses pada jalur-jalur yang tepat terhadap fitur fungsional tertentu dari pikiran. Atau, kita memerlukan sistem yang
mengelola cara berpikir dengan berbeda. Untuk ini, kita mungkin bisa menggunakan semacam software untuk
pikiran.
Saat ini informasi hampir apa saja sudah tidak bisa terfilter oleh jaring budaya, terkomunikasikan ke generasi muda
tanpa batasan. Banyak kontradiksi, kemunafikan, kekerasan, perbantahan yang tidak layak tersalurkan ke pemikiran
mereka. Acuan moral mengenai kebenaran, kesenangan, kebaikan, keuntungan, kebahagiaan, dan kecenderungan
gaya hidup semakin rancu.
Di sisi lain, masyarakat kita selalu menanti-nantikan adanya sosok pemimpin yang bisa melakukan pemecahan ajaib
bagi keseluruhan permasalahan masyarakat dan negara. Ini merupakan pemikiran yang salah dan tidak sehat yang
diajarkan budaya berpikir kritis dalam pendidikan kita, yang seolah-olah bisa membuat seseorang menghakimi
kinerja orang lain hanya berdasarkan informasi sekilas. Permasalahannya, sehebat-hebatnya seorang pemimpin,
tanpa kemampuan masyarakat untuk mencerna aspirasinya, serta tanpa kemauan berbagai pihak untuk terlibat
dalam pembangunan bersama, yang ada hanya tuntutan terhadap bukti perubahan instan. Suatu proses dari
perencanaan berjangka hanya akan dianggap sebagai penundaan pemberitahuan kegagalan.
Pada bagian sebelumnya saya sudah membahas mengenai degradasi tingkat penerimaan dan eksplorasi masyarakat
terhadap musik secara esensial. Ditambah dominasi industri musik popular yang tersebar di masyarakat di segala
usia. Bagaimanapun, meski bukan pada kondisi murni (berupa lagu dan syair) fungsional sebagai software pikiran
tetap ada dalam musik popular. Hal yang perlu kita perhatikan adalah mengenai apa yang dikomunikasikan musik
popular. Sebagai hal yang bersifat menghibur, bisa kita artikan musik tersebut memberikan apa yang diinginkan
(dalam bentuk kesan). Hal-hal yang tidak bisa diberikan oleh pekerjaan, tidak bisa diberikan oleh negara, tidak bisa
diberikan oleh pendidikan, tidak bisa diberikan oleh kehidupan seolah diberi dan disediakan oleh musik popular
sebagai hiburan yang siap di mana saja setiap saat.
Tetapi, pola yang diberikan musik popular tidak banyak memberikan efek peningkatan terhadap daya pikir. Kekayaan
variasi pada musik popular lebih banyak ke eksterior musiknya seperti sound effect, timbre, variasi beat dan rhythm.
Pola pikir yang terbentuk pada musik popular justru merupakan penguatan pola kesan pada sistem logis yang sudah
ada mengenai bentuk kesenangan, keberhasilan, kenikmatan, dan sebagainya. Hal yang diberikan musik popular
kemudian lebih berupa saluran kelegaan atau pelampiasan sementara. Tetapi, jika musik tersebut diulang-ulang
dengan pola-pola yang sejenis tanpa upaya beralih ke tingkat lebih lanjut, maka pola yang menjadi dikenal secara
logis itu akan tercetak dalam dan menjadi pola pikir yang mapan dan kaku. Sering terjadinya fanatisme pada musikmusik popular kurang lebih juga disebabkan hal tersebut. Lebih lanjut, pada saat ilusi kelegaan yang bersifat
sementara seolah menjadi nyata, akan terbentuk sikap apatis terhadap segala hal di luar musik yang disenanginya.
Seluas musik popular berbasis industri (baik pertunjukan maupun rekaman) menjangkau kehidupan, seluas itu pula
kemungkinan pengaruh pola pikir mengejar kemapanan, kenyamanan, kenikmatan, serta sikap fanatisme dan
apatisme bisa tertanam kuat dalam masyarakat. Lebih serius lagi, artis-artis/ musisi lagu-lagu popular pun juga
terpengaruh oleh pola-pola yang menghipnotis tersebut dengan akibat yang lebih ekstrim. Sementara itu, para
pengagumnya menganggap mereka sebagai dewa yang menjadi panutan. Meski tidak sehitam-putih ini kondisinya,
bagaimanapun bekas cetakan ini akan semakin dalam pada generasi penerus. Bahaya laten terbentuk dan siap untuk
disulut setiap saat!
Saya ulang kembali, musik popular merupakan pemerkayaan terhadap musik karena kerampingan dan
kesederhanaan formatnya justru memancing timbulnya banyak variasi (eksterior), serta kelebihan pada aspek
pemahaman yang berhasil dengan kenyataan membawa musik menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat luas. Pada
titik mulai terjadi minat ini, merupakan kesempatan untuk memperluas dan meningkatkan pemahaman terhadap
musik. Ini lebih penting dari sekedar mempelajari teknik untuk menyajikan musik. Musik adalah suplemen makanan
untuk pikiran. Demikian juga dengan software-software pikiran yang lain, berupa sistem-sistem yang berkaitan
dengan variasi pola murni tanpa dominasi bahasa, seperti: permainan catur, othello; teknik lukis tesselation, batik;
bela diri lunak yang mengandung banyak variasi jurus dan gerakan; matematika; dan sebagainya. Software-software
pikiran semacam ini seharusnya lebih mendapatkan prioritas pada awal-awal pendidikan, daripada membenamkan
anak dalam tumpukan informasi. Sehingga kita mempunyai generasi penerus yang akan mampu mengontrol
teknologi, bukan generasi yang diatur dan tergantung teknologi.
14
Dibyantara 2014
15
Dibyantara 2014