Sie sind auf Seite 1von 15

POTENSI RISET DAN PENGEMBANGAN

MUSIK SEBAGAI SOFTWARE PIKIRAN

BY

ARI DIBYANTARA

1
Dibyantara 2014

MUSIK SEBAGAI SOFTWARE PIKIRAN


(BAGIAN I PENGANTAR)

Musik internasional yang berlabel "Western Music" berbasis pada sistem 12-Tone Equal Temperament (12-TET)
telah menyebar luas dan diterima secara umum di hampir seluruh masyarakat dunia. Penyebaran tersebut meliputi
penggunaan alat-alat musik beserta teori dan teknik memainkan yang mengacu pada sistem 12-TET, termasuk juga
komposisi-komposisi musiknya.
Penerimaan masyarakat terhadap "Western Music" ini sedemikian kuat sehingga menggeser eksistensi musik
tradisional. Banyak kemungkinan hal tersebut terjadi karena proporsi 12-TET sebagai bentuk media imitasi alam
internal dan eksternal dalam diri manusia adalah yang paling mendekati kesesuaian kolektif terhadap instink
rasionalisasi manusia dibanding sistem musik lainnya. Terutama karena bentuk simetris dari 12-TET yang
memungkinkan untuk dilakukan siklus transposisi nada secara sebanding, sehingga musik berbasis 12-TET sangat
kaya akan variasi. Selain itu, interval penyusun terkecilnya (semitone) relatif masih cukup jelas bisa terdiskriminasi
dalam indra pendengaran, serta masih dalam wilayah kemampuan rata-rata optimum-maksimum pita suara manusia
untuk menyanyikan (setelah cukup terlatih) dibanding sistem yang memasuki wilayah mikrotonal (misal, 19-TET,
24-TET, 32-TET).
Secara general, dari segi teori dan teknik sejak era Musik Abad ke-20 hingga saat ini, "Western Music" terbagi
menjadi dua prinsip: Musik Tonal dan Musik Atonal.

MUSIK TONAL
Musik tonal adalah musik seperti yang kita kenal secara umum saat ini. Musik yang mengikuti aturan tertentu
sehingga setiap bagian nada yang menyusunnya mempunyai keterkaitan nilai terukur yang berpusat pada suatu
nada tertentu (tonality) yang membentuk magnitude sehingga bisa menimbulkan suatu kesan paparan logis dalam
karya musik tonal. Kesan paparan logis inilah yang memberikan pegangan kepada pendengar untuk bisa
memperoleh kesan pemahaman terhadap apa yang dikomunikasikan oleh suatu karya musik.
Dalam musik tonal, tangga nada diatonik adalah sistem (catatan: lebih tepat sebenarnya subsistem) yang merupakan
pembentuk karakteristik dasar pengaturan musik tonal. Tangga nada diatonik ini berawal dari eksperimen
Pythagoras, yang mengawali tonalisasi instrument musik secara matematis, kemudian melalui evolusi berabad-abad
menjadi bentuk standar diatonik Major dan Minor ( sejak sekitar tahun 1700 The Harvard Brief Dictionary of Music, Willi Apel
and Ralph T. Daniel). Tangga nada diatonik merupakan susunan pola tujuh langkah interval nada di dalam fase nada
bertingkat (oktaf) yang setiap bagian fasenya (satu oktaf) terbagi dalam dua belas langkah nada berinterval
semitonal setara (tangga nada Kromatik) yang disempurnakan kepresisiannya dengan teknik 12-TET. Pada awal
perkembangan, nada Kromatik dianggap sebagai nada sela tambahan pada nada-nada diatonis, hingga pada suatu
periode baru diberlakukan sebagai tangga nada tersendiri secara lengkap ( sesudah tahun 1900 The Harvard Brief
Dictionary of Music, Willi Apel and Ralph T. Daniel ).
tangga nada C Kromatik satu oktaf

tangga nada diatonik C Major satu oktaf

tangga nada diatonik A Minor satu oktaf

2
Dibyantara 2014

Berdasarkan pada konsep Major dan Minor sebagai model primer, disertai variasi kromatis, juga beberapa jenis
tangga nada lain yang ditemukan secara terpisah-pisah (beberapa dianggap sebagai modifikasi dari Minor dan
Major), musik tonal menjadi bagian dari fenomena budaya manusia yang berkembang dan memuncak di era musik
klasik hingga romantik. Di awal abad ke-20, musik tonal dianggap sudah sangat mapan di sisi teori serta tekniknya,
dan mencapai titik jenuh di dalam perkembangannya. Bahkan ada pemikiran, yang mungkin juga saat itu merupakan
suatu kenyataan, bahwa sangat sukar menciptakan karya original disebabkan hampir semua kemungkinan dianggap
sudah dijelajahi oleh para komponis sebelumnya.

MUSIK ATONAL
Musik atonal adalah musik yang berprinsip pada teknik yang membebaskan musik dari keterikatan terhadap tonality
dan memberikan kesetaraan fungsi pada setiap nada dari 12 nada (semitone) pada tangga nada Kromatik. Secara
konseptual, berkesebalikan dengan musik tonal, musik atonal justru mencegah terbentuknya magnitude dari suatu
nada tertentu sebagai tolok ukur terhadap nada-nada lainnya (catatan: hal ini tidak berlaku untuk orang yang
berkemampuan perfect pitch). Dalam hal ini, musik atonal menghilangkan kepedulian terhadap kepentingan
pemahaman dari pihak pendengar untuk mencapai terobosan dari kejenuhan di awal abad ke-20 menuju
karakteristik musik yang sangat berbeda. Schoenberg sebagai pemrakarsa musik atonal ini memperkenalkannya
dalam bentuk teknik yang dia sebut "Twelve-Tone Technique".
"Twelve-Tone Technique" memanipulasi pendengaran dengan menonjolkan fitur simetris dan efek cermin pada
tangga nada Kromatik. Sifat simetris dan efek cermin inilah yang menimbulkan kesan keberlanjutan tanpa awal dan
tidak terikat pada suatu akhir pada musik atonal. Kondisi dari efek ini diperkuat dengan pilihan kombinasi nada-nada
disonan untuk menghindari familiaritas terhadap kombinasi tertentu yang bisa menimbulkan tonalisasi. Penonjolan
kombinasi disonan ini disebut oleh Schoenberg sebagai "emansipasi disonan". Pengkondisian-pengkondisian inilah
yang menyebabkan munculnya istilah "atonal". Schoenberg sendiri sebenarnya tidak menyenangi sebutan ini karena
menurutnya berkesan tidak musikal.
Schoenberg mengeksplorasi fitur efek-efek kromatis tersebut di atas dengan melakukan sekuensi periodik tangga
nada Kromatik melalui satu fase variatif tangga nada Kromatik ke fase variatif lainnya. Teknik ini tidak
memperkenankan terjadinya pengulangan nada yang sama, sebelum masing-masing nada dari dua belas nada pada
tangga nada Kromatik dimainkan pada satu fase variatif. Kondisi ini bisa ditempuh dengan berbagai cara, salah
satunya adalah "tone row" atau serial nada (bagian-bagian dari fase variatif kromatis) yang diperkenalkan
Schoenberg dalam "Twelve-Tone Technique". Sejak itu musik atonal berkembang dan dikenal juga salah satunya
sebagai "Serial Music".

POLARISASI
Sangat manusiawi jika suatu konsep besar yang baru menggunakan atau berada pada suatu prinsip yang berlawanan
(berkesebalikan) dengan suatu konsep besar yang sudah mapan sebelumnya, maka akan terjadi pertentangan antara
pihak yang bisa menerima (hingga mendukung) dan tidak bisa menerima (hingga menentang). Pertentangan ini
biasanya berlanjut dengan keterpisahan pada prinsip-prinsip yang terkait walau sevalid apa pun. Maksudnya, sevalid
apa pun suatu prinsip, jika itu berkaitan dengan pihak yang berseberangan akan diabaikan atau dihindari. Hal
demikian juga terjadi pada musik tonal dan musik atonal, masing-masing mengembangkan standardisasi teori dan
tekniknya secara eksklusif.
Musik tonal meskipun dianggap mengalami degradasi terus bertahan mapan dan semakin tersebar sebagai bagian
penting dari budaya manusia dan terus dikomunikasikan melalui musik yang lebih popular. Selain itu, pendidikan
secara umum dari tingkat dasar juga memperkenalkan musik dengan landasan teori musik tonal. Bahkan, melalui
musik jazz, meskipun tidak diterima sebagai musik serius oleh kalangan elit musik klasik, musik tonal sebenarnya
sempat mengalami siklus evolusi lanjutan (pada aspek harmoni dengan variasi melodi melalui teknik improvisasi dan
variasi chord progression dengan tipe ekstensi serta voicing chord yang berbeda).

3
Dibyantara 2014

Di sisi lain, musik atonal masih terus bertumbuh pada segi teori dan teknik. Apalagi dengan loncatan teknologi
komputer, musik atonal semakin terbebas dari hampir segala bentuk batasan (misal, membelah fase oktaf di wilayah
mikrotonal dengan bebas dalam tingkat presisi yang tinggi), termasuk penggunaan rumus-rumus matematika. Hanya
saja, karena prinsipnya yang mengabaikan keperluan pemahaman pada tingkat rata-rata pendengar, juga setiap
karya mempunyai referensi tersendiri (mengandung pembaharuan), sebaran musik atonal terbatas pada kalangan
pemusik dan akademisi, serta peminat tertentu. Sering juga musik atonal bisa didapati sebagai bagian dari musik
pengiring film untuk efek-efek tertentu.

POLARISASI BERAKIBAT FRAGMENTASI


Keterpisahan konsep ini ternyata membawa dampak cukup serius pada konsep keseluruhan musik sebagai budaya
seni yang bertumbuh sekian abad lamanya. Salah satu dari dampak-dampak yang menjalar seperti retak yang
merambut adalah adanya degradasi tingkat penerimaan dan eksplorasi masyarakat terhadap musik secara esensial.
Hal tersebut disebabkan ide Schoenberg bahwa pemahaman dari pihak pendengar dianggap tidak penting, sehingga
dia melakukan manuver ke atonality terlalu dini. Pengertian terlalu dini perlu saya perjelas lebih lanjut di bawah ini.
Sebelum memproklamirkan musik atonal, Schoenberg sendiri adalah komponis besar pada era akhir musik romantik
yang termasuk puncak dari musik tonal. Selain itu, Schoenberg juga seorang teoris besar yang memberikan pondasi
penting dalam musik tonal dengan bukunya "Theory of Harmony". Bisa dibayangkan, Schoenberg adalah pemegang
tongkat estafet musik tonal (dari segi teori dan teknik) yang membuang tongkat tersebut dan beralih membawa
tongkat estafet musik atonal dan berlari berlawanan dari arah semula tanpa penjelasan kepentingan yang memadai.
Penonton kecewa dan bubar meninggalkan arena!
Sedangkan, meskipun musik tonal berprinsip pada pemahaman, namun pada era itu pun berada pada puncaknya
dengan komposisi-komposisi yang rumit serta mulai menimbulkan kesenjangan terhadap pendengarnya, karena para
komponis berusaha keras membuat karya baru yang berbeda dengan karakter karya para komponis sebelumnya
untuk mengatasi kejenuhan. Sementara itu, pertumbuhan teori (harmoni) yang menjelaskan teknik musik secara
general sebagai jembatan penerimaan, evaluasi, pemahaman, dan apresiasi dari karya-karya rumit tersebut belum
sepadan. Sedangkan, tokoh yang berperan penting di sisi tersebut (Schoenberg) justru meninggalkannya dan beralih
ke suatu sistem baru (musik atonal) yang semakin tidak bisa dipahami oleh pendengar. Akhirnya benar-benar terjadi
kejenuhan, kali ini dari pihak pendengar. Bukan jenuh karena harapan akan kebaruan, akan tetapi jenuh terhadap
kerumitan tanpa adanya penjelasan yang bisa membawa pada pemahaman.
Waktu bergerak, jaman berubah dengan akselerasi perubahan yang meningkat seperti arus aliran sungai yang tak
terbendung. Populasi meningkat tajam, informasi demi informasi terakumulasi, manusia semakin modern semakin
dijejali luapan informasi yang melintas dalam kesehariannya, banyak yang di luar kemampuan kontrolnya untuk
memilih. Instink manusiawi yang muncul guna menghindari overloaded adalah kecenderungan respon terhadap
bentuk-bentuk instant, sementara, dan sederhana.
Kondisi kecenderungan tersebut mendapatkan jawaban (pada peralihan ke abad ke-20) dengan semakin tumbuh dan
berkembangnya musik popular (berprinsip tonal) sebagai alternatif yang membawa kesegaran dari kesederhanaan,
bersama dengan mulai munculnya industri musik yang mendukung penyebarannya ke seluruh dunia dan
mendominasi minat pendengar musik hingga saat ini. Selain tidak memerlukan usaha yang sulit untuk memahami
musik popular, dasar dari teori musik tonal memungkinkan pendengar amatir untuk belajar dan memainkan sendiri
lagu popular yang dia senangi. Musik popular bekembang pesat menjadi hiburan dan kebutuhan sehari-hari bagi
masyarakat seluruh dunia. Variant dan gebyar dari musik popular mendorong terbentuknya genre-genre baru pada
berbagai jenis musik sebagai respon adaptasi terhadap kecenderungan jaman. Musik menjadi keping-keping yang
berserakan dan tersebar di seluruh dunia!
Diandaikan seperti anak sungai, aliran-aliran semacam ini tidak mengalir balik ke sumber, tetapi terus
mempertahankan fungsi alirannya masing-masing. Dan, aliran yang paling terakomodasi oleh lingkungannya akan
semakin membesar. Secara alami, semakin ke bawah aliran sungai mengalami peningkatan kuantitas dan semakin
besar lingkungan yang dijangkaunya, tetapi dari segi kualitas kemurnian mengalami penurunan dengan
bertambahnya kandungan impurities yang terbawa menyertainya. Sebagai suatu entitas, pada tingkat kemurniannya,
musik kehilangan visi dan misinya bagi masyarakat dunia.
4
Dibyantara 2014

KETERKAITAN BUDAYA
Musik popular bukan merupakan masalah, bahkan merupakan pemerkayaan terhadap musik, karena kerampingan
dan kesederhanaan formatnya justru memancing timbulnya banyak variasi (eksterior); serta kelebihan pada aspek
pemahaman yang berhasil, dengan kenyataan membawa musik menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat luas.
Yang menjadi masalah adalah sifat dominasi dari musik popular serta apa yang dikomunikasikan. Dalam pandangan
umum, masyarakat dunia menganggap bahwa musik adalah musik popular ini, yang merupakan primadona industri
musik. Sehingga, musik popular yang berbasis tonal menjadi model terbaik yang secara umum digunakan oleh
masyarakat sebagai identifikasi terhadap musik.
Uraian di atas bukan merupakan pembelaan terhadap musik serius, dan masalah degradasi bukan merupakan
peremehan terhadap eksistensi dan fungsi musik popular. Persoalan degradasi di sini adalah masalah arah
pertumbuhan yang terbalik! Misalnya, sekolah dari tingkat SMA turun ke SMP karena mengalami kesulitan
pemahaman di SMA, atau menyenangi pelajaran di SD dan bertahan tidak melanjutkan ke tingkat lanjutan untuk
menghindari tantangan pemahaman yang dianggap lebih sukar. Perumpamaan ini bermaksud mengungkap
kenyataan dalam bentuk gambaran bahwa fenomena di dunia musik yang dipaparkan di atas menyebabkan
terjadinya permasalahan sangat serius yang berdampak pada budaya manusia secara luas. Dan, penggambaran
mengenai permasalahan degradasi dalam dunia musik ini sengaja menggunakan analogi mengenai tingkatan dalam
pendidikan karena memang sangat berhubungan.
Pendidikan merupakan media serah terima struktur gagasan yang besar dan rumit dari budaya manusia antar
generasi, yang dikomunikasikan secara berjenjang dari suatu tingkat pemahaman ke tingkat pemahaman yang lebih
luas dan lanjut. Sehingga, seandainya arah pertumbuhan yang terbalik terjadi pada dunia pendidikan, tentu hal itu
akan menjadi masalah besar bagi masyarakat dunia. Hal demikianlah yang justru benar-benar terjadi dengan musik
serta kaitannya dengan masyarakat, bahkan menjadi lebih serius lagi karena hal tersebut tidak disadari secara
kolektif! Suatu ironi mengenai nilai musik di masyarakat modern secara umum sering kita temui pada artikel
mengenai seorang musisi justru lebih banyak membahas isu pribadi daripada konten musikalnya.
Jika argumen dari perumpamaan di atas kelihatannya kurang memberikan alasan yang kuat, itu lebih disebabkan
karena musik selama ini diakrabi secara fitur saja, bukan secara substansial. Jika demikian, lalu apakah substansi dari
musik dan fenomena apakah musik itu sebenarnya, sehingga menimbulkan permasalahan serius dengan kondisi
perkembangannya saat ini? Juga, secara nyata apa permasalahan serius yang ditimbulkan dengan kondisi tersebut?
Sebelum melanjutkan mengenai dampak permasalahan yang menyangkut fenomena budaya dan definisi esensial
musik, saya perlu mengajukan suatu versi pemikiran untuk mengkaitkannya. Versi pemikiran saya ini sebenarnya
hanya suatu upaya untuk secara ringkas mengungkapkan visi saya mengenai musik dan esensinya sebagai bagian
dari seni yang merupakan bagian penting budaya manusia. Tetapi, karena musik seperti halnya seni lainnya
merupakan entitas yang secara murni sukar untuk dilukiskan definisinya dengan kata-kata, saya mencoba secara
analogis atau mungkin secara fiksi membuat suatu landasan perspektif guna selanjutnya mendefinisikan substansi
esensial musik.

KONSEPSI BAHASA DAN KONSEPSI SENI


Lebih dari yang kita sadari, seni mempunyai pengaruh evolusif terhadap peradaban manusia seperti halnya ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan seni merupakan manifestasi ekspresif (proyeksi) dari sisi internal manusia
sebagai imitasi (hasil cetakan) impresi pada sistem di dalam dirinya yang dipicu dan terbentuk oleh fenomena di
alam lingkungan yang dialaminya. Hal ini menyangkut sistem canggih yang ada pada/ dalam diri kita, yang kita alami
dalam keseharian berupa pikiran dan kesadaran kita.
Manusia sebagai pribadi mandiri mengalami observasi keberadaan dirinya secara internal dalam wujud realita
pikiran dan realita perbuatan (pada proses sadar maupun bawah sadar) berkaitan dengan respon terhadap stimulasi
dari dunia eksternal melalui sistem sensori, persepsi, dan mekaniknya. Tanpa membahas realita jiwa karena sangat
subyektif, dua realita keberadaan tersebut (pikiran dan perbuatan) mengontrol dan memanifestasikan fungsi
penting manusia sebagai multi-transformator di alam semesta.
5
Dibyantara 2014

Sebagai transformator, manusia mencari dan menerima input untuk dirinya, yang kemudian dikonversi menjadi
bentuk-bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri (internal) maupun menjadi output yang bermanfaat
bagi lingkungannya (eksternal). Entitas manusia sebagai transformator ini sangat mendasar dan menyeluruh,
sehingga jika fungsi ini tidak berjalan lagi (sudah tidak bisa menerima input, mengkonversi, dan memberikan output)
maka manusia akan mati (dalam berbagai konteks, termasuk mati secara klinis).
Dengan adanya kebutuhan untuk menerima input dan memberikan output dalam berbagai aspek, manusia perlu
melakukan pertukaran dengan lingkungan dan sesamanya. Pertukaran ini dilakukan dalam interaksi melalui ekspresi
komunikasi yang berbasis pada obyek kesadaran internal dalam realita pikiran. Obyek kesadaran tersebut berupa
dua fenomena: yaitu konsepsi bahasa (rasional) dan konsepsi seni (abstrak). Sebagai pengamat, melalui media
kesadaran, kita mengamati pergerakan dua konsepsi ini dalam keseharian pikiran kita.
Konsepsi bahasa merupakan alur proses berbasis rasionalisasi dari berbagai macam input yang diterima pikiran
dalam bentuk informasi, kemudian dikelola menjadi bentuk-bentuk asosiasi logis yang saling terkait dalam pola-pola
yang bisa dikenali kembali (sesuai standar interaksi dengan komunitasnya) dan disimpan dalam memori untuk
keperluan kognitif dirinya sendiri, maupun dijadikan potensi output yang memungkinkan terjadinya dialog dengan
komunitasnya. Secara umum, konsepsi bahasa dalam perwujudannya meliputi semua aspek penting dalam budaya
manusia yang terstandarisasi dan bisa dirasionalisasi, semua jenis bahasa dan ilmu pengetahuan yang digunakan
manusia, dan termasuk juga kata-kata yang secara batin berbicara dalam pikiran kita. Sederhananya, segala sesuatu
dalam proses pikiran yang menggunakan dan bisa diterangkan dengan kata-kata. Manifestasi dari konsepsi bahasa
ini kemudian akan kita sebut sebagai sistem bahasa.
Konsepsi seni kurang lebih merupakan arus pengelolaan bagian yang tidak/ belum bisa masuk dalam filtrasi konsepsi
bahasa karena sifatnya yang abstrak tidak menggunakan dan tidak/ belum bisa diterangkan dengan kata-kata
secara utuh. Dari berbagai macam input yang diterima pikiran, konsepsi seni cenderung lebih menerima bentukbentuk kesan daripada bentuk informasi. Kesan-kesan tersebut dikelola melalui perasaan, membaur serta
membungkus informasi dalam bentuk-bentuk potensi asosiasi analogis dengan pola-pola yang dikenali. Hal ini
kadang menyebabkan terjadinya sensasi "deja vu", atau kita melihat seseorang yang baru kita kenal sangat mirip
dengan salah satu teman lama, atau perasaan suatu lagu mirip dengan lagu yang lain. Ini bukan berupa pengenalan
kognitif yang lebih definitif, tapi lebih pada pengenalan kesan yang mengandung pola mendekati sama secara esensi
perasaan. Manifestasi dari konsepsi seni ini kemudian akan kita sebut sebagai sistem seni.
Supaya lebih jelas definisinya, kita jabarkan fitur utama dan karakteristik pendukung masing-masing konsepsi yang
kurang lebihnya:
Konsepsi Bahasa:
Konsepsi Seni :
Informasi, Realitas, Logis
Kesan (Sensasi), Abstrak, Analogis
Rasional, Baik/ Buruk
Emosional, Intuitif/ Vibrasi Gelombang Perasaan
Material, Kata-Kata
Abstrak, Imajiner, Kreasi
Analisis/ Mengurai ke Luar
Sintesis/ Memadatkan ke Dalam
Ekspresif
Impresif
Rentang Waktu, Fokus
Serentak, Menyebar
Pengetahuan
Pemahaman
Target, Hasil
Proses Pengalaman, Gerakan
Urutan, Serial
Sinkronisasi, Paralel
Parameter, Standar
Berbagai Potensi Kemungkinan
Konkrit/ Tersurat
Dualisme/ Tersirat
Kebiasaan
Ketertarikan/ Alternasi Pola
Fungsi Kepastian, Terikat
Fungsi Perubahan, Bebas
Menjelaskan
Membayangkan
Keteraturan Pola Tertentu
Acak/ Sebaran Pola Variatif
Menyaring
Menampung
Orang Tua, Serius
Anak-Anak, Humor
Struktur kokoh, Konstanta
Adaptif, Variabel
Alasan/ Sebab Akibat
Penghayatan
6
Dibyantara 2014

Penjabaran di atas bertujuan memperjelas untuk keperluan pengenalan pada saat sistem dengan dua konsepsi
tersebut berproses, bukan perbandingan mana yang lebih baik. Meski ada sebagian kemiripan dengan brain
hemispheric, saat menyusun karakteristik di atas saya tidak berpikir dan sama sekali tidak bermaksud mengaitkan hal
tersebut. Saya lebih bermaksud menunjukkan kenyataan perilaku yang bisa kita amati sebagai obyek kesadaran
dalam realita pikiran kita sehari-hari, yang saya kategorikan sebagai dua konsepsi (bahasa dan seni) berdasarkan
karakteristiknya dalam gerak pengamatan pikiran. Dan, pada kenyataannya, kedua konsepsi tersebut saling terjalinterlibat tumpang-tindih bergerak di realita pikiran, serta pada berbagai poin memicu dan terpicu fungsional di realita
perbuatan. Sehingga, pada suatu skala akan sangat sukar membuat definisi karakteristik yang terpisah.
Daftar di atas menunjukkan sifat yang saling berlawanan, tapi sebenarnya merupakan dua sisi mata pisau yang sama
tajam. Tajam pada dua sisi yang berlawanan, tapi berbaur menyatu di tengah membentuk keseimbangan satu pisau.
Dan, titik pertemuan di ujung yang membentuk sudut runcing yang terfokus merupakan potensi kekuatan yang siap
dan bisa diarahkan. Ini hanya abstraksi bahwa konsepsi bahasa dan konsepsi seni tidak saling terisolasi. Keduanya
saling terhubung dalam gradasi perubahan yang nuansatif, saling melengkapi, dan saling mengkonversi menjadi
suatu kekuatan saat mencapai keseimbangan. Sederhananya, konsepsi bahasa dan konsepsi seni sebenarnya adalah
satu pisau pikiran yang mempunyai kekuatan daya cipta pada titik keseimbangannya.

SISTEM YANG RUMIT DISEDERHANAKAN PADA DISPLAY KESADARAN


Bentuk sinergi dari kedua konsepsi tersebut kurang lebih bisa digambarkan sebagai berikut. Kesan (konsepsi seni)
membungkus informasi (konsepsi bahasa) dengan fungsi membantu penetrasi sekaligus memperkuat penanaman
dalam memori, dan pada sebaliknya juga membantu pada saat proses mengingat. Tanpa kesan, informasi cenderung
lebih mudah terlupakan. Demikian juga sebaliknya, tanpa fitur analisis dari konsepsi bahasa, penjabaran kesan
mengenai suatu ingatan akan sukar dimunculkan ke permukaan kesadaran.
Proses interaksi dua konsepsi ini merupakan sistem yang sangat rumit karena faktor-faktor alamiah (sisi eksternal
dan internal) yang mengalami konflik-konflik dalam mencari bentuk keseimbangan. Konflik-konflik ini secara alami
selalu ada setiap saat dalam berbagai ukuran, tingkatan, dan bentuk karena kita berada dalam lingkup ruang dan
waktu yang bergerak dalam proses perubahan. Dan konflik-konflik ini selalu kita butuhkan dalam skala-skala tertentu
untuk bisa mengalami dan melakukan perubahan sebagai transformator. Sedangkan, keterbatasan display pada
kesadaran menuntut kesederhanaan format, sehingga akumulasi informasi dan kesan serta konflik-konflik yang
menyertainya secara bertahap diturunkan ke bawah permukaan kesadaran dan mengalami proses lebih lanjut di
bawah.
Di bawah permukaan kesadaran, kesan membungkus jalinan informasi dalam bentuk gumpalan padat ingatan yang
bersifat serentak/ seketika terhadap ruang dan waktu, sekaligus membentuk jaring keterhubungan antar informasi
serta antar gumpalan. Gumpalan padat ingatan ini bisa diurai dengan diawali kata kunci atau perasaan dan kesan
tertentu, atau gabungan keduanya, tergantung dari karakter dan kebiasaan individu serta jenis ingatan yang akan
dimunculkan kembali.
Saat jalinan informasi dalam suatu gumpalan padat mulai terurai, jaring keterhubungan yang dibentuk oleh kesan
akan menghidupkan hubungan dengan jalinan informasi dalam gumpalan-gumpalan asosiatif lainnya, yang direspon
sesuai urutan relevansinya secara fokus per jalur oleh rasionalisasi dan perasaan. Proses ini akan menghasilkan
format informasi yang bisa digelar pada permukaan kesadaran, yang untuk selanjutnya bisa dikomunikasikan berupa
gagasan, pertanyaan/ jawaban, cerita, dan sebagainya.
Susunan organisasi dan jaringan gumpalan-gumpalan padat ingatan ini tidak statis. Melainkan, secara relatif selalu
mengalami perubahan melalui stimulasi konflik pemutahiran dari faktor eksternal berupa pengamatan/ pengindraan
atau kejadian yang dialami (pengalaman). Pengalaman ini bisa diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja.
Semakin rutin atau ekstrim sifat pengalaman tersebut, semakin kuat dan besar dampak perubahannya. Demikian
juga sebaliknya, gumpalan-gumpalan tertentu yang terbentuk oleh kebiasaan atau rutinitas yang disengaja atau
melalui suatu pengalaman ekstrim juga akan sulit untuk diubah. Hanya stimulasi yang secara kontekstual setara atau
bahkan lebih kuat (rutinitas baru yang dipaksakan atau kejadian yang lebih ekstrim) yang bisa membawa dampak
perubahan pada susunan yang sudah sangat mapan.
7
Dibyantara 2014

Berkaitan dengan dua konsepsi (bahasa dan seni) pada realita pikiran, permukaan kesadaran adalah fitur paling
sederhana dari realita pikiran, semakin mendekati realita perbuatan semakin kuat dan jelas. Ini akan termanifestasi
dalam fitur paling dasar perbuatan dan ekspresi perilaku manusia sehari-hari. Semakin matang dan terasah oleh
pengalaman, manusia akan semakin terdorong untuk lebih mampu menggali potensi kedalaman di bawah
permukaan kesadarannya dan mengekspresikan dalam kreativitas yang lebih kompleks. Ini adalah langkah
menerima, menata, dan memahami konflik-konflik di bawah ke permukaan kesadaran.

DOMINASI KONSEPSI BAHASA DALAM REALITA PERBUATAN


Realita perbuatan merupakan proyeksi dari konsepsi bahasa dan konsepsi seni ke alam eksternal manusia. Dalam
kenyataan sehari-hari, berkaitan dengan pengaruh dunia fisik eksternal, manifestasi konsepsi bahasa sebagai sistem
bahasa pada realita perbuatan selama ini selalu menjadi lebih dominan dibanding manifestasi konsepsi seni sebagai
sistem seni. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan rasionalisasi dari pola-pola logis yang bersifat mengarahkan dan
menjelaskan secara realis fisik untuk bisa berkomunikasi. Sebenarnya hal ini bukan merupakan kondisi yang alamiah,
tetapi lebih merupakan hasil evolusi tradisi budaya peradaban kita.
Kondisi di atas bisa digambarkan seperti jika kita bertemu dengan orang asing (sistem seni) yang tidak paham bahasa
kita, dan kita juga kurang memahami bahasa mereka. Orang asing tersebut didampingi penerjemah (sistem bahasa)
yang cukup menguasai bahasa asing tersebut pada tingkat percakapan umum. Tetapi, orang asing ini akan bertemu
kita untuk topik khusus yang tidak begitu dikuasai penerjemah tersebut. Tentu saja banyak terjadi hambatan dalam
interaksi antar hubungan ini. Bagaimanapun, akhirnya interaksi tetap berjalan dengan bergantung pada kemampuan
si penerjemah. Hal tersebut akan terus berlangsung dalam hubungan selanjutnya, hingga suatu saat ada penerjemah
lain yang menguasai topik khusus tersebut. Atau, kita sendiri belajar dan bisa mengerti bahasa asing untuk topik
khusus tersebut.
Pada masa praverbal hingga awal balita, anak-anak lebih menguasai ekspresi konsepsi seni (sistem seni) daripada
ekspresi konsepsi bahasa (sistem bahasa) dalam berkomunikasi (mungkin seperti juga halnya saat manusia masih
primitif belum mengenal bahasa) . Berinteraksi dengan lingkungannya, secara naluri mereka terdorong untuk
segera menguasai ekspresi konsepsi bahasa supaya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada masa-masa
inilah mereka diperkenalkan dengan pola logis yang bersifat penalaran terhadap konsep fisik yang ada di sekitarnya.
Melewati masa balita, merasakan manfaat dan sukses dengan pola logis ini dengan mendapatkan tanggapan yang
mereka inginkan, mereka bertumbuh dengan mengandalkan salah satu bentuk dari software pikiran ini dalam
berinteraksi dengan kehidupan eksternal. Memasuki dunia pendidikan umum yang berdasarkan standardisasi,
otomatisasi terhadap pola rasional logis semakin kuat dengan tuntutan untuk masuk dalam sistem bahasa. Pada saat
ini, konsepsi seni semakin hilang dari perhatian dan konsepsi bahasa menjadi utama dalam permukaan kesadaran.
Bagaimanapun, dominasi konsepsi bahasa ini sebenarnya hanya berada pada aspek fokus perhatian, pengakuan,
dan tanggapan. Tetapi pada dasarnya, sebagai bagian dari suatu kesatuan konsepsi seni tidak pernah hilang. Orang
asing tadi masih mengikuti perjalanan; dan di bawah permukaan kesadaran juga masih ada lapisan-lapisan arus
kesadaran lain yang terlibat dan menyertai proses pikiran kita.
Sebagai transformator alami, kebutuhan untuk mengekspresikan impresinya dalam bentuk manifestasi yang
seimbang merupakan hal yang vital. Jika mengalami hambatan atau tersumbat pada satu sisi, maka akan menjadi
tekanan yang akan mencari jalur ekspresi lainnya. Kebutuhan akan ekspresi dari hal yang bersifat dorongan yang tak
bisa dipahami ini bisa terwujud dalam berbagai bentuk yang relatif bersifat negatif atau positif. Pada anak-anak
remaja kita bisa melihat ekspresi semacam ini berupa: coretan-coretan di tembok-tembok, potongan rambut yang
berbeda, tatoo, dan aksi-aksi lain yang melawan kemapanan, hingga bentuk yang lebih ekstrim seperti kenakalan
yang berakibat tawuran dan sebagainya. Jika kebutuhan ekspresi ini bisa tersalurkan, lebih-lebih jika bisa diarahkan
ke bentuk keseimbangannya, maka sebenarnya potensi kreativitas dari sisi ini akan besar.

8
Dibyantara 2014

MANIFESTASI KONSEPSI BAHASA DAN KONSEPSI SENI DALAM REALITA PERBUATAN


Pola logis adalah pola yang canggih dari konsepsi bahasa dalam penyusunan struktur informasi pada memori dan
display kesadaran, yang memungkinkan otomatisasi tanpa perlu rasionalisasi ulang pada setiap pemikiran atau
tindakan yang berdasar pada pola-pola yang sudah mapan sebelumnya. Tetapi, kecanggihan sistem yang dihasilkan
pola-pola dari logika ini justru sekaligus bisa menjadi kelemahannya.
Pada saat teraplikasi pada batasan semesta pembicaraan yang informasi-informasi penyusun sudah lengkap tesedia
di lingkungannya, maka sistem logis menjadi sangat efisien dan efektif. Tapi, pada saat informasi belum/ tidak
lengkap, sedangkan informasi yang ada memungkinkan/ cukup memadai guna menyusun suatu struktur logis, maka
pola logis yang seakan memadai ini ketika menjadi bagian struktur pemikiran yang lebih besar akan menjadi
masalah.
Sebagai gambaran, pada dua lembar robekan kertas yang sangat kecil seseorang (orang pertama) bermaksud
menulis hitungan: 1 + 2 + 3 + 4 = 10. Pada awalnya, dia menulis di lembar kesatu: 1 + 2 + 3. Karena tidak cukup, dia
menyambungkan pada lembar kedua: + 4 = 10. Kemudian, kertas tersebut ditinggal, tertiup angin, dan terpisah.
Orang lain (orang kedua) yang menemukan lembar kesatu, dan melihat tulisan di atasnya, cenderung untuk
menyimpulkan suatu logika bahwa kertas tersebut mencatat sesuatu berjumlah "6". Selama orang kedua ini tidak
menemukan lembar kedua dan melihat kaitan bahwa ada dua lembar kertas yang semula disatukan untuk menulis
jumlah, maka dia akan tetap berpikir mendapat petunjuk mengenai jumlah "6".
Analogi di atas mungkin bisa terjadi/ tidak terjadi dalam kejadian yang sesungguhnya, tapi dalam skala yang lebih
besar dan rumit, pola semacam ini sangat sering terjadi. Justru jebakan dari pola semacam ini (alur logika yang
menggiring dugaan kesimpulan hanya dengan lembar kesatu) sering dimanfaatkan secara sengaja kepada pihak yang
tidak menyadari (misal, masyarakat umum) untuk membentuk opini dengan tujuan tertentu. Seperti sering dilakukan
dalam orasi seorang politikus untuk menjatuhkan lawan politiknya (dengan menunjukkan proses kerja yang belum
selesai: 1 + 2 4 dan menutupi langkah unggul: +8 = 7), atau pada iklan produk tertentu (dengan menonjolkan daya
tarik: 3 + 3 + 4 dan tidak memberitahukan lanjutan: 5 = 5).
Bagian yang menarik dari analogi tersebut di atas adalah di mana dan apa yang terjadi dengan lembar kedua?
Seseorang lain lagi (orang ketiga) yang menemukan konsep "+ 4 = 10" pasti penuh pertanyaan. Konsep pada lembar
kedua ini mempunyai efek yang berbeda dengan lembar kesatu.
Sebelumnya, berdasarkan batasan informasi yang ada pada lembar kesatu, meskipun tidak lengkap
(ketidaklengkapan yang tak terdeteksi), sistem logika dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis cenderung
membentuk format terbaik dari kondisi maksimal yang tersedia (proses alamiah yang mendorong terbentuknya
kemapanan). Selain itu, konsep lembar kesatu ini: "1 + 2 + 3", juga tidak begitu menyarankan adanya tambahan
informasi lain, kecuali mungkin tambahan "=" , sehingga bisa berlanjut menjadi "= 6". Inklusi "=" ini justru semakin
menutup kemungkinan asosiasi terhadap tambahan informasi lain. Lembar kesatu ini merupakan salah satu ilustrasi
manifestasi konsepsi bahasa secara analogis. Tapi, ini memang merupakan suatu contoh yang menunjukkan sisi
kelemahan yang justru mengiringi sisi kekuatan dari sistem bahasa dalam merumuskan kesimpulan.
Sedangkan, lembar kedua membawa kesan tidak masuk akal, tidak valid, dan tidak lengkap. Jika orang ketiga tidak
tertarik memikirkan lebih lanjut, dia akan menganggapnya tidak berguna dan akan membuangnya. Tetapi, jika orang
ketiga ini tertarik untuk menyimak lebih lanjut, konsep pada lembar kedua: "+ 4 = 10", akan menimbulkan asosiasi
adanya ketidaklengkapan serta saran kebutuhan tambahan unsur informasi lain untuk bisa mengambil kesimpulan
yang utuh. Unsur ketidaklengkapan tersebut merupakan faktor x (konsep yang sering ditemui pada berbagai sisi
kehidupan). Melangkah lebih lanjut, bisa ditarik kesimpulan sementara "x + 4 = 10". Kesadaran dan pengakuan akan
adanya faktor "x" ini akan menuntun pada pemecahan logis yang lebih menyeluruh, baik dengan kejadian yang
berkaitan maupun dengan konteks lain yang setara. Dalam arti, dia bisa menyimpulkan sendiri persamaan tersebut
dengan "x + 4 = 10", maka "x = 6". Atau, berlanjut dengan jika dia bertemu orang yang menemukan lembar kesatu
dan bersama-sama menyimpulkan jika "x + 4 = 10", maka "x = 1 + 2 +3". Bisa juga dia menemukan lembar-lembar
lain yang berisi "3 + 3", atau "2 + 4", atau "1 + 5" , dan seterusnya yang bisa diasosiasikan dengan/ sebagai "x". Faktor
"x" pada lembar kedua ini merupakan ilustrasi manifestasi konsepsi seni.
9
Dibyantara 2014

Bukan berarti hanya sistem bahasa saja yang bisa mengarah pada kesalahan tak terdeteksi, sebaliknya juga dapat
terjadi pada sistem seni. Bisa digambarkan dengan lembar bahasa: 1 + 2 + 3 + dan lembar seni: x = 10. Di sini lembar
bahasa memberikan petunjuk akan ketidaklengkapan, yang bisa menuntun ke faktor "x", bahkan kemudian faktor
"y". Sehingga, mungkin bisa disusun persamaan: 1 + 2 + 3 + x = y, atau kemungkinan persamaan lain. Meski belum
tentu bisa segera menemukan kelengkapan dari persamaan tersebut untuk mendapat jawaban yang tepat, paling
tidak bisa mencegah pengambilan keputusan yang salah, atau penggunaan logika secara prematur, dengan
menyadari adanya ketidaklengkapan. Sementara itu, lembar seni di sini justru memberikan asumsi definisi yang
pasti, sehingga sukar untuk disadari kemungkinan adanya kesalahan.
Kalau diperhatikan pada dua analogi di atas, terdapat ketidak-konsistenan jika sistem bahasa dan sistem seni
dikategorikan dalam lembar yang terpisah terutama pada analogi terakhir yang dipaksakan dengan mengganti
lembar kesatu dan lembar kedua menjadi lembar bahasa dan lembar seni. Tetapi, jika faktor angka kita anggap
sebagai bagian sistem bahasa, sedangkan faktor huruf kita anggap sebagai bagian sistem seni, dan simbol operasi
sebagai pertemuan keduanya dalam proses, maka kita akan melihat keterikatan antara kedua sistem pada setiap
divisi keberadaan dalam proporsi yang relatif. Hal ini menyarankan bahwa fungsi kebersamaan keduanya sangat
vital, sehingga ketidakseimbangan perhatian pada keduanya secara menyeluruh akan sangat fatal.

SOFTWARE PIKIRAN

Semakin matang dan terasah oleh pengalaman, manusia akan semakin terdorong untuk lebih mampu menggali potensi
kedalaman di bawah permukaan kesadarannya dan mengekspresikan dalam kreativitas yang lebih kompleks. Ini adalah
langkah menerima, menata, dan memahami konflik-konflik di bawah ke permukaan kesadaran.

Kalimat-kalimat ini merupakan pengulangan dari yang sudah saya tulis di atas sebelumnya. Sebenarnya lebih dari itu,
di sini saya perlu menekankan kembali fungsional manusia sebagai multi-transformator dengan fasilitas canggih yang
tak tertandingi, yaitu fasilitas pikirannya. Fasilitas pikiran ini menjelma sebagai konsepsi bahasa dan konsepsi seni
yang memproses segala input yang kita terima menjadi kristal-kristal mulia yang disimpan terpendam di bawah
permukaan kesadaran. Semakin padat terpendam, semakin berkualitas. Sehingga, pada dasarnya, manusia memiliki
harta karun yang tak ternilai di dalam dirinya. Untuk itu dia harus menggali lebih dalam lagi ke dalam dirinya untuk
mendapatkannya.
Tetapi menggali harta karun tersebut adalah hal yang sulit dan akan mengalami banyak hambatan. Permukaan
kesadaran manusia modern bagaikan jalan raya dengan lalu lintas yang sangat padat yang menyita perhatian.
Sehingga, tentu saja sukar untuk melakukan penggalian di tengah jalan yang ramai. Hambatan lain adalah kita terlalu
sibuk mengurusi refleksi kita di cermin permukaan kesadaran kita. Karena, dunia eksternal dengan budaya yang kita
ciptakan ini sebenarnya refleksi atau imitasi proyeksi dari dunia internal kita, yang kita gunakan sebagai ancangan
untuk menata kedalaman diri kita supaya bisa menggali lebih dalam lagi. Akan tetapi, refleksi yang kita lihat ternyata
justru memikat kita untuk mengejar keluar. Mungkin ini pengartian lain dari mitos Narcissus yang jatuh cinta pada
bayangannya di air.
Gambaran yang mudah, kita sering menyebut komputer sebagai model sederhana dari otak kita. Dalam pemakaian
komputer, kita bisa mengikuti arahan untuk perawatan dalam pemakaiannya. Seperti rutin melakukan antivirus
scanning atau menjalankan fungsi defragmenter . Tetapi, kita sendiri tidak pernah melakukan semacam antivirus
scanning dan defragmentasi pada pikiran kita, karena kita lebih terpukau/ jatuh cinta pada komputer dan gadgetgadget sejenis yang merupakan refleksi/ imitasi sebagian kecil di teknologi otak kita.
Kembali ke soal harta karun yang ada dalam pikiran kita, banyak refleksi kejadian di dunia eksternal yang sebenarnya
merupakan petunjuk mengenai kapasitas pikiran manusia. Seperti seorang dengan cacat mental yang mampu
menjawab perkalian dalam hitungan milyar dalam beberapa detik; atau beberapa orang yang mempunyai
kemampuan photographic memory sehingga mampu mengingat dan membaca ulang isi sebuah buku tanpa melihat
tapi seolah dia melihat dari halaman ke halaman; juga seseorang yang sesudah mengalami kecelakaan, yang
berakibat terjadinya benturan di kepalanya, kemudian mempunyai kemampuan mental atau fisik yang luar biasa.
Dari beberapa kasus seperti itu kita bisa melihat bahwa ada berbagai fitur kemampuan ekstra dari pikiran yang
belum sempat/ bisa kita akses.
10
Dibyantara 2014

Menjajaki keterkaitan di atas antara suatu kondisi dan kejadian dengan akibat perbedaan kemampuan, kita mungkin
bisa menduga-duga bahwa ada hubungannya dengan perbedaan dalam pengaturan koneksi yang memungkinkan
akses pada jalur-jalur yang tepat terhadap fitur fungsional tertentu dari pikiran. Atau, kita memerlukan sistem yang
mengelola cara berpikir dengan berbeda. Untuk ini, kita mungkin bisa menggunakan semacam software untuk
pikiran.

MENYEDIAKAN SOFTWARE PIKIRAN


Menggunakan analogi dengan sistem komputer, kita suatu saat mendapati file dengan ekstension yang tidak terbaca
oleh komputer, yang memberitahukan bahwa komputer kita tidak mempunyai software untuk mengakses atau
mengelola file tersebut. Berarti komputer kita harus diinstal dengan software baru yang bisa membacanya. Demikian
juga pikiran kita membutuhkan berbagai software yang berbeda-beda dalam berbagai tingkatan untuk mengelola
dan/ atau memicu berbagai fitur fungsional yang belum terakses dalam pikiran kita. Contoh software pikiran yang
secara umum paling kita kenal dan sering/ selalu kita gunakan adalah logika, fungsi-fungsi kognitif, fungsi-fungsi
mekanik, imaginasi persepsi dari pengindraan, dan sebagainya. Di antara sekian banyak yang kita miliki dan banyak
yang tidak kita kenali, masih banyak lagi software pikiran yang kita butuhkan.
Selain yang merupakan bawaan, software pikiran ini bisa kita peroleh melalui pemrograman secara sengaja, seperti
rutinitas melatih jari-jari tangan untuk bermain gitar hingga jari memiliki reflek terhadap nada-nada seolah
mempunyai pikiran sendiri termasuk ketrampilan jari pada penggunaan keyboards, baik pada alat musik atau
komputer. Atau, sebagai contoh lain, melatih ingatan dengan teknik mnemonic atau loci. Kemudian, cara yang lain
lagi, software pikiran bisa kita peroleh melalui penerimaan, penataan, pemahaman, dan penyesuaian terhadap
konflik-konflik. Sebetulnya, jari-jari tangan yang kaku dan sakit pada awal latihan juga merupakan konflik. Jadi,
mungkin juga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya semua software internal yang dibutuhkan manusia terproduksi
berdasarkan respon dan pengelolaan terhadap konflik. Cara kerjanya kurang lebih mirip dengan sistem kekebalan
tubuh, kerang mutiara, atau juga gaharu yang menghasilkan efek produk berharga berdasarkan respon terhadap
penetrasi dari luar sistem yang menimbulkan konflik di dalam.
Pengalaman merupakan salah satu sumber konflik penghasil software yang baik, bahkan pengalaman yang buruk.
Akan tetapi, jika persepsi pengalaman tersebut hanya melintas permukaan kesadaran dan kemudian hanya disimpan
dalam ingatan tanpa melalui penataan ulang dan pemahaman esensinya, software tidak akan terbentuk atau, jika
software tetap terbentuk, bukan berupa kualitas yang dibutuhkan. Apalagi jika konflik pengalaman tersebut dikelola
logika dengan parameter baik-buruk, benar-salah, maka tidak akan terbentuk software baru melainkan hanya
kembali menjadi sekedar kesan yang menyertai informasi pada logika yang lama. Permasalahan dan pemikiran baru
membutuhkan logika yang baru.
Di sini kembali logika sebagai software yang penting bisa menjadi penghambat bagi terbentuknya software-software
baru. Logika merupakan faktor penting yang mengelola (menganalisa dan kemudian menata) informasi serta hasil
rasionalisasi gumpalan padat ingatan ke permukaan kesadaran. Dan sangat efektif pada pengelolaan sistem
informasi yang sudah sangat dikenali dan dipahami terutama untuk pengkomunikasian. Tetapi, untuk suatu hal
yang baru, sesudah melakukan analisa, logika harus diredam untuk sementara . Ini merupakan hal yang sangat sulit,
karena logika merupakan tuan rumah/ penerima tamu di permukaan kesadaran, terutama segala hal yang
menyangkut konsepsi bahasa seperti kita menyuruh tuan rumah untuk pergi dulu sesudah menyiapkan suguhan.
Kesulitan utamanya adalah logika merupakan sistem pola yang sangat kuat yang cenderung mengelola setiap
informasi atau pola baru dalam desain logis. Sedangkan, desain logis bersifat valid untuk pola logisnya sendiri, desain
logis lain bisa dianggap tidak valid. Ada suatu kecenderungan alamiah di permukaan kesadaran: di antara sekian
banyak buah dari pohon pemikiran, yang menjadi pilihan adalah buah dari pohon logika.
Salah satu cara untuk menghindari dominasi logika supaya bisa menginstal berbagai macam software pada
permukaan kesadaran adalah menggunakan sistem yang tidak terbaca oleh software logika, di luar konsepsi bahasa.
Pilihannya adalah sistem dari konsepsi seni. Pilihan lain adalah bantuan dari alam berupa pengalaman, terutama
pengalaman buruk seperti kegagalan, musibah, kejadian aneh/ di luar dugaan, bencana yang jelas-jelas memporakporandakan susunan logika kita dan membuat kita secara alami melihat permasalahan dengan cara yang berbeda.
Tetapi, di mana dan bagaimana membeli pengalaman buruk tersebut, serta siapa yang mau membeli?
11
Dibyantara 2014

PASANGAN SISTEM BAHASA DAN SENI


Manifestasi dari konsepsi bahasa dan konsepsi seni selalu berpasangan dalam proporsi yang relatif dalam ekspresi
sistem bahasa dan sistem seni, dengan berbagai tingkatan dari bentuk paling sederhana hingga bentuk yang rumit.
Dalam bentuk sederhananya, jika sistem bahasa mengekspresikan konsep keberhasilan, sistem seni
mengekspresikan konsep kegembiraan dan rasa bangga; sistem bahasa mengekspresikan konsep bisa mengatasi
masalah, sistem seni mengekspresikan konsep percaya diri. Hingga pada suatu kondisi yang lebih rumit, media
ekspresi konsepsi seni tidak bisa mengekspresikan konsep secara setara dengan media ekspresi konsepsi bahasa. Hal
ini disebabkan karena sistem bahasa lebih bertumbuh standardisasinya. Berawal, mungkin, dari bahasa isyarat,
coretan di tanah, kemudian kode-kode suara yang membentuk morfim, hingga menjadi koleksi kata-kata yang bisa
merepresentasikan bentuk-bentuk fisik yang disepakati. Karena fungsi-fungsi yang sangat mempermudah dalam
komunikasi, standardisasi sistem bahasa berkembang pesat dalam budaya peradaban manusia, dan menjadi
perhatian utama.
Bagaimanapun, hukum alam selalu mencari bentuk keseimbangan. Ekspresi konsepsi seni yang tersumbat karena
keterbatasan media dan tidak mendapat perhatian, terus berupaya mencari jalan untuk tetap bisa mendampingi
pasangannya (konsepsi bahasa). Energi dari upaya ini menimbulkan tekanan batin dan gejolak, sehingga bisa
mendorong seseorang (di masa lalu) untuk meloncat-loncat sambil memukul-mukulkan kayu yang menimbulkan
bunyi-bunyian. Lalu, entah kenapa ada perasaan enak setelah melakukannya. Sehingga dia terus melakukan sambil
mulai mengatur gerak loncatan dan bunyi yang ditimbulkan sesuai dorongan perasaannya. Jadilah tari-tarian yang
diiringi musik perkusi. Seorang yang lain lagi, melihat bekas pukulan kayu pada batu padas dan melihat guratan yang
menyerupai bentuk tertentu yang dikenalnya. Dia mencoba meniru bentuk tersebut dengan memukul-mukul batu
padas tersebut dengan batu yang lebih keras. Jadilah relief atau patung batu. Karena menarik dan menjadi
fenomena nyata, sistem bahasa mulai bisa membahas dan mengkomunikasikan sistem seni ke orang-orang lain
untuk menjadikannya sebagai kegiatan. Akhirnya, konsepsi seni mulai mendapatkan media ekspresi ke dunia
eksternal dan mengejar ketinggalan untuk mendampingi pasangannya.
Setelah mendapatkan perhatian kita, sistem seni berkembang pesat dan mampu mengekspresikan konsep yang
rumit. Lukisan terupakan dalam media dua dimensi, diam tak bergerak. Tetapi, saat kita mengamatinya, ada
gerakan-gerakan dalam pikiran kita yang menganalisanya menjadi berbagai pemikiran. Hal ini sangat mirip dengan
kondisi gumpalan ingatan yang terkompresi di bawah permukaan kesadaran kita. Banyak seniman lukis yang
berusaha memotret pikirannya, kemudian mencetaknya di atas kanvas. Sehingga menghasilkan ekspresi yang masih
abstrak. Bagaimanapun, karena itu berasal dari pikiran manusia yang secara universal saling berkaitan , sedikit
banyak pada satu atau beberapa point kita bisa merasakan pola-pola yang seakan kita kenal. Itulah mengapa pelukis
seperti Pablo Picasso, M.C. Escher, Salvador Dali, Jackson Pollock, Affandi sedemikian terkenal meskipun, bisa juga
ada yang menganggap mereka ngawur atau tidak bisa melukis dengan benar.
Meskipun konsepsi seni telah mendapatkan media ekspresi ke dunia eksternal, juga sudah memperoleh perhatian
kita, secara umum pengakuan keberadaan dan pemanfaatannya selalu terpisahkan dari manifestasi konsepsi bahasa.
Sistem bahasa, seperti ilmu pengetahuan, tidak bisa menerima konsep dari sistem seni sebagai bagian ilmu
pengetahuan: seni itu tidak rasional! Demikian juga dari sistem seni sering menyatakan: ilmu pengetahuan tidak
nyeni! Ini merupakan pendapat umum yang berasal dari isu yang salah kaprah.
Rumus-rumus matematika atau fisika dengan abstraksi atau kompresi dari gagasan-gagagasan pemikiran yang luas
menjadi simbol-simbol yang bersifat menyederhanakan, tak ubahnya dengan bagaimana kesan sebagai alat dari
konsepsi seni membungkus informasi dari konsepsi bahasa menjadi gumpalan padat dalam ingatan. Kemudian,
seorang soloist musik jazz melakukan improvisasi melodi (analisis) hanya berdasarkan kode-kode progresi chord dari
sebuah lagu, tak ubahnya seperti pikiran rasional dari konsepsi bahasa menganalisa gumpalan padat dalam ingatan
menjadi struktur logis di permukaan kesadaran. Tanpa matematika, tangga nada diatonik yang disusun berdasarkan
hubungan antara nada dengan frequensi (disusun oleh Pythagoras) tidak akan terwujud, demikian juga halnya
dengan sistem harmoni chord yang berdasarkan pada overtone series dari pengetahuan mengenai akustik. Tanpa
rasionalisasi matematis "Circle Limit" dari M.C. Escher tidak bisa terwujud. Meskipun dikategorikan secara terpisah,
bisa kita lihat pada kulit mangga yang dikupas terdapat sedikit kuning buah dan pada buah terdapat sedikit hijau
kulit. Menandakan bahwa sebelumnya, keduanya pernah menyatu!
12
Dibyantara 2014

MUSIK SEBAGAI SOFTWARE PIKIRAN


Berbagai kesan dalam konsepsi seni yang bersifat abstrak, yang tak bisa diterjemahkan konsepsi bahasa dan melapisi
berbagai susunan informasi akan membentuk pola-pola asosiasi analogis dalam pikiran. Berbagai pola kesan yang
terbentuk ini, merupakan kumpulan potensi formasi kompleks mengenai bagaimana berbagai informasi akan
dikelola menjadi berbagai kemungkinan format pikiran. Di antara sekian banyak format itu, banyak yang tidak
terekspresikan bersamaan dengan konsepsi bahasa. Seperti yang saya uraikan sebelumnya, format-format tersebut
diekspresikan melalui media yang berbeda seperti gerakan pada tari atau berbagai disiplin bela diri; seni rupa,
permainan yang mengandung berbagai bentuk pola seperti catur, dan sebagainya. Matematika sebenarnya
merupakan salah satu bentuk persimpangan atau pertemuan antara konsepsi seni dan konsepsi bahasa. Sehingga,
matematika bisa teraplikasikan dalam berbagai ilmu pengetahuan yang lain bahkan termasuk juga dalam seni,
karena fungsi analogisnya.
Musik merupakan salah satu bentuk manifestasi ekspresif dari konsepsi seni. Setelah diekspresikan dan berinteraksi
di dunia eksternal, sistem musik kemudian kembali menjadi input sebagai penyedia berbagai macam pola kesan
gerak pikiran dari variasi dan kombinasi paling sederhana hingga yang sangat rumit. Bisa dikatakan musik adalah
software penyedia pola berpikir yang berfungsi melalui pengelolaan kesan, yang berperan sebagai pembungkus
informasi. Pola pikir yang terkandung dalam musik akan berfungsi efektif dalam bentuk murninya tanpa kata-kata
dari syair lagu. Kekayaan akan variasi kemungkinan yang bisa disusun dalam suatu komposisi musik, akan
memberikan kelenturan serta alternatif bagi saluran yang tersumbat pada konektifitas jaringan di dalam pikiran.
Parameter kesuksesan penginstalan salah satu program (lagu) dari sistem musik adalah saat suatu jenis musik yang
pada awal kita dengar berkesan kurang/ tidak bermakna, pada beberapa pengulangan menjadi mulai berarti dan
memberikan sensasi pengalaman tersendiri. Semakin jelas dan terasa menyenangkan sensasi pengalaman tersebut,
bisa diartikan pola pikir baru sudah mulai terbentuk di dalam pikiran kita. Dengan memperbanyak dan meningkatkan
faktor kesulitan pencernaan pola musik yang didengar, akan semakin meningkatkan kapasitas kemampuan daya pikir
dan fleksibilitas mental kita, termasuk perluasan area permukaan kesadaran kita.
Pengaruh pola musik ini sangat kuat terhadap pikiran kita, bisa dibuktikan saat beberapa orang, yang kurang terbiasa
dengan musik klasik atau musik jazz, kita minta untuk mendengarkan komposisi klasik dari Stravinsky (misal: The Rite
of Spring) atau lagu jazz dari Michael Brecker (misal: Don't Try This At Home). Komentar mereka biasanya merasa
pusing, mual, ada yang jadi mengantuk atau bingung, bahkan ada yang merasa pikirannya terganggu. Ini merupakan
usaha dengan jeda tingkatan yang terlalu jauh. Tetapi, di sini kita bisa melihat bahwa musik berdampak
(memberikan konflik) pada pikiran. Efek-efek tersebut merupakan pertanda adanya pergeseran pola pikiran melalui
pembongkaran kesan yang melapisi susunan informasi pembanding yang ada dalam pola logika, sehingga terjadi
penyesuaian terhadap perubahan yang ekstrim. Jika perlakuan stimulasi musik tersebut dilanjutkan, hingga
mencapai kondisi (pemahaman abstrak) tertentu, akan terbentuk asosiasi dan pola-pola logis baru dalam cara
berpikir yang berbeda, yang akan merupakan alternatif tambahan dari cara berpikir yang sudah ada. Suatu cara
memperkaya pola pikir yang lebih aman dan terjangkau dibanding membeli konflik dari pengalaman buruk atau
secara spekulatif membenturkan kepala ke dinding.

MUSIK DAN MASYARAKAT


Seandainya sekarang kita melihat banyaknya permasalahan sosial di dunia yang tak terpecahkan, ini merupakan
petunjuk bahwa cermin yang kita gunakan untuk membangun imitasi eksternal dari internal kita tidak bisa
memberikan refleksi yang menyeluruh, cermin tersebut hanya bisa merefleksi permukaan saja. Sehingga, karya
budaya peradaban kita tidak seimbang. Untuk memperbaikinya, kita harus melihat lebih jauh di kedalaman pikiran
kita untuk menemukan kebenaran/ kelengkapan.
Di jaman modern ini, dengan akselerasi perkembangan pengetahuan dan teknologi yang drastis, permasalahan juga
tidak mau kalah bersaing. Dengan banyaknya kesenjangan ekonomi maupun intelektualitas, masyarakat mulai
semakin terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil maupun individual. Sistem pendidikan sebagai alat
komunikasi budaya justru memberikan tekanan beban terhadap perkembangan mental dan pikiran generasi
penerus, karena fokus pencapaian yang lebih terarah pada kuantitas bukannya kualitas.
13
Dibyantara 2014

Saat ini informasi hampir apa saja sudah tidak bisa terfilter oleh jaring budaya, terkomunikasikan ke generasi muda
tanpa batasan. Banyak kontradiksi, kemunafikan, kekerasan, perbantahan yang tidak layak tersalurkan ke pemikiran
mereka. Acuan moral mengenai kebenaran, kesenangan, kebaikan, keuntungan, kebahagiaan, dan kecenderungan
gaya hidup semakin rancu.
Di sisi lain, masyarakat kita selalu menanti-nantikan adanya sosok pemimpin yang bisa melakukan pemecahan ajaib
bagi keseluruhan permasalahan masyarakat dan negara. Ini merupakan pemikiran yang salah dan tidak sehat yang
diajarkan budaya berpikir kritis dalam pendidikan kita, yang seolah-olah bisa membuat seseorang menghakimi
kinerja orang lain hanya berdasarkan informasi sekilas. Permasalahannya, sehebat-hebatnya seorang pemimpin,
tanpa kemampuan masyarakat untuk mencerna aspirasinya, serta tanpa kemauan berbagai pihak untuk terlibat
dalam pembangunan bersama, yang ada hanya tuntutan terhadap bukti perubahan instan. Suatu proses dari
perencanaan berjangka hanya akan dianggap sebagai penundaan pemberitahuan kegagalan.
Pada bagian sebelumnya saya sudah membahas mengenai degradasi tingkat penerimaan dan eksplorasi masyarakat
terhadap musik secara esensial. Ditambah dominasi industri musik popular yang tersebar di masyarakat di segala
usia. Bagaimanapun, meski bukan pada kondisi murni (berupa lagu dan syair) fungsional sebagai software pikiran
tetap ada dalam musik popular. Hal yang perlu kita perhatikan adalah mengenai apa yang dikomunikasikan musik
popular. Sebagai hal yang bersifat menghibur, bisa kita artikan musik tersebut memberikan apa yang diinginkan
(dalam bentuk kesan). Hal-hal yang tidak bisa diberikan oleh pekerjaan, tidak bisa diberikan oleh negara, tidak bisa
diberikan oleh pendidikan, tidak bisa diberikan oleh kehidupan seolah diberi dan disediakan oleh musik popular
sebagai hiburan yang siap di mana saja setiap saat.
Tetapi, pola yang diberikan musik popular tidak banyak memberikan efek peningkatan terhadap daya pikir. Kekayaan
variasi pada musik popular lebih banyak ke eksterior musiknya seperti sound effect, timbre, variasi beat dan rhythm.
Pola pikir yang terbentuk pada musik popular justru merupakan penguatan pola kesan pada sistem logis yang sudah
ada mengenai bentuk kesenangan, keberhasilan, kenikmatan, dan sebagainya. Hal yang diberikan musik popular
kemudian lebih berupa saluran kelegaan atau pelampiasan sementara. Tetapi, jika musik tersebut diulang-ulang
dengan pola-pola yang sejenis tanpa upaya beralih ke tingkat lebih lanjut, maka pola yang menjadi dikenal secara
logis itu akan tercetak dalam dan menjadi pola pikir yang mapan dan kaku. Sering terjadinya fanatisme pada musikmusik popular kurang lebih juga disebabkan hal tersebut. Lebih lanjut, pada saat ilusi kelegaan yang bersifat
sementara seolah menjadi nyata, akan terbentuk sikap apatis terhadap segala hal di luar musik yang disenanginya.
Seluas musik popular berbasis industri (baik pertunjukan maupun rekaman) menjangkau kehidupan, seluas itu pula
kemungkinan pengaruh pola pikir mengejar kemapanan, kenyamanan, kenikmatan, serta sikap fanatisme dan
apatisme bisa tertanam kuat dalam masyarakat. Lebih serius lagi, artis-artis/ musisi lagu-lagu popular pun juga
terpengaruh oleh pola-pola yang menghipnotis tersebut dengan akibat yang lebih ekstrim. Sementara itu, para
pengagumnya menganggap mereka sebagai dewa yang menjadi panutan. Meski tidak sehitam-putih ini kondisinya,
bagaimanapun bekas cetakan ini akan semakin dalam pada generasi penerus. Bahaya laten terbentuk dan siap untuk
disulut setiap saat!
Saya ulang kembali, musik popular merupakan pemerkayaan terhadap musik karena kerampingan dan
kesederhanaan formatnya justru memancing timbulnya banyak variasi (eksterior), serta kelebihan pada aspek
pemahaman yang berhasil dengan kenyataan membawa musik menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat luas. Pada
titik mulai terjadi minat ini, merupakan kesempatan untuk memperluas dan meningkatkan pemahaman terhadap
musik. Ini lebih penting dari sekedar mempelajari teknik untuk menyajikan musik. Musik adalah suplemen makanan
untuk pikiran. Demikian juga dengan software-software pikiran yang lain, berupa sistem-sistem yang berkaitan
dengan variasi pola murni tanpa dominasi bahasa, seperti: permainan catur, othello; teknik lukis tesselation, batik;
bela diri lunak yang mengandung banyak variasi jurus dan gerakan; matematika; dan sebagainya. Software-software
pikiran semacam ini seharusnya lebih mendapatkan prioritas pada awal-awal pendidikan, daripada membenamkan
anak dalam tumpukan informasi. Sehingga kita mempunyai generasi penerus yang akan mampu mengontrol
teknologi, bukan generasi yang diatur dan tergantung teknologi.

14
Dibyantara 2014

PERLUNYA PERUBAHAN MENDASAR


Indonesia adalah bangsa dan negara kita yang tak perlu kita pungkiri dalam sejarah perkembangannya penuh dengan
konflik. Penuh konflik berarti penuh potensi. Selama kita tidak berusaha menutup-nutupi kelemahan kita dengan
kata-kata puitis romantis yang menghibur untuk meninabobokan masyarakat, berarti potensi itu tetap ada. Karena
kesadaran akan adanya konflik membuat kita fokus terhadap sesuatu untuk diperjuangkan. Dalam masa perang fisik,
definisi konflik dan sasaran permasalahannya jelas. Tapi, dalam masa "kemerdekaan" seperti sekarang ini, definisi
konflik dan sasaran permasalahannya jadi kabur. Kekuatan kolektif perjuangan kita sebagai bangsa jadi dilumpuhkan.
Dan teknologi yang saat ini sangat mampu untuk berperan sebagai pemberi hiburan secara instant, semakin
melumpuhkan daya juang masyarakat selain sekedar mengikuti arus dan berusaha tidak tenggelam saja.
Sebelum terlambat kita perlu menanamkan pola-pola pikir baru ke masyarakat melalui pendidikan yang berbeda
(tidak hanya mengacu pada budaya barat), yang bersifat menegakkan kembali karakter budaya berjati diri bangsa
kita yang sudah hampir kehilangan bentuknya di hati masyarakat, menjadi budaya Indonesia yang diperbarui.
Sebelum ditanami bibit, sawah harus dibajak, salah satunya supaya sifat plastis pada tanah terjaga secara merata.
Demikian juga dengan pikiran, untuk bisa mengakomodasi pertumbuhan baru diperlukan kelenturan pikiran adaptif.
Komentar dan argumentasi tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah berupa perdebatan,
sementara itu perdebatan tidak akan selesai-selesai. Seperti mendorong mobil yang mogok, kita perlu menyatukan
tenaga dan misi ke satu tujuan ideal. Bukan mempertentangkan kekuatan dengan secara serentak mendorong dari
berbagai arah secara berlawanan.
Dalam kompetisi global, jika kita mengejar ketinggalan dengan mengikuti cara bermain yang sama, kita akan selalu
beberapa langkah di belakang. Tetapi, dengan mengupayakan potensi yang kompatibel dengan karakteristik kita,
setapak demi setapak jarak akan semakin tipis. Karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang berada dalam
kondisi ideal, bisa kita perumpamakan: orang buta mungkin kalah dalam penglihatan dengan orang tuli, tetapi dia
bisa menang dalam pendengaran!

15
Dibyantara 2014

Das könnte Ihnen auch gefallen