Sie sind auf Seite 1von 24

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan
dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang menyatakan
bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada
anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter
dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau
studi klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis
berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan,
kegagalan penambahan berat badan, overbite, toungethrust, halitosis, mendengkur,
gangguan bicara dan enuresis.1,3
Pada pertengahan abad yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari hampir tidak
adanya kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi menuju kriteria yang lebih tegas
dan jelas. Selama ini telah dikembangkan berbagai studi untuk menyusun indikasi formal
yang ternyata menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam penyusunannya
ditemukan kesulitan untuk memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari sehingga
dianjurkan terapi dilakukan dengan pendekatan personal dan tidak berdasarkan peraturan
yang kaku. American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery telah
mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan
kesepakatan para ahli.1

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

EMBRIOLOGI TONSIL
Pada pertumbuhan tonsil terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring

akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal
kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan
membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan
ke 3-6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di
dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akibatnya terbentuk jaringan
ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari
mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.1

2.2

ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan

ikat dengan kriptus di dalamnya. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang
mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjarkelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, dibawah mukosa dinding posterior
faring dan dekat orifisium tuba eustachius.1,2
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjaang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,

daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Tonsil terletak
di lateral orofaring dan dibatasi oleh:
- Lateral
: M. konstriktor faring superior
- Anterior : M. palatoglosus
- Posterior : M. palatofaringeus
- Superior : Palatum mole
- Inferior : Tonsil lingual

Gambar 2.1. Anatomi Tonsil


Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen, yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).1
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah
otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti
kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi
lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai
palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus

hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior
bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.1,2
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat
yang disebut kapsul. Kapsul adalah jaringan ikat putih yang mempunyai 4/5
bagian tonsil.1
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada
sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat
pengakatan tonsil.1
Perdarahan
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang A.karotis eksterna, yaitu:
1) A.maksilaris eksterna (A.Fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris
dan A. palatina asenden,
2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatine desenden,
3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal,
4) A. faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh oleh A.
faringeal asenden dan A. palatine desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena disekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal.1,2

Gambar 2.2
Perdarahan
Tonsil
Aliran
getah bening
Aliran getah bening dari tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda bagian superior di bawah M. sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil
hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen.1
Persarafan
Tonsil bagian atas endapat sensasi dari serabut saraf ke saraf trigeminus
melalui ganglion sfenopalatina dan tonsil bagian bawah dari saraf
glosofaringeus.1
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Pada tonsil terdapat
sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag,
sel dendrite dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam
proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
immunoglobulin spesifik, juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma
dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi.1
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid tidak memiliki
5

kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring, terutama ditemukan pada


dinding atas dan posterior. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3 tahun dan
akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. 1,3

Gambar 2.3. Tonsil

Faringeal (Adenoid)

c. Tonsil Lingua
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.1,2
d. Ukuran Pembesaran Tonsil
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:
1) T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar
anterior-uvula
2) T2: batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak plar
anterior-uvula
3) T3: batas medial tosnsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak
pilar anterior-uvula
4) T4: batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih.

Gambar 2.4.

Klasifikasi

Pembesaran Tonsil

2.3.

FISIOLOGI
TONSIL
Tonsil palatine merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai

sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran
makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik
atau nonspesifik. Apabila pathogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik
mononuclear akan mengenal dan mengeliminasi antigen.1
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif dan sebagai organ utama produksi antibody serta sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik. Dalam keadaan normal tonsil akan membantu
mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak sebagai filter untuk memperangkap
bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibody untuk melawan infeksi.
Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan pathogen, selanjutnya
membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan
timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsillitis. Aktivasi imunologi
terbesar tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun.1

2.4. TONSILEKTOMI
2.4.1. Definisi Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan salah satu atau


seluruh tonsil palatine. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina
dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal. Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah
pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang.4,5
2.4.2. Epidemiologi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya.5
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak
(86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Trend serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi).5
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan

kenaikan

jumlah

operasi

tonsilektomi

dan

penurunan

jumlah

operasi

tonsiloadenoidektomi.5
2.4.3. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. 5
Indikasi tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS):
Indikasi absolut5
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat,gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.
Indikasi relatif5
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat.
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten.
d) Perbesaran tonsil unilateral yang diduga keganasan
Pada keadaan tertentu seperti pada keadaan abses peritonsil (quincy), tonsilektomi
dapat dilakukan bersamaan dengan insisi abses.
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat.

Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk
tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas
indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk
tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris
kriptus dari tonsil (cryptic tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat
timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang
menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya
satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan
sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi
kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.5,6
2.4.4. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah5:
a) Gangguan perdarahan
b) Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
c) Anemia
d) Infeksi akut yang berat
2.4.5. Persiapan Operasi Tonsilektomi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien
terletak di tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung
dan tenggorok atau dokter yang bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu
tidak ada dokter spesialis THT. Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat
mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau
penundaan operasi. Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis
yang diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian
laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat

10

perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam


memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi
tertentu. Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya
biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.8
a) Anamnesis8
i.
Riwayat kesehatan.
ii.
Adanya penyulit seperti

asma,

alergi,

epilepsi,

kelainan

maksilofasial pada anak dan pada orang dewasa asma, kelainan


iii.

paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi.


AFP: Riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran),
imunisasi, infeksi terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya
pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru dan jantung,
kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta

dosisnya.
iv. Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi.
b) Pemeriksaan Fisik8
i.
Keadaan umum
ii.
Status gizi: malnutrisi
iii.
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur
pada jantung, tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru
iv.

obstruktif menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk
pasien dengan penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan
kongenital di daerah orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien
ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi.
Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan

pemeriksaan fisik dalam rekam medik.


c) Pemeriksaan Penunjang8
Pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk tonsilektomi adalah
sebagai berikut:
i.
Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
ii.
Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT
11

Tabel 2.1. Persiapan Operasi

2.4.6.

12

Tabel 2.2 Jangka Waktu Puasa Persiapan Rutin Prabedah Elektif


2.4.6. Teknik Anastesi
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia

pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan
dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi
masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan
lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.9
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan
untuk tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan
gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan
13

pasien yang tidak menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan


yang tidak memungkinkan untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan
untuk tonsilektomi pada orang dewasa. Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi
kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan mempertimbangkan tingkat keterampilan
dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien dinilai dapat mentoleransi teknik
anestesi ini dengan baik.9
Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:9
a. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
b. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
c. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan
atau obat-obatan yang dibutuhkan
d. Menyediakan rapid emergence.
1) Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi.
Teknik anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena
dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat
anestesi dapat dikontrol dengan mudah9.
Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA)
sebagai pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah
berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas postoperasi juga
lebih sedikit. Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti9:
a. Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan
positif akan meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila
tahanan jalan napas besar dan compliance paru rendah.
b. Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.
c. LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.
d. Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan
risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan
pertimbangan per individu.

14

2.4.7. Teknik Operasi Tonsilektomi


Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi5.
1) Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19,
dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil.
Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta
kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat. Tonsilotom modern
atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari
sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang
dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi4,5.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu
cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.5

Gambar 2.5. Alat Guillotine

2) Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode diseksi.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain

15

yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak
berubah. Pasien menjalani anestesi umum.4,5
Teknik operasi diseksi:
a) Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan
kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
b) Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
c) Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial.
d) Dengan

menggunakan

respatorium/enukleator

tonsil,

tonsil

dilepaskan dari fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan


selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat.
e) Perdarahan dirawat.
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar
dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah
dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth
gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman
diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara
membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk
mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah. Mouth gag
diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak
mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan
perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah
di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka.
Tindakan

ini

harus

dilakukan

dengan

visualisasi

langsung

untuk

menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah


mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui
apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar
16

dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat.
Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai operasi,
harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.5
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur
garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag
tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita)
menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah
no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.5

Gambar 2.6. Instrumen Tonsilektomi


Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping
teknik diseksi standar, yaitu:
1. Elektrosurgery
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1
hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah
terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini
elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena
adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan
17

listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical
pathway). Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah
monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan
bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40
W untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan
memotong dan hemostase dalam satu prosedur.5
2. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode
4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume
jaringan berkurang. Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia
yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8
MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the
ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators. Dengan
alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau
berkurang volumenya.5
3. Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan
elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan
dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas
dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C- 4000C), sedangkan
dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih
rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas

18

generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah


dan pedal kaki.5
4. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma mediated tonsillar
ablation. Teknik ini menggunakan bipolar electric al probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru
melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran
ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe
memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi
standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 1000C).5
5. Intracapsullar Partial Tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Pada
tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari
terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan memberikan
lapisan pelindung biologis bagi

otot dari sekret. Hal ini akan

mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya


peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri
pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang
tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth.5
6. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP ( Potassium
Titanyl Phospote ) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses
pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.5
2.4.8. Penyulit Operasi
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam
melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa5,7:

19

1. Kelainan Anatomi: Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi


2.

3.
4.
5.
6.

dilakukan)
Kelainan Komponen Darah:
i.
Hemoglobin < 10 g/100 dl
ii.
Hematokrit < 30 g%
iii.
Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
Inspeksi Saluran Pernapasan Atas, Asma serta penyakit paru lain
Penyakit jantung kongenital atau didapat
Multiple Allergy
Penyakit lain, seperti diabetes melitus, sindrom metabolik, hipertensi.

2.4.9. Perawatan Pasca Operasi


Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah
yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan
menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan
secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien
berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien
bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa dipulangkan.
Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat, muntah
berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan
stabil.7
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung.5

20

Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,


analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena
letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring.
Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi
selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa
nyeri.5

2.4.10. Komplikasi Tindakan Tonsilektomi


1. Komplikasi Anastesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan
status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan
berupa9:
i.
Laringospasme
ii.
Gelisah pasca operasi
iii.
Mual muntah
iv. Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
v. Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi
dan henti jantung
vi.
Hipersensitif terhadap obat anestesi
2. Komplikasi bedah
a. Perdarahan.
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di
rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau reactionary haemorrage dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat
selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan
primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam

21

pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat


menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat
menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.5,9
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10
pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi
sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh
darah dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.5.9
b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.5
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien
pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih
berat dibandingkan teknik cold diseksi dan teknik jerat. Nyeri
pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien
mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam
asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini
tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk
pemberian cairan intravena dibutuhkan.5

BAB III
KESIMPULAN
22

Tonsilektomi yaitu suatu tindakan operasi pengangkatan seluruh tonsil palatine.


Sedangkan, tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid
di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Menurut America
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) bahwa indikasi absolut
tonsilektomi yaitu pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, abses
peritonsil, tonsilitis yang menimbulkan kejang demam dan tonsilitis yang membutuhkan
biopsi untuk menentukan patologi anatomi. Sedangkan pada indikasi relative yatiu terjadi
3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat, halitosis
akibat tonsilitis kronik, tonsilitis kronik pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten dan pembesaran tonsil unilateral yang
diduga keganasan.
Terdapat berbagai teknik tonsilektomi yang dapat dilakukan yaitu teknik
guillotine dan teknik diseksi. Pada teknik diseksi dilakukan pengembangan teknik yaitu
elektrosurgery, radiofrekuensi, skapel harmonik, coblation, Intracapsullar Partial
Tonsillectomy dan Laser (CO2-KTP).
Komplikasi yang terjadi tonsilektomi terbagi menjadi dua yaitu, komplikasi
anastesi dan komplikasi bedah. Pada komplikasi bedah yang sering terjadi adalah
perdarahan (0,1-8,1% dari jumlah kasus).

DAFTAR PUSTAKA

23

1. Adams, G.L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku


Ajar Penyakit THT (Fundamental of Otolaryngology). Edisi Keenam. Penerbit
EGC: Jakarta. 1997.
2. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok: Odinofagia. Dalam: Soepardi E.A., et
al. (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
3. Rusmarjono, Soepardi E.A. Nyeri Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. Dalam: Soepardi E.A., et al. (eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta. 2007.
4. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for
chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library,
Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
5. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.,
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment (HTA)
Indonesia; 1-25.
6. Darrow D.H, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.
Laryngoscope. 2002; 112: p.6-10.
7. Amarudin, T., Chrisanto, A. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Dalam: Setiawan, B.,
Sadana, K., Zahir, S.S., Fadli, S. 2007. Majalah Cermin Dunia Kedokteran No.
155. Grup PT Kalbe Farma Tbk; 61-68.
8. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk.
Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003
9. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ,
Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants
and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.

24

Das könnte Ihnen auch gefallen