Sie sind auf Seite 1von 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aseptik dan Antiseptik


Aseptik berarti tidak adanya kuman patogen pada suatu daerah tertentu.
Tehnik aseptik adalah usaha mempertahankan objek agar bebas dari kuman.
Pengertian aseptik ada dua macam, (1) aseptik medis yaitu prosedur yang
digunakan untuk mencegah penyebaran mikroorganisme. Seperti mencuci
tangan, mengganti linen tempat tidur, dan menggunakan cangkir untuk obat. (2)
aseptik bedah yaitu prosedur yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme
pada daerah lapangan pembedahan (Brachman, 2008).
Pada penelitian sebelumnya banyak yang menekankan pentingnya tehnik
aseptik yang benar sebelum dilakukan tindakan regional anestesi baik spinal
maupun epidural. Sellors et all menentukan tindakan pencegahan aseptik yang
esensial ketika melakukan tindakan epidural anestesi pada pasien obstetrik.
Terdapat empat komponen utama tehnik antiseptik : (1) cuci tangan dan melepas
perhiasan, (2) peralatan protektif (masker, surgical cap, sarung tangan steril, baju
steril), (3) preparasi kulit (chlorhexidine + alkohol, iodine, alkohol), dan (4)
surgical draping (Helb, 2006).
Definisi antiseptik adalah bahan kimia yang digunakan di kulit atau
jaringan hidup untuk menghambat atau membunuh kuman sehingga mengurangi
ataupun menghilangkan jumlah kuman. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri,
jamur, virus yang mungkin ditemukan pada kulit pasien. Penggunaan larutan
antiseptik akan memutuskan transmisi bakteri dan mengurangi ataupun
menghilangkan jumlah bakteri yang ada pada daerah operasi (Brachman, 2008).

Beberapa contoh produk antiseptik adalah (Giaometti et al, 2002) :


1. Alcohol (60-90% isopropyl, ethyl alcohol)
2. Chlorhexidine gluconate 4 % (Hibitane, Hibiclens)
3. Chlorhexidine gluconate dan cetrimide, various concentration (Savlon)
4. Iodine preparation (1-3 %), aquous iodine dan alcohol (tincture of iodine)
5. Povidone iodine 10 % (Betadine)
6. Parachlometaxylenol (PCMX), (Dettol)
7. Hibiscrub
8. Cidex
Tabel 2.1. Macam-macam larutan antiseptik dan manfaatnya (Giaometti et al, 2002).
Agen
Chlorhexidine
(Hibicens),
Cetrimide (Savlon)

gluconate
Chlorhexidine

Manfaat
Membunuh gram (+), gram (-), dan
virus

1.
2.

Alkohol (70% ethil)

Membunuh gram (+), gram (-),


M.tuberculosis

1.

2.
Iodine
(Tincture
lugolis)

aqueous

Membunuh gram (+), gram (-),


spora, M tuberculosis

1.
2.

3.

Hexachlorophene (phisohex)

Membunuh gram (+)

Iodophor (povidone iodine 10%)


(Bethadine)

Membunuh gram (+), gram (-) dan


virus

1.
2.
3.
1.

2.
3.

Keterangan
Dapat dibilas dengan air
setelah penggunaan
Membentuk proteksi kimia
yang meningkat dengan
penggunaan berulang
Tidak
secara
kontinu
memberikan
efek
membunuh kuman setelah
evaporasi
Tidak digunakan sebagai
agen tunggal antiseptic
Dapat menyebabkan alergi
Dapat dibilas dengan alkohol
30
menit
setelah
penggunaan
akan
mencegah reaksi iritasi
Ekspose area yang terkena
secara terbuka, tidak boleh
dilakukan pembalutan
Dapat membunuh gram (+)
Penambahan alkohol dan
iodine menambah efektifitas
penggunaan
Dapat mengiritasi kulit
Untuk cuci tangan dapat
dibilas
dengan
air.
Penggunaan yang berulang
dapat menyebabkan iritasi
kulit
Jika
alergi
dapat
menimbulkan reaksi terbakar
pada kulit
Dapat digunakan sebelum
tindakan operasi

Tujuan utama pemakaian antiseptik adalah untuk membunuh bakteri atau


menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme penghambatan sistem
enzim bakteri dan mengubah daya permeabilitas sel membran melalui proses
oksidasi, halogenasi dan pengendapan bakteri. Proses halogenasi terjadi pada
senyawa

antimikrobial

kelompok

bisguanida seperti pada

chlorhexidine.

Senyawa ini menyebabkan klorinasi pada gugus amina asam amino yang
membentuk protein sel bakteri. Hasil akhir reaksi ini menyebabkan aktivitas
biologi protein, terjadinya gangguan enzim ,dan penggantian atom hidrogen oleh
klor yang menyebabkan perubahan pada ikatan hidrogennya sehingga struktur
dan formasi protein berubah. Hal ini menyebabkan terjadinya denaturasi protein
sehingga menyebabkan kematian bakteri (Wilson, 2001).
Efektifitas pemakaian antiseptik perlu ditinjau dari tiga aspek. Pertama
apakah pemakaian antiseptik sendiri memang bermakna dalam meningkatkan
efektifitas pembersihan secara mekanis. Aspek kedua adalah jenis antiseptik
mana yang dapat diandalkan. Ketiga, selain dari tingkat efektifitasnya adalah
efek samping dari pemakaian antiseptik tersebut (Mandell, 2000).
Chlorhexidine gluconate merupakan larutan antiseptik yang kuat dan
berspektrum luas, efektif melawan hampir semua bakteri (gram positif dan gram
negatif) dan jamur nosokomial. Senyawa dalam chlorhexidine gluconate secara
efisien mengubah permeabilitas dinding sel, serta secara cepat mengendapkan
komponen membran sel dan sitoplasma. Pada penambahan isopropyl alkohol
akan lebih meningkatkan efek bakterisidal tersebut. Salah satu keunggulan dari
chlorhexidine adalah kemampuannya untuk menembus stratum corneum,
sehingga menambah durasi kerjanya selama beberapa jam setelah digunakan.
Secara umum, bahan tersebut menyebabkan beberapa reaksi kulit yang lebih
ringan dibandingkan bahan lain dan bekerja tetap efektif walaupun dengan
adanya bahan organik seperti darah atau bahan protein lain (Hebl, 2006).
7

Resistensi bakteri terhadap chlorhexidine sangat jarang. Larutan


chlorhexidine sekarang diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai
antiseptik untuk desinfeksi kulit pasien yang akan menjalani pembedahan.
Namun, chlorhexidine belum mendapatkan persetujuan FDA untuk digunakan
sebagai desinfektan sebelum anestesi regional (blok spinal, epidural, dan
periferal) karena sedikitnya uji klinis (Hebl, 2006).
Povidone iodine merupakan larutan antiseptik yang memiliki aktivitas
melawan mikroorganisme baik gram negatif maupun gram postif. Efek terhadap
bakteri tergantung pada saat pelepasan iodine secara kontinyu, yang menembus
dinding sel dan menghambat sintesis protein bakteri. Mekanisme kerjanya, tidak
seperti chlorhexidine, karena povidone iodine membutuhkan beberapa menit (1
menit) untuk mencapai efek yang maksimal. Penambahan

isopropyl alkohol

akan meningkatkan kecepatan pelepasan iodine. Kerugian dari povidone iodine


adalah lama kerjanya yang terbatas, membutuhkan pemberian ulang setiap 24
jam untuk mempertahankan aktivitas antimikrobialnya. Efektifitasnya dapat
dihambat atau dinetralisir oleh bahan organik seperti darah atau material protein
lain. Terjadinya reaksi kulit akut dapat terjadi setelah pemberian, yang
menyebabkan eritema fokal, urtikaria, atau lesi vesikuler lain. Resistensi bakterial
juga dapat

terjadi pada povidone iodine, khususnya pada berbagai strain

Streptococcus aureus. Povidone iodine diakui oleh Food and Drug Administration
(FDA) sebagai larutan antiseptik pada tindakan pembedahan. Povidone iodine
belum

mendapatkan

desinfektan

persetujuan

FDA

untuk

penggunaannya

sebagai

pada anestesi regional (blok spinal, epidural, dan periferal) oleh

karena sedikitnya uji klinis (Hebl, 2006).


Beberapa

penelitian

telah

membandingkan

efek

antiseptik

dari

chlorhexidine dan povidone iodine dalam berbagai kondisi eksperimental. Pada


8

semua penelitian, didapatkan chlorhexidine menghasilkan efek bakterisidal yang


lebih cepat dan lebih baik. Sakuragi and colleage melakukan evaluasi
komprehensif dari 2 bahan ini pada 4 strains methicillin-resisten dan 2 strains
dari methicillin-non resisten bakteri Streptococcus aureus, patogen yang paling
sering berhubungan dengan infeksi rongga epidural. Keenam strain tumbuh
koloninya setelah 60 detik paparan terhadap povidone iodine 10%, dan 5 dari 6
strain tumbuh koloni setelah diberikan chlorhexidine gluconate 0,5% (tanpa
alkohol). Lebih sedikit jumlah strain yang tumbuh menjadi koloni setelah 4 menit
paparan terhadap kedua disinfektan ini. Sebaliknya, tidak ada bakteri yang
tumbuh setelah dipapar chlorhexidine 0,5% dalam ethanol 80% sesudah 15 detik
paparan. Larutan chlorhexidine-alkohol jelas memiliki aktivitas bakterisidal yang
lebih baik dan lebih cepat onset kerjanya (karena komponen alkoholnya) jika
dibandingkan dengan disinfektan yang lain. Dengan kesimpulan pada blok
epidural penggunaan chlorhexidine 0.5% dalam ethanol 80%

menjadi yang

paling efektif mempertahankan status aseptik pada permukaan kulit untuk jangka
waktu yang panjang dan mengurangi resiko terjadinya kolonisasi pada kateter
epidural (Hebl, 2006).
Kinirion et al juga membandingkan tingkat kolonisasi kateter epidural
yang menggunakan chlorhexidine pada alkohol dengan povidone iodine 10%.
Chlorhexidine pada alkohol ternyata lebih unggul dibandingkan povidone iodine
pada hampir semua sampel kultur ( tabel 2 ). (Kiniron et al, 2001)
Tabel 2.2. Hasil kultur Bakteri (Kiniron et al, 2001)

Pada beberapa penelitian lain, yang dilakukan Girad et al, pada tahun
2012 yang meneliti penggunaan antiseptik menggunakan povidone iodinealkohol 70% dengan Chlorexidine murni sebagai tindakan pencegahan infeksi
pada pemasangan kateter vena sentral, didapatkan hasil grup dengan
menggunakan povidone iodine-alkohol memiliki rata-rata kontaminasi yang lebih
rendah bila dibandingkan pada grup Chlorexidine (1,4% vs 3,3 %) (Girad et al,
2012)
Secara kontras pada beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa
kedua larutan antiseptik Povidone iodine dan Chlorexidine sama-sama efektif.
Penelitian yang dilakukan Adam, tahun 2005 bahwa penurunan koloni bakteri
pada penggunaan larutan antiseptik baik povidone iodine dan chlorexidine tidak
berbeda secara signifikan (1,12 vs 1,16 p = 0,041) (Adams, 2005). Penelitian
yang dilakukan Wiratnolo pada tahun 2014 membandingkan efektifitas larutan
antiseptik Chlorexidine dalam alkohol dengan Povidone iodine pada kultur bakteri
jarum spinal pasca subarachnoid block memiliki efektifitas yang sama dalam
mengurangi tingkat kolonisasi pada kultur jarum spinal pasca Subarachnoid
block. Pada kelompok povidone iodine insidensi kolonisasi bakteri (22%)
sedangkan kelompok Chlorexidine (19,5%) tetapi secara statistik perbedaan
tidak bermakna (p>0,05) (Wiratnolo, 2014)
2.2 Mikrobiologi Kulit
Kulit manusia tidak bebas hama (steril). Kulit steril hanya didapatkan pada
waktu yang sangat singkat sesaat setelah lahir. Kulit manusia tidak steril karena
permukaan kulit mengandung banyak bahan makanan untuk pertumbuhan
organisme, antara lain : lemak, nitrogen, dan mineral lainnya. Hubungannya

10

dengan manusia, mikroorganisme dapat bertindak sebagai parasit (yang dapat


menimbulkan penyakit) atau sebagai komensal (flora normal) (Solokim, 2004).
Status kesehatan seseorang dapat mempengaruhi resiko seseorang
dapat mudah terinfeksi, di indonesia ada empat faktor yang mempengaruhi di
antaranya lingkungan, baik itu lingkungan fisik (sarana layanan kesehatan dan
fasilitas sumber air bersih) maupun sosial budaya (tingkat pendidikan, mata
pencaharian, dan pendapatan. Perilaku kesehatan juga memegang peranan
penting dalam mempengaruhi kesehatan seseorang terutama dalam menjaga
higienitas tubuh (Depkes RI, 2007).
Spesies organisme yang mampu menimbulkan penyakit disebut kuman
patogen. Patogenitas atau sifat pathogen merupakan istilah relatif, dan bakteri
mempunyai frekuensi untuk menimbulkan penyakit yang sangat berbeda.
Organisme dengan patogenitas rendah, atau patogen oportunistik sering tidak
menimbulkan penyakit. Organisme dengan patogenitas yang tinggi dapat
berasosiasi dengan penyakit (Kok, and Pechere, 2004).
Bakteri yang mengkontaminasi kulit dapat hidup dan bermultiplikasi
disebut kolonisasi dan kemudian dapat menimbulkan penyakit infeksi. Kolonisasi
berbeda dengan infeksi yaitu pada kolonisasi, hospes tidak memberikan respon
dan demikian pada kolonisasi juga tidak terdapat kenaikan titer antibodi.
Frekuensi kontaminasi menimbulkan kolonisasi dan kolonisasi menimbulkan
penyakit infeksi yang tergantung pada virulensi organisme, besarnya inokulasi,
tempat masuknya organisme dan pertahanan imun hospes (Kok, and Pechere,
2004).
2.2.1 Flora Normal Kulit
Flora mikroba normal adalah populasi kelompok mikroorganisme yang
hidup dan berkembang biak pada kulit,

mukosa hewan dan manusia yang

11

normal serta sehat. Kulit dan mukosa selalu mengandung mikroorganisme yang
dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan :
I.

Flora menetap yang terdiri dari mikroorganisme yang relatif tetap


dan biasa ditemukan pada daerah tertentu, umur tertentu. Bila
mikroorganisme tersebut terganggu maka dapat tumbuh kembali
dengan segera

II.

Flora sementara yang terdiri atas mikroorganisme non patogen


atau potensial patogen yang mendiami kulit atau mukosa selama
beberapa jam,hari atau minggu. Mikroorganisme ini berasal dari
lingkungan sekitar, tidak menimbulkan penyakit dan tidak menetap
secara permanen pada permukaan kulit. (Brooks, 2007)

Karena kulit terus kontak dengan lingkungan sekitarnya, kulit cenderung


mengandung mikroorganisme sementara. Pada kulit terdapat flora penetap dan
berbatas jelas di berbagai daerah yang dipengaruhi oleh sekresi, kebiasaan
berpakaian, atau letaknya dekat dengan mukosa (mulut, hidung, perineum).
(Brooks, 2006)
Sebagian besar mikroorganisme yang menetap pada kulit adalah basil
difteroid aerob dan anaerob ( misalnya : Corynebacterium propionibacterium),
stafilokokus nonhemolitik aerob dan anaerob (Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus dan Peptococcus), bakteri gram positif aerob pembentuk
spora yang banyak di udara, air, tanah : Streptokokus alfa hemolitik
(Streptococcus viridians) dan enterokokus (Streptococcus faecalis). Serta bakteri
koliform gram negatif dan Acinetobacter. Jamur dan ragi sering terdapat pada
lipatan kulit, sedangkan mikrobakteria tahan asam yang tidak pathogen terdapat
pada daerah yang banyak mengandung sekresi sebasea (genetalia dan telinga
luar) (Eggimann , 2001).

12

Faktor yang penting untuk menghilangkan mikroorganisme bukan


penetap dari kulit adalah pH yang rendah, asam lemak yang terdapat dalam
sekresi sebasea, dan adanya enzim lizosim. Keringat yang berlebihan, mencuci,
dan mandi tidak dapat menghilangkan atau mengubah secara bermakna flora
normal. Jumlah mikroorganisme superficial dapat dikurangi dengan menggosok
kulit dengan sabun yang mengandung heksaklorofen, atau desinfeksi lain, tetapi
flora tersebut secara cepat diganti kembali dengan organisme dari kelenjar
keringat dan kelenjar sebasea. Pemakaian baju yang menutupi kulit secara ketat
cenderung meningkatkan populasi total mikroorganisme dan dapat menimbulkan
pergantian secara kualitatif (Schmitz, 2004).
Bakteri anaerob dan aerob seringkali bersama-sama menimbulkan infeksi
yang sinergis (gangrene, selulitis, fasciitiss nekrotis) pada kulit atau jaringan
lunak. Bakteri sering merupakan bagian dari flora mikroba normal. Biasanya sulit
untuk menunjukkan secara tepat satu organisme spesifik yang bertanggung
jawab terhadap suatu lesi yang progresif, karena biasanya melibatkan berbagai
mikroorganisme (Schmitz, 2004).

2.2.2 Peran Flora penetap


Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada tubuh merupakan
komensal. Mikroorganisme dapat tumbuh secara subur pada daerah tertentu,
bergantung pada faktor fisiologi, suhu, kelembapan, zat nutrisi dan zat
penghambat tertentu. Flora yang menetap pada daerah tertentu memegang
peranan dalam mempertahankan kesehatan dan fungsi normal. Flora yang
menetap pada kulit dapat mencegah kolonisasi bakteri patogen dan mencegah
kemungkinan timbulnya penyakit melalui interferensi bakteri. Mekanisme
interferensi ini dapat berupa persaingan untuk mendapatkan makanan, saling
menghambat melalui hasil metabolik atau racun, dan saling menghambat dengan
13

zat antibiotik atau bakteriosida. Penekanan terhadap flora normal jelas


menimbulkan

sebagian

kekosongan

lokal

yang

cenderung

diisi

oleh

mikroorganisme dari lingkungan atau daerah lain. Organisme ini yang awalnya
oportunis dapat menjadi pathogen (Schmitz, 2004).
2.2.3 Pembiakan Mikroorganisme
Pembiakan adalah proses memperbanyak mikroorganisme dengan
menyediakan lingkungan yang tepat. Mikroorganisme yang sedang tumbuh
membuat tiruan dirinya sendiri, untuk itu dibutuhkan unsur-unsur yang ada dalam
komposisi kimia organisme. Zat makanan harus mengandung berbagai unsur ini
dalam bentuk yang dapat dimetabolisme. Selain itu organisme ini membutuhkan
energi metabolik untuk mensintesis makromolekul dan mempertahankan gradient
kimia pada membran sel. Faktor yang harus dikendalikan selama pertumbuhan
adalah zat makanan, pH, suhu, udara, kadar garam, serta strong ion dari
pembenihan (Brooks , 2007).

2.3

Infeksi Pada Tindakan Regional Anestesi


Regional anestesi atau juga disebut neuroaxial anestesi terdiri dari blok

spinal, epidural, dan caudal. Tempat kerja utama dari blok neuroaxial adalah
pada radiks saraf. Obat anestesi lokal disuntikan kedalam cerebrospinal fluid
(spinal anestesi) ataupun ruang epidural (epidural dan caudal anestesi)
(Butterworth, 2013).
Infeksi dapat terjadi akibat penyebaran bakteri yang berasal dari
instrumentasi spinal dan epidural anestesi, ataupun melalui jalur hematogen.
Sumber utama infeksi berasal dari flora normal kulit, yaitu

Staphylococcus

Aureus dan Staphylococcus epidermidis. Penyebaran dari droplet orofaring juga


dapat terjadi. Infeksi yang sering terjadi akibat tindakan regional anestesi adalah
meningitis, abses epidural, dan arachnoiditis (Tsen, 2007).
14

Etiologi komplikasi infeksi masih belum jelas. Sumber potensial


diklasifikasikan menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik
secara umum berhubungan dengan kesehatan pasien, seperti trauma,
ketergantungan obat, keganasan, diabetes mellitus, kehamilan dan kondisi imun
yang rendah. Faktor ekstrinsik meliputi invasi dari bakteri kulit melalui jarum
spinal atau epidural, spuit, kateter epidural yang terkontaminasi, lokal anestesi
yang tidak steril dan tehnik antiseptik yang salah.
2.3.1 Meningitis
Meningitis dapat terjadi setelah prosedur anestesi spinal. Meningitis dapat
disebabkan karena bakteri, virus, atau bahan kimia, dengan bakteri sebagai
penyebab yang terbanyak. Sebagian kasus meningitis merupakan infeksi
nosokomial dengan organisme berasal dari nasal, orofaringeal atau vagina.
Mikroorganisme patogen penyebab meningitis adalah Neisseria meningitides,
Streptococcus pneumonia, S. viridians, Stapylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa dan Haemophilus influenza. Bagaimana proses berpindahnya bakteri
dari darah menuju cairan spinal, belum diketahui secara pasti. Kebocoran
duramater telah dihipotesis sebagai jalan masuknya kuman patogen kedalam
aliran darah melalui jalur sawar darah-otak (Tsen, 2007).
2.3.1.1 Gejala Klinis
Manifestasi klinis meningitis biasanya terjadi dalam 48 jam pertama,
namun dapat terjadi sampai 9 hari setelah anestesi spinal. Gejalanya antara lain
nyeri kepala, mual, muntah, fotofobia, Kernigs sign, Brudzinski sign, demam,
kejang, defisit neurologis, papil edema, dan kehilangan pendengaran (late
onset). Diagnosis meningitis dipastikan dengan kultur cairan serebrospinal (Tsen,
2007).

15

2.3.1.2 Pencegahan dan Penatalaksanaan


Pencegahan dapat dilakukan dengan pemakaian masker selama
prosedur anestesi spinal. Penatalaksanaan terapi dengan antibiotik harus sesuai
kultur. Pada studi lain pemberiaan antibiotik sebelum tindakan anestesi spinal
akan mengurangi resiko terjadinya meningitis (Tsen, 2007).
Meningitis kimiawi atau aseptik menimbulkan gejala seperti meningitis
infeksi dan berkorelasi dengan desinfektan kulit yang masuk kedalam CSF.
Meningitis aseptik hanya membutuhkan pengobatan simptomatik dan pada
umumnya membaik dalam beberapa hari (Butterworth, 2013).
2.3.2 Arachnoiditis
Larutan antiseptik, anestesi local, media kontras, perdarahan, injeksi
steroid intratekal, dapat menyebabkan arachnoiditis (kelainan inflamasi dari
membran arachnoid yang mengelilingi dan melindungi korda spinalis). Dari
mielografi atau MRI dapat diidentifikasi dengan adanya membran yang tebal,dan
fibrotik (Pottinger, 2007).
2.3.2.1 Gejala Klinis
Gejala timbul beberapa minggu atau bulan setelah tindakan anestesi
spinal. Gejala klinis berupa defisit sensoris dan kelemahan otot di tungkai bawah
yang berlangung secara bertahap. Pasien dengan arachnoiditis juga mengeluh
nyeri punggung yang meningkat dengan aktifitas (Pottinger, 2007).
2.3.2.2 Penatalaksanaan
Pemberian intravena kortikosteroid, NSAID, dan antibiotik mengurangi
respon inflamasi berkaitan dengan arachnoiditis walaupun perbaikan signifikan
jarang terjadi. Diperlukan manajemen nyeri kronik dan fisioterapi (Pottinger,
2007).

16

2.3.3 Abses Epidural


Abses epidural salah satu komplikasi dari pemasangan kateter epidural.
Frekuensi

kejadian

terbanyak

pada

pasien

geriatrik

dan

pasien

imunocompremised. Gejala dapat timbul 2 sampai 16 hari setelah pemasangan


kateter epidural. Gejala yang timbul berupa demam, nyeri punggung yang
menjalar, defisit neurologis, kelemahan ektremitas inferior, parestesia dan
gangguan pada kandung kencing (Reynold, 2008).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan MRI dan kultur darah. Penyebab
utama dari abses epidural oleh Stapylococcus aureus dan Pseudomonas. Faktor
resiko abses epidural adalah penggunaan kateter epidural yang lama, pasien
dengan imunocompremised, insersi kateter yang traumatik, hematom pada
epidural space dan tindakan aseptik yang salah. Penatalaksanaannya adalah
dengan tindakan pembedahan, perkutaneus drainase dan antibiotik (Reynold,
2008).

Tabel 2.3. Faktor etiologi meningitis dan abses epidural (Reynold, 2008)

17

Das könnte Ihnen auch gefallen