Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
40
warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet untuk tujuan penggunaan
sebagai pewarna pangan. Pengaplikasian dilakukan pada model minuman pH 3
yang merupakan kondisi pH minuman berbasis asam. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat melengkapi informasi-informasi dari penelitian sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi warna dan
stabilitas warna antosianin buah duwet yang dibandingkan dengan antosianin
kubis merah dan pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial), sehingga
dapat diketahui potensi penggunaannya sebagai pewarna pangan.
BAHAN DAN METODE
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan SEAFAST Center
(Gedung PAU), IPB; Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen ITP, FATETA,
IPB; serta Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran
Hewan, IPB.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duwet
matang berwarna ungu kehitaman yang diperoleh dari hutan di Probolinggo,
Jawa Timur. Sampel buah duwet telah mendapat pengesahan determinasi jenis
tanaman dari LIPI Biologi, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah kubis merah
diperoleh dari supermarket di Bogor, Jawa Barat dan bubuk enosianin E-163
(pewarna antosianin komersial dari kulit anggur merah yang mengandung 3%
antosianin) diperoleh dari Sensient Food Colors (Jerman).
Bahan kimia yang digunakan berspesifikasi pro analisis. Asam klorida
(HCl), kalium klorida, natrium asetat, asam sitrat, natrium sitrat, kalium sorbat,
dan natrium meta bisulfit diperoleh dari Merck (Darmstadt, Jerman). Etanol teknis
(96%) dan gas nitrogen diperoleh dari suplier bahan kimia di Bogor.
Peralatan yang digunakan adalah pisau baja tahan-karat, hand blender,
timbangan analitik, pengaduk/stirer, batang stirer, sentrifugasi, kertas Whatman
no 1, pompa vakum, vakum rotary evaporator, pH-meter, pipet mikrometer,
vortek, spektrofotometer UV-Vis, refraktometer, lemari pendingin, lampu
fluoresens, penangas air, kromameter (CR-310), dan alat-alat kaca.
41
Metode Penelitian
Persiapan sampel
Buah duwet matang (warna ungu kehitaman) dan kubis merah disortasi
lalu dicuci dengan air bersih. Selanjutnya kulit buah duwet dikupas menggunakan
pisau baja tahan-karat dan kubis merah dipotong-potong dalam ukuran kecil.
Kulit buah duwet dan kubis merah diblansir uap panas 80oC secara terpisah
selama 3 menit. Kulit buah duwet dan kubis merah dikemas dalam kantong
plastik polietilena (PE) dan disimpan pada suhu -20oC.
Ekstraksi antosianin
Kulit buah duwet dan kubis merah beku di-thawing pada suhu ruang,
selanjutnya setiap sampel dihancurkan dengan menggunakan hand blender
secara terpisah. Ekstraksi antosianin buah duwet dan kubis merah dilakukan
secara maserasi dengan diaduk (stirer). Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
adalah
etanol, pelarut food grade (Francis 1982; Cacace & Mazza 2003).
Perbandingan sampel dan pelarut 1:2 (b/v). Ekstraksi secara maserasi dilakukan
pada suhu ruang selama 60 menit, kemudian disentrifus (3552 g) selama 10
menit untuk memisahkan filtrat dan residu. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali
dengan menggunakan pelarut dan cara yang sama. Filtrat digabung dan disaring
dengan menggunakan penyaring vakum, lalu pelarut organik dievaporasi dengan
vakum evaporator putar pada suhu 40oC untuk mendapatkan ekstrak aqueous
antosianin yang berwarna ungu kehitaman, Gambar 4.1. Ekstrak ditempatkan
dalam botol, diembus dengan nitrogen lalu disimpan pada -20oC sampai
digunakan untuk analisa.
Ekstrak dianalisis kandungan total antosianin monomerik dengan metode
perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Ekstrak juga diukur nilai pH dengan pHmeter dan total padatan menggunakan refraktometer.
Pengukuran kandungan total antosianin monomerik
Kandungan total antosianin monomerik diukur berdasarkan metode
perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Sampel dalam jumlah tertentu
dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah
larutan bufer kalium klorida (0,025 M) pH 1 hingga volume menjadi 5 mL. Tabung
reaksi kedua ditambahkan larutan bufer natrium asetat (0,4 M) pH 4,5 hingga
42
- (A520 - A700)pH
4,5].
suhu
ruang
kemudian
dilakukan
pengukuran
spektra
dengan
43
44
warna
menggunakan
alat
Minolta
Chroma
CR-310
45
46
dan komposisi antosianin yang terkandung dalam suatu bahan atau ekstrak
berhubungan dengan karakteristik stabilitas dan intensitas warna antosianin.
Antosianin buah duwet semuanya dalam bentuk diglikosida, antosianin kubis
merah merupakan di- dan tri-glikosida yang terasilasi, sedangkan antosianin
pewarna
enosianin
merupakan
monoglikosida.
Menurut
Francis
(1989),
47
dan
Cisneros-Zevallos
(2004)
yang
juga
melakukan
Buah duwet
Kubis merah
Enosianin
48
Buah Duwet
1.2
Kubis merah
1.2
1
1
1
2
0.8
0.8
2
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
8
7
0
350
400
450
500
4, 5, 6
550
4, 5, 6
0
600
8
7
650
350
700
400
450
500
550
600
650
700
Enosianin
1.2
1
2
0.8
3
4
0.6
5
6
0.4
0.2
0
350
400
450
500
550
600
650
700
Gambar 4.3 Pola spektrum absorpsi dari antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin pada kisaran nilai pH 1-8 setelah
ekuilibrium selama 1 jam.
Warna antosianin berubah sebagai respon dari pH. Secara umum dapat
dijelaskan, berkurangnya intensitas warna dengan meningkatnya pH disebabkan
terjadi reaksi kesetimbangan antara 4 spesies antosianin: basa kuinonoidal (A),
kation flavilium (AH+), karbinol atau pseudobasa (B), dan kalkon (C). Di dalam
larutan asam, 4 spesies antosianin berada dalam kesetimbangan, Gambar 4.4.
Interkonversi antara 4 struktur antosianin dijelaskan sesuai skema pada Gambar
4.4.
Pada kondisi pH di bawah 2, antosianin berada utamanya dalam bentuk
kation flavilium merah (AH+). Peningkatan pH menyebabkan terjadinya
kehilangan proton secara cepat dari gugus hidroksil C-4, C-5, atau C-7 kation
flavilium menghasilkan bentuk kuinonoidal biru (A). Lebih lanjut terjadi reaksi
hidrasi oleh nukleofilik molekul air yang menyerang kation flavilium pada posisi
C-2 menghasilkan struktur karbinol tidak berwarna atau pseudobasa (B) yang
akan membentuk kesetimbangan dengan struktur kalkon (C) (Brouillard 1982;
Mazza & Brouillard 1987). MacDougall (2002), juga menjelaskan pada pH rendah
49
(pH 1), warna antosianin adalah merah (AH+), sebagai pH ditingkatkan maka
antosianin
mengalami
dua
kemungkinan
pathway:
(1)
deprotonisasi
menghasilkan senyawa kuinonoidal biru (A) atau (2) hidrasi menghasilkan kalkon
(C).
Kesetimbangan asam-basa
(1)
Kesetimbangan hidrasi
(2)
(3)
AH+
Pada Gambar 4.2 dan 4.3 juga terlihat bahwa antosianin buah duwet
mempunyai intensitas warna merah atau biru yang lebih rendah pada semua pH
yang diujikan dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna
enosianin. Hal ini berhubungan dengan struktur antosianin buah duwet yang
semua struktur glikosilasi adalah 3,5-diglukosida. Menurut Mazza dan Brouillard
(1987), pada nilai pH yang diujikan, antosianin 3-glikosida memiliki karakteristik
lebih berwarna dibandingkan dengan antosianin 3,5-diglikosida dan 5-glikosida.
50
Penelitian yang dilakukan oleh Brouillard dan Delaporte (1977) yang disitasi oleh
Mazza dan Brouillard (1987) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida
memiliki karakteristik kurang berwarna dibanding malvidin 3-glukosida. Hal ini
terjadi karena nilai pKh untuk kesetimbangan antara bentuk kation flavilium dan
karbinol pseudobasa dari diglukosida satu unit pH lebih rendah dari bentuk
monoglukosida. Eksperimen yang dilakukan pada larutan malvidin 3,5diglukosida pada kondisi diatas pH 4 juga menunjukkan perubahan warna larutan
menjadi tidak berwarna. Lebih lanjut dijelaskan oleh Delgado-Vargas dan
Paredes-Lopez (2003), substitusi gula juga berperanan penting pada warna
antosianin. Terjadinya pergeseran hipsokromik disebabkan oleh keberadaan
glikosilasi pada antosianin.
Stabilitas Warna Antosianin
Selama pengolahan pangan, antosianin diekspos pada kondisi pH, suhu,
dan pencahayaan yang ekstrim sehingga antosianin mudah mengalami
degradasi (Delgado-Vargas & Paredes-Lopez 2003). Untuk itu perlu dilakukan
pengujian
stabilitas
warna
antosianin
buah
duwet
terhadap
pengaruh
51
52
antosianin buah duwet dan 3,73 jam untuk antosianin enosianin (Tabel 4.2). Dari
nilai retensi warna dan waktu paruh ini belum dapat digunakan untuk
menentukan tingkat stabilitas dari antosianin buah duwet dan enosianin, masih
diperlukan data penunjang lainnya seperti nilai ID (perbedaan indeks
degradasi), dan WP (perbedaan warna polimerik), E (perbedaan total warna
120
110
100
max
(%)
90
80
70
60
50
40
30
0
30
60
90
120
Waktu (menit)
Gambar 4.6 Pengaruh perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC pada retensi
warna antosianin (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3.
(), buah duwet (80oC); (), buah duwet (98oC); (), kubis merah
(80oC); (), kubis merah (98oC); (), enosianin (80oC); (),
enosianin (98oC).
Tabel 4.2 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC
Ekstrak/Pewarna
Antosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Kinetika Degradasi
t1/2 (jam)
K
0,0024
0,0005
0,0014
4,94a
28,88c
8,29b
0,0073
0,0016
0,0031
1,59a
7,33c
3,73b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing
perlakuan pemanasan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung
dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ID, perbedaan indeks degradasi. WP,
perbedaan warna polimerik. E, perbedaan total warna kromasitas (sistem CIELAB). KW,
kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t1/2, waktu paruh.
Pemanasan selama 120 menit.
Meskipun nilai retensi warna dan waktu paruh dari antosianin enosianin
lebih tinggi daripada antosianin buah duwet, namun dari hasil pengukuran E,
53
hasil
pengukuran
dengan
spektrofotometer
yang
dapat
54
bahwa antosianin kubis merah juga mempunyai karakteristik stabilitas yang lebih
tinggi dibandingkan blackcurrant, kulit anggur, dan elderberry terhadap perlakuan
pemanasan pada suhu 25-80oC.
Pada Tabel 4.2 juga dapat dilihat nilai ID, WP, E, KW (%) dari
antosianin kubis merah lebih kecil pada kedua suhu pemanasan (80 dan 98oC)
yang menunjukkan antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas yang
tinggi terhadap panas. Antosianin kubis merah mempunyai waktu paruh (t1/2)
sebesar 28,88 jam pada pemanasan suhu 80oC dan 7,33 jam pada pemanasan
98oC dalam minuman model pH 3. Waktu paruh kubis merah lebih tinggi
dibandingkan waktu paruh dari antosianin buah duwet dan enosianin pada kedua
suhu pemanasan.
Secara umum, antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas
lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin buah duwet dan enosianin pada
perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC, dengan urutan stabilitas: antosianin
kubis merah > buah duwet > enosianin. Hal ini disebabkan struktur antosianin
yang terkandung dalam kubis merah yang merupakan antosianin terasilasi
(kopigmentasi intramolekular). Asilasi pada antosianin dapat memperbaiki
stabilitas melalui penyusunan struktur secara sandwich dari gugus asil pada
cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin
terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin (Jackman & Smith 1996;
Delgado-Vargas et al. 2000) terutama dengan adanya perlakuan pemanasan.
Penyusunan molekul kopigmen (gugus asil) pada planar polarizable dari
antosianin dapat mencegah serangan nukleofilik air pada posisi C-2 dari cincin
pirilium yang dapat memicu pembentukan hemiasetal yang tidak berwarna dan
kalkon (Dangles 1997 diacu dalam Malien-Aubert et al. 2001).
Antosianin buah duwet memliki karakteristik stabilitas yang lebih tinggi
dari antosianin enosianin karena struktur antosianin buah duwet dalam bentuk
glikosilasi 3,5-diglukosa (diglikosida) sedangkan antosianin enosianin bentuk
glikosilasi adalah 3-glukosida (monoglikosida). Hasil penelitian Garca-Viguera
dan Bridle (1999) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan
warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa
adanya asam askorbat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Timberlake dan Bridle (1977)
diacu dalam Garca-Viguera dan Bridle (1999), antosianin 3,5-diglikosida sedikit
lebih mudah mengalami serangan elektrofilik dibandingan 3-glikosida. Substitusi
glikosil pada C-5 mengurangi serangan dari nukleofilik. Meskipun antosianin
55
Penelitian
Cevallos-Casals
dan
Cisneros-Zevallos
(2004)
56
57
58
max
(%)
110
100
90
80
70
60
50
0
3
4
5
Waktu (m inggu)
Gambar 4.8 Pengaruh kondisi penyimpanan (suhu refrigerasi dan ruang) pada
retensi warna (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan
pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat pH 3,
kondisi perlakuan tanpa cahaya. (), buah duwet (suhu
refrigerasi); (), buah duwet (suhu ruang); (), kubis merah (suhu
refrigerasi); (), kubis merah (suhu ruang); (), enosianin (suhu
refrigerasi); (), enosianin (suhu ruang).
Tabel 4.3 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan
ruang
Pewarna
Antosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing
perlakuan penyimpanan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung
dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ID, perbedaan indeks degradasi. WP,
perbedaan warna polimerik. E, perbedaan warna kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan
warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t1/2, waktu paruh. Penyimpanan
selama 8 minggu.
59
60
terhadap
cahaya.
Pencahayaan
juga
dapat
menyebabkan
61
maks
(%)
120
110
100
90
80
70
60
50
40
0
Gambar 4.9
3
4
Waktu (hari)
Tabel 4.4 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pencahayaan fluoresens
Pewarna
Antosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Kinetika Degradasi
t1/2 (hari)
k
0,0432
16,04c
0,0626
11,07a
0,0513
13,51b
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda
nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan.
ID, perbedaan indeks degradasi. WP, perbedaan warna polimerik. E, perbedaan warna
kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi
antosianin. t1/2, waktu paruh. Pencahayaan fluoresens selama 7 hari.
62
antosianin kubis merah. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dyrby et al. (2001) yang mendapatkan hasil bahwa antosianin kubis merah
memiliki sensitivitas yang rendah terhadap fotodegrasi. Perbedaan ini mungkin
disebabkan penggunaan sumber cahaya untuk reaksi fotokimia berbeda. Pada
penelitian ini digunakan lampu fluoresens dengan intensitas 4000 lux sedangkan
penelitian Dyrby et al. (2001) menggunakan cahaya monokromatik dengan
panjang gelombang 313, 366, dan 436 nm (ultraviolet dan visibel). Sedangkan
hasil penelitian dari Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) diperoleh
bahwa antosianin ubi jalar merah (mengandung gugus asil) juga mengalami
degradasi selama pencahayaan dengan lampu fluoresens putih. Profil laju
degradasi antosianin dari kubis merah pada penelitian disertasi ini hampir sama
dengan laju degradasi antosianin pada ubi jalar merah. Setelah pencahayaan
selama 7 hari diperoleh nilai retensi warna antosianin ubi jalar berkisar 45%. Nilai
ini lebih rendah dari nilai retensi warna antosianin buah duwet dan kubis merah
berturut-turut berkisar 73% dan 68% setelah pencahayaan selama 7 hari.
Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar
tampak dan energi radiasi sinar menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum
tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan
perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Furtado et al. (1993)
menjelaskan bahwa reaksi degradasi antosianin oleh cahaya melibatkan eksitasi
dari kation flavilium. Selama degradasi fotokimia, pembentukan produk akhir
degradasi dijumpai sama seperti pada reaksi termal. Degradasi antosianin
secara fotokimia melalui lintasan kinetika berbeda yang melibatkan eksitasi dari
kation flavilium. Mekanisme degradasi secara fotokimia langsung dari kation
flavilium sesuai persamaan: AH+
hv
63