Sie sind auf Seite 1von 25

4.

STABILITAS ANTOSIANIN BUAH DUWET (Syzygium cumini)


DALAM MINUMAN MODEL
PENDAHULUAN

Antosianin telah digunakan secara luas sebagai pewarna alami untuk


pangan (Mateus & Freitas, 2009). Problem utama dari antosianin yang digunakan
sebagai pewarna adalah karakteristik kestabilan yang rendah. Beberapa faktor
fisik dan kimia yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin meliputi struktur
dan konsentrasi pigmen, pH, suhu, cahaya, keberadaan kopigmen, ion-ion metal,
enzim, oksigen, asam askorbat, gula dan produk degradasinya dan sulfur
dioksida (Markakis 1982; Francis 1989; Elbe & Schwartz 1996; Jackman & Smith
1996). Meskipun antosianin tidak stabil dan mudah mengalami kerusakan selama
proses, senyawa antosianin secara luas digunakan sebagai pewarna alami yang
aman dalam pangan (MacDougall 2002). Pewarna alami berbasis antosianin
berbahan baku kulit anggur, kubis merah, dan wortel ungu telah digunakan
secara komersial untuk mewarnai bahan pangan (Delgado-Vargas dan ParedesLopez, 2003).
Buah duwet mengandung antosianin terutama pada bagian kulit. Kulit
buah duwet mengandung antosianin lebih tinggi dibandingkan kandungan
antosianin kulit anggur dan kubis merah yang telah digunakan secara komersial
sebagai pewarna. Antosianin buah duwet yang banyak terakumulasi pada bagian
kulit juga dapat digunakan sebagai pewarna pangan alami bebasis antosianin.
Keunggulan penggunaan ekstrak antosianin buah duwet sebagai pewarna
adalah berasal dari buah-buahan yang dapat dikategorikan dalam status GRAS
(generally recognized as safe) yang aman digunakan sebagai pewarna sehingga
nantinya lebih mudah untuk dikomersialisasikan. Sampai sekarang belum
ditemukan penelitian yang melakukan pengkajian karakterisasi warna dan
kestabilan antosianin buah duwet terutama kajian stabilitas terhadap pH,
pemanasan, pencahayaan, dan kondisi penyimpanan. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan Sari et al. (2005) telah melakukan penelitian mengenai
karakterisasi stabilitas warna antosianin buah duwet pada model bufer pH 1,
pada kondisi pH ini tidak sesuai untuk aplikasi pada pangan. Selain itu, Veigas et
al. (2007) menguji stabilitas antosianin buah duwet dalam ekstrak pekat dan sirup
antitusif yang mengandung salbutamol yang disimpan pada suhu ruang.
Berdasarkan penjelasan diatas maka pada penelitian ini dilakukan karakterisasi

40

warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet untuk tujuan penggunaan
sebagai pewarna pangan. Pengaplikasian dilakukan pada model minuman pH 3
yang merupakan kondisi pH minuman berbasis asam. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat melengkapi informasi-informasi dari penelitian sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi warna dan
stabilitas warna antosianin buah duwet yang dibandingkan dengan antosianin
kubis merah dan pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial), sehingga
dapat diketahui potensi penggunaannya sebagai pewarna pangan.
BAHAN DAN METODE

Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan SEAFAST Center
(Gedung PAU), IPB; Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen ITP, FATETA,
IPB; serta Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran
Hewan, IPB.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duwet
matang berwarna ungu kehitaman yang diperoleh dari hutan di Probolinggo,
Jawa Timur. Sampel buah duwet telah mendapat pengesahan determinasi jenis
tanaman dari LIPI Biologi, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah kubis merah
diperoleh dari supermarket di Bogor, Jawa Barat dan bubuk enosianin E-163
(pewarna antosianin komersial dari kulit anggur merah yang mengandung 3%
antosianin) diperoleh dari Sensient Food Colors (Jerman).
Bahan kimia yang digunakan berspesifikasi pro analisis. Asam klorida
(HCl), kalium klorida, natrium asetat, asam sitrat, natrium sitrat, kalium sorbat,
dan natrium meta bisulfit diperoleh dari Merck (Darmstadt, Jerman). Etanol teknis
(96%) dan gas nitrogen diperoleh dari suplier bahan kimia di Bogor.
Peralatan yang digunakan adalah pisau baja tahan-karat, hand blender,
timbangan analitik, pengaduk/stirer, batang stirer, sentrifugasi, kertas Whatman
no 1, pompa vakum, vakum rotary evaporator, pH-meter, pipet mikrometer,
vortek, spektrofotometer UV-Vis, refraktometer, lemari pendingin, lampu
fluoresens, penangas air, kromameter (CR-310), dan alat-alat kaca.

41

Metode Penelitian

Persiapan sampel
Buah duwet matang (warna ungu kehitaman) dan kubis merah disortasi
lalu dicuci dengan air bersih. Selanjutnya kulit buah duwet dikupas menggunakan
pisau baja tahan-karat dan kubis merah dipotong-potong dalam ukuran kecil.
Kulit buah duwet dan kubis merah diblansir uap panas 80oC secara terpisah
selama 3 menit. Kulit buah duwet dan kubis merah dikemas dalam kantong
plastik polietilena (PE) dan disimpan pada suhu -20oC.
Ekstraksi antosianin
Kulit buah duwet dan kubis merah beku di-thawing pada suhu ruang,
selanjutnya setiap sampel dihancurkan dengan menggunakan hand blender
secara terpisah. Ekstraksi antosianin buah duwet dan kubis merah dilakukan
secara maserasi dengan diaduk (stirer). Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
adalah

etanol, pelarut food grade (Francis 1982; Cacace & Mazza 2003).

Perbandingan sampel dan pelarut 1:2 (b/v). Ekstraksi secara maserasi dilakukan
pada suhu ruang selama 60 menit, kemudian disentrifus (3552 g) selama 10
menit untuk memisahkan filtrat dan residu. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali
dengan menggunakan pelarut dan cara yang sama. Filtrat digabung dan disaring
dengan menggunakan penyaring vakum, lalu pelarut organik dievaporasi dengan
vakum evaporator putar pada suhu 40oC untuk mendapatkan ekstrak aqueous
antosianin yang berwarna ungu kehitaman, Gambar 4.1. Ekstrak ditempatkan
dalam botol, diembus dengan nitrogen lalu disimpan pada -20oC sampai
digunakan untuk analisa.
Ekstrak dianalisis kandungan total antosianin monomerik dengan metode
perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Ekstrak juga diukur nilai pH dengan pHmeter dan total padatan menggunakan refraktometer.
Pengukuran kandungan total antosianin monomerik
Kandungan total antosianin monomerik diukur berdasarkan metode
perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Sampel dalam jumlah tertentu
dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah
larutan bufer kalium klorida (0,025 M) pH 1 hingga volume menjadi 5 mL. Tabung
reaksi kedua ditambahkan larutan bufer natrium asetat (0,4 M) pH 4,5 hingga

42

volume menjadi 5 mL. Absorbans dari kedua perlakuan pH diukur dengan


spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm dan 700 nm setelah
didiamkan selama 15 menit. Nilai absorbans dihitung dengan rumus: A = [(A520 A700)pH

- (A520 - A700)pH

4,5].

Kandungan antosianin dihitung sebagai sianidin-3-

glikosida menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 29 600 dan bobot


molekul sebesar 448,8. Kandungan antosianin (mg/L) = (A x BM x FP x 1000) / (
x 1), A adalah absorbans, BM adalah berat molekul, FP adalah faktor pengencer,
dan adalah koefisien ekstingsi molar. Kandungan total antosianin monomerik
dinyatakan sebagai mg CyE/g sampel.

Gambar 4.1 Ekstrak antosianin kulit buah duwet.


Karakterisasi warna antosianin pada nilai pH 1-8
Setiap sampel pigmen disiapkan pada pH 1-8 menggunakan larutan bufer
kalium klorida (0,025 M) untuk pH 1-4 dan bufer natrium asetat (0,4 M) untuk pH
5-8. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans
pada kisaran nilai 1 (vis-maks) pada pH 1. Campuran didiamkan selama 60 menit
pada

suhu

ruang

kemudian

dilakukan

pengukuran

spektra

dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 350-700 nm.


Stabilitas warna antosianin dalam minuman model
Pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan
enosianin dilakukan dalam minuman model menggunakan bufer sitrat (0,1 M;
asam sitrat-natrium sitrat) pada pH 3 yang mewakili kondisi pH pada pangan
berbasis asam. Kalium sorbat 0,05% (b/v) ditambahkan untuk mencegah
pertumbuhan mikroba selama perlakuan. Penambahan pigmen dilakukan
sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 0,75-0,8 pada
panjang gelombang penyerapan maksimum di daerah visibel (vis-maks).

43

Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang untuk mencapai


kesetimbangan. Stabilitas warna antosianin dianalisis terhadap pengaruh suhu
pemanasan, cahaya, dan kondisi penyimpanan.
Pengaruh suhu pemanasan terhadap

stabilitas warna antosianin

dilakukan dengan merendam botol-botol transparan yang berisi larutan bufer


sitrat dan ekstrak antosianin di dalam penangas air pada suhu 80 and 98oC
selama interval waktu 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Pengaruh cahaya terhadap
stabilitas warna antosianin dilakukan dengan menyinari botol-botol transparan
yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan lampu fluoresens
putih (lampu Philip, 23 watt) didalam kotak berukuran 58 x 72 x 60 cm sehingga
diperoleh intensitas pencahayaan 4000 lux. Pencahayaan dilakukan selama
interval waktu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari pada suhu 32oC. Kontrol untuk
perlakuan suhu pemanasan dan pencahayaan dibuat dengan membungkus
botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin
dengan aluminium foil kemudian disimpan pada suhu ruang untuk perlakuan
suhu pemanasan dan disimpan pada suhu 32oC untuk perlakuan pencahayaan.
Pengujian stabilitas antosianin terhadap kondisi penyimpanan dilakukan pada
suhu refrigerasi dan ruang selama 8 minggu pada kondisi gelap.
Masing-masing sampel pigmen pada setiap perlakuan dihitung nilai
persen retensi warna menggunakan persamaan: % Retensi warna = At/A0 x 100,
dimana t = waktu; At = absorbans setelah perlakuan (waktu t); A0 = absorbans
sebelum perlakuan (waktu 0) (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004).
Warna polimerik dan indeks degradasi
Warna polimerik (WP) dan indeks degradasi (ID) juga dapat digunakan
untuk mengetahui terjadinya degradasi warna antosianin. Kandungan warna
polimerik (polymeric color) dalam minuman model dianalisa menggunakan
metode bleaching bisulfit (Giusti & Wrolstad 2001). Kandungan warna polimerik
dinyatakan sebagai % dari total densitas warna (colour density). Indeks
degradasi dihitung sebagai nisbah antara A420nm and Avis-maks (Cevallos-Casals &
Cisneros-Zevallos 2004). Pengukuran warna polimerik dan indeks degradasi
dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Perbedaan nilai WP dan ID sebelum
dan setelah perlakuan dinyatakan sebagai nilai WP dan ID. Semakin tinggi
nilai WP dan ID menunjukkan terjadinya degradasi antosianin selama
perlakuan semakin besar.

44

Pengukuran warna dengan kromameter


Pengukuran

warna

menggunakan

alat

Minolta

Chroma

CR-310

colorimeter menggunakan sistem pengukuran CIELAB. Pengukuran dilakukan


pada awal dan akhir perlakuan. Parameter-parameter yang diukur meliputi L*
(lightness), a* (redness), b* (yellowness), C* (chroma), H* (hue angle), and E
(perbedaan warna secara keseluruhan). Perbedaan warna secara keseluruhan
dihitung menggunakan persamaan, E = [(L*)2 + (C*)2 + (H*)2]1/2. Nilai E
merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna
kromasitas secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai E menunjukkan perubahan
warna sampel selama perlakuan semakin besar (Gonnet 1998).
Kinetika degradasi antosianin
Degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin
selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan mengikuti
kinetika reaksi orde pertama. Kinetika degradasi antosianin secara umum
berlangsung pada orde pertama (Kirca & Cemeroglu 2003; Cevallos-Casals &
Cisneros-Zevallos 2004; Wang & Xu 2007). Konstanta laju reaksi (k) dan waktu
paruh (t1/2), waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan/degradasi
antosianin sebesar 50%, untuk reaksi orde pertama dihitung menggunakan
persamaan berikut :
ln(At/Ao) = -kt + C
ln (retensi warna) = -kt + C
t1/2 = -ln 0.5 x k-1
A0 = absorbansi sebelum perlakuan (waktu 0), At = absorbansi setelah perlakuan
(waktu t); k = konstanta laju reaksi; t1/2 = waktu paruh.
Analisa data secara statistik
Data hasil pengujian dianalisis secara statistika dengan menghitung nilai
rata-rata dan standar deviasi menggunakan aplikasi Microsoft Office EXCEL
2007 serta analisis sidik ragam (uji ANOVA) kemudian dihitung nilai bedanya
dengan uji beda Duncan Multiple Range Test pada taraf 5% (p < 0,05)
menggunakan aplikasi SPSS 17.0.

45

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Ekstrak Antosianin
Ekstrak antosianin yang digunakan dalam pengujian stabilitas meliputi
ekstrak antosianin dari buah duwet dan kubis merah, serta pewarna enosianin
(pewarna antosianin komersial) yang berbentuk bubuk. Kandungan antosianin
dalam ekstrak buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut
sebesar 4,37 mg/mL; 1,83 mg/mL; dan 1,73 mg/mL. Nilai pH untuk ekstrak
antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut
sebesar 3,74; 5,25; dan 3,23. Ekstrak antosianin dan pewarna enosianin
mempunyai nilai pH yang lebih asam. Nilai total padatan terlarut untuk ekstrak
antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin berturut-turut sebesar 11,00;
9,50; dan 15,50 (Brix %). Total padatan terlarut ekstrak antosianin buah duwet
lebih tinggi dari ekstrak antosianin kubis merah karena kandungan gula yang
lebih tinggi dalam ekstrak antosianin buah duwet. Total padatan terlarut dalam
pewarna enosianin paling tinggi karena kandungan gula pada anggur dan
adanya penambahan bahan pengisi dalam pembuatan bubuk pewarna.
Komposisi antosianin buah duwet terdiri dari delfinidin, sianidin, petunidin,
peonidin, dan malvidin, yang semuanya dalam bentuk 3,5-diglukosida tanpa
gugus asil dari asam aromatik. Antosianin utama dalam buah duwet adalah
delfinidin 3,5-diglukosida (41%), petunidin 3,5-diglukosida (28%), dan malvidin
3,5-diglukosida (26%). Komposisi antosianin buah duwet didasarkan pada hasil
penelitian pada tahap I (Sari et al. 2009) dan Brito et al. (2007). Berdasarkan
hasil identifikasi yang dilakukan oleh Hrazdina et al. (1977); Giusti et al. (1999);
Dyrby et al. (2001); Wu dan Prior (2005b) diperoleh bahwa komposisi antosianin
pada kubis merah sangat komplek mengandung antosianidin (sianidin) glikosilasi
dengan 2 jenis gula yang berbeda dan terasilasi dengan beberapa jenis asam
aromatik. Komposisi antosianin utama dalam kubis merah adalah sianidin-3,5diglukosida (20%) dan sianidin-3-soforosida-5-glukosida (80%) yang terasilasi
dengan asam sinapat, ferulat, kumarat, dan kafeat. Pewarna enosianin yang
dibuat dari kulit anggur merah (Vitis vinifera) mempunyai komposisi antosianin
terdiri dari 3-glukosida dan 3-asetilglukosida dari malvidin, peonidin, delpinidin,
petunidin, dan sianidin serta malvidin-3-kumarilglukosida (Bridle & Timberlake
1997; Wu & Prior 2005a; Gmez-Plaza et al. 2006). Malvidin 3-glukosida adalah
antosianin utama dalam anggur (Malien-Aubert et al. 2001). Informasi struktur

46

dan komposisi antosianin yang terkandung dalam suatu bahan atau ekstrak
berhubungan dengan karakteristik stabilitas dan intensitas warna antosianin.
Antosianin buah duwet semuanya dalam bentuk diglikosida, antosianin kubis
merah merupakan di- dan tri-glikosida yang terasilasi, sedangkan antosianin
pewarna

enosianin

merupakan

monoglikosida.

Menurut

Francis

(1989),

umumnya diketahui asilasi pada antosianin dapat membuat warna antosianin


lebih stabil, tetapi pada konsentrasi yang rendah bersifat tidak stabil.
Karakterisasi Warna Antosianin pada Nilai pH 1-8
Warna antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin
dikarakterisasi pada kisaran nilai pH 1-8 untuk melihat perubahan warna
antosianin pada kondisi pH asam, netral, dan basa. Perubahan warna antosianin
buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam sistem bufer pH 1-8
ditampilkan pada Gambar 4.2 dan spektra absorbans dari masing-masing
antosianin ditampilkan pada Gambar 4.3.
Nilai absorbans dan warna antosianin buah duwet pada pH 1-2
menunjukkan nilai yang tinggi dan berwarna merah, begitu juga pada antosianin
kubis merah dan pewarna enosianin. Hal ini disebabkan pada pH di bawah 2,
struktur antosianin utamanya berada dalam bentuk kation flavilium yang
berwarna merah (Mazza & Brouillard 1987). Pada pH 3 warna merah antosianin
buah duwet mulai pudar, sedangkan pada antosianin kubis dan pewarna
enosianin masih menunjukkan warna merah dan nilai absorbans lebih tinggi
dibandingkan antosianin buah duwet. Pada ketiga sampel antosianin yang
diujikan, terlihat kecenderungan nilai absorbans yang menurun dengan
meningkatnya pH hingga pH 6 (Gambar 4.3). Penurunan nilai absorbans secara
tajam terjadi pada antosianin buah duwet terutama pada pH 4-6. Sistem bufer
yang mengandung antosianin buah duwet pada kisaran pH 4-6 menjadi tidak
berwarna yang menunjukkan terbentuknya struktur antosianin tidak berwarna.
Pada kondisi ini, kation flavilium merah mengalami hidrasi menjadi bentuk
struktur tidak berwarna karbinol (Mazza & Brouillard 1987). Pada antosianin
kubis merah pada kisaran pH 4-6 masih menunjukkan warna merah keunguan
disebabkan adanya gugus asil. Keberadaan gugus asil dapat menyebabkan
peningkatan intensitas warna dan perubahan warna menjadi merah keunguan
serta terjadi pergeseran panjang gelombang yang lebih tinggi dibandingkan pada
antosianin tanpa asilasi (fenomena kopigmentasi intramolekular). Pada pH 1-6,

47

antosianin pewarna enosianin masih terlihat berwarna merah serta mempunyai


nilai absorbans pada vis-maks yang paling tinggi dibandingkan antosianin buah
duwet dan kubis merah. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh
Cevallos-Casals

dan

Cisneros-Zevallos

(2004)

yang

juga

melakukan

karakterisasi warna dari pewarna antosianin komersial anggur merah (enosianin)


pada pH 1-11,7. Hasil penelitian menunjukkan warna antosianin anggur merah
(enosianin) pada pH 4-6 tidak berwarna. Adanya perbedaan hasil penelitian
kemungkinan karena perbedaan sampel pewarna yang digunakan. Pada
penelitian disertasi ini digunakan sampel dalam bentuk bubuk yang mungkin
sudah ditambahkan agensia peningkat warna (color enhancer), sedangkan pada
penelitian Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) menggunakan pewarna
antosianin komersial dari anggur merah (enosianin) bentuk konsentrat cair.
Warna antosianin kubis merah berwarna merah keunguan, sedangkan
antosianin duwet dan pewarna enosianin berwarna merah (Gambar 4.2).
Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez (2003) menjelaskan bahwa antosianin kubis
merah menunjukkan warna merah keunguan pada nilai pH diatas 3. Keberadaan
asilasi asam sinamat berpengaruh pada karakteristik spektra dan warna yang
menyebabkan pergeseran batokromik pada vis-maks, dengan sedikit efek biru
(bluing effect).
Pergeseran batokromik terjadi pada semua pewarna yang diujikan pada
pH>4, serta terjadi peningkatan nilai absorbans pada kisaran panjang gelombang
570-600 nm pada pH 7-8 (Gambar 4.3). Hal ini disebabkan pembentukan struktur
kuinonoidal biru yang tidak stabil pada perlakuan pH tinggi. Peningkatan pH akan
menyebabkan terjadinya kehilangan proton (deprotonisasi) yang menghasilkan
struktur kuinonoidal biru yang tidak stabil (Mazza & Brouillard 1987). Hal ini
diperjelas pada Gambar 4.2 dimana terlihat pada pH 7-8 untuk antosianin buah
duwet dan kubis merah menunjukkan warna biru sedangkan untuk pewarna
enosianin berwarna coklat kehitaman.
pH
1

Buah duwet

Kubis merah

Enosianin

Gambar 4.2 Warna antosianin pada kisaran nilai pH 1-8.

48

Buah Duwet

1.2

Kubis merah

1.2

1
1

1
2

0.8

0.8
2
0.6

0.6

0.4

0.4

0.2

0.2

8
7

0
350

400

450

500

4, 5, 6
550

4, 5, 6

0
600

8
7

650

350

700

400

450

500

550

600

650

700

Panj ang g el o mb ang ( nm)

Panjang g elo mb ang ( nm)

Enosianin
1.2

1
2

0.8

3
4

0.6

5
6
0.4

0.2
0
350

400

450

500

550

600

650

700

Panjang g elo mb ang ( nm)

Gambar 4.3 Pola spektrum absorpsi dari antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin pada kisaran nilai pH 1-8 setelah
ekuilibrium selama 1 jam.
Warna antosianin berubah sebagai respon dari pH. Secara umum dapat
dijelaskan, berkurangnya intensitas warna dengan meningkatnya pH disebabkan
terjadi reaksi kesetimbangan antara 4 spesies antosianin: basa kuinonoidal (A),
kation flavilium (AH+), karbinol atau pseudobasa (B), dan kalkon (C). Di dalam
larutan asam, 4 spesies antosianin berada dalam kesetimbangan, Gambar 4.4.
Interkonversi antara 4 struktur antosianin dijelaskan sesuai skema pada Gambar
4.4.
Pada kondisi pH di bawah 2, antosianin berada utamanya dalam bentuk
kation flavilium merah (AH+). Peningkatan pH menyebabkan terjadinya
kehilangan proton secara cepat dari gugus hidroksil C-4, C-5, atau C-7 kation
flavilium menghasilkan bentuk kuinonoidal biru (A). Lebih lanjut terjadi reaksi
hidrasi oleh nukleofilik molekul air yang menyerang kation flavilium pada posisi
C-2 menghasilkan struktur karbinol tidak berwarna atau pseudobasa (B) yang
akan membentuk kesetimbangan dengan struktur kalkon (C) (Brouillard 1982;
Mazza & Brouillard 1987). MacDougall (2002), juga menjelaskan pada pH rendah

49

(pH 1), warna antosianin adalah merah (AH+), sebagai pH ditingkatkan maka
antosianin

mengalami

dua

kemungkinan

pathway:

(1)

deprotonisasi

menghasilkan senyawa kuinonoidal biru (A) atau (2) hidrasi menghasilkan kalkon
(C).

Basa kuinoidal (biru)

Kalkon (tidak berwarna)

Kesetimbangan asam-basa

(1)

Kesetimbangan hidrasi

(2)

Kesetimbangan tautomerik ring-chain

(3)

AH+

Kation flavilium (merah)

Pseudobasa karbinol (tidak berwarna)

Gambar 4.4 Pengaruh pH pada interkonversi dan perubahan warna antosianin.


Glc = glukosa (Kidmose et al. diacu dalam MacDougall 2002;
Mazza & Brouillard 1987).

Pada Gambar 4.2 dan 4.3 juga terlihat bahwa antosianin buah duwet
mempunyai intensitas warna merah atau biru yang lebih rendah pada semua pH
yang diujikan dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna
enosianin. Hal ini berhubungan dengan struktur antosianin buah duwet yang
semua struktur glikosilasi adalah 3,5-diglukosida. Menurut Mazza dan Brouillard
(1987), pada nilai pH yang diujikan, antosianin 3-glikosida memiliki karakteristik
lebih berwarna dibandingkan dengan antosianin 3,5-diglikosida dan 5-glikosida.

50

Penelitian yang dilakukan oleh Brouillard dan Delaporte (1977) yang disitasi oleh
Mazza dan Brouillard (1987) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida
memiliki karakteristik kurang berwarna dibanding malvidin 3-glukosida. Hal ini
terjadi karena nilai pKh untuk kesetimbangan antara bentuk kation flavilium dan
karbinol pseudobasa dari diglukosida satu unit pH lebih rendah dari bentuk
monoglukosida. Eksperimen yang dilakukan pada larutan malvidin 3,5diglukosida pada kondisi diatas pH 4 juga menunjukkan perubahan warna larutan
menjadi tidak berwarna. Lebih lanjut dijelaskan oleh Delgado-Vargas dan
Paredes-Lopez (2003), substitusi gula juga berperanan penting pada warna
antosianin. Terjadinya pergeseran hipsokromik disebabkan oleh keberadaan
glikosilasi pada antosianin.
Stabilitas Warna Antosianin
Selama pengolahan pangan, antosianin diekspos pada kondisi pH, suhu,
dan pencahayaan yang ekstrim sehingga antosianin mudah mengalami
degradasi (Delgado-Vargas & Paredes-Lopez 2003). Untuk itu perlu dilakukan
pengujian

stabilitas

warna

antosianin

buah

duwet

terhadap

pengaruh

pemanasan, pencahayaan, serta kondisi penyimpanan (suhu dingin dan ruang)


yang dapat menyebabkan degradasi antosianin.
Umumnya pewarna berbasis antosianin digunakan pada bahan pangan
yang memiliki kisaran nilai pH 3 (Nielsen et al. 2002). Dyrby et al. (2001);
Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) juga melakukan pengujian
stabilitas warna antosianin dalam minuman model pada pH 3. Selain itu,
antosianin memiliki karakterteristik yang lebih stabil pada kondisi asam (pH
rendah) dibandingkan pada kondisi larutan alkali (Brouillard 1982; Elbe & von
Schwartz 1996). Pada penelitian ini, pengujian stabilitas warna antosianin buah
duwet dilakukan pada pH 3 yang mewakili pH kebanyakan pangan berbasis
asam. Gambar 4.5 menunjukkan minuman model yang dibuat dari bufer sitrat pH
3 yang telah ditambahkan ekstrak antosianin buah duwet, kubis merah dan
pewarna enosianin. Karakteristik warna (kromasitas) antosianin buah duwet,
kubis merah, dan pewarna enosianin dalam buffer sitrat pH 3 disajikan pada
Tabel 4.1. Antosianin kubis merah berwarna merah keunguan, sedangkan
antosianin buah duwet dan pewarna enosianin berwarna merah.

51

Gambar 4.5 Minuman model (bufer sitrat pH 3) mengandung antosianin buah


duwet (A), kubis merah (B), dan pewarna enosianin (C)
Tabel 4.1. Karakteristik warna (kromasitas) antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin
Ekstrak/pewarna
Parameter warna (CIELAB)
antosianin
L*
C*
H*
Buah duwet
50,94
34,92
353,90
Kubis merah
49,68
43,33
341,97
Enosianin
46,59
30,49
1,57
L*, kecerahan/lightness; C*, kroma/chroma; H*, sudut warna/hue angle.

Stabilitas terhadap Pemanasan


Salah satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi stabilitas antosianin
adalah suhu pemanasan (Francis 1989; Elbe & von Schwartz 1996; Jackman &
Smith 1996). Suhu pemanasan yang digunakan untuk pengujian stabilitas warna
antosianin adalah 80 dan 98oC yang dipilih berdasarkan perlakuan panas yang
umum untuk bahan pangan (misal blansing, pasteurisasi, dan perebusan).
Stabilitas warna antosianin sebagai fungsi suhu dan lama pemanasan dinyatakan
sebagai persen retensi warna antosianin (Gambar 4.6). Pemanasan dapat
menstimulasi pembentukan senyawa hasil degradasi antosianin seperti karbinol
dan turunannya yang tidak berwarna sehingga menyebabkan terjadinya
penurunan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan.
Pada pemanasan suhu 80oC, antosianin buah duwet dan enosianin
menunjukkan stabilitas warna lebih baik dibandingkan pada suhu 98oC. Nilai
retensi warna antosianin buah duwet dan enosianin mengalami penurunan
masing-masing menjadi 74% dan 84% pada pemanasan suhu 80oC setelah
pemanasan selama 120 menit. Sedangkan pada pemanasan suhu 98oC, nilai
retensi warna antosianin buah duwet dan enosianin mengalami penurunan
hingga 41 dan 68%. Waktu paruh (t1/2) untuk antosianin buah duwet dan
enosianin pada pemanasan suhu 80oC masing-masing sebesar 4,94 jam dan
8,29 jam, sedangkan pada pemanasan suhu 98oC sebesar 1,58 jam untuk

52

antosianin buah duwet dan 3,73 jam untuk antosianin enosianin (Tabel 4.2). Dari
nilai retensi warna dan waktu paruh ini belum dapat digunakan untuk
menentukan tingkat stabilitas dari antosianin buah duwet dan enosianin, masih
diperlukan data penunjang lainnya seperti nilai ID (perbedaan indeks
degradasi), dan WP (perbedaan warna polimerik), E (perbedaan total warna

120
110
100

Retensi warna pada

max

(%)

kromasitas), yang ditampilkan pada Tabel 4.2.

90
80
70
60
50
40
30
0

30

60

90

120

Waktu (menit)

Gambar 4.6 Pengaruh perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC pada retensi
warna antosianin (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah,
dan pewarna enosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3.
(), buah duwet (80oC); (), buah duwet (98oC); (), kubis merah
(80oC); (), kubis merah (98oC); (), enosianin (80oC); (),
enosianin (98oC).
Tabel 4.2 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC
Ekstrak/Pewarna
Antosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin

Parameter Perubahan Warna


ID
WP
E
KW (%)
Pemanasan 80oC
0,13b
10,03b
5,50b
25,83c
a
a
a
0,08
4,77
2,23
0,00a
c
c
c
0,16
13,86
12,62
15,65b
Pemanasan 98oC
b
b
0,28
15,24
16,86b
58,92c
a
a
a
0,09
6,86
5,88
4,33a
c
c
c
0,31
20,77
18,24
31,95b

Kinetika Degradasi
t1/2 (jam)
K
0,0024
0,0005
0,0014

4,94a
28,88c
8,29b

0,0073
0,0016
0,0031

1,59a
7,33c
3,73b

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing
perlakuan pemanasan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung
dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ID, perbedaan indeks degradasi. WP,
perbedaan warna polimerik. E, perbedaan total warna kromasitas (sistem CIELAB). KW,
kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t1/2, waktu paruh.
Pemanasan selama 120 menit.

Meskipun nilai retensi warna dan waktu paruh dari antosianin enosianin
lebih tinggi daripada antosianin buah duwet, namun dari hasil pengukuran E,

53

ID, dan WP dari enosianin menunjukkan nilai lebih tinggi dibandingkan


antosianin buah duwet pada kedua perlakuan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa
antosianin enosianin mengalami kerusakan lebih tinggi dibandingkan antosianin
buah duwet. Secara visual, warna antosianin buah duwet pada pemanasan 80oC
masih menunjukkan warna merah pudar dan pada suhu 98oC menunjukkan
warna merah kecoklatan, sedangkan warna antosianin enosianin pada
pemanasan 80 dan 98oC berubah warna menjadi kecoklatan. Warna kecoklatan
dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya pembentukan senyawa degradasi
antosianin selama proses pemanasan yang dapat dilihat dari nilai ID dan WP
yang tinggi. Nilai indeks degradasi (ID) dan warna polimerik (WP) mengukur
pembentukan senyawa degradasi polimerik berwarna coklat. Selama proses
pemanasan terjadi peningkatan pembentukan warna polimerik yang terjadi
karena monomerik antosianin mengalami polimerisasi. Pembentukan warna
polimerik dan produk-produk degradasi lainnya berwarna coklat paling tinggi
terjadi pada pewarna enosianin. Hasil ini menunjukkan bahwa antosianin buah
duwet memiliki stabilitas warna yang lebih tinggi dibandingkan antosianin dari
pewarna enosianin. Nilai retensi warna dari pewarna enosianin lebih tinggi
dibandingkan buah duwet karena dipengaruhi oleh adanya produk degradasi
antosianin yang berwarna coklat. Warna coklat dalam minuman model dapat
mempengaruhi

hasil

pengukuran

dengan

spektrofotometer

yang

dapat

memberikan nilai absorbans yang tinggi.


Pada Gambar 4.6 juga dapat diperoleh informasi, bahwa antosianin kubis
merah mempunyai stabilitas yang paling tinggi pada kedua suhu pemanasan, 80
dan 98oC. Selama pemanasan pada kedua suhu terjadi peningkatan nilai retensi
warna melebihi nilai 100%. Penurunan nilai retensi warna hingga 95% hanya
terjadi pada pemanasan suhu 98oC pada waktu pemanasan 120 menit. Namun
demikian, kecenderungan grafik menunjukkan terjadi penurunan nilai retensi
warna atau degradasi antosianin yang relatif lambat. Terjadinya peningkatan nilai
retensi warna selama perlakuan pemanasan juga ditemukan pada antosianin ubi
jalar merah (yang juga mengandung gugus asil) pada bufer pH 1 selama proses
pemanasan 98oC sampai pemanasan 60 menit, namun tidak dijumpai pada bufer
pH 3. Antosianin ubi jalar ungu menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan antosianin wortel ungu, jagung ungu, dan anggur merah selama
proses pemanasan pada suhu 98oC (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos
2004). Penelitian yang dilakukan oleh Dyrby et al. (2001) juga menunjukkan

54

bahwa antosianin kubis merah juga mempunyai karakteristik stabilitas yang lebih
tinggi dibandingkan blackcurrant, kulit anggur, dan elderberry terhadap perlakuan
pemanasan pada suhu 25-80oC.
Pada Tabel 4.2 juga dapat dilihat nilai ID, WP, E, KW (%) dari
antosianin kubis merah lebih kecil pada kedua suhu pemanasan (80 dan 98oC)
yang menunjukkan antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas yang
tinggi terhadap panas. Antosianin kubis merah mempunyai waktu paruh (t1/2)
sebesar 28,88 jam pada pemanasan suhu 80oC dan 7,33 jam pada pemanasan
98oC dalam minuman model pH 3. Waktu paruh kubis merah lebih tinggi
dibandingkan waktu paruh dari antosianin buah duwet dan enosianin pada kedua
suhu pemanasan.
Secara umum, antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas
lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin buah duwet dan enosianin pada
perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98oC, dengan urutan stabilitas: antosianin
kubis merah > buah duwet > enosianin. Hal ini disebabkan struktur antosianin
yang terkandung dalam kubis merah yang merupakan antosianin terasilasi
(kopigmentasi intramolekular). Asilasi pada antosianin dapat memperbaiki
stabilitas melalui penyusunan struktur secara sandwich dari gugus asil pada
cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin
terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin (Jackman & Smith 1996;
Delgado-Vargas et al. 2000) terutama dengan adanya perlakuan pemanasan.
Penyusunan molekul kopigmen (gugus asil) pada planar polarizable dari
antosianin dapat mencegah serangan nukleofilik air pada posisi C-2 dari cincin
pirilium yang dapat memicu pembentukan hemiasetal yang tidak berwarna dan
kalkon (Dangles 1997 diacu dalam Malien-Aubert et al. 2001).
Antosianin buah duwet memliki karakteristik stabilitas yang lebih tinggi
dari antosianin enosianin karena struktur antosianin buah duwet dalam bentuk
glikosilasi 3,5-diglukosa (diglikosida) sedangkan antosianin enosianin bentuk
glikosilasi adalah 3-glukosida (monoglikosida). Hasil penelitian Garca-Viguera
dan Bridle (1999) menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan
warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa
adanya asam askorbat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Timberlake dan Bridle (1977)
diacu dalam Garca-Viguera dan Bridle (1999), antosianin 3,5-diglikosida sedikit
lebih mudah mengalami serangan elektrofilik dibandingan 3-glikosida. Substitusi
glikosil pada C-5 mengurangi serangan dari nukleofilik. Meskipun antosianin

55

enosianin mengandung gugus asil namun tidak mampu memperbaiki stabilitas,


kemungkinan dikarenakan jumlahnya yang sedikit dan jenis gugus asil yang
berikatan. Struktur antosianin enosianin (anggur) dominan dalam bentuk
monoglikosida.

Penelitian

Cevallos-Casals

dan

Cisneros-Zevallos

(2004)

menunjukkan pewarna antosianin komersial dari anggur merah (enosianin)


memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan antosianin ubi jalar
ungu dan wortel ungu pada perlakuan pemanasan 98oC dalam larutan buffer pH
3 serta mempunyai stabilitas yang hampir sama dengan antosianin jagung ungu.
Proses termal dapat menyebabkan degradasi warna antosianin yang
terjadi karena berubahnya kation flavilium yang berwarna merah menjadi basa
karbinol dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna dan berakhir pada
produk degradasi berwarna coklat. Menurut Elbe dan von Schwartz (1996),
panas mengubah kesetimbangan terhadap kalkon yang tidak berwarna dan
reaksi kebalikan lebih lambat dari reaksi kedepan. Brouillard (1982) juga
mengemukakan bahwa suhu tinggi dapat mengubah kation flavilium ke formasi
kalkon. Setelah cincin terbuka, degradasi berlanjut ke produk berwarna coklat.
Lebih lanjut Jackman dan Smith (1996); Francis (1989) menyebutkan bahwa
koumarin glikosida telah diidentifikasi sebagai produk degradasi termal dari
antosianidin 3,5-diglikosida, sedangkan antosianidin 3 glikosida tidak membentuk
koumarin. Markakis (1982) juga menjelaskan bahwa antosianin yang dipanaskan
pada pH 2-4, pertama kali akan mengalami hidrolisis pada ikatan glikosidik
(posisi C-3), diikuti konversi dari aglikon ke bentuk kalkon, kemudian
menghasilkan alfa diketon. Secara lengkap Elbe dan von Schwartz (1996)
menjelaskan mekanisme degradasi termal yang kemungkinan melalui tiga
lintasan (Gambar 4.7) tergantung pada jenis atau tipe antosianin dan suhu
degradasi. Koumarin 3,5-glikosida adalah produk degradasi termal untuk
antosianidin 3,5-diglikosida. Pada lintasan (a), kation flavilium dirubah ke bentuk
kuinonoidal basa, kemudian ke beberapa senyawa intermediet dan akhirnya
membentuk turunan koumarin dan senyawa berhubungan dengan cincin B. Pada
lintasan (b), kation flavilium dirubah ke bentuk basa karbinol tidak berwarna
kemudian ke bentuk kalkon dan terakhir ke produk degradasi berwarna cokelat.
Lintasan (c) mempunyai mekanisme yang hampir sama dengan lintasan (b) yang
berbeda pada produk degradasi kalkon.

56

57

Stabilitas selama Penyimpanan


Kondisi dan lama penyimpanan juga dapat mempengaruhi degradasi
warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin seperti
terlihat pada Gambar 4.8 dan Tabel 4.3. Penyimpanan minuman model yang
mengandung antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin pada
suhu refrigerasi (~5oC) dapat memperlambat degradasi warna antosianin.
Terjadinya peningkatan suhu dari ~5oC (suhu refrigerasi) ke ~27oC (suhu ruang)
dapat mempercepat laju degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah
dan pewarna enosianin seperti terlihat pada penurunan nilai retensi warna
(Gambar 4.8) serta peningkatan nilai ID, WP, dan E (Tabel 4.3). Nilai waktu
paruh (t1/2) antosianin yang disimpan pada suhu refrigerasi memiliki nilai lebih
tinggi dibandingkan waktu paruh antosianin yang disimpan pada suhu ruang.
Peningkatan suhu dapat meningkatkan laju reaksi (Moss 2002) sehingga laju
degradasi antosianin pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan pada suhu
refrigerasi.
Nilai retensi warna digunakan untuk mengukur stabilitas warna antosianin
(Gambar 4.8). Nilai retensi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan
pewarna enosianin berturut-turut sebesar 94,64%; 95,70%; dan 94,89% setelah
penyimpanan 8 minggu pada suhu refrigerasi. Waktu paruh (t1/2) untuk antosianin
buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 25,11;
23,73; dan 27,94 bulan pada penyimpanan suhu refrigerasi. Berdasarkan waktu
paruh (t1/2) menunjukkan bahwa ketiga sampel antosianin memiliki stabilitas yang
hampir sama karena perbedaan nilai waktu paruh yang kecil. Selama
penyimpanan pada suhu refrigerasi, warna antosianin buah duwet dan kubis
merah sedikit mengalami perubahan warna yang dapat dilihat dari nilai E.
Secara visual warna antosianin buah duwet dan kubis merah berwarna merah
agak pudar dan tidak terlihat pembentukan warna coklat. Antosianin enosianin
mengalami perubahan warna lebih besar yang dapat dilihat dari nilai E lebih
tinggi dan secara visual warna antosianin enosianin pada penyimpanan suhu
refrigerasi sedikit berwarna coklat. Nilai ID dan WP antosianin enosianin juga
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ID dan WP antosianin buah duwet dan
kubis merah. Parameter nilai ID, WP, dan E digunakan sebagai parameter
penentu stabilitas antosianin enosianin. Pada penyimpanan suhu refrigerasi,
antosianin buah duwet menunjukkan stabilitas yang hampir sama dengan

58

antosianin kubis merah serta menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi


dibandingkan antosianin enosianin.

Retensi warna pada

max

(%)

110
100
90
80
70
60
50
0

3
4
5
Waktu (m inggu)

Gambar 4.8 Pengaruh kondisi penyimpanan (suhu refrigerasi dan ruang) pada
retensi warna (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan
pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat pH 3,
kondisi perlakuan tanpa cahaya. (), buah duwet (suhu
refrigerasi); (), buah duwet (suhu ruang); (), kubis merah (suhu
refrigerasi); (), kubis merah (suhu ruang); (), enosianin (suhu
refrigerasi); (), enosianin (suhu ruang).
Tabel 4.3 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan
ruang
Pewarna
Antosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin

Parameter Perubahan Warna


Kinetika Degradasi
t1/2 (bulan)
ID
WP
E
KW (%)
k
Penyimpanan suhu refrigerasi (5oC)
0,04a
2,44a
0,95a
5,36b
0,0069
25,11a
b
b
a
a
0,08
5,79
0,79
4,30
0,0073
23,73a
c
c
b
ab
0,10
7,49
2,35
5,11
0,0062
27,94a
o
Penyimpanan suhu ruang (27 C)
b
b
b
c
a
0,18
16,99
10,57
36,02
0,0520
3,36
a
a
a
b
b
0,13
11,16
6,67
28,63
0,0391
4,43
c
c
c
a
c
0,32
19,38
20,34
12,92
0,0153
11,37

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama (berlaku untuk masing-masing
perlakuan penyimpanan) menunjukkan hasil uji berbeda nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung
dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ID, perbedaan indeks degradasi. WP,
perbedaan warna polimerik. E, perbedaan warna kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan
warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi antosianin. t1/2, waktu paruh. Penyimpanan
selama 8 minggu.

Pada penyimpanan suhu ruang, penurunan nilai retensi warna antosianin


buah duwet lebih besar dibandingkan antosianin kubis merah selama
penyimpanan 8 minggu. Nilai retensi warna antosianin buah duwet sebesar 64%
dan antosianin kubis merah sebesar 71% setelah penyimpanan 8 minggu. Pada
Gambar 4.8 memperlihatkan nilai retensi warna dari antosianin enosianin lebih
tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Namun secara

59

visual warna antosianin enosianin menunjukkan perubahan warna menjadi


kecoklatan selama penyimpanan pada suhu ruang. Tingginya nilai retensi warna
pada antosianin enosianin disebabkan adanya pembentukan produk degradasi
antosianin berwarna coklat yang mempengaruhi pengukuran nilai absorbans.
Nilai retensi warna yang tinggi tidak selalu menunjukkan stabilitas yang lebih
baik. Hal ini juga ditunjang dengan nilai E, WP, dan ID dari antosianin
enosianin yang mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet
dan kubis merah. Nilai waktu paruh (t1/2) untuk antosianin buah duwet, kubis
merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 3,36; 4,43; dan 11,37 bulan
pada penyimpanan suhu ruang (Tabel 4.3). Pada penyimpanan suhu ruang,
antosianin buah duwet menunjukkan stabilitas lebih rendah dibandingkan
stabilitas antosianin kubis merah serta menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan antosianin enosianin dengan urutan stabilitas: kubis merah > duwet
> enosianin.
Stabilitas warna antosianin berhubungan dengan struktur antosianin.
Hrazdina dan Franzese (1974) diacu dalam Garca-Viguera dan Bridle (1999)
menyebutkan bahwa dalam larutan asam, malvidin 3,5-diglukosida dioksidasi
lebih cepat daripada malvidin terasilasi. Menurut Jackman dan Smith (1996);
Delgado-Vargas et al. (2000), asilasi pada antosianin dapat memperbaiki
stabilitas melalui penyusunan struktur sandwich dari gugus asil dengan cincin
pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin terhadap
faktor-faktor penyebab degradasi antosianin. Hasil penelitian Garca-Viguera dan
Bridle (1999) juga menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan
warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa
adanya asam askorbat selama penyimpanan 17 hari.
Kehilangan warna dan pembentukan warna cokelat selama penyimpanan
minuman model bufer sitrat pH 3 pada suhu refrigerasi dan ruang terjadi karena
serangan nukleofilik air (penambahan air) pada C-2 kation flavilium yang
menghasilkan senyawa hemiasetal tidak berwarna dan pembukaan cincin
pirilium. Degradasi antosianin berlanjut pada pembentukan senyawa berwarna
coklat terutama dengan keberadaan oksigen (Markakis 1982; Elbe & von
Schwartz 1996). Degradasi antosianin pada perlakuan penyimpanan suhu
refrigerasi dan ruang mempunyai mekanisme yang sama dengan mekanisme
degradasi antosianin selama proses pemanasan suhu tinggi, secara detail
seperti dipaparkan di bagian sebelumnya.

60

Stabilitas terhadap Cahaya


Cahaya dapat menyebabkan degradasi antosianin (Markakis 1982;
Francis 1989; Elbe & Schwartz 1996; Jackman & Smith 1996). Perlakuan
pencahayaan dengan lampu fluoresens menyebabkan terjadinya degradasi
antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin yang ditandai
dengan terjadinya penurunan nilai retensi warna dan waktu paruh (t1/2) serta
peningkatan nilai ID, WP, dan E (Gambar 4.9 dan Tabel 4.4).
Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa nilai retensi warna dari antosianin buah
duwet, kubis merah dan pewarna enosianin yang tidak terpapar cahaya (kontrol)
menunjukkan nilai retensi yang masih tinggi berkisar di atas 90%. Bahkan pada
antosianin kubis merah terjadi peningkatan nilai persen retensi warna di atas
100% selama penyimpanan 7 hari. Adanya pencahayaan dengan lampu
fluoresens menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna. Pada awal
perlakuan pencahayaan, antosianin kubis merah menunjukkan stabilitas yang
lebih tinggi dan selanjutnya mengalami degradasi yang hampir sama dengan
antosianin buah duwet dan enosianin. Pada akhir pencahayaan (7 hari),
antosianin buah duwet menunjukkan karakteristik yang sedikit lebih stabil
dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan enosianin berdasarkan nilai
retensi warna. Hal ini juga didukung dengan nilai ID, WP, dan E dari
antosianin buah duwet yang lebih rendah dibandingkan dengan kubis merah dan
enosianin (Tabel 4.4). Secara visual, minuman model yang mengandung
antosianin buah duwet dan kubis merah berwarna merah pudar setelah
pencahayaan 7 hari, sedangkan minuman model yang mengandung antosianin
enosianin mulai berwarna kecoklatan pada pencahayaan hari ke 5. Warna coklat
pada minuman model yang mengandung antosianin enosianin juga dapat dilihat
dari nilai ID dan WP yang tinggi yang menunjukkan ketidakstabilan antosianin
enosianin

terhadap

cahaya.

Pencahayaan

juga

dapat

menyebabkan

terbentuknya produk degradasi polimerik yang berwarna coklat. Pada perlakuan


pencahayaan, antosianin buah duwet mempunyai nilai waktu paruh lebih tinggi
16,04 hari dibandingkan dengan antosianin kubis merah 11,07 hari dan pewarna
enosianin 13,51 hari. Nilai waktu paruh antosianin enosianin lebih tinggi dari
antosianin kubis merah karena pengaruh pembentukan produk degradasi
berwarna coklat yang tinggi dan terukur pada waktu pengukuran dengan
spektrofotometer.

61

Retensi warna pada

maks

(%)

120
110
100
90
80
70
60
50
40
0

Gambar 4.9

3
4
Waktu (hari)

Pengaruh pencahayaan dengan lampu fluoresens pada retensi


warna (%) dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna
enosianin dalam minuman model buffer sitrat pH 3. (), buah
duwet (control); (), buah duwet (cahaya); (), kubis merah
(kontrol); (), kubis merah (cahaya); (), enosianin (kontrol); (),
enosianin (cahaya).

Tabel 4.4 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model
bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pencahayaan fluoresens
Pewarna
Antosianin
Duwet
Kubis merah
Enosianin

Parameter Perubahan Warna


ID
WP
E
KW (%)
0,13a
7,31a
4,06a
26,93a
b
b
b
0,20
16,51
10,73
32,10c
c
c
c
0,45
20,99
20,08
30,25b

Kinetika Degradasi
t1/2 (hari)
k
0,0432
16,04c
0,0626
11,07a
0,0513
13,51b

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda
nyata (p<0,05). Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan.
ID, perbedaan indeks degradasi. WP, perbedaan warna polimerik. E, perbedaan warna
kromasitas (sistem CIELAB). KW, kehilangan warna (nilai absorbans). k, konstanta laju degradasi
antosianin. t1/2, waktu paruh. Pencahayaan fluoresens selama 7 hari.

Secara keseluruhan, stabilitas warna antosianin terhadap perlakuan


pencahayaan dengan lampu fluoresens dapat diurutkan: antosianin buah duwet
> kubis merah > pewarna enosianin. Komposisi dan struktur antosianin
berpengaruh terhadap stabilitas terhadap cahaya. Van Buren et al. (1968) dalam
Markakis (1982) melaporkan bahwa asilasi, metilasi diglikosida adalah antosianin
yang paling stabil dalam wine yang dipapar cahaya; diikuti non-asilasi diglikosida
lalu monoglikosida yang paling tidak stabil. Pada hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa antosianin buah duwet yang mengandung struktur diglikosida sedikit lebih
stabil dibandingkan antosianin kubis merah yang mengandung struktur
antosianin diglikosida terasilasi. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi
antosianin kubis merah yang ditambahkan dalam minuman model lebih kecil.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet sedikit lebih
stabil terhadap perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens dibandingkan

62

antosianin kubis merah. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dyrby et al. (2001) yang mendapatkan hasil bahwa antosianin kubis merah
memiliki sensitivitas yang rendah terhadap fotodegrasi. Perbedaan ini mungkin
disebabkan penggunaan sumber cahaya untuk reaksi fotokimia berbeda. Pada
penelitian ini digunakan lampu fluoresens dengan intensitas 4000 lux sedangkan
penelitian Dyrby et al. (2001) menggunakan cahaya monokromatik dengan
panjang gelombang 313, 366, dan 436 nm (ultraviolet dan visibel). Sedangkan
hasil penelitian dari Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos (2004) diperoleh
bahwa antosianin ubi jalar merah (mengandung gugus asil) juga mengalami
degradasi selama pencahayaan dengan lampu fluoresens putih. Profil laju
degradasi antosianin dari kubis merah pada penelitian disertasi ini hampir sama
dengan laju degradasi antosianin pada ubi jalar merah. Setelah pencahayaan
selama 7 hari diperoleh nilai retensi warna antosianin ubi jalar berkisar 45%. Nilai
ini lebih rendah dari nilai retensi warna antosianin buah duwet dan kubis merah
berturut-turut berkisar 73% dan 68% setelah pencahayaan selama 7 hari.
Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar
tampak dan energi radiasi sinar menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum
tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan
perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Furtado et al. (1993)
menjelaskan bahwa reaksi degradasi antosianin oleh cahaya melibatkan eksitasi
dari kation flavilium. Selama degradasi fotokimia, pembentukan produk akhir
degradasi dijumpai sama seperti pada reaksi termal. Degradasi antosianin
secara fotokimia melalui lintasan kinetika berbeda yang melibatkan eksitasi dari
kation flavilium. Mekanisme degradasi secara fotokimia langsung dari kation
flavilium sesuai persamaan: AH+

hv

produk degradasi, pembentukan produk

degradasi melalui eksitasi kation flavilium. Sedangkan Maccarone et al. (1987)


mengusulkan mekanisme yang berbeda, degradasi fotokimia terjadi melalui
pembentukan senyawa tidak berwarna, misalnya dari kation flavilium melalui
karbinol pseudobase menjadi kalkon.
SIMPULAN

Warna antosianin buah duwet dipengaruhi oleh pH. Warna antosianin


buah duwet menunjukkan perubahan warna dari merah menjadi tidak berwarna
(pudar) serta mengalami penurunan nilai absorbans dengan meningkatnya pH

63

dari pH 1 ke pH 6. Pada pH 7-8 terjadi peningkatan nilai absorbans dan warna


antosianin berubah menjadi biru. Struktur antosianin buah duwet dengan
glikosilasi 3,5-diglukosida memberikan intensitas warna yang rendah pada
kisaran nilai pH 1-8.
Antosianin buah duwet memiliki karakteristik relatif tidak stabil selama
perlakuan pemanasan (suhu 80 dan 98oC), pencahayaan dengan lampu
fluoresens putih, serta penyimpanan pada suhu refrigerasi dan ruang. Antosianin
buah duwet menunjukkan karakteristik lebih stabil dibandingkan pewarna
enosianin (pewarna antosianin komersial) selama perlakuan pemanasan,
pencahayaan, dan penyimpanan. Antosianin buah duwet memiliki karakteristik
stabilitas yang hampir sama dengan antosianin kubis merah pada perlakuan
pencahayaan dan penyimpanan. Antosianin terasilasi pada kubis merah
memberikan karakteristik kestabilan warna yang tinggi selama pemanasan (suhu
80 dan 98oC) dibandingkan dengan antosianin buah duwet (diglikosida) dan
enosianin (monoglikosida). Pada kondisi penyimpanan suhu refrigerasi dan tanpa
pencahayaan dapat mempertahankan warna antosianin buah duwet lebih lama.

Das könnte Ihnen auch gefallen