Sie sind auf Seite 1von 2

Annemarie Schimmel

Ia Datang Bagai Mutiara Peradaban


Penulis: Yuliani Liputo
Erfurt adalah sebuah kota kecil di bagian Jerman. Di kota inilah dibesarkan seorang gadis dengan minat
yang dianggap aneh di masa ketika negerinya sedang tercabik-cabik oleh Perang Dunia II. Ketika
nasionalisme dan fanatisme politik tengah memenuhi udara Jerman, Annemarie Schimmel justru tenggelam
dalam pesona bahasa Arab dan sejarah kebudayaan Islam.
Schimmel masih berusia lima belas tahun ketika pertama kali terpikat pada puisi-puisi berbahasa Arab.
Melalui guru bahasa Arabnya dia diperkenalkan pada sejarah kebudayaan Islam. Jalan telah dipilihkan
baginya. Sepanjang hidupnya setelah itu dia konsisten menekuni bidang kajian Islam dan membuahkan
karya-karya penting antara lain Gabriel's Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal;
Mystical Dimentions of Islam; And Muhammad is His Messenger; A Two-Colored Brocade: The Imagery of
Persian Poetry; Calligraphy and Islamic Culture, serta puluhan makalah dan terjemahan dalam bahasa
Turki, Jerman, dan Inggris.
Dua tokoh Islam yang menjadi pusat perhatian Schimmel adalah Mawlana Jalaluddin Rumi dan Muhammad
Iqbal. Perkenalan pertamanya dengan Rumi adalah lewat Diwan-i Shams-i Tabriz terjemahan R.A.
Nicholson yang disalinnya dengan tangan. Dia berhasil membuat terjemahannya sendiri yang pertama atas
puisi-puisi Rumi dan Hallaj pada Desember 1940.
Rumi menjadi begitu hidup di tangan Schimmel, seperti yang dipaparkan pada buku Akulah Angin,
Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi (Mizan, 1993). Minat puitisnya disertai dengan bakat
pemahaman spiritual yang tajam menghasilkan ulasan-ulasan yang kembali menghadirkan Rumi kepada
khalayak pembaca secara lebih nyata dibanding para penulis lain.
Ketika menjadi profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara, Turki, Schimmel sering mengadakan
kunjungan ke Konya, tempat dimakamkannya sang Mawlana. Pada acara peringatan hari lahir Rumi, 17
Desember 1954, dia diberi kehormatan untuk menyampaikan kuliah pembuka. Kegiatan itu baru mulai
diselenggarakan kembali setelah lama dilarang oleh pemerintahan Turki.
Di sanalah untuk pertama kalinya Schimmel mendapat kesempatan menyaksikan tarian darwisy.
Pengalaman ini membuat Rumi semakin hidup dalam diri Schimmel, menjadi sumber inspirasi dan
penenang hatinya hingga saat ini.
Kekagumannya pada penyair Indo-Muslim Muhammad Iqbal tumbuh bersamaan, namun baru mendapat
perhatian ketika dia mulai sering diundang ke Pakistan sejak 1958. Iqbal bagi Schimmel adalah personifikasi
gabungan semangat Rumi dan Goethe, seorang pembaru yang aktif dalam politik dan sekaligus sangat
mistikal. Schimmel tergerak untuk menerjemahkan salah satu karya Iqbal, Javidnama, ke dalam bahasa
Turki. Terjemahan inilah yang membuatnya dekat dengan Pakistan.
Di Pakistan dia menemukan bukan hanya kenangan dan gema karya-karya Iqbal, tetapi juga keindahan
ekspresi puitis bahasa Urdu. Negeri Iqbal ini seakan menjadi tanah air kedua bagi Schimmel. Dia dekat
dengan Bhutto dan Jenderal Zia ul-Haq, sering muncul di acara-acara TV Pakistan, dan akhirnya diangkat
menjadi warga kehormatan Pakistan dengan memperoleh penghargaan Hilal-i Pakistan melalui sebuah
upacara yang juga dihadiri oleh Aga Khan. Sejak 1982, namanya bahkan diabadikan di salah satu jalan
yang indah di Kota Lahore.
Ketika memilih untuk belajar sejarah kebudayaan Islam di Universitas Berlin, Schimmel barangkali tak
pernah membayangkan, suatu hari akan menjadi Presiden Asosiasi Sejarah Agama Internasional (1980),
atau diundang untuk memberikan kuliah Gifford di Edinburgh, atau menjadi profesor universitas bergengsi di
Amerika, Harvard University.
Tapi dunia akademis seakan telah diniscayakan baginya. Setelah berhasil memperoleh gelar Ph.D. di
bidang studi-studi Islam pada November 1941 (ketika masih berusia 21 tahun). Schimmel diangkat menjadi

profesor untuk bidang yang sama di Universitas Marburg atas rekomendasi seorang sejarawan agama
Jerman yang dikaguminya, Friedrich Heiler. Setelah itu berturut-turut dia mengajar di Universitas Ankara,
Turki, Universitas Bonn, dan terakhir di Harvard University sebagai profesor kultur Indo-Muslim sejak 1970.
Setumpuk gelar dan kehormatan pun diraihnya dari berbagai universitas di Eropa dan Timur Tengah,
demikian pula penghargaan dan medali sebagai pengakuan dunia atas sumbangsih pentingnya terhadap
bidang kajian sejarah agama, literatur dan mistisisme. Pada lima tahun silam, Schimmel menerima "Peace
Price 1995" dari German Book Trade.
Schimmel senang menggambarkan perjalanan hidupnya sebagai lingkaran proses belajar yang terus
membesar. Belajar baginya adalah proses mengubah pengetahuan dan pengalaman menjadi kebijakan dan
cinta, untuk menjadi dewasa. Seperti kisah dari Timur, kerikil bisa berubah menjadi batu ruby jika ia dengan
sabar menahan sinar matahari. Menumpahkan darahnya sendiri dalam sebuah pengorbanan tertinggi.
Schimmel adalah mutiara yang membawakan pemahaman yang lebih baik tentang Islam kepada Barat.
Beberapa karya Schimmel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain: Dan
Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi Saw. dalam Islam (1991), Akulah Angin
Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi (1993), Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam
secara Fenomenologi (1996), dan Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalamSpiritualitas Islam (1998).[]

Das könnte Ihnen auch gefallen