Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Anatomi hidung
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagianbagiannya dari atas ke bawah:
Pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum
nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang
hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan
prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang
kartilagi nasalis lateralis superior, sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior dan disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan tepi kartilago septum.1,2,3,4
Rangka Hidung 5
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3,4
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sabasea dan rambut yang
disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian
tulang adalah: lamina perpedinkularis os etmoid,
vomer, Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
dilapisi oleh mukosa hidung.4
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang
terbesar dan letaknya palinga bawah adalah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, konka superior dan konka suprema yang
2.
Sinus Frontalis
Sinus frontalis bervariasi dalam bentuk dan
ukuran dan terkadang berkembang tidak sempurna
dan asimteris tergantung derajat pneumatisasi dari
sinus frontalis. Ukuran rata-rata sinus ini adalah
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm
sedangkan kapsitas rata-rata 6-7 ml. Pada 10-12
% orang dewasa menunjukkan sinus rudimenter.
Sinus frontalis berhubungan dengan meatus media
melalui saluran duktus nasofrontalis yang berjalan
menuju muara frontoetmoidalis. 3,4,6
Sinus Etmoidalis
Sinus etmoidalis memilki bentuk dan ukuran
dan jumlah yang bervariasi terdiri dari suatu
kompleks honey comb dengan jumlah sel
antara 4 sampai 17, dan rata-rata berjumlah 9,
terletak lateral bagian atas rongga hidung pada
dinding medial tulang orbita. Sinus etmoidalis
biasanya terbagi menjadi 2 grup yaitu sel anterior
dan sel posterior. Tulang etmoid memiliki bagianbagian vertikal dan horizontal yang membentuk
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris atau antrum highmore
terbesar
diantara sinus paranasalis lainnya.
Menurut Schiffer, ukuran rata-rata untuk bayi
adalah 7-8 x 4-6 x 3-4 mm, pada umur 18 tahun
adalah 31-32 x 18-20 x 19-20 mm, dan kapasitas
sinus ini hampir 15 ml. Antrum berhubungan
dengan meatus media melalui ostium maksilaris
dal lokasinya pada bagian atas depan dinding
medial sinus maksilaris premolar 2, molar 1, dan
molar 2.3
Sinus maksilaris biasanya hanya merupakan
satu ruang yang batas-batasannya antara lain
orbita di superior, bagian dental dan alveolar
maksila di inferior, prosesus zigomatikus di
lateral, dan sebuah dinding tulang tipis yang
memisahkan rongga tersebut dengan fossa
infratemporal dan pterygopalatina di posterior,
serta prosesus unsinatus, fontanel dan konka
inferior di medial.
Ostium sinus maksilaris
terletak di dalam 1/3 bagian paling posteroinferior
infundibulum (71,8%). 4,6
Pada atap sinus ini dijumpai atap dari nervus
infraorbital yang terletak pada alur tulang, nervus
ini dibatasi oleh membran mukosa atau oleh
tulang yang tipis dan akan terpotong waktu
kuretase dari operas sinus.3
Variasi anatomis tersering dari sinus
maksilaris adalah sel-sel etmoidalis infraorbital
atau disebut Hallers Cell. Haller, seorang ahli
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Sinus Sfenoidalis
Terletak di tengah di dalam tengkorak, sinus
sfenoid di batasi oleh beberapa struktur penting.
Lateral dari sinus terletak arteri karotis, nervus
optikus, sinus kavernosus, N II, IV, V, VI. Sinus
ini sebelum bayi berusia 3 bulan, ukurannya kecil
dan pertumbuhannya maksimal terjadi pada usia
12 15 tahun, pada usia 1 tahun bberukuran 2,5 x
2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun berukuran 15
x 12 x 10,5 mm. Sinus sfenoidalis memiliki
bentuk yang bervariasi, letaknya pada badan
tulang sfenoid dan berhubungan dengan tulang
hidung pada meatus superior dan sinus ini di bagi
menjadi beberapa bagian oleh septum intra sinus.
Resonansi suara
Memanaskan
danmelembabkan
udara
inspirasi
RINOSINUSITIS
Latar Belakang
Sejak pertengahan tahun 1990-an, istilah
sinusitis diganti menjadi rinosinusitis. Menurut
American Academy of Otolaryngology Head & Neck
Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan
rinosinusitis (RS) karena dianggap lebih akurat dengan
alasan:1,2
1). Secara embriologis mukosa sinus merupakan
lanjutan mukosa hidung
2). Sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia
dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.
Perkembangan penelitian mengenai patofisiologi,
penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan kelainan
pada sinus secara singkat dapat dilihat dalam dua
rekomendasi para ahli yang dilakukan di Amerika
Serikat dan Eropa. Para ahli di Amerika Serikat,
melalui rekomendasi Rhinosinusitis Task Force
(RSTF) pada tahun 1996, merekomendasikan bahwa
rinosinusistis didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
durasi gejala, pemeriksaan fisis, nasoendoskopi dan
tomografi komputer.3
Namun demikian, gejala dan tanda klinis pada
semua penderita inflamasi kronik pada sinus tampak
tumpang tindih, baik pada penderita yang disertai polip
hidung atau tanpa polip hidung. Para ahli di Eropa,
melalui rekomendasi European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) menegaskan
bahwa perbedaan antara penderita polip hidung dan
rinosinusitis kronik harus berdasarkan pemeriksaan
nasoendoskopi.
Selain
itu,
rekomendasi
ini
menegaskan bahwa polip hidung merupakan
subkelainan dari rinosinusitis kronik.4
Bila
mengenai
beberapa
sinus
disebut
multisinusitis dan bila mengenai seluruh sinus
paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering
terkena, kemudian sinus etmoid, sinus frontal dan sinus
sfenoid. Penyakit ini berasal dari perluasan infeksi
hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat
juga terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam. Ikut berperan pula beberapa
faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara
sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya
sinusitis seperti deviasi septum,hipertropi konka,
massa di dalam rongga hidung dan alergi.5,6
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan
kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter
umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki
pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan
metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke
orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi
yang tak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan
dini terhadap rinosinusitis ini sangat penting. Awalnya
diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
1.
2.
3.
4.
Fungus ball
Allergic fungal rhinosinusitis
Acute invasive fungal rhinosinusitis
Chronic granulomatous fungal rhinosinusitis
Genetik/psikologik
Lingkungan
Struktural
Hiperaktif jalan
napas
Alergi
Deviasi septum
Imunodefisiensi
Merokok
Chonca bullosa
Sensitif aspirin
Polusi
Paradoxic middle
turbinate
Disfungsi silia
Virus
Haller cells
Fibrosis kistik
Bakteri
Frontal cells
Penyakit autoimun
Jamur
Skar
Kelainan
granulomatosa
Stres
Inflamasi tulang
Anomali
kraniofasial
Benda asing
Infeksi gigi
Trauma mekanik
Barotrauma
Etiologi rinosinusitis16
Patofisiologi1,11,12
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostiumostiumnya dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam
KOM. Mukus mengandung substansi antimikrobial
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk saat inspirasi.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya
berdekatan sehingga bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif dalam sinus, menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini dianggap
sebagai rinosinusitis non-bakterial, biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik pertumbuhan kuman. Sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena
ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan tumbuh bakteri anaerob. Mukosa makin
membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi
kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tidakan
operasi.
Sinusitis Jamur1,2,10,16
1. Sinusitis jamur invasif
Terjadi pada pasien diabetes dan pasien
imunosupresi.
Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan
Rhizopus
Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi
jamur ke jaringan dan pembuluh darah.
Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman
disertai septum yang nekrotik.
Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi
sampai ke orbita atau intrakranial.
2. Fungus ball
Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga
sinus membentuk suatu massa, tanpa invasi ke
dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang,
sering mengenai sinus maksila.
Jamur patogen: Aspergillus
Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik
(rinore purulen, post nasal drip, halitosis)
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Gambaran
endoskopi sinusitis jamur15
3.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala Mayor
Gejala Minor
Nyeri
kepala
Demam
(pada
RS
kronik)
Bau
mulut
Mudah
lelah
Sakit gigi
Batuk
Nyeri/ras
a tertekan/rasa
penuh
di
telinga
Gejala rinosinusitis.1,2
Kriteria diagnosis:1
Dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor
dan dua gejala minor (sangat mendukung riwayat
rinosinusitis)
Adanya nyeri wajah saja tapi tidak disertai gejala
mayor hidung atau lainnya (tidak mendukung
riwayat rinosinusitis)
Adanya demam saja tapi tidak disertai gejala mayor
hidung atau lainnya (tidak mendukung riwayat
rinosinusitis).
Beratnya penyakit11
Penyakit ini dibagi menjadi ringan, sedang, dan
berat berdasarkan skor total Visual Analog Scale (VAS)
0-10 cm; ringan = 0-3 cm, sedang = >3-7 cm, berat =
>7-10 cm.
Untuk evaluasi nilai total pasien, diminta untuk
menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan:
berapa besar dari gejala rinosinusitis saudara?
Diagnosis Banding2
Rinitis Viral (Common Cold).
Common cold/RS viral akut didefinisikan
sebagai lamanya gejala < 10 hari. RS non-viral
akut didefinisikan sebagai perburukan gejala
setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10
hari dengan lama sakit < 12 minggu.
Nyeri Temporomandibular Joint (TMJ).
Sering pasien menunjukkan mimik seperti
gejala sinusitis. Nyeri TMJ sering ditemukan
dan kualitas nyerinya juga berbeda-beda.
Penting pada palpasi TMJ ditemukan nyeri
tekan dan klik.2
Nyeri Kepala dan Migrain.
Migrain ditandai dengan nyeri kepala
berdenyut, unilateral, sekitar 4-72 jam. Migrain
dapat terjadi dengan atau tanpa gejala
neurologis, seperti gangguan visus atau
kelumpuhan. Adanya aura, gejala singkat, dan
respon terhadap pemberian obat seperti alkaloid
ergot.
Nyeri trigeminal.
Neuralgia trigeminal jarang terjadi, tapi
menyebabkan serangan hebat di sepanjang
nervus trigeminal.
Neoplasma Sinus.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Medikamentosa
A. Rinosinusitis Akut
Tujuan terapi adalah eradikasi bakteri
patoetiologi sehingga klirens mukosiliar menjadi
normal kembali, meredakan gejala lebih cepat dan
mencegah komplikasi sekunder.1
Terapi empirik antibiotik harus berdasarkan
kuman patogen (S. pneumoniae, H. influenzae dan
M. catarrhalis) dan juga pola resisten dari
pathogen yang dicurigai. Kira-kira 25% S.
pneumoniae tidak sensitif penisilin disebabkan
perubahan penicillin-binding proteins, dan resisten
makrolid
dan
trimetofin/sulfametoksazol
(TMP/SMX). Hampir semua kuman M.
catarrhalis (90%) dan H. influenza menghasilkan
beta-lactamase yang diinaktifkan oleh antibiotik
beta-lactamase.1,2
Pemilihan AB tergantung beratnya penyakit
dan riwayat pemakaian AB dalam 4-6 minggu:1,2
Ringan dan tidak ada riwayat pemakaian AB.
Direkomendasikan amoksisilin klavulanat
(1,75-4 gr/250 mg/hari atau 45-90 mg/6,4
mg/kg/hari untuk anak), amoksisilin (1,5-4
g/hari atau 45-90 mg/kg/hari untuk anak),
atau cefpodoksim, cefurosim, atau cefdinir.
Untuk dewasa yang alergi beta-lactamase
diberikan TMP/SMX, doksisiklin atau
makrolid, sedangkan anak yang alergi betalactamase diberikan TMP/SMX atau makrolid
(azitromisin, klaritromisin dan eritromisin).
Sedang dan ada riwayat pemakaian AB.
Direkomendasikan respiratory quinolone
(gatifloksasin,
levofloksasin
atau
moksifloksasin),
amoksisilin/klavulanat,
ceftriakson dan terapi kombinasi.
Dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan
respiratory quinolone atau klindamisin dan
rifampin, sedangkan untuk anak diberikan
TMP/SMX, makrolid atau klindamisin.
Bila dalam 72 jam tidak ada perbaikan dan
terjadi perburukan gejala, pasien harus direvaluasi.
Terapi tambahan meliputi cuci hidung hidung dan
irigasi,
analgesik
(ibuprofen,
asetaminofen),mukolitik
(guaifenesin)
dan
dekongestan oral (pseudoefedrin).1,8
B. Rinosinusitis Kronik
Pemberian AB pada RS kronik adalah
kontroversi bila penyebab dasarnya belum
diketahui.1
Pilihan terapi meliputi:1,2
Antimikroba. Idealnya pilihan AB berdasarkan
kultur secara endoskopik, tetapi bila ini tidak
M.
catar
rhalis
S.
au
reu
s
RS
kro
nik
An
aer
ob
es
RS
ak
ut
H.
infl
ue
nz
ae
0
0
+
+
0
+
+
+
+
0
0
0
3080%
+>
90
%
S.
pneu
moni
ae
Penisi
lin/am
oksisil
in
Sefalo
sporin
Gen. I
Gen.
II
Gen.
III
Amok
sisilin/
klavul
anat
Makro
lid
Klind
amisin
Imipe
nem*/
Merop
enem*
TMP/
SMX
Quino
lon
(lama)
atau
amino
glikos
id
Quino
lon
(terbar
u)
Aktivi
tas 0
<30%
Enteric
Perdarahan intrakranial
Antrotomi Caldwell-Luc8
Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan
pembedahan membuka dinding depan sinus
maksilaris, mengeluarkan pus maupun jaringan
patologis.
Indikasi operasi:
Tumor jinak
Empiema kronis yang resisten dengan
pengobatan konservatif
Fraktur komplikata maksila
Eksplorasi
Komplikasi
Kerusakan saraf infraorbita
Kerusakan akar gigi
Kerusakan dasar orbita
Hipestesi atau parestesi pipi
Kerusakan bola mata
Emfisema subkutan
Kerusakan saraf alveol superior dan soket
gigi
Edem berkepanjangan
Infeksi
Perdarahan
Pembengkakan wajah
Fistula oroantral
Perawatan pasca bedah
1. Penderita di rawat inap.
2. Antibiotik
3. Penatalaksanaan komplikasi
4. Follow-up
Pengangkatan tampon
Penilaian keberhasilan pengobatan
RujTiABBerTStSeGeCoOnKePerPengobat
e derjmasuakbedr+almonotskaigaisdnkant ec or al dni d
Skema penatalaksanaan RS akut pada dewasa
untuk pelayanan kesehatan primer11
Komplikasi
Disebut komplikasi bila infeksi sudah menembus
dinding sinus ke organ sekitar, meliputi:11
a. Lokal
: mukokel, kista retensi mukus,
osteomielitis (tulang frontal dan maksila)
b. Orbital
c. Intrakranial
d. Descending infection: otitis media akut atau kronik,
faringitis dan tonsillitis, laryngitis persisten dan
trakeobronkitis
e. Fokal infeksi.
Selulitis
preseptal
Selulitis
orbital
Abses
subperiosteal
Abses orbital
Temuan klinis
Bengkak
kelopak mata,
otot
ekstraokular
intak, visus
normal
Edema orbita
lebih difus,
kerusakan otot
ekstraokular,
biasanya visus
normal
Proptosis,
kerusakan otot
ekstraokular
Exoftalmos
berat, kemosis,
oftalmoplegi
Penatalaksanaan
Medikamentosa
(jarang,
drainase abses
sekunder)
Medikamentosa
(drainase sinus)
Medikamentosa
, drainase sinus,
drainase abses
Medikamentosa
, drainase sinus
(sering),
berat,
drainase abses
gannguan visus
Tromboflebitis Nyeri orbita
Medikamentosa
sinus
bilateral,
, drainase sinus
kavernosus
kemosis,
(sering),
proptosis,
antikoagulan
oftalmoplegia
Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada
aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi
sinus terbuka, tergantung keparahan gejala,
pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan
kultur untuk terapi AB.
Komplikasi orbita dari sinusitis16
Asal
Proses penyakit
dan
penatalaksanaan
Meningitis
Sinus etmoid,
Komplikasi
sinus sfenoid
paling sering,
medikamentosa
Abses
Sinus frontal
Medikamentosa,
epidural
drainase sinus dan
abses (kadangkadang)
Abses
Sinus frontal
Morbiditas dan
subdural
mortalitas tinggi
neurologik,
medikamentosa
agresif (steroid
dan
antikonvulsan),
drainase sinus dan
abses (kadangkadang)
Abses
Sinus frontal
Morbiditas dan
intraserebral
(jarang; sinus
mortalitas tinggi
etmoid dan
neurologik,
sinus sfenoid
biasanya gejala
tidak tampak,
medikamentosa
agresif (steroid
dan
antikonvulsan),
drainase sinus dan
abses (sering)
Tromboflebitis Sinus frontal
Morbiditas dan
vena
mortalitas tinggi
neurologik,
medikamentosa
agresif (steroid
dan
antikonvulsan),
antikoagulan
(kontroversi),
drainase sinus dan
abses (sering)
Paling banyak pasien dengan komplikasi intrakranial
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
3.3
RINITIS ALERGI
sedang berat tergantung dari gejala dan kualitas
hidup.
Rinitis alergi (RA) adalah suatu proses inflamasi
yang diperantarai oleh IgE setelah pajanan allergen
pada mukosa hidung yang menyebabkan adanya gejala
Upaya menghindari alergen penyebab bukan sesuatu
hidung tersumbat, beringus dan bersin.1-2 Walaupun
yang mudah dilaksanakan, mengingat alergen hirup
penyakit ini tidak bersifat fatal dan sering dianggap
utama rhinitis alergi ialah debu rumah dan tungau debu
tidak serius, namun pada keadaan tertentu dapat
rumah yang setiap saat tetap ada di sekitar penderita.
menyebabkan masalah dalam gangguan kualitas hidup
Penatalaksanaan rinitis alergi atas rekomendasi ARIAberupa gangguan belajar disekolah, bekerja, gangguan
WHO 2001 ini merupakan strategi yang
prestasi kerja, gannguan saat tidur dan bersantai.
mengkombinasikan pengobatan penyakit saluran nafas
Akibat tidur yang terganggu penderita sering merasa
atas dan bawah dari sudut manfaat dan keamanan yaitu
letih dan lesu di siang hari, sulit berkonsentrasi, sakit
penghindaran allergen, pengobatan medikamentosa,
kepala bahkan harus membawa saputangan atau tissue
imunoterapi spesifik, edukasi, dan tindakan bedah
kemana-mana untuk membersihkan hidung sehingga
dilakukan sebagai tindakan tambahan beberapa
terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang
penderita yang sangat selektif.3
akibatnya dapat menyebabkan rasa frustasi, lekas
marah, rasa rendah diri dan depresi.1
Rinitis alergi mempunyai komorbiditas dan
Definisi
komplikasi seperti asma, sinusitis, otitis media, polip
Rinitis alergi (RA) adalah suatu gangguan fungsi
hidung, infeksi saluran nafas bawah yang dapat saling
hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui
memperburuk gejala dgn akibat pengobatan menjadi
inflamasi mukosa hidung dengan diperantai IgE.
lama dan mahal.1
Gejala utamanya adalah hidung tersumbat, beringus,
Prevalensi rinitis Alergi cukup tinggi (10-25%)
bersin-bersin, yang dapat sembuh spontan dengan atau
maka rinitis alergi merupakan masalah kesehatan dunia
tanpa pengobatan.1-2
yang harus mendapat perhatian. Apalagi prevalensi
Gejala lainnya dapat berupa rasa gatal di palatum,
rinitis meningkat pada dekade terakhir ini.1
kulit, mata dan paru-paru sebagai akibat reaksi
Berdasarkan penelitian pada penduduk amerika tahun
hipersensitiv pada organ tersebut. Sebagai akibatnya
1997 kasus rinitis terbanyak pada kelompok usia 18-34
rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan kualitas
tahun (40,1%), selanjutnya pada usia 35-49 tahun
hidup melalui timbulnya rasa lelah, sakit kepala dan
(43,4%).3 Sedangkan di Indonesia belum ada angka
kelemahan kognitif. Akibat lebih lanjut dapat
yang pasti walaupun di Jakarta dilaporkan disatu desa
menyebabkan
gangguan kualitas hidup berupa
sekitar Jakarta pada kelompok usia kurang dari 14 thn
gangguan belajar di sekolah, bekerja, gangguan
rinitis alergi sebanyak 10,2%. 4 Sedangkan di Bandung
bersantai dan gangguan tidur.1
prevalensi rinitis Alergi perennial pada usia 10 tahun
ditemukan cukup tinggi (5,8%).4 Data tersebut
Klasifikasi
menunjukan tingginya angka insiden rinitis alergi pada
Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2001
usia sekolah dan produktif.
(Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma- World
Mengingat penyakit ini mudah terjadi
Health Organization), rinitis alergika diklasifikasikan
kekambuhan menimpa penduduk dan mahalnya biaya
menurut adanya gangguan kualitas hidup menjadi
pengobatan, maka perlu diupayakan sedini mungkin
ringan (mild), dan sedang-berat (moderate-severe),
penanganannya sebelum terjadi komplikasi. Untuk itu
sedangkan berdasar waktu dibagi menjadi sewaktudiperlukan pengetahuan untuk mengenali penyakit
waktu (intermitten) dan menetap (persisten).5
rhinitis
alergika,
bagaimana
patogenesisnya,
menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang
Klasifikasi rinitis alergi ARIA-WHO 20075
apa saja yang harus dilakukan serta manajemen
Sewaktu-waktu
Menetap
penatalaksanaan selanjutnya.
Gejala:
Gejala:
Pada saat ini kelompok kerja Allergic Rhinitis
< 4 hari per minggu
4 har
and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO 2001)
Atau < 4 minggu
Dan
membuat klasifikasi rhinitis alergi menjadi intermiten
atau persisten. Berat ringannya tingkat gejala dapat
Ringan
Sedang-Berat
diklasifikasikan menjadi ringan (mild) atau sedangSatu atau lebih
berat (moderate-severe).
Tidur normal
Tidur terg
Klasifikasi baru rinitis alergi, yaitu dengan
Aktifitas sehari-hari saat olahraga dan saat Aktifitas
menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup
santai normal
santai terg
serta berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam
Bekerja dan sekolah normal
Saat beker
penyakit intermiten atau persisten dan berdasarkan
Tidak ada keluhan yang mengganggu
Ada keluh
derajat berat penyakit dibagi dalam ringan atau
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Bosquet J, van Cauwenberge, Khaltev N, GruberTapsoba T, Annesi I, Bacher C dkk. WHO Initiative Allergic
Rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Supplm J Allergy
Clin Immunology. 2001. h108-47, 270
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Telinga Tengah
Perkembangan Prenatal
a. Bagian distal resesus tubotimpani dari
kantung faringeal pertama menjadi cavum
timpani
b. Bagian proximal dari resesus tubitimpani
menjadi tuba auditorius dan tuba eustachius.
c. Sel udara mastoid terbentuk dari ekspansi dari
cavum timpani pada perkembangan janin
lebih lanjut.
d. Landasan kaki stapes dan ligamentum
annulare timbul dari kaapsula otic.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
e.
f.
g.
Tulang-tulang
pendengaran
mulai
berkembang pada 4-6 minggu pertama
kehamilan.
Tulang-tulang pendengaran berasal dari :
Perkembangan Postnatal
a.
Tuba eustachius mengalami penggandaan
dalam ukuran panjang disaat antara sejak lahir
smpai dewasa.
b.
Ujung mastoid kurang berkembang saat
lahir.
c.
Sel udara mastoid berkembang secara
signifikan di usia 2-3 tahun pertama
kehidupannya.
d.
Foramen stylomastoid menjadi lebih
medial posisinya dengan berkembangnya
ujung mastoid.
3.
Telinga Dalam
Perkembangan Prenatal
a.
Plakoda otic timbul di usia kehamilan 4
minggu.
b.
Plakoda otic membentuk otic pit yang
akan membentuk vesikula otic.
c.
Vesikuls otic merupakan precursor labirin
membranoseus.
d.
Ductus endolimfstikus dan saccus
emanate berasal dari vesikula otic.
e.
Vesikuls otic terdiri atas 2 bagian :
ANATOMI TELINGA
Anatomi Telinga Luar3,4,5
Telinga bagian luar memiliki 2 bagian utama, yaitu
daun telinga (auricle) dan liang telinga (CAE). Daun
telinga yang berlekuk terdiri dari beberapa bagian yaitu
heliks, antiheliks, tragus, antitragus, konka, lobulus,
fossa triangularis, fossa skafoid. Yang berfungsi untuk
mengumpulkan sumber bunyi dan membantu
menentukan lokalisasi suara. Daun telinga terdiri dari
jaringan otot, kulit, dan tulang rawan. Liang telinga
mempunyai panjang sekitar 25 mm pada bagian
posterosuperior dan karena membran timpani yang
berbentuk oblik pada bagian anteroinferior mempunyai
panjang sekitar 30 mm. Liang telinga ini berhubungan
dengan membran timpani pada bagian medial dan
berbentuk seperti huruf S. Liang telinga terbagi atas 2
bagian, yaitu 1/3 luar merupakan tulang rawan dengan
lapisan epitel kulit dan submukosanya mengandung
kelenjar apokrin, sebasea, pembuluh darah, dan sel-sel
rambut yang berfungsi untuk menghasilkan serumen,
sedangkan 2/3 bagian dalam merupakan bagian tulang
dilapisi oleh kulit tipis yang melekat pada periosteum.
Bagian dalam ini tidak mengandung sel rambut
maupun lapisan kelenjar. Lapisan epitel kulit pada
liang telinga merupakan kelanjutan dari lapisan
epidermal (skuamosa) yang melapisi membran timpani
bagian luar.
1.
3.
Membran timpani 11
2.
Tulang pendengaran
Pada daerah telinga tengah terdapat 3 buah tulang
pendengaran yang berfungsi sebagai penghantar
pada transmisi energi suara dengan proses vibrasi
dan memperkuat energi suara tersebut selama
proses di telinga tengah sebelum dilanjutkan ke
telinga
bagian
dalam
melalui
foramen
ovale.7,8,9,12,13
Tulang-tulang pendengaran tersebut adalah:
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
1.
2.
3.
Malleus
Inkus
Stapes
2.1 Malleus7,13
Tulang pendengaran yang berbentuk seperti
kampak (hammer), merupakan tulang
pendengaran terbesar dengan panjang sekitar
8-9mm dan berat sekitar 23 mg yang terdiri
dari kepala, leher dan 3 buah prosessus:
1. Manubrium, yang akan berjalan sepanjang
membran timpani sampai ke umbo
2. Prosessus anterior
3. Prosessus lateral (pendek)
Bagian kepala dari malleus merupakan bagian
utama dari epitimpanum (atik) yang didukung
oleh banyak ligament yang melekat.
2.2 Inkus7,13
Inkus mempunyai bentuk seperti anvil.
Tulang pendengan ke 2 dan terbesar
mempunyai berat sekitar 27 mg. Terdiri dari
badan dengan 2 prosessus, yaitu prossesus
panjang dan pendek. Badan dari malleus
berhubungan dengan kepala dari inkus
melalui incudomalleal joint. Prosessus yang
pendek
terproyeksi
pada
daerah
posteroinferior dari resessus epitimpani.
Posisi ini menjadi tanda penting (landmark)
pada operasi mastoidektomi. Sedangkan
prosessus panjang akan berjalan ke bawah
sejalan dengan manubrium mallei dan pada
bagian akhirnya akan berputar ke arah medial
membentuk peosessus lentikularis, yang akan
berhubungan dengan kepala (capitulum) dari
stapes melalui incudostapedeal joint.
2.3 Stapes7,13
Mempunyai bentuk seperti sanggurdi. Tulang
pendengaran ke-3 dan merupakan tulang
terkecil dari tubuh yang mempunyai berat
sekitar 2,5 mg. terdiri dari: kepala
(capitulum), leher, dan 2 buah kaki dan
sebuah alas (footplate). Bagian arkus yang
anterior mempunyai ukuran
yang lebih
pendek dari postior. Ke-3 bagian bagian
pertama akan membentuk sebuah arkus
stapedeus yang akan melekat pada footplate.
Pada bagian leher merupakan tempat
perlekatan dari m. stapedeus.
Ossicles
2-6-08
3.
EV/LR
37
Tulang-tulang pendengaran11
Kavum timpani
Merupakan suatu ruangan di telinga tengah yang
terletak di dalam tulang temporalis, berbentuk
irregular yang berisi udara, yang berasal dari
ruang nasofaring melalui tuba eustakhius untuk
selanjutnya
ke nasofaring dan pada bagian
posteriornya akan berhubungan dengan system sel
udara dari rongga mastoid dan bagian petrosus
dari tulang temporal. Pada bagian lateral akan
berbatasan dengan membran timpani.7,8,9,13
Kavum timpani terbagi atas 2 ruangan yaitu: 7,8,9,13
1. Rongga timpani, yang berbeda di sebelah
membran timpani
2. Epitimpani recess yang berada di atas rongga
timpani
Kavum timpani dilapisi oleh suatu membran
mukosa yang merupakan lanjutan dari saluran
pernafasan. Mukosanya pucat, tipis dan kaya akan
vaskularisasi. Selnya mempunyai beberapa tipe,
diantaranya sel bersilia, sel nonsilia dengan atau
tanpa kelenjar sekretorius, dan sel goblet. Epitel
yang terbentuk epitel kolumnar silindris bertingkat
bersilia terutama umumnya terdapat pada daerah
mukosa kavum timpani, sedangkan yang
berbatasan dengan orifisium tuba, yang
merupakan kelanjutan dari epitel mukosa saluran
nafas bagian atas, yaitu sel jenis kolumnar
pseudostratified bersilia. Terutama terdapat pada
daerah atap, anterior, sebagian promontorium dan
hipotimpanum. Lapisan sel tersebut mengandung
sel dan kelenjar yang
mengsekresi mukus.
Lapisan mukus yang terdapat di antara silia
dihasilkan oleh sel-sel goblet. Semakin ke
belakang lapisan mukosa tersebut akan berubah
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
3.
Duktus Kohlearis19
Reseptor alat pendengaran terdapat dalam kohlea
disebut organ korti yang melekat pada zona arkuata
membran basilaris. Komponen utama organ korti
terdiri dari sel rambut luar dan dalam, sel penyangga
(Deiters, Hensen, Claudius), membran tektorial, dan
lamina retikularis. Di bagian tengah organ korti
terdapat bangunan seperti terowongan yang dibentuk
oleh satu lapis sel pilar di bagian dalam, tiga lapis sel
pilar di bagian luar dan membran basilaris dibagian
dasar, sehingga penampangnya berbentuk huruf V. Di
dalam terowongan korti terdapat cairan yang disebut
kortilimfe yang mempunyai komposisi mirip dengan
cairan perilimfe. Seluruh permukaan atas organ korti
ditutupi oleh sejenis lapisan gelatin yang disebut
membran tektoria.20-22
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA
Anatomi vestibuler3
Labirin membran, terutama terdiri atas duktus
koklearis, tiga kanalis semisirkularis, dan dua ruangan
besar yang dikenal sebagai utrikulus dan sakulus.
Duktus koklearis merupakan area sensorik luas dari
pendengaran dan sama sekali tak berhubungan dengan
keseimbangan. Biarpun begitu, utrikulus, kanalis
semisirkularis dan mungkin sakulus, semuanya ini
merupakan bagian integral (suatu kesatuan) dari
mekanisme keseimbangan. Makula merupakan organ
sensorik utrikulus dan sakulus untuk mendeteksi
orientasi kepala sehubungan dengan gravitasi. Di
bagian permukaan dalam dari setiap utrikulus dan
sakulus ada daerah sensorik kecil yang diameternya
lebih sedikit dari dua mm dan disebut sebagai
makula.1.3
Makula dari utrikulus terletak pada bidang horizontal
permukaan inferior utrikulus dan memegang peran
penting dalam menentukan orientasi yang normal dari
kepala sesuai dengan arah gaya gravitasi atau gaya
percepatan. Sebaliknya, makula yang dari sakulus
terletak dalam bidang vertikal dinding medial sakulus.
Dari beberapa penelitian diduga kerja makula dari
sakulus erat hubungannya dengan duktus koklearis
yang dipakai untuk mendeteksi tipe suara tertentu
dan oleh karena mungkin tak begitu berperan
sebagai alat keseimbangan. Biarpun begitu, mungkin
tapi tak pasti sakulus juga bekerja sebagai alat
keseimbangan, khususnya sewaktu kepala tak dalam
posisi vertikal.1,3
Sel rambut
Dalam setiap makula, bermacam-macam sel rambut
ditempatkan dalam arah yang berbeda-beda sehingga
.
Nuklei Vestibuler 3
Fungsi
Utrikulus
dan
Keseimbangan Statik3,4
Sakulus
dalam
Kiranya penting diingatkan bahwa bermacammacam sel rambut ditempatkan dengan bermacammacam arah dalam makula dari utrikulus dan sakulus
sehingga pada berbagai posisi kepala yang terangsang
juga bermacam-macam sel rambut. Pola perangsangan
bermacam-macam sel rambut akan mengabarkan pada
sistem saraf tentang posisi kepala sehubungan dengan
daya tarik dari gravitasi. Sebaliknya, sistem motorik
vestibuler, sistem motorik serebelar dan sistem motorik
retikuler secara refleks akan merangsang otot-otot
yang menjaga keseimbangan yang tepat. Makula di
dalam utrikulus berfungsi secara ekstrem efektif dalam
menjaga keseimbangan sewaktu kepala pada posisi
hampir vertikal. Memang, seseorang akan dapat
menentukan ketidakseimbangan sebesar setengah
derajat bila kepala dimiringkan dari posisi tegak.
Sebaliknya, bila kepala semakin miring dari posisi
tegaknya, maka penentuan orientasi kepala oleh indera
vestibuler akan semakin berkurang. Jadi jelasnya,
sensitivitas yang ekstrem dari posisi tegak mempunyai
peran yang penting untuk menjaga keseimbangan statik
dalam bidang vertikal yang tepat, yang merupakan
fungsi utama aparatus vestibuler.1,3.4
Deteksi Percepatan Linear oleh Makula. Bila tubuh
tiba-tiba didorong dengan kasar ke depan-yakni,
sewaktu
tubuh
mengalami
percepatan-maka
statokonia, yang mempunyai kelembaman (inersia)
yang lebih besar dari cairan sekelilingnya, akan jatuh
ke belakang yakni ke silia sel-sel rambut, dan
informasi
mengenai
ketidakseimbangan
akan
dikabarkan ke pusat-pusat saraf, sehingga orang akan
merasakan sepertinya ia akan jatuh ke belakang.
Keadaan ini akan menyebabkan orang secara automatis
menyondongkan badannya ke arah depan sampai
pergeseran ke anterior dari statokonia akibat gerakan
condong tadi sama dengan kecenderungan statokonia
untuk jatuh ke belakang. Pada titik ini, sistem saraf akan
dapat
mendeteksi
keadaan
sebenarnya
dari
keseimbangan sehingga gerakan condong ke depan dari
tubuh tak akan berlanjut. Jadi, makula bertugas untuk
menjaga agar keadaan keseimbangan selama ada
penambahan kecepatan secara linear dengan pola yang
tepat sama seperti sewaktu makula bekerja pada
keseimbangan statik.1,3.
Makula tak bekerja untuk mendeteksi kecepatan
linear. Bila seorang pelari mau mulai lari, pelari harus
mencondongkan diri jauh ke depan dulu agar tak
sampai jatuh ke belakang oleh karena mengalami
percepatan, namun begitu ia dapat mencapai kecepatan
lari yang maksimum, bila pelari lari dalam ruang yang
hampa, pelari itu tak usah lagi menyondongkan
badannya terlalu ke depan. Bila pelari lari dalam udara
(ruang ada udaranya), pelari akan menyondongkan
dirinya ke depan untuk menjaga agar keseimbangannya
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
OMSK Maligna
OMSK disertai kolesteatom, perforasi biasanya
terletak di marginal atau atik. Sebagian besar
komplikasi yang berbahaya dapat timbul pada tipe
ini.
Peradangan
Telinga
Tengah1
pada
Fisik
Otitis
Media
Supuratif
Pemeriksaan Radiologi7,17
Pemeriksaan radiologi dibutuhkan jika terdapat
otorrhea yang berlebihan, dan terjadinya kemungkinan
komplikasi, seperti disfungsi saraf, gangguan labirin
dan susunan saraf pusat.
1. Rontgen
Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis dan prognosis penyakit
tersebut adalah :
1.a.Lateral view
Pemeriksaan dari lateral untuk melihat atik
(resessus epitimpanum), antrum, pneumatisasi
dari rongga mastoid, hubungan sinus sigmoid
terhadap tegmen timpani, dan massa tulang yang
mengelilingi daerah labirin. Foto ini terkadang
mengalami kendala superimposisi dengan telinga
sisi yang sebelahnya, untuk mengatasi hal ini,
dilakukan modifikasi dengan membentuk sudut
pemeriksaan (menempatkan alatnya) dalam posisi
15 terhadap garis horizontal.
1.b. Stenvers view
Dari pemeriksaan ini kita berharap dapat
mengetahui keadaan tulang petrosus, meatus
akustikus internus, kanalis semisirkularis lateral
dan superior, kavum timpani, antrum mastoid,
dan prosessus mastoid.
1. c. Schuller view
Dilakukan untuk melihat keadaan dari tegmen
mastoid, sinus sigmoid, ukuran mastoid secara
keseluruhan, visualisasi atik (epitimpanum).
1.d. Submentovertical view
Mempunyai peranan yang penting pada
pemeriksaan telinga, sehingga ada istilah bahwa
tidak lengkap melakukan pemeriksaan radiologi
telinga tanpa melakukan pemeriksaan pada posisi
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Townes view 7
Tahap III
Tahap IV
Tynpanosclerosis7,8
Otitis
media
dapat
juga
menyebabkan
tympanosklerosis, dimana hyalin aselular dan deposit
calcium
terakumulasi
di
membran
timpani.
Tympanosklerosis plak di membran timpani tampak
sebagai gambaran semisirkular atau horseshoe shaped
plak berwarna putih. Patogenesis terjadinya
tympanosklerosis dapat dilihat pada diagram berikut
Tympanosklerosis 16
a.
3.
Komplikasi dari Otitis Media7
4.
5.
6.
Mastoiditis
Labirintitis
Sensorineural Hearing Loss
Petrositis
Paralisis fasialis
Kolesteatoma
Fistula labirinti
2. Intrakranial
Rute Penyebaran Infeksi dari Telinga Tengah13
Selain dari beberapa faktor diatas, ada faktor lain
yang dapat menimbulkan terjadinya komplikasi dari
penyakit tersebut, Nelly menggolongkannya dalam 5
kategori :
1.
2.
3.
4.
5.
Bakteriologi
Terapi antibiotika
Resistensi tubuh penderita
Pertahanan anatomi
Drainase
Dua faktor pertama berhubungan dengan
mikrobiologi, dan tiga faktor terakhir berhubungan
dengan tubuh pasien.13
Dari data yang diperoleh, terdapat kecenderungan
untuk timbulnya komplikasi dari pasien OMSK adalah
sekitar 76%, dan sebagian besar berhubungan dengan
kolesteatom. Dimana kolesteatom ini sulit untuk
diketahui sejak dini dan penanganan juga sulit,
sedangkan jika mengalami keterlambatan dalam
penanganan atau ketidaktepatan dalam penanganan,
maka dapat mengakibatkan komplikasi yang cepat dan
serius.6-9,13
Seiring dengan berkembangnya penyakit yang
menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh yaitu
HIV dan AIDS pada abad terakhir ini, sebaiknya perlu
dilakukan penelitian lebih mendalam pengaruhnya
kelainan ini terhadap OMSK. Karena sampai saat ini
belum pernah dilakukan penelitian keduanya.6-9,13
Diantaranya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Abses epidural
Trombosis sinus lateralis
Otitic hydrocephalus
Meningitis
Abses otak
Abses subdural
Abses Bezold
Abses subperiosteal
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2. Petrositis
3. Paresis fasial
4. Labirintitis
B. Komplikasi intrakranial :
Abses ekstradural
Trombosis sinus lateralis
Abses subdural
Meningitis
Abses otak
Hidrosefalus otitis
Diagnosa
Mastoiditis ditandai dengan gejala sbb:
1.
2.
3.
Demam
Nyeri
Gangguan pendengaran
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan :
1.
2.
3.
Diagnosis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Diagnosa
Petrositis sendiri berhubungan dengan timbulnya
Sindrom Gradenigo, yang terdiri dari trias klasik:6,7,13
Paralisis Fasialis
Posisi kanalis fasialis yang cukup panjang
sepanjang tulang temporal, menyebabkan saraf fasialis
ini mudah mengalami infeksi atau gangguan lainya jika
terdapat penyakit yang mengenai tulang temporal.
Pada OMK, terjadinya infeksi dan peradangan dapat
mengenai saraf fasialis setelah terlebih dahulu
mengerosi tulang yang membentuk kanalis fasialis,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya paresis dan
paralysis. Pada dewasa, komplikasi ini dapat terjadi
pada OMK sendiri ataupun OMK dengan disertai
kolesteatom (80%) dan jaringan granulasi. Jika murni
OMK, maka kelainan ini pada kanalis fasialis ditandai
dengan osteitis pada tulang temporal yang melindungi
kanalis fasialis tersebut. Sedangkan jika disertai
dengan kolesteatom ditandai dengan adanya erosi pada
tulang temporal. Karena hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadi udema dan kompresi pada saraf
fasialis sehingga dapat menimbulkan terjadinya paresis
yang diikuti dengan paralisis saraf fasialis.6-9,13
Pada anak, paralisis fasialis yang terjadi sering
merupakan akibat dari otitits media akut dan
mastoiditis dengan efusi supuratif.
Asumsi bahwa paralisis fasialis in timbul sekunder
karena proses inflamasi , harus memenuhi kriteria
diagnostik:
3.
4.
Pasien
OMK
dengan
kolesteatom
akan
mengeluhkan seringkali terjadi pengeluaran cairan dari
telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan
pendengaran yang progresif. Kolesteatom dapat
mengakibatkan terjadinya erosi pada tulang
pendengaran daerah kanalis akustikus eksternus.
Kolesteatom pada anak mempunyai gejala klinis
yang sama dengan dewasa, usia paling sering
terjadinya adalah pada usia 10 tahun, lebih sering
terjadi pada anak laki-laki. Sebagian besar kolesteatom
terjadi pada daerah epitimpanum (70%-80%) dan
gejala yang muncul adalah pengeluaran cairan dari
telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan
pendengaran yang progresif. Dan didapatkan kantong
retraksi didaerah posterosuperior membran timpani.
Penanganannya seringkali mengalami kesulitan
dikarenakan pasien yang kurang koperatif.
Fistula labirin
Fistula labirin merupakan suatu keadaan dari erosi
tulang dan tereksposnya membran endosteal dari
telinga bagian dalam, seperti halnya terjadi fistula
kedalam ruangan yang berisi cairan perilimph di
telinga bagian dalam. Ada 2 teori terjadinya erosi pada
tulang telinga bagian dalam:
1) Osteolysis, dimana tulang akan diresopsi yang
ditandai dengan adanya peningkatan tekanan dari
kolesteatom atau aktivasi dari mediator matriks
kolesteatom.
2) Osteitis, terjadi pada penghubung antara jaringan
granulasi yang timbul dengan lapisan tulang.
Salah satu komplikasi intratemporal yang sering
dari OMK dan kolesteatom adalah fistula labirin.
Prevalensi terjadinya fistula labirin pada pasien OMK
dengan kolesteatom adalah 5% - 10%, dengan lokasi
yang paling sering adalah kanalis semesirkularis
lateralis (90%) dan kokhlea pun dapat terkena melalui
foramen ovale atau promontorium (16%-20%).6-9,13
Gejala yang muncul tergantung kepada beratringannya fistula yang terjadi. Apabila hanya terjadi
erosi tulang kanalis semisirkularis blue-line , maka
masih belum ada gejala signifikan yang muncul
(asimtomatik), yang paling mungkin hanya gejala
vertigo yang disebabkan oleh perubahan tekanan dan
suhu. Sedangkan jika terjadi ekspos dari lapisan
membranaseus maka gejala yang muncul adalah
vertigo dan gangguan pendengaran, jika sampai terjadi
gangguan pada cairan perilimph, maka dapat terjadi
3.
Diagnosis
Adanya nyeri lokal yang dalam atau nyeri
kepala dengan demam low-grade dapat disebabkan
karena infeksi epidural ini. Tetapi dapat pula
asimptomatik.
Diagnosa
Tanda dan gejala yang timbul berhubungan dengan
thrombophlebits sinus sigmoid sebagai akibat
inflamasi dan hidrodinamik intrkranial yang terganggu.
Gejala klinis klasik yang terjadi adalah : nyeri
kepala, malaise, spiking fever, mengigil, peningkatan
tekanan intrakranial, dan Griesingers sign.
Griesingers sign adalah adanya edema postauriculer
sekunder karena trombosis pada vena emissary
mastoid. Griesingers sign digambarkan sebagai edema
diatas processus mastoideus, tapi harus dibedakan
dengan subperiosteal edema atau abses pada akut
koalesen mastoiditis.11.
Nyeri kepala, iritabilitas, letargi, dan papil edema
dapat terlihat sebagai akibat dari peninggian tekanan
intrakranial. Pada kasus sinus sigmoid thromboflebitis,
dapat terbentuk abses ekstradural, otitic hydrocephalus
dan abses otak.6-9,13
Queckenstedt-Stookey dan Tobey-Ayer test dengan
cara pungsi lumbal adalah cara untuk mengetahui
trombosis sinus lateralis, tapi test ini berbahaya dan
tidak bisa diandalkan. Tes ini mengukur tekanan CSF
dan melihat perubahannya pada penekanan satu atau
kedua vena jugularis interna, penekanan dilakukan
dengan jari. Pada orang normal, penekanan pada
masing-masing vena
jugularis
interna
akan
menyebabkan peningkatan tekanan secara cepat pada
tekanan CSF 50-100 mmhg di atas level normal. Dan
pada saat jari dilepaskan akan terjadi penurunan yang
cepat pula.
Tindakan
masteidektomi
ditujukan
untuk
menampilkan ekspos yang luas dari sinus sigmoid.
Tulang dibuang sampai terekspos duramater, semua
jaringan granulasi dibuang dan dinding dari sinus
diperiksa. Daerah dinding sinus jika tampak normal,
maka tidak memerlukan tindakan lanjutan, tetapi jika
dinding sinus tampak merah, saat palpasi tampak tidak
bergerak, maka sebaiknya kita lakukan tindakan
aspirasi dari sinus tersebut dengan menggunakan jarum
yang ukurannya kecil. Jika hasil aspirasi tersebut
adalah darah, maka kita tidak perlu untuk intervensi
lagi, tetapi jika jasil aspirasinya tidak didapatkan
darah, maka dapat diduga adanya trombosis atau jika
kita dapatkan adanya pus, maka hal ini menandakan
adanya thrombus yang terinfeksi. Yang selanjutnya
dilakukan tindakan aspirasi lanjutan dan drainase dari
pus dan jaringan trombosis tersebut.6-9,13
Penatalaksanaan
Ditujukan untuk meneradikasi penyakit
supuratif pada telinga dengan antimikroba yang sesuai
dan terapi pembedahan dan mengurangi peningkatan
tekanan intrakranial secara agresif untuk mencegah
sekuele yang timbul akibat tekanan intrakranial yang
sangat berat .Hal ini dapat mengakibatkan atropi saraf
optikus sehingga mengakibatkan papil edema bilateral,
sehingga papil edema bilateral yang persisten dapat
dihindari. Biasanya lapang pandang (visual field) lebih
terganggu bila dibadingkan dengan ketajaman
penglihatan (visual acuity). Jadi penting untuk
memonitor lapang pandang, ketajaman penglihatan dan
derajat papil edema. Juga dapat dilakukan serial
lumbal pungsi atau pemasangan drain daerah lumbal
selama beberapa minggu. Jika kelainan berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, pemasangan
ventrikular shunting atau dekompresi subtemporal
dapat dilakukan. Penggunaan obat-obatan diuretik,
steroid, dan agen dehidrasi hiperosmolar dapat
digunakan. Mastoidektomi dapat dilakukan setelah
kondisi stabil untuk mengatasi sumber infeksi kronis di
telinga.6-9,13
4.4.4. Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang
paling sering terjadi. Insidensinya
sekitar 50%.
Meningitis merupakan masalah infeksi yang sering
terjadi. Sebagian besar kejadian dari meningitis terjadi
melalui
proses
penyebaran
infeksi
secara
hematogenous kedaerah subarakhnoid dan selaput otak
(meningen). Otogenik daerah infeksi daerah disus
merupakan sumber yang sering menyebabkan hal ini.
OMA, terutama pada anak, lebih sering menyebabkan
meningitis dari pada OMK.
Patifisiologi terjadinya meningitis yang berasal dari
OMK mesih belum jelas sepenuhnya. Pada kasus
OMK, terjadinya meningitis diduga dari kontaminasi
bakteri melalui erosi tulang yang kemudian disertai
dengan abses epidural, ataupun trombosis sinus
lateralis. Setelah lapisan duramater terkena, pada
tempat yang bersamaan lapisan blood-brain barrier
(jalan untuk penyebaran hematogen) juga terkena
sehingga didapatkan akses dari bakteri untuk masuk ke
ruang subarakhnoid.
Gejala yang timbul dari hal ini dalah timbulnya
demam yang sering disertai dengan kekakuan daerah
Abses Otak13
Setelah dilakukan operasi, 2 bulan kemudian masih
ada gambaran lesi hiperdens pada CT scan yang
merupakan inflamatory granuloma. Dalam 1 tahun
biasanya gambaran tersebut hilang. 73 % pasien yang
hidup memiliki sekuele neurologis atau tanpa sekuele
neurologis, hidup normal, dapat bekerja atau
bersekolah. Faktor utama yang menyebabkan
mortalitas adalah keadaan saat pasien masuk rumah
sakit, semakin dini diagnosa dan terapi diberikan,
semakin tinggi kemungkinan hidupnya.6-9,13
Abses Subdural13
Lobus frontalis dan lobus temporalis sangat dekat
dengan dura tapi jarang
berhubungan dengan
penumpukkan cairan di subdural. Tetapi ruang
subdural diatas convexity dari hemisphere cerebri
adalah ruang yang nyata tanpa ada sekat anatomis lain.
Patofisiologinya adalah melalui penyebaran secara
langsung ataupun tidak langsung dari tulang temporal.
Penyebaran secara langsung, adalah melaui erosi dari
tulang temporal, yang diikuti dengan tereksposnya
duramater dan kemudian terjadi penetrasi kedaerah
duramater.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Penatalaksanaan
Penangannanya
merupakan suatu
tindakan
gabungan dengan bagian bedah saraf, dilakukan
tindakan burr hole untuk diagnosis, dan dilanjutkan
dengan drainase dan irigasi jika diperlukan. Irigasi
intraoperatif dengan bacitracin, neomycin, dan
polimyxin serta irigasi lewat drain pada saat post op
dapat dilakukan. Penggunaan antibiotika juga
ditujukan untuk mengatasi infeksi pada daerah telinga
dan diberikan sesuai dengan hasil kultur. Pada infant
terapi dapat dilakukan dengan beberapa kali subdural
tap dan penggunaan antibiotik
Abses Subperiosteal14
Abses Bezold
Abses Bezold timbul karena adanya mastoiditid
purulen yang mengerosi tip mastoid dan menginfeksi
jaringan lunak pada leher, ke dalam musculus
sternocleidomastoideus.
Gejala klinik menunjukkan benjolan di leher,
musculus sternocleidomastoideus terdorong. Bila tidak
segera dilakukan tindakan akan berekstensi ke inferior
ke carotid sheath. Bila infeksi berada di tulang
occipital dan menyebabkan osteomyelitis di calvarium
disebut abses Citelli .
Penatalaksanaan
Dengan cara drainase abses
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
OTITIS MEDIA
DAFTAR PUSTAKA
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
3.
4.
5.
6.
Epidemiologi
Insidensi terjadinya BPPV di US sekitar 64 kasus per
100.000 populasi per tahun. Pada salah satu penelitian
di Jepang, ditemukan insidensi BPPV adalah 11 kasus
per 100.000 populasi per tahun.2,3
BPPV dapat terjadi pada semua usia, tetapi
kebanyakan terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
Penelitian Baloh mendapatkan usia rata-rata penderita
BPPV adalah 54 tahun dengan rentang usia antara 11
sampai dengan 84 tahun. Vertigo yang terjadi pada usia
muda
lebih
disebabkan
karena
labirintitis
(berhubungan dengan gangguan dengar) atau
neuronitis
vestibuler
(pendengaran
normal).
Perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 1,6 :
1,0, sedangkan pada yang idiopatik 2 : 1.1,2
Etiologi
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan etiologi
yang pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan,
antara lain: 2,5
Tipe Gangguan Keseimbangan
1. Idiopatik
Perifer
Yang paling sering terjadi yaitu sekitar 50%-70%.
Perasaan berputar
Jelas
Harrison dan Ozsahinoglu (1975) mendapatkan
Serangan
Paroksismal
60% dari 365 pasien yang diteliti. Kasus ini lebih
Intensitas
Sering berat
sering terjadi pada dekade ke 5,6, dan 7.
Kurang dari 1 menit sampaiSchuknecht (1974) menduga bahwa BPPV dapat
Lamanya
terjadi karena degenerasi spontan dari otokonia
beberapa minggu
pada makula utrikulus.
Hubungan dengan posisi kepala
Sering
2. Trauma kepala
Gejala
sistem
otonom
Jelas
Merupakan penyebab kedua terbanyak. Barbes
(mual/muntah)
(1964) mendapatkan 47% pasien dengan fraktur
Gangguan dengar
Sering ada
tulang temporal longitudinal mempunyai gejala
Gangguan kesadaran
Biasanya tidak ada
BPPV. Pada pasien trauma kepala tanpa fraktur
Gejala neurologis lain
Biasanya tidak ada
didapatkan angka sebanyak 20%. Harrison
mendapatkan 24% pasien BPPV mempunyai
Berdasarkan proses terjadinya, vertigo dapat dibedakan
riwayat
trauma
kepala.
Trauma
kepala
sebagai vertigo spontan dan vertigo posisi. Vertigo
menyebabkan
pelepasan
sejumlah
otokonia
ke
spontan timbul secara tiba-tiba tanpa penyebab yang
Secara umum kedua tipe gangguan keseimbangan ini
dapat dibedakan sebagai berikut:1,4
3.
4.
5.
6.
7.
Patofisiologi
Terdapat dua teori yang menerangkan patofisiologi
BPPV, yaitu:3,4
1.
Teori kupulolitiasis
Adanya debris yang berisi kalsium karbonat
berasal dari fragmen otokonia yang terlepas dari
makula utrikulus yang berdegenerasi, menempel
pada permukaan kupula kanalis semisirkularis
posterior yang letaknya langsung di bawah makula
utrikulus. Debris tersebut lebih berat daripada
endolimf sekitarnya, sehingga lebih sensitif
terhadap perubahan arah gravitasi. Bilamana
pasien berubah posisi dari duduk ke berbaring
dengan kepala tergantung seperti pada tes Dix
Hallpike, kanalis posterior berubah posisi dari
inferior ke superior, kupula bergerak secara
utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus
dan keluhan vertigo.
Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan
waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa
laten sebelum timbul nistagmus dan keluhan
vertigo.Gerakan posisi kepala yang berulang akan
menyebabkan otokonia terlepas dan masuk ke
dalam endolimf sehingga menyebabkan timbulnya
fatique, yaitu berkurangnya atau menghilangnya
nistagmus/vertigo disamping adanya mekanisme
kompensasi sentral. Nistagmus tersebut timbul
secara paroksismal pada bidang kanalis posterior
telinga yang berada pada posisi di bawah dengan
arah komponen cepat ke atas.
2.
Teori kanalitiasis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Gejala Klinis
Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi,
misalnya miring ke satu sisi pada waktu berbaring,
bangkit dari tidur, membungkuk, menegakkan kembali
badan, menunduk atau menengadah. Serangan
berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang
dari 30 detik.5,7
Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai
rasa mual kadang muntah. Setelah rasa berputar
menghilang, pasien bisa merasa melayang. Umumnya
BPPV dapat mengilang sendiri dalam beberapa hari
sampai minggu dan kadang bisa kambuh lagi.6
Pasien BPPV biasanya mengeluh dengan seringnya
serangan vertigo berulang oleh karena perubahan
posisi. Biasanya serangan berlangsung singkat, diikuti
dengan perasaan berputar yang hebat, terkadang
disertai mual atau muntah. Serangan akan berakhir
biasanya dalam waktu 30 sampai 60 detik.29-31 Gejala
dirasakan pada saat berbaring dan bangun dari tempat
tidur atau ketika berbalik ke satu sisi. Kadang-kadang
pasien terbangun dari tidurnya dengan perasaan
berputar yang hebat saat ia berbalik. Serangan juga
dapat terjadi saat menengadahkan kepala ketika
mencuci rambut, saat membungkuk, dan menegakkan
kepala. Walaupun masa serangan vertigo pada pasien
BPPV kurang dari satu menit, tetapi pasien dapat
merasakan perasaaan gangguan orientasi ruangan yang
tidak spesifik lebih lama. Seperti perasaan ringan di
kepala dan perasaan melayang yang dapat berlangsung
beberapa jam sampai hari. Pada kebanyakan kasus,
serangan akan berkurang secara perlahan baik
frekuensinya maupun intensitasnya dalam beberapa
minggu, bulan, atau tahun. Pada BPPV yang idiopatik,
kemungkinan gejala akan muncul kembali setelah
beberapa bulan atau tahun. Kebanyakan pasien tidak
mempunyai keluhan kohlea, kecuali gejala yang terjadi
berhubungan dengan penyakit telinga dan bedah
otologi.4
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan neurologi juga normal.
Pendengaran biasanya tidak terganggu, kecuali pada
infeksi telinga, presbiakusis, bekas operasi telinga atau
trauma kepala. Pada keadaan ini gangguan dengar dan
vertigo kemungkinan secara bersama-sama terjadi
sebagai akibat dari faktor pencetus tersebut.4
Anamnesis
Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak
pada perubahan posisi kepala atau badan, lamanya
kurang dari 30 detik, bisa disertai oleh rasa mual
ataupun muntah. Karakteristik pasien dengan BPPV
merasakan bahwa ruangan terasa berputar, ataupun
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Manuver
Pengobatan vertigo yang terbaik adalah pasien
menerima pengobatan berdasarkan patofisiologi
Semont Manuver6
Manuver Epley
Metode ini diperkenalkan oleh Epley (1979) dan
disebut canalith repositioning procedure (CRP)
menggunakan vibrator dan dilakukan sedasi pada
pasien. Ia mendapatkan hasil yang memuaskan
sebanyak 97,7% dari 30 pasien, sedangkan 2,3%
kurang memuaskan. Dengan menggunakan metode
yang sama, Weider mendapatkan angka keberhasilan
87,7% dari 44 pasien BPPV. Dia menyebutkan cara ini
telah dilakukan selama 4 tahun dan menemukan bahwa
cara ini mudah dilakukan pada semua usia. Pada saat
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
DAFTAR PUSTAKA
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
2.4
GANGGUAN DENGAR
presbikusis
Infeksi : meningitis
Tuli fungsional
Obat-obatan ototoksik
Multiple sklerosis
Syphillis
Penyakit otoimun
Penyebab Sudden unilateral sensoryneural hearing
loss:
Mumps
Infeksi virus
Herediter
Kern
ikterus
Anoksia
Virus
Acoustic
Reflex
Recruitme
nt
Speech
Discrimina
tion
Tone
Decay
Negatif
baik
Positi
f
Positi
f
Buru
k
negat
if
Negat
if
Negat
if
Sang
at
Buru
k
positi
f
CHL
Tuli
Coch
lear
Pure Tone
Audiometr
i
BC>A
C
OAE
BERA
Tympanom
etri
CAP
D
A.N
BC=
AC
menu
run
T.Ret
roCocle
ar
BC=
AC
menu
run
Norm
al
Abnor
mal
Abnor
mal
Abno
rmal
Abno
rmal
Abno
rmal
Abno
rmal
Reduce
d
compli
ance
Norm
al
Norm
al
Norm
al
No
respo
ns
Norm
al
~SN
HL
ringa
n
berat
Norm
al
No
respo
ns
Norm
al
Negat
if
Buru
k
Buru
k
Positi
f
Cochlear Implant
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Lee.KJ.
Audiology.
Essential
Otolaryngology. Eight edition. Mc Graw Hill
Companies. United States. 2003;24-64.
5.
6.
7.
8.
2.3
Tes suara
Dewasa:
Tes
Bisik,
Garputala, Audiometri
Nada
Murni,
Audiometri tutur
Anak:
Behavioral
Observation Audiometry (BOA), Visual
Reinforcement Audiometry (VRA), Play
Audiometry, Speech Audiometry
Garpu Tala
Tes Rinne
Tes Rinne pertama kali dilakukan oleh Adolf Rinne
dari Gottingen pada tahun 1855. Sekalipun HuIzing
(1985) menemukan bahwa Polansky (1842) telah
terlebih dahulu,
menjabarkan prinsip tes yang
digunakan. Hasil tes garpu tala yang dikenal sebagai
Rinne positif dan negatif untuk penma kalinya
dikemukakan oleh Lucae dalam suatu pertemuan ahli
otologi di London pada tahun 1882. Terdapat dua
variasi dari tes ini yaitu: metode perbandingan
kerasnya suara dan metode perbandingan ambang.
Metode perbandingan keras suara mcrupakan metode
yang lebih sering digunakan. Garpu tala dibunyikan
dan dipegang dengan ujung sejajar maupun tegak lurus
dengan sumbu CAE (Swnuel dan Eitelberg.1989)
dengan jarak sekitar 2,5 cm dari CAE. Selama
melakukan tes Rinne dianjurkan untuk melepas
kacamata, giwang atau anting yang dapat mengganggu
penempatan garpu tala di mastoid . kurangnya tekanan
garpu validitas hasil interpretasi. di tulang mastoid
dapat menyebabkan suara akan terdengar lebih keras
melalui butaran udara sehingga dapat mengganggu
validitas hasil interpretasi. Pemeriksa harus melakukan
konfirmasi bahwa pasien dapat mendengar bunyi garpu
tala 'di depan telinga'. Garpu tala kemudian diletakkan
sedemikian rupa sehingga pangkaInya menekan
os.mastoid. Tempat yang baik untuk meletakkan garpu
tala dengan posisi ini adalah area yang datar dan tidak
berwribut di posterosuperior CAE. Penempatan garpu
tala diatas proc.mutoideus akan memberikan hasil yang
salah (false results) karena kurang luasnya daerah
kontak antara pangkal garpu tala dan tulang. Pinna
tidak boleh bersentuhan dengan garpu garpu tala.
Tekanan berlawanan diberikan pada sisi kepala yang
berlawanan dengan tangan peineriksa yang bebas.
Perneriksa harus mengkonfirmasi bahwa pasien
mendengar suara 'di belakang telinga' dan menanyakan
pasien apakah suara terdengar lebih keras di depan
atau di belakang telinga.
Tes Rinne
Pada telinga dengan mekanisme hantaran normal
(telinga normal atau pada gangguan pendengaran
sensorineural), suara hantaran udara akan terdengar
lebih keras dari hantaran tulang. Hal ini disebut hasil
tes positif, sekalipun terdapat kesalahan pengertian
apabila hasil digambarkan sebagai hantaran udara lebih
baik dari hantaran tulang. Apabila hantaran tulang
terdengar lebih keras dari hantaran udara, hasil disebut
Rinne negatif dan hal ini menandakan komponen
konduktif
yang
signifikan
pada
gangguan
pendengaran. Jika hantaran udara sama dengan
hantaran tulang, sekalipun hal ini juga dapat
mengindikisikan adanya gangguan pendengaran
konduktif, sekalipun hal ini disebabkan olch pasien
yang tidak dapat menentukan suara mana yang
terdengar lebih keras.
Perneriksa harus, rnewaspadai 'Rinne false negatif
yang dapat terjadi pada gangguan pendengaran
sensorineural yang parah pada telinga uji. Pada kasus
ini, rangsang hantaran tulang akan terdengar pada
telinga yang tidak diuji, sehingga hantaran tulang
terdengar lebih keras dari hantaran udara. Keadaan ini
umumnya dapat diidentifikasi menggunakan tes Weber.
Apabila tes suara klinis mengindikasikan adanya
gangguan pendengaran unilateral, tes Weber harus
dilakukan sebelurn tes Rinne.
Pada metode perbandingan
arnbang, garpu tala
diletakkan pada tulang di atas mastoid. Pasien dirninta
untuk mengangkat tangan apabila ia mendengar suara
hingga suara fidak terdengar lagi. Ketika pasien
menurunkan tangan sebagai tanda ia tidak dapat
mendengar suara uji lagi, garpu tala segera
dipindahkan ke depan CAE. Jika tidak ada komponen
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Tes Weber
Menurut Hulzing (1973), Schmalz (1846) adalah
orang pertama yang menjelaskan aplikasi klinis tes
ini. Tujuan tes Weber adalah untuk mendeteksi
koklea dengan fungsi yang lebih balk. Sebuah
garpu tala (biasanya 512 atau 256 Hz) digetarkan
dan ditempatkan pada garis tengah kepala
pasien. Tempat yang umum digunakan adalah
dahi, batang hidung, vertex, dan incisor atas. Dari
semua tempat ini, batang hidung merupakan tempat
yang dianjurkan karena kulit antara tulang dan
garpu tala paling tipis;vertex hanya dapat
digunakan pada pasien dengan kebotakan. Pasien
ditanya apakah suara terdengar lebih balk pada satu
telinga atau sama pada kedua telinga (umumnya
disebut terdengar di tengah kepala). Pada pasien
dengan pendengaran normal, suara terdengar di
tengah, selain normal, suara akan terdengar pada
koklea dengan fungsi lebih balk, kecuali bila ada
komponen konduktif gangguan pendengaran pada
pasien. Pada kasus ini, jika fungsi koklea simetris,
suara akan terdengar lebih keras pada telinga dengan
gangguan konduktif, atau apabila ada gangguan
konduktif bilateral, suara akan terdengar lebih
keras pada telinga dengan komponen konduktif
yang lebih besar. Alasan yang mendasari pernyataan
ini kompleks.
Menurut Tonndorf (1964), kasus kasus
diskontinuitas osikuler dan fiksasi Osikuler
bunyi akan terdengar lebih keras pada telinga.
Kami membuat hipotesis bahwa pada kasus
diskontinuitas osikuler, telinga tengah terisi massa
sehingga terjadi penurunan resonansi frekuensi.
Pada kasus kasus dengan sumbatan CAE, efek
oklusi dapat terjadi,sehingga mengakibatkan bunyi
terdengar lebih keras pada telinga yang tersumbat.
Sayangnya, hasil tes Weber tidak selalu sesuai dengan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Tes Bing
Tes Gelle
Prinsip tes Gelle berdasarkan pada fenomena
yang pertama kalinya ditemukan oleh Wheatstone
pada tahun 1827 , kemudian dikembangkan
penggunaannya dalam klinik oleh Gelled seorang ahli
bedah otologi dari Paris . Fenomena tersebut berupa
penurunan persepsi kekerasan suara yang
dihantarkan melalui hantaran tulang apabila
tekanan di kanalis aurikularis ekstemus
ditingkatkan . Efek tersebut didapati pada kondisi
fungsi konduktif normal, tetapi tidak ada beda
persepsi suara pada kasus ankilosis stapes. Tes
ini banyak dipakai untuk inenilat gangguan
konduktif pada kasus otosklerosis. Tehnik:Garpu
tala yang sudah digetarkan diletakkan di
mastoid. Tekanan di kanalis aurikularis ekstemus
diubah-ubah dan dinilai ada atau tidaknya perubahan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Tes Lewis
Cara pemeriksaan:
Dipakai dua buah garpu tala dengan frekuensi
yang sama akan tetapi hanya satu yang
digetarkan. Garpu tala yang digetarkan
diletakkan di depan telinga yang dikeluhkan
tidak mendengar dan garpu t a l a ya n g t i d a k
d i ge t a r k a n d i l e t a k k a n d i p r o s e s u s m a s t o i d
t e l i n g a s i s i ya n g s a m a . Tes dilakukan dengan
mata tertutup, sehingga subyek yang di tes tidak
mengetahui ada dua buah ga r p u t al a ya n g
s al ah s at un ya d i l e t ak ka n di de p an t el i n ga.
S u b ye k h an ya m e r as a k an a da garpu tala
yang menempel di mastoid. Tanpa menyadari
bahwa sebenarn ya bunyi yang ada b e r a s a l
dari garpu tala yang digetarkan didepan
telinga yang dikeluhkan tidak dapat
mendengar,
subyek
akan
melaporkan
mendengar suara (subyek menduga suara
berasal dari garpu tala yang menempel di mastoid
yang tidak digetarkan).
Tes Stenger
P ri nsi p: suara nad a m urni den gan i nt ensi t as
ya n g sama diberikan secara bilateral melalui
earphone maka akan terjadi penyatuan (fusi)
persepsi m endengar di pusat pendengaran
sentral sehingga han ya akan t erdengar
sebagai s a t u s u a r a d i t e n g a h - t e n g a h
kepala.
Cara Pemeriksaan:
Tes Stenger menggunakan dua garpu
tala dengan intensitas yang b e r b e d a . K e d u a
garpu tala tersebut digetarkan dan masingm a s i n g d i l e t a k k a n d i d e p a n li an g t el i nga.
B erd asark an fenom ena Tarch anow, m aka
suar a dari kedua garpu t al a t ers ebut h a n ya
akan terdengar sebagai satu suara, yaitu
suara dengan intensitas yang lebih keras.
Apabila didepan telinga subyek yang
mengeluh
pendengarannya
kurang
diberikan
suara
garpu
tala
dengan
intensitas yang lebih keras, maka pada
k a s u s t u h o r ga n i k s u b ye k a k a n m el ap or k an
m en de n ga r di si s i t e l i n ga ya n g no rm al
s ek a l i pu n i nt en si t as n ya l e bi h l e m a h
Pada tuli nonorganik, subyek yang
sebenarn ya mendengar suara di sisi
telinga dengan i n t e n s i t a s y a n g l e b i h
tinggi akan menyangkal mendengar
s u a r a d i s i s i t e l i n g a t ers ebut (si si
t el i nga ya n g di kel uhkan penden ga rann ya
kur ang).
Reabilitas dan Validitas1,2,3,4
Dengan berulang-ulang melakukan uji penala
secara cermat, pemeriksa dapat menjadi ahli
dalam pemakaiannya. Masalah rcliabilitas (atau
dapat diulang) timbul dari penilaian yang
salah baik oleh pasien manapun pemeriksa
membandingkan
ambang
pendengaran
antara
hantaran udara dengan menggunakan headphone (air
conduction /ac) dan
hantaran tulang dengan
menempelkan alat vibrator pada tulang mastoid (bone
conduction /bc). Hasil pemeriksaaan ini berupa
audiogram.
Intesitas bunyi
Dinyatakan
dalam
dB
(decibell).
Dikenal : dB HL (hearing level), dB SL
(sensation level), dB SPL (sound pressure
level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah
warna merah.
Ambang Dengar
lalah bunyi nada murni yang terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar
oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar
menurut konduksi udara (AC) dan menurut
konduksi tulang (BC). Bila ambang dengan
ini dihubunghubungkan dengan garis, baik
AC maupun BC, maka akan didapatkan
audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis
dan derajat ketulian. penilaian:
AMBANG
0 - 20
>20 - 40
>40 - 60
>60 - 90
>110
GANGGUAN DENGAR
Dalam batas normal
Ringan
Sedang
Berat
Berat Sekali
M em as a n g He a dp ho n e
Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan
earphone dan mempengaruhi hasil pemeriksaan
harus disingkirkan. Bila pasien memakai kacamata atau
giwang sebaiknya dilepaskan.. Regangkan headband lebarlebar, pasanglah dikepala pasien dengan benar, earphone
kanan di telinga kanan, kemudian kencangkan sehingga
terasa nyaman di telinga. Denting diperhatikan agar
membran earphone tepat didepan liang telinga di kedua
sisi.
Seleksi telinga
Pemeriksaan dimulai dari telinga yang lebih baik dulu.
Urut an frekuensi
Dimulai pada 1000 Hz, dimana pendengaran paling
stabil, kemudian meningkat ke oktaf yang lebih tinggi
dan akhirnya 500 dan 250 Hz. Ulangi tes pads 1000 Hz
untuk meyakinkan sebelum beralih kepada telinga yang
lain. Perubahan diatas 20 dB atau lebih diantara dua oktaf,
memerlukan pemeriksaan setengah oktaf yaitu 1500 Hz,
3000 Hz atau 6000 Hz.
Posisi pemeriksaan
Pasien duduk di kursi dan menghadap kearah 30 0 dari posisi
pemeriksa, sehingga pasien tidak dapat melihat gerakan tangan,
tetapi pemeriksa dapat mengamati pasien dengan bebas.
Pemberian sinyal
Cara yang paling cepat untuk memperoleh intensitas awal
adalah dengan menyusurnya mulai dari 0 dB sampai diperoleh
responss. Matikan sinyal satu-dua detik, kemudian berikan lagi
pada level yang sama. Bila ada responss, maka tes dapat
dimulai pada intensitas tersebut.
Turunkan intensitas secara bertahap, 10 dB setiap kali sampai
responss, menghilang, kemudian naikkan 10 dB untuk
mendapatkan responss, dan turunkan 5 dB untuk
memperoleh ambang terendah. dimana sinyal terdengar
2 kali dari 3 kali perangsangan. Nada harus diberikan selama 0,5
detik secara irregular.
Ambang pendengaran biasanya direkam, kedalam suatu grafik
yang disebut audiogram, walaupun kadang-kadang ada
yang menggunakan tabel. Serangkaian hasil audiotes
yang direkam kedalam, sebuah progress audiogram
dapat pula digunakan.
Simbol-simbol internasional untuk audiometer telah
digunakan sejak 1964. Tetapi simbol ini tidak berlaku di
Amerika yang menggunakan simbol masking yang
berlainan untuk air dan bone conduction. Simbol hantaran
udara non masking yang umum digunakan adalah X untuk
kiri dan 0 untuk kanan. Sedangkan simbol masking adalah X+
untuk kiri dan 0 untuk kanan. Data dari telinga kiri ditulis
dengan warna biru dan untuk kanan dengan warna merah, tetapi
tidak mutlak. Apabila tidak diperoleh respons, pada batas
output pada audiometer, maka tuliskan simbol yang sesuai
dengan tambahan tanda panah kebawah. Derajat ketulian
dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :
4.
Presbikusis
Tone Decay
Prinsip:
terjadinya
kelelahan
saraf
karena
perangsangan terus menerus. Bila telinga yang
diperiksa dirangsang terus menerus, telinga tersebut
tidak akan mendengar stimulus/rangsangan
Ada 2 cara: Threshold Tone Decay (TTD) dan
Suprathreshold Adaptation Test (STAT)
Speech Audiometry (Audiometri Tutur)
Berbeda dengan audiometri nada murni yang
meberikan gambaran mengenai jenis dan derajat
ketullian, audiometri tutur memeriksa kemampuan
komunikasi seseorang. Pemeriksaan ini pada
dasarnnya terdiri dari Speech Reception Threshold
(SRT) yaitu pemeriksaan sensitifitas/ambang dan
Speech Discrimination Score (pengertian)
Audiometry Bekessy
Audiometri ini otomatis dapat menilai
ambang pendengaran seseorang.
Prinsip pemeriksaan: nada yang terputus (interrrupted
sound) dan nada yang terus menerus (continue
sound).
Pemeriksaan Pendengaran pada Anak
Ada empat reflex dasar yaitu:
- Terbangun dari tidur
- Respon terkejut
- Mengedipkan mata
- Menoleh
Peralatan yang sering digunakan boneka pijat, bel dan
kerincingan yang frekuensi dan intensitasnya
diketahui. Selain peralatan dibutuhkan juga ruangan
yang sunyi terutama pada bayi berusia 4 bulan.
Behavioral Observational Audiometry (BOA)6,8
Pada usia empat bulan pertama, pendengaran dinilai
dengan pengamatan perilaku dan respons refleks
terhadap rangsangan yang kuat pada pendengaran.
Bayi berkedip atau mengatupkan kelopak mata yang
sudah tertutup (reflek auropalpebral) sebagai respons
terhadap suara keras. Kegagalan merespons suara keras
yang menetap dapat menunjukkan bayi mengalami
gangguan pendengaran yang parah.
Interpretasi:
Bila terdapat kegagalan merespons yang menetap,
menunjukkan
bayi
mengalami
gangguan
pendengaran.
Play Audiometry
Speech Perception Test
Pada anak dilakukan dengan cara khusus
yaitu dengan picture pointing test
Cara pemeriksaan:
Anak diminta untuk menunjuk gambar,
setelah mendengar suatu kata, misalnya : kucing
kemudian anak menunjuk gambar kucing
Beberapa test yang termasuk di dalamnya adalah :
WIPI test (Word Intelligibility by Picture
Identification Test) dan NU-CHIPS tes (Northwestern
University Childrens Speech Perception Test).
Diagram pemeriksaan pada anak sesuai usia dan
klasifikasi (pemeriksaan subjektif dan objektif) dapat
dilihat pada gambar berikut.
4.
5.
6.
7.
8.
Acoustic Immitance
1.
Timpanometri
2.
Acoustic Reflex Threshold
3.
Acoustic Reflex Decay
Pemeriksaan acoustic immitance dapat memberikan
informasi
mengenai
fungsi
telinga
tengah.
Pemeriksaan ini mudah, cepat, murah dan objektif.
Prinsip Acoustic Immitance
Sistem telinga tengah bukan suatu transducer energi
yang sempurna, dan tentunya memiliki tahanan yang
dikenal dengan acoustic impedance . Aliran energi
yang melalui telinga tengah adalah acoustic
admittance. Acoustic immitance adalah istilah untuk
menggambarkan transfer energi akustik melalui telinga
tengah meskipun ada pengaruh acoustic immitance dan
acoustic admittance.
Pada pemeriksaan ini digunakan probe tip dengan cuff
yang dimasukkan ke CAE. Pada probe tip ini terdapat
beberapa saluran yang berfungsi untuk : memberikan
suara (loudspeaker), sistem pemompaan udara yang
berhubungan dengan manometer, dan sistem analisis
(mirophone)
Pada saat pemerikksaan dilakukan, diberikan acoustic
signal pada telinga dan Sound Presure Level pada
CAE diukur pada berbagai kondisi.
Timpanometri
Tympanometri adalah suatu alat untuk mengetahui
immittance dari telinga tengah yang dipengaruhi oleh
tekanan udara di CAE.
Tympanometri memberikan informasi mengenai
tekanan di telinga tengah, baik yang low impedance
(disartikulasi tulang pendengaran) atau yang high
impedance (otosclerosis, otitis media)
Tympanogram menurut Liden (1969) dan Jerger
(1970), terdapat 6 jenis tipe tympanogram:
1. Tipe A
Merupakan tipe tympanogram yang normal,
dengan peak pressure pada 0 daPa
2. Tipe As
Tipe ini memiliki kurva yang lebih landai dari tipe
A, peak pressure normal. Merupakan indikasi
adanya fiksasi osikular atau tipe tertentu dari efusi
telinga tengah
3. Tipe Ad
Memiliki
Peak
pressure
normal
tetapi
amplitudonya tinggi, menandakan adanya anomali
4.
5.
6.
Tipe timpanogram
Timpanometri pada anak usia 6-7 bulan biasanya
memiliki high false negative rate, karena itu harus
digabungkan dengan gambaran klinik secara umum.
Teknik pemeriksaan
1.
Sebelum dilakukan tympanometri, lakukan
pemeriksaan telinga dulu dengan otoskop. Jangan
dilakukan pada keadaan infeksi telinga tengah atau
telinga luar, post trauma, post operasi , kecuali bila
ada permintaan khusus
2.
Pilihlah ukuran probe yang ssuai dan masukan
ke dalam CAE dengan benarsehingga terjadi
penutupan sempurna (air tight seal)
3.
Set alat pada tulisan TYMP
4.
Baca volume CAE pada penunjuk compliance
dan pasang jarum pada tekanan udara + 200 da Pa
pada tombol pengatur, kemudian setelah yakin
tidak ada kebocoran, putar ke tanda automatic
5.
Lakukan pada telinga sebelahnya
6.
Hasil pemeriksaan dicetak
Interpretasi Hasil Tympanometri
Bila dari hasil timpanogram diperoleh :
Terjadinya refleks akustik tergantung kepada fungsifungsi normal dari seluruh lengkung refleks yang
terdiri atas:
1.
Kohlea
2.
N. VIII
3.
Batang otak
4.
N. VII
5.
M.stapedius
Acoustic Reflex Threshold
Ambang akustik refleks biasanya berkisar 70-100 dB,
tetapi bervariasi menurut frekwensi, waktu dan nada
Ambang refleks harus diukur keduanya, baik ipsilateral
maupun kontralateral pada 1000 Hz dan frekwensi
lainnya jika diperlukan.
Penurunan refleks diukur selama 10 detik, 10 dB di
atas ambang pada 500 Hz dan 1000 Hz.
Refleks Decay
Cara Pemeriksaan:
Ambang refleks pada 500 dan 1000 Hz direkam lau
dibuat nada pada 10 dB diatas ambang selama 10
detik. Kehilangan 50 % selama 5 detik dianggap
abnormal.
Interpretasi:
Kehilangan 50 % selama 5 detik menunjukkan adanya
kelainan retrokohlea.
Tes Fungsi Tuba
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
8.
5.
6.
7.
Anatomi Faring
Faring merupakan bagian tubuh berupa suatu
saluran aerodigestivus dengan struktur tubular ireguler
mulai dari dasar tengkorak sampai batas inferior
setinggi kartilago krikoid di anterior dan setinggi
vertebra servikal ke-6 di posterior. Dimana faring
merupakan jalan untuk udara dan makanan 1-3. Faring
dibungkus oleh sistem otot yang akan dilanjutkan oleh
otot yang menutupi dinding esofagus. Bagian superior
faring pada orang dewasa lebih lebar. Panjang faring
berkisar antara 12 14 cm dan memiliki lebar
maksimal di daerah hyoid, yaitu sebesar 5 cm dan
lebar faring tersempit berada di daerah batas
inferiornya, yaitu sebesar 1,5 cm pada daerah yang
berbatasan dengan esofagus. Bagian dinding faring
posterior merupakan bidang datar yang berada
memanjang di depan lapisan prevertebra dari fasia
servikal yang dalam.4-7 Bagian anterior faring berlanjut
menjadi trakea dan bagian posteriornya menjadi
esofagus.2,8,9
Batas-batas faring adalah sebagai berikut:
Superior: oksipital dan sinus sphenoid
Inferior : berhubungan dengan esofagus setinggi M.
krikofaringeus
Anterior: kavum nasi, kavum oris dan laring
Posterior: kolumna vertebra servikal
Faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:7
1. Nasofaring (epifaring), yang berada di posterior
kavum nasi dan superior dari palatum molle.
2. Orofaring (mesofaring), yang berada posterior dari
mulut.
3. Laringofaring (hipofaring), berada posterior dari
laring.
Anatomi Faring7
Nasofaring
Nasofaring memiliki fungsi respirasi. Organ
ini berada superior dari palatum molle dan merupakan
ekstensi ke arah posterior dari kavum nasi. Kavum nasi
berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang
koana. Dinding atap dan dinding posteriornya
membentuk permukaan yang berada inferior dari os
sphenoid dan merupakan dasar dari os occipital. 7
Batas-batas nasofaring adalah sebagai berikut:
Superior
: basis cranii
Inferior
: bidang datar yang melalui palatum
molle
Anterior
: berhubungan dengan cavum nasi
melalui choana
Posterior
: vertebra servikalis
Lateral
: otot-otot konstriktor faring
Mukosa nasofaring sama seperti mukosa
hidung dan sinus paranasalis, yaitu terdiri dari epitel
pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa
kelenjar mukus di bawah selaput (membran) mukosa
dan terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat
melekatnya mukosa.
Ruang nasofaring yang relatif kecil memiliki
beberapa struktur penting, yaitu:
Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang
kadang disebut tonsila faringea atau tonsil
nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding
anterior basis sphenoid.
Torus tubarius atau tuba faringotimpanik,
merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di
dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan
palatum molle dan 1 cm di belakang tepi posterior
konka inferior.
Resesus faringeus, terletak posterosuperior
torus tubarius, dikenal sebagai fossa Rosenmuller,
yang merupakan tempat predileksi karsinoma
faring.
Muara tuba eustachius atau orificium tuba,
terletak di diniding lateral nasofaring dan inferior
torus tubarius setinggi palatum molle.
Koana atau nares posterior.
Orofaring
Berbeda dengan nasofaring, orofaring
memiliki fungsi digestif. Organ ini dikelilingi oleh
palatum molle di superior, dasar lidah di inferior dan
sudut palatoglossal dan palatopharyngeal di lateralnya.
Orofaring berada memanjang dari palatum molle ke
batas superior epiglotis. 7
Batas-batasnya adalah sebagai berikut:
Superior : palatum molle
Inferior
: bidang datar yang melalui tepi atas
epiglotis
Anterior
: berhubungan dengan kavum oris
melalui isthmus
Posterior
: vertebra servikalis 2 dan 3 bersama
dengan otot-otot prevertebra
Isthmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus
kanan dan kiri. Arkus faringeus sendiri dibentuk oleh
pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat M.
Palatoglosus dan bagian posterior terdapat M.
Palatofaringeus. Di antara kedua pilar tersebut terdapat
fossa/ruang tonsilaris, yang berisi jaringan limfoid
yang disebut tonsila palatina.
3.
Laringofaring
Laringofaring berada memanjang mulai dari
batas superior epiglotis dan plika faringoepiglotika
sampai batas inferior kartilago krikoid. Di sana
laringofaring menyempit dan berlanjut menjadi
esofagus. Di posterior organ ini berbatasan dengan
vertebra C4 C6. Dinding posterior dan dinding
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Adenoid14
Drainase limfatik eferen berjalan dari kelenjar
limfe retrofaringeal ke kelenjar limfe servikal superior
dalam, terutama kelenjar di segitiga posterior.
Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang
N. IX, serta N. Vagus.
Cincin Waldeyer 7
1.
1.1
1.2
2.2
Tonsila Palatina
Embriologi
Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan
germinal entoderm dan mesoderm, dimana entoderm
Tonsil Lingualis11
Tonsila Palatina4
Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan
limfoid yang terletak di dalam fossa tonsilaris pada
kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsila palatina lebih padat
dibandingkan
jaringan
limfoid
lain.
Secara
mikroskopik tonsil terdiri dari 3 komponen yaitu
jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel
limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).13
Keterangan:
1, Epitel skuamosa
2. Epitel reticular
3. Nodus sekunder dengan
zona terang dan zona gelap
yang berisi limfosit kecil
4. Jaringan limfoid dasar
5. Arteriola dan venula
6. Vena postkapiler
Jaringan limfoepitelial 14
Embriologi Tonsil11
Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis
kedua dan ketiga melalui pertumbuhan ke arah dorsal
atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh
secara progresif saat usia janin tiga sampai enam
bulan, sebagai massa yang solid yang tumbuh ke arah
dalam permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh
bercabang-cabang dan berongga. Sedangkan limfositlimfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan
ketiga, lalu tumbuh terorganisir sebagai nodul-nodul
setelah janin berusia enam bulan.
Pertumbuhan
jaringan
limfoid
tonsil
memperlihatkan karakteristik yang dipengaruhi oleh
usia. Pada awal kehidupan sampai masa pubertas
ukurannya akan terus meningkat atau bertambah besar
dan akan mengalami penurunan pada usia dewasa,
serta akan menghilang pada usia lanjut.8
Anatomi Tonsila Palatina
Persarafan Tonsil13
Nodul-nodul Limfatik Soliter
Tersebar pada dinding posterior faring,
dibawah adenoid, melengkapi terbentuknya cincin
Waldeyer. Nodul-nodul ini bila meradang akan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Fisiologi
1.
Pemeriksaan Tonsil
Klasifikasi Pembesaran Tonsil Palatina
Klasifikasi tingkat pembesaran tonsil yang
sudah dibakukan adalah dengan membandingkan besar
tonsil dengan orofaring pada bidang medial ke lateral
yang diukur diantara pillar anterior.1
- 0
: Tonsil berada di dalam fossa tonsillaris
- 1
: Besar tonsil mengisi < 25% orofaring
- 2
: Besar tonsil mengisi 25 50% orofaring
- 3
: Besar tonsil mengisi 50 75% orofaring
- 4
: Besar tonsil mengisi >75% orofaring
9.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
5.3
TONSILITIS
Definisi
Tonsilitis akut adalah infeksi pada tonsil yang Bakteri
disebabkan oleh virus dan bakteri.1 Tonsilektomi
Aerobik
merupakan tindakan pembedahan tertua. Tonsilektomi
merupakan tindakan pengangkatan seluruh jaringan
tonsila
palatina
dari
fossa
tonsilaris.1,2
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil
palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1,2,3,4
Epidemiologi
Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat
Anaerob
penyakit pada tonsil dan adenoid sampai saat ini masih
banyak timbul dan mengenai sebagian besar populasi
masyarakat dunia. Keluhan nyeri tenggorok, infeksi
saluran pernafasan atas dan penyakit telinga banyak
dikeluhkan oleh sebagian besar pasien, terutama anakanak. Infeksi kronisi, berulang, dan hiperplasia
obstruktif merupakan penyakit yang paling sering
mengenai tonsil dan adenoid.1
Penyakit infeksi pada tonsil ini merupakan
kondisi yang sering ditemui di klinik, terbanyak
frekuensinya diderita oleh anak-anak dengan rentang
usia antara 5-10 tahun dan dewasa muda dengan
rentang usia antara 15-25 tahun.5,7,8,9
Di Poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin
Bandung, sampai bulan Juni 2010 didapatkan sebanyak
158 kasus tonsilitis (1,8 %) dan 63 orang (39%)
dilakukan
tindakan
tonsilektomi
atau
tonsiloadenoidektomi.
Tonsil dan adenoid merupakan salah satu
organ penting dalam mekanisme pertahanan tubuh. 1,2
Akan tetapi ada kalanya tonsil tidak cukup kuat untuk
melawan infeksi, sehingga tonsil itu sendiri terinfeksi
atau dikenal dengan istilah tonsilitis. Infeksi pada
tonsil merupakan proses peradangan tonsil yang dapat
disebabkan oleh bakteri dan virus, yang kadang dapat
menimbulkan komplikasi ringan sampai berat, yang
memerlukan pengobatan medikamentosa, bahkan
sampai tindakan bedah.2,3,4
Patogenesis Penyakit Adenotonsiler
Beberapa mikroorganisme yang sering
dijumpai dari hasil kultur pada beberapa penyakit pada
tonsil dan adenoid adalah sebagai berikut:
Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan
tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear, sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.
Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan
tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang
jelas disebut tonsillitis follikularis. Bila bercak-bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur, maka
akan terjadi tonsillitis lacunaris. Bercak detritus ini
dapat melebar, sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Tonsilitis Akut1
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorokan, nyeri sewaktu menelan dan
pada kasus berat, penderita menolak makan dan
minum melaui mulut. Biasanya disertai demam dengan
suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi,
tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri
di telinga ini karena nyeri alih melalui N.
Glossofaringeus.
Seringkali
disertai
adenopati
servikalis disertai nyeri tekan.
Pada
pemeriksaan
tampak
tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran
semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan.
Pada beberapa kasus, infeksi ini dapat
kambuh dan berulang. Bila hal ini terjadi dinamakan
tonsilitis akut rekuren, yaitu dimana kekambuhan
terjadi 4 sampai 7 kali dalam setahun atau 2 kali
kambuh dalam 2 tahun berturut-turut, atau tiga kali
kambuh dalam setahun selama 3 tahun berturut-turut.1
Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsilitis
akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian
cairan adekuat, serta diet ringan. Analgetik oral efektif
untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik dikaitkan
dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin
masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat
resistensi atau penderita sensitif terhadap penisilin.
Pada kasus tersebut, eritromisin atau antibiotik spesifik
yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.
Pengobatan sebaiknya diberikan selama 5 sampai 10
hari. Jika hasil biakan didapatkan Streptococcus beta
haemolyticus, terapi yang adekuat dipertahankan
selama 10 hari untuk menurunkan kemungkinan
komplikasi non supuratif, seperti nefritis dan jantung
rematik.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan
berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat
langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan akan didapatkan kuman
Mononukleosis Infeksiosa
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh
virus Epstein Barr yang penyebarannya terjadi melalui
droplet dengan masa inkubasi 7 9 hari. Hal tersebut
dibuktikan dengan ditemukannya antibodi VEB
melalui tes diagnostik Paul Bunnell, yang merupakan
Mononukleosis Infeksiosa 1
Gambaran Klinik dan Diagnosis
Penderita mengeluh demam dengan suhu
berkisar antara 38o 39oC. Pada pemeriksaan klinis
didapat tonsilofaringitis membranosa, hiperemis dan
terdapat eksudat dengan lifadenopati servikalis, serta
bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut. Kadangkadang ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
Setelah minggu pertama hitung jenis leukosit
mencapai 20.000 30.000/mm3 dengan 80 90% di
antaranya adalah mononuklear limfosit atipikal.12
Terapi
Terapi dengan mengobati gejala dan
penghentian pemberian antibiotik ampisilin, serta
perbaikan kesehatan mulut. Tonsilektomi dilakukan
pada kasus berat dengan gejala lokal seperti obstruksi
jalan nafas, disfagia dan demam yang menetap.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa
paralisis N. VII dan N. IX, meningitis serosa,
ensefalitis, miokarditis, anemia hemolitik, perdarahan
pada saluran cerna. Bercak-bercak perdarahan pada
kulit, hematuri sampai obstruksi jalan nafas.
1.1.3
Candidiasis/Moniliasis/Thrush
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh
jamur Candida albicans. Biasanya timbul pada pasien
dengan penurunan daya tahan tubuh. Gejala berupa
nyeri menelan. Pada tonsil, palatum, dinding posterior
faring, mukosa pipi akan tertutup oleh eksudat mukoid
atau punctata dengan ulkus eritematous. Pengobatan
dengan pemberian antimikosis.12
Candidiasis Infeksiosa 4
1.1.2
1.1.4
Vincents
Angina/
Angina
Ulceromembranocea/Trench Mouth
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Spirochaeta, Bacillus fusiform. Penderita mengeluh
nyeri menelan unilateral, disertai pembengkakan
1.2
Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal pada
tenggorok, tenggorok terasa kering, nyeri pada waktu
menelan, bau mulut, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak
nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa
nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred
pain) melalui N. Glossopharingeus (N. IX).
Gambaran klinis pada tonsilitis kronis
bervariasi. Diagnosis pada umumnya bergantung pada
inspeksi. Pada dasarnya terdapat 2 gambaran yang
termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:
1.2.1
Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan
komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronis,
sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dapat timbul. Pada jantung dapat berupa
endokarditis, pada sendi dan otot berupa arthritis,
miositis, pada ginjal berupa nefritis, pada berupa
uveitis, iridosiklitis, pada kulit dapat berupa dermatitis,
pruritus, urtikaria dan furunkulosis.
Tonsilitis TBC 12
Dapat terjadi sebagai penyakit primer atau
sekunder setelah penyakit aktif dalam paru-paru.
Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Keluhan berupa nyeri saat menelan, otalgi disertai
pembengkakan kelenjar getah bening servikal.
Pada mukosa faring dan tonsil ditemukan
ulserasi yang mengandung tuberkel bakteri tahan asam.
Pada pemeriksaan apus tenggorok ataupun biopsi pada
tonsil ditemukan bakteri tahan asam.
Pengobatan
dengan
tonsilektomi
dan
pemberian OAT (obat antituberkulosis).
1.2.3
Komplikasi Tonsilogenik 13
Abses Peritonsiler (Quincy)1
Merupakan pus yang tertampung di antara
kapsul tonsil. Dapat timbul sebagai komplikasi
tonsilitis kronis atau berulang. Tapi dapat timbul juga
tanpa didahului oleh tonsilitis akut. Pasien
mengeluhkan adanya nyeri faring unilateral,
odinofagia, disfagia, drooling, trismus, nafas berbau
dan demam. Pasien juga sulit bicara, kadang bicara
seperti hot potato voice. Trismus karena peradangan
otot mastikator dan otot pterygoid.
Dari pemeriksaan fisik didapat adanya
dehidrasi, trismus, deviasi uvula, pembengkakan tonsil
dan palatum. Secara bakteriologis, abses peritonsiler
ditandai dengan infeksi bakteri campuran yang
melibatkan bekteri aerob, seperti Streptococcus
pyogenes dan Staphylococcus aureus maupun bakteri
anaerob seperti Bacteroidaceae.
Bila tidak cepat ditangani abses peritonsiler
dapat menyebar menjadi abses parafaringeal yang
nantinya dapat menyebar jauh ke mediastinum dan
menyebabkan mediastinitis. Jika telah terbentuk abses
memerlukan tindakan drainase, baik dengan teknik
aspirasi jarum atau dengan teknik insisi drainase.
1.
Keterangan:
Skalpel
A. karotis interna
V. jugularis interna
Hipertrofi Tonsil4
Komplikasi Tonsilitis2
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tonsilitis
di antaranya adalah abses peritonsiler, abses parafaring
dan abses retrofaring.
Keterangan:
Abses Peritonsilar4
V. jugularis interna
N. Vagus
A. karotis interna
2.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Abses Parafaring 1
Keterangan:
Penyebaran melalui vena
Penyebaran melalui kelenjar limfe
V. jugularis interna
4.
Kel limfe di sekitar V. jugularis
interna
Penyebaran perkontinuitatum
3.
Sepsis 13
Komplikasi ini ditandai oleh demam, tegang
di sepanjang V. jugularis interna yang dapat diraba di
bawah sudut anterior M. sternocleidomastoideus, atau
tegang pada kelenjar limfe jugulodigastrikus. Kadang
timbul kemerahan pada daerah tonsil.
Gambaran apus darah tepi menunjukkan
pergeseran ke kiri (leukositosis), splenomegali dan
adanya kemungkinan penyebaran ke paru, kulit atau
hati, dengan lidah kering dan nadi teraba cepat dan
lemah.
Bakteri dari infeksi pada tonsil dapat
memasuki aliran darah dari tonsil atau melalui pus
yang menyebar. Terdapat 3 cara kemunkinan terjadinya
sepsis:
1.
Hematogen, melalui vena tonsil dan fasial ke
V. jugularis interna. Terjadi troboplebitis pada vena
dan menyebabkan terjadinya trombus yang
terinfeksi memasuki sirkulasi paru dan tubuh.
2.
Limfogen, melalui kelenjar limfatik eferen
tonsil ke kelenjar limfe regional dan sepanjang V.
jugularis interna. Vena tersebut mengalami infeksi
dan penyebaran selanjutnya seperti jalur
hematogen.
3.
Penyebaran langsung dari abses di dalam atau
di sekitar tonsil dengan terjadinya ruptur abses
tersebut ke rongga parafaringeal atau ke jaringan
lunak servikal dengan keterlibatan V. jugularis
interna.
Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan fisik
yang menyokong terjadinya septikemia, adanya
riwayat dan gejala tonsilitis kronis. LED meningkat
dan terdapat leukositosis.
Bila sepsis terjadi harus diberikan segera
penisilin dosis tinggi atau antibiotika spektrum luas
untuk mencegah perjalanan infeksi lebih lanjut.
4.
Tonsila palatina
Tonsilolith
Merupakan sumbatan berupa butiran partikel
seperti pasir berwarna kuning yang mengisi kripta
tonsil. Biasanya lebih sering terjadi pada dewasa.
Terjadi karena serangan tonsilitis berulang. Keluhan
berupa pembengkakan di sekitar kripta dan sensasi
benda asing. Pengobatan berupa tonsilektomi.
3.
AIDS/Sindroma HIV
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
Retrovirus HIV yang dapat dideteksi dengan antibodi
HIV dalam serum melalui tes penapisan (ELISA).
Gejala yang timbul 35 40% bermanifestasi
di telinga, hidung dan tenggorok. Berupa sarkoma
kaposi disertai hairy leukoplakia pada lidah. Biasanya
disertai dengan limfadenopati servikal, kandidiasis,
herpes simplex dan herpes zooster, sinusitis, tonsilitis,
gingivitis, faringitis, esofagitis, disertai penurunan
pendengaran. Gejala umum yang menyertai adalah
demam, anoreksia, sakit kepala, diare dan penurunan
berat badan.
Hairy Leukoplakia4
Leukemia Limfoblastik Akut13
Merupakan penyakit keganasan pada alat
pembuat sel darah berupa proliferasi patologis sel-sel
hematopoietik muda seri limfoblas yang ditandai
dengan adanya kegagalan sumsum tulang pembentuk
sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan
tubuh lainnya. Penyebabnya tidak diketahui pasti.
Diduga berhubungan dengan faktor genetik,
lingkungan, infeksi virus dan defisiensi imunologis.
Pada pemeriksaan didapatkan penderita pucat,
lemah, lesu disertai demam atau infeksi berulang atau
menetap dan adanya perdarahan.11 Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tonsil membesar disertai ulserasi dan
nyeri hebat. Keluhan disertai juga dengan membran
kotor pada gusi, rongga mulut dan faring. Didapatkan
juga limfadenopati dan hepatosplenomegali.2,10
Dari hasil laboratorium sel darah tepi
ditemukan anemia, granulositopenia dan limfoblas >
3%. Pada sumsum tulang terlihat selularitas
meningkat, didominasi oleh limfoblas > 25%.2
4.
Fibroma Tonsil 2
Fibroma tonsil pada pria dan wanita
ditemukan sama banyaknya. Lebih banyak ditemukan
pada anak daripada dewasa. Merupakan tumor jinak
yang jarang menjadi ganas, biasanya unilateral dengan
pertumbuhan lambat.
Fibroma dapat bertangkai atau tidak
bertangkai. Makin luas fibroma, semakin besar
tangkainya. Lebih sering tunggal daripada multipel.
Karena berasal dari jaringan ikat, maka sering
mengalami degenerasi kistik, keras dan mengandung
sedikit pembuluh darah. Tumor ini kadang melekat di
tonsil atau jaringan ikat sekitar tonsil akibat
peradangan tonsil berulang. Gangguan jarang terasa
kecuali jika bertangkai dan besar, sehingga
5.
Hiperplasia Adenoid1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan
gejala klinis, pemeriksaan rhinoskopi anterior dengan
melihat tertahannya gerakan velum palatum molle
pada waktu fonasi.
Terapi berupa bedah adenoidektomi dengan
cara kuretase memakai adenotom.
3.
Adenoiditis Kronis
Biasanya karena pengobatan adenoiditis akut
yang tidak selesai atau gagal. Kondisi ini disertai
rhinosinusitis purulen atau bersama dengan tonsilitis
kronis. Inflamasi bisa disebabkan bekteri atau virus.
Gejala dapat disertai dengan rhinorrhea, sinusitis, serta
keluhan pada telinga tengah.
Pemeriksaan pada nasofaring ditemukan
hiperplasia pada jaringan limfoid nasofaring, disertai
inflamasi kronis dan sekret mukopurulen.
Tonsilektomi dan Adenoidektomi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat
tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis
lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa
meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan
sekitarnya, seperti uvula dan pilar tonsil.1,2
Adenoidektomi adalah tindakan operasi untuk
mengangkat adenoid (tonsila faringeal) di daerah
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
1.
2.
Perawatan Preoperatif:10
Untuk penderita yang akan dioperasi dengan
narkosa umum, disarankan dirawat dan dipuasakan
sedikitnya 6 jam sebelum operasi untuk orang dewasa,
sedangkan untuk anak-anak cukup 4 jam. Pemberian
sedatif sebelum tidur mungkin dapat memberikan
ketenangan dan menghilangkan perasaan takut atau
stres operasi, membantu mencegah terjadianya cardiac
inhition dan menekan aktivitas sekresi dari kelenjar
mukus traktus respiratorius bagian atas dan bawah.
Biasanya digunakan 2 macam obat, yaitu sedatif dan
drying agent. Untuk operasi dengan anestesi lokal
tidak ada persiapan khusus.
Dikenal 2 macam anestesi dalam operasi
tonsil, yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.10
Anestesi Lokal
- Biasanya dilakukan pada orang dewasa atau
pasien yang kooperatif
- Penderita duduk tegak saling berhadapan
dengan operator. Dilakukan tahapan: rongga
mulut disemprot dengan anestesi topikal,
xylocain
2%.
Kemudian
dilakukan
penyuntikan lidocain 2% sebanyak 10 cc
dengan pembagian 3 cc di kutub atas tonsil, 3
cc di daerah tengah tonsil dan 4 cc di kutub
bawah tonsil.
- Keuntungan: mudah, murah dan praktis.
- Kerugian: rasa kurang nyaman bagi penderita
dan operator, adanya bahaya aspirasi oleh
karena posisi penderita duduk.
Anestesi Umum
- Dilakukan pada semua pasien anak dan orang
dewasa yang tidak kooperatif
- Menggunakan eter, nitrous oxyde atau vinyl
ether.
Beberapa metode tonsilektomi:
a.
Metode Guillotine Sluder-Ballenger
Metode ini terutama digunakan pada anak-anak
oleh karena fossa tonsilaris pada anak-anak masih
kecil, serta perlekatan antara kapsul tonsil ke M.
konstriktor faringeus masih longgar. Posisi
penderita sama seperti pada metode diseksi, tetapi
jenis anestesi yang biasanya diguanakan adalah
open drops.
b.
Metode Diseksi10
Metode Dissection-Snare. Cara ini adalah yang
paling sering digunakan untuk tonsilektomi. Dapat
dilakukan dengan anestesi umum atau lokal.
c.
Electrosurgery (Bedah Listrik)1
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
d.
e.
f.
g.
h.
3.
4.
Adenoidektomi dapat dilakukan bersamaan
dengan pengangkatan tonsil. Dalam hal ini diperlukan
anestesi yang sempurna agar terjadi relaksasi palatum
dan M. konstriktor faringeus superior, sehingga
memudahkan dilakukannya operasi.
Teknik adenoidektomi dapat dilakukan
dengan kuretase dan dengan endoskopi dengan
menggunakan microdebrider.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:1
1.
Perdarahan
Komplikasi perdarahan dapat terjadi selama
operasi berlangsung atau segera setelah penderita
meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama
pascaoperasi). Bahkan meskipun jarang terjadi,
pada hari ke-5 7 pascaoperasi dapat terjadi
perdarahan disebabkan oleh terlepasnya membran
jaringan granulasi yang terbentuk pada
permukaan luka operasi, karena infeksi di fossa
tonsilaris atau trauma makanan keras.
Untuk mengatasi perdarahan dapat dilakukan
ligasi ulang, kompresi dengan gaas ke dalam
fossa, kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan
anestesi lokal atau umum.
2.
Infeksi
Luka opersi pada fossa tonsilaris merupakan port
dentre bagi kuman, sehingga merupakan sumber
infeksi. Dapat terjadi faringitis, servikal adenitis,
trombosis vena jugularis interna, otitis media,
pada kasus sistemik dapat terjadi endokarditis,
nefritis dan poliarthritis. Bahkan pernah
dilaporkan adanya meningitis, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi pada paru-paru, seperti pneumonia,
bronkitis dan abses paru terjadi karena aspirasi
sewaktu operasi. Abses parafaring dapat timbul
akibat suntikan pada waktu anestesi lokal.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
5.
6.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
KARSINOMA NASOFARING
Latar Belakang
Tumor kepala leher meliputi tumor yang
tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan
medula spinalis. Tumor di daerah kepala dan leher
digabungkan menjadi satu kategori tumor kepala leher
karena mempunyai satu kesamaan etiologi, cara
penyebarannya, metode pemeriksaan diagnostik,
pengobatan, dan rehabilitasi. Dibandingkan
pertumbuhan tumor ganas di tempat lain, tumor kepala
leher tidak banyak dijumpai.1,2
Insidensi tumor kepala leher sangat bervariasi.
Di dunia ditemukan lebih dari 500.000 kasus dengan
tingkat mortalitas sebanyak 270.000 kasus per tahun,
dan umumnya terjadi di negara berkembang.1,2 Di
Eropa dan Amerika Serikat, tumor kepala leher
merupakan salah satu keganasan yang jarang terjadi,
dengan prevalensi 5-10% dari seluruh tumor,
sedangkan di negara lain seperti India, prevalensinya
mencapai 45%.3,4
Bagian Patologi Badan Registrasi Kanker
Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI,
mendapatkan tumor kepala leher di urutan ke empat
dari sepuluh besar keganasan serta urutan ke dua dari
sepuluh keganasan pada laki-laki.1
Hampir 60% tumor ganas kepala leher
merupakan karsinoma nasofaring (KNF), diikuti oleh
karsinoma sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam
prosentase rendah. KNF menduduki urutan keempat
dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim,
payudara, dan kulit.5
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di
berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di
17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru
setiap tahun, di Rio de Janeiro 16 kasus baru, di
Nigeria 12 kasus baru, sedangkan di Israel hanya
ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang
sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146
kasus setiap tahun.6
Insidensi KNF yang paling tinggi adalah pada
ras Mongoloid di Asia dan China Selatan, dengan
frekuensi 100 kali dibanding frekuensi KNF pada ras
Kaukasia. Prevalensi KNF di Provinsi Guangdong
China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.6,7,8
Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per
100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H.
Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF
paling banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7%
dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan,
ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9 Dari
seluruh penderita yang menjalani radioterapi di
Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo selama
periode tahun 1991-1997 tercatat
Anatomi Nasofaring4
Fossa Rosenmuller merupakan area yang
menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma
nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis
dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat
penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis
serta prognosis. Area-area tersebut adalah17 :
Anterior
: tuba Eustachius
Antero-lateral
: otot levator veli palatini
Posterior
: retropharyngeal space
Superior
: foramen laserum di bagian
medial, apeks petrosus dan
kanalis karotikus di bagian
posterior, serta foramen
ovale dan spinosum di
bagian anterolateral
Lateral
: otot tensor veli palatini dan
pharyngeal space
Inferior
: otot konstriktor superior
Histologi Nasofaring
Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh
pseudostatified kolumnar epitelium, pada usia sekitar
10 tahun berubah menjadi stratified squamous
epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat
daerah yang merupakan tempat transisi pertemuan
kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk
kuboid atau globular yang nantinya berpotensi ke arah
keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi
jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa
menjadi asal dari sel keganasan di nasofaring.17
Karsinoma Nasofaring
A. Insidensi
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di
berbagai penjuru dunia cukup bervariasi.
Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata
187 kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro
ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus
baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya
ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru
yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong,
yaitu 1146 kasus setiap tahun.6
Insidensi KNF yang paling tinggi
ditemukan di daerah Cina Selatan, dengan
frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma
nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi
karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong
China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan
timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering
terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup
banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti
Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di
B. Etiologi
Penyebab pasti KNF masih belum
diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor
intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab,
yaitu faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein
Barr (EBV).
Faktor Genetik
Kerentanan
genetik
sebagai
faktor
predisposisi KNF didasarkan atas fakta banyaknya
penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu KNF
juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk
bangsa-bangsa di Asia terutama Asia Tenggara yang
masih tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di
China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar 1050 kali dibandingkan negara lainnya. Adanya riwayat
tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu
faktor resiko KNF. Secara umum didapatkan sekitar
10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang
menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan
5% diantaranya sama-sama menderita KNF dalam
keluarganya.14,19
Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II
(alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan
menyebabkan kegagalan interaksi HLA- peptide
1.
2.
3.
Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada KNF biasanya
berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan
stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah
yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak
dikenali sehingga penderita kebanyakan datang
dengan keluhan benjolan di leher akibat
penyebaran tumor ke kelenjar getah bening
regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul
adalah keluhan pada telinga atau hidung yang
bersifat unilateral. Keluhan di telinga dapat berupa
gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media
serosa dan perforasi membran timpani. Gejala
pada hidung dapat berupa sumbatan hidung
dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah
atau berupa epistaksis. Gangguan penciuman dan
obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat
akibat massa tumor yang menutupi koana. Gejala
lanjut yang paling sering dijumpai dan mendorong
pasien untuk datang berobat adalah pembesaran
kelenjar getah bening leher unilateral atau
bilateral.17
Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan
saraf intrakranial. Tumor dapat meluas kearah
superior menuju ke intra kranial dan menjalar
sepanjang fosa kranii media (penjalaran
petrosfenoid). Biasanya tumor masuk rongga
tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan
kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak
yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi
gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul
N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi
wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf
kranial yang tersering mengalami gangguan
adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua
saraf grup anterior terkena gangguan maka timbul
kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma
petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan
oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan nyeri
kepala hebat karena penekanan tumor pada dura
mater. Terkenanya N. III menimbulkan gejala
Nasofaringoskopi tumor14
c.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
mendapatkan informasi adanya tumor,
perluasan, serta kekambuhan paska terapi.
Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma
nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak,
CT scan, dan MRI.17,26,28
1. Foto polos tengkorak dilakukan untuk
mengetahui adanya jaringan lunak di
dinding posterior pada proyeksi lateral,
melihat struktur tulang dan foramen pada
proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi
tumor ke hidung dan sinus paranasal pada
proyeksi antero-posterior dan Waters.
2. Tomografi
Komputer
(CT
scan)
mempunyai
keuntungan
dan
nilai
diagnosis tinggi yaitu kemampuan
membedakan berbagai
densitas di
nasofaring dan dapat menilai perluasan
tumor, penyebaran ke kelenjar limfa leher,
destruksi tulang serta penyebaran ke
intrakranial.
d. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi sangat menunjang
diagnosis KNF. Virus Epstein-Barr yang
diketahui sebagai etiologi KNF mengandung
antigen virus, antara lain EBV- VCA, EA,
LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan
serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi
yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA
anti EBV-EA, antibodi terhadap antigen
membran, antibodi terhadap inti virus
(Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA),
antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Titer
antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan
pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) dan
radio-immuno
assay.
Dapat
juga
menggunakan teknik PCR pada material yang
diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus
pada metastase kelenjar getah bening leher.
Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada
undifferentiated
carcinoma
dan
nonkeratinizing squamous cell carcinoma.
Pada pasien KNF dapat dideteksi antibodi
IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus
dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid
antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi yang
paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat
dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini
dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang
titernya meninggi sebelum gejala KNF timbul.
Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen
EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan
dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBVVCA terjadi setelah sintesis DNA virus,
dengan demikian antibodi ini berkaitan
dengan fase lanjut dari infeksi virus EB.
Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada
seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai
dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin
A anti EBV-VCA ini dapat merupakan
pertanda tumor (tumor marker) yang spesifik
untuk deteksi KNF terutama pada stadium
dini (nilai diagnostik), memantau hasil
pengobatan dan memperkirakan kekambuhan
(nilai prognostik).14
IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis
DNA virus yaitu pada fase dini siklus
replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti
EBV-EA sudah ditemukan sebelum metastasis
secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA
dianggap positif bila 1/80. Berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi, IgG anti EBVEA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe
terbatas (EA-restricted) dan tipe menyebar
(EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBVEA (D) didapatkan pada semua penderita
KNF yang telah mendapatkan pengobatan
Stadium Tumor
M1 :
Stadium
Stadium 0
:
Stadium I
:
Stadium IIA :
Stadium IIB :
Stadium III :
Stadium IVA :
Stadium IVB :
Stadium IVC :
Tis N0 M0
T1 N0 M0
T2a N0 M0
T1 N1 M0; T2a N1 M0
T1 N2 M0; T2a,T2b N2
T4 N0,N1,N2 M0
Semua T N3 M0
Semua T semua N M1
Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama pada
kKNF. Radioterapi juga efektif terhadap terapi
paliatif pada kasus yang sudah metastasis jauh.
Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis
merupakan terapi kuratif utama yang dapat
diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal
dan brakhiterapi.6
DAFTAR PUSTAKA
1.
5.
6.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
2.
1.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
dapat
2.
Trakeostomi Elektif
Merupakan tindakan trakeostomi yang
terencana, sehingga persiapan dapat dilakukan
dengan lebih sempurna, termasuk persiapan
alat dan bila memungkinkan dilakukan di
kamar operasi
Teknik Operasi
A. Persiapan Alat
Trakea kanul dengan ukuran yang sesuai untuk
pasien
Skalpel, klem
Bisturi lengkung
Tenaklumum model Chevalier Jackson
Retraktor kecil, dua buah
Trousseau dilator
Klem hemstat, enam buah
Gunting tajam, untuk diseksi
Jarum kecil, untuk ligasi dan jahitan kulit
Needle holder
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
D. Komplikasi
Sebagai akibat dari tindakan trakeostomi, dapat
terjadi komplikasi yang saat menurut terjadinya dibagi
atas :
Komplikasi segera: terjadi dalam waktu 24 jam
pertama setelah trakeostomi, yaitu:
Apneu, terjadi akibat hilangnya stimulasi hipoksia
dari respirasi. Pada pasien hipoksia berat yang ditrakeostomi, mulanay pasien masih bernafas
dengan benar untuk 1-2 kali, lalu terjadi apneu.
Hal tersebut terjadi akibat denervasi fisiologis dari
kemoreseptor perifer karena peningkatan p CO2
tiba-tiba dari udara pernafasan
Perdarahan, terjadi bila hemostasis saat
trakeostomi tidak sempurna serta dipengaruhi
naiknya tekanan arteri secara mendadak setelah
tindakan operasi dan peningkata tekanan vena
karena batuk. Perdarahan yang terjadi biasanya
tidak berbahaya, cukup diatasidg pembalutan gaas
steril sekitar kanul. Bila tidak berhasil harus
dilakukan ligasi dengan meleps kanul
Trauma struktur sekitar luka operasi,
dapat
disebabkan oleh diseksi yang terlalu dalam yang
dapat mengenai esofagus, n. Laringeus rekuren
atau kupula pleura. Untuk mengatasi hal tersebut,
dapat dipasang endotrakeal tube sebelum
trakeostomi, terutama pada anak-anak.
Emfisema subkutan, biasanya terjadi sekitar
stoma, tetapi bisa juga meluas ke daerah muka dan
dada atas.hal ini terjadi karena terlalu rpatnya
jahitan luka insisi sehingga udara yang
terperangkap didalamnya dapat masuk ke jaringan
subkutan pada saat batuk atau karena terlalu
sempitnya lubang pada fascia pretrakeal sekitar
kanul. Untuk mengatasinya dilakukan multiple
puncture dan longgarkan semua jahitan untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut seperti
pneumomediastinum dan pneumotoraks
Komplikasi kemudian
Perdarahan yang terhambat, timbul karena terjadi
erosi pembuluh darah seperti a. inomita atau a.
thyroidea superior dan inferior, akibat tekanan
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballanger, J.J. : Diseases of the Nose, Throat, Ear,
Head and Neck. 13th ed. Philadelphia, Lea &
Febiger. 1985. page 424-434, 511-539.
2. Boies : Fundamental of Otolaryngology a textbok of
Ear, Nose and Throat Deseases. 6th ed.
Philadelphia, W.B. Saunders Company. 1989. page
369-387, 473-484.
3. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1.
Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page
1/12/1-1/12/18.
4. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 5.
Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997.
page5/5/1-5/5/18.
5. Cumming C.W. : Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2nd ed. Vol. 3. St Louis. Mosby Year Book.
193. page 1854-1862, 2389-2391.
7.1.2
Keterlambatan
INFEKSI RUANG LEHER
atau
kesalahan
dalam
diagnosis dapat menyebabkan konsequensi yang sangat
menakutkan termasuk mediastinitis bahkan kematian.1
Penatalaksanaan bisa diawali dengan dosis
antibiotik intravena, bila jalan nafas berada dalam
keadaan berbahaya diperlukan tindakan trakeostomi.
Bila infeksi tersebut menyebabkan pembentukan abses,
maka tindakan bedah perlu dilakukan. 2 Tindakan
secara aggressive baik secara medikamentosa maupun
pembedahan bertujuan mencegah komplikasi yang
tidak diinginkan.1
Noisy breathing
Hot Potato Voice
Sepsis
Abses Retrofaring5
Pemeriksaan Penunjang:
Pada pemeriksaan radiografi Soft Tissue Lateral,
kecurigaan akan abses retrofaring bila didapatkan
penebalan jaringan lebih dari 7mm pada daerah C2
atau lebih dari 14 mm pada anak-anak dan lebih dari
22 mm pada orang dewasa pada C6.10
1.2
1.
1.1
dan
1.3
Infeksi Ruang Prevertebra
Infeksi pada ruang ini jarang terjadi. Sumber infeksi:
Infeksi pada corpus vertebra oleh kuman pyogenic
atau tubercolusa
Luka penetrasi (iatrogenic)
Gejala:
Nyeri pada punggung, bahu dan leher yang
diperberat oleh gerakan menelan
Disfagia atau dispneu
Penyebarannya:
Langsung dari corpus vertebra atau ruang yang
berbatasan
Tubercolusis vertebral (cervical Potts abses)
Peritonsiler abses
Angina ludwig11
1.8
Infeksi Ruang Mastikator
Sumber infeksi: infeksi gigi molar 2 dan 3
Gejala klinis:
Sukar menelan
Sakit hebat dan bengkak pada ramus mandibula
Trismus iritasi dan spasme otot-otot mastikator
Lidah tidak mungkin ditekan karena pembengkakan
dan edema dasar mulut.
1.9
Infeksi Ruang Perintosilar2,7
Sumber infeksi:
Peradangan tonsil
Peritonsilitis akibat infeksi kripta pada fossa supra
tonsiler yang meluas
Etiologi dan patogenesa, bakteri penyebab sama
dengan bakteri pada tonsilitis lakunaris, yaitu:
Streptococcus hemolyticus
Stapphylococcus aureus
Streptococcus pneumonia
Merupakan penyebab terbanyak dari infeksi
ruang leher (deep neck space). Kemungkinan besar
disebabkan karena infeksi kripta pada bagian superior
yang menembus kapsul tonsil dan meluas ke jaringan
ikat diantara kapsul dan dinding posterior fossa
tonsilaris. Peradangan dapat terlokalisir disini atau
menembus m. Konstriktor superior, atau melalui vena
sehingga terjadi abses parafaring bahkan dapat meluas
sampai mediastinum.
Gejala klinis:
Nyeri tenggorokan yang makin hebat dan biasanya
satu sisi
Nyeri dan sukar menelan
Panas badan
Sekresi ludah berlebihan (drooling)
Trismus karena peradangan otot mastikator dan m.
Pterigoid
Sukar bicara, karena bica seperti hot potato voice
Nafas berbau
Tonsil bergeser ke tengah, keatas dan kebawah
Uvula bergeser ke sisi kontralateral
Pada pemeriksaan klinis: didapatkan jaringan
unilateral mengalami radang berat tanpa edema dan
hiperemis disertai pembengkakan pilar tonsil dan
posterolateral palatum molle, uvula terdorong ke sisi
yang sehat. Pada pemeriksaan digital: Menunjukan
adanya fluktuasi sedangkan tonsil sendiri dapat
tertutup oleh edema jaringan sekitarnya.
1.10
Infeksi Ruang Temporal
Gejala klinis:
Nyeri di daerah m. Temporalis
Trismus
Deviasi rahang ke sisi yang terkena
1.11
2.
Mikrobiologi
Pada abses leher ditemukan berbagai macam
organisme. Pada kebanyakan abses biasanya banyak
mengandung bakteri (ditunjukan pada tabel 9.1). pada
satu penelitian, rata-rata ditemukan lebih dari lima
spesies pada tiap kasus. Karena jalan masuk dan
organisme penyebab masing-masing ruang leher
berbeda, maka penemuan ini lebih memperlihatkan
ruang-ruang leher yang terkena daripada menunjukan
kuman-kuman penyebab infeksi ruang leher.1
Diantara kuman-kuman aerob, streptococcus,
terutama streptococcus viridians, streptococcus hemolitikus dan stafilokokus merupakan organisme
aerob penyebab utama pada korban penyalahgunaan
obat secara intravena (intravenous drug abuser).
Kuman-kuman penyebab lainnya adalah difteroid,
Neisseria, Klebsiella dan Haemophillus.1
Bakteri-bekteri anaerob sering terlewatkan
dalam penelitian bakteriologis karena sulitnya untuk
mengisolasi kuman tersebut. Kebanyakan abses-abses
yang berasal dari infeksi odontogenik melibatkan
bakteri-bekteri anaerob yang tersering adalah
Bacteroides terutama B. Melaninogenicus dan
peptostreptococcus.1
Eikenella corrodens dan B.
Fragilis lebih jarang ditemukan. Eikenella corrodens
seringkali resisten terhadap klindamisin. Bau busuk
pada pus biasanya menunjukan adanya keterlibatan
bakteri anaerob, tapi tidak adanya bau busuk tidak
menepis kemungkinan adanya bakteri anaerob
tersebut. Pada kasus anak-anak kurang dari 9 bulan,
Staphylococcus aureus merupakan kuman yang
dominan (80% dari hasil penelitian Brook) diikuti oleh
organisme kedua -laktamase meningkat. Hal tersebut
penting untuk kita dalam memilih antibiotik untuk
melawan organisme penyebab.1
Gamma not
group D
Microaeriphil
ic
Fragilis
Other spesies
3
15
Staphylococc
us
S. aureus
S. epidermis
11
Peptostreptococ
cus
Peptococcus
6
6
5
Dipthheroids
Neisseria
Klebsiella
pneumoniae
Haemophillus
infl.
Pseudomonas
3
2
Eubacterium
Fusobacterium
Eikenella
corrodens
Veillonella
parvula
Lactobacilus
Pro
pionibacterium
Unidentified
gram positive
Unidentified
gram negative
7
4
1
1
5
4
3
5
4
Pemeriksaan Radiologi
STL (Soft Tissue Lateral)
Penatalaksanaan
Infeksi ruang leher dapat mengancam jiwa.
Membebaskan jalan nafas adalah hal yang utama,
pemasangan pipa Endotracheal mungkin dapat
dilakukan, tapi hati-hati pada pemasangan pipa
Endotracheal pada pasien yang masih sadar karena
prosedurnya yang rumit dan dapat membahayakan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
c.
Melalui
fossa
submaksilaris
secara
MOSHER, cara dipergunakan bila lokasi
pus tidak jelas dan terdapat tanda-tanda
sepsis.
Teknik Mosher yaitu dengan insisi bentuk
huruf T yang cukup lebar. Garis horizontal dari huruf T
sejajar dengan pinggir bawah mandibula dan garis
vertikal dibuat di sepanjang tepi anterior otot
sternocleidomastoideus
sehingga
kelenjar
submaksilaris terbuka, vena fasialis diikat dan
dipotong, kemudian pinggir bawah kelenjar disisihkan
secara tumpul terus kearah belakang dan keatas sampai
ligamentum Stylomandibula dibawah mandibula, jari
diteruskan ke atas sampai teraba prosesus stiloideus,
kemudian diseksi diteruskan secara tumpul sampai
batas carnii fossa faringomaksilaris.2
Teknik Mosher5
Perawatan rumah sakit lebih dari 11 hari biasanya lebih
sering pada dewasa dibandingkan dengan anak-anak.
Bagan 3.1 menjelaskan mengenai algoritme
penanganan infeksi ruang leher.
Komplikasi
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Prognosis
Pasien dengan infeksi ruang leher mempunyai
prognosis yang baik, apabila mendapatkan penanganan
yang cepat dan tepat. Apabila terjadi keterlambatan
pada terapi, akan timbul penyulit, dan angka
kesembuhan yang rendah. Apabila murni kasus infeksi
dan sumbernya telah dieliminir, kemungkinan infeksi
berulang sangatlah kecil.1
DAFTAR PUSTAKA
1.
Byron J. Bailey, Head & Neck SurgeryOtilaryngology, 4th editon, Lippincot Williams &
Wilkins, Philadephia, 2006.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
TRAUMA MAKSILOFASIAL
fraktur tulang hidung tertinggi di usia 15-20 tahun
FRAKTUR HIDUNG
Fraktur tulang hidung merupakan jenis fraktur
yang sering terjadi pada wajah. Fraktur tulang hidung
menempati urutan ketiga setelah fraktur klavikula dan
pergelangan tangan. 1 Illum dkk menyatakan bahwa
sekitar 39% kasus trauma muka melibatkan hidung.
Fraktur tulang hidung dapat terjadi akibat trauma
langsung maupun tidak langsung.
Bentuk fraktur
bervariasi tergantung dari arah mana dan kekuatan
traumanya.
Fraktur tulang hidung sering terjadi
berhubungan dengan letak hidung yang berada di
bagian tengah wajah dan menonjol. Disusun oleh
kartilago dan kerangka tulang yang tidak fleksibel
menyebabkan rentannya terjadi fraktur pada hidung.
Selain tulang yang tipis, hidung disusun juga oleh
jaringan ikat yang tipis dan tidak adanya otot yang kuat
sehingga bila terjadi deviasi walaupun hanya beberapa
millimeter dapat dengan mudah terlihat dengan mata
biasa. Selain fungsi estetika, hidung juga berperan
sebagai pintu masuk jalan napas. Adanya gangguan
akan menyebabkan ketidaknyamanan dan gejala yang
berhubungan dengan sumbatan hidung dan bahkan
terganggunya penciuman.
Diagnosis yang akurat dan pemilihan operasi
yang tepat adalah kunci dalam penatalaksanaan fraktur
tulang hidung. Riwayat yang lengkap dan penilaian
fisik yang menyeluruh cukup adekuat untuk
mendiagnosis fraktur tulang hidung. Penatalaksanaan
fraktur tulang hidung dilakukan pertama kali oleh
bangsa Mesir dan Yunani dengan cara reduksi.
Meskipun trauma ini tidak mengancam
nyawa, penatalaksanaan yang salah atau kurang tepat
dapat menyebabkan deformitas baik secara estetika
maupun fungsional.
KEKERAPAN
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya
insiden fraktur tulang hidung baik pada anak-anak
maupun
dewasa.
Pada
kasus-kasus
trauma
maksilofasial, ditemukan insiden fraktur tulang hidung
pada anak-anak mencapai 45% dan pada sebanyak
39% fraktur tulang hidung terjadi pada 1000 pasien
dengan trauma maksilofasial. Insiden fraktur tulang
hidung di Denmark dilaporkan mencapai 53 per
100.000.
Berdasarkan jenis kelamin dan kelompok
umur, fraktur tulang hidung terjadi 2 kali lebih banyak
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Patofisiologi trauma
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
Anamnesis
Diagnosis yang tepat pada fraktur tulang
hidung ditegakkan berdasarkan riwayat trauma dan
pemerikasaan fisik secara menyeluruh. Riwayat trauma
yang meliputi : (1) kekuatan, arah dan mekanisme
terjadinya trauma; (2) adanya epistaksis atau
kebocoran cairan serebrospinalis; (3) riwayat trauma
atau operasi sebelum terjadi fraktur hidung; (4) adanya
sumbatan atau deformitas pada hidung setelah trauma.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan kunci dalam
mendiagnosis fraktur pada tulang hidung dan akan
lebih tepat apabila dilakukan segera setelah terjadinya
trauma dan sebelum terdapatnya edema. Pemeriksaan
lokal yang meliputi hidung luar dan rongga hidung
harus dilakukan. Inspeksi dan palpasi pada hidung
harus dilakukan, baik eksternal maupun internal untuk
mengetahui adanya deformitas, deviasi ataupun bentuk
yang abnormal.
Pemeriksaan pada hidung bagian luar harus
dinilai dari semua sudut. Pada pemeriksaan dinilai
adanya perubahan bentuk hidung tampak tidak simetris
akibat pergeseran struktur tulang hidung ataupun
kerusakan pada kartilago, ukuran, pembengkakan,
laserasi pada kulit, ekimosis dan hematoma.
Pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan
dengan rinoskopi anterior. Bila terdapat bekuan darah
maka harus dibersihkan terlebih dahulu dan bila perlu
menggunakan nasal dekongestan dan anestesi topikal.
Pada pemeriksaan dinilai aliran udara hidung, adanya
pembengkakan mukosa hidung, ada tidaknya robekan
pada mukosa septum, epistaksis, deformitas dan
hematoma septum.
Palpasi pada struktur hidung luar harus
dilakukan untuk menilai stabilitasnya. Pada
kebanyakan kasus adanya depresi atau pergeseran pada
tulang hidung merupakan tanda terdapatnya fraktur
pada hidung. Kartilago pada hidung dan septum harus
diperiksa untuk kemungkinan terdapatnya dislokasi.
Puncak hidung harus didorong ke arah oksiput untuk
memeriksa keutuhan kartilago penunjang septum.
Pemeriksaan Radiologi
Kegunaan pemeriksaan radiologi berupa foto
polos os nasal untuk mendiagnosis fraktur pada hidung
sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa penulis
menyatakan perlunya dokumentasi berupa foto polos
os nasal untuk kepentingan medikolegal pada kasuskasus fraktur tulang hidung. Akan tetapi penelitianpenelitian sebelumnya menunjukan pemeriksaan
radiologi (foto polos os nasal) memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang buruk dalam mendignosis fraktur
tulang hidung. Mereka juga menyimpulkan
pemeriksaan radiologi tidak bermanfaat dan tidak
berpengaruh dalam penatalaksanaan fraktur tulang
hidung. Pemeriksaan radiologi dengan tomografi
komputer dinilai lebih bermanfaat. Penelitian terbaru
menemukan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan
radiologi alternatif untuk mengevaluasi fraktur pada
tulang hidung.
Dokumentasi
Foto dokumentasi sebelum dan sesudah
tindakan sangat diperlukan. Foto standar yang
digunakan dalam menganalisa wajah adalah: tampak
frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak
basal. Hal ini diperlukan selain untuk kepentingan
medikolegal juga untuk perbadingan sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan serta merekam adanya
kemungkinan pasien telah mengalami deformitas pada
hidung sebelum terjadi trauma.
PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung
harus dipertimbangakn tiga aspek untuk mendapatkan
hasil yang baik, yaitu : waktu, jenis anestesi dan tehnik
operasi.
Pada prinsipnya apabila terjadi fraktur hidung
baru sederhana dan tertutup maka reposisi dilakukan
segera bila keadaan umum memungkinkan. Tetapi bila
terdapat edema atau hematoma yang luas maka akan
sulit untuk menegakkan diagnosis adanya fraktur dan
sulit pula menentukan posisi fragmen fraktur, maka
sebaiknya reposisi ditunda sampai akhir minggu
pertama. Diharapkan dalam waktu tersebut edema serta
hematoma akan hilang dan deformitas akan lebih jelas
terlihat. Setelah itu reposisi dilakukan secara tertutup.
Akan tetapi apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya hematoma pada septum maka aspirasi atau
insisi dan drainase harus segera dilakukan agar tidak
terjadi nekrosis pada kartilago septum. Reduksi
dibutuhkan hanya untuk fraktur tulang hidung yang
mnyebabkan deformitas dan sumbatan hidung.
Pada fraktur lama yang lebih dari 2 minggu
dan sudah terbentuk kalus, reposisi secara tertutup
tidak akan memberi hasil ynag memuaskan. Dengan
demikian perlu dilakukan tindakan reposisi secara
terbuka.
Pada kasus fraktur hidung terbuka dilakukan
eksplorasi segera ditempat luka dan bila terdapat
avulsi, jaringan itu dijahitkan kembali kemudian
fragmen tulang direposisi.
Indikasi
Indikasi melakukan teknik reduksi tertutup,
pada prisipnya dilakukan pada pasien-pasien yang
mengalami fraktur hidung baru, yaitu : (1) fraktur
tulang hidung uniteral atau bilateral; (2) fraktur tulang
hidung dan septum (nasal-septal complex) yang
disertai deviasi piramid hidung (nasal framework)
kurang dari setengah lebar nasal bridge.
Waktu
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi
waktu yang paling tepat dilakukannya terapi pada
fraktur tulang hidung. Penelitian fraktur tulang hidung
dilakukan segera setelah terjadinya trauma, sebelum
terdapat edema, karena edema yang terjadi pada
jaringan lunak biasanya akan menutupi fraktur tulang
hidung yang ringan sampai sedang, sehingga tindakan
reduksi tertutup sulit untuk dilakukan secepatnya.
Dengan demikian, pasien-pasien tersebut harus
dilakukan evaluasi kembali dalam 3 sampai 4 hari lagi.
Apabila terdapat edema, maka pasien-pasien tersebut
akan dilakukan pemeriksaan kembali pada 3 sampai 4
hari yang akan datang, dan tindakan reduksi tertutup
sebaiknya dilakukan antara 3 dan 10 hari sesudah
trauma. Akan tetapi waktu terbaik untuk melakukan
tindakan reduksi tertutup agar didapatkan hasil yang
memuaskan adalah 3 jam pertama setelah terjadinya
trauma. Staffel menekankan pentingnya menangani
fraktur tulang hidung dalam 2 minggu setelah
terjadinya trauma, karena pada fraktur yang terjadi
lebih dari 2 minggu dan sudah terbentuk kalus, sangat
tidak mungkin untuk melakukan teknik tersebut di
atas, sehingga memerlukan teknik reduksi terbuka.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL
Anestesi
FRAKTUR MAKSILA
LeFort I
- Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus
dentalis, maksila dan palatum
- Maloklusi gigi
LeFort II
- Palatum bergeser ke belakang
- Maloklusi gigi
Klasifikasi :
Le Fort I ( Prosesus alveolaris ) : Fraktur maksila
rendah yang memisahkan maksila setinggi dasar
hidung
LeFort III
Kriteria diagnosis:
A.
-
Anamnesis :
Pembengkakan infra orbital
Hipestesi cabang N.V2
Maloklusi (Le Fort I II)
Epistaksis (Le Fort II III)
LCS leak (Le Fort III)
mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi
dan arah benturan yang terjadi
cedera di bagian tubuh yang lain
riwayat perubahan status mental dan penuruna
kesadaran
adanya
defisiensi
fungsional
lainnya,
misalnya berhubungan dengan jalan nafas,
penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran
Penatalaksanaan/terapi
B. Pemeriksaan Fisik :
secara inspeksi wajah tampak tidak simetris
atau tidak proporsional
-
LeFort I :
Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4
6 minggu
LeFort II :
LeFort III :
Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan
intermaksilar, suspensi dari
sutura
zigometikum dan pemasangan kawat dari rim
orbita.