Sie sind auf Seite 1von 151

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Anatomi hidung
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagianbagiannya dari atas ke bawah:
Pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum
nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang
hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan
prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang
kartilagi nasalis lateralis superior, sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior dan disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan tepi kartilago septum.1,2,3,4

biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang


tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut maetus.
Tergantung dari letaknya ada tiga maetus yaitu maetus
inferior, medius dan superior. Pada maetus inferior
terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada maetus
media terletak muara sinus maksilaris, sinus frontal,
dan sinus etmoid anterior, pada maetus superior
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid.6
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,
tulang ini berlubang-lubang (kribrosa) tempat
masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sphenoid.3,4,6

Rangka Hidung 5
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3,4
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sabasea dan rambut yang
disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian
tulang adalah: lamina perpedinkularis os etmoid,
vomer, Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
dilapisi oleh mukosa hidung.4
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang
terbesar dan letaknya palinga bawah adalah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, konka superior dan konka suprema yang

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Dinding Lateral Rongga Hidung 5


Vaskularisasi Rongga hidung
Perdarahan rongga hidung bagian atas didapatkan
dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan
cabang dari a. oftalmika cabang dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan
dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya a.
palatina mayor. Bagian depan hidung mendapat
perdarahab dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior
dan a. palatine mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach yang letaknya superficial dan mudah
cedera oleh trauma.3,4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama


dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika
yang
berhubungan
dengan
sinus
kavernosus.4

Arteri yang Memperdarahi Rongga Hidung 5

Persarafan Rongga Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang
merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari
n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lain sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina
selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor/ otonom untuk
mukosa rongga hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari n. Maksilaris (N. V-2), serabut
parasimpatis dari n. Petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari n. Petrosus profundus.
Ganglion sfesnopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi
penghidu berasal dari n. Olfaktorius yang merupakan
serabut saraf yang turun melalui laninankribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di sepertiga atas hidung.4,6

Persarafan pada Rongga Hidung 3


Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan
teori fungsional fungsi fisiologis hidung adalah:4,6
- Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara,
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologis
lokal.
- Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa
olfaktorius dan reserfoir udara untuk menampung
stimulus penghidu.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,


membantu proses bicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang.
Fungsi refleks nasal, mukosa rongga hidung
merupakan reseptor yang berhubungan dengan
saluran pencernaan, kardiovaskuler dan pernafasan
melalui refleks bersin, sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu
rongga berisi udara disekitar rongga hidung yang
dibatasi oleh tulang wajah dan cranial. Memiliki
struktur tidak teratur, dan seperti halnya lapisan epitel
pada hidung, tuba eustachius, telinga tengah dan region
respiratorius dan faring, sinus paranasalis dilapisi
membrana
mukosa
dengan
lapisan
epitel
pseudostratified kolumnar bersilia (respiratory
epithelium), namun dengan karakteristik lebih tipis dan
kurang vaskularisasi bila dibandingkan dengan
membrana mukosa hidung. 3
Sinus paranalis pada keadaan normal berada
dalam keadaan steril, dimana proses sekresi dan
eliminasi berbagai kontaminan tergantung pada
aktivitas silia dan drainase mucus. Peradangan atau
kondisi alergi pada rongga hidung yang menyebabkan
kongesti vena atau limfatik, dapat mengakibatkan
kongesti sinus dan berpotensi untuk terjadinya
kegagalan drainase mucus.
Secara klasik, sinus
paranasalis dikelompokkan dalam 4 pasang sinus,
yaitu: sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus
maksilaris, sinus sfenoidalis. Berdasarkan kepentingan
klinis, sinus paranasalis dibagi dalam dua kelompok,
yaitu: kelompok depan meliputi sinus frontalis, sinus
maksilaris dan sinus etmoidalis anterior yang bermuara
di bawah konka media, serta kelompok belakang
meliputi sinus etmoidalis posterior dan sinus
sfenoidalis yang bermuara pada beberapa lokasi di atas
konka media.3,4
Perkembangan Sinus Paranasalis
Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis mulai
berkembang pada kehidupan 13-4 bulan dan mulai
dapat dikenali secara anatomis pada usia 6-12 bulan
kehidupan ekstra uterin. Sinus maksilaris mengawali
pneumatisasi pertama kali IMB kelahiran hingga 12
bulan, mulai membesar ke arah lateral sepanjang dasar
orbita pada usia 3 tahun. Dasar dari sinus maksilaris
akan mencapai ukuran dewasa pada usia pubertas.
Sinus etmoidalis juga telah terbentuk pada saat
kelahiran, tetapi tidak membesar hingga usia mencapai
3-7 tahun. Ukuran dewasa dan sinus etmoid dicapai
pada usia 12 hingga 14 tahun.3

Perkembangan Sinus Paranasalis3


Sinus sfenoid yang dimulai dan nasal cupola
belum mencapai ukuran lengkap sampai usia 4-5
tahun, pembentukan sfenoid baru sempurna pada masa
pubertas, dan memiliki derajat pneumatisasi yang
sangat bervariasi dan besar atau kecilnya sayap sfenoid
dan proses pterigoid. Sinus frontalis dibentuk paling
akhir, dan merupakan tipe sinus yang belum terbentuk
pada saat lahir. Sinus ini berkembang dari mukosa
nasal ke dalam resesus frontalis dan meatus media, dan
mencapai ukuran sempurna setelah usia pubertas.
Seperti juga sinus sfenoid, sinus frontalis juga
memiliki derajat penumatisasi yang bervariasi.
Perbedaan pada pembentukan sinus frontalis kiri dan
kanan sering ditemukan dan bersifat sangan
individual.3,4

sudut siku-siku dengan yang lainnya. Lempeng


vertikasl mempunyai bagian yang tebal di superior
disebut krista galli, di bagian bawahnya disebut
perpendicular os.etmoid dan merupakan bagian
dari septum nasi. Lempeng horizontal terdiri dari
lempeng tipis berlubang-lubang disebut lamina
kribriformis. Dinding luar dari sinus etmoidalis
adalah lamina papirasea os etmoid dan os
lakrimalis, yang merupakan lapisan tulang yang
tipis. Sinus etmoid dipisahkan dari orbita oleh
lapisan tulang tipis ini (lamina papirasea), dimana
keadaan tersebut menyebabkan suatu infeksi yang
mengenai tulang tersebut dapat dengan segera
mengenai rongga orbita dan menimbulkan
berbagai komplikasi.4
Sangat penting untuk mengetahui
bahwa sel-sel etmoid tidak selalu berkembang
secara terbatas dalam tulang etmoid, oleh karena
pada perkembangannya dapat menginvasi meatus
media membentuk concha bullosa, dimana pada
beberapa keadaan sel-sel bulla etmoid membesar
ke dalam perlekatan anterior meatus media,
menyebabkan variasi derajat pneumatisasi meatus
(konka
bullosa).
Pembesaran
meatus
mengakibatkan obstruksi ventilasi dari meatus
media dan sering menyebabkan lateralisasi
prosesus unsinatus mendekati infundibulum
etmoidalis. Dengan prinsip yang hampir sama, sel
dapat menginvasi dasar orbita bagian medial dan
dikenal sebagai ekstramural. Sel-sel tersebut
menempati bagian medial orbita inferior dan
biasanya
membentuk
dinding
medial
infundibulum etmoid, dimana hubungan tersebut
menyebabkan obstruksi sinus maksilaris dan sinus
etmoidalis anterior. Keberadaan sel Haller ini
seringkali berhubungan dengan penyakit sinus.6

Gambar Skematis Letak Sinus Paranasalis 3.


1.

2.

Sinus Frontalis
Sinus frontalis bervariasi dalam bentuk dan
ukuran dan terkadang berkembang tidak sempurna
dan asimteris tergantung derajat pneumatisasi dari
sinus frontalis. Ukuran rata-rata sinus ini adalah
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm
sedangkan kapsitas rata-rata 6-7 ml. Pada 10-12
% orang dewasa menunjukkan sinus rudimenter.
Sinus frontalis berhubungan dengan meatus media
melalui saluran duktus nasofrontalis yang berjalan
menuju muara frontoetmoidalis. 3,4,6
Sinus Etmoidalis
Sinus etmoidalis memilki bentuk dan ukuran
dan jumlah yang bervariasi terdiri dari suatu
kompleks honey comb dengan jumlah sel
antara 4 sampai 17, dan rata-rata berjumlah 9,
terletak lateral bagian atas rongga hidung pada
dinding medial tulang orbita. Sinus etmoidalis
biasanya terbagi menjadi 2 grup yaitu sel anterior
dan sel posterior. Tulang etmoid memiliki bagianbagian vertikal dan horizontal yang membentuk
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Sinus Etmoidalis Posterior


Sinus etmoidalis posterior adalah kumpulan
dari satu sampai lima sel-sel etmoid yang
drainasenya ke meatus superior dan suprema.
Terbentuk dari primary furrow kedua dan ketiga.
Sinus etmoidalis posterior di batasi anterior oleh
lamella basalis konka media dinding anterior sinus
sfenoid di posterior, lamina papirasea di lateral, di
medial oleh bagian vertikal konka superior dan
suprema beserta meatusnya, dan di superior di
batasi oleh atap etmoid. Pengetahuan anatomis
mengenai batas-batas sinus etmoidalis posterior
sangat penting bagi seorang ahli bedah untuk
menghindari komplikasi selama operasi. Sinus
etmoidalis posterior mempunyai kepentingan
dalam pembedahan karena kedekatannya dengan
basis cranii dan nervus optikus.4
Variasi anatomis sinus etmoidalis posterior
sangat penting untuk dipahami. Onodi meneliti
variabilitas anatomi sinus etmoidalis posterior, dan
ia menekankan hubungan sel paling posterior dari
etmoidalis posterior dengan nervus optikus. Ondi

mengemukakan ada 38 variasi pada hubungan


sinus etmoidalis posterior dengan nervus optikus,
dan dibagi menjadi 12 kelompok utama. Ia
menemukan bahwa sel paling posterior dari sinus
etmoidalis posterior pneumatisasinya sangat baik (
luas ), sehingga meluas ke posterior sepanjang
lamina anterior sinus sfenoid. Diseksi sinus
etmoidalis posterior dapat menyebabkan trauma
pada nervus optikus dan menyebabkan kebutaan,
terutama jika kurang mengetahui variasi
anatomisnya. Ahli bedah endoskopi yang modern
mulai menyebut variasi anatomis ini sebagai
Onodi Cell, tapi dapat juga dengan istilah
Sphenoetmoidal cell dipergunakan, dimana nama
ini lebih tepat untuk penamaan anatomisnya. Jika
sel sphenoetmoidal ini besar, kanalis karotikus
dapat menonjol (bulging) ke sinus etmoidalis
posterior.3,4
Onodi telah mencoba berkali-kali untuk
meyakinkan para ahli THT pada zamannya bahan
sinus sfenoid tidak selalu berada di belakang sinus
etmoidalis posterior. Ia menginginkan para ahli
bedah bahwa untuk mencapai sinus sfenoid, hanya
diperlukan diseksi sampai batas belakang sinus
etmoidalis posterior. Diseksi sinus etmoidalis
posterior arahnya harus inferomedial, bukan
superolateral, untuk menghindari trauma kranial
atau orbita.3,4
3.

Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris atau antrum highmore
terbesar
diantara sinus paranasalis lainnya.
Menurut Schiffer, ukuran rata-rata untuk bayi
adalah 7-8 x 4-6 x 3-4 mm, pada umur 18 tahun
adalah 31-32 x 18-20 x 19-20 mm, dan kapasitas
sinus ini hampir 15 ml. Antrum berhubungan
dengan meatus media melalui ostium maksilaris
dal lokasinya pada bagian atas depan dinding
medial sinus maksilaris premolar 2, molar 1, dan
molar 2.3
Sinus maksilaris biasanya hanya merupakan
satu ruang yang batas-batasannya antara lain
orbita di superior, bagian dental dan alveolar
maksila di inferior, prosesus zigomatikus di
lateral, dan sebuah dinding tulang tipis yang
memisahkan rongga tersebut dengan fossa
infratemporal dan pterygopalatina di posterior,
serta prosesus unsinatus, fontanel dan konka
inferior di medial.
Ostium sinus maksilaris
terletak di dalam 1/3 bagian paling posteroinferior
infundibulum (71,8%). 4,6
Pada atap sinus ini dijumpai atap dari nervus
infraorbital yang terletak pada alur tulang, nervus
ini dibatasi oleh membran mukosa atau oleh
tulang yang tipis dan akan terpotong waktu
kuretase dari operas sinus.3
Variasi anatomis tersering dari sinus
maksilaris adalah sel-sel etmoidalis infraorbital
atau disebut Hallers Cell. Haller, seorang ahli
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

anatomi pada abad 18, pertama kali menyatakan


sel etmoidal yang excavates os planum dan os
maksila, diluar berhubungan dengan kapsula
labirin etmoid. Selulae ini adalah selulae etmoid
yang mengalami pneumatisasi ke lantai orbita
sinus maksilaris, letaknya inferlateral dai bulla
etmoid,
dan
berhubungan
erat
dengan
infundibulum etmoid dan ostium sinus maksilaris.
Sel Haller ini dikatakan berasal dari etmoidalis
anterior (88%) dan etmoidalis posterior (12%).
Nama-nama lain untuk sel Haller ini antara lain
adalah sel maxillo-orbital, sel maxillo-etmoidal,
dan sel orbitoetmoidal. Tapi penamaan sel Haller
untuk sekarang dipakai sel etmoidalis infraorbital
. Istilah ini lebih tepat, berdasarkan lokasi dan asal
daris sel ini dan membedakannya dari sel
supraorbital dari resesus frontalis atau resesus
suprabullar.3,4
Variasi anatomis lainnya adalah hipoplasia
atau atelektasis sinus maksilaris. Pada variasi ini,
sinus maksilaris lebih kecil dan dikelilingi oleh
tulang maksila yang lebih tebal, prosesus
unsinatus juga mengalami hipoplasia dan terletak
pada
bagian
inferomedial
orbita;
jadi
infundibulum juga mengalami atelektasis.
Uncinektomi menjadi sulit pada pasien-pasien ini
karena lateral displacement dari struktur tersbut
darn risiko masuk orbita.4,6
4.

Sinus Sfenoidalis
Terletak di tengah di dalam tengkorak, sinus
sfenoid di batasi oleh beberapa struktur penting.
Lateral dari sinus terletak arteri karotis, nervus
optikus, sinus kavernosus, N II, IV, V, VI. Sinus
ini sebelum bayi berusia 3 bulan, ukurannya kecil
dan pertumbuhannya maksimal terjadi pada usia
12 15 tahun, pada usia 1 tahun bberukuran 2,5 x
2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun berukuran 15
x 12 x 10,5 mm. Sinus sfenoidalis memiliki
bentuk yang bervariasi, letaknya pada badan
tulang sfenoid dan berhubungan dengan tulang
hidung pada meatus superior dan sinus ini di bagi
menjadi beberapa bagian oleh septum intra sinus.

Potongan koronal dari Sinus Maksilaris 5

Nervus optikus terletak di atas permukaan lateral


superior sinus sfenoid dan arteri carotis dalam
kavernosus sinus terletak lateral, serta nervus
maksilaris (bagian dari N.V) pada bagian anterior
terletak inferolateral. Diseksi sinus sfenoid dapat
menyebabkan kerusakan dari arteri karotis dan nervus
optikus.3
Sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh
septum internus.
Struktur ini sangat bervariasi,
bentuknya dapat oblik dan bukan sagital. Septum yang
inkomplit juga sering terjadi. Manipulasi septum
sfenoid harus dilakukan dengan sangat hati-hati,
dimana septum intersinus diketahui menempel pada
midline, dekat atau pada kanalis karotikus. 3,4
Fisiologi Sinus Paranasal
Sinus paranasalis merupakan rongga berisi
udara yang dilapisi mukosa epitelium pseudostratified
bersilia diselingi sel-sel goblet. Silia tersebut menyapu
cairan mukus kearah ostia. Penyumbatan ostia sinus
akan mengakibatkan penimbunan mukus sehingga
terjadi penurunan oksigenasi rongga sinus dan tekanan
udara sinus.
Penurunan oksigenasi sinus akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri anaerob. Tekanan
pada rongga sinus yang menurun pada gilirannya akan
menimbulkan rasa nyeri daerah sinus terutama sinus
frontal dan sinus maksilaris. 3
Fisiologi dan fungsi sinus paranasal belum jelas
diketahui dan sampai sekarang masih tetap
diperdebatkan (Knops.dkk 1993), antara lain untuk:3,4

Menghasilkan dan membuang mukus

Mengatur tekanan intranasal

Resonansi suara

Memanaskan
danmelembabkan
udara
inspirasi

Bertindak sebagai shock absorben kepala


untuk melindungi organ-organ yang sensori.

Sebagai terminal insulator, menurut Proetz


untuk melindungi orrgan-organ yang sensitif
seperti mata, hipofise otak dan medula dan
perubahan-perubahan.

Suhu dalam rongga hidung

Membantu pertumbuhan dan bentuk muka

Mempertahankan keseimbangan kepala


Yang paling penting pada proses fisiologi ini adalah
hubungannya dengan peradangan mukosa sinus ialah
adanya : Silia, mukus, dan ventilasi hidung.3
Silia
Sel epitel dan sinus disukung oleh 50-300 silia
dengan ukuran panjang 6-8 microns dan diameter 2-3
microns. Berfungsi mendorong mukus kearah hidung
dengan efektif dan cepat, sedangkan pengembalian
silia gerakannya lambat. Selama pukulan efektif ujung
silia kontak dengan pinggir bawah lapisan gel.
Pengembaliannya menembus lapisan air (Watery sol
layer) dengan akibat debu dan partikel lain tertangkap
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

lapisan gel dan diangkut keluar sinus kearah


nasofaring, rata-rata frekuensi pukulan pada silia 14,5
Hz pukulan detik dan mucociliary clearance untuk
orang dewasa kira-kira 10 menit.3,4
Mukus
Merupakan hasil dari sekresi kelenjar di tunika
propria dan sel goblet, yang membentuk lapisan mukus
pada permukaan mukosa. Mukus terdiri dari 96% air,
1-2% garam organik dan 2,5 - 3% mucin. Fungsi
mukus
sebagai
pertahanan
tubuh,
bersifat
bakteriostatik karena mukuis mengandung lisosim
yang dapat menghancurkan bakteri. Arah dari aliran
mukus oleh gerakan silia merupakan arah dari drainase
normal dan dari dalam sinus menuju ke ostium.3,4

Epithelium Sinus Paranasal 3


Mucociliary blanket
Silia dan mukus merupakan selimut yang aktif dan
mantel ruang sinus dan nasal, juga merupakan
perangkat unsur yang baik.
Tidak semua silia
memukul dengan rate yang sama, tetapi bervariasi
dalam seluruh sinus, tiap segmen berbeda dalam
kecepatan memukulnya.3
Faktor Imunologis
Dalam mukus sinus nasal terdapat mekanisme
pertahanan imunologi yang penting:3,4
Ig A
Berperan dalam pertahanan pertama melawan
infeksi, disekresi dari plasma sel yang terdapat di
lamina propria yang kemudian di transport aktif
ke epitel glandular dan di simpan dalam mukus
blanket. Bekerja menghambat mikroorganisme di
permukaan sel.
Jadi mencegah pemasukan
kedalam jaringan tubuh.
Ig G
Bekerja mengatur pertahan tubuh bersama-sama
dengan Ig A. Jumlahnya lebih kecil ari Ig.
Lisosim
Enzim ini terdapat dalam sel dan sekresi sinus.
Dapat membunuh secara spesifik terhadap
polisakharida dan mukopeptida yang ditemukan
dalam dinding sel organisme grampositif.
Lactoferin

Diproduksi lokal, menghambat pertumbuhan


bakteri.
Nonspesifik immune faktor
Neutrofil, eosinofil, dan makrofag. 1,2,3
DAFTAR PUSTAKA

1. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the Nose and


Paranasal Sinuses dalam Bailey B.J. 2006.
Maxillary, Ethmoid and Sphenoid Sinises in: Atlas
of Head and Neck Surgery Otolaryngology.
Lippincott Raven Publisher. Philadelphia. New York.
Page 1480-1499
2. Lee KJ.Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery: McGraw Hill ; 2003. h.596-608.
3. Andrew, J.M., Ronald, G.A 2001. Sinus Anatomy
and Function. In: Head and Neck
SurgeryOtolaryngology. Third Edition. Edited by: Bailey
B.J. Lippincott-Raven Publisher. Washington
Square, Philadelphia. USA. 2001. page: 4313-421
4. Ballenger, J.J, Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi
Hidung dan Sinus Paranasalis Dalam Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher.
Edisi 13. Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian THTRSCM-FKUI. Binarupa Aksara, Jakarta. Indonesia.
1994. Hal: 1-27
5. Netter, Cinical Anatomy, 2005.
6.Graney, D.O., Baker, S.R. Anatomy. In: Head and
Neck Surgery Otolaryngology. Second Edition.
Edited by Cummings C.w. Mosby Year Book, Inc. St
Louis, Misouri. USA. 1993. page 627-639.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

RINOSINUSITIS
Latar Belakang
Sejak pertengahan tahun 1990-an, istilah
sinusitis diganti menjadi rinosinusitis. Menurut
American Academy of Otolaryngology Head & Neck
Surgery 1996 istilah sinusitis diganti dengan
rinosinusitis (RS) karena dianggap lebih akurat dengan
alasan:1,2
1). Secara embriologis mukosa sinus merupakan
lanjutan mukosa hidung
2). Sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
3). Gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia
dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.
Perkembangan penelitian mengenai patofisiologi,
penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan kelainan
pada sinus secara singkat dapat dilihat dalam dua
rekomendasi para ahli yang dilakukan di Amerika
Serikat dan Eropa. Para ahli di Amerika Serikat,
melalui rekomendasi Rhinosinusitis Task Force
(RSTF) pada tahun 1996, merekomendasikan bahwa
rinosinusistis didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
durasi gejala, pemeriksaan fisis, nasoendoskopi dan
tomografi komputer.3
Namun demikian, gejala dan tanda klinis pada
semua penderita inflamasi kronik pada sinus tampak
tumpang tindih, baik pada penderita yang disertai polip
hidung atau tanpa polip hidung. Para ahli di Eropa,
melalui rekomendasi European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) menegaskan
bahwa perbedaan antara penderita polip hidung dan
rinosinusitis kronik harus berdasarkan pemeriksaan
nasoendoskopi.
Selain
itu,
rekomendasi
ini
menegaskan bahwa polip hidung merupakan
subkelainan dari rinosinusitis kronik.4
Bila
mengenai
beberapa
sinus
disebut
multisinusitis dan bila mengenai seluruh sinus
paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering
terkena, kemudian sinus etmoid, sinus frontal dan sinus
sfenoid. Penyakit ini berasal dari perluasan infeksi
hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat
juga terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam. Ikut berperan pula beberapa
faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara
sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya
sinusitis seperti deviasi septum,hipertropi konka,
massa di dalam rongga hidung dan alergi.5,6
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan
kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter
umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki
pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan
metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke
orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi
yang tak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan
dini terhadap rinosinusitis ini sangat penting. Awalnya
diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya


polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.7
Definisi
Rinosinusitis adalah semua peradangan mukosa
sinus paranasal. Rinosinusitis adalah semua
keradangan yang terjadi secara bersamaan pada rongga
hidung dan sinus paranasal.1,2,8,9,10
Rinosinusitis
(termasuk
polip
hidung)
didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih
gejala,
salah
satunya
termasuk
hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/posterior):11
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
Dan salah satu dari temuan nasoendoskopi; polip
dan/atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan
atau edema/obstruksi mukosa di meatus medius
dan/atau gambaran tomografi komputer; perubahan
mukosa di kompleks ostiomeatal dan/atau sinus.
Klasifikasi
Menurut The Rhinosinusitis Task Force (RSTF):1,2
1. RS akut
: 4 minggu
2. RS subakut
: > 4-12 minggu
3. RS kronik
: > 12 minggu
4. RS akut rekuren
: 4 episode per tahun; tiap
episode 7-10 hari resolusi komplit di antara
episode
5. RS kronik eksaserbasi akut : perburukan gejala
tiba-tiba dari RS kronik dengan kekambuhan
berulang setelah pengobatan
American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology; American Academy of Otolaryngic
Allergy; American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery; American College of Allergy,
Asthma and Immunology; and American Rhinologic
Society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari
RS kronik adalah:1,2,12
1. RS kronik dengan polip, ditandai dengan mukosa
polipoid dengan edema, infiltrasi eosinofil.
Limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel
yang disebabkan oleh produk-produk aktivasi sel
eosinofil. Tipe ini berhubungan dengan
meningkatnya prevalensi polip hidung dan juga
berhubungan dengan lebih luasnya gambaran
patologis kelainan sinus pada tomografi
komputer.
2. RS kronik tanpa polip, yaitu bentuk RS kronik
yang tidak disertai oleh tanda-tanda tersebut di
atas, namun ditandai oleh hiperplasia kelenjar
seromukosa submukosa yang jelas.
Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur
dikategorikan ke dalam 4 grup:1,2

1.
2.
3.
4.

Fungus ball
Allergic fungal rhinosinusitis
Acute invasive fungal rhinosinusitis
Chronic granulomatous fungal rhinosinusitis

Sinusitis paranasal diklasifikasikan berdasarkan lima


hal, yaitu: 8
Gambaran klinis : akut, sub akut, kronis
Lokasi
: sinus etmoid, sinus
maksila, sinus frontal, sinus sfenoid
Organisme penyebab : virus, bakteri, jamur.
Komplikasi
: tanpa komplikasi, dengan
komplikasi.
Faktor pemberat
: atopi,
imunosupresi, obstruksi ostiomeatal.
Epidemiologi
Insiden rinosinusistis akut dan kronis terus
meningkat, diperkirakan sekitar 10 - 15 % terjadi pada
populasi di Eropa Tengah setiap tahunnya. Di Amerika
Serikat terdapat 30 juta kasus rinosinusitis akut
bakterial setiap tahunnya, di negara ini jumlah
penderita sinusitis akut yang berobat ke dokter adalah
0,5 2,0 % pada dewasa dan 5 10 % pada anak dari
semua penyakit infeksi saluran napas atas.13
Data dari Divisi Rinologi Departemen THT
RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah
pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69%nya adalah sinusitis.10
Survei pendahuluan di bagian Rinologi-alergi Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok (THT)
Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) didapatkan angka
kunjungan penderita rinosinusitis akut periode JanuariDesember 2009 tercatat 260 kasus, terdiri dari 121
laki-laki dan 139 perempuan.14
Etiologi dan Predisposisi
A. Etiologi 1,2,9,10
Infeksi hidung. Mukosa sinus adalah lanjutan
dari mukosa hidung, sehingga infeksi dari
hidung dapat menjalar secara langsung
maupun melalui limfatik submukosa.
Penyebab terbanyak adalah rhinitis viral,
diikuti invasi bakteri.
Berenang dan menyelam. Air yang terinfeksi
dapat masuk ke sinus melalui ostium. Gas
klorin berkadar tinggi dalam kolam renang
juga dapat memicu inflamasi oleh zat kimia.
Trauma. Fraktur atau luka tusuk pada sinus
frontal, maksila dan etmoid dapat menjadi
infeksi pada mukosa. Sama seperti
barotraumas yang diikuti oleh infeksi.
Infeksi gigi. Penyebab utama sinsusitis
maksilaris. Infeksi dari gigi molar atau
premolar.
B. Predisposisi1,2,9,10
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Obstruksi ventilasi dan drenase sinus. Secara


normal, sinus memiliki ventilasi yang baik
dengan jumlah sekret mukus yang sedikit
yang mengikuti gerakan silia, menuju ostium
sinus dan dikeluarkan ke kavum nasi.
Beberapa faktor dapat menyebabkan stasis
sekresi sinus, yaitu:
Tampon hidung
Deviasi septum
Hipertrofi konka
Edema ostium sinus karena rinitis alergi atau
vasomotor
Polip nasi
Struktur abnormal pada rongga etmoid
Neoplasma
Stasis sekresi dalam kavum nasi. Normalnya,
sekresi hidung mungkin tidak masuk ke
nasofaring karena kekentalannya (fibrosis
kistik) dan obstruksi (hipertrofi adenoid dan
atresia koanal.
Serangan sinusitis sebelumnya. Pertahanan
local mukosa sinus mengalami kerusakan.
Lingkungan. Udara dingin dan kering,
lingkungan
berpolusi,
dan
kebiasaan
merokok.
Daya tahan tubuh menurun. Adanya defisiensi
nutrisi dan kelainan sistemik (diabetes,
sindrom defisiensi imun), serta perubahan
hormonal (kehamilan).
Bakteriologi. RS bakterial akut secara tipikal
berawal dari infeksi viral pada saluran napas
atas yang berlanjut lebih dari 10 hari. Dalam
beberapa kasus, RS bakterial sekunder bisa
jadi akibat sumbatan ostium karena edema
mukosa dan kerusakan silia. Akhirnya, terjadi
stasis mukus dan menjadi media pertumbuhan
kuman. Bakteri yang paling banyak
menyebabkan RS akut di antaranya
Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, dan Moraxella catarrhalis.

Genetik/psikologik

Lingkungan

Struktural

Hiperaktif jalan
napas

Alergi

Deviasi septum

Imunodefisiensi

Merokok

Chonca bullosa

Sensitif aspirin

Polusi

Paradoxic middle
turbinate

Disfungsi silia

Virus

Haller cells

Fibrosis kistik

Bakteri

Frontal cells

Penyakit autoimun

Jamur

Skar

Kelainan
granulomatosa

Stres

Inflamasi tulang
Anomali
kraniofasial
Benda asing
Infeksi gigi
Trauma mekanik
Barotrauma

Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna


coklat kehitaman dan kotor dengan/tanpa pus.

Etiologi rinosinusitis16
Patofisiologi1,11,12
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostiumostiumnya dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam
KOM. Mukus mengandung substansi antimikrobial
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk saat inspirasi.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya
berdekatan sehingga bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif dalam sinus, menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini dianggap
sebagai rinosinusitis non-bakterial, biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik pertumbuhan kuman. Sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena
ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan tumbuh bakteri anaerob. Mukosa makin
membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi
kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tidakan
operasi.
Sinusitis Jamur1,2,10,16
1. Sinusitis jamur invasif
Terjadi pada pasien diabetes dan pasien
imunosupresi.
Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan
Rhizopus
Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi
jamur ke jaringan dan pembuluh darah.
Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman
disertai septum yang nekrotik.
Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi
sampai ke orbita atau intrakranial.
2. Fungus ball
Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga
sinus membentuk suatu massa, tanpa invasi ke
dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang,
sering mengenai sinus maksila.
Jamur patogen: Aspergillus
Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik
(rinore purulen, post nasal drip, halitosis)
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Gambaran
endoskopi sinusitis jamur15
3.

Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)


Jamur dapat menstimulasi respon imun mukosa
sinonasal, menyebabkan sinusitis alergi jamur.
Secara tipikal, mukosa polipoid terlihat di
bagian anterior membentuk suatu massa
yang terdiri dari musin, materi jamur, kristal
Charcot-Leyden dan eosinofil.
Penebalan mukosa dan bony remodeling adalah
tanda khas dari proses ini.

Diagnosis
Anamnesis
Gejala Mayor

Nyeri/rasa tertekan di wajah


Rasa penuh di wajah
Hidung tersumbat
Hidung
berair/bernanah/perubahan
warna ingus
Penurunan/berkurangnya
penghidu
Nanah dalam rongga hidung
Demam (hanya RS akut)

Gejala Minor

Nyeri
kepala
Demam
(pada
RS
kronik)
Bau
mulut
Mudah
lelah
Sakit gigi
Batuk
Nyeri/ras
a tertekan/rasa
penuh
di
telinga

Gejala rinosinusitis.1,2
Kriteria diagnosis:1
Dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor
dan dua gejala minor (sangat mendukung riwayat
rinosinusitis)
Adanya nyeri wajah saja tapi tidak disertai gejala
mayor hidung atau lainnya (tidak mendukung
riwayat rinosinusitis)
Adanya demam saja tapi tidak disertai gejala mayor
hidung atau lainnya (tidak mendukung riwayat
rinosinusitis).

Beratnya penyakit11
Penyakit ini dibagi menjadi ringan, sedang, dan
berat berdasarkan skor total Visual Analog Scale (VAS)
0-10 cm; ringan = 0-3 cm, sedang = >3-7 cm, berat =
>7-10 cm.
Untuk evaluasi nilai total pasien, diminta untuk
menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan:
berapa besar dari gejala rinosinusitis saudara?

Visual analog pain scale3


Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20) merupakan
kuisioner untuk menilai derajat beratnya gejala RS
kronik yang diisi oleh penderita, yang terdiri atas 20
pertanyaan gejala RS. Setiap pertanyaan diberi nilai.17
Skor 1 bila tidak didapatkan gangguan
Skor 2 bila didapatkan gangguan ringan
Skor 3 bila keluhan dirasakan cukup mengganggu
Skor 4 bila keluhan dirasakan sangat mengganggu
Skor 5 bila keluhan dirasakan mengganggu sangat
ekstrim
Tingkat skor SNOT secara keseluruhan dinilai
berdasarkan dari total skor.
Lamanya penyakit11
Akut
: < 12 minggu, resolusi komplit
gejala
Kronik
: > 12 minggu, tanpa resolusi gejala
komplit, termasuk kronik eksaserbasi akut.
1. Rinosinusitis Akut
Diagnosis RS bakterial akut dibuat bila
infeksi virus pada saluran napas atas tidak teratasi
dalam 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.
Gejala berat secara tidak langsung menimbulkan
komplikasi di kemudian hari, dan pasien tentunya
tidak menunggu 5-7 hari sebelum mendapat
pengobatan.1,2
Gejala kurang dari 12 minggu11
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala,
salah
satu
termasuk
hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret
hidung anterior/posterior):
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
Dengan interval bebas gejala bila terjadi
rekurensi
Dengan validasi per-telepon atau anamnesis
tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer
seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

2. Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip


Gejala tersering dari RS kronik adalah hidung
berair, hidung tersumbat, rasa penuh di wajah, dan
nyeri/rasa tertekan di wajah. Pasien RS dengan
polip lebih sering mengeluh hiposmia dan sedikit
nyeri/rasa tertekan di wajah daripada pasien RS
tanpa kronik. Pasien RS kronik tanpa polip juga
lebih sering terinfeksi bakteri dan membaik setelah
diobati.2
Gejala lebih dari 12 minggu11
Dua atau lebih gejala, salah satu termasuk
hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/posterior):
nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
penurunan/hilangnya penghidu
Dengan validasi per-telepon atau anamnesis
tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer
seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.
Pada anak-anak harus ditanyakan faktor
predisposisi lain seperti defisiensi imun dan GERD.
Pemeriksaan Fisik11
Pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus)
Pemeriksaan mulut (post nasal drip)
Singkirkan infeksi gigi
Evaluasi Endoskpoik11
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi:
RS kronik tanpa polip. Tidak terlihat adanya
polip di meatus medius, jika diperlukan setelah
pemberian dekongestan (definisi ini menerima
bahwa terdapat spektrum dari RS kronik
termasuk perubahan polipoid pada sinus/dan
atau meatus medius tetapi menyingkirkan
penyakit polipoid yang terdapat pada rongga
hidung untuk menghindari tumpang tindih).
RS kronik dengan polip. Polip bilateral yang
terlihat dari meatus medius.
Melakukan
evaluasi
diagnosis
dan
penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan
primer
Mengisi kuisioner untuk alergi, jika positif
dilakukan tes alergi bila belum dilakukan

Polip kecil yang terlihat pada meatus medius


kiri16

Ditanyakan apakah ada sumbatan hidung


unilateral, epistaksis, gangguan visus, dan
defisit neurologis. Perlu dilakukan endoskopi
nasal dan pencitraan CT scan.

Sekret purulen pada meatus medius kiri17


Pencitraan11
Foto polos sinus paranasal tidak
direkomendasikan. Tomografi komputer juga
tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:
Penyakit sangat berat
Pasien dengan penurunan imunitas
Tanda komplikasi
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan mikrobiologik dan kultur
resistensi dilakukan dengan mengambil sekret
dari meatus media/superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat. Lebih baik lagi bila
diambil sekret dari sinus maksila.10
Jika curiga adanya sinusistis jamur, dapat
dilakukan kultur aspirasi secara endoskopi
dengan pewarnaan jamur. Jika hasilnya negatif
dan gejala klinik mendukung ke arah sinusitis
jamur, dapat dilakukan biopsi dengan potong
beku.18

Diagnosis Banding2
Rinitis Viral (Common Cold).
Common cold/RS viral akut didefinisikan
sebagai lamanya gejala < 10 hari. RS non-viral
akut didefinisikan sebagai perburukan gejala
setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10
hari dengan lama sakit < 12 minggu.
Nyeri Temporomandibular Joint (TMJ).
Sering pasien menunjukkan mimik seperti
gejala sinusitis. Nyeri TMJ sering ditemukan
dan kualitas nyerinya juga berbeda-beda.
Penting pada palpasi TMJ ditemukan nyeri
tekan dan klik.2
Nyeri Kepala dan Migrain.
Migrain ditandai dengan nyeri kepala
berdenyut, unilateral, sekitar 4-72 jam. Migrain
dapat terjadi dengan atau tanpa gejala
neurologis, seperti gangguan visus atau
kelumpuhan. Adanya aura, gejala singkat, dan
respon terhadap pemberian obat seperti alkaloid
ergot.
Nyeri trigeminal.
Neuralgia trigeminal jarang terjadi, tapi
menyebabkan serangan hebat di sepanjang
nervus trigeminal.
Neoplasma Sinus.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Medikamentosa
A. Rinosinusitis Akut
Tujuan terapi adalah eradikasi bakteri
patoetiologi sehingga klirens mukosiliar menjadi
normal kembali, meredakan gejala lebih cepat dan
mencegah komplikasi sekunder.1
Terapi empirik antibiotik harus berdasarkan
kuman patogen (S. pneumoniae, H. influenzae dan
M. catarrhalis) dan juga pola resisten dari
pathogen yang dicurigai. Kira-kira 25% S.
pneumoniae tidak sensitif penisilin disebabkan
perubahan penicillin-binding proteins, dan resisten
makrolid
dan
trimetofin/sulfametoksazol
(TMP/SMX). Hampir semua kuman M.
catarrhalis (90%) dan H. influenza menghasilkan
beta-lactamase yang diinaktifkan oleh antibiotik
beta-lactamase.1,2
Pemilihan AB tergantung beratnya penyakit
dan riwayat pemakaian AB dalam 4-6 minggu:1,2
Ringan dan tidak ada riwayat pemakaian AB.
Direkomendasikan amoksisilin klavulanat
(1,75-4 gr/250 mg/hari atau 45-90 mg/6,4
mg/kg/hari untuk anak), amoksisilin (1,5-4
g/hari atau 45-90 mg/kg/hari untuk anak),
atau cefpodoksim, cefurosim, atau cefdinir.
Untuk dewasa yang alergi beta-lactamase
diberikan TMP/SMX, doksisiklin atau
makrolid, sedangkan anak yang alergi betalactamase diberikan TMP/SMX atau makrolid
(azitromisin, klaritromisin dan eritromisin).
Sedang dan ada riwayat pemakaian AB.
Direkomendasikan respiratory quinolone
(gatifloksasin,
levofloksasin
atau
moksifloksasin),
amoksisilin/klavulanat,
ceftriakson dan terapi kombinasi.
Dewasa yang alergi beta-lactamase diberikan
respiratory quinolone atau klindamisin dan
rifampin, sedangkan untuk anak diberikan
TMP/SMX, makrolid atau klindamisin.
Bila dalam 72 jam tidak ada perbaikan dan
terjadi perburukan gejala, pasien harus direvaluasi.
Terapi tambahan meliputi cuci hidung hidung dan
irigasi,
analgesik
(ibuprofen,
asetaminofen),mukolitik
(guaifenesin)
dan
dekongestan oral (pseudoefedrin).1,8
B. Rinosinusitis Kronik
Pemberian AB pada RS kronik adalah
kontroversi bila penyebab dasarnya belum
diketahui.1
Pilihan terapi meliputi:1,2
Antimikroba. Idealnya pilihan AB berdasarkan
kultur secara endoskopik, tetapi bila ini tidak

dapat dilakukan, dapat diberikan AB empirik


(paling sedikit 3-6 minggu), misalnya
amoksisilin/klavulanat, respiratory quinolone,
klaritromisin, sefalosporin generasi kedua
(sefuroksim, sefpodoksim, sefdinir) dan
doksisiklin.
Kortikosteroid. Steroid nasal topikal adalah
yang paling sering diberikan. Steroid sistemik
juga dapat diberikan, khususnya untuk pasien
RS kronik dengan polip.
Terapi tambahan. Irigasi nasal dan mukolitik
(guaifenesin).
Penatalaksanaan alergi. Dilakukan pada pasien
dengan riwayat alergi, dengan cara kontrol
lingkungan, steroid topikal dan imunoterapi,
sehingga dapat mencegah rinitis eksaserbasi
serta progesifitas dari sinusitis.
AB
oral

M.
catar
rhalis

S.
au
reu
s

RS
kro
nik
An
aer
ob
es

RS
ak
ut
H.
infl
ue
nz
ae
0

0
+
+

0
+
+

+
+

0
0
0

3080%

+>
90
%

S.
pneu
moni
ae
Penisi
lin/am
oksisil
in
Sefalo
sporin
Gen. I
Gen.
II
Gen.
III
Amok
sisilin/
klavul
anat
Makro
lid
Klind
amisin
Imipe
nem*/
Merop
enem*
TMP/
SMX
Quino
lon
(lama)
atau
amino
glikos
id
Quino
lon
(terbar
u)
Aktivi
tas 0
<30%

Enteric

Tingkat efisiensi antibiotik oral2


Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Penatalaksanaan sinusitis jamur meliputi:1,2,10


1. Sinusitis jamur invasif
Debridemen (bila perlu termasuk kavum
orbita)
Terapi antifungal secara intavena
Stabilisasi
penyakit
immunocompromised
Stabilasi penyakit diabetes
2. Fungal ball. Dilakukan ekstirpasi komplit
dari massa jamur.
3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)
Pembedahan primer diikuti pemberian
steroid nasal topikal pasca operasi
Imunoterapi dan steroid sistemik (bila
perlu) untuk mengurangi rekurensi
Antifungal topikal juga dapat diberikan
Pembedahan
Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6
minggu (AB, steroid nasal dan steroid sistemik),
selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan
sumbatan KOM, dengan panduan CT scan atau
endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip
sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.2
A. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
FESS adalah tindakan pembedahan pada
rongga hidung dan atau sekitarnya dengan bantuan
endoskop fiber optik.8
Indikasi pendekatan endoskopi sama dengan
pendekatan intranasal dan eksternal yang lain dan
secara umum meliputi :2,8
Sinusitis akut rekuren
Sinusitis kronis
Sinusitis karena jamur alergi
Rinosinusitis hipertrofi kronis (polip)
Polip antrokoanal
Mukokel di dalam sinus
Keberhasilan FESS sangat bergantung pada
perawatan pasca operasi, yaitu endoskopi nasal
serial(dengan debridement), kultur dan resistensi
kuman (pemilihan AB) dan terapi lain (steroid
nasal topikal dan steroid sistemik. Perbaikan
gejala setelah terapi FESS adalah lebih dari
90%.1,2
Komplikasinya meliputi:2
Trauma pada dinding medial orbita
Hematom dan perdarahan yang dapat menekan
nervus optikus dan menyebabkan kebutaan
Kerusakan
lapisan
kribifrom
sehingga
menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal
Herniasi komponen otak
Meningitis

Perdarahan intrakranial

Dilakukan pengulangan antrostomi


apabila diperlukan.
Apabila tidak ada indikasi antrostomi
ulang, pasien dikontrol di klinik satu
minggu setelah tindakan, untuk
menilai keberhasilan terapi.
2.

Pengukuran jarak dari nares anterior ke berbagai


area di sekitar hidung16

Perawatan pasca bedah:8


1.
Penderita apabila perlu di rawat inap,
misalnya operasi dengan anestesi umum.
2. Antibiotik
3. Penatalaksanaan komplikasi.
4. Follow-up
Pengangkatan tampon.
Penilaian keberhasilan pengobatan.
B. Prosedur Terbuka
1. Antrostomi2,8
Antrostomi adalah tindakan pembedahan
membuat lubang ke sinus maksilaris dengan
menembus dinding medialnya pada meatus
inferior untuk mengeluarkan pus dan
memperbaiki drainase.
Indikasi operasi adalah sinusitis maksilaris
sebagai upaya memfasilitasi pengeluaran pus
dan atau memperbaiki drainase.
Komplikasi
Cedera orbita : hematom orbita, diplopia,
kebutaan
Emboli udara
Insersi trokar lebih didepan dari dinding
depan antrum dan selanjutnya ke jaringan
lunak yang dapat mengakibatkan emfisema
subkutan
Perdarahan
Perlukaan
saluran
dan
kantong
nasolakrimal
Mati rasa
Parestesi
Trauma gigi
Perawatan pasca bedah, meliputi:
1. Penderita apabila perlu di rawat inap,
misalnya antrostomi dengan anestesi
umum.
2. Antibiotik
3. Penatalaksanaan komplikasi
4. Follow-up

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Antrotomi Caldwell-Luc8
Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan
pembedahan membuka dinding depan sinus
maksilaris, mengeluarkan pus maupun jaringan
patologis.
Indikasi operasi:
Tumor jinak
Empiema kronis yang resisten dengan
pengobatan konservatif
Fraktur komplikata maksila
Eksplorasi
Komplikasi
Kerusakan saraf infraorbita
Kerusakan akar gigi
Kerusakan dasar orbita
Hipestesi atau parestesi pipi
Kerusakan bola mata
Emfisema subkutan
Kerusakan saraf alveol superior dan soket
gigi
Edem berkepanjangan
Infeksi
Perdarahan
Pembengkakan wajah
Fistula oroantral
Perawatan pasca bedah
1. Penderita di rawat inap.
2. Antibiotik
3. Penatalaksanaan komplikasi
4. Follow-up
Pengangkatan tampon
Penilaian keberhasilan pengobatan

RujTiABBerTStSeGeCoOnKePerPengobat
e derjmasuakbedr+almonotskaigaisdnkant ec or al dni d
Skema penatalaksanaan RS akut pada dewasa
untuk pelayanan kesehatan primer11
Komplikasi
Disebut komplikasi bila infeksi sudah menembus
dinding sinus ke organ sekitar, meliputi:11
a. Lokal
: mukokel, kista retensi mukus,
osteomielitis (tulang frontal dan maksila)
b. Orbital
c. Intrakranial
d. Descending infection: otitis media akut atau kronik,
faringitis dan tonsillitis, laryngitis persisten dan
trakeobronkitis
e. Fokal infeksi.
Selulitis
preseptal

Selulitis
orbital

Abses
subperiosteal
Abses orbital

Temuan klinis
Bengkak
kelopak mata,
otot
ekstraokular
intak, visus
normal
Edema orbita
lebih difus,
kerusakan otot
ekstraokular,
biasanya visus
normal
Proptosis,
kerusakan otot
ekstraokular
Exoftalmos
berat, kemosis,
oftalmoplegi

Penatalaksanaan
Medikamentosa
(jarang,
drainase abses
sekunder)
Medikamentosa
(drainase sinus)

Medikamentosa
, drainase sinus,
drainase abses
Medikamentosa
, drainase sinus
(sering),

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

berat,
drainase abses
gannguan visus
Tromboflebitis Nyeri orbita
Medikamentosa
sinus
bilateral,
, drainase sinus
kavernosus
kemosis,
(sering),
proptosis,
antikoagulan
oftalmoplegia
Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada
aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi
sinus terbuka, tergantung keparahan gejala,
pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan
kultur untuk terapi AB.
Komplikasi orbita dari sinusitis16
Asal

Proses penyakit
dan
penatalaksanaan
Meningitis
Sinus etmoid,
Komplikasi
sinus sfenoid
paling sering,
medikamentosa
Abses
Sinus frontal
Medikamentosa,
epidural
drainase sinus dan
abses (kadangkadang)
Abses
Sinus frontal
Morbiditas dan
subdural
mortalitas tinggi
neurologik,
medikamentosa
agresif (steroid
dan
antikonvulsan),
drainase sinus dan
abses (kadangkadang)
Abses
Sinus frontal
Morbiditas dan
intraserebral
(jarang; sinus
mortalitas tinggi
etmoid dan
neurologik,
sinus sfenoid
biasanya gejala
tidak tampak,
medikamentosa
agresif (steroid
dan
antikonvulsan),
drainase sinus dan
abses (sering)
Tromboflebitis Sinus frontal
Morbiditas dan
vena
mortalitas tinggi
neurologik,
medikamentosa
agresif (steroid
dan
antikonvulsan),
antikoagulan
(kontroversi),
drainase sinus dan
abses (sering)
Paling banyak pasien dengan komplikasi intrakranial

memiliki pansinusitis unilateral atau bilateral

8.

Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung


Tenggorok Bedah Kepala Leher. Buku Acuan
Modul Sinus Paranasal. 2008.

9.

Dhingra PL, Disease of Ear, nose and Throat.


Fourth Edition. New Delhi; 2009; p. 178-191.

Komplikasi intrakranial dari sinusitis16


Prognosis2
Prognosis RS akut adalah sangat baik, kira-kira
70% pasien sembuh tanpa pengobatan. Antibiotik
hanya diperlukan bila ada gejala. RS kronik memiliki
masalah yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah
struktur anatomi yang perlu dikoreksi, maka prognosis
menjadi lebih baik. Lebih dari 90% pasien mengalami
perbaikan dengan intervensi bedah. Bagaimana pun,
penyakit ini sering kambuh, sehingga tindakan
preventif adalah hal yang sangat penting.

10. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti, Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi keenam. FKUI. Jakarta;
2010.
11. Fokkens W, Buku Saku European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyp 2007.
12. Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D.
polipoid Mucosa with Eosinophilia and glandular
hyperplasia in Chronic Sinusitis. Laryngoscope;
2002; p 112.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Lee K.J. Essensial Otolaryngology Head & Neck


Surgery. Ninth Edition. Mc Graw Hill Medical.
New York; 2008; p. 383-392.

13. King HC, Antimicrobial treatment guidelines for


acute bacterial rhinosinusitis. Sinus and allergy
Health partnership. Otolaryngology Head-Neck
Surgery. 2000; 123: 5 31.

2.

Lalwani K Anil. Current Diagnosis & Treatment


Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second
Edition. Mc Graw Hill Lange. New York; 2008;
p. 273-281.

14. Bagja P, Pengaruh Larutan Pencuci Hidung Air


Laut Fisiologis Terhadap Transpor Mukosiliar
Hidung pada Penderita Rinosinusitis Akut. Tesis.
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. Bandung; 2010.

3.

Benninger M, Ferguson B, Hadley J. Adult


Chronic Rhinosinusitis Head and Neck Surgery;
2003; p. 129.

15. Dhillon RS, An Illustrated Color Text Ear, Nose,


Throat, Head and Neck Surgery. Second Edition.
London; 2000.

4.

Sukgi S, Choi, Kenneth M, Grundfast.


Complication in sinus diseases. Diseases of
sinuses diagnosis and management; 2001;169176.

16. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis


Current Concept and Management. In : Bailey ed.
Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Second
Edition.
Philadelphia.
Lippincot-Raven
Publisher;2006; p. 441-445.

5.

Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and


Phisiology of The Nose and Accessory Sinuses in
Diseases of the Nose, Throat, Ear,Head and Neck.
13th ed. Philadelphia; 2003; p. 1 25.

6.

Blumenthal MN. Alergic Conditions in


Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies LR Jr.
Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of
Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia; 2004; p.195
205.

7.

Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. FKUI. Jakarta; 2007.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

17. Piccirillo JF, Merrit MG, Richards ML.


Psycometric and Clinimetric Validity of the 20item Sino-nasal Outcome Test (SNOT-20).
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2002.

3.3

RINITIS ALERGI
sedang berat tergantung dari gejala dan kualitas
hidup.
Rinitis alergi (RA) adalah suatu proses inflamasi
yang diperantarai oleh IgE setelah pajanan allergen
pada mukosa hidung yang menyebabkan adanya gejala
Upaya menghindari alergen penyebab bukan sesuatu
hidung tersumbat, beringus dan bersin.1-2 Walaupun
yang mudah dilaksanakan, mengingat alergen hirup
penyakit ini tidak bersifat fatal dan sering dianggap
utama rhinitis alergi ialah debu rumah dan tungau debu
tidak serius, namun pada keadaan tertentu dapat
rumah yang setiap saat tetap ada di sekitar penderita.
menyebabkan masalah dalam gangguan kualitas hidup
Penatalaksanaan rinitis alergi atas rekomendasi ARIAberupa gangguan belajar disekolah, bekerja, gangguan
WHO 2001 ini merupakan strategi yang
prestasi kerja, gannguan saat tidur dan bersantai.
mengkombinasikan pengobatan penyakit saluran nafas
Akibat tidur yang terganggu penderita sering merasa
atas dan bawah dari sudut manfaat dan keamanan yaitu
letih dan lesu di siang hari, sulit berkonsentrasi, sakit
penghindaran allergen, pengobatan medikamentosa,
kepala bahkan harus membawa saputangan atau tissue
imunoterapi spesifik, edukasi, dan tindakan bedah
kemana-mana untuk membersihkan hidung sehingga
dilakukan sebagai tindakan tambahan beberapa
terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang
penderita yang sangat selektif.3
akibatnya dapat menyebabkan rasa frustasi, lekas
marah, rasa rendah diri dan depresi.1
Rinitis alergi mempunyai komorbiditas dan
Definisi
komplikasi seperti asma, sinusitis, otitis media, polip
Rinitis alergi (RA) adalah suatu gangguan fungsi
hidung, infeksi saluran nafas bawah yang dapat saling
hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui
memperburuk gejala dgn akibat pengobatan menjadi
inflamasi mukosa hidung dengan diperantai IgE.
lama dan mahal.1
Gejala utamanya adalah hidung tersumbat, beringus,
Prevalensi rinitis Alergi cukup tinggi (10-25%)
bersin-bersin, yang dapat sembuh spontan dengan atau
maka rinitis alergi merupakan masalah kesehatan dunia
tanpa pengobatan.1-2
yang harus mendapat perhatian. Apalagi prevalensi
Gejala lainnya dapat berupa rasa gatal di palatum,
rinitis meningkat pada dekade terakhir ini.1
kulit, mata dan paru-paru sebagai akibat reaksi
Berdasarkan penelitian pada penduduk amerika tahun
hipersensitiv pada organ tersebut. Sebagai akibatnya
1997 kasus rinitis terbanyak pada kelompok usia 18-34
rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan kualitas
tahun (40,1%), selanjutnya pada usia 35-49 tahun
hidup melalui timbulnya rasa lelah, sakit kepala dan
(43,4%).3 Sedangkan di Indonesia belum ada angka
kelemahan kognitif. Akibat lebih lanjut dapat
yang pasti walaupun di Jakarta dilaporkan disatu desa
menyebabkan
gangguan kualitas hidup berupa
sekitar Jakarta pada kelompok usia kurang dari 14 thn
gangguan belajar di sekolah, bekerja, gangguan
rinitis alergi sebanyak 10,2%. 4 Sedangkan di Bandung
bersantai dan gangguan tidur.1
prevalensi rinitis Alergi perennial pada usia 10 tahun
ditemukan cukup tinggi (5,8%).4 Data tersebut
Klasifikasi
menunjukan tingginya angka insiden rinitis alergi pada
Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2001
usia sekolah dan produktif.
(Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma- World
Mengingat penyakit ini mudah terjadi
Health Organization), rinitis alergika diklasifikasikan
kekambuhan menimpa penduduk dan mahalnya biaya
menurut adanya gangguan kualitas hidup menjadi
pengobatan, maka perlu diupayakan sedini mungkin
ringan (mild), dan sedang-berat (moderate-severe),
penanganannya sebelum terjadi komplikasi. Untuk itu
sedangkan berdasar waktu dibagi menjadi sewaktudiperlukan pengetahuan untuk mengenali penyakit
waktu (intermitten) dan menetap (persisten).5
rhinitis
alergika,
bagaimana
patogenesisnya,
menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang
Klasifikasi rinitis alergi ARIA-WHO 20075
apa saja yang harus dilakukan serta manajemen
Sewaktu-waktu
Menetap
penatalaksanaan selanjutnya.
Gejala:
Gejala:
Pada saat ini kelompok kerja Allergic Rhinitis
< 4 hari per minggu
4 har
and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO 2001)
Atau < 4 minggu
Dan
membuat klasifikasi rhinitis alergi menjadi intermiten
atau persisten. Berat ringannya tingkat gejala dapat
Ringan
Sedang-Berat
diklasifikasikan menjadi ringan (mild) atau sedangSatu atau lebih
berat (moderate-severe).
Tidur normal
Tidur terg
Klasifikasi baru rinitis alergi, yaitu dengan
Aktifitas sehari-hari saat olahraga dan saat Aktifitas
menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup
santai normal
santai terg
serta berdasarkan atas lamanya, dan dibagi dalam
Bekerja dan sekolah normal
Saat beker
penyakit intermiten atau persisten dan berdasarkan
Tidak ada keluhan yang mengganggu
Ada keluh
derajat berat penyakit dibagi dalam ringan atau
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Berdasarkan ARIA-WHO dikenal klasifikasi


rinitis alergi sebagai berikut:
1. Rinitis alergi ringan sewaktu-waktu (mild
intermittent)
2. Rinitis alergi sedang berat sewaktu-waktu
(moderate severe intermittent)
3. Rinitis alergi ringan menetap (mild persistent)
4. Rinitis alergi sedang berat menetap (moderate
severe persistent)
Alergen dan Sumber Alergen
Alergen adalah antigen yang menginduksi dan
bereaksi dengan antibodi IgE spesifik. Alergen dapat
berasal dari binatang, serangga, tumbuhan, jamur dan
molekul kimia dengan berat molekul rendah seperti
protein atau glikoprotein dan alergen hirup dan
makanan. Alergen hirup ini sangat berperan terhadap
terjadinya rinitis alergi. Peningkatan prevalensi rinitis
alergi juga akibat peningkatan allergen tersebut.
Terdapat 2 asal allergen yaitu dari dalam rumah dan
luar rumah. Alergen yang berada di dalam kamar tidur
terutama tungau debu rumah menjadi sumber allergen
utama. Badan tungau dan butiran fesesnya meupakan
sumber utama allergen ini. Alergen luar rumah dapat
berupa serbuk bunga dan jamur.2,6
Di Amerika prevalensi tungau debu rumah yang
terbanyak
adalah
tungau
debu
rumah
Dermatophagoides
pteronyssinus
(Dpt)
dan
Dermatophagoides farina (Df) sedangkan didaerah
subtropis dan tropis tungau debu terbanyak adalah
Blomia tropicalis (Bt). Keberadaan tungau debu rumah
itu jua dipengaruhi dengan kelembaban udara dan
suhu. Suhu berkisar 15-33oC dan kelembaban 55-75%
merupakan kondisi yang ideal untuk hidup tungau.
Bila kelembaban kurang dari 50% tungau akan
mengering dan mati. Alergen lain yang banyak
dilaporkan adalah kecoa yang hidup disekitar air,
kamar mandi, dan tempat makanan.
Jamur merupakan allergen yang berasal dari dari
dalam dan luar rumah. Alergen ini menyukai tempat
yang kurang ventilasinya, gelap, lembab sebagai
tempat tumbuh.
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan
dapat memperberat rinitis. Polutan yang termasuk
allergen domestic dan polutan gas diantaranya asap
rokok sebagai sumber utama, gas buang kendaraan
bermotor dan polutan atmosfir termasuk ozon, oksida
dari nitrogen dan sulfur dioksida.2,6
Patogenesis
Menurut Peter S. Creticos, MD pada tahun 1988.7
Tahap Sensitasi
a. Paparan Antigen Pertama
Penyakit alergi terjadi karena paparan antigen,
yang tergantung pada faktor-faktor seperti umur
saat paparan pertama, banyaknya zat paparan
(contoh: jumlah antigen), tipe paparan (oral atau
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

inhalasi), asal alergen, dan lain-lain. Aktivasi


sistem imun tidak hanya membutuhkan paparan
protein asing tapi juga disertai dengan adanya
sinyal tanda bahaya (danger signal).
Jika antigen asing berupa virus, bakteri, atau
parasit; danger signal diduga karena rusaknya
jaringan oleh organisme-organisme tersebut, maka
pada alergen yang berupa protein asing, diduga
danger signal terjadi karena aktivitas enzim
proteolitik yang dimiliki oleh alergen tersebut
(ditemukan bahwa banyak alergen memiliki
aktivitas enzim proteolitik). Sebagai tambahan,
aeroalergen yang terinhalasi sebagai partikel
(pollen grains, mold spores, house dust mite fecal
particles, animal dander, dll), yang berinteraksi
dengan jaringan saluran nafas akan menimbulkan
inflamasi jaringan yang nonspesifik, yang dapat
juga berfungsi sebagai danger signal. Jika protein
antigen terpapar pada sistem imun tanpa adanya
danger signal, yang terjadi adalah toleransi
imunologis. Beberapa peneliti mempercayai bahwa
mungkin terdapat efek ko-patogeni pada infeksi
virus, yaitu pada fase sensitasi dan dalam
menimbulkan reaksi alergi. Paparan terhadap
berbagai virus (misal RSV, dll) pada umur muda
dapat merupakan predisposisi terjadinya sensitasi
alergi.
b. Proses Sensitasi
Terjadinya reaksi alergi diawali dengan
pengenalan antigen/alergen oleh sel makrofag,
monosit dan atau sel dendritik, yang ketiganya
berperan sebagai sel penyaji (APC, antigen
presenting cells) dan berada di mukosa saluran
nafas (antara lain dalam mukosa hidung).
Antigen/alergen yang menempel pada permukaan
mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC.
Kemudian terjadi proses internalisasi ke dalam sel
APC,
kemudian
antigen/alergen
tersebut
terfragmentasi, yang disebut fragmen pendek
peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini
kemudian bergabung dengan molekul MHC kelas
II (major histocompatibility complex class II) di
dalam retikulum endoplasma sel APC. Kompleks
peptida-MHC kelas II ini kemudian akan
dipresentasikan di permukaan sel APC. Jika APC
juga terpapar oleh danger signal, maka APC akan
mengekspresikan molekul pada permukaan selnya
yang disebut B7. Molekul tersebut merupakan
aktivator poten untuk sel T-antigen spesifik.
Kompleks
peptida-MHC
kelas
II
yang
dipresentasikan kepada sel limfosit T (T- CD4+,
sel Th0). Apabila sel Th0 ini memiliki molekul
reseptor spesifik terhadap molekul kompleks
peptida-MHC II, maka akan terjadi penggabungan
kedua molekul tersebut. Selanjutnya sel APC akan
melepaskan sitokin, yaitu interleukin-1 (IL-1). IL1 ini akan mempengaruhi Th0, yang apabila
sinyal-kostimulator
(pro-inflamatory
second

signals) induksinya cukup memadai, maka akan


terjadi aktivasi dan proliferasi sel Th0 menjadi sel
Th1 dan Th2.

Skema peradangan alergi.8,9

Skema peradangan alergi.8,9


Sel Th1 dan Th2 akan memproduksi berbagai
macam imunoregulator (sitokin) antara lain
interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan 1L-13. Sitokin IL4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada
permukaan limfosit B-istirahat (resting B-cells),
sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B yang
menjadi aktif ini akan memproduksi IgE. Selain itu,
IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan dimana
kadar IL-4 rendah, sehingga molekul IgE akan
berlimpah dan berada di mukosa atau di peredaran
darah. (Sumarman, 2001 yang dikutip dari Naclerio
dkk, 1985 dan Geha, 1988).
Reaksi Alergi Fase Cepat Dini (RAFD)
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah
akan memasuki jaringan dan akan ditangkap oleh
reseptor IgE yang berada pada permukaan sel
metakromatik (mastosit atau basofil). Mastosit dan
atau basofil tersebut menjadi aktif. Apabila dua light
chain 1gE berkontak dengan alergen spesifiknya,
maka akan terjadi degranulasi mastosit/basofil dengan
akibat terlepasnya mediator-mediator alergis. Reaksi
alergi yang terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase dini (RAFD), yang mencapai
puncaknya pada 15-20 menit setelah paparan alergen
dan berakhir sekitar 60 menit kemudian.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Mediator yang telah terbentuk sebelumnya


(preformed), yang terlepas (histamin), mula-mula
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus
(rhinorrhea). Efek lainnya adalah pada saraf vidianus
yaitu rasa gatal pada hidung, bersin-bersin, dan juga
hipersekresi ketenjar (Sumarman, 2002). Selain itu
yang terjadi adalah vasodilatasi dan penurunan
permeabilitas pembuluh darah dengan akibat
pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala
sumbatan hidung. Selama RAFD mastosit juga
melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari
ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylactic)
dan NCFA (neutrophil chemotactic factor of
anaphylactic). Kedua molekul tersebut menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di organ sasaran.
Mastosit juga melepas berbagai newly-formed
mediators antara lain prostaglandin-D2 (PGD2),
leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, platelet activating
factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5,
IL-6, GM-CSF, TGF, dll).
Molekul-molekul mediator dan sitokin tersebut akan
masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan berperan
kemudian dalam meningkatkan serta memperpanjang
reaksi alergi selanjutnya.
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
Reaksi alergi fase cepat bila berlanjut terus akan
menjadi reaksi a1ergi fase lambat, yang berlangsung
sampai 24-48 jam kemudian (Sumarman, 2002; yang
dikutip dari Kaliner, 1987; Lichienstein, 1988). RAFL
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel-sel
radang yang berakumulasi di jaringan sasaran, dimana
puncak akumulasi pada 4 jam setelah paparan alergen.
Akumulasi sel-sel radang ini merupakan tanda khas
RAFL. Sel-sel yang mudah terlihat selama RAFL
adalah eosinofil dan limfosit, selain itu dapat pula
dijumpai mastosit dan basofil (Bascom dkk, 1988;
Bentley dkk, 1989; Sumarman, 1996).7
Setelah provokasi alergen, sel-sel inflamasi dalam
mukosa hidung yang jumlahnya paling konsisten
menunjukkan hubungan dengan tingkat beratnya
gejala adalah eosinofil.7 Sedangkan di permukaan
mukosa hidung hanya jumlah eosinofil aktif (EOS-

aktif) yang menunjukkan korelasi dengan tingkat


beratnya gejala pasca provokasi alergen. Walaupun
ditemukan juga penambahan jumlah akumulasi sel-sel
radang lainnya (mastosit, basofil, dan netrofil) tidak
selalu menunjukkan hubungan konsisten dengan
tingkat gejala. Produk protein sel-sel tersebut lebih
berperan daripada jumlahnya. Misalnya basofil akan
melepas histamin, leukotrien dan berbagai sitokin;
sedangkan sel-sel mononuklear akan melepaskan
histamin releasing factors (HRFs) yang akan memacu
mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak
lagi.
Selama RAFL sel EOS-aktif akan melepas
berbagai mediator antara lain basic protein (MBP,
ECP, EPO, dll), leukotrien, dan berbagai sitokin.

Skema peradangan alergi.7

Meningkatnya serta berkelanjutannya gejala


rinitis alergi selama RAFL terutama merupakan akibat
langsung akumulasi sel eosinofil, mastosit/basofil, dan
limfosit dibantu oleh berbagai mediator dan sitokin
produk sel-sel radang tersebut. Sebagai indikator
sederhana untuk mengukur beratnya reaksi alergi
adalah jumlah sel eosinofil-aktif.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Bosquet J, van Cauwenberge, Khaltev N, GruberTapsoba T, Annesi I, Bacher C dkk. WHO Initiative Allergic
Rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Supplm J Allergy
Clin Immunology. 2001. h108-47, 270

2.

Li JT, Lockey RF, Bernstein IL, Portnoy JM, Nicklas


RA. Allergen Immunotherapy: a practice parameter. An
Allegy Asthma Immunology. 2003. h1-40

3.

Sudiro, M. Kesesuaian Antara Jumlah Eosinofil Kerokan


Mukosa Hidung dan Tes Kulit Tusuk Dalam Menegakkan
Diagnosis Rinitis Alergi. Tesis. Bagian THT-KL Fakultas
Kedokteran Unpad. Bandung.2005.

4.

Harianto. Sumarman, I. Madiadipoera, T. Prevalensi


dan Tingkat Gejala Rinitis Alergi Perenial Serta Sumber
Alergen Mite Dalam Kamar Tidur Penderita Pada Penduduk
Usia Diatas 10 tahun Didaerah Bandung Tahun 1998. Tesis.
Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Unpad. Bandung.2000.

5.

Madiadipoera, T. Rinitis Alergi Dan Penatalaksanaannya


dalam: Pedoman Penatalaksanaan Alergi & Imunologi.
Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Cabang Bandung.
2006. h220-37

6.

Naclerio, Robert. Clinical manifestations of the release


of histamine and other inflammatory mediators. J Allergy Clin
Immunol, 1999.h 103: S382-5.

7.

Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the


treatment of allergic asthma. J Allergy Clin Immunol 1998. h
105,559-74.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

8.

Sumarman, I. Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik


Rinitis Alergi. Dalam Simposium Current and Future Aproach
in The Treatment of Allergic Rhinitis. Perhati Jaya THT
FKUI/RSCM-Aventis Pharma. Jakarta, 2001. h1-20

ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA


EMBRIOLOGI TELINGA1,2
1. Telinga Luar
Perkembangan Prenatal
a. Perkembangan daun telinga dari lengkung
brachial pertama dan kedua, dimulai umur 6
minggu kehamilan
b. Lobulus adalah bagian terakhir pembentukan
daun telinga
c. Cavum concha timbul dari lengkung branchial
pertama, mengalami invaginasi pada usia 8
minggu kehamilan untuk membentuk bagian
kartilago canalis auditorius externus.
d. Meatus akustikus externus mengalami
invaginasi menjadi inti epitel yang
padat/sumbat meatal. Pada usia kehamilan 6
bulan, sel epitel dari sumbat meatal ini
mengalami degenerasi dan mengakibatkan
kanalisasi bagian tulang dari kanalis
auditorius externus pars medial.
e. Membran timpani berasal dari membrane
yang berada diantara lengkung brachial
pertama dan kantung faringeal pertama
membrane timpani terbentuk dari ectoderm
dari sumbat meatal, endoderm dari tonjolan
tubotimpani, dan mesenkim dari arkus
brachial pertama dan kedua.
Perkembangan Postnatal
a. Bagian medial dari kanalis auditorius externus
mengalami ossifikasi sekitar 2 tahun pertama
kehidupannya.
b. Kanalis auditorius externus mencapai ukuran
orang dewasa sekitar usia 9 tahun.
c. Sejak lahir membrane timpani hamper sama
ukurannya dengan oraang dewasa tapi masih
horizontal posisinya, semakin berkembangnya
kanalis auditorius externus maka posisi
membrane timpani menjadi lebih vertical.
d. Kartilago pinna berkembang sampai usia 1012 tahun, mencapai sekitar 80% ukuran orang
dewasa saat berusia 8 tahun, meskipun
demikian bagian lobulus masih terus
berkembang.
2.

Telinga Tengah
Perkembangan Prenatal
a. Bagian distal resesus tubotimpani dari
kantung faringeal pertama menjadi cavum
timpani
b. Bagian proximal dari resesus tubitimpani
menjadi tuba auditorius dan tuba eustachius.
c. Sel udara mastoid terbentuk dari ekspansi dari
cavum timpani pada perkembangan janin
lebih lanjut.
d. Landasan kaki stapes dan ligamentum
annulare timbul dari kaapsula otic.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

e.
f.

g.

Tulang-tulang
pendengaran
mulai
berkembang pada 4-6 minggu pertama
kehamilan.
Tulang-tulang pendengaran berasal dari :

Kepala malleus, short process dan


badan incus berasal dari kartilago arkus
pertama (mandibular).

Manubrium malleus, long process


incus, suprastruktur dari stapes berasal
dari kartilago arkus kedua (hyoid).
Tulang pendengaran mencapai ukuran orang
dewasa pada usia kehamilan 6 bulan

Perkembangan Postnatal
a.
Tuba eustachius mengalami penggandaan
dalam ukuran panjang disaat antara sejak lahir
smpai dewasa.
b.
Ujung mastoid kurang berkembang saat
lahir.
c.
Sel udara mastoid berkembang secara
signifikan di usia 2-3 tahun pertama
kehidupannya.
d.
Foramen stylomastoid menjadi lebih
medial posisinya dengan berkembangnya
ujung mastoid.
3.

Telinga Dalam
Perkembangan Prenatal
a.
Plakoda otic timbul di usia kehamilan 4
minggu.
b.
Plakoda otic membentuk otic pit yang
akan membentuk vesikula otic.
c.
Vesikuls otic merupakan precursor labirin
membranoseus.
d.
Ductus endolimfstikus dan saccus
emanate berasal dari vesikula otic.
e.
Vesikuls otic terdiri atas 2 bagian :

Dorsal (utricular) utriculus,


ductus
semisrkularis
dan
ductus
endilimfatikus

Ventral (saccular)-sacculus dan


ductus cochlearis.
f.
Organon corti terbentuk di dinding dari
ductus cochlearis.
g.
Kapsula otic terbentuk dari mesenkim di
sekitar vesikula otic.
h.
Ruang perilimfatikus terbentuk disekitar
ductus cochlearis, memberi kontribusi untuk
scala timpani dan vestibule.
i.
Bagian dalam telinga matang dalam
ukuran dan fungsinya saat lahir.
Perkembangan Postnatal

Saccus dan ductus endolimfatikus berkembang


setelah lahir.

Di samping itu, terdapat pula beberapa struktur yang


terdapat dalam telinga tengah, diantaranya: saraf
fasialis, tuba eustakhius, m. tensor timpani dan m.
stapedius.7,8,9

ANATOMI TELINGA
Anatomi Telinga Luar3,4,5
Telinga bagian luar memiliki 2 bagian utama, yaitu
daun telinga (auricle) dan liang telinga (CAE). Daun
telinga yang berlekuk terdiri dari beberapa bagian yaitu
heliks, antiheliks, tragus, antitragus, konka, lobulus,
fossa triangularis, fossa skafoid. Yang berfungsi untuk
mengumpulkan sumber bunyi dan membantu
menentukan lokalisasi suara. Daun telinga terdiri dari
jaringan otot, kulit, dan tulang rawan. Liang telinga
mempunyai panjang sekitar 25 mm pada bagian
posterosuperior dan karena membran timpani yang
berbentuk oblik pada bagian anteroinferior mempunyai
panjang sekitar 30 mm. Liang telinga ini berhubungan
dengan membran timpani pada bagian medial dan
berbentuk seperti huruf S. Liang telinga terbagi atas 2
bagian, yaitu 1/3 luar merupakan tulang rawan dengan
lapisan epitel kulit dan submukosanya mengandung
kelenjar apokrin, sebasea, pembuluh darah, dan sel-sel
rambut yang berfungsi untuk menghasilkan serumen,
sedangkan 2/3 bagian dalam merupakan bagian tulang
dilapisi oleh kulit tipis yang melekat pada periosteum.
Bagian dalam ini tidak mengandung sel rambut
maupun lapisan kelenjar. Lapisan epitel kulit pada
liang telinga merupakan kelanjutan dari lapisan
epidermal (skuamosa) yang melapisi membran timpani
bagian luar.

1.

Anatomi telinga tengah


Membran timpani
Membran timpani memisahkan kavum timpani
dari kanalis akustikus eksternus pada daerah
lateral dari telinga tengah. Berbentuk ellips,
sumbu panjangnya 9-10 mm dan sumbu
pendeknya 8-9 mm, dengan radius sekitar 4-5 mm.
dengan ketebalan 0.1 mm dan pada anak letak
membran timpani hampir vertical, sedangkan pada
orang dewasa membentuk sudut 55 o dengan dasar
kanalis akustikus eksternus. Bagian pinggir
membran timpani lebih tebal dan disebut annulus
timpanikus yang melekat ke sulkus timpani dari os
temporal oleh cincin fibrokartilago, kecuali bagian
yang tidak bersulkus sepanjang 5 mm yang
disebut tympanic notch of Rivinus. Membran
timpani melekat pada manubrium malleus pada
daerah short (lateral) processus sampai dengan
umbo. Umbo merupakan bagian ujung medial dari
membran timpani.7,8,10
Bagian utama dan terbesar dari membran timpani
adalah pars tensa, sedang bagian atas dari
membran timpani adalah pars flaksida (membran
Shrapnell) yang melekat langsung pada daerah
prosessus lateralis malleus antara kedua daerah
ujung tympanic notch of Rivinus, sampai daerah
annular rim sehingga membentuk segitiga kecil
yang ditutupi oleh membran tipis dan longgar.

Anatomi telinga luar5


Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan suatu ruangan yang berisi
udara yang dibayangkan sebagai suatu kotak dengan
enam sisi, dengan dinding posterior yang lebih luas
dari dinding anteriornya sehingga membentuk kotak
seperti baji.6
Ada beberapa bangunan yang turut menyusun telinga
tengah :
1.
Membran timpani
2.
Tulang pendengaran, dan
3.
Kavum timpani
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Membran timpani terdiri dari 3 lapisan:7,8,10


1. Lapisan lateral (luar), merupakan lapisan
epitel skuamousa, yang merupakan kelanjutan
dari lapisan epitel kulit kanalis akustikus
eksternus.
2. Lapisan tengah, yang terdiri dari lapisan
serabut serat fibrosa kolagen dalam jumlah
yang banyak, dan terdiri dari serabut yang
berjalan radier dari arah manubium mallei
perifer, di mana pada lapisan pars flaksida
mengandung jumlah yang sedikit, serta
serabut yang berjalan sirkuler yang terletak di
sebelah dalam dari serabut radier. Serabut
sirkuler pada daerah perifer membran timpani
akan mengalami penebalan fibrous annulus

3.

tympanikus. Kedua struktur ini bertanggung


jawab terhadap ketebalan dari pars tensa dan
kualitas dari penutupan pars flaksida pada
daerah prosessus leteralis malleus.
Lapisan dalam, merupakan lapisan mukosa
yang merupakan kelanjutan dari lapisan
mukosa kavum timpani.1,9,10

Bagian medial dari pars flaksida sampai medial


dari leher malleus disebut dengan ruang Prussak,
di mana ruangan ini merupakan tempat utama
terjadinya ekstensi kolesteatom. Di daerah lateral
inkus sampai dengan bagian lateral dari attic
terdapat ruangan yang meupakan tempat sering
terdapatnya kolesteatom kedua setelah ruang
Prussak. Pars tensa normalnya translucent,
sehingga kita dapat prosussus longus dari inkus
dan sendi incudistapedial pada kuadran posterior
dari membran timpani.7,8,9
Bagian atap dari membran timpani adalah tegmen
timpani, yamg merupakan lapisan tulang tipis
yang memisahkan rongga telinga tengah dengan
rongga cranial. Di bagian depannya akan terdapat
saluran kanal untuk keluarnya m. tensor timpani.
Pada anak, di manna sutura petroskuamosanya
tidak mengeras di daerah tegmen timpani ini akan
menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi secara
langsung dari kavum timpani ke lapisan meningen
middle cranial fossa. Pada orang dewasa, perforasi
pada daerah ini akan mengakibatkan infeksi pada
daerah middle cranial fossa secara langsung. Pada
bagian posterior dari tegmen timpani tersebut
akan berlanjut menjadi tegmen mastoid.9,10,11

Membran timpani 11
2.

Tulang pendengaran
Pada daerah telinga tengah terdapat 3 buah tulang
pendengaran yang berfungsi sebagai penghantar
pada transmisi energi suara dengan proses vibrasi
dan memperkuat energi suara tersebut selama
proses di telinga tengah sebelum dilanjutkan ke
telinga
bagian
dalam
melalui
foramen
ovale.7,8,9,12,13
Tulang-tulang pendengaran tersebut adalah:
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

1.
2.
3.

Malleus
Inkus
Stapes

2.1 Malleus7,13
Tulang pendengaran yang berbentuk seperti
kampak (hammer), merupakan tulang
pendengaran terbesar dengan panjang sekitar
8-9mm dan berat sekitar 23 mg yang terdiri
dari kepala, leher dan 3 buah prosessus:
1. Manubrium, yang akan berjalan sepanjang
membran timpani sampai ke umbo
2. Prosessus anterior
3. Prosessus lateral (pendek)
Bagian kepala dari malleus merupakan bagian
utama dari epitimpanum (atik) yang didukung
oleh banyak ligament yang melekat.
2.2 Inkus7,13
Inkus mempunyai bentuk seperti anvil.
Tulang pendengan ke 2 dan terbesar
mempunyai berat sekitar 27 mg. Terdiri dari
badan dengan 2 prosessus, yaitu prossesus
panjang dan pendek. Badan dari malleus
berhubungan dengan kepala dari inkus
melalui incudomalleal joint. Prosessus yang
pendek
terproyeksi
pada
daerah
posteroinferior dari resessus epitimpani.
Posisi ini menjadi tanda penting (landmark)
pada operasi mastoidektomi. Sedangkan
prosessus panjang akan berjalan ke bawah
sejalan dengan manubrium mallei dan pada
bagian akhirnya akan berputar ke arah medial
membentuk peosessus lentikularis, yang akan
berhubungan dengan kepala (capitulum) dari
stapes melalui incudostapedeal joint.
2.3 Stapes7,13
Mempunyai bentuk seperti sanggurdi. Tulang
pendengaran ke-3 dan merupakan tulang
terkecil dari tubuh yang mempunyai berat
sekitar 2,5 mg. terdiri dari: kepala
(capitulum), leher, dan 2 buah kaki dan
sebuah alas (footplate). Bagian arkus yang
anterior mempunyai ukuran
yang lebih
pendek dari postior. Ke-3 bagian bagian
pertama akan membentuk sebuah arkus
stapedeus yang akan melekat pada footplate.
Pada bagian leher merupakan tempat
perlekatan dari m. stapedeus.

menjadi sel kuboid dan epitel strarified yang tidak


mengandung kelenjar untuk sekresi. Silia
berfungsi untuk menyapu lender atau benda asing
ke arah nasofaring dan gerakannya melawan
gravitasi. Aktivitasi silia ini berlangsung dengan
baik pada pH 7,5 dengan suhu terendah 13oC dan
suhu maksimal 40oC. 7,8,9,13

Ossicles

2-6-08

3.

EV/LR

37

Tulang-tulang pendengaran11
Kavum timpani
Merupakan suatu ruangan di telinga tengah yang
terletak di dalam tulang temporalis, berbentuk
irregular yang berisi udara, yang berasal dari
ruang nasofaring melalui tuba eustakhius untuk
selanjutnya
ke nasofaring dan pada bagian
posteriornya akan berhubungan dengan system sel
udara dari rongga mastoid dan bagian petrosus
dari tulang temporal. Pada bagian lateral akan
berbatasan dengan membran timpani.7,8,9,13
Kavum timpani terbagi atas 2 ruangan yaitu: 7,8,9,13
1. Rongga timpani, yang berbeda di sebelah
membran timpani
2. Epitimpani recess yang berada di atas rongga
timpani
Kavum timpani dilapisi oleh suatu membran
mukosa yang merupakan lanjutan dari saluran
pernafasan. Mukosanya pucat, tipis dan kaya akan
vaskularisasi. Selnya mempunyai beberapa tipe,
diantaranya sel bersilia, sel nonsilia dengan atau
tanpa kelenjar sekretorius, dan sel goblet. Epitel
yang terbentuk epitel kolumnar silindris bertingkat
bersilia terutama umumnya terdapat pada daerah
mukosa kavum timpani, sedangkan yang
berbatasan dengan orifisium tuba, yang
merupakan kelanjutan dari epitel mukosa saluran
nafas bagian atas, yaitu sel jenis kolumnar
pseudostratified bersilia. Terutama terdapat pada
daerah atap, anterior, sebagian promontorium dan
hipotimpanum. Lapisan sel tersebut mengandung
sel dan kelenjar yang
mengsekresi mukus.
Lapisan mukus yang terdapat di antara silia
dihasilkan oleh sel-sel goblet. Semakin ke
belakang lapisan mukosa tersebut akan berubah
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Kavum timpani berdasarkan bentuk topografinya


dibagi atas 3 ruangan: 7,8,9,13
1. Epitimpanum (atik): di daerah batas atas
membran timpani
2. Mesotimpanum: di antara membran timpani
dan promontorium
3. Hipotimpanum: di bawah batas bawah
membran timpani.
Epitimpanum berisi beberapa organ seperti:
kepala malleus, incudostapedeal joint, badan
inkus dengan berbagai macam ligament yang
melekat padanya. Pada bagian anterior akan
berhubungan langsung dengan sistem sel udara
dari mastoid. Pada bagian medial akan
berhubungan dengan bagian anterior dari kanalis
semisirkularis superior dan lateral dan bagian
segmen horizontal dari kanalis fasialis. Pada
bagian lateral akan berhubungan dengan pars
flaksida dan tepi posterosuperior dari liang telinga
(scutum). Pada bagian depan dari kepala malleus
terdapat the anterior epitympanic recess
(supratubal recess). Di mana resessus ini sangat
penting untuk dilihat pada saat operasi, terutama
untuk mengangkat penyakit secara utuh.7
Pada daerah epitimpanum terdapat suatu ruangan
yang disebut Prussaks space. Ruangan ini
merupakan daerah yang sangat penting karena
merupakan daerah yang paling sering timbulnya
kolesteatom. Rongga Prussak merupakan daerah
berupa kantong yang dangkal yang berada di
bagian posterior dari pars flaksida. Kolesteatom
yang tumbuh dalam Prussaks space akan
menyebar ke daerah posterior sepanjang sisi dari
badan inkus, yang kemudian masuk ke daerah
antrum dan rongga mastoid.14
Kolesteatom yang berada dalam rongga Prussak
akan menyebar melalui 3 jalan:14
1. Rute posterior, merupakan rute yang paling
sering, perluasan akan melalui ruang inkudal
superior, yang berada di luar bagian
posterolateral dari atik, ruang ini berada di
atas bagian lateral llipatan inkudal dan tubuh
inkus.
2. Rute inferior merupakan rute ke-2 yang sering
dilalui oleh kolesteatom untuk penyebarannya
setelah rute pertama. Rongga Prussak
mendapat pneumatisasi melalui rongga
inkudal inferior (sakus superior). Jika

3.

kolesteatom keluar melalui ruang ini, maka


akan mudah dilihat di daerah belakang
membran timpani dalam rongga inkudal
inferior.
Rute anterior, merupakan rute yang paling
jarang. Partama kali kkolesteatom akan
masuk melalui kantong anterior dari von
Troltsch dan selanjutnya masuk ke
protimpanum dan mesotimpanum.

Dinding lateral kavum timpani14

dibatasi oleh segmen mastoid dari kanalis fasialis.


Resessus ini mempunyai ukuran yang bermacammacam dan merupakan bagian yang mempunyai fungsi
klinis yang penting pada pembedahan untuk mengatasi
OMSK dan kolesteatom, karena jika penyakit melekat
pada bagian ini akan sulit untuk dibersihkan. Di
bagaian lateral dari segmen mastoid juga mempunyai
resessus lain yaitu facial resess, bagian ini penting
dalam operasi mastoidektomi, sebagai jalan masuk ke
daerah mesotimpanum dari mastoid. Facial recess ini
juga pada bagian lateralnya dibatasi oleh N. korda
timpani dan pada bagian superior oleh fossa incudis.
Mesotimpanum berisi bagian leher dan manubrium
mallei, prosessus longus dari inkus, stapes dan foramen
ovale dan the round window niche.7
Hipotimpanum, merupakan bagian terendah dari
ruangan telinga tengah dan mempunyai dasar berupa
atap dari bulbus jugularis.7
Kavum timpani terdiri dari 4 dinding, atap dan lantai:13
1.
Superior : tegmen timpani
2.
Inferior : bulbus jugularis
3.
Posterior
: facial recess, sinus
timpani, pyramidal eminence.
4.
Anterior
: sebagai landmark utama
adalah semikanal untuk m. tensor timpani, dinding
untuk a. karotis interna dan orifisium tuba.
5.
Medial : promontorium, foramen ovale dan
window, kanalis fasialis untuk segmen horizontal
dan perlekatan untuk tendon otot tensor timpani.
6.
Lateral : membran timpani. Rongga mastoid
berisi sel-sel udara mastoid mempunyai jumlah,
bentuk, dan ukuran yang bermacam-macam.
Lapisan mukosa yang melapisinya merupakan
kelanjutan dari antrum mastoid dan rongga
timpani. Sel-sel udara tersebut mengisi seluruh
rongga yang ada dalam prosesus mastoid, sampai
ke ujung mastoid (tip mastoid). Rongga mastoid
terpisah dengan sinus sigmoid dan fossa kranialis
posterior hanya oleh tulang yang tipis.

Dinding medial kavum timpani 14


Mesotimpanum, merupakan bagian terbesar dari
ruangan pada telinga tengah. Pada bagian lateral akan
berbatasan dengan pars tensa. Pada bagian
superomedial terdapat segmen horizontal dari kanalis
fasialis. Pada bagian medial terdapat promontorium
dari koklea, yang memisahkan foramen ovale dari the
round window niche. Pada bagian inferior terdapat
bagian inferior dari mesotimpanum. Bagian anterior
dari mesotimpanum akan bergabung dengan bagian
anterior dari epitimpanum untuk membentuk
protimpanum ( bagian tulang tuba eustakhius yang
terbuka).
Sepanjang
bagian
posterior
dari
mesotimpanum merupakan sinus timpani, yang
merupakan suatu resessus yang pada bagian lateralnya
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Batas-batas kavum timpani 15

Hubungan Aditus dan Antrum13


Pada fase awal dari proses infeksi akan terjadi
vasodilatasi dari lapisan submukosa, sehingga kelenjar
mukosa akan terpicu untuk menghasilkan sekret
mukoid yang kental, beberapa sel epitel akan mati dan
bakteri yang normalnya terdapat dalam ruang tersebut
akan memperburuk keadaan. Selanjutnya
akan
terbentuk PMN dalam darah dan secret mukopurulent
yang stagnan dalam telinga tengah dan mastoid akan
terbentuk sebagai akibat dari kehilangan pergerakan
silia dari telinga tengah dan tuba eustakhius. Jika
keadaan membaik, maka keadaan tersebut akan pulih
kembali. Tetapi jika keadaan terus memburuk, maka
dalam jangka waktu yang cukup lama, hal ini akan
mengakibatkan penumpukan cairan dalam ruang
tersebut, penambahan dari jumlah sel kelenjar dan sel
goblet yang akan menutupi sel epitel kuboid,
sedangkan sel kuboid itu sendiri akan mengalami
perubahan menjadi sel goblet atau kelenjar dan ada
sebagian yang berubah menjadi sel skuamousa
terutama tipe non-keratinizing. Pada akhirnya akan
terbentuk jaringan granulasi sebagai akhir dari proses
peradangan tersebut. Lokasi dari mukosa
yang
mengalami kelainan selanjutnya akan berubah menjadi
hiperplastik dengan disertai invasi dari fibroblast dan
sel kronis lainnya seperti makrofag, plasma sel dan
limfosit.9

bagian atas. Segmen horizontal atau segmen timpani


terletak di bagian superior dari foramen ovale yang
kemudian akan berbelok ke arah inferior di dekat
kanalis semisirkularis horizontal. Untuk selanjutnya
saraf fasialis akan masuk ke dalam sistem mastoid dan
disebut segmen vertical atau segmen mastoid. Pada
akhirnya saraf ini akan keluar ke daerah parotis setelah
melalui foramen stilomastoid.7,8,13
Panjang
Segmen
Letak
(mm)
Supranuklea
Korteks serebri
pendek
r
Nukleus motorik n.
fasialis, slivatorius
Batang otak
pendek
superior dari traktus
solitarius
Segmen
Batang otak ke kanalis
13-15
maetal
akustikus internus
Fundus dari maetus
Segmen
akustikus internus ke
3-4
labirin
hiatus fasialis
Segmen
Ganglion genikulatum ke
8-11
timpani
eminentia piramidalis
Segmen
Prossesus piramidalis ke
10-14
mastoid
foramen stilomastoideus
Segmen
Foramen stilomastoid ke
ekstra
15-20
pes anserinus
temporal
Segmen n. fasialis 12

Gambar 2.8 Perjalanan n. fasialis 12

Struktur yang terdapat pada telinga tengah


Saraf fasialis
Berasal dari arkus brakhialis kedua, yang berisi serabut
saraf eferen yang mempersarafi m. fasialis, m.
stylohioid, m. venter posterior, m. digastrikus dan m.
stapedeus. Serabut saraf preganglionik parasimpatis
akan mempersarafi kelenjar lakrimalis, kelenjar
seromucous di daerah rongga hidung, kelenjar
submandibular dan sublingual. Sedangkan serabut
afferent akan mempersarafi duapertiga bagian depan
dari lidah. Saraf fasialis keluar melalui pons melintang
melalui cerebellopontine angle, dan masuk ke dalam
kanalis auditorius internus bersama- sama dengan saraf
vestibulokoklearis. Segmen labirin dari saraf fasialis
terletak antara bagian lateral dari kanalis akustikus
internus sampai ganglion genikulatum. Pada bagian
ganglion genikulatum inilah saraf akan memutar
kearah posterior dan masuk ke ruangan mesotimpanum
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Gambar 2.9 Bagian saraf fasialis melalui CPA 13


Segmen timpanik n. Fasialis15
M. tensor timpani dan m. stapedius
Pada daerah mesotimpanum terdapat dua otot, yang
pertama adalah m. tensor timpani, yang mempunyai
panjang sekitar 2 cm dan berasal dari kartilago
pharyngotympanic tube dan berjalan secara paralel
dengan tuba eustakhius dan selanjutnya akan melekat
pada dasar dari manubrium mallei, otot ini dipersarafi
oleh cabang mandibular dari segmen saraf trigeminus.
Kontraksi dari otot ini akan mengakibatkan pergerakan
ke medial dari manubrium, sehingga akan
menyebabkan terjadinya penebalan membran timpani.

M. stapedius berasal dari penonjolan pyramidal yang


berlokasi di daerah inferior dari lateral genu dari saraf
fasialis. Otot ini akan melekat pada daerah leher dari
stapes dan otot ini akan dipersarafi oleh saraf fasialis.
Kontraksi dari otot ini akan mengakibatkan terbatasnya
pergerakan dari stapes dan hal ini menjadi dasar untuk
tes refleks akustik. Kedua otot ini akan berkontraksi
bersamaan yang merupakan respon terhadap suara
yang mempunyai intensitas tinggi yang dikenalkan
oleh hallpike, 1935 sebagai protective damping effect
before vibration reach the internal ear. M. tensor
timpani akan menarik membran timpani ke dalam dan
mendorong stapes untuk lebih merapat ke fenestra
vestibule. M. stapedius bergerak berlawanan dengan
m.tensor timpani. Paralysis dari m. stapedius akan
menyebabkan terjadinya hiperakusis.7,8,13
Tuba eustakhius
Tuba eustakhius mempunyai panjang sekitar 3,5 cm,
yang terdiri dari sepertiga lateral adalah tulang
sedangkan dua pertiga bagian medialnya adalah tulang
rawan. Tuba menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah. Bagian tulang dari tuba tersebut
mempunyai bentuk seperti kerucut, dengan puncak
pada daerah istmus (daerah paling sempit dari tuba
eustakhius yang terletak pada pertemuan antara
sepertiga lapisan tulang di bagian lateral dengan
duapertiga bagian tulang rawan di medial). Di sisi
medial akan membuka kea rah lateral dari nasofaring
pada daerah resessus faringealis (fossa of rossenfuller).
Di mana pada bagian superomedialnya dikelilingi oleh
tulang rawan yang berbentuk seperti huruf C, yang
menjadi perlekatan 2 buah otot yaitu m. tensor velli
palatine (lateral) dan m. levator velli palatine (medial).
Tidak seperti bagian tualng di sisi lateral yang selalu
terbuka, pada bagian medial ini biasanya akan selalu
dalam keadaan tertutup karena cincin kartilago yang
tidak lengkap mengelilinginya. Pada saat tuba sisi
medial tersebut akan terbuka, karena kontraksi m.
levator velli palatine. Mukosa pada daerah tuba
eustakhius merupakan kelanjutan dari mukosa kavum
timpani, dan sangat kaya akan silia. Sel-sel goblet
terdapat di semua bagian tuba eustakhius, hanya
distribusinya saja yang tidak merata.7,10,13

Tuba eustakhius terbuka dan tertutup15

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tuba eustakhius pada anak dan dewasa16


Perdarahan di telinga tengah7,8,13
Arteri
Daerah telinga tengah diperdarahi oleh cabang a.
karotis eksterna melalui a. maksilaris interna yang
akan memberikan suplai darah ke membran timpani
bagian eksternal melalui cabang aurikuler dan ke
membran timpani bagian medial melalui cabang
timpani anterior. Kavum timpani, termasuk di
dalamnya tulang-tulang pendengaran, diperdarahi oleh
sejumlah arteri yang berasal dari a. maksilaris interna,
a. meningea media, a. faringeal ascenden, a. aurikularis
posterior dan a. karotis interna. Pembuluh darah
tersebut adalah a. timpani anterior, posterior, inferior,
dan superior, arteri stilomastoid, dan yang merupakan
cabang dari a. karotis interna adalah a. petrosus
superfisisalis dan a. karotikotimpani.
Vena
Sistem vena dari telinga tengah akan berjalan paralel
dengan system arterinya dan mempunyai system
drainase ke dalam pleksus pterigoid dan sinus petrosus.
Persarafan telinga tengah7,8,13
Secara umum persarafan sensoris dari telinga tengah
adalah melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, servikalis
ke 2 dan ke 3. persarafan spesifikm, termasuk di
dalamnya cabang aurikulotemporalis
dari saraf
trigeminal, cabang timpani dari saraf glossofaringeus
(saraf Jacobson). Cabang aurikuler dari saraf vagus
(saraf Arnold), lesser cervical nerve dari cervical 2 dan
greater auricular nerve dari cervical 2 dan 3.
permukaan medial dari membran timpani seperti
halnya juga persarafan darimukosa kavum timpani
akan dipersarafi oleh pleksus timpanikus. Bagian
sensoris dari pleksus timpanikus ini merupakan cabang
timpani dan serabut perasimpatis preganglionik dari
saraf glossofaringeal.
Korda timpani tidak melakukan persarafan sepanjang
telinga tengah, hanya melintas di rongga telinga
tengah. Korda timpani berisi serabut sensoris (untuk
rasa) dan serabut preganglionik parasimpatis. Korda
tompani berasal dari segmen mastoid saraf fasiallis,
sekitar 5mm proksimal dari foramen stilomastoid, yang
kemudian akan masuk ke rongga telinga tengah

melalui dinding posterior dan berjalan ke anterior


melalui sisi lateral dari prosessus longus inkus dan
medial dari manubrium malleus, dan akan bergabung
dengan saraf lingualis untuk mempersarafi dua pertiga
anterior lidah dan ganglion submandibularis.
Jacobsons nerve (cabang timpani dari saraf
glossofaringeus) berisi cabang sensoris untuk mukosa
telinga tengah, termasuk di dalamnya tuba eustakhius
dan serabut preganglion parasimpatik untuk kelenjar
parotis melaui ganglion otik. Jacobsons nerve berasal
dari bagian ganglion inferior (petrosal) dari saraf
glossofaringeus, setelah saraf tersebut masuk ke daerah
dasar tengkorak. Saraf tersebut selanjutnya akan
bergerak ke atas untuk masuik ke daerah
hipotimpanum melalui kanalikulus timpanik inferior
dan akan bergabung dengan saraf karotikotimpanikum
(dari pleksus simpatik a. karotis interna) untuk
membentuk pleksus timpani. Berdekatan dengan
prosessus cocleoformis, pleksus timpani akan
membentuk the lesser superficial petrosal nerve yang
akan menembus m tensor timpani dan masuk ke dalam
fossa kranialis bagian tengah.

bagian helikotrema. Membran reissner adalah lapisan


sel endotel berbentuk membran yang memisahkan
skala vestibuli dengan skala media (duktus
kohlearis).19
Foramen ovale (vestibulum fenestra) merupakan
bagian dari kohlea. Foramen ovale ini terdapat dalam
skala vestibuli dimana sekelilingnya terdapat
ligamentum anularis tempat melekatnya foot plate of
stapes. Selain itu terdapat juga foramen rotundum
(fenestra kohlea). Foramen ini terdapat pada skala
timpani dan tertutup membran gelatinosa sehingga
disebut juga membran timpani sekunder. Di bagian
basal kohlea terdapat lubang yang lebih kecil dari
kedua foramen tadi, lubang tersebut adalah tempat
bermuaranya akuaduktus kohlearis yang berisi duktus
perilimfatikus yang selanjutnya akan berjalan ke
rongga subarahnoid di dasar otak.19
Duktus kohlearis disebut juga skala media yang
merupakan bagian labirin membranosa kohlea,
sedangkan bagian labirin tulang kohlea disebut skala
vestibuli dan skala timpani. Dinding lateral duktus
kohlearis terbagi menjadi dua daerah, stria vaskularis
dibagian atas, penonjolan spiralis dibagian bawah dan
daerah transisi diantaranya. Sel pada stria vaskularis
terdiri dari tiga lapisan dan lapisan paling permukaan
(sel marginal) sangat kaya dengan mitokondria, alat
golgi, dan retikulum endoplasma. Sepanjang duktus
kohlearis di atas membran basilaris terdapat organ
reseptor untuk pendengaran yang disebut organ korti.19

Perdarahan dan persarafan telinga tengah17


Anatomi telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang meliputi: vestibulum,
kanalis semisirkularis, dan kohlea. Yang termasuk
labirin membranosa adalah utrikulus, sakulus, duktus
semisirkularis, dan duktus kohlearis.18
Kohlea adalah bagian dari labirin tulang yang
berbentuk rumah siput dengan setengah lingkaran.
Sumbu axis disebut mediolus adalah suatu bidang
khayal berbentuk kerucut yang terdapat dibagian
dalam kohlea. Bagian dalam kohlea yang disebut
mediolus ini berlubang, merupakan tempat keluar
masuknya pembuluh darah dan saraf untuk daerah
kohlea. Ruangan bagian dalam kohlea dibagi dua oleh
lamina spiralis osea yang merupakan lapisan
periosteum menjadi skala vestibuli dan skala timpani.
Puncak kohlea bersatu diantara kedua skala ini di
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Duktus Kohlearis19
Reseptor alat pendengaran terdapat dalam kohlea
disebut organ korti yang melekat pada zona arkuata
membran basilaris. Komponen utama organ korti
terdiri dari sel rambut luar dan dalam, sel penyangga
(Deiters, Hensen, Claudius), membran tektorial, dan
lamina retikularis. Di bagian tengah organ korti
terdapat bangunan seperti terowongan yang dibentuk
oleh satu lapis sel pilar di bagian dalam, tiga lapis sel
pilar di bagian luar dan membran basilaris dibagian
dasar, sehingga penampangnya berbentuk huruf V. Di
dalam terowongan korti terdapat cairan yang disebut
kortilimfe yang mempunyai komposisi mirip dengan
cairan perilimfe. Seluruh permukaan atas organ korti
ditutupi oleh sejenis lapisan gelatin yang disebut
membran tektoria.20-22

Sel rambut dibedakan atas dua jenis, yaitu sel rambut


dalam dan sel rambut luar. Sel rambut dalam terletak
sebelah medial dari terowongan korti, dekat
perlekatannya pada lamina spiralis terdiri dari
sederetan sel saja sedangkan sel rambut luar yang
terletak lateral terhadap terowongan korti terdiri dari
tiga sampai lima deretan sel dan mempunyai ukuran
sel yang lebih kecil dibandingkan dengan sel rambut
dalam. Ujung bebas silia sel rambut luar ini menempel
pada permukaan bawah membran tektoria.20-22
Sel penyangga terdiri dari sel Hansen, Deiter, dan
Claudius, bentuknya panjang pada bagian yang dekat
ke sel rambut dan menjadi pendek bila menjauhi sel
rambut, sehingga organ korti berbentuk landai.21
Organ korti mengandung 3.500 sel rambut dalam dan
1.200 sel rambut luar. Dekat basis ada tiga deretan sel
rambut luar kemudian akan bertambah pada putaran
tengah dan biasanya menjadi lima deretan sel pada
bagian apeks. Seluruh ujung saraf eferen untuk
pendengaran berhubungan dengan sel rambut dalam
dan luar.20-22
Persarafan Telinga Dalam
Nervus vestibulokohlearis (n. akustikus) dibentuk oleh
bagian kohlear dan vestibulir, di dalam meatus
akustikus internus pada sisi lateral akar n. fasialis dan
masuk batang otak antara pons dan medula. Sel
sensoris vestibularis dipersarafi oleh ganglion
vestibularis (Scarpa) terletak di dasar meatus akustikus
internus. Sel sensoris pendengaran dipersarafi n.
kohlearis yang terletak pada ganglion spiralis di dalam
modiolus dan lamina spiralis oseus. Pada manusia
terdapat 30.000 neuron yang mempersarafi kohlea, 9095% neuron tersebut langsung bersinap dengan sel
rambut dalam dan disebut neuron tipe I. Setiap sel
rambut dalam dipersarafi oleh 15 sampai 20 neuron
tipe I. Hanya 5-10% dari 30.000 neuron yang
mempersarafi sel rambut luar dan disebut neuron tipe
II. Setiap neuron tipe II bercabang untuk mempersarafi
sekitar 10 sel rambut luar. Selain itu terdapat sekitar
1.800 serabut eferen yang berasal dari superior olivari
kompleks ipsilateral dan kontralateral.18
Sistem Pendengaran Sentral
Sistem pendengaran sentral menerima impuls dari
kohlea melalui serabut saraf akustikus. Serabut saraf
akustikus menuju inti kohlearis dorsalis dan ventralis.
Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah
dan berjalan naik menuju superior olivari kompleks
kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan
ipsilateral. Penyilangan selajutnya terjadi pada inti
lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari
kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke
korpus genikulatum dan kemudian ke korteks
pendengaran pada lobus temporalis. Karena seringnya
penyilangan serabut saraf tersebut, maka lesi sentral
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

jaras pendengaran hampir tidak pernah menyebabkan


ketulian unilateral.19,21
Serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu
dari keempat inti vestibularis dan dari sana disebarkan
secara luas menuju medula spinalis, serebelum, dan
bagian susunan saraf pusat lainnya.19,21
Fisiologi Pendengaran
Sistem pendengaran dapat dibagi dalam empat bagian
yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam, dan
sistem saraf pendengaran disertai pusat pendengaran di
otak.20,21
Telinga luar berperan pasif tetapi sangat penting dalam
proses
pendengaran.
Aurikula
berfungsi
mengumpulkan suara dan untuk mengetahui lokasi
datangnya suara, sedangkan kanalis akustikus
eksternus karena bentuk dan dimensinya bersifat
resonator dapat menambah intensitas bunyi dalam
rentang frekuensi 2-4 kHz sebesar 10-15 dB.23

Skema Alur Eferen Sistem Pendengaran Sentral


dari Kohlea Kanan ke Korteks Pendengaran19
Telinga tengah dengan tulang pendengarannya
membentuk sistem pengungkit untuk menghantarkan
suara dari membran timpani ke fenestra ovale. 38
Transmisi energi suara melalui telinga tengah ke
telinga dalam diawali dengan membran timpani yang
menggerakkan maleus. Lengan maleus dan prosesus
longus inkus bergerak bersama-sama karena sensi
maleoinkus terfiksasi, sebaliknya sensi inkus stapes
sangat fleksibel. Selanjunya gerakan membran timpani
akan menyebabkan stapes bergerak seperti piston di

dalam fenestra ovale dan perubahan tekanan yang


diakibatkannya akan dihantarkan melalui perilimfe ke
sekat kohlea kemudian keluar melalui fenestra
rotundum. Transmisi tekanan akan mengakibatkan
sekat kohlea menggelembung ke atas dan ke bawah,
serta akan mengakibatkan sel rambut di dalam organ
korti merangsang saraf auditorius.21
Kohlea terdiri dari skala vestibuli, skala media, dan
skala timpani. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfe, suatu media yang mirip dengan cairan
ekstraselular, mempunyai konsentrasi K+ 4 mEq/L dan
konsentrasi Na+ 139 mEq/L. Skala media berisi
endolimfe, suatu media yang mirip dengan cairan
intraselular, mempunyai konsentrasi K+ 144 mEq/L
konsentrasi Na+ 13 mEq/L. Skala media mempunyai
potensial istirahat positif arus searah (DC) sekitar 80
mV dan sedikit menurun dari basis ke apeks. Potensial
endokohlea tersebut dihasilkan oleh stria vaskularis
yang mempunyai banyak vaskular dan pompa Na+/K+ATP ase pada sejumlah sel stria vaskularis.23
Sel rambut luar dan dalam mempunyai peranan utama
dalam proses transduksi energi mekanik (akustik) ke
dalam energi listrik (neural). Proses transduksi diawali
dengan pergeseran (naik turun) membran basilaris
sebagai responss pada gerakan piston kaki stapes
dalam fenestra ovale akibat energi akustik yang
kemudian menggerakkan perilimfe di sekitar sekat
kohlea. Bila stapes bergerak ke dalam dan keluar
dengan cepat, cairan tidak semuanya melalui
helikotrema, kemudian ke foramen rotundum dan
kembali ke foramen ovale diantara dua getaran yang
berurutan. Sebagai gantinya gelombang cairan
mengambil cara pintas melalui membran basilaris
menonjol bolak balik pada setiap getaran suara. Pola
pergeseran membran basilaris membentuk gelombang
berjalan (traveling wave). Karena membran basilaris
lebih kaku di daerah basis daripada di apeks dan
kekakuan tersebut didistribusikan secara terus
menerus, maka traveling wave selalu bergerak dari
basis ke apeks. Amplitudo maksimum membran
basilaris bervariasi tergantung stimulus frekuensi.
Gerak gelombang membran basilaris yang dihasilkan
oleh suara dengan frekuensi tinggi amplitude
maksimumnya jatuh di dekat basal kohlea, sedangkan
gelombang akibat suara dengan frekuensi rendah
amplitude maksimumnya jatuh di daerah apeks.
Gelombang akibat suara frekuensi tinggi tidak dapat
mencapai apeks kohlea, tetapi gelombang akibat suara
frekuensi rendah dapat bergerak di sepanjang membran
basilaris. Jadi setiap frekuensi suara menyebabkan
corak gerakan yang tidak sama pada membran basilaris
dan ini merupakan cara untuk membedakan
frekuensi.23
Mekanisme amplitudo maksimal pada gerakan
gelombang mekanik membran basilaris melibatkan sel
rambut luar yang dapat meningkatkan gerakan
membran basilaris. Peningkatkan gerakan ini disebut
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

cochlear amplifier yang memberi kemampuan sangat


baik pada telinga untuk menyeleksi frekuensi, telinga
menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang
lemah. Adanya proses cochlear amplifier tersebut
didukung oleh fenomena emisi otoakustik yaitu bila
telinga diberi rangsangan akustik yang dapat
memberikan pantulan energi yang lebih besar dari
rangsangan yang diberikan. Faktor yang memberi
kontribusi pada cochlear amplifier gerakan sel rambut
luar, sifat mekanik stereosilia, dan membran tektorial.23
Stereosilia sel rambut sangat penting untuk proses
transduksi. Stereosilia adalah berkas serabut aktin yang
membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan
kutikular. Membengkoknya stereosilia akibat gerakan
gelombang membran basilaris akan membuka dan
menutup saluran ion nonspesifik pada ujung
stereosilia, menimbulkan aliran arus (K+) ke dalam sel
sensoris. Aliran kalium timbul karena potensial
endokohlea +80 mV dan potensial intraselular negatif
pada sel rambut, sel rambut dalam 45 mV dan sel
rambut luar 70 mV. Hal tersebut menghasilkan
depolarisasi intraselular yang menyebabkan enzim
mengalir termasuk kalsium ke dalam sel rambut,
kemudian terjadi pelepasan transmiter kimia ke ruang
sinaps dan menghasilkan potensial aksi yang akan
diteruskan ke serabut n. VIII menuju nukleus
kohlearis.23
Terdapat 4 potensial ekstraselular yang dapat dicatat di
kohlea, yaitu potensial endolimfatik (endokohlea),
mikrofonik kohlea, potensial sumasi, dan potensial
aksi gabungan. Tidak seperti potensial kohlea yang lain
potensial endolimfatik tidak digerakan oleh stimulus
akustik, merupakan potensial DC 80-100 mV yang
dicatat di skala media. Potensial endokohlea berasal
dari stria vaskularis pada dinding lateral kohlea. Stria
vaskularis merupakan sumber energi atau baterai pada
kohlea, yang sangat penting untuk proses transduksi.
Sifat sebagai sumber bunyi memungkinkan karena
stria vaskularis mempunyai banyak vaskular dan
Na+,K+ATP-ase. Na+,K+ATP-ase merupakan salah satu
pengangkut enzim yang sangat penting dalam kohlea.23
Mikrofonik kohlea merupakan voltase AC yang dapat
dicatat di dekat foramen rotundum. Mikrofonik kohlea
menggambarkan aliran arus K+ terutama melalui sel
rambut luar, merupakan hantaran listrik pada sel
rambut luar yang diubah oleh gerakan membran
basilaris. Bila stereosilia membengkok menjauhi
modiolus
hambatan
sel
rambut
berkurang,
menimbulkan peningkatan aliran ion K+ ke korpus sel
rambut dan sedikit mengurangi endolimfatik potensial.
Bila stereosilia membengkok ke arah modiolus,
hambatan meningkat dan aliran ion K+ menurun serta
meningkatkan
endolimfatik
potensial.
Bentuk
gelombang mikrofonik kohlea mencerminkan gerakan
membran basilaris.23

Sumasi potensial adalah potensial DC yang dapat


direkam di dalam kohlea sebagai responss pada suara.
Pencatatan potensial DC dapat dibuat di skala timpani,
skala media atau vestibuli, dan di liang telinga.
Potensial dapat positif atau negatif tergantung lokasi
elektroda atau frekuensi dan tingkat rangsangan.
Potensial sumasi mungkin mempunyai beberapa
sumber, tetapi sebagian besar menggambarkan
perubahan DC yang disebabkan oleh perjalanan
stimulus potensial intraselular sel rambut dan sebagian
kecil sel rambut dalam.23

berjalan ke kolikulus inferior. Sedikitnya ada 18 tipe


sel utama dan 5 area khusus pada nukleus kolikulus
inferior, hal ini berhubungan dengan seluruh perilaku
pendengaran, meliputi sensitivitas yang berbeda untuk
frekuensi, intensitas, kekerasan suara, dan pendengaran
untuk kedua telinga. Kemudian impuls diteruskan ke
korteks auditorius melalui medial geniculatum body.
Pada tingkat yang lebih tinggi sebagian neuron
memberikan respons terhadap impuls dari kedua sisi.

Potensial aksi gabungan berasal dari pelaksanaan all


or none pada serabut saraf auditorius. Potensial aksi
gabungan lebih efektif dicatat dengan elektoda yang
ditempatkan dekat foramen rotundum atau saraf
auditorius dan dengan menggunakan sinyal frekuensi
tinggi dengan onset yang cepat.23

1.

Nguyen Q, Viirre ES. Tinitus. Dalam:Weisman


MH, Harris JP. Head and Neck Manifestation of
Systemic Disease. New York. Informa. 2007.
H.379-84

2.

Bull, P.D, P.D. Disease of The Ear, Nose and


Throat. Idaho. Blackwell Science. 2002. H.59-60

3.

Schleuning, AJ. Martin, WH. Shi Y. Tinnitus.


Dalam: Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck
Surgery Otolaryngology Edisi ke-4. Philladelphia.
Lippincott. 2006. H.2237-45

4.

Bull TR. Tinnitus. Dalam: Bull TR. Color Atlas of


ENT Diagnosis. Edisi ke-4. New York. Thieme.
2003. H.28

5.

Mils JH, Hanwalla SS, Webber PC. Anatomy


and Physiology of Hearing. Dalam: Bailey BJ,
Johnson JT. Head and Neck Surgery
Otolaryngology Edisi ke-4. Philladelphia.
Lippincott. 2006. H.1883-1903

6.

Hashisaki GT., Complications of Chronic Otitis


Media. Dalam The Ear Comprehensive Otology.,
Edited by Canalis RF., Lambert PR., Lippincott
Williams & Wilkins., Philadelphia. 2000: 26: 43345.

7.

Ballenger JJ., Complications of Ear Disease.,


Dalam Disease of the Nose, Throat, Ear, Head,
and Neck., 13th edition., Lea & Febiger.
Philadelphia. 1985: 57: 1170-96.

8.

Ludman H., Complications of suppurative otitis


media., Dalam Scott-Browns Otolaryngology., 5 th
edition., Edited by Kerr AG., Butterworth & Co.
London. 1987: 12: 264-291.

9.

Lambert PR., Canalis RF., Anatomy and


embryology of the Auditory and Vestibular
Systems. Dalam The Ear Comprehensive
Otology., Edited by Canalis RF., Lambert PR.,
Lippincott Williams & Wilkins., Philadelphia.
2000: 2: 17-66.

Fisiologi Sistem Saraf dan Pusat Pendengaran23


Impuls pendengaran yang merupakan hasil proses
transduksi dari energi mekanik (akustik) ke energi
listrik (neural) diteruskan melalui n. VIII menuju
nukleus kohlearis. Serabut saraf yang mempunyai
aktifitas tinggi mempunyai dendrit yang tebal, serabut
saraf dengan aktifitas rendah mempunyai terminal
yang berbeda pada sistem saraf pusat pendengaran
(nukleus kohlearis). Unit serabut saraf dengan
karakteristik frekuensi rendah mempersarafi sel rambut
dalam di daerah apeks kohlea, sedangkan serabut saraf
dengan karakteristik frekuensi tinggi mempersarafi sel
rambut dalam di daerah basal kohlea. Kurva nada
(tuning curve) dari satu serabut saraf auditori
merupakan dasar untuk mengukur fungsi saraf
pendengaran. Serabut saraf dengan karakteristik
frekuensi dibawah 11 kHz mempunyai bentuk kurva
seperti huruf V. Serabut saraf dengan karakteristik
frekuensi tinggi mempunyai bentuk kurva yang jelas
atau runcing. Kerusakan pada sel sensoris, termasuk
stereosilia dapat merubah bentuk kurva nada secara
dramatis. Bila sel rambut luar dirusak kurva nada
serabut saraf pendengaran yang berasal dari sel rambut
dalam yang normal akan mengalami perubahan di
beberapa tempat. Aktivitas saraf normal meliputi
deteksi suara rendah dan perubahan frekuensi
tergantung pada keutuhan sel rambut luar dan
stereosilia yang normal.
Semua serabut n. VIII berakhir di nukleus
kohlearis. Terdapat 5 tipe sel utama di dalam nukleus
kohlearis, setiap sel mempunyai morfologi dan fungsi
yang berbeda, yaitu responss terhadap permulaan
stimulus, perubahan stimulus, dan modulasi frekuensi.
Dari nukleus kohlea sebagian besar serabut saraf
menyilang batang otak menuju ke nukleus kompleks
olivarius superior kontralateral dan sebagian kecil
berjalan ke nucleus kompleks olivarius superior
ipsilateral. Informasi dari kedua telinga pertama kali
akan berkonversigensi pada kompleks olivarius
superior. Dari kompleks olivarius superior impuls akan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

DAFTAR PUSTAKA

10. Paparella MM., Adams GL., Levine SC.,


Disease of the Middle Ear and Mastoid., Dalam
Boeis Fundamental of Otolaryngology., 6th edition.
WB Saunders Company. Philadelphia. 1989: 6:
88-118.
11. Paparella MM., Adams GL., Levine SC.,
Disease of the Middle Ear and Mastoid., Dalam
Boeis Fundamental of Otolaryngology., 6th edition.
WB Saunders Company. Philadelphia. 1989: 6:
88-118.
12. Hollinshead WH., The Ear., Dalam Anatomy for
Surgeons: Volume 1: The Head & Neck., A
Hoeber-Harper International Edition. London.
1966: 166-228.
13. Browning GG., Pathology of inflammatory
conditions of the external and middle ear., Dalam
Scott-Browns Otolaryngology., 5th edition., Edited
by Kerr AG., Butterworth & Co. London. 1987: 3:
53-87
14. Austin DF., Anatomy and embryology., Dalam
Disease of the Nose, Throat, Ear, Head, and Neck.,
13th edition., Lea & Febiger. Philadelphia. 1985:
46: 877-923.
15. Gray H., The Auditory and Vestibular Apparatus.,
Dalam Grays Anatomy., 37th edition . Edited by
Williams PL., Warwick R., Dyson M., et all.
ELBS-TePress. London. 1992: 1219-43.
16. Proctor B., Chronic otitis media and mastoiditis.,
dalam Otolaryngology. 2nd edition. Volume II.,
edited by Paparella, Shrumrick., WB Saunders
company., Philadelphia., 1980: 18: 1455-89.
17. Wiet RJ., Harvey SA., Bauer GP., Management
of Complications of Chronic Otitis Media. Dalam
Otologic Surgery. 2nd Edition., Edited by
Brackmann DE., WB Saunders Company.
Philadelphia. 2001: 19: 197-215.
18. Lambert PR, Canalis RF. The ear
comprehensive otology. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2000.
19. Mills JH, Weber PC. Anatomy and physiology of
hearing. Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head and
neck
surgery-otolaryngology.
Edisi
ke-3
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2001. h. 1621-40.
20. Austin DF. The ear. Dalam: Ballenger JJ,
penyunting. Diseases of the nose, throat, ear, head,
and neck. Edisi ke-13. Philadelphia: Lea and
Febinger. 1991. h. 877-1035.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

21. Wright A. Anatomy and ultrasucture of the human


ear. Dalam: Kerr AG, penyunting. Scott-browns
otolaryngology basic science. Edisi ke-6. London:
Butterworth; 1997. h. 1-150.
22. Adam G, Boies LR, Paparella MR. Anatomy of
the ear. Dalam: Boies, penyunting. Fundamental
of otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: WB
Saunders Co; 1976. h. 228-64.
23. Durrant JD, Ferraro JA. Physiologic acousticsthe auditory periphery. Dalam: Canalis RF,
Lambert PR, penyunting. The ear comprehensive
otology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2000. h. 89-112.

ANATOMI DAN FISIOLOGI ORGAN VESTIBULER


Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang
dilekati oleh banyak kristal kalsium karbonat
kecilAparatus vestibuler merupakan organ yang dapat
kecil yang disebut statokonia (atau otolit). Dalam madipakai untuk mendeteksi sensasi yang berhubungan
kula juga didapati beribu-ribu sel rambut.1.3
dengan keseimbangan. Alat ini terdiri atas suatu sistem
tabung tulang dan ruangan-ruangan yang terletak
dalam bagian petrosus (bagian seperti batu, bagian
keras) dan tulang temporal yang disebut labirin tulang
(bony labyrinth) dan dalam labirin tulang ada tabung
membran dan ruangan yang disebut membran labirin,
yang merupakan bagian fungsional dari aparatus ini.1,2,3

Anatomi vestibuler3
Labirin membran, terutama terdiri atas duktus
koklearis, tiga kanalis semisirkularis, dan dua ruangan
besar yang dikenal sebagai utrikulus dan sakulus.
Duktus koklearis merupakan area sensorik luas dari
pendengaran dan sama sekali tak berhubungan dengan
keseimbangan. Biarpun begitu, utrikulus, kanalis
semisirkularis dan mungkin sakulus, semuanya ini
merupakan bagian integral (suatu kesatuan) dari
mekanisme keseimbangan. Makula merupakan organ
sensorik utrikulus dan sakulus untuk mendeteksi
orientasi kepala sehubungan dengan gravitasi. Di
bagian permukaan dalam dari setiap utrikulus dan
sakulus ada daerah sensorik kecil yang diameternya
lebih sedikit dari dua mm dan disebut sebagai
makula.1.3
Makula dari utrikulus terletak pada bidang horizontal
permukaan inferior utrikulus dan memegang peran
penting dalam menentukan orientasi yang normal dari
kepala sesuai dengan arah gaya gravitasi atau gaya
percepatan. Sebaliknya, makula yang dari sakulus
terletak dalam bidang vertikal dinding medial sakulus.
Dari beberapa penelitian diduga kerja makula dari
sakulus erat hubungannya dengan duktus koklearis
yang dipakai untuk mendeteksi tipe suara tertentu
dan oleh karena mungkin tak begitu berperan
sebagai alat keseimbangan. Biarpun begitu, mungkin
tapi tak pasti sakulus juga bekerja sebagai alat
keseimbangan, khususnya sewaktu kepala tak dalam
posisi vertikal.1,3

Membran di dalam canalis semicircularis saculus


dan urticulus 3
Sel rambut ini akan memprojeksikan silia ke dalam
lapisan gelatinosa tadi. Pangkal dan sisi-sisi sel-sel
rambut bersinaps dengan akson-akson sensorik saraf
vestibuler. Bahkan dalam keadaan istirahat, sebagian
besar serat saraf di depan sel-sel rambut terus-menerus
menjalarkan rangkaian impuls saraf, rata-rata berkisar
200 impuls per detiknya. Tertekuknya silia sel rambut
ke salah satu sisinya akan menyebabkan penjalaran
impuls pada serat saraf meningkat secara nyata;
sedangkan bila silia tertekuk ke sisi yang berlawanan
akan menurunkan penjalaran impuls, seringkali dapat
menghentikan penjalaran secara total. Oleh karena
itu, oleh karena ada perubahan orientasi kepala pada
ruangan dan oleh karena beratnya otokonia (di mana
gravitasinya kurang lebih tiga kali gravitasi jaringan
sekitarnya) akan menekuk silia, maka sinyal-sinyal
yang sesuai akan dijalarkan ke otak untuk mengatur
keseimbangan.1.3.4

Sel rambut
Dalam setiap makula, bermacam-macam sel rambut
ditempatkan dalam arah yang berbeda-beda sehingga

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

beberapa di antaranya dapat terstimulasi sewaktu


kepala tertekuk ke depan, beberapa sewaktu kepala
tertekuk ke belakang, lainnya sewaktu kepala tertekuk
ke salah satu sisi, dan sebagainya. Karena itu, untuk
setiap posisi kepala dalam makula dapat timbul pola
eksitasi yang berbeda-beda. Pola inilah yang nantinya
akan memberitahukan pada otak perihal orientasi
kepala.1.3.4
Cupula 5
Ke dalam kupula ada projeksi silia dari sel-sel rambut
yang terletak di sepanjang krista ampularis, dan
sebaliknya sel-sel rambut ini berhubungan dengan
serat-serat saraf sensorik yang berjalan ke nervus
vestibularis. Pembengkokan kupula ke salah satu sisi
akan menyebabkan timbulnya aliran cairan dalam
kanalis, merangsang sel-sel rambut, sedangkan
pembengkokan ke arah yang berlawanan akan
menghambat sel-sel rambut. Jadi, sinyal yang sesuai
akan dikirimkan melewati nervus vestibularis untuk
memberitahukan sistem saraf pusat tentang adanya
gerakan cairan dalam kanalis yang sesuai.1

Posisi sel rambut 1


Kanalis Semisirkularis. Dalam setiap aparatus
vestibuler terdapat tiga buah kanalis semisirkularis,
yang dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior,
posterior, dan horizontal, yang satu sama lain saling
tegak lurus, sehingga ketiga kanalis ini terdapat dalam
tiga bidang. Bila kepala tunduk kira-kira 30 derajat ke
depan, maka kedua kanalis semisirkularis horisontalis
akan terletak kira-kira pada bidang horisontal sesuai
dengan permukaan bumi. Maka kemudian kanalis
anterior akan terletak pada bidang vertikal yang arah
proyeksinya akan ke depan dan 45 derajat keluar dan
kanalis posterior juga akan terletak pada bidang
vertikal tapi projeksinya ke belakang dan 45 derajat
keluar. Jadi, kanalis anterior pada setiap sisi kepala
akan terletak pada bidang yang sejajar dengan kanalis
posterior sisi kepala yang berlawanan, sedangkan
kedua kanalis horisontalis pada kedua sisi kepala
kira-kira terletak pada bidang yang sama.1.3.4,5
Pada ujung akhir setiap kanalis semisirkularis ada
pembesaran yang disebut ampula, dan kanalis ini terisi
dengan cairan kental yang disebut endolimfe. Adanya
aliran atau pengaliran cairan dalam kanalis akan
merangsang organ sensorik yang terdapat dalam
ampula. Dalam setiap ampula ada kuncung kecil (small
crest) yang disebut krista ampularis, dan pada puncak
krista ada massa gelatinosa seperti yang terdapat pada
utrikulus dan dikenal sebagai kupula.1

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Arah Kepekaaan Sel-sel Rambut Kinosilium .


pada setiap sel rambut, baik dalam makula atau dalam
kupula, mempunyai kira-kira 50 silia kecil, yang
disebut sebagai stereosilia, serta ada satu silia yang
sangat besar yang disebut kinosilium. Kinosilium ini
terletak pada salah satu sisi sel rambut, jadi selalu
terletak pada sisi yang sama dari sel yang sesuai
dengan orientasinya pada krista ampularis. Keadaan ini
merupakan penyebab timbulnya sensitivitas langsung
sel-sel rambut itu: yaitu, perangsangan bila silia
membengkok ke arah sisi kinosilium dan
penghambatan bila ada pembengkokan ke sisi yang
berlawanan.1

Kepekaaan sel rambut-kinosilium dan aliran


endolymph 5

semisirkularis sendiri. yaitu, bila ada cedera berat


pada salah satu struktur ini maka keseimbangan akan
hilang selama ada perubahan arah gerak yang cepat,
namun pada keadaan statik gangguan keseimbangan
ini tak begitu serius, seperti yang akan dibicarakan
dalam bagian bab ini selanjutnya. Juga ada anggapan
bahwa bagian uvula serebelum juga mempunyai peran
yang sama pentingnya dalam keseimbangan statik. 1,3.4

Kinocilium dan stereocilia 1


Hubungan Neuronal antara Aparatus Vestibuler
dengan Sistem Saraf Pusat. Sebagian besar seratserat saraf vestibuler ini berakhir di dalam nuklei
vestibuler, yang terletak dekat dengan tempat gabungan
antara medula dan pons, namun beberapa serat saraf ini
lewat tanpa bersinaps ke nuklei fastigial, uvula, dan
lobus flokulonoduler serebeli. Serat-serat yang
berakhir di nuklei vestibuler akan bersinaps dengan
neuron urutan kedua yang juga akan mengirimkan
serat-serat menuju ke area serebelum maupun ke
korteks bagian lain dari serebelum, ke dalam traktus
vestibulospinal, ke dalam fasikulus longitudinalis
medialis, dan bagian-bagian lain batang otak,
khususnya formasio retikularis. 1,3

Hubungan saraf vestibuler4


Perhatikan secara khusus adanya hubungan yang
sangat erat antara aparatus vestibuler, nuklei vestibuler,
dan serebelum. Lintasan primer refleks-refleks
keseimbangan dimulai dalam saraf vestibuler dan
selanjutnya akan berjalan menuju ke nuklei vestibuler
dan serebe1um. Selanjutnya, bersama-sama dengan
penjalaran dua arah dari kedua impuls, sinyal-sinyal
juga dikirim ke nuklei retikuler batang otak maupun
ke bawah melalui traktus vestibulospinal dan traktus
retikulospinal menuju ke medula spinalis. Sebaliknya,
sinyal-sinyal ke medula dipakai untuk mengatur
fasilitasi dan inhibisi otot-otot antigravitasi yang saling
mengatur satu sama lain, jadi secara otomatis mengatur
keseimbangan.1,3.4
Tampaknya lobus flokulonoduler khusus berhubungan
dengan
fungsi
keseimbangan
dari
kanalis
semisirkularis sebab bila ada kerusakan lobus ini
maka gejala-gejala klinik yang timbul hampir sama
dengan gejala-gejala akibat kerusakan kanalis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Sinyal-sinyal dari nuklei vestibuler dan serebelum


melalui fasikulus longitudinalis medial akan dijalarkan
ke atas menuju ke batang otak dan akan menyebabkan
perbaikan dari gerakan mata setiap kali kepala
berputar, agar mata tetap terfiksasi pada suatu objek
penglihatan yang spesifik. Sinyal-sinyal juga akan
dijalarkan ke atas (baik melalui traktus yang sama
atau melalui traktus retikularis) menuju ke korteks
serebri, mungkin akan berakhir di pusat korteks
primer untuk keseimbangan, yang terletak di bagian
dalam fisura Sylvian lobus parietalis, yakni di sisi lain
fisura dari area auditorik girus temporalis superior.
Sinyal-sinyal iru akan mengabarkan tentang keadaan
jiwa akibat dari keadaan keseimbangan tubuh.1,3.4
Nuklei vestibuler pada kedua sisi batang otak terbagi
dalam empat bagian yang terpisah. Yakni:
(1 dan 2) Nuklei vestibuler medial dan nuklei vestibular
superior yang terutama menerima sinyal-sinyal dari
kanalis semisirkularis dan nuklei-nuklei ini sebaliknya
akan mengirimkan banyak sekali sinyal saraf ke
jasikrdus longitudinalis medial guna menimbulkan gerakan koreksi dari mata seperti halnya sinyal-sinyal
yang melalui traktus vestibulospinal medial guna
menimbulkan gerakan yang sesuai dari leher dan
kepala.
(3) Nukleus vestibuler lateral yang menerima
persarafan terutama dari utrikulus dan mungkin dari
sakulus, dan nuklei ini sebaliknya akan mengeluarkan
sinyal yang melalui traktus vestibulospinal lateral
menuju ke medula spinalis guna mengatur gerakan
tubuh.
(4) Nukleus vestibuler inferior yang menetima sinyalsinyal dari kanalis semisirkularis dan utrikulus dan
sebaliknya nuklei ini akan mengirimkan sinyal menuju
ke serebelum dan formasio retikularis batang otak.

.
Nuklei Vestibuler 3

Fungsi
Utrikulus
dan
Keseimbangan Statik3,4

Sakulus

dalam

Kiranya penting diingatkan bahwa bermacammacam sel rambut ditempatkan dengan bermacammacam arah dalam makula dari utrikulus dan sakulus
sehingga pada berbagai posisi kepala yang terangsang
juga bermacam-macam sel rambut. Pola perangsangan
bermacam-macam sel rambut akan mengabarkan pada
sistem saraf tentang posisi kepala sehubungan dengan
daya tarik dari gravitasi. Sebaliknya, sistem motorik
vestibuler, sistem motorik serebelar dan sistem motorik
retikuler secara refleks akan merangsang otot-otot
yang menjaga keseimbangan yang tepat. Makula di
dalam utrikulus berfungsi secara ekstrem efektif dalam
menjaga keseimbangan sewaktu kepala pada posisi
hampir vertikal. Memang, seseorang akan dapat
menentukan ketidakseimbangan sebesar setengah
derajat bila kepala dimiringkan dari posisi tegak.
Sebaliknya, bila kepala semakin miring dari posisi
tegaknya, maka penentuan orientasi kepala oleh indera
vestibuler akan semakin berkurang. Jadi jelasnya,
sensitivitas yang ekstrem dari posisi tegak mempunyai
peran yang penting untuk menjaga keseimbangan statik
dalam bidang vertikal yang tepat, yang merupakan
fungsi utama aparatus vestibuler.1,3.4
Deteksi Percepatan Linear oleh Makula. Bila tubuh
tiba-tiba didorong dengan kasar ke depan-yakni,
sewaktu
tubuh
mengalami
percepatan-maka
statokonia, yang mempunyai kelembaman (inersia)
yang lebih besar dari cairan sekelilingnya, akan jatuh
ke belakang yakni ke silia sel-sel rambut, dan
informasi
mengenai
ketidakseimbangan
akan
dikabarkan ke pusat-pusat saraf, sehingga orang akan
merasakan sepertinya ia akan jatuh ke belakang.
Keadaan ini akan menyebabkan orang secara automatis
menyondongkan badannya ke arah depan sampai
pergeseran ke anterior dari statokonia akibat gerakan
condong tadi sama dengan kecenderungan statokonia
untuk jatuh ke belakang. Pada titik ini, sistem saraf akan
dapat
mendeteksi
keadaan
sebenarnya
dari
keseimbangan sehingga gerakan condong ke depan dari
tubuh tak akan berlanjut. Jadi, makula bertugas untuk
menjaga agar keadaan keseimbangan selama ada
penambahan kecepatan secara linear dengan pola yang
tepat sama seperti sewaktu makula bekerja pada
keseimbangan statik.1,3.
Makula tak bekerja untuk mendeteksi kecepatan
linear. Bila seorang pelari mau mulai lari, pelari harus
mencondongkan diri jauh ke depan dulu agar tak
sampai jatuh ke belakang oleh karena mengalami
percepatan, namun begitu ia dapat mencapai kecepatan
lari yang maksimum, bila pelari lari dalam ruang yang
hampa, pelari itu tak usah lagi menyondongkan
badannya terlalu ke depan. Bila pelari lari dalam udara
(ruang ada udaranya), pelari akan menyondongkan
dirinya ke depan untuk menjaga agar keseimbangannya
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

tetap dan kcadaan ini tercapai hanya oleh karena


adanya tahanan udara terhadap badan pelari, dan pada
contoh ini, bukan makula yang menyebabkan
condongnya badan ke depan tapi tekanan udara yang
bekerja pada reseptor tekanan yang terdapat pada kulit,
yang akan memulai terjadinya penyetelan
keseimbangan yang sesuai agar tak sampai jatuh.1,3.4

Deteksi Percepatan Linear oleh Makula 5


Fungsi Kanalis Semisirkularis
Bila kepala tiba-tiba mulai berputar kearah setiap arah
(ini disebut sebagai percepatan angular/bersiku-siku),
maka endolimfe yang terdapat dalam kanalis
semisirkularis membranosa, oleh karena adanya
inersia, cenderung untuk menetap, sedangkan kanalis
semisirkularis akan berbelok/berputar. Keadaan ini
akan menimbulkan aliran cairan kanalis relatif dengan
arah yang berlawanan dengan arah perputaran
kepala.1,3.4
Penyebab timbulnya adaptasi pada reseptor yang
timbul sewaktu diputar selama satu detik atau lebih
adalah adanya gesekan di dalam kanalis
semisirkularis yang akan menyebabkan endolimfe
berputar dengan kecepatan yang sama cepatnya
dengan kecepatan kanalis semisirkularis itu sendiri,
dan selanjutnya selama 15 sampai 20 detik berikutnya
kupula secara perlahan kembali ke posisi istirahat,

yakni di bagian tengah ampula sebab sifat rekoil


elastiknya. Bila putaran dengan tiba-tiba dihentikan,
maka jelas akan timbul akibat yang sebaliknya: cairan
endolimfe tetap terus bergerak sedangkan kanalis
semisirkularisnya berhenti. Pada saat ini,
kupulanya akan berbelok ke arah yang berlawanan,
sehingga sel-sel rambut tak akan mengeluarkan rabas
samasekali. Sesudah beberapa detik kemudian, cairan
endolimfe akan berhenti bergerak dan dalam waktu kirakira 20 detik kupula secara bertahap akan kembali ke
posisi istirahat, jadi pengeluaran rabas dari sel-sel
rambut akan kembali ke nilai normal yang tonik.1,3.4
Jadi bila kepala mulai berputar, kanalis semisirkularis
akan menjalarkan sinyal-sinyal positif dan bila kepala
berhenti berputar ,maka kanalis semisirkularis akan
menjalarkan sinyal-sinyal negatif. Selanjutnya paling
sedikitnya ada beberapa sel rambut yang selalu
mengeluarkan respon terhadap perputaran yang terjadi
dalam setiap bidang-bidang horizontal, sagital atau
koronal. 1,3.4

Respons sel rambut terhadap perputaran4

DAFTAR PUSTAKA
1.

Wright CG, Schwade ND. Anatomy and


physiology of the vestibular system. Dalam:
Roeser RJ, penyunting Audiology diagnosis.
New York: Thieme; 2000. h. 73-84.

2.

Desmon Alan, Au.D.Vestibular Function


Evaluation and Treatment. New York, Thieme
2004, h 85-110.

3.

Barin K, Duran JD. Applied physiology of


the vestibular system. Dalam: Lambert PR,
penyunting: The ear comprehensive otology.
Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins;
2000. h. 113-39.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

4.

Lysakowski A, McCrea RA, Tomlinson RD.


Anatomy of vestibular end organs and neural
pathways.
Dalam:
Cummings
CW,
penyunting Otolaryngology-head and neck
surgery. Edisi ke-2. St. Loius: Mosby; 1993.
h. 2525-47.

5.

Hamid M. Dizziness, vertigo, and imbalance.


Available
from:
http://www/emedicinespecialties/neurology/n
euro-otology.

OTITIS MEDIA SUPURATIF


Di kepustakaan lain disebutkan bahwa pada otitis
KRONIK
Otitis Media Supuratif Kronik
Otitis media supuratif kronis terbagi atas 2 bagian,
berdasarkan ada tidaknya kolesteatom:10-11
1.
OMSK Benigna
Proses peradangan OMSK benigna terbatas pada
mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi
terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna
jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.
Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat
kolesteatom

media kronik selain terjadinya proses peradangan pada


telinga tengah juga terjadi pada daerah mastoid. 3 Otitis
media supuratif kronik juga disertai dengan terjadiny

Gambaran Klinik OMSK Maligna10


proses infeksi kronis dan pengeluaran cairan
(Otorrhea) melalui perforasi membran timpani yang
disertai dengan adanya keterlibatan dari mukosa
telinga tengah dan rongga pneumatisasi pada daerah
tulang temporal.3
Komplikasi Otitis media kronik adalah penyebaran
infeksi diluar daerah rongga pneumatisasi dari tulang
temporal dan mukosanya.3
Gambaran Klinik OMSK Benigna11
2.

OMSK Maligna
OMSK disertai kolesteatom, perforasi biasanya
terletak di marginal atau atik. Sebagian besar
komplikasi yang berbahaya dapat timbul pada tipe
ini.

Definisi Otitis Media Supuratif Kronik


Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah
proses peradangan akibat infeksi mukoperiosteum
rongga telinga tengah yang ditandai oleh perforasi
membran timpani, keluar sekret yang terus-menerus
atau hilang timbul, dan dapat menyebabkan perubahan
patologik yang permanen.1 Proctor (1980) memberikan
batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses
kronis pada OMSK, sedangkan Paparella (1983)
mengatakan bahwa kronisitas cenderung berdasarkan
atas kelainan patologis yang telah terjadi, dan pada
umumnya peradangan setelah peradangan berlangsung
12 minggu.3
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Etiologi Otitis Media Supuratif Kronik


Meskipun sumber penyakit dari OMSK ini masih
menjadi perdebatan, tetapi sebagian besar ahli percaya
bahwa penyakit ini timbul karena proses efusi pada
telinga tengah yang telah berlangsung lama, baik efusi
yang bersifat purulen, serous, maupun mukoid. Dasar
dari hipotesis ini adalah penelitian Jhon dkk, pada 2
dekade silam, yang melakukan penelitian pada serologi
pada contoh tulang temporal pasien dan digabungkan
dengan berbagai disiplin ilmu, didapatkan bahwa
proses inflamasi yang terjadi pada telinga tengah
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
terjadinya produksi cairan efusi dari telinga tengah
yang menetap sehingga terjadi perubahan mukosa yang
menetap. 2,6,7

kokus adalah peptostreptococcus. Dari golongan


jamur, terkadang juga didapatkan pada sekret biakan
OMK.

Peradangan
Telinga
Tengah1

pada

Tingkat insidensi (golongan aerob dan anaerob)


dari bakteri yang memproduksi -laktamase sekitar
70%.7,14

Patologi Otitis Media Supuratif Kronik


Dari bukti penelitian lain
didapatkan bukti bahwa, pada cairan otitis media
kronik terdapat enzim yang dapat mengubah mukosa
pada telinga tengah, termasuk didalamnya enzim
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
pada permukaan lateral dan tengah membran timpani
sehingga akan mengakibatkan terjadinya kelemahan
pada membran timapani dan akhirnya akan
menyebabkan terjadinya kolaps dan perforasi kronis
membran timpani. 2,6,7
Perubahan struktur pada mukosa telinga tengah
juga dapat diakibatkan oleh akibat langsung dari
infeksi bakteri patogen ke telinga tengah dan mastoid
yang mengakibatkan terjadinya proses infeksi dan
peradangan kronis pada telinga tengah dan mastoid.
Perubahan mukosa tersebut akan mengakibatkan
terjadinya udema dan degenerasi polipoid pada
mukosa telinga tengah, yang akan mengakibatkan
terjadinya obliterasi sebagian atau total dari antrum
mastoid (aditus block), sehingga drainase dari sel
mastoid akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya
proses peradangan pada mastoid yang lama kelamaan
akan mengakibatkan terjadinya perubahan dari sel-sel
udara pada rongga mastoid tersebut secara persisten.
6,13

Bakteriologi Otitis Media Supuratif Kronik


Jenis bakteri yang aktif pada penyakit OMSK
berbeda dengan pada OMA, sebagian besar penelitian
memperlihatkan bakteri Pseudomonas aeruginosa,
dengan tingkat prevalensi 40%-65%, kemudian
Staphylococcus aerius, dengan tingkat prevalensi 10%
- 20%. Sedangkan bakteri lain dari golongan aerob
adalah Escherichia colli, proteus dan S. epidermidis.
Bakteri golongan anaerob adalah Bacteroides, terutama
dari golongan B. melaninogenicus dan B. fragilis (grup
basil gram negative). Bakteri aerob gram positif grup
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Perubahan tulang temporal pada OMSK pada


telinga dengan atau tanpa perforasi membran timpani
adalah sama. Selama fase aktif, mukosa telinga tengah
memperlihatkan proses infiltrasi yang ektensif dari selsel akut maupun kronis. Sel-sel limfosit dan plasma
paling menonjol dalm fase ini, dan terkadang juga
ditemukan infeksi bakteri intraepithelial. Proses infeksi
akan mengakibatkan terjadinya proses udema yang
kronis pada mukosa yang pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya perubahan mukosa tersebut
menjadi polipoid, yang mana hal ini ditandai dengan
adanya pembentukan mukosa kapiler baru yang rapuh
yang diikuti dengan terbentuknya jaringan granulasi.7,14
Gambaran histopatologi jaringan granulasi pada
telinga tengah dapat dilihat pada gambar berikut
Dari penelitian Sade didapatkan bahwa pada
penyakit yang dengan proses peradangan kronis pada
telinga tengah ditandai dengan adanya yang epitel
sekretori yang banyak, perubahan ini bersifat
irreversible dan menyebar keseluruh permukaan
mukosa dan bertanggung jawab terhadap keluarnya
cairan sekret yang bersifat mukoid dan mukopurulen.
Dalam hal ini juga ditandai dengan adanya kerusakan
pada mukosa yang ditandai dengan adanya proses
ulserasi yang jika berlangsung lama dapat
mengakibatkan tereksposnya lapisan kapsul tulang.
Dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya osteitis
kronis dan periosteitis.7,14
Membran timpani juga dapat mengalami perubahan
yang beragam, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan terjadinya perubahan proses perforasi
kronis dan kehilangan lapisan kolagen yang difus.
Perubahan erosi pada tulang pendengaran sering
terjadi pada pasien yang disebabkan oleh proses infeksi
kronis dan kemudian diikuti dengan proses nekrosis
pada tulang tersebut yang kemudian diikuti dengan
trombosis vaskular. Hal ini biasanya berpengaruh
terhadap prosessus lentikularis yang ada pada daerah
inkus dan kepala stapes, dimana daerah tersebut akan
digantikan oleh jaringan fibrous. Tulang yang
mengalami proses periostitis dan osteotis akan diikuti

dengan perubahan osteoklas, dekalsifikasi dan


kehilangan matriks tulang. Perubahan tersebut
terutama terjadi pada daerah mastoid yang ditandai
dengan proses destruksi dan perbaikan, tetapi yang
paling menonjol adalah proses perusakan tulang
tersebut yang pada akhirnya ditandai terbentuknya
proses sklerotik pada tulang tersebut.6,7,13
Ossifikasi pada daerah labirin (labyrinthitis
ossificans) merupakan proses yang jarang terjadi,
dimana hal ini terbentuknya proses pembentukan
formasi tulang didaerah membranaseus labirin dan hal
ini dapat mengakibatkan gangguan pendengaran.
Proses ossifikasi Labirintitis biasanya sebagai akibat
dari proses supuratif meningitis. Bakteri masuk ke
telinga dalam melalui kanalis auditorius internus dan
akuaduktus
kokhlea,
sehingga
mengakibatkan
destruksi daerah membranasesus yang luas. Proses
ossifikasi ini terjadi pada minggu ke 2 dan 3 setelah
proses akut purulen. 6,7,13

Gejala Otitis Media Supuratif Kronik


Gejala yang paling utama adalah otorrhea yang
sangat bau dan penurunan pendengaran. Sedangkan
gejala berupa otalgia jarang ditemukan, kecuali pada
eksaserbasi akut. Otalgia yang menetap, khususnya
yang sering berhubungan dengan sakit kepala biasanya
telah terjadi proses penyebaran penyakit ke susunan
saraf pusat. Vertigo, jarang dijumpai. Jika keluhan ini
muncul, maka dicurigai kemungkinan keterlibatan
labirintitis atau fistula labirin, vertigo muncul terutama
pada saat kita akan melakukan pembersihan sekret,
aspirasi sekret. Sedangkan nistagmus yang spontan
yang muncul pada saat tersebut juga dicurigai
kemungkinan telah terjadi fistula labirin.7,8,14
Pemeriksaan
Kronik7,8,14

Fisik

Otitis

Media

Supuratif

- Pemeriksaan kanalis akustikus eksternus akan


dijumpai suatu proses peradangan, dan terkadang
krusta.
- Otoskopi, akan dijumpai otorrhea yang berbau,
membran timpani yang perforasi, jaringan granulasi,
polip, ataupun kolesteatom.

menyingkirkan kemungkinan terjadinya otitis media


serosa.
Karakter dari otorrhea sendiri harus diperhatikan.
Cairan otorrhea mukoid yang tidak berbau merupakan
indikasi adanya suatu penyakit pada mukosa telinga
tengah dan gangguan fungsi tuba eustachius. Cairan
otorrhea yang purulen menandakan adanya suatu
proses infeksi, biasanya lapisan mukosa yang terinfeksi
oleh bakteri yang opurtunistik dan bisa mengalami
penyembuhan dengan baik dengan menggunakan
antibiotika lokal maupun sistemik yang tepat. Jika
tidak memberikan respon yang baik, kemungkinan
telah terjadi resistensi bakteri,
perubahan jaringan mukosa yang irreversible, ataupun
kolesteatom. Sedangkan jika cairan otorrhea purulen
yang berbau menandakan adanya suatu nekrosis
jaringan yang biasanya berhubungan dengan suatu
kolesteatoma ataupun keganasan (seperti karsinoma sel
skuamosa maupun glomus tumor).7,8,14,17
- Mikroskop operasi, sangat direkomendasikan
untuk pemeriksaan manipulasi yang atraumatik dan
membutuhkan ketepatan yang tinggi.
- Riwayat penyakit infeksi saluran nafas atas yang
berulang.7
Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Supuratif
Kronik
Pemeriksaan audiologi
Pada pemeriksaan audiometri akan dijumpai hasil
berupa tuli konduktif atau campur, dimana derajat
gangguannya tergantung kepada berat ringannya
OMSK tersebut. Pemeriksaanya dengan melakukan tes
garputala, audiometri nada murni, speech reception
test (SRT), Word Diskrimination Score (WDS).
Terjadinya tuli saraf menandakan adanya proses
penyakit tersebut sudah dalam tahap lanjut.
Pemeriksaan dengan menggunakan timpanometri
bisa digunakan untuk menilai keadaan membran
timpani, tulang pendengaran, dan memberikan
informasi tentang keadaan telinga tengah. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan jika membran timpani dalam
keadaan utuh atau sklerotik.7,17

Otoskop pneumatik diperlukan untuk evaluasi dari


membran timpani dan malleus dan untuk
Evaluasi vestibular
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Pemeriksaan fungsi vestibular bukan merupakan


pemeriksaan rutin pada sebagian besar pasien OMSK.
Pemeriksaan ini dilakukan jika ada gejala vertigo,
meliputi tes rotasi sinusoidal, nistagmus spontan dan
posisional, dan fistula tes, baik dalam keadaan mata
terbuka maupun mata tertutup.7,17

Pemeriksaan Radiologi7,17
Pemeriksaan radiologi dibutuhkan jika terdapat
otorrhea yang berlebihan, dan terjadinya kemungkinan
komplikasi, seperti disfungsi saraf, gangguan labirin
dan susunan saraf pusat.

ini. Ini merupakan posisi klasik. Dari


pemeriksaan ini kita mendapatkan gambaran
tentang Telinga tengah, meatus akustikus
internus-eksternus dan bagian tulang dari tuba
eustachius. Dikatakan bahwa pada posisi ini, kita
dapat melakukan penilaian terbaik untuk keadaan
udara pada telinga tengah, dengan menilai
tranlusenya dan tulang-tulang pendengaran,
terutama malleus dan inkus. Disamping itu, kita
dapat pula menilai kokhlea.
1.e. Towns view
Dilakukan jika keadaan memang sangat
membutuhkan pemeriksaan ini, hal ini
disebabkan adanya efek radiasi yang besar pada
daerah mata. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui keadaan meatus akustikus internus,
labirin dan telinga tengah.

1. Rontgen
Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis dan prognosis penyakit
tersebut adalah :
1.a.Lateral view
Pemeriksaan dari lateral untuk melihat atik
(resessus epitimpanum), antrum, pneumatisasi
dari rongga mastoid, hubungan sinus sigmoid
terhadap tegmen timpani, dan massa tulang yang
mengelilingi daerah labirin. Foto ini terkadang
mengalami kendala superimposisi dengan telinga
sisi yang sebelahnya, untuk mengatasi hal ini,
dilakukan modifikasi dengan membentuk sudut
pemeriksaan (menempatkan alatnya) dalam posisi
15 terhadap garis horizontal.
1.b. Stenvers view
Dari pemeriksaan ini kita berharap dapat
mengetahui keadaan tulang petrosus, meatus
akustikus internus, kanalis semisirkularis lateral
dan superior, kavum timpani, antrum mastoid,
dan prosessus mastoid.
1. c. Schuller view
Dilakukan untuk melihat keadaan dari tegmen
mastoid, sinus sigmoid, ukuran mastoid secara
keseluruhan, visualisasi atik (epitimpanum).
1.d. Submentovertical view
Mempunyai peranan yang penting pada
pemeriksaan telinga, sehingga ada istilah bahwa
tidak lengkap melakukan pemeriksaan radiologi
telinga tanpa melakukan pemeriksaan pada posisi
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Townes view 7

2. Computerized Tomography Scan (CT Scan)


CT Scan terutama digunakan untuk menilai sejauh
mana proses perluasan dari penyakit tersebut dan
pengaruhnya terhadap jaringan sekitarnya. Pada
keadaan untuk menilai komplikasi OMSK ke daerah
intrakranial, seperti abses otak, pemeriksaan ini
mempunyai nilai yang sangat penting. CT Scan dapat
menilai keadaan tulang tulang petromastoid dengan
baik dan jika terdapat kecurigaan terdapat massa dapat
digunakan kontras, untuk membedakan massa dengan
jaringan sekitarnya. Sebaiknya digunakan CT Scan
yang mempunyai nilai resolusi yang tinggi (potongan 1
mm, baik aksial maupun koronal).
Komplikasi intrakranial dari OMSK (terutama
abses) dapat dinilai dengan adanya daerah terlokalisasi
dengan penguatan yang rendah dan setelah dilakukan
pemasukan kontras, akan memperlihatkan adanya
daerah dengan penguatan yang tinggi mengelilingi

daerah yang penguatanya rendah (hipodens) tersebut.


Jika lesi pada otak cukup besar, maka akan didapatkan
adanya penekanan pada daerah ventrikel, dan dalam
hal ini pemeriksaan serial CT Scan dibutuhkan untuk
menilai perkembangan dari lesi tersebut dan
memberikan peringatan sedini mungkin terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur lesi kedalam ventrikel
tersebut, disamping itu pemeriksaan serial ini berguna
untuk menilai keadaan setelah operasi, baik penilaian
terhadap rongga telinga tengah-mastoid maupun lesi
didaerah otaknya.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan ini pada daerah telinga kurang begitu
memegang peranan yang penting, kepentinganya
hanya pada beberapa kasus tertentu. Pada pemeriksaan
ini daerah tulang petromastoid dan udara pada daerah
kavum timpani dan mastoid akan memperlihatkan
adanya daerah hitam. Hanya jaringan lunak pada
daerah yang berada dalam tulang petrosus temporal
yang dapat dengan jelas ditampilkan dan salah satu
keuntungan lainya adalah dengan pemeriksaan ini
dapat diperlihatkan saraf kranialis yang melalui dasar
tengkorak dengan jelas dan beberapa saat terakhir juga
sedang dikembangkan untuk melihat permukaan dari
kokhlea dan sebagai pemeriksaan penunjang yang
mempunyai peranan cukup penting pada pasien dengan
neuroma akustik.

Tahap III

: atelektasis telinga tengah

Tahap IV

: adhesive otitis media

Tahapan Retraksi Membran Timpani 7

Terjadinya kantung retraksi ini (bisa pada pars


flaccida atau pars tensa)
dapat mempresipitasi
terjadinya kolesteatom.

Tynpanosclerosis7,8
Otitis
media
dapat
juga
menyebabkan
tympanosklerosis, dimana hyalin aselular dan deposit
calcium
terakumulasi
di
membran
timpani.
Tympanosklerosis plak di membran timpani tampak
sebagai gambaran semisirkular atau horseshoe shaped
plak berwarna putih. Patogenesis terjadinya
tympanosklerosis dapat dilihat pada diagram berikut

KOMPLIKASI OTITIS MEDIA


Secara umum otitis media baik yang akut maupun
kronis dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi
yang
infeksius
maupun
yang
noninfeksius
menunjukkan angka morbiditas yang nyata.
Komplikasi yang infeksius termasuk akut dan kronik
mastoiditis, petrositis dan infeksi intrakranial.
Sedangkan komplikasi yang tidak infeksius termasuk
di dalamnya perforasi akut atau kronik membran
timpani,
atelektasis
telinga
tengah,
dan
tympanosklerosis.7,8
Komplikasi non infeksius yang mungkin terjadi
pada otitis media adalah :
1.
2.

Perforasi membran timpani


Atelektasis telinga tengah7,8
Sade dan Berco menjelaskan 4 tahap terjadinya
retraksi membran timpani.(Gambar 25 )
Tahap I : retraksi membran timpani
Tahap II : retraksi sampai kontak dengan inkus
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tympanosklerosis 16

Skema Terjadinya Timpanosklerosis7

Ada beberapa jalan yang dapat menyebabkan


terjadinya proses penyebaran infeksi tersebut,
diantaranya:13
1.

Komplikasi lain yang infeksius dapat terlihat pada


skema berikut, baik pada otitis
media akut maupun kronis .
Pembahasan komplikasi pada bab V berikut ini
akan terbagi menjadi komplikasi intratemporal dan
intrakranial.

a.

Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih


setelah awal penyakit.
b. Gejala infeksi lokal mendahului gejala infeksi
sistemik
c. Pada proses operasi ditemukan lapisan tulang
yang rusak diantara fokus supurasi dengan
jaringan sekitarnya.
2. Penyebaran melalui darah yang terinfeksi melalui
vena melewati tulang dan dura ke sinus venosus
petrosus lateral dan superior struktur intrakranial.
Ternyata tulang yang intak memungkinkan
terjadinya tromboflebitis di dalam sistem vascular
Havers. Penyebaran tromboflebitis dari sinus
lateralis ke serebelum dan dari sinus petrosus
superior ke lobus temporalis menjelaskan
komplikasi yang sering terjadi.

3.
Komplikasi dari Otitis Media7

KOMPLIKASI INTRATEMPORAL &


INTRAKRANIAL PADA OTITIS MEDIA

Suatu otitis media terutama OMSK akan


mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
sejumlah komplikasinya yang dapat mengancam
kesehatan dan dapat menyebabkan kematian.
Komplikasi tersebut timbul jika pasien tidak mendapat
penanganan yang tepat terhadap penyakitnya dan
adanya
keterlambatan
dalam
penanganannya.
Komplikasi dari otitis media dengan atau tanpa
kolesteatom dapat terjadi apabila pertahanan telinga
tengah
yang
normal
terlewati,
sehingga
memungkinkan untuk penjalaran infeksi ke struktur
sekitarnya.6,7-9,13
Cara Penyebaran Infeksi

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Ekstensi melalui tulang yang telah mengalami


demineralisasi selama infeksi akut atau karena
terjadi resorpsi oleh kolestetatom atau osteitis pada
penyakit kronis yang destruktif
Dapat diketahui bila:

Secara umum penyebaran dengan cara ini terjadi


dalam waktu 10 hari setelah masa infeksi pertama.
Melalui jalur anatomi yang normal - oval window
atau round window ke meatus
Auditori internus, koklea dan aquaduktus
vestibular, dehiscence dari tulang tipis pada bulbus
jugularis, dehiscence garis sutur pada tulang
temporal
Dapat diketahui bila:
a.
b.
c.

4.
5.
6.

Komplikasi terjadi pada awal dari penyakit


Serangan labirintis atau meningitis berulang
Pada saat operasi ditemukan penjalaran melalui
tulang yang bukan disebabkan oleh proses
erosi.9,11,18
Melalui defek tulang yang non anatomis, yang
disebabkan trauma, operasi, atau erosi karena
keganasan.
Melalui defek karena pembedahan, misalnya
fenestrasi ke semisirkular kanal lateral pada operasi
stapedektomi.
Ke dalam jaringan otak sepanjang ruang
periarteriolar Virchow-Robin. Penyebaran ini tidak
mempengaruhi arteri di kortikal, sehingga
menjelaskan pembentukan abses hanya di white
area tanpa terlihat infeksi di permukaan otak

Diagram yang menggambarkan rute penyebaran


infeksi dari telinga tengah, dapat dilihat pada gambar
berikut.

Nelly, membagi komplikasi OMSK berdasarkan


anatominya dapat dibagi menjadi 3:13
1. Intratemporal
Diantaranya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Mastoiditis
Labirintitis
Sensorineural Hearing Loss
Petrositis
Paralisis fasialis
Kolesteatoma
Fistula labirinti

2. Intrakranial
Rute Penyebaran Infeksi dari Telinga Tengah13
Selain dari beberapa faktor diatas, ada faktor lain
yang dapat menimbulkan terjadinya komplikasi dari
penyakit tersebut, Nelly menggolongkannya dalam 5
kategori :
1.
2.
3.
4.
5.

Bakteriologi
Terapi antibiotika
Resistensi tubuh penderita
Pertahanan anatomi
Drainase
Dua faktor pertama berhubungan dengan
mikrobiologi, dan tiga faktor terakhir berhubungan
dengan tubuh pasien.13
Dari data yang diperoleh, terdapat kecenderungan
untuk timbulnya komplikasi dari pasien OMSK adalah
sekitar 76%, dan sebagian besar berhubungan dengan
kolesteatom. Dimana kolesteatom ini sulit untuk
diketahui sejak dini dan penanganan juga sulit,
sedangkan jika mengalami keterlambatan dalam
penanganan atau ketidaktepatan dalam penanganan,
maka dapat mengakibatkan komplikasi yang cepat dan
serius.6-9,13
Seiring dengan berkembangnya penyakit yang
menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh yaitu
HIV dan AIDS pada abad terakhir ini, sebaiknya perlu
dilakukan penelitian lebih mendalam pengaruhnya
kelainan ini terhadap OMSK. Karena sampai saat ini
belum pernah dilakukan penelitian keduanya.6-9,13

Klasifikasi Komplikasi OMSK

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Diantaranya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Abses epidural
Trombosis sinus lateralis
Otitic hydrocephalus
Meningitis
Abses otak
Abses subdural

3. Ekstratemporal dan kranial


Diantaranya :
a.
b.

Abses Bezold
Abses subperiosteal

Sedangkan Adams, dkk mengemukakan klasifikasi


sebagai berikut:10
A. Komplikasi di telinga tengah :
1. Perforasi persisten
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis saraf fasialis
B. Komplikasi di telinga dalam :
1. Fistel labirin
2. Labirintitis supuratif
3. Tuli saraf (sensorineural)
C. Komplikasi di ekstradural :
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat :
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hidrosefalus otitis
Paparella dan Shumrick (1980) membaginya dalam:10
A. Komplikasi otologik :
1. Mastoiditis koalesen

1.
2.
3.
4.
5.
6.

2. Petrositis
3. Paresis fasial
4. Labirintitis
B. Komplikasi intrakranial :
Abses ekstradural
Trombosis sinus lateralis
Abses subdural
Meningitis
Abses otak
Hidrosefalus otitis

tahun di Thailand didapatkan data bahwa sekitar


17.144 pasien datang dengan keluhan OMSK dengan
prevalensi terjadinya komplikasi pada daerah
intrakranial adalah sekitar 0.24% dan 0.45%
komplikasi pada daerah ekstrakranial. Dari jumlah
komplikasi 28% dari OMSK di Sudan, dua pertiga dari
komplikasi tersebut adalah komplikasi intrakranial.
Sedangkan dari penelitian yang dilakukan di India
didapatkan data bahwa angka kematian yang
diakibatkan oleh komplikasi intrakranial berupa abses
otak adalah 57 %.6-9,13

Shambaugh (1980) membaginya atas komplikasi


meningeal dan nonmeningeal :
A. Komplikasi meningeal :
1. Abses ekstradural dan abses perisinus
2. Meningitis
3. Tromboflebitis sinus lateral
4. Hidrosefalus otitis
5. Otore likuor serebrospinal
B. Komplikasi nonmeningeal :
1. Abses otak
2. Labirintitis
3. Petrositis
4. Paresis fasial

Berikut ini akan dibahas patofisiologi dan terapi


dari masing-masing komplikasi
Komplikasi Intratemporal6-9,13
Mastoiditis
Patofisiologi
Mastoiditis yang disebabkan oleh OMK dapat
digolongkan dalam 2 jenis yaitu mastoiditis koalesens
akut dan mastoiditis kronis.

Skema tempat terjadinya infeksi pada komplikasi otitis


media dapat dilihat pada gambar berikut.

Penyebab terjadinya komplikasi mastoiditis ini


disebabkan oleh proses infeksi pada rongga telinga
tengah dan rongga mastoid yang kemudian diikuti
dengan adanya perubahan pada mukosa telinga tengah,
dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
sumbatan baik secara parsial maupun total pada antrum
mastoid sehingga sistim drainase dari rongga mastoid
terganggu dan pada akhirnya proses infeksi pada
rongga mastoid menjadi berlanjut dan menjadi kronis. 69,13
Mastoiditis Koalensen akut lebih sering
berhubungan dengan dengan otitis media akut, tetapi
juga dapat berhubungan otitis media kronis.
Koalensen mastoiditis akut terjadi pada proses
pneumatisasi sebagian atau keseluruhan dari sel-sel
udara yang berada dalam rongga mastoid. Biasanya hal
ini terjadi dalam waktu 2 minggu setelah proses akut
supuratif otitis media.6-9,13

Tempat Terjadinya Infeksi pada Komplikasi Otitis


Media13
Komplikasi intrakranial yang sering terjadi adalah
meningitis (34%), abses otak (25%) lobus temporalis
(15%), serebelum (10%), labyrintitis (12%), otitic
hydrocephalus (12%), thrombosis sinus duramater
(10%), abses ekstradural (3%), petrositis (3%), abses
ekstradural (3%), dan subdural abses (1%). Terjadinya
komplikasi intrakranial sudah jauh berkurang seiring
dengan adanya penggunaan antibiotik, dari 35%
menjadi 5%.6
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
didapatkan data dalam periode penelitian selama 8
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Diagnosa
Mastoiditis ditandai dengan gejala sbb:
1.
2.
3.

Demam
Nyeri
Gangguan pendengaran
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan :

1.
2.
3.

Membran timpani yang menonjol


Dinding kanalis posterior yang menggantung
Pembengkakan daerah telinga bagian belakang,
sehingga mendorong pinna keluar dan ke depan.
4.
Nyeri tekan daerah mastoid, terutama pada
posterior dan sedikit diatas liang telinga (segitiga
Mc Ewen)
5.
Dari pemeriksaan radiologis dan CT Scan
didapatkan gambaran : destruksi secara hebat dari
sel-sel udara mastoid, opasifikasi sel-sel udara
mastoid oleh cairan dan hilangnya trabekulasi
normal dari se-sel tersebut.4,5,7,14,19
Mastoiditis kronis ditandai dengan adanya proses
nekrosis dan erosi (osteolisis) dari septa sel-sel udara
mastoid sehingga pada ruangan mastoid tersebut akan
terkumpul materi yang purulen. Erosi tulang yang terus
menerus akan menyebabkan terjadinya penyebaran
infeksi, yang jika ke medial dapat menyebabkan
infeksi intrakranial, ke lateral atau superfisial akan
menyebabkan terjadinya proses abses bezold atau
abses subperiosteal.
Sedangkan mastoiditis kronis ditandai dengan
adanya cairan purulen kronis yang berbau busuk
berwarna kuning kehijauan atau keabu-abuan yang
menandakan adanya kesan kolesteatom dan produk
degenerasinya, nyeri pada daerah belakang telinga
yang telah berlangsung lama. Nyeri merupakan suatu
hal yang patut diwaspadai, karena nyeri ini dapat
menimbulkan suatu kesan adanya proses terkenanya
duramater, sinus lateralis, ataupun pembentukan abses
otak. Disertai pula dengan adanya gangguan fungsi
pendengaran yang bersifat konduktif maupun
campuran.6-9,13
Dari pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran
adanya gambaran lesi yang irregular didaerah mastoid
dan daerah sinus sigmoid dikelilingi oleh daerah
hyperostotic. Pada pamariksaan dengan CT Scan
seringkali tidak didaptkan gambaran yang signifikan
dan seringkali yang dipakai adalah yang sesuai dengan
gambaran klinis. MRI didapatkan gambaran
nonspesifik, dengan gambaran peradangan yang
persisten.6-9,13

MRI pada Kasus Mastoiditis7


Penatalaksanaan
Tindakan mastoidektomi
Labyrintitis
Patofisiologi6-9,13
Terjadinya penyebaran pada labirin diakibatkan oleh
adanya pnyebaran secara langsung dari infeksi telinga
tengah kronis, yang dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada fungsi keseimbangan maupun
pendengaran. Labirintitis yang disebabkan oleh virus
jarang sekali berakibat fatal. Ada 2 jenis labirintitis
yang terjadi, yaitu labitintitis purulen dan serous
labirintitis.
Proses labirintitis supuratif terjadi setelah bakteri
dari OMK menginfiltrasi cairan yang berada dalam
rongga labirin, sehingga timbul pus. Beberapa keadaan
yang mengakibatkan masuknya bakteri dalam rongga
labirin adalah erosi dari tulang labirin, tulang temporal
yang patah, dan labirin fistula. Kerusakan labirin dapat
mengakibatkan terjadinya vertigo dan penurunan
pendengaran. Pada fase peradangan, vertigo
merupakan hasil dari perangsangan organ vestibular,
sedangkan jika telah berlangsung lama, vertigo
merupakan hasil dari kerusakan organ vestibular yang
permanen. Sedangkan gangguan pendengaran yang
biasanya bersifat permanen. Hal ini disebabkan karena
adanya kerusakan organ korti.
Serous labirintitis lebih sering terjadi karena proses
peradangan dari labirin tanpa disertai dengan
pembentukan pus, peradangan merupakan respon
terhadap racun bakteri ataupun sel-sel mediator
peradangan. Reaksi peradangan juga menghasilkan
gejala timbulnya vertigo dan gangguan pendengaran.
Daerah yang paling sering sebagai pintu masuk reaksi
tersebut adalah foramen rotundum maupun foramen
ovale. 7,9,18
Pemeriksaan dapat kita lakukan dengan melakukan
tes fistel.

Diagnosis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Diagnosis pasti dari kedua hal ini sulit dibedakan,


hal ini disebabkan munculnya gejala yang hampir
sama, tidak ada satu tes pun yang dapat membedakan
kedua kelainan tersebut. Diagnosis serous labirintitis
dapat dibuat retrospektif, yang ditandai dengan adanya
pemulihan gejala vertigo dan gangguan pendengaran.
Sedangkan jika terkena supuratif labirintitis biasanya
kedua gejala tersebut akan menetap walaupun telah
diambil tindakan operasi.6-9,13
Penatalaksanaan
Penanganan dari labirintitis yang diakibatkan oleh
OMK adalah dengan tindakan kultur dan dilakukan
tindakan drainase. Pada infeksi akut cukup kita
lakukan tindakan miringotomi dan pemakaian
timpanostomi tube, disamping pemberian antibiotika.
Sedangkan pada kasus yang kronis, diperlukan
tindakan
masteidektomi.
Beberapa
ahli
merekomendasikan untuk dilakukan tindakan ini pada
masa akut untuk menghindari terjadinya komplikasi
yang lebih luas. Pasien sebaiknya bedrest total
ditempat tidur dengan pergerakan kepala yang
seminimal mungkin. Pemberian antibiotika selama
masih dalam perawatan di RS dilakukan intravena. 6-9,13
Tindakan operasi labirintektomi dilakukann jika
terdapat gangguan total dari fungsi labirin tersebut atau
meningitis setelah pasien mendapatkan terapi yang
adekuat dengan antibiotik. Jika ditemukan proses
ossifikasi pada labirin sebaiknya dilakukan tindakan
pemasangan kokhlear implant.6-9,13

Sensorineural Hearing Loss


Sebenarnya hubungan antara OMK dengan SNHL
masih kontroversial, walaupun secara klinis terlihat
seperti berhubungan. Beberapa faktor yang diduga
turut berperan adalah endotoksin, patogenesis bakteri,
factor sirkulasi dan faktor mekanik. Teori lain
mengatakan bahwa seringkali terjadinya gangguan
pada aliran darah foramen ovale dan diikuti dengan
berkurangnya pasokan oksigen ke telinga bagian
dalam, sehingga akan menyebabkan kerusakan pada
telinga bagian dalam.6-9,13
Paparella menunjukkan bahwa otitis media kronik
dapat menyebabkan permanen SNHL karena pasase
substansi toksik melalui membran round window.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

SNHL yang terjadi merupakan pengaruh sekunder


dari kelainan primernya, diantaranya serous dan
supuratif labirintitis, fistula labirintitis, dan
kolesteatom yang telah masuk ke labirin.6-9,13
Untuk mengetahui derajat penurunanya dapat
dilakukan dengan pemeriksaan serial audiometri.
Petrositis
Patofisiologi
Merupakan proses peradangan bagian petrosus dari
tulang temporal yang ditandai dengan timbulnya
sindrom Gradenigo.6-9,13 Apex petrosus terdapat pada
bagian medial anterior dari tulang temporal, dengan
posisi tepatnya adalah di depan otic capsule. Pada
daerah ini terdapat penonjolan yang dibentuk dari a.
karotis interna. Tulang temporal mempunyai sel-sel
udara sampai daerah apex petrosus sekitar 30% dari
tulang temporal, timbulnya pneumatisasi ini setelah
anak berusia lebih dari 3 tahun. Dimana sel-sel ini
akan berhubungan dengan telinga tengah maupun
rongga mastoid melalui jalur sempit yang letaknya
bersebelahan dengan otic capsule. Sehingga infeksi
daerah telinga tengah maupun mastoid dapat
mempengaruhi se-sel udara yang terdapat pada apex
petrosus melalui daerah celah sempit tersebut.
Jadi karakteristik di daerah tulang petrosus ini :

Drainase lebih terbatas


Proksimal dari apical air cels sampai diploic spaces
merupakan predisposisi terjadinya osteomyelitis
Proksimal dari struktur intrakranial dan drainase
yang kurang memperedisposisi terjadinya ekstensi
ke intrakranial
Kelainan petrositis timbul jika sistim drainase dari
mastoid daerah apex petrosus terganggu sehingga akan
terjadi peradangan pada daerah tersebut dan
selanjutnya akan menyebar ke daerah sekitarnya. Apex
petrosus ini posisinya berdekatan dengan fossa kranial
medial dan posterior, sehingga jika sampai infeksi
tersebut menyebabkan terjadinya petrositis dapat
menyebabkan timbulnya infeksi ke daerah intrakranial.

Diagnosa
Petrositis sendiri berhubungan dengan timbulnya
Sindrom Gradenigo, yang terdiri dari trias klasik:6,7,13

1) Nyeri di belakang mata atau telinga yang hebat


2) Keluarnya cairan dari telinga
3) Kelumpuhan dari saraf kranialis ke-6 (N.
Abducens) yang terletak pada Dorellos canal, pada
sisi ipsilateral sehingga timbul keluhan diplopia.
Di samping timbulnya sindrom gradenigo tersebut,
ada beberapa hal yang patut untuk diperhatikan
berkaitan dengan timbulnya petrositis ini yaitu nanah
yang keluar terus menerus dan rasa nyeri yang
menetap pascamastoidektomi.
Diagnosis dari penyakit ini dapat dilihat dari
adanya gejala yang penting, berupa nyeri yang hebat
sepanjang perjalanan saraf trigeminus pada saat OMK
terjadi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah dengan pemeriksaan CT Scan setinggi tulang
temporal, didaerah apex petrosus akan ditemukan
tulang yang mengalami destruksi dan jika dicurigai
adanya
kemungkinan
penyebaran
kedaerah
intrakranial, dapat dilakukan pemeriksaan lumbal
pungsi ataupun MRI otak.6-9,13

Paralisis Fasialis
Posisi kanalis fasialis yang cukup panjang
sepanjang tulang temporal, menyebabkan saraf fasialis
ini mudah mengalami infeksi atau gangguan lainya jika
terdapat penyakit yang mengenai tulang temporal.
Pada OMK, terjadinya infeksi dan peradangan dapat
mengenai saraf fasialis setelah terlebih dahulu
mengerosi tulang yang membentuk kanalis fasialis,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya paresis dan
paralysis. Pada dewasa, komplikasi ini dapat terjadi
pada OMK sendiri ataupun OMK dengan disertai
kolesteatom (80%) dan jaringan granulasi. Jika murni
OMK, maka kelainan ini pada kanalis fasialis ditandai
dengan osteitis pada tulang temporal yang melindungi
kanalis fasialis tersebut. Sedangkan jika disertai
dengan kolesteatom ditandai dengan adanya erosi pada
tulang temporal. Karena hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadi udema dan kompresi pada saraf
fasialis sehingga dapat menimbulkan terjadinya paresis
yang diikuti dengan paralisis saraf fasialis.6-9,13
Pada anak, paralisis fasialis yang terjadi sering
merupakan akibat dari otitits media akut dan
mastoiditis dengan efusi supuratif.
Asumsi bahwa paralisis fasialis in timbul sekunder
karena proses inflamasi , harus memenuhi kriteria
diagnostik:

CT scan pada Kasus Petrositis16


Penatalaksanaan
Penanganan kasus petrositis yang akut adalah
dengan menggunakan intravena antibiotika yang tepat
dan tindakan masteidektomi. Pada pasien petrositis
yang disebabkan oleh OMK seringkali diikuti dengan
adanya osteomielitis pada tulang petrosus yang
menjadi resisten terhadap tindakan terapi konservatif
antibiotika. Sehingga diperlukan tindakan eksplorasi
dari tulang apex petrosus disamping tindakan
masteidektomi.6-9,13
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Proses inflamasi harus berada pada sisi yang sama


dengan paralisis fasialis yang terjadi

Onset dari infeksi akut atau eksaserbasi dari infeksi


kronikharus berhubungan dengan onset paralisis

Karena sangat sedikit spesimen untuk studi


histologi, patogenesis terjadinya paralisis fasialis
berdasarkan asumsi. Infeksi bisa terjadi di berbagai
titik saraf fasialis. Yang paling sering terkena adalah
segmen tympani dari canal fallopian, proksimal dari
piramidal genu, karena segman ini sering tererosi oleh
kolestetatom dan penutupan inkomplit pada kanal ini
ditemukan pada 57 % tulang temporal.
Telah diketahui pula bahwa kongesti vena,
edema jaringan, direct neural toxicity adalah faktor
utama yang berhubungan dengan paralisis, keadaan
subakut dan kronik lebih kepada erosi tulanag dan
menyebabkan kerusakan saraf
Pada pemeriksaan fisik, kita dapat melakukan tes
topografi untuk mengetahui posisi dari kerusakan saraf

fasialis tersebut. Apakah terdapat kelainan dari segmen


intratemporal ataukah segmen mastoid.
Tes topografi dapat terlihat pada skema di halaman
berikut .

Tes Topografi Nervus Fasialis7


Penanganan yang perlu dilakukan jika kita
mendapatkan adanya paralisis saraf fasialis yang
diakibatkan oleh adanya OMK adalah dengan
melakukan eksplorasi segera daerah telinga tengah
dengan melakukan tindakan masteidektomi untuk
menghilangkan semua jaringan patologik, baik tulang
yang terinfeksi maupun kolesteatom, jika saraf fasialis
telah terkena, maka sebaiknya kita bersihkan
semaksimal mungkin jaringan patologiknya dengan
tetap meninggalkan jaringan granulasi yang telah
menempel pada saraf fasialis seminimal mungkin, hal
ini kita lakukan untuk menghindari terjadinya trauma
pada saraf tersebut yang akhirnya berakibat lebih
parah. Beberapa penulis, mengemukakan bahwa
sebaiknya dilakukan tindakan eksplorasi kanalis
fasialis dari ganglion genikulatum sampai foramen
stilomastoideum, jika ada daerah sepanjang
epineurium saraf fasialis yang telah terkena, maka
sebaiknya dilakukan tindakan pembukaan dari
selubung sarafnya kemudian dibersihkan dan
selanjutnya dilakukan tindakan pencangkokan terhadap
daerah yang terkena. Selama proses operasi sebaiknya
dilakukan juga tindakan pengambilan contoh jaringan
untuk dilakukan tes kultur dan setelah operasi
diberikan antibiotik yang adekuat.6-9,13
Kolesteatoma

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Kolesteatoma menyerupai kista, merupakan lesi


yang berkembang didaerah tulang temporal, dibatasi
oleh epitel stratified skuamosa dan berisi keratin yang
terdeskuamasi
dan
purulen.
Kolesteatom
mempengaruhi telinga tengah dan mastoid, tetapi pada
prinsipnya kolesteatom dapat timbul dimanapun daerah
tulang temporal yang mengalami pneumatisasi atau
yang berisi sel-sel udara. Kolesteatom dapat berasal
dari kongenital ataupun didapat.
Pada kolesteatom yang didapat, teori terbentuknya
masih merupakan hal yang kontraversial. diduga
kolesteatom merupakan hasil dari komplikasi OMK,
dimana OMK dapat mengakibatkan terjadinya
transformasi mukosa dan epitel. Proses yang terjadi
adalah metaplasia dari epitel kolumnar pseudostratified
bersilia menjadi epitel skuamosa berlapis, yang
memegang peranan penting untuk terbentuknya
kolesteatom. Para ahli masih belum sependapat sama
seluruhnya tentang teori terjadinya proses resopsi dari
tulang oleh kolesteatom. Dikatakan bahwa resopsi dari
tulang merupakan hasil proses sekunder dari reaksi
ensimatik dan reaksi yang diperantai sel. Supreinfeksi
dan peningkatan tekanan dari kolesteatom disebabkan
oleh terperangkapnya kolesteatom dalam ruangan
sempit sehingga akan mempercepat proses osteolitik
dari tulang. Reaksi enzimatik memegang peranan yang
sangat penting untuk terjadinya proses osteolitik
tersebut.6-9,13

Skema Kolesteatom di Telinga Tengah20


Ada 4 teori dasar mengenai patogenesis
terjadinya acquired kolesteatom : 7
1. Invaginasi membran timpani (Witmaack,1933)
Merupakan proses primer tejadinya kolesteatom di
atik. Retraksi pocket di pars flaccida semakin
dalam karena tekanan negatif telinga tengah dan
inflamasi yang berulang. Hal ini menyebabkan

keratin yang berdeskuamasi tidak dapat dibersihkan


dari kantung tersebut, berakumulasi dan
membentuk kolesteatom. Kolesteatom di retraction
pocket ini terjadi karena disfungsi tuba eustachius
dengan resultan tekanan negatif telinga tengah
(teori ex vacuo)
2.

Hiperplasia sel basal (Lange, 1925)


Sel epitel (prickle cells) pada pars flaccida dapat
menginvasi jaringan subepitel dengan cara
berproliferasinya lapisan pada sel epitel. Jadi
lamina basalis bisa ditembus oleh lapisan epitel ini
sehingga terbentuk mikrokolestetatom. Hal ini
menjelaskan mengapa dapt terjadi kolestetatom
pada membran timpani yang intak. Menurut teori
ini mikrokolesteatom dapat membesar dan
menyebabkan perforasi sekunder pada membran
timpani

3.

Epithelial ingrowth melalui perforasi (Habermann,


1889)
Epitel skuamosa yang berkeratinisasi dari membran
timpani bermigrasi ke telinga tengah melalui
perforasi (contact guidance) dan bila menemukan
permukaan epitel lain akan berhenti bermigrasi
(contact inhibition). Jadi pada perforasi membran
timpani, proses inflamasi akan menghancurkan
inner mucosal lining dari membran timpani, akan
memudahkan epitel berkeratinisasi dari luar untuk
bermigrasi ke dalam dan membentuk kolesteatom.

4.

Metaplasia epitel telinga tengah (Wendt, 1873)


Simple squamous atau cuboidal epithelium dari
celah di telinga tengah akan mengalami
transpormasi metaplatik menjadi epitel yang
berkeratinisasi. Didukung oleh Sade (1971) bahwa
sel epitel sangat pluripoten dan dapat distimulasi
proses inflamasi untuk berkeratinisasi. Sehingga
daerah epitel yang berkeratinisasi di telinga tengah
dapat membesar karena akumulasi debris dan
kontak dengan membran timpani. Dengan adanya
infeksi dan inflamasi maka kolestetaom akan
menyebakan lisis dari memberan timpani dan
perforasi (kolesteatom atik)

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Teori Terjadinya Kolesteatom7


Kolesteatom yang mengadung debris keratin yang
terperangkap di ruang antar jaringan, merupakan
subyek untuk terjadinya infeksi rekuren. Bakteri yang
terdapat pada kolesteatom adalah :

Bakteri pada Kolesteatom7

Kerusakan tulang temporal pada kasus OMSK


dapat atau tanpa disertai dengan kolesteatom. Ada 3
hal yang mempengaruhinya :
1.

Mekanik, berhubungan dengan tekanan yang


diakibatkan oleh ekspansi dari kolesteatom sebagai
akumulasi dari sejumlah keratin dan debris purulen.
2. Biokemikal, disebabkan oleh bakteri (endotoksin),
produk dari jaringan granulasi (kolagen, asam
hidrolase), dan subtansi yang berhubungan dengan
kolesteatom itu sendiri (faktor pertumbuhan dan
sitokin).
3. Sellular, oleh karena aktivitas osteoklas.
Kolesteatom biasanya tumbuh pertama kali pada
baberapa bagian telinga tengah tertentu yang kemudian
menyebar ke ruangan lain dari telinga tengah. Bagianbagian tersebut adalah daerah sekitar atik, pars
flaksida, dan posterior dari mesotimpanum. Daerah
epitimpanum yang paling sering untuk timbulnya
kolesteatom adalah Prussaks space (paling sering)
atau resessus epitimpani anterior. Prussaks space
merupakan daerah berupa kantong yang dangkal yang
berada dibagian posterior dari pars flaksida.
Kolesteatom yang tumbuh dalam Prussaks space akan
menyebar ke daerah posterior sepanjang sisi dari badan
inkus, yang kemudian masuk ke daerah antrum dan
rongga mastoid.6-9,13

Sedangkan kolesteatom yang berasal dari daerah


epitimpani anterior akan tumbuh ke daerah anterior
sepanjang prosessus kokhleoformis dan kemudian
masuk ke resessus supratubal, yang kemudian akan
masuk ke daerah mesotimpanum melalui kantong
anterior dari Von Troltsch.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pada


keadaan membran timpani yang utuh, didapatkan
gambaran massa putih dibelakang membran timpani
yang
sulit
dibedakan
dari
plak
karena
timpanosklerotik. Yang mana hal ini dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan pneumatoskopi. Dari pemeriksaan
garputala didapatkan kesan adanya gangguan tuli
konduktif pada sebagian besar pasien. Pada tes Weber
lateralisasi pada telinga yang mengalami kelainan,
sedangkan dari tes Rinne fungsi dari hantaran tulang
lebih baik dari pada hantaran udara. Pemeriksaan
timpanometri tidak memberikan informasi yang
signifikan terhadap evaluasi dari kolesteatom.

Skema Terbentuknya Kolesteatom pada Pars


Flaccida20

Dari pemeriksaan radiologis didapatkan adanya


gambaran erosi pada tulang dan daerah radiolusen
yang menyerupai perluasan antrum, dimana sel-sel
udara antrum dan mastoid telah mengalami destruksi.
CT scan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana
lokasi dan perluasan dari kolesteatom tersebut.6-9,13

Pasien
OMK
dengan
kolesteatom
akan
mengeluhkan seringkali terjadi pengeluaran cairan dari
telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan
pendengaran yang progresif. Kolesteatom dapat
mengakibatkan terjadinya erosi pada tulang
pendengaran daerah kanalis akustikus eksternus.
Kolesteatom pada anak mempunyai gejala klinis
yang sama dengan dewasa, usia paling sering
terjadinya adalah pada usia 10 tahun, lebih sering
terjadi pada anak laki-laki. Sebagian besar kolesteatom
terjadi pada daerah epitimpanum (70%-80%) dan
gejala yang muncul adalah pengeluaran cairan dari
telinga yang sangat berbau dan adanya penurunan
pendengaran yang progresif. Dan didapatkan kantong
retraksi didaerah posterosuperior membran timpani.
Penanganannya seringkali mengalami kesulitan
dikarenakan pasien yang kurang koperatif.

Kolesteatom pada Telinga Tengah16


Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Fistula labirin
Fistula labirin merupakan suatu keadaan dari erosi
tulang dan tereksposnya membran endosteal dari
telinga bagian dalam, seperti halnya terjadi fistula
kedalam ruangan yang berisi cairan perilimph di
telinga bagian dalam. Ada 2 teori terjadinya erosi pada
tulang telinga bagian dalam:
1) Osteolysis, dimana tulang akan diresopsi yang
ditandai dengan adanya peningkatan tekanan dari
kolesteatom atau aktivasi dari mediator matriks
kolesteatom.
2) Osteitis, terjadi pada penghubung antara jaringan
granulasi yang timbul dengan lapisan tulang.
Salah satu komplikasi intratemporal yang sering
dari OMK dan kolesteatom adalah fistula labirin.
Prevalensi terjadinya fistula labirin pada pasien OMK
dengan kolesteatom adalah 5% - 10%, dengan lokasi
yang paling sering adalah kanalis semesirkularis
lateralis (90%) dan kokhlea pun dapat terkena melalui
foramen ovale atau promontorium (16%-20%).6-9,13
Gejala yang muncul tergantung kepada beratringannya fistula yang terjadi. Apabila hanya terjadi
erosi tulang kanalis semisirkularis blue-line , maka
masih belum ada gejala signifikan yang muncul
(asimtomatik), yang paling mungkin hanya gejala
vertigo yang disebabkan oleh perubahan tekanan dan
suhu. Sedangkan jika terjadi ekspos dari lapisan
membranaseus maka gejala yang muncul adalah
vertigo dan gangguan pendengaran, jika sampai terjadi
gangguan pada cairan perilimph, maka dapat terjadi

gangguan sensorineural dan vertigo yang sangat berat.


Gangguan pendengaran bersifat menetap.
Pemeriksaan dapat kita lakukan dengan melakukan
tes fistel, yaitu dengan memberikan tekanan udara
yang positif maupun negatif keliang telinga, bisa
dengan menggunakan otoskop Siegel, bila fistel
tersebut masih dalam keadaan paten, maka akan terjadi
ekspansi dan kompresi membran labirin. Bila terdapat
fistula (positif) maka akan terjadi nistagmus atau
vertigo. Tes fistula bisa bernilai negatif apabila
fistulanya tertutup oleh jaringan granulasi, oleh sebab
lain atau labirin tersebut sudah mati.
Pemeriksaan CT Scan yang beresolusi tinggi,
potongan 1 mm, akan memberikan informasi mengenai
adanya fistel labirin tersebut, yang biasanya terdapat
pada daerah kanalis semisirkularis horisontalis.6-9,13

Komplikasi Intrakranial 6-9,13


Pada masa sekarang ini, insidensi terjadinya
komplikasi intrakranial dari OMSK sudah jauh
berkurang, seiring dengan membaiknya kesadaran
masyarakan akan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan
pengobatan yang tepat. Pemakaian antibiotik yang
tepat dan cepat, juga mempengaruhi OMK sehingga
dapat mempengaruhi insidensi komplikasi intrakranial.
Dalam masa preantibiotik disebutkan bahwa, tingkat
insidensi terjadinya metastase intrakranial pada pasien
OMK adalah 2%-6%, yang kemudian berdasarkan
penelitian tahun 1962, insidensi tersebut menjadi jauh
berkurang menjadi sekitar 0,15%. 7,9 Berdasarkan hasil
penelitian yang dikemukakan oleh McGuirt, 1983,
bahwa komplikasi intrakranial yang diakibatkan ole
OMSK mencapai 0,5%, dan angka kematian yang
terjadi sekitar 10%. Sedangkan berdasarkan hasil
penelitian oleh Prellner dan Rydell, tingkat terjadinya
insidensi komplikasi intrakranial berkurang setelah
pemakaian antibiotik yang tepat, dari 2% menjadi
0,02%. 6-9,13
Proses
patofisiologi
terjadinya
komplikasi
intrakranial dari OMSK merupakan hal yang kompleks
antara faktor mikrobiologi dengan tubuh manusia.
Pada saat terjadi OMSK, pertahanan tubuh manusia
secara anatomi maupun immunologi akan mengalami
gangguan bahkan jika infeksinya berlangsung hebat
sampai dapat merusak sistim pertahanan tubuh kita
baik yang lokal maupun yang sistemik.
Terjadinya proses penyebaran penyakit ke
intrakranial melalui 3 tahapan :
1.
2.

Dari telinga tengah ke lapisan meningen


Melintasi meningen
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

3.

Masuk kedalam lapisan otak.


Penyebaran komplikasi terjadi melalui proses
hematogenous juga dapat terjadi, walaupun jarang.
Sebagian besar proses komplikasi intrakranial terjadi
melalui infeksi langsung dari telinga tengah ataupun
mastoid.
Karena perluasan infeksi langsung dari ke struktur
intrakranial oleh bakteri, maka fase bakteriemia
mungkin saja tidak terjadi. Sehingga salah satu
pertahanan tubuh, berupa sirkulasi, menjadi tidak
teraktivasi untuk membentuk pertahanan humoral
tubuh terhadap invasi bakteri tersebut. Sekalinya
bakteri masuk kedalam struktur intrakranial, maka
bakteri tersebut akan mengalami proses replikasi yang
tidak dapat dihalangi oleh sampai terbentuknya reaksi
immunologi yang diperantarai oleh sel. Sitokin
Eksogenus seperti interleukin 1, interleukin 6, dan
tumor nekrosis faktor (TNF) akan menyebabkan
terjadinya reaksi peradangan yang kompleks. Proses
penyakit yang luas akan sangat dipengaruhi oleh
virulensi bakteri, respon peradangan dari tubuh,
pertahanan anatomi, dan pengobatan dari tubuh.6-9,13
Dalam penanganan OMSK, kemungkinan untuk
terjadinya proses komplikasi intrakranial harus selalu
dipikirkan. Adanya otalgia otorrhea yang berbau
busuk, demam yang tinggi, dan nyeri kepala,
merupakan gejala awal dari timbulnya komplikasi
intrakranial. Perubahan keadaan status mental, lemah
anggota badan, aphasia, kekakuan daerah leher, dan
sampai koma, merupakan gejala yang timbul lambat,
sesudah proses komplikasi berlangsung cukup lama
dan meluas.5,7
Secara umum CT Scan dan MRI merupakan
pemeriksaan penunjang yang penting untuk
mengetahui terjadinya proses komplikasi tersebut. CT
Scan akan memberikan gambaran yang jelas tentang
terjadinya proses kerusakan dari struktur tulang, dan
dengan menggunakan kontras, CT Scan dapat
memberikan gambaran terjadinya abses, perangsangan
daerah selaput otak, dan pengumpulan cairan. MRI
digunakan lebih sensitif untuk mengetahui adanya
cairan intra dan ekstrakranial. Sensitif untuk
membedakan kelainan didaerah ekstradura dan subdura
dan secara sensitif mengetahui kelainan daerah
parenkim.
Pemeriksaan dengan menggunakan MR angiografi
akan memberikan evaluasi tambahan terhadap aliran
darah di daerah sinus duramater, bulbus jugularis, vena
didaerah korteks dan vene-vena kecil lainya.7
Abses Epidural

Abses ini terjadi dekat dengan daerah tulang


temporal. Proses peradangan yang berlangsung kronis
pada daerah telinga tengah dan tulang temporal akan
menyebabkan penyebaran kedarah epidural melalui
vena yang berada dalam tulang tersebut ataupun
melalui erosi tulang . Timbulnya osteitis yang
dihasilkan dari erosi tulang, biasanya hal ini tidak
dijumpai jika tidak disertai dengan adanya
kolesteatom. Tempat yang paling sering dari terjadinya
erosi tulang tersabut adalah melalui daerah tulang yang
tipis yang berada di fossa kranial media atau melalui
tulang di dekatnya melalui fossa cranial posterior atau
sinus sigmoid. Daerah rongga epidural merupakan
daerah yang potensial, terjadi ketika lapisan
periosteum atau lapisan duramater terluar terpisahkan
dari lapisan dalam yang melapisi tulang kranial.
Duramater sendiri resistensi yang cukup tinggi untuk
menahan perluasan penyakit.6-9,13

Abses epidural ini dapat meningkatkan tekanan


intrakranial sehingga kita dapat menemukan adanya
defisit neurologis dan papil edema. Erosi dari kranium
ke luar sehingga membentuk abses subperiosteal,
misalnya pada tumor Potts puffy.6-9,13
Abses epidural dapat pula berkembang ke arah
medial, di atas apeks petrosus, sehingga dapat
mengiritasi Gasserian ganglion dari nervus trigeminal,
dan nervus abducens, sehingga timbul Gradenigos
syndrome (nyeri daerah wajah, diplopia, dan
ottorrhea).

Abses Epidural yang Meluas ke Apeks Petrosus 13


Abses Epidural 13
Terkadang pada
proses
tersebut
disertai
pembentukan
jaringan
granulasi
disamping
pembentukan pus. Jika selama proses infeksi disertai
dengan pemberian terapi antibiotika yang tepat, maka
akan terbentuk abses yang purulen. Terkadang
bersamaan dengan terjadinya penyebaran ini juga
disertai dengan penyebaran kedaerah intrakranial
lainya. 9

Ekstensi ke posterior sekitar sinus sigmoid akan


menyebabkan sigmoid sinus-perisinus abses. Hal ini
berhubungan thromboflebitis yang terjadi pada sinus
sigmoid san sinus tranversus. Meskipun jarang terjadi
abses perisinus dapat berekstensi melalui foramen
jugular ke leher.6-9,13

Diagnosis
Adanya nyeri lokal yang dalam atau nyeri
kepala dengan demam low-grade dapat disebabkan
karena infeksi epidural ini. Tetapi dapat pula
asimptomatik.

Abses Epidural dan Abses Subperiosteal 13

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Penggunaan kontras pada pemeriksaan CT Scan


ataupun MRI akan membantu sekali untuk menegakan
diagnosis abses epidural ini. Dikatakan bahwa
pemeriksaan dengan MRI mempunyai nilai sensitifitas
yang lebih baik daripada CT Scan, hal ini dikarenakan
abses tersebut mengenai jaringan lunak. MRI dengan

kontras gadolinium dapat mendeteksi adanya


penebalan lapisan duramater dan peradangan. Bukti
bahwa terdapatnya proses erosi pada daerah tulang
dapat dilihat dengan menggunakan CT Scan, dengan
menggunakan potongan axial maupun koronal. Daerah
tegmen timpani paling baik dievaluasi dengan
menggunakan potongan koronal dan daerah fossa
kranialis posterior paling baik dengan menggunakan
potongan aksial.7,8

penyebaran secara tidak langsung terjadi melalui


thromboflebitis yang retrograde yang melibatkan venavana kecil daerah mastoid. Infeksi daerah perisinus
akan menyebabkan terbentuknya thrombus mural
dalam lumen sinus. Thrombus mural dapat membesar
intralumen dan dapat menyumbat lumen kemudian
terinfeksi atau mengalami proses inflamasi. Bila tidak
mengalami infeksi, trhombus akan bertumpuk. Bila
mengalami infeksi, thrombus akan menjadi nekrotik
dan melepaskan septic emboli, menyebabkan
septikemia dan high spiking fevers satu atau dua kali
sehari. Obstruksi dari sistim drainase sinus dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dan sakit kepala yang tidak jelas
penyebabnya. Hidrocephalus otitis merupakan
komplikasi yang serius dari trombosis sinus lateralis,
yang dapat menyebabkan terjadinya proses perubahan
pandangan dan kelemahan saraf abducens.

Perkembangan Venous Sinus Thrombophlebitis14

MRI pada Kasus Abses Epidural 7


Penatalaksanaan
Bila ditemukan jaringan granulasi epidural, tulang
dan sekitarnya diangkat, jaringan granulasi dilepaskan
dengan diseksi tumpul dari duramater. Mungkin saja
terjadi perforasi pada dura, dan dapat menyebabkan
meningitis. Pada kasus tertentu bisa dilakukan
pengangkatan dari plate fossa posterior. 6-9,13
Trombosis sinus lateralis 6-9,13
Patofisiologi
Menduduki peringkat kedua dalam hal komplikasi
intrakranial OMK yang dapat menyebabkan kematian.
Terdapat 3 sinus dura yang berhubungan sangat
dekat dengan tulang temporal yaitu sinus sigmoid,
sinus petrosal superior, dan sinus petrosal inferior.
Ketiga sinus ini adalah struktur intradural dengan satu
bagiannya melekan ke lapisan archnoid dan bagian lain
melekat pada sulkus di tulang temporal.
Daerah lateral dan sinus sigmoid merupakan daerah
yang relatif tidak terlindungi terhadap proses
peradangan didaerah dekatnya sebagai akibat dari
OMK. Penyebaran secara langsung terjadi melalui
mastoid karena erosi dari tulang temporal yang
diakibatkan oleh osteitis ataupun nekrosis. Sedangkan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Diagnosa
Tanda dan gejala yang timbul berhubungan dengan
thrombophlebits sinus sigmoid sebagai akibat
inflamasi dan hidrodinamik intrkranial yang terganggu.
Gejala klinis klasik yang terjadi adalah : nyeri
kepala, malaise, spiking fever, mengigil, peningkatan
tekanan intrakranial, dan Griesingers sign.
Griesingers sign adalah adanya edema postauriculer
sekunder karena trombosis pada vena emissary
mastoid. Griesingers sign digambarkan sebagai edema
diatas processus mastoideus, tapi harus dibedakan
dengan subperiosteal edema atau abses pada akut
koalesen mastoiditis.11.
Nyeri kepala, iritabilitas, letargi, dan papil edema
dapat terlihat sebagai akibat dari peninggian tekanan
intrakranial. Pada kasus sinus sigmoid thromboflebitis,
dapat terbentuk abses ekstradural, otitic hydrocephalus
dan abses otak.6-9,13
Queckenstedt-Stookey dan Tobey-Ayer test dengan
cara pungsi lumbal adalah cara untuk mengetahui
trombosis sinus lateralis, tapi test ini berbahaya dan
tidak bisa diandalkan. Tes ini mengukur tekanan CSF
dan melihat perubahannya pada penekanan satu atau
kedua vena jugularis interna, penekanan dilakukan
dengan jari. Pada orang normal, penekanan pada
masing-masing vena
jugularis
interna
akan
menyebabkan peningkatan tekanan secara cepat pada
tekanan CSF 50-100 mmhg di atas level normal. Dan
pada saat jari dilepaskan akan terjadi penurunan yang
cepat pula.

Pada kasus sinus lateralis trombosis , penekanan


vena tidak akan menyebabkan peningkatan tekanan
CSF atau peningkatan secara perlahan 10-20 mmhg
saja. 13

Skema Tobey-Ayer Test13


Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT
Scan dan MRI akan didapatkan gambaran trombosis
sinus duramater. Dengan menggunakan kontras pada
pemeriksaan CT Scan, maka dapat dilihat daerah
trombosis sinus duramater yang mengalami kelainan.
Potongan aksial memperlihatkan adanya delta sign.13
Sedangkan dengan pemeriksaan MRI kita akan
menjumpai adanya peningkatan sinyal intraluminal
dalam sinus yang terlibat.13
Pemeriksaan gold standarnya adalah dengan
menggunakan angiografi serebral, dimana kita akan
mendapatkan gambaran anatomi dari sisitim vena
serebral, sehingga kita akan mendapatkan gambaran
oklusi dari sistim vena tersebut.7,13

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Angiografi pada Kasus Obstruksi Sinus Tranversus


Dekstra7
Penatalaksanaan
Penanganan modern dari trombosis sinus lateralis
adalah dengan berdasarkan atas kontrol terhadap
infeksi dengan tehnik bedah yang seminimal mungkin
dan antibiotika yang seefektif mungkin. Ketika diduga
terdapat trombosis daerah sinus sigmoid, maka
penggunaan antibiotika yang efektif dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya penyebaran secara
hematogen. Antibiotik spektrum luas digunakan
sampai kita mendapatkan kuman yang spesifik dari
hasil kultur. Kuman yang biasanya menyerang adalah
dari golongan aerob-anaerob saluran nafas atas
(staphylococcus dan streptococcus). Pada umumnya
digunakan kombinasi obat yang mempunyai penetrasi
yang baik terhadap sawar darah otak, yaitu dari
golongan penicillin dan kloramphenikol. Yang
kemudian dikombinasikan dengan obat intravena dari
penicillin, nafcillin, ceftriakson, atau metronidazole.69,13

Tindakan
masteidektomi
ditujukan
untuk
menampilkan ekspos yang luas dari sinus sigmoid.
Tulang dibuang sampai terekspos duramater, semua
jaringan granulasi dibuang dan dinding dari sinus
diperiksa. Daerah dinding sinus jika tampak normal,
maka tidak memerlukan tindakan lanjutan, tetapi jika
dinding sinus tampak merah, saat palpasi tampak tidak
bergerak, maka sebaiknya kita lakukan tindakan
aspirasi dari sinus tersebut dengan menggunakan jarum
yang ukurannya kecil. Jika hasil aspirasi tersebut
adalah darah, maka kita tidak perlu untuk intervensi
lagi, tetapi jika jasil aspirasinya tidak didapatkan
darah, maka dapat diduga adanya trombosis atau jika
kita dapatkan adanya pus, maka hal ini menandakan
adanya thrombus yang terinfeksi. Yang selanjutnya
dilakukan tindakan aspirasi lanjutan dan drainase dari
pus dan jaringan trombosis tersebut.6-9,13

MRV pada Kasus Lateral Sinus Thrombosis 7


Hidrocephalus otitis
Patofisiologi
Dikenal juga sebagai serebri pseudotumor
(Symonds, 1931) dan dihasilkan dari proses otitis
media. (Quincke, 1893). Merupakan suatu syndrome
dengan keadaan peningkatan tekanan intrakranial
dengan keadaan CSF yang normal dan tanpa adanya
abses otak berkaitan dan berhubungan dengan kelainan
penyakit telinga yang supuratif .Timbulnya kelainan
ini setelah beberapa minggu terjadinya proses OMA.
OMK merupakan suatu keadaan yang potensial untuk
terjadinya hal ini. Trombosis sinus lateralis nonseptik
berhubungan dengan adanya kelainan ini. Paling sering
timbul pada anak-anak atau dewasa muda.6-9,13
Patofisiologi terjadinya kelainan ini masih belum
diketahui secara jelas. Kelainan ini bukan merupakan
hidrocephalus yang sebenarnya, karena keadaan
ventrikel otak yang tidak mengalami pembesaran,
tetapi tekanan CSF mengalami peningkatan tekanan.
Secara teoritis, terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial ini disebabkan oleh adanya produksi CSF
yang berlebihan disertai dengan pengurangan resopsi
dari CSF tersebut, hal ini diduga disebabkan oleh
adanya obstruksi aliran vena daerah duramater karena
produksi thrombus atau adanya proses meningitis
sehingga mengakibatkan obstruksi. Dari penelitian
Lenz dan McDonald didapatkan kesimpulan bahwa
sekitar 78% dari 54 pasien dengan otitis hidrocephalus
mempunyai kelainan trombosis sinus lateralis,
trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau jaringan
granulasi perisinus.
Diagnosis
Gejala yang timbul pada kelainan ini berkaitan
dengan adanya peningkatan tekanan CSF. Sakit kepala
merupakan gejala yang paling sering, dan penurunan
kesadaran (letargi) dapat disertai pula dengan paralysis
saraf abdusen ipsilateral, adanya papiledema bilateral,
diplopia, dan muntah. Dengan adanya peningkatan
tekanan CSF yang persisten hal ini akan menyebabkan
timbulnya penekanan pada daerah saraf optikus
didaerah kribriform, yang akan mengakibatkan atropi
dari saraf optikus dan kehilangan penglihatan.. Demam
dan muntah merupakan gejala terkadang jumpai.4,7,11,18
Pemeriksaan radiologi dengan CT Scan membantu
untuk menemukan adanya tempat massa.6-9,13
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Penatalaksanaan
Ditujukan untuk meneradikasi penyakit
supuratif pada telinga dengan antimikroba yang sesuai
dan terapi pembedahan dan mengurangi peningkatan
tekanan intrakranial secara agresif untuk mencegah
sekuele yang timbul akibat tekanan intrakranial yang
sangat berat .Hal ini dapat mengakibatkan atropi saraf
optikus sehingga mengakibatkan papil edema bilateral,
sehingga papil edema bilateral yang persisten dapat
dihindari. Biasanya lapang pandang (visual field) lebih
terganggu bila dibadingkan dengan ketajaman
penglihatan (visual acuity). Jadi penting untuk
memonitor lapang pandang, ketajaman penglihatan dan
derajat papil edema. Juga dapat dilakukan serial
lumbal pungsi atau pemasangan drain daerah lumbal
selama beberapa minggu. Jika kelainan berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, pemasangan
ventrikular shunting atau dekompresi subtemporal
dapat dilakukan. Penggunaan obat-obatan diuretik,
steroid, dan agen dehidrasi hiperosmolar dapat
digunakan. Mastoidektomi dapat dilakukan setelah
kondisi stabil untuk mengatasi sumber infeksi kronis di
telinga.6-9,13

4.4.4. Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang
paling sering terjadi. Insidensinya
sekitar 50%.
Meningitis merupakan masalah infeksi yang sering
terjadi. Sebagian besar kejadian dari meningitis terjadi
melalui
proses
penyebaran
infeksi
secara
hematogenous kedaerah subarakhnoid dan selaput otak
(meningen). Otogenik daerah infeksi daerah disus
merupakan sumber yang sering menyebabkan hal ini.
OMA, terutama pada anak, lebih sering menyebabkan
meningitis dari pada OMK.
Patifisiologi terjadinya meningitis yang berasal dari
OMK mesih belum jelas sepenuhnya. Pada kasus
OMK, terjadinya meningitis diduga dari kontaminasi
bakteri melalui erosi tulang yang kemudian disertai
dengan abses epidural, ataupun trombosis sinus
lateralis. Setelah lapisan duramater terkena, pada
tempat yang bersamaan lapisan blood-brain barrier
(jalan untuk penyebaran hematogen) juga terkena
sehingga didapatkan akses dari bakteri untuk masuk ke
ruang subarakhnoid.
Gejala yang timbul dari hal ini dalah timbulnya
demam yang sering disertai dengan kekakuan daerah

leher (kaku kuduk), kenaikan suhu tubuh, mual,


muntah proyektil, tanda Kernig dan Brudzinski positif
dan perubahan status mental. Dengan menggunakan
CT Scan atau MRI yang diberi kontras maka kita dapat
melihat adanya penguatan daerah meningen secara
luas. Jika kita tidak menjumpai adanya massa, maka
tindakan untuk melakukan pemeriksaan pungsi lumbal
dan CSF adalah suatu keharusan. CSF yang bersifat
leukositosis, disertai dengan kadar glukosa yang
rendah, peningkatan kadar protein dan laktat. Selain
itu, pada saat melakukan pemeriksaan CSF sebaiknya
kita juga melakukan pemeriksaan gram stain, kultur
dan antigen bakteri.4,7,9,18
Penanganan
utamanya
adalah
dengan
menggunakan antibiotik dosis tinggi yang dapat yang
dapat menembus CSF. Pada pasien OMK, seringkali
didapatkan adanya bakteri gram negatif. Sebagai first
lined therapy adalah dengan menggunakan ceftriaxone
atau cefotaxime yang dikombinasikan dengan
ampicillin atau penicillin G. Kloramfenicol juga sering
digunakan, tetapi mengingat beratnya efek samping
yang ditimbulkan maka sekarang jarang digunakan
kembali. Pemantauan efektifitas teraoi dapat dilakukan
dengan menggunakan serial kultur CSF, lama terapi
yang dilakukan sepanjang 7-21 hari dengan kombinasi
antibiotik untuk gram negatif dan bakteri anaerob.
Kultur CSF menjadi negatif terhadap kuman setelah 23 hari terapi.
Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial, dapat dilakukan tindakan dekompresi dan
pencegahan gejala sisa neurologis dengan melakukan
lumbal pungsi dan pemberian deksametason.
Deksametason
terbukti
dapat
mengurangi
kemungkinan terjadinya kematian dan gangguan saraf
pendengaran. Setelah pasien stabil, dapat dilakukan
tindakan mastoidektomi untuk mengatasi sumber
infeksinya.6-9,13

MRI pada Kasus Meningitis dan Efusi Subdural7


Abses otak6-9,13
Patofisiologi
Abses otak adalah akumulasi dari pus, yang
dikelilingi oleh daerah yang mengalami ensefalitis di
dalam cerecrum atau cerebellum.
Abses otak sering terjadi pada pria terutama pada
usia dekade ke tiga, tetapi abses otak ini dapat terjadi
pada usia berapapun. Etiologi dari abses otak ini
banyak ditemukan berasal dari otogenik. Pada anak 35
% abses otak berasal dari infeksi telinga, hidung dan
tenggorok.
Abses otak otogenik terutama berasal dari
venous thrombophlebitis dan bukan ekstensi langsung
dari duramater. Lobus temporal sering terkena,
berikutnya cerebellum.
Duramater sangat resisten terhadap infeksi, tetapi
infeksi persisten dapat menyebebkan inflamasi lokal
pada dura, dimana thrombophlebitis dapat timbul pada
pembuluh darah serebral. Thrombophlebitis retrograd
pada vena serebral meupun serebellar dengan cepat
masuk ke vena terminal di white matter, dimana
pertahanan terhadap infeksi sangat minimal, dan
penyebaran dengan cepat dari liquification necrosis
menyebabkan pembentukan abses.
Kemudian daerah sekitar abses yang mengalami
ensefalitis membentuk semacam kapsul yang berasal

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

dari fibroblast otak dan sel glia. Pelunakan jaringan


sekitar abses dan kapsel yang tidak sempurna
menyebabkan infeksi dapat menyebar ke ventrikel,
bahkan ke korteks, sampai akhirnya dapat ruptur ke
ventrikel dan ruang subarachnoid.
Bakteri yang dapat ditemukan pada abses otak
dapat dilihat pada tabel berikut.

oleh abses otak, didapatkan data sekitar 56% abses


otak tersebut berhubungan dengan OMK. Sedangkan
dari penelitian yang dilakukan oleh Courville, terhadap
hal yang sama, didapatkan data sekitar 43%.11
Diagnosis
Gejala klasik dari abses otak adalah: demam,
kesadaran terganggu, nyeri kepala, vomiting, kaku
kuduk, focal motor seizures dan papil edema (Hirsch,
1983)
Tetapi tidak selalu semua gejala ini muncul pada
penderita abses otak (Harrison, 1982)
Abses otak berkembang melalui 4 fase selama
periode mingguan atau bulanan.

Mikroorganisme pada Abses Otak7


Tingginya insiden streptococi dan staphylococci
dan Bacteroides sesuai dengan baketri sering kita
temukan pada OMSK eksaserbasi akut. Adanya sekret
telinga yang mengadung bakteri tersebut menunjukkan
adanya aerasi yang buruk, penyumbatan dan destruksi
tulang.
Abses otak menempati peringkat pertama dalam hal
komplikasi yang disebabkan oleh OMK ke intrakranial
yang akan menyebabkan kematian. Komplikasi abses
otak ini mempunyai tingkat mortalitas dan morbiditas
yang tinggi, sehingga merupakan salah satu komplikasi
yang paling ditakutkan. Penelitian di Skotlandia, 1990,
didapatkan angka kejadian komplikasi abses otak dari
OMK adalah 1 dari 12.467 pasien, sedangkan dari
penelitian di Thailand, 1993, didapatkan angka 1 dari
11.905.
Abses otak terjadi karena proses penyebaran
melalui proses hematogen dari bakteri. Pada kasus
OMK, abses otak terjadi karena ektensi langsung
sepanjang jalan yang sudah ada ataupun melalui jalan
perivaskular yang sudah ada. Sekitar 62% proses
berlangsung didaerah lobus temporalis dan 34%
didaerah serebellum. Sedangkan penyebaran kedaerah
frontal dan parietal terjadi sekitar 4%. Tulang yang
tipis pada daerah tegmen timpani akan mempermudah
penyebaran
penyakit
ini
kedaerah
fossa
posteriorcranial. Pada saat duramater telah terekspos,
maka penyebaran secara tromboflebitis dapat terjadi
dan menyebar ke daerah bagian temporal dari
serebrum, serebellum ataupun epidural.
Angka mortalitas dari abses otak ini mempunyai
nilai yang tinggi, sekitar 6% - 42%.4,7
Berdasarkan otoposi yang dilakukan oleh Evans,
1933, pada pasien yang meninggal dunia disebabkan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tahap perkembangan dari penyakit ini menurut


Kornblut terbagi menjadi 4 fase:

Fase awal, dikenal sebagai fase invasi (initial


encephalitis), dengan terjadinya encephalitis dan
terbentuknya mikrofokus yang terlokalisir didaerah
serebri dan terjadi peradangan daerah vaskular.
Gejala yang timbul : lemah, nyeri kepala, demam,
menggigil, mual dan muntah.
Fase kedua, dikenal sebagai fase lokalisasi abses
atau fase laten, ditandai dengan terjadinya fibrosis
pada daerah yang mengalami peradangan dengan
dikelilingi oleh jaringan nekrosis. Gejala yang
timbul biasanya menghilang.
Fase ketiga, dikenal sebagai fase perluasan
(cerebritis). Ditandai dengan ekspansi dan
gambaran abses lebih jelas. Gejala yang muncul
adalah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial yang disertai adanya tanda-tanda iritasi
dan kompresi daerah yang terkena. Sakit kepala
yang hebat dan papil edema merupakan gejala yang
menonjol pada sekitar 70-90 % pasien. Diikuti
dengan mual, muntah proyektil, perubahan
penglihatan.
Fase keempat, adanya usaha untuk perbaikan dari
abses dengan meninggalkan adanya jaringan
sikatrik fibroglial atau ruptur dari abses tersebut.
Ruptur dari abses akan menyebabkan material dari
abses tersebut akan masuk ke dalam rongga
ventrikel atau ruangan subarakhnoid. Ruptur dari
abses
merupakan
keadaan
yang
dapat
menyebabkan kematian.

Elektroencephalography positif pada 96 % kasus


(adanya gelombang delta)

Gejala yang muncul adalah sesuai dengan fase dari


penyakit tersebut. Tanda spesifik lainya berhubungan
dengan lokalisasi dari abses tersebut.
Pemeriksaan
neurologi
diperlukan
untuk
mengetahui lokalisasi dari abses tersebut. Pemeriksaan
laboratorium rutin hanya sedikit membantu dalam
penegakan diagnosisnya.11
Diagnosis standar pada saat sekarang ini adalah
dengan menggunakan CT Scan dan MRI dengan
menggunakan kontras. Pada pemeriksaan CT Scan
akan didapatkan gambaran hipodens yang dikelilingi
semacam cincin, daerah abses tersebut merupakan
material yang bersifat piogenik. CT Scan juga
membantu untuk mengetahui adanya suatu kerusakan
tulang daerah temporal yang menyokong untuk
diagnosis abses otak ini.

Jika pasien tersebut telah lama menderita OMK, maka


pemakaian cephalosporin generasi ketiga, anti
pseudomanal
penisillin,
atau
aminoglikosida
disamping kombinasi dengan metronidazole patut
dipertimbangkan.9
Pasien segera dilakukan operasi, sebelumnya
diberikan infus manitol.
Pada saat operasi, perlu dilakukan aspirasi abses
untuk kepentingan kultur dan resistensi, pada rongga
abses dilakukan irigasi dengan saline dan antibiotik.
Penanganan abses otak secara tradisional dan masih
menjadi pilihan utama adalah dengan tindakan operasi,
biasanya dilakukan tindakan aspirasi dan eksisi dari
lesi. Tindakan pembedahan ini mengurangi lama masa
terapi dengan pengobatan dan lama tinggal di RS.
Tindakan aspirasi dilakukan dengan memasang jarum
yang besar dan panjang melalui tehnik burr hole, yang
kemudian dapat dilanjutkan dengan tindakan irigasi.
Sedangkan
tindakan
eksisi
ditujukan
untuk
menghilangkan semua jaringan infeksius dan
nekrotik.4,7

CT scan pada Kasus Abses Otak20


MRI lebih sensitif untuk mengetahui kelainan ini
bila dibandingkan dengan CT scan . MRI dapat
mengetahui penyebaran ke extraparenchymal ke ruang
subarachnoid atau ventrikel.

MRI pada Kasus Abses Otak7


Penatalaksanaan
Terapi harus dilakukan dengan segera. Pasien
dirawat di rumah sakit, diberika antibiotik yang dapat
menembus sawar darah otak, pemberian kortikosteroid.
Telinga diberikan antibiotik topikal.
Pemberian antibiotika segera setelah diketahui
infeksi daerah otak. Beberapa penulis mengemukakan
bahwa pemakaian obat golongan nafcillin atau
oxacillin dan kloramfenikol dosis tinggi sambil
menunggu hasil kultur resistensi terbukti cukup efektif.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Abses Otak13
Setelah dilakukan operasi, 2 bulan kemudian masih
ada gambaran lesi hiperdens pada CT scan yang
merupakan inflamatory granuloma. Dalam 1 tahun
biasanya gambaran tersebut hilang. 73 % pasien yang
hidup memiliki sekuele neurologis atau tanpa sekuele
neurologis, hidup normal, dapat bekerja atau
bersekolah. Faktor utama yang menyebabkan
mortalitas adalah keadaan saat pasien masuk rumah
sakit, semakin dini diagnosa dan terapi diberikan,
semakin tinggi kemungkinan hidupnya.6-9,13

Abses subdural 6-9,13


Patofisiologi
Penumpukkan cairan di subdural dapat berupa
abses, empyema dan atau efusi.
Abses subdural penumpukkan pus yang dibatasi
oleh satu dinding yang membatasinya dengan ruang
subdural secara keseluruhan. Dikatakan empyema
subdural bila pus sudah menyebar ke area yang lebih

luas, biasanya mengikuti convexity dari serebrum.


Sedangkan efusi subdural adalah penumpukkan cairan
secara lokal atau difus yang tidak tampak purulen
pada inspeksi secara makroskopis.
Duramater yang utuh menyediakan perlindungan
yang efektif terhadap penyebaran infeksi.
Ruang subdural adalah ruang potensial yang
dibatasi oleh selapis sel mesothelial antara bagian
terdalam dari duramater dan bagian terluar dari
arachnoid. Sebelah dalam arachoid adalah CSF
compartement.
Abses ini sering terjadi pada anak-anak.

Sedangkan penyebaran secara tidak langsung


melalui thromboflebitis setelah melalui pembuluh
darah yang melalui tulang dan duramater. Terkadang
kita menjumpai adanya pus yang terperangkap oleh
jaringan granulasi dan adanya jaringan fibrotik yang
mengelilinginya sebagai suatu respon terhadap infeksi
tersebut.
Organisma penyebab abese subdural berbeda pada
infant dan pada anak/dewasa. Pada infant etiologinya
adalah H. Influanzae, S. Penumoniae, dan Paracolon
escherichia, terjadi sekunder dari meningitis.
Sedangkan pada anak dan dewaa infeksi kebanyakan
berasal dari infeksi sinus frontal, biasanya didapatkan
Stretococci dan Staphylococcus aureus.
Diagnosa
Gejala yang ditimbulkan berhubungan dengan
penyebaran dari pus, gejala yang muncul adalah
stupor/koma, hemiparesis, kejang, nyeri kepala, mual,
demam, meningismus/kaku kuduk yang terjadi karena
peradangan daerah serebrum dan edema pada daerah
yang berhubungan dengan abses dan seringkali
dijumpai adanya suatu tanda focal cortical, yang
ditandai dengan hemiplegi dan aphasia.
Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT
Scan dan MRI dengan kontras, potongan aksial akan
memperlihatkan adanya hipodens didaerah sekitar lesi.
MRI lebih sensitif dan dapat mengetahui terjadinya
abses pada masa awal dan dapat secara tepat
membedakanya dengan epidural, subdural, dan abses
otak.7,21

Abses Subdural13
Lobus frontalis dan lobus temporalis sangat dekat
dengan dura tapi jarang
berhubungan dengan
penumpukkan cairan di subdural. Tetapi ruang
subdural diatas convexity dari hemisphere cerebri
adalah ruang yang nyata tanpa ada sekat anatomis lain.
Patofisiologinya adalah melalui penyebaran secara
langsung ataupun tidak langsung dari tulang temporal.
Penyebaran secara langsung, adalah melaui erosi dari
tulang temporal, yang diikuti dengan tereksposnya
duramater dan kemudian terjadi penetrasi kedaerah
duramater.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

CT scan pada Kasus Abses Subdural22

Penatalaksanaan
Penangannanya
merupakan suatu
tindakan
gabungan dengan bagian bedah saraf, dilakukan
tindakan burr hole untuk diagnosis, dan dilanjutkan
dengan drainase dan irigasi jika diperlukan. Irigasi
intraoperatif dengan bacitracin, neomycin, dan
polimyxin serta irigasi lewat drain pada saat post op
dapat dilakukan. Penggunaan antibiotika juga
ditujukan untuk mengatasi infeksi pada daerah telinga
dan diberikan sesuai dengan hasil kultur. Pada infant
terapi dapat dilakukan dengan beberapa kali subdural
tap dan penggunaan antibiotik

disertai ottorhea. Tanda klasik dapat berupa massa di


belakang telinga, aurikel tampak terdorong ke depan.
Bila terletak di mestoid, subperiosteal abses ini
menyerupai postaurikular supuratif adenitis pada otitis
eksterna, tapi pada Townes radiograf kasus adenitis ini
tidak menunjukkan destruksi tulang dan tidak ada
opasifikasi
Penatalaksanaan
Dilakukan insisi drainase, untuk mengevakuasi pus.
Jaringan sekitar yang berbentuk nekrotik memerlukan
juga debridement

Setelah keadaan pasien membaik dan stabil, maka


tindakan mastoidektomi dari bagian THT dapat
dilakukan, untuk mengatasi sumber infeksi daerah
telinganya.4,7,21

Abses Subperiosteal14

MRI pada Kasus Abses Epidural dan Subdural7


Komplikasi ekstrakranial dan ekstratemporal
Subperiosteal abses
Subperisosteal abses terjadi karena penumpukan
pus yang berhubungan dengan mastoid, yang
disebabkan akut atu kronik otitis media dengan
mastoiditis dan destruksi tulang. Biasanya sering
terjadi pada korteks mastoid pada Macewens triangle
tapi dapat juga timbul di root of zygoma atau leher
bagian atas (Bezolds abscess) yang telah berpenetrasi
ke periosteum mastoid tip bagian medial.
Subperiosteal abses tampak seperti massa
fluktuatif yang menunjukkan tanda inflamasi, biasanya
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

CT scan pada Kasus Abses Subperiosteal20

Abses Bezold
Abses Bezold timbul karena adanya mastoiditid
purulen yang mengerosi tip mastoid dan menginfeksi
jaringan lunak pada leher, ke dalam musculus
sternocleidomastoideus.
Gejala klinik menunjukkan benjolan di leher,
musculus sternocleidomastoideus terdorong. Bila tidak
segera dilakukan tindakan akan berekstensi ke inferior
ke carotid sheath. Bila infeksi berada di tulang
occipital dan menyebabkan osteomyelitis di calvarium
disebut abses Citelli .

Lokasi Terjadinya Abses Bezold21


Diagnosis
Dengan adanya infeksi telinga, ditemukan pula
massa di daerah leher, biasanya disertai dengan
demam, leher terasa kaku. Pada CT scan terlihat di
mastoid region, akan ditemukan bone dehiscence dekat
massa abses, jaringan lunak leher edema.

Penatalaksanaan
Dengan cara drainase abses

CT scan pada Kasus Abses Bezold20

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

ALGORITMA PENATALAKSANAAN
OTITIS MEDIA

DAFTAR PUSTAKA

Paparella MM., Adams GL., Levine SC., Disease of the


Middle Ear and Mastoid., Dalam Boeis Fundamental of
Otolaryngology., 6th edition. WB Saunders Company.
Philadelphia. 1989: 6: 88-118.

Boesoirie MTS., Miringoplasti Pascaradang Telinga Tengah.,


Bagian I.K Telinga, Hidung, Tenggogorok Bedah Kepala
dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Bandung. 2000.

Hashisaki GT., Complications of Chronic Otitis Media.


Dalam The Ear Comprehensive Otology., Edited by Canalis
RF., Lambert PR., Lippincott Williams & Wilkins.,
Philadelphia. 2000: 26: 433-45.

Lambert PR., Canalis RF., Chronic Otitis Media and


Cholesteatoma. Dalam The Ear Comprehensive Otology.,
Edited by Canalis RF., Lambert PR., Lippincott Williams &
Wilkins., Philadelphia. 2000: 25: 409-32.

Hashisaki GT., Complications of Chronic Otitis Media.


Dalam The Ear Comprehensive Otology., Edited by Canalis
RF., Lambert PR., Lippincott Williams & Wilkins.,
Philadelphia. 2000: 26: 433-45.

Neely JG., Arts HA., Intratemporal & Intracranial


Complications of Otitis Media., Dalam Head & Neck
Surgery Otolaryngology. 4th edition., Edited by Bailey BJ.,
Lippincott Williams & Wilkins., Philadelphia. 2006: 138:
2041-56.

Ballenger JJ., Complications of Ear Disease., Dalam Disease


of the Nose, Throat, Ear, Head, and Neck., 13 th edition., Lea
& Febiger. Philadelphia. 1985: 57: 1170-96.

Lambert PR., Canalis RF., Anatomy and embryology of the


Auditory and Vestibular Systems. Dalam The Ear
Comprehensive Otology., Edited by Canalis RF., Lambert
PR., Lippincott Williams & Wilkins., Philadelphia. 2000: 2:
17-66.

Lee KJ., Infections of the Ear., Dalam Essential


Otolaryngology Head & Neck Surgery., 8th edition.
Appleton & Lange. Connecticut. 2003: 23: 462-511.

Phelps PD., Radiology of the ear., Dalam Scott-Browns


Otolaryngology., 5th edition., Edited by Kerr AG.,
Butterworth & Co. London. 1987: 2: 15-52.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

11.

Djaafar ZA., Kelainan Telinga Tengah., Dalam Buku Ajar I.


P Telinga Hidung Tenggorok., Edisi 5., editor Soepardi HA.,
Iskandar N., Balai Penerbitan FK UI. Jakarta. 2006: II: 4962.

12.

Proctor B., Chronic otitis media and mastoiditis., dalam


Otolaryngology. 2nd edition. Volume II., edited by Paparella,
Shrumrick., WB Saunders company., Philadelphia., 1980:
BPPV (BENIGN
18: 1455-89.

13.

Susilawati S., Chronic Ear Infection., Dalam Hearing


Impairment-An Invisible Disability., Springer-Verlag.
Tokyo. 2004: IV: 278-81.

14.

Ballenger JJ., Chronic Ear Disease., Dalam Disease of the


Nose, Throat, Ear, Head, and Neck., 13th edition., Lea &
Febiger. Philadelphia. 1985: 55: 1135-1145.

15.

Harris JP., Kim DW., Darrow DH., Complications of


Chronic Otitis Media., Dalam Surgery of the Ear and
Temporal Bone., 2nd edition., Edited by Nadol JB.,
McKenna MJ., Lippincott Williams & Wilkins.,
Philadelphia. 2005: 18: 219-40.

16.

Nadol JB., Chronic Otitis Media., Dalam Surgery of the Ear


and Temporal Bone., 2nd edition., Edited by Nadol JB.,
McKenna MJ., Lippincott Williams & Wilkins.,
Philadelphia. 2005: 17: 199-218.

17.

Hollinshead WH., The Ear., Dalam Anatomy for Surgeons:


Volume 1: The Head & Neck.,
A Hoeber-Harper
International Edition. London. 1966: 166-228.

18.

Wiet RJ., Harvey SA., Bauer GP., Management of


Complications of Chronic Otitis Media. Dalam Otologic
Surgery. 2nd Edition., Edited by Brackmann DE., WB
Saunders Company. Philadelphia. 2001: 19: 197-215.

19.

Austin DF., Anatomy and embryology., Dalam Disease of the


Nose, Throat, Ear, Head, and Neck., 13th edition., Lea &
Febiger. Philadelphia. 1985: 46: 877-923.

20.

Ludman H., Complications of suppurative otitis media.,


Dalam Scott-Browns Otolaryngology., 5th edition., Edited
by Kerr AG., Butterworth & Co. London. 1987: 12: 264291.

21.

Browning GG., Pathology of inflammatory conditions of the


external and middle ear., Dalam
Scott-Browns
Otolaryngology., 5th edition., Edited by Kerr AG.,
Butterworth & Co. London. 1987: 3: 53-87

22.

Paparella MM., Adams GL., Levine SC., Disease of the


Middle Ear and Mastoid., Dalam Boeis Fundamental of
Otolaryngology., 6th edition. WB Saunders Company.
Philadelphia. 1989: 6: 88-118.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO)

Vertigo, suatu istilah yang bersumber dari bahasa latin,


vertere yang artinya memutar. Derajat yang lebih
ringan dari vertigo disebut dizziness, yang lebih ringan
lagi disebut giddiness dan unsteadiness.1,2
Vertigo dapat merupakan gejala sendiri tanpa ada
gejala lain tetapi dapat juga merupakan kumpulan
gejala (sindroma). Sindroma vertigo biasanya terdiri
dari gejala vertigo, mual, muntah, nistagmus, dan
unsteadiness.1,2,3
Sebagai gejala tersendiri, vertigo merupakan keluhan
subjektif dalam bentuk rasa berputar dati tubuh/kepala
atau lingkungan disekitarnya. Ada yang mengatakan
giddiness adalah vertigo yang berlangsung dalam
waktu sangat singkat. Dizziness adalah rasa pusing
yang tidak spesifik, misalnya rasa goyah (unstable,
unsteadiness), rasa disorientasi ruangan yang dapat
dirasakan berbalikan atau berputar.1,2
Gejala vertigo dapat ditimbulkan oleh berbagai macam
etiologi, antara lain akibat mabuk gerakan/perjalanan.
Pada keadaan ini gejala vertigo muncul pada awal
berlangsungnya paparan gerakan dan cepat terabaikan
oleh penderita manakala paparan berlanjut dan gejala
yang lebih hebat muncul sehingga vertigo bukan
merupakan gejala yang menonjol.1,2,3
Teori terjadinya vertigo sangatlah banyak, yaitu: 1,2,3
1. Teori rangsangan berlebihan
Dasar teori ini adalah suatu asumsi bahwa makin
banyak dan makin cepat rangsangan, semakin
berpeluang menimbulkan sindroma vertigo akibat
gangguan fungsi alat keseimbangan tubuh. Jenis
rangsangan pada kesimbangan ini antara lain kursi
putar Barany, irigasi telinga, kapal laut, dan mobil.
Menurut teori ini sindroma vertigo (vertigo,
nistagmus, mual, dan muntah) timbul akibat
rangsangan
berlebihan
terhadap
kanalis
semisirkularis.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini sindroma vertigo muncul ketika
terjadi disharmoni (discordance) masukan sensoris
yang berasal dari ketiga reseptor tersebut baik dari
sisi kanan maupun sisi kiri akibat rangsangan
gerakan. Masukan sensorik yang tidak sinkron
tersebut menimbulkan kelainan pada pusat

keseimbangan dan membangkitkan respons dari


saraf otonom, otot penggerak mata (nistagmus),
dan penyangga tubuh (ataksia, unsteadiness), serta
korteks (vertigo). Kemajuan yang penting dari
teori ini dibandingkan teori sebelumnya ialah
perubahan lokasi kelainannya tidak pada kanalis
semisirkularis (perifer) melainkan pada pusat alat
kesimbangan tubuh (sentral).

3.

4.

5.

6.

Teori neural mismatch


Garis besar teori ini ini hampir sama dengan teori
konflik sensorik, namun dikembangkan lebih jauh
sehingga dapat dijelaskan terjadinya fenomena
adaptasi. Menurut teori ini, timbulnya gejala
disebabkan karena ketidaksesuaian antara
pengalaman gerakan yang sudah disimpan dalam
otak
dengan
gerakan
yang
sedang
berlangsung/dihadapi. Rangsangan gerakan yang
sedang berlangsung tersebut dirasakan asing atau
tidak sesuai dengan harapan dan merangsang
kegiatan yang berlebihan dari susunan saraf pusat
otonom. Namun bilamana gerakan berlangsung
terus maka pola gerakan yang baru akan merevisi
pola gerakan yang sudah ada dan selanjutnya
terbentuk pola baru yang lebih sesuai dengan pola
gerakan yang sedang dihadapi. Pada saat inilah
gejalanya menghilang dan orang tersebut dalam
keadaan teradaptasi.
Teori otonomik
Teori ini menduga bahwa sindrom vertigo timbul
oleh karena terjadinya ketidakseimbangan saraf
otonom akibat rangsangan gerakan. Bila
ketidaksesuaian mengarah pada dominasi saraf
simpatik, maka terjadilah sindroma vertigo.
Sebaliknya bila mengarah ke dominasi saraf
parasimpatis maka sindroma menghilang.
Teori neurohumoral
Beberapa teori humoral yang cukup terkenal
antara lain teori histamin dari Takeda, teori
dopamin dari Kohl, teori serotonin dari Lucat.
Masing-masing bahan humoral tersebut meningkat
kadarnya dalam cairan tubuh saat terjadi
rangsangan dan memicu timbulnya gejala vertigo.
Teori sinap
Menurut teori ini, rangsangan gerakan dapat
meningkatkan stres fisik dan atau psikis yang akan
memicu pelepasan CRF (corticotropin releasing
factor). CRF dapat mengubah keseimbangan ke
arah dominasi saraf simpatik terhadap saraf
parasimpatik sehingga muncul gejala vertigo.
Selanjutnya ketika keseimbangan berubah ke arah
parasimpatik sebagai akibat hubungan reciprocal
inhibition antar kedua saraf tersebut maka gejala
mual dan muntah akan muncul. Bila rangsangan
diulang maka jumlah ion Ca dalam sel saraf pra
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

sinap akan kian berkurang bersamaam dengan


menyempitnya kanal kalsium yang mempersulit
masuknya ion Ca. Dengan demikian rangsangan
berulang menimbulkan progressive Ca channel
closure yang diduga merupakan dasar mekanisme
proses
adaptasi
selanjutnya
menurunkan
kemampuan pengeluaran neurotransmiter dengan
akibat respons jaringan berkurang dan kemudian
menghilang. Munculnya sindroma vertigo berawal
dari pelepasan corticotropin releasing factor
(CRF) dari hipotalamus akibat rangsangan
gerakan. CRF selanjutnya merangsang kegiatan
susunan saraf simpatik di locus caeruleus,
hipokampus, korteks serebri, dan sebagainya. CRF
membangkitkan respons susunan saraf terhadap
stres fisik maupun psikis yang dapat dihambat
oleh pemberian obat anticemas, benzodiazepin.
Dalam hal ini mekanisme kerja CRF diduga lewat
peningkatan influks kalsium oleh karena dapat
dihambat dengan pemberian obat golongan
calcium entry blocker. CRF meningkatkan sekresi
stres hormon lewat jalur hipotalamo-hipofisaadrenalis. Rangsangan terhadap korteks limbik
hipokampus menimbulkan gejala ansietas dan atau
depresi. Peningkatan kegiatan di locus coeroleus
oleh CRF menyebabkan keseimbangan saraf
otonom mengarah ke dominasi saraf simpatik dan
timbul sindroma: pucat dan dingin pada kulit, serta
keringat dingin, dan vertigo. Bila dominasi
berubah ke arah saraf parasimpatis, sebagai akibat
mekanisme reciprocal inhibition, maka muncul
gejala mual, hipersalivasi, dan muntah. Bila
sindroma tersebut berulang akibat rangsangan,
maka siklus perubahan dominasi saraf simpatik
dan parasimpatik juga berulang sampai suatu saat
terjadi perubahan sensitifitas reseptor dan jumlah
reseptor serta perubahan terhadap influks kalsium.
Dalam keadaan ini sindroma vertigo akan
menghilang dan disebut dalam kondisi teradaptasi.
Tingkat beratnya serangan vertigo bervariasi. Pada
vertigo berat, pasien hanya berbaring di tempat tidur,
takut jika gerakannya akan menimbulkan serangan.
Jika pasien cenderung untuk jatuh dan tidak dapat
berdiri tanpa penyokong menandakan vertigo berat.4
Rasa takut yang dikeluhkan pasien pada saat serangan
vertigo yang hebat adalah:4
Saya takut muntah
Saya khawatir selama serangan akan meninggal
Saya menyangka saya punya tumor di otak
Saya takut akan terjatuh dan mencederai diri saya
Saya khawatir akan jatuh pingsan
Saya khawatir hilang kontrol
Saya takut terkena serangan jantung
Saya khawatir tidak dapat berjalan lagi
Jumlah serangan vertigo ditentukan dengan satu kali
serangan atau lebih misalnya akibat lesi vaskuler atau

labirintitis toksin akut. Penyakit Meniere ditandai


dengan serangan vertigo yang berulang kali. Penentuan
serangan vertigo apakah mendadak atau gradual
penting ditentukan untuk prognosis. Serangan vertigo
yang berat dan hanya satu kali akan diikuti dengan
penyembuhan yang lambat dan gradual. Penyembuhan
dapat sempurna atau ada gejala sisa. Pada lesi kanalis
semisirkularis, sebagian gejala datang tiba-tiba dan
akan sembuh dalam beberapa jam. Gejala gradual
biasanya pada lesi organ akhir (end organ) vestibuler
atau saraf.4

jelas, sedangkan vertigo posisi muncul pada saat


pergerakan tertentu khususnya pergerakan atau
perubahan posisi kepala.4
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah
salah satu jenis vertigo vestibular tipe perifer yang
paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari
ditandai dengan serangan yang dapat menghilang
secara spontan. BPPV bukan suatu penyakit,
melainkan suatu sindroma sebagai gejala sisa dari
kelainan pada telinga dalam.1,2

Perasaan akan jatuh menunjukkan adanya lesi di


labirin. Pasien akan jatuh ke sisi labirin yang rusak.
Jatuh yang tiba-tiba disebabkan adanya rangsangan
utrikulus. Jatuh dapat juga disebabkan oleh lesi
rombenselafon. Pada insufiensi arteri basilaris, pasien
biasanya jatuh ke satu sisi.4

BPPV adalah vertigo yang terjadi pada posisi kepala


tertentu disebabkan oleh keadaan patologis berupa
degenerasi
debris
(otokonia)
pada
kupula
semisirkularis posterior atau pada cairan endolimf
disekitarnya yang ditandai dengan serangan vertigo
yang berat, singkat, serta dapat disertai mual dan
muntah.1,2

Lama serangan menurut Alpers terbagi menjadi


serangan sampai beberapa saat, serangan paroksismal
yang berlangsung dalam beberapa jam atau hari, serta
serangan yang berlangsung beberapa minggu.
Serangan sementara biasanya berlangsung beberapa
detik sampai menit. Setelah serangan, pasien mungkin
membutuhkan istirahat beberapa menit sebelum ia
sembuh secara keseluruhan. Serangan sementara ini
dapat terjadi karena kelainan perifer atau sentral.
Seringkali dimulai dengan perubahan posisi.4
Berdasarkan lokasi patologis yang terjadi, vertigo
dapat dibagi menjadi vertigo perifer dan sentral.
Vertigo perifer terjadi bila penyebab vertigo berlokasi
mulai dari organ vestibuler sampai saraf kedelapan.
Sedangkan vertigo sentral dari nukleus vestibularis,
batang otak, dan seterusnya sampai ke susunan saraf
pusat.4,5

Epidemiologi
Insidensi terjadinya BPPV di US sekitar 64 kasus per
100.000 populasi per tahun. Pada salah satu penelitian
di Jepang, ditemukan insidensi BPPV adalah 11 kasus
per 100.000 populasi per tahun.2,3
BPPV dapat terjadi pada semua usia, tetapi
kebanyakan terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
Penelitian Baloh mendapatkan usia rata-rata penderita
BPPV adalah 54 tahun dengan rentang usia antara 11
sampai dengan 84 tahun. Vertigo yang terjadi pada usia
muda
lebih
disebabkan
karena
labirintitis
(berhubungan dengan gangguan dengar) atau
neuronitis
vestibuler
(pendengaran
normal).
Perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 1,6 :
1,0, sedangkan pada yang idiopatik 2 : 1.1,2

Etiologi
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan etiologi
yang pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan,
antara lain: 2,5
Tipe Gangguan Keseimbangan
1. Idiopatik
Perifer
Yang paling sering terjadi yaitu sekitar 50%-70%.
Perasaan berputar
Jelas
Harrison dan Ozsahinoglu (1975) mendapatkan
Serangan
Paroksismal
60% dari 365 pasien yang diteliti. Kasus ini lebih
Intensitas
Sering berat
sering terjadi pada dekade ke 5,6, dan 7.
Kurang dari 1 menit sampaiSchuknecht (1974) menduga bahwa BPPV dapat
Lamanya
terjadi karena degenerasi spontan dari otokonia
beberapa minggu
pada makula utrikulus.
Hubungan dengan posisi kepala
Sering
2. Trauma kepala
Gejala
sistem
otonom
Jelas
Merupakan penyebab kedua terbanyak. Barbes
(mual/muntah)
(1964) mendapatkan 47% pasien dengan fraktur
Gangguan dengar
Sering ada
tulang temporal longitudinal mempunyai gejala
Gangguan kesadaran
Biasanya tidak ada
BPPV. Pada pasien trauma kepala tanpa fraktur
Gejala neurologis lain
Biasanya tidak ada
didapatkan angka sebanyak 20%. Harrison
mendapatkan 24% pasien BPPV mempunyai
Berdasarkan proses terjadinya, vertigo dapat dibedakan
riwayat
trauma
kepala.
Trauma
kepala
sebagai vertigo spontan dan vertigo posisi. Vertigo
menyebabkan
pelepasan
sejumlah
otokonia
ke
spontan timbul secara tiba-tiba tanpa penyebab yang
Secara umum kedua tipe gangguan keseimbangan ini
dapat dibedakan sebagai berikut:1,4

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

3.
4.

5.

6.

7.

dalam endolimf, hal ini menjelaskan bahwa pada


penderita ini terjadi BPPV yang bilateral.
Neurolabirintitis viral atau disebut juga neuronitis
vestibularis terjadi sekitar 15% pada kasus BPPV.
Penyakit meniere dengan insidensinya sekitar
0,5% sampai 31% pada kasus BPPV. Mekanisme
kelainan ini belum dapat dijelaskan tetapi diduga
karena hasil dari hydropically menyebabkan
kerusakan pada makula dari utrikulus atau karena
terjadinya obstruksi parsial pada labirin
membranosa.
Pembedahan telinga dalam yang menyebabkan
kerusakan labirin. Hal ini terjadi karena kerusakan
utrikulus selama prosedur pembedahan yang
menyebabkan pelepasan otokonia.
Otitis media
Dix dan Hallpike (1952) menemukan hubungan
antara otitis media supuratif dengan BPPV.
Mereka mendapatkan 26% dari 100 pasien otitis
media mempunyai gejala nistagmus posisi.
Penyebab
lain
seperti
insufisiensi
vertebrobasilaris, ototoksisitas (alkohol, fenitoin,
diuretik, salisilat, quinidine, quinine, barbiturat),
neuroma akustik, kelainan kongenital (telinga
dalam).

Patofisiologi
Terdapat dua teori yang menerangkan patofisiologi
BPPV, yaitu:3,4
1.
Teori kupulolitiasis
Adanya debris yang berisi kalsium karbonat
berasal dari fragmen otokonia yang terlepas dari
makula utrikulus yang berdegenerasi, menempel
pada permukaan kupula kanalis semisirkularis
posterior yang letaknya langsung di bawah makula
utrikulus. Debris tersebut lebih berat daripada
endolimf sekitarnya, sehingga lebih sensitif
terhadap perubahan arah gravitasi. Bilamana
pasien berubah posisi dari duduk ke berbaring
dengan kepala tergantung seperti pada tes Dix
Hallpike, kanalis posterior berubah posisi dari
inferior ke superior, kupula bergerak secara
utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus
dan keluhan vertigo.
Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan
waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa
laten sebelum timbul nistagmus dan keluhan
vertigo.Gerakan posisi kepala yang berulang akan
menyebabkan otokonia terlepas dan masuk ke
dalam endolimf sehingga menyebabkan timbulnya
fatique, yaitu berkurangnya atau menghilangnya
nistagmus/vertigo disamping adanya mekanisme
kompensasi sentral. Nistagmus tersebut timbul
secara paroksismal pada bidang kanalis posterior
telinga yang berada pada posisi di bawah dengan
arah komponen cepat ke atas.
2.
Teori kanalitiasis
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Menurut teori ini, debris otokonia tidak melekat


pada kupula melainkan bergerak bebas di dalam
endolimf kanalis semisirkularis posterior. Pada
perubahan posisi kepala, debris tersebut akan
bergerak ke posisi paling bawah, endolimf
bergerak menjauhi ampula dan merangsang nervus
ampularis. Bila kepala digerakkan maka debris
akan keluar dari kanalis posterior ke dalam krus
komunis lalu masuk ke dalam vestibulum
kemudian vertigo/nistagmus akan menghilang.
Teori kanalitiasis inilah yang mendasari prosedur
pengobatan dari Epley.
Semont dkk (1988) menganggap bahwa kedua teori ini
saling mendukung sehingga ia tidak membedakannya
di dalam penentuan prosedur pergerakan dari
terapinya.4

Mekanisme Teori Kupulolitiasis dan Kanalitiasis6


Utrikulus berhubungan dengan duktus semisirkularis.
Otolit dapat berpindah dari utrikulus karena
bertambahnya umur, trauma kepala, atau kelainan
labirin. Ketika hal ini terjadi, otolit selalu masuk ke
dalam duktus semisirkularis posterior.2
Perubahan posisi kepala karena gravitasi menyebabkan
otolit secara bebas bergerak longitudinal melalui
kanalis. Aliran endolimf yang terjadi bersama ini
menstimulasi sel rambut pada kanalis semisirkularis
yang terkena sehingga menyebabkan vertigo. Ketika
otokonia mencapai batas serangannya, hidrodinamik
terhenti menyebabkan nistagmus berhenti. Manuver
kepala yang dilakukan menyebabkan partikel bergerak
kearah yang berlawanan, menimbulkan nistagmus pada
sisi yang sama tetapi terjadi kebalikannya pada arah
dari rotasi. Ketika dilakukan pengulangan pada
manuver kepala, partikel menjadi tersebar dan secara
progresif menyebabkan kurang efektif untuk
menimbulkan nistagmus.2

Gejala Klinis
Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi,
misalnya miring ke satu sisi pada waktu berbaring,
bangkit dari tidur, membungkuk, menegakkan kembali
badan, menunduk atau menengadah. Serangan
berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang
dari 30 detik.5,7
Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai
rasa mual kadang muntah. Setelah rasa berputar
menghilang, pasien bisa merasa melayang. Umumnya
BPPV dapat mengilang sendiri dalam beberapa hari
sampai minggu dan kadang bisa kambuh lagi.6
Pasien BPPV biasanya mengeluh dengan seringnya
serangan vertigo berulang oleh karena perubahan
posisi. Biasanya serangan berlangsung singkat, diikuti
dengan perasaan berputar yang hebat, terkadang
disertai mual atau muntah. Serangan akan berakhir
biasanya dalam waktu 30 sampai 60 detik.29-31 Gejala
dirasakan pada saat berbaring dan bangun dari tempat
tidur atau ketika berbalik ke satu sisi. Kadang-kadang
pasien terbangun dari tidurnya dengan perasaan
berputar yang hebat saat ia berbalik. Serangan juga
dapat terjadi saat menengadahkan kepala ketika
mencuci rambut, saat membungkuk, dan menegakkan
kepala. Walaupun masa serangan vertigo pada pasien
BPPV kurang dari satu menit, tetapi pasien dapat
merasakan perasaaan gangguan orientasi ruangan yang
tidak spesifik lebih lama. Seperti perasaan ringan di
kepala dan perasaan melayang yang dapat berlangsung
beberapa jam sampai hari. Pada kebanyakan kasus,
serangan akan berkurang secara perlahan baik
frekuensinya maupun intensitasnya dalam beberapa
minggu, bulan, atau tahun. Pada BPPV yang idiopatik,
kemungkinan gejala akan muncul kembali setelah
beberapa bulan atau tahun. Kebanyakan pasien tidak
mempunyai keluhan kohlea, kecuali gejala yang terjadi
berhubungan dengan penyakit telinga dan bedah
otologi.4
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan neurologi juga normal.
Pendengaran biasanya tidak terganggu, kecuali pada
infeksi telinga, presbiakusis, bekas operasi telinga atau
trauma kepala. Pada keadaan ini gangguan dengar dan
vertigo kemungkinan secara bersama-sama terjadi
sebagai akibat dari faktor pencetus tersebut.4
Anamnesis
Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak
pada perubahan posisi kepala atau badan, lamanya
kurang dari 30 detik, bisa disertai oleh rasa mual
ataupun muntah. Karakteristik pasien dengan BPPV
merasakan bahwa ruangan terasa berputar, ataupun
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

bisa mengeluhkan bahwa pasien merasa bergoyang,


miring, berbalik.1,4
Semua keluhan itu terjadi karena ilusi dari pergerakan
yang disebabkan salah persepsi terhadap stimulus
(otolit).4
Episodik vertigo dapat terjadi diikuti dengan
pergerakan dari kepala ketika bergerak di tempat tidur,
duduk, berdiri, cenderung berdiri ke depan,
menggerakkan kepala pada arah horisontal. 1,4
Pemeriksaan fisik
Biasanya didapatkan gejala nistagmus (pergelakan
involunter dari mata). Nistagmus klasik terjadi ketika
kepala pasien bergerak ke arah sisi yang sakit.
Nistagmus torsional (atau rotasi) menyebabkan
pergerakan mata cepat ke sisi telinga yang sakit
sedangkan pergerakan lambat ke arah yang
berlawanan. Nistagmus biasanya terjadi sekitar 10
sampai 40 detik setelah perubahan posisi.4
Tes Dix Hallpike
Perasat ini sering dijadikan pegangan dalam
menentukan diagnosis BPPV.8,9
Tes ini dilakukan sebagai berikut:1,10
a. Sebelumnya pasien diberi penjelasan dulu
mengenai prosedur pemeriksaan supaya tidak
tegang dan vertigo dapat terjadi pada saat
pemeriksaan dilakukan.
b. Pasien duduk dekat bagian ujung meja periksa,
sehingga pada saat pasien telentang, kepala dapat
ekstensi membentuk sudut 45 derajat. Tepi bahu di
ujung tempat tidur dan kepala diletakkan lebih
rendah.
c. Dengan mata terbuka dan berkedip sedikit
mungkin selama pemeriksaan, pada posisi duduk
kepala menengok ke kiri atau kanan, lalu dengan
cepat badan pasien dibaringkan sehingga kepala
tergantung pada ujung meja periksa, lalu dilihat
adanya nistagmus dan keluhan vertigo dengan
masa laten lebih kurang dua sampai sepuluh detik,
pertahankan posisi tersebut selama 10 sampai 15
detik. Jika posisi ini dipertahankan, nistagmus dan
vertigo akan berkurang dan hilang dalam 10
sampai 30 detik. Setelah itu pasien didudukkan
kembali, nistagmus akan timbul kembali tapi
dengan arah yang berlawanan dan intensitas yang
lebih rendah. Berikutnya manuver diulang dengan
kepala menengok ke sisi yang lain. Untuk melihat
adanya fatigue, manuver dapat diulang dua sampai
tiga kali dan keluhan nistagmus serta vertigo yang
terjadi akan menjadi semakin berkurang.
Interpestasi tes Dix Hallpike:1,10
- Normal: tidak timbul vertigo dan nistagmus
dengan mata terbuka. Kadang dengan mata
tertutup bisa terekam dengan menggunakan

elektronistagmografi adanya beberapa detak


nistagmus.
Abnormal: timbulnya nistagmus posisional yang
pada BPPV mempunyai 4 ciri yaitu adanya masa
laten, lamanya kurang dari 30 detik, disertai
vertigo yang lamanya sama dengan nistagmus, dan
adanya fatigue, yaitu nistagmus dan vertigo yang
makin berkurang setiap kali manuver diulang.

Contoh obat untuk vertigo adalah:15,16


Supresi vestibuler, misalnya meclizine, lorazepam,
clonazepam,
dimenhidrinat,
diazepam,
amitriptiline, dan sebagainya. Obat-obatan
tersebut dapat menurunkan nistagmus yang
dikarenakan keseimbangan vestibuler.
Antikolinergik yang memberikan efek kepada
reseptor muskarinik, misalnya skopolamin. Obatobatan memberikan efek sentral.
Antihistamin.
Mekanisme
obat ini pada
vestibuler
sentral masih
belum jelas.
Antiemetik,
contohnya
droperidol,
granisetron,
meclizine,

metoclopramide, ondansetron, perphenazine,


ptochlorperazine,
promethazine,
trimethobenzamine, dan lain-lain. Pada pasien
dengan vertigo yang berat dapat diberikan
antiemetik 30 menit sebelum dilakukannya
manuver. Pilihan utamanya adalah prometazine.

Tes Dix Hallpike6


Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap BPPV terutama bersifat suportif.
Komunikasi dan informasi harus diberikan kepada
penderita BPPV. Oleh karena BPPV menimbulkan
vertigo yang hebat, pasien menjadi cemas dan khawatir
akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor
otak. Maka perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV
bukan sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya baik,
dapat hilang spontan setelah beberapa waktu walaupun
kadang berlangsung lama dan sewaktu-waktu bisa
kambuh lagi.1
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa memberikan hasil yang
kurang memuaskan. Obat anti vertigo seringkali tidak
dibutuhkan oleh karena vertigonya berlangsung
sebentar saja. Serangan akut vertigo tidak dapat
sepenuhnya ditekan dengan obat antivertigo. Beberapa
obat-obatan hanya bersifat simptomatik saja.1,9,10
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Selain obat-obatan diatas, terdapat beberapa golongan


obat yang dapat dipakai untuk mengobati vertigo,
diantaranya adalah:15,16,17,18

Calcium channel blockers. Merupakan obat


yang paling sering digunakan dan sangat
menjanjikan untuk pengobatan vertigo, contohnya
flunarizin dan cinnarizine. Obat golongan ini juga
mempunyai efek antikolinergik dan atau
antihistamin.
Cinnarizine
Merupakan salah satu golongan obat ini tetapi
kurang poten. Dosis yang biasa digunakan adalah
30 mg per oral dua jam sebelum adanya
rangsangan mabuk perjalanan. Pada saat terjadi
paparan terhadap stimulus, obat ini dapat
dilanjutkan 15 mg tiga kali sehari. Anak-anak usia
5 sampai 12 tahun dapat diberikan setengah dari
dosis dewasa. Pada salah satu penelitian dengan
menggunakan rotasi lambat, cinnarizine terlihat
meningkatkan jumlah rotasi yang dapat ditoleransi
sebelum timbulnya mabuk perjalanan. Cinnarizine
juga terbukti efektif dibandingkan plasebo pada
salah satu penelitian pada mabuk laut.
Flunarizin
Flunarizin adalah salah satu calcium channel
blockers merupakan derivate cinnarizine dengan

efek yang lebih kuat dan mempunyai waktu paruh


yang lebih lama.yang merupakan supresan labirin
perifer yang sangat kuat. Dosis 10 mg terbukti
lebih efektif menekan respon kalori daripada 5
mg. Flunarizine juga mengurangi refleks
vestibulookular yang ditimbulkan dalam tes
akselerasi harmonik dan secara klinis berguna
dalam mencegah vertigo.
Pada salah satu penelitian mengenai saccadic eye
movement setelah diberikan flunarizin dan
cinnarizine pada 10 pasien, Supac dkk
menemukan bahwa puncak kecepatan sakadik
lebih rendah secara bermakna pada kelompok
flunarizin (kecepatan sakadik berhubungan dengan
pancaran neuron pada batang otak). Subjek yang
menggunakan cinnarizine hanya memperlihatkan
kecenderungan sedikit penurunan kecepatan pada
puncak sakadik.
Flunarizin dan cinnarizine digunakan di Eropa
tetapi tidak secara luas diseluruh dunia. Flunarizin
mempunyai waktu paruh yang panjang dan
kadarnya dalam plasma tidak sampai 2 bulan.
Konsentrasi residu dapat terdeteksi samapi dengan
4 bulan setelah terapi dihentikan.
Flunarizin mencegah efek buruk dari kelebihan
kalsium selular dengan mengurangi aliran kalsium
transmembran yang berlebihan. Flunarizin tidak
menganggu kalsium hemostasis seluler yang
normal dan memiliki kemampuan antihistamin.
Efek dari flunarizin sebagai pencegahan vertigo
telah
banyak
dikemukakan
berdasarkan
berkurangnya frekuensi serangan. Tingkat
beratnya serangan vertigo juga berkurang.
Flunarizin diabsorpsi secara baik, kadar puncak
plasma dicapai dalam 2 sampai 4 jam setelah
pemberian oral. Konsentrasi plasma meningkat
secara bertahap selama pemberian jangka panjang
10 mg per hari, yang mencapai kadar tetap setelah
5 sampai 6 mg. Kadar tetap plasma tetap konstan
selama terapi diperpanjang walaupun terdapat
variasi antar individu. Kadar plasma berkisar
antara 39 dan 115 ng/ml.
Pada 50 pasien tua rata-rata umur 61 tahun dengan
intermittent claudication, pemberian flunarizin
jangka panjang (median 6 bulan) 10 mg per hari,
mencapai kadar tetap plasma yang konstan
walalupun terdapat perbedaan antar individu.
Kadar flunarizin plasma berkisar antara 50 dan
100 ng/ml pada 46% pasien, nilai individual
berkisar antara kurang dari 20 ng sampai 580
ng/ml. Flunarizin tidak terlihat memiliki efek
kumulatif yang terlihat pada pengukuran yang
berulang.
Flunarizin terdistribusi luas ke jaringan, konsentrai
obat dalam jaringan, terutama jaringan lemak dan
otot lurik beberapa kali lebih tinggi daripada kadar
plasma.
Flunarizin dalam keadaan terikat sebanyak 99,1%;
90% terikat dengan protein plasma dan 9%
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

terdistribusi dengan sel-sel darah, serta kurang


dari 1% berbentuk bebas dalam cairan plasma.
Metabolisme flunarizin terutama melalui oksidasi
N dan hidrokliasi aromatik. Selama periode 48
jam setelah pemberian dosis tunggal 10 mg,
eksrersi flunarizin dan atau metaboltnya
ditemukan minimal pada urine (<0,2%) dan feses
(<6%). Hal ini menandakan bahwa obat ini dan
metabolitnya dieksresi secara sangat lambat dalam
jangka waktu yang panjang. Flunarizin
mempunyai waktu paruh eliminasi yang panjang
sekitar 19 hari. Ell dan Gresty (1983) menemukan
efek flunarizin untuk menurunkan atau
menghilangkan nistagmus khususnya pada fase
sekunder. Obat ini tidak memberikan efek pada
sakade yang volunter tetapi dapat menurunkan
efek dari sakade vestibuler. Lee dkk (1986)
melaporkan bahwa flunarizin merupakan obat
untuk menekan efek pada labirin. Penurunan efek
supresi vestibuler oleh flunarizin berdasarkan
karena dihambatnya ion kalsium untuk masuk ke
dalam sel krista ampularis. Puncak dari kecepatan
VOR pada fase lambat dapat diturunkan sampai
70% setelah dua jam. Flunarizin diabsorpsi
dengan baik, mencapai puncaknya setelah dua
sampai empat jam per oral. Konsentrasi pada
plasma meningkat secara bertahap selama
menggunakan dosis 10 mg per hari. Oosterveldt
(1974) melaporkan adanya efek penurunan pada
rotatory nystagmus. Tolu dan Mameli (1984)
menduga bahwa flunarizin bekerja pada korteks
serebral.
Efek samping
Efek samping potensial termasuk rasa mengantuk
atau lelah dan peningkatan berat badan (dan atau
meningkatnya nafsu makan) terjadi pada 20 dan
15%. Efek samping yang paling serius adalah
depresi sebanyak 1,3%. Efek samping yang lain
antara lain gastrointestinal: rasa terbakar di dada,
mual, muntah, nyeri lambung. Sistem saraf pusat:
insomia dan perubahan pola tidur, cemas. Lainlain: mulut kering, astenia, nyeri otot, dan ruam
kulit.
Sodium channel blocker, contohnya adalah
fenitoin (dilantin), neurontin, tegretol. Tetapi para
peneliti mengatakan bahwa obat-obatan ini
memberikan hasil yang kurang memuaskan
sebagai pengobatan terhadap vertigo.
Obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan vertigo tetapi memberikan hasil yang
kurang memuaskan adalah obat golongan
histamine agonist, steroid, simpatomimetik,
acetyl-leucine, gingkobiloba, selective ACH
antagonist.

Manuver
Pengobatan vertigo yang terbaik adalah pasien
menerima pengobatan berdasarkan patofisiologi

penyakit, yaitu bahwa vertigo dan nistagmus pada


BPPV disebabkan oleh adanya debris yang melekat
pada kupula kanalis semisirkularis posterior
(kupulolitiasis) atau debris yang mengapung bebas
pada labirin membranosa dari kanalis semisirkularis
posterior (kanalitiasis).9
Dengan berusaha melepaskan debris yang melekat
pada kupula dan menggerakkan debris ini keluar dari
kanalis posterior akan dapat menghilangkan keluhan
pasien. Hal ini dapat dicapai dengan terapi fisik yang
dilakukan terhadap pasien. Prinsip terapi adalah
memberikan tantangan pada pasien untuk melakukan
posisi kepala tertentu dalam waktu yang berulangulang. Ada dua jenis terapi fisik, pertama terapi
habituasi vestibuler seperti yang dijelaskan oleh Norre
dkk (1987). Terapi ini didasarkan pada konsep
kompensasi susunan saraf pusat terhadap gerakan yang
merangsang terjadinya vertigo. Jenis kedua seperti
yang dijelaskan oleh Brandt dan Daroff (1980),
mendasarkan teorinya pada usaha menghilangkan atau
memecah debris pada cairan endolimf yang disebutkan
sebagai penyebab vertigo.3
Metode Brandt Daroff
Cara Brandt dan Daroff berupa perubahan posisi
kepala yang dilakukan beberapa kali dalam sehari
selama dua sampai tiga minggu. Pasien duduk tegak
ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung.
Dengan posisi kepala diputar 45 ke satu sisi dan
kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke
salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik, setelah itu
duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan
dengan cepat ke sisi lain, pertahankan selama 30 detik
lalu duduk tegak kembali. Manuver ini dilakukan tiga
kali pada pagi hari sebelum bangun tidur dan tiga kali
pada malam hari sebelum tidur sampai dua kali
berturut-turut tidak timbul vertigo lagi. Terapi ini dapat
mengurangi keluhan vertigo pada banyak pasien tetapi
sulit dilakukan pada pasien berusia lanjut karena harus
melakukan perubahan posisi secara berulangulang.1,10,19

Manuver Brandt Daroff12


Manuver Semont
Pada tahun 1985, Toupet dan Semont menerangkan
suatu pendekatan yang lebih agresif yang dinamakan
liberatory maneuver. Cara ini didasarkan pada teori
kupulolitiasis dengan tujuan mencegah debris
menempel pada kupula. Pada cara ini pasien
didudukkan di atas tempat tidur dengan posisi kepala
45 menoleh menjauhi telinga sakit dan kemudian
digerakkan dengan cepat ke posisi yang menimbulkan
vertigo dan dipertahankan selama 4 menit. Selanjutnya
digerakkan dengan cepat melalui posisi duduk ke
posisi yang berlawanan. Telinga di bawah dan tetap
pada posisi kedua selama 4 menit dan posisi kepala
seperti semula. Bila selama menit pertama pada posisi
ini pasien tidak merasa vertigo, kepala pasien digoyang
beberapa kali untuk melepas debris. Setelah 4 menit
terakhir, pasien dengan lambat digerakkan ke posisi
duduk. Perasat Semont terutama efektif untuk pasien
dengan debris yang melekat pada kupula kanalis
semisirkularis posterior.20
Herdman melaporkan dari 30 pasien BPPV yang
dilakukan terapi dengan perasat ini, 70% mengalami
kesembuhan, 20% perbaikan. Dan 10% tanpa
perbaikan. Walaupun cara ini kelihatan berhasil, tetapi
menyebabkan pasien terlalu banyak melakukan
gerakan memutar leher dan badan secara cepat yang
memungkinkan akan menyulitkan bagi pasien yang
sudah tua.14,20

Semont Manuver6
Manuver Epley
Metode ini diperkenalkan oleh Epley (1979) dan
disebut canalith repositioning procedure (CRP)
menggunakan vibrator dan dilakukan sedasi pada
pasien. Ia mendapatkan hasil yang memuaskan
sebanyak 97,7% dari 30 pasien, sedangkan 2,3%
kurang memuaskan. Dengan menggunakan metode
yang sama, Weider mendapatkan angka keberhasilan
87,7% dari 44 pasien BPPV. Dia menyebutkan cara ini
telah dilakukan selama 4 tahun dan menemukan bahwa
cara ini mudah dilakukan pada semua usia. Pada saat
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

ini para ahli lebih memilih modifikasi manuver Epley


yang tidak menggunakan sedasi dan vibrator.1,6,10,21
Tujuan dari manuver ini adalah mengeluarkan debris
(otolit) dari kanalis semisirkularis posterior dan
memasukkannya ke dalam utrikulus. Prinsip manuver
ini adalah:1,10,21

Kanalis posterior diputar kearah


belakang mendekati orientasi planar. Arah ini
menyebabkan debris keluar dai kanalis dan masuk
ke dalam utrikulus.

Merubah posisi angular kepala


sekitar 90 pada setiap perubahan posisi.

Pertahankan setiap posisi sampai


nistagmus menghilang, menandakan terhentinya
aliran endolinf.

Perubahan posisi kepala dari


belakang serta lakukan perubahan posisi setiap 1
detik, pertahankan setiap posisi sekitar 30 detik.

Jika didapatkan gejala vertigo yang


berat, berikanlah obat premedikasi sedatif
vestibuler
seperti
proklorperazine
atau
dimenhidrinate 30-60 menit sebelum dilakukannya
manuver.
Langkah modifikasi manuver Epley adalah:6

Penderita berada pada posisi duduk.

Penderita ditidurkan dengan posisi


kepala menggantung seperti posisi Dix-Hallpike
dengan kepala dirotasikan 45.

Perhatikan adanya nistagmus.

Pertahankan posisi ini selama satu


sampai dua menit (posisi B).

Kepala diputar 90 kearah yang


berlawanan, leher tetap diekstensikan (posisi C).

Kemudian tubuh penderita diputar


90 dengan kepala diputar berlawanan arah secara
diagonal (posisi D).

Perhatikan adanya nistagmus.

Posisi ini dilakukan selama 30


sampai 60 detik kemudian penderita duduk
kembali.
Jika vertigo tidak muncul, maka tindakan selesai.
Bila vertigo masih muncul, maka prosedur
direncanakan untuk diulang kembali tiga sampai
tujuh hari kemudian. Pasien dianjurkan untuk tidur
dengan kepala ditinggikan selama dua malam
berturut-turut.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Modifikasi manuver Epley6


Pembedahan
Dapat dilakukan pembedahan pada penderita
BPPV yang berkepanjangan dan tidak sembuh dengan
terapi konservatif serta menganggu aktifitas sehari-hari
dengan keluhan yang berlangsung satu tahun atau
lebih.3
Singular Neurectomy
Pembedahan ini dilakukan dengan pemotongan nervus
ampularis posterior yang terletak dekat dengan round
window untuk menghilangkan gejala vertigo. Angka
keberhasilan operasi ini mencapai 94%. Meyerhoff
melaporkan 16 pasien yang dilakukan singular
neurectomy mendapatkan 15 pasien mengalami
kesembuhan total dan satu pasien mengalami
perbaikan. Tindakan operatif ini bisa menimbulkan
komplikasi berupa tuli sensorineural.6,13
Oklusi Kanalis Semisirkularis Posterior
Parnes dan McClure melakukan operasi oklusi kanalis
semisirkularis posterior dengan membuat penetrasi dan
memasukkan serpihan tulang serta fibrin kedalamnya.
Cara ini akan menekan labirin membranosa dan
menghentikan aliran endolimf dari dan ke arah kupula
yang akan mengurangi gerakan kupula dan
menghilangkan vertigo.6,7

DAFTAR PUSTAKA
6.

Timothy CH. Drug treatment of vertigo. Available from:


http://www/tchain.com/otoneurology/practise/drugrx.html.

7.

Hamid M. Dizziness, vertigo, and imbalance. Available


from:
http://www/emedicinespecialties/neurology/neurootology.

8.

Timothy CH. Benign paroxysmal positional vertigo.


Available
from:
http://www/tchain.com/otoneurology/causes/diagnosis/treatme
nt.html.

9.

Barin K, Duran JD. Applied physiology of the


vestibular system. Dalam: Lambert PR, penyunting: The ear
comprehensive otology. Philadelphia: Lippincott-Williams &
Wilkins; 2000. h. 113-39.

10.

Lysakowski A, McCrea RA, Tomlinson RD. Anatomy


of vestibular end organs and neural pathways. Dalam:
Cummings CW, penyunting Otolaryngology-head and neck
surgery. Edisi ke-2. St. Loius: Mosby; 1993. h. 2525-47.

11.

Desmon Alan, Au.D.Vestibular Function Evaluation and


Treatment. New York, Thieme 2004, h 85-110.

12.

Wright CG, Schwade ND. Anatomy and physiology of


the vestibular system. Dalam: Roeser RJ, penyunting
Audiology diagnosis. New York: Thieme; 2000. h. 73-84.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

2.4

GANGGUAN DENGAR

Gangguan Dengar Konduktif


Ada beberapa karakteristik yang ditemukan pada tuli
konduktif, yang paling utama adalah pasien dapat
mendengar lebih baik dengan hantaran tulang
dibandingkan dengan hantaran udara, dan biasanya
hantaran tulang mendekati normal. Pada tuli konduktif
murni hantaran tulang normal atau mendekati normal
karena tidak ada kerusakan di telinga dalam atau jaras
pendengaran.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa didapatkan
beberapa karakteristik dari tuli konduktif, yaitu :
1.
Anamnesis menunjukkan adanya riwayat
keluar cairan dari telinga, atau pernah mengalami
infeksi telinga, bisa disertai dengan gangguan
pendengaran, atau tuli mendadak sesaat setelah
mencoba membersihkan telinga dengan jari.
2.
Tinitus, digambarkan sebagai dengungan nada
rendah
3.
Apabila tuli bilateral, penderita biasanya
berbicara dengan suara pelan, terutama pada tuli
yang disebabkan oleh otosklerosis.
4.
Mendengar lebih baik pada tempat yang
ramai (paracusis of willis).
5.
Pada saat mengunyah, pendengaran menjadi
lebih terganggu.
6.
Treshold hantaran tulang normal atau
mendekati normal
7.
Ditemukan Air bone gap (ABG)
8.
Pada pemeriksaan otologis ditemukan adanya
kelainan di canalis acusticus externus, gendang
telinga, atau telinga tengah. Kadang ditemukan
gambaran gelembung dan fluid level di belakang
gendang telinga.
9.
Tidak ada kesulitan dalam komunikasi
terutama bila suara cukup keras.
10.
Tuli konduktif murni, maksimum sampai 70
dB
Apabila pada pemeriksaan aodiologis ditemukan
adanya tuli konduktif, dan di temukan obstruksi pada
CAE, kemungkinan penyebab hal itu adalah:
Aplasia congenital, tidak terbentuknya CAE
pada saat lahir, akibat defek pada pertumbuhan
janin
Traecher collins syndrome, tidak terbentuk
daun telinga, CAE, gendang telinga, dan tulang2
pendengaran
Stenosis CAE
Exostosis CAE, adanya penonjolan tulang
yang menimbulkan obstruksi CAE
Serumen
Karsinoma CAE
Kolaps CAE saat pemeriksaan audiometri

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Apabila tidak ditemukan adanya obstruksi dari CAE,


dan masih di temukan adanya penurunan hantaran
udara, segera di curigai keadaan dibawah ini :

Infeksi : otitis eksterna, OMA, OMSK,


perforasi membran tympani, tympanosclerosis,
otosklerosis
Trauma : Hemotympanum
Tumor di nasofaring
alergi
Dari semua penyebab tuli konduktif, sebagian besar
memiliki prognosis yang baik. Cukup dengan
pemberian medikamentosa dan tindakan pembedahan
apabila diperlukan, hampir semua keadaan tersebut
bisa diperbaiki.
Hasil pemeriksaan pada tuli konduktif dapat
ditemukan:
Audiometri : BC normal, AC menurun
ATAU
GANGGUAN DENGAR CAMPURAN
Audiometri : terdapat gap antara AC & BC > 10 dB,
AC & BC menurun
Tympanometer untuk memastikan ada tidaknya
patologi telinga tengah.
Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli
konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita
mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran
biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti
otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen
sensorineural.
Gangguan Dengar Sensorineural
Tuli sensorineural menjadi masalah yang cukup
menyulitkan bagi para dokter. Berjuta-juta pekerja
industri dan usia tua menderita jenis gangguan dengar
ini. Secara umum tuli ini bersifat irreversibel dan
sangat menganggu komunikasi sehari-hari.
Kerusakan jaras pendengaran dapat terjadi, baik di
telinga dalam (sensory loss) ataupun di syaraf
pendengaran (neural loss). Ditekankan bahwa
kerusakan biasanya terjadi pada keduanya (sesuai
namanya sensorineural). Tetapi ada juga yang
membuat diagnosis lebih spesifik tipe sensori atau tipe
neural, tergantung dimana ditemukan kerusakannya.
Ciri-ciri utama dari tuli sensori, kerusakan pada telinga
tengah terutama pada cairan labyrin dan sel rambut:
adanya riwayat serangan vertigo yang
berulang dengan rasa penuh ditelinga, bunyi
tinitus seperti suara ombak, dan intermitten
hearing loss . Sangat mungkin hal ini disebabkan
oleh beberapa macam syndrom yang di sebut :

menierre disease, hipertensi kohlear, atau hydrops


labyrynth.
Pada menierre disease biasanya tuli unilateral
Pemeriksaan otologis biasanya normal
Penurunan hantaran tulang dan udara, tanpa
ada ABG
Apabila terdapat tuli sedang atau tuli pada
frekwensi percakapan, kemampuan berbicara
menjadi sangat berkurang, terutama suara yang
keras
Ditemukan recruitment
Normal tone decay dan stapedius reflex
decay, bakesy audiometri type II
Dengan pengecualian, tes garpu tala
lateralisasi ke telinga yang lebih sehat

Ciri-ciri tuli neural, disebabkan oleh kerusakan serabut


syaraf pendengaran:
- riwayatnya bermacam-macam, ketulian bisa
mendadak terjadi unilateral oleh karena fraktur
yang melibatkan meatus auditori interna, atau bisa
juga bertahap dan bilateral karena tuli progresive
herediter. Usia pasien tidak begitu membantu
menegakkan diagnosis karena kelainan ini bisa
terjadi pada usia kapan saja.
- Hantaran tulang dan udara menurun, tanpa ABG
- Tidak ditemukan rekruitment, bila ada biasanya
minimal.
- Bakesy audiometri type III atau IV
Klasifikasi Tuli sensorineural
Penyebab Tuli sensorineural dengan onset gradual:

presbikusis

occupasional hearing loss

otosklerosis dan OMSK aspek sensorineural

pagets dan Van der Hoeves disease aspek


sensorineural

pengaruh dari penguatan alat bantu dengar

neritis syaraf auditori dan penyakit systemik


(DM)
Penyebab Sudden bilateral sensoryneural hearing loss:

Infeksi : meningitis

Tuli fungsional

Obat-obatan ototoksik

Multiple sklerosis

Syphillis

Penyakit otoimun
Penyebab Sudden unilateral sensoryneural hearing
loss:

Mumps

Trauma kepala dan taruma akustik

Infeksi virus

Ruptur membran foramen rotundum atau


membran telinga tengah
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Kelainan pembuluh darah


Komplikasi setelah tindakan pembedahan
telinga
Fistula di foramen ovale
Komplikasi tindakan anestesi
Syphillis

Penyebab Congenital sensoryneural hearing loss:

Herediter

Kern

ikterus

Anoksia

Virus

Penyebab lain yang tidak diketahui


Walaupun sangat sulit dalam menentukan penyebab
spesifik dari tuli sensori neural, klasifikasi diatas
memberikan informasi yang sangat penting dalam
menentukan tindakan yang akan kita pilih. Klasifikasi
diatas juga bisa untuk menentukan prognosis dari
kelainan tersebut
Jadi hasil pemeriksaan pada tuli sensorineural dapat
ditemukan :
- Audiometri : AC dan BC menurun
- Tympanogram : normal
- BERA
Dilakukan apabila pemeriksaan biasa tidak dapat
dipercaya atau tidak mungkin dilaksanakan, seperti
pada tuna grahita berat atau kasus pura-pura tuli
(malingering)
Tuli Campur
Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli
konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita
mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran
biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti
otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen
sensorineural.
Central Auditory Processing Disorder
Suatu kelainan yang ditandai dengan adanya defisit
dalam memproses informasi yang berhubungan dengan
modalitas pendengaran.
Central Auditory Processing (CAP) adalah suatu
system yang aktif, kompleks yang dilakukan susunan
saraf pusat terhadap input auditori. Sistem ini
melibatkan sinyal auditori, telinga luar samapi kohlea,
N VIII dan susunan saraf pusat.
Gejala CAPD, diantaranya:
- salah pengertian atau salah interpretasi
- sulit berkonsentrasi
- sulit membedakan kata
- sulit mengeja

- gangguan berbahasa, baik reseptif meupun ekspresif


- reduksi auditory memory
Pasien dengan CAPD sering gejalanya overlapping
dengan gangguan dengar perifer, karena itu kita harus
menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan dengar
perifer dengan melakukan permeriksaan audiometric,
speech audiometry, akustik refleks, BERA.
Auditory Neuropathy
Kriteria Diagnostik
1.
Terbukti adanya fungsi auditori (pendengaran)
terganggu
2.
Terbukti adanya fungsi saraf auditori
terganggu
3.
Terbukti fungsi sel rambut normal
Faktor risiko yang menyebabkan auditory neuropathy:
- Anoksia
- Hiperbilirubinemia
- Proses infeksi (mis. Mumps)
- Kelainan imunologi (mis. Guillain Barre syndrome)
- Genetik dan beberapa sindroma:
1.
Hereditary sensory motor neuropathy
2.
Mitochondrial enzymatic deficit
3.
Olivo-pontinecerebellar
degeneration
4.
Freidrichss ataxia
5.
Steven Johnson syndrome
6.
Ehlers-Danlos syndrome
7.
Charcot-Marie-Tooth syndrome
Hal tersebut di atas dapat menyebabkan auditory
neuropathy yang permanent, sedangkan yang
transient
bisa
disebabkan
anoksia
dan
hiperbilirubinemia, yang intermitten bisa disebabkan
oleh anoksia

Acoustic
Reflex
Recruitme
nt
Speech
Discrimina
tion
Tone
Decay

Negatif

baik

Positi
f
Positi
f
Buru
k
negat
if

Negat
if
Negat
if
Sang
at
Buru
k
positi
f

CHL

Tuli
Coch
lear

Pure Tone
Audiometr
i

BC>A
C

OAE
BERA
Tympanom
etri

CAP
D

A.N

BC=
AC
menu
run

T.Ret
roCocle
ar
BC=
AC
menu
run

Norm
al

Abnor
mal
Abnor
mal

Abno
rmal
Abno
rmal

Abno
rmal
Abno
rmal

Reduce
d
compli
ance

Norm
al

Norm
al

Norm
al
No
respo
ns
Norm
al

~SN
HL
ringa
n
berat
Norm
al
No
respo
ns
Norm
al

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Negat
if

Buru
k

Buru
k

Penatalaksanaan Gangguan Dengar


Pasien dengan gangguan dengar, biasanya datang
dengan keluhan utama hearing loss/ketulian atau
tinitus.
Sesuai tipe dan derajat gangguan dengar,
penatalaksanaan gangguan dengar adalah penggunaan:
1.
Hearing Aid
2.
Assistive device (FM system)
3.
Cochlear implant
4.
Terapi bicara & mendengar (pada anak)

Alat bantu mendengar

Hasil pemeriksaan pendengaran pada beberapa jenis


gangguan dengar, tercantum pada tabel di bawah ini:
Pemeriksa
an

Positi
f

Cochlear Implant

Deteksi dini gangguan bicara dan dengar pada


anak

DAFTAR PUSTAKA
1.

Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive


Otology. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2000;559-570.

2.

Katz, J. The Acoustic Reflex. Handbook of


Clinical Audiology. Fifth edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2000; 205- 232.

3.

Cummings,W Charles. Auditory Function


Test. Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Second edition. Mosby Year Book. St Louis.
1993;2698-2715

4.

Lee.KJ.
Audiology.
Essential
Otolaryngology. Eight edition. Mc Graw Hill
Companies. United States. 2003;24-64.

5.

Sininger, Yvonne. Auditory Neuropathy A


New Perspective on Hearing Disorders. Singular
Thomson Learning. Canada. 2001;1-50.

6.

Lassman,FM. Audiology. Adam GL. BOIES


Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition.
W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1989; 46
66.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

7.

Hendarmin,H. Gangguan Pendengaran


Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 5. FKUI.
Jakarta. 2001; 28-30.

8.

Skurr,B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan


Kuliah. Pada Kursus Audiologi Praktis. Bandung.
13-14 Mei 1991; 12-63.

2.3

PEMERIKSAAN GANGGUAN DENGAR


tenang. Suara keras adalah sekeras teriakan yang masih
dapat dibuat pemeriksa dengan nyaman.
Audiologi adalah ilmu pengetahuan mengenai
pendengaran dan keseimbangan, yang mempelajari
Pemeriksa harus berdiri pada sisi pasien dimana
pengukuran pendengaran maupun keseimbangan
petunjuk visual tidak dapat terlihat. Rangsang harus
manusia dan pengelolaan maupun rehabilitasi
penderita dengan gangguan pendengaran maupun
gangguan keseimbangan.1
sederhana supaya dapat dimengerti oleh semua pasien.
Rangsang yang cocok terdiri dari kombinasi tiga angka
Audiometri adalah pengukuran pendengaran yang
(misainya 6-1-4). Pasien diminta untuk mengulangi
meliputi besar gangguan pendengaran (derajat
suara yang didengar. Tes dikatakan positif bila pasien
gangguan dengar) dan lokalisasi gangguan dengar
dapat mengulangi lebih dari 50% dari rangsang yang
yaitu membedakan antara kelainan di telinga tengah,
diberikan. Tes ini biasanya dilakukan pada jarak 60 cm
kohlea atau retrokohlear.1
dan 15 cm dari telinga pasien. 60 cm menggambarkan
jarak sepanjang lengan dari telinga yang tidak dites,
Terdapat tiga tujuan dalam penilaian klinis
hal ini penting untuk masking telinga yang tidak diuji
pendengaran yaitu: perkiraan ambang dengar,
selama tes dilakukan. Pendengaran dapat dinilai
diferensiasi gangguan pendengaran konduktif
dengan forced whisper pada jarak yang lebih jauh.
dengan gangguan pendengaran sensorineural, dan
Orang normal dapat mendengar bisikan dengan mudah
identifikasi gangguan pendengaran non organik.1
pada jarak 10 m.
Pemeriksaan Pendengaran Subjektif1,2,3
Pemeriksaan pendengaran subjektif adalah menilai
pendengaran berdasarkan respons subjektif terhadap
berbagai rangsang suara. Ada berbagai macam tes yang
dapat dilihat pembagiannya dibawah ini:
- Tes klinis sederhana:

Tes suara

Tes Garpu Tala


- Audiometri Subjektif:

Dewasa:
Tes
Bisik,
Garputala, Audiometri
Nada
Murni,
Audiometri tutur

Anak:
Behavioral
Observation Audiometry (BOA), Visual
Reinforcement Audiometry (VRA), Play
Audiometry, Speech Audiometry

Khusus: Short Increment


Sensitivity Index (SISI), Alternate Binaural
Loudness Balance Test (ABLB), Tone decay,
Audiometri tutur, Audiometri Bakessy
Tes Klinis Sederhana1,2,3,4
Tes Suara
Suara manusia memiliki rentang intensitas yang
berbeda, namun hanya tiga intensitas yang digunakan
secara klinis untuk menetapkan standarisasi: suara
bisikan, suara percakapan, dan suara keras.
Suara bisik umumnya diartikan sebagai forced
whisper, yakni suara bisik terkeras yang dapat
dikeluarkan pemeriksa. Umumnya pemeriksa harus
ekshalasi nafas secara norinal sebelum berbicara
dengan intensitas forced whisper, Suara percakapan
diartikan sebagai suara dengan intensitas yang
digunakan pemeriksa ketika berbicara di ruangan yang

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Suara penulis direkam pada setiap intensitas untuk 10


bahan tes setiap 4 hari untuk menilai konsistensi suara
yang direkam. Intensitas suara yang digunakan dalam
tiga kategori oleh pemeriksa yang berbeda juga. akan
berbeda pula, namun seorang pemeriksa harus dapat
mempertahankan konsistensi suaranya sendiri.
Pemeriksa harus mengingat kecenderungan untuk
meningkatkan volume suaranya saat jarak antara
pasien dan pemeriksa semakin jauh (misalnya, suara
yang digunakan pada jarak 60 em cenderung lebih
keras dari suara yang digunakan pada jarak 15 em
kecuali pemeriksa mengerti untuk menghindari
kejadian ini).
Tes bisik pada jarak 60 em dapat mendeteksi gangguan
pendengaran pada frekuensi tutur dengan intensitas
diatas 30 dB dengan sensitivitas 96% dan spesifitas
91% (Browning, Swan, dan Chew, 1989). Data - data
ini memberikan gambaran kasar mengenai interpretasi
tes suara, namun pengalaman pemeriksa dalarn
membandingkan tes suara mereka sendiri dengan
ambang audiometri nada murni tetap tidak tergantikan.
Berbicara pada jarak 30 inci
Kehilangan
Pendengaran
Mengerti bisikan perlahan
< 30 dB
Mengerti bisikan keras
< 45 dB
Mengerti suara sedang
< 60 dB
Mengerti suara keras
< 70 dB
Keterbatasan tes suara
Tes suara klinik bukanlah pengganti bagi audiometri
nada murni, namun merupakan alat yang penting bagi
otolog untuk memeriksa audiometri yang tidak reliabel
(Browning, Swan dan Chew. 1989) dan pasien - pasien
yang tidak reliabel secara khusus (lihat bagian
gangguan pendengaran non-organik). Tes suara klinik
juga sering dugunakan untuk menguji pasien yang

tidak dapat mengikuti audiometri nada murni, misalnya


pada anak miak, penderita cacat mental, dan orang tua.
Tes Garpu Tala
Perkembangan tehnologi elektronik dibidang
diagnostik- audiologi, menyebabkan penggunaan
garpu tal a yan g t el ah dikem ukakan sejak
sat u abad ya ng lalu kurang dirni nati oleh
audiologist. Dalam kondisi keterbatasan
pengadaan sarana alat diagnostik elektronik
seperti elektroakustik imitans, garpu tala apabila
dilakukan dengan tehnik yang
benar dan cara
interpretasi yang tepat
sangat
membantu
diagnostik audiologi disamping pemeriksaan
audiometri rutin
Prinsip pemeriksaan dengan garpu tala adalah
membandingkan antara hantaran udara (AC = air
conduction) dan hantaran
tulang (BC = bone
conduction). Pada hantaran udara menggunakan
telinga luar dan tengah untuk menghantarkan bunyi ke
koklea dan seterusnya. Hantaran ini dianggap jalan
yang lazim untuk transmisi bunyi.
Pada hantaran tulang (BC), tulang tengkorak dibuat
bergetar dengan jalan menempelkan benda yang
bergetar secara periodik, misalnya garpu tala.
Rangsang
yang
dihantarkan
tulang
diduga
menggetarkan cairan koklearis tanpa melewati telinga
luar dan tengah. Bekesy (1932) memperlihatkan bahwa
pola getaran koklearis adalah sama tanpa memandang
apakah bunyi dihantarkan melalui tulang atau udara.
Uji hantaran tulang telah dianggap sebagai suatu alat
untuk mengukur integritas koklearis dan struktur di
atasnya. Pendengaran hantaran tulang yang normal
jelas mengisyaratkan fungsi koklearis, saraf dan batang
otak yang normal pula. Jika kornponen sensorineural
(BC) normal, sedangkan seluruh sistem (AC)
terganggu (BC>AC), maka gangguan diduga
maupakan akibat kerusakan bagian sistem lainnya,
yaitu telinga tengah dan atau telinga luar yang fidak
terukur dengan ternuan hantaran tulang yang normal.
Sebaliknya bila hantaran tulang tidak lebih peka dari
hantaran udara (BCAC), maka gangguan total diduga
sebagai akibat kerusakan atau perubahan pada
mekanisme koklearis atau retrokoklearis. Akan tetapi
sejumlah peneliti, dipelopori oleh Tonndorf telah
menantang kebenaran interpretasi tidak adanya
perbedaan udara atau tulang ini. Mereka
mendemonstrasikan adanya peningkatan arnbang
hantaran tulang yang timbul sekunder dari gangguangangguan telinga tengah.
Tes garpu tala sebaiknya dilakukan dalarn ruangan
yang sepi karena bunyi penyerta (ambient noise) dapat
mempengaruhi hasil secara signifikan. Garpu tala
umumnya terbuat dari besi, magnesium, atau
alumunium. Terdiri dari dua buah kaki seperti U
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

dengan batang untuk memegang garpu tala yang


tipenya bervariasi. Jenis garpu tala yang paling sering
digunakan adalah jenis 512 hingga 256 Hz. Meskipun
garpu tala 256 menghasilkan lebih banyak overtone
dari garpu tala 512 Hz (Samuel & Eitelberg),
penggunaan klinisnya telah menunjukkan bahwa jenis
ini lebih smitif dalam mendeteksi gap udara - tulang
dibandingkan dengan garpu tala 512 Hz (Srankiewicz
dan Mowry, 1979; Doyle, Anderson dan PiJI. 1984;
Browning dan Swan.1988). Arah gelombang suara
garpu tala harus sesuai dengan aksis kanalis aurikularis
eksternus
( sejajar dengan bidang frontal ). Garpu
tala tidak boleh diketukkan pada permukaan yang
keras karena hal ini dapat menghasilkan overtone yang
memberikan hasil false positif selain kemungkinan
merusak garpu tala (Samuel and Eitelberg. 1989).
Garpu tala sebaiknya diketukkan perlahan pada lutut,
siku, atau bantalan karet keras. Mengetukkan garpu
tala juga sebaiknya dilakukan pada jarak 2/3 dari
percabangan untuk meminimalisir distorsi suara yang
dihasilkan.

Garpu Tala
Tes Rinne
Tes Rinne pertama kali dilakukan oleh Adolf Rinne
dari Gottingen pada tahun 1855. Sekalipun HuIzing
(1985) menemukan bahwa Polansky (1842) telah
terlebih dahulu,
menjabarkan prinsip tes yang
digunakan. Hasil tes garpu tala yang dikenal sebagai
Rinne positif dan negatif untuk penma kalinya
dikemukakan oleh Lucae dalam suatu pertemuan ahli
otologi di London pada tahun 1882. Terdapat dua
variasi dari tes ini yaitu: metode perbandingan
kerasnya suara dan metode perbandingan ambang.
Metode perbandingan keras suara mcrupakan metode
yang lebih sering digunakan. Garpu tala dibunyikan
dan dipegang dengan ujung sejajar maupun tegak lurus
dengan sumbu CAE (Swnuel dan Eitelberg.1989)
dengan jarak sekitar 2,5 cm dari CAE. Selama
melakukan tes Rinne dianjurkan untuk melepas
kacamata, giwang atau anting yang dapat mengganggu
penempatan garpu tala di mastoid . kurangnya tekanan
garpu validitas hasil interpretasi. di tulang mastoid
dapat menyebabkan suara akan terdengar lebih keras
melalui butaran udara sehingga dapat mengganggu
validitas hasil interpretasi. Pemeriksa harus melakukan
konfirmasi bahwa pasien dapat mendengar bunyi garpu
tala 'di depan telinga'. Garpu tala kemudian diletakkan
sedemikian rupa sehingga pangkaInya menekan
os.mastoid. Tempat yang baik untuk meletakkan garpu

tala dengan posisi ini adalah area yang datar dan tidak
berwribut di posterosuperior CAE. Penempatan garpu
tala diatas proc.mutoideus akan memberikan hasil yang
salah (false results) karena kurang luasnya daerah
kontak antara pangkal garpu tala dan tulang. Pinna
tidak boleh bersentuhan dengan garpu garpu tala.
Tekanan berlawanan diberikan pada sisi kepala yang
berlawanan dengan tangan peineriksa yang bebas.
Perneriksa harus mengkonfirmasi bahwa pasien
mendengar suara 'di belakang telinga' dan menanyakan
pasien apakah suara terdengar lebih keras di depan
atau di belakang telinga.

Tes Rinne
Pada telinga dengan mekanisme hantaran normal
(telinga normal atau pada gangguan pendengaran
sensorineural), suara hantaran udara akan terdengar
lebih keras dari hantaran tulang. Hal ini disebut hasil
tes positif, sekalipun terdapat kesalahan pengertian
apabila hasil digambarkan sebagai hantaran udara lebih
baik dari hantaran tulang. Apabila hantaran tulang
terdengar lebih keras dari hantaran udara, hasil disebut
Rinne negatif dan hal ini menandakan komponen
konduktif
yang
signifikan
pada
gangguan
pendengaran. Jika hantaran udara sama dengan
hantaran tulang, sekalipun hal ini juga dapat
mengindikisikan adanya gangguan pendengaran
konduktif, sekalipun hal ini disebabkan olch pasien
yang tidak dapat menentukan suara mana yang
terdengar lebih keras.
Perneriksa harus, rnewaspadai 'Rinne false negatif
yang dapat terjadi pada gangguan pendengaran
sensorineural yang parah pada telinga uji. Pada kasus
ini, rangsang hantaran tulang akan terdengar pada
telinga yang tidak diuji, sehingga hantaran tulang
terdengar lebih keras dari hantaran udara. Keadaan ini
umumnya dapat diidentifikasi menggunakan tes Weber.
Apabila tes suara klinis mengindikasikan adanya
gangguan pendengaran unilateral, tes Weber harus
dilakukan sebelurn tes Rinne.
Pada metode perbandingan
arnbang, garpu tala
diletakkan pada tulang di atas mastoid. Pasien dirninta
untuk mengangkat tangan apabila ia mendengar suara
hingga suara fidak terdengar lagi. Ketika pasien
menurunkan tangan sebagai tanda ia tidak dapat
mendengar suara uji lagi, garpu tala segera
dipindahkan ke depan CAE. Jika tidak ada komponen
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

konduktif pada gangguan pendengaran, pasien dapat


mendengar suara lagi, hal ini disebut hasil positif.
Metode ini lebih jarang digunakan karena memakan
waktu lebih lama dan lebih rentan terhadap pengaruh
suara penyerta ambient sound. Metode ini juga kurang
sensitif daripada metode perbandingan keras suara
(Browning dan Swan. 1989).
Masking pada telinga yang tidak diuji terkadang
dilakukan. Namun hal ini tidak dianjurkan karena
menambah sumber kesalahan pada tes. Apabila usap
tragal digunakan, pemeriksa tidak dapat yakin apakah
masking yang adekuat telah dicapai. Jika kotak suara
Barany digunakan, maka hampir dipastikan ada
masking berlebih yang akan mengarah ke over
masking telinga yang diuji (Swan. 1989). Sebagai
tarnbahan, penggunaan kedua bentuk masking ini
mungkin akan mempengaruhi tekanan berlawanan
yang dilakukan perneriksa peda sisi kepala yang
berlawanan. kerasnya suara yang terdengar pada
hantaran tulang dipengaruhi oleh tekanan garpu tala
pada tulang.
Tes Rinne memberikan petunjuk adanya kornponen
konduktif pada gangguan pendengaran. Jika digunakan
untuk mendeteksi gangguan pendengaran konduktif tes
Rinne memiliki spesifitas yang tinggi, namun
sensitivitasnya rendah (Crowley dan Ka~1966;Wilson
dan
Woods.
1
975;Stanklewiez
dan
Mowry.1979;Capper, Slack dan Maw.1987; Browning
dan Swan. 1988). Para penyusun ini menunjukkan
bahwa sensitivitas, tes Rinne tidak mencapai 90%
hingga gap udara-tulang mencapai 30dB, sekalipun
spesifisitas tes ini melebihi 95% , tes ini sangat jarang
menunjukkan hantaran tulang lebih baik dari hantaran
udara tanpa adanya gap udara-tulang diatas IOdB.
Maka gap udara tulang yang kecil (hingga 30dB)
seringkali tidak dapat dideteksi oleh tes Rinne,
walaupun tes ini merupakan indikator yang reliabel
adanya gangguan pendengaran konduktif. Titik dimana
tes Rinne cenderung negatif adalah pada gap udaratulang sekitar 18dB (Sheehy, Gardner dan Hambley,
197 1; Golabek dan Stephens. 1979; Capper, Slack dan
Maw. 1987). Hal ini mengindikasikan titik dimana tes
Rinne akan memberikan 50% hasil negatif; respon
pasien bervariasi pada gap udara-tulang di sekitar titik
ini.
Semakin tinggi frekuensi garpu tala semakin berkurang
kepekaan tes Rinne untuk identifikasi gangguan
konduktif. Penelitian menunjukkan hasil yang cukup
signiflkan bahwa hasil tes garpu tala frekuensi 128-256
Hz cenderung lebih mudah menghasilkan tes Rinne
negatif daripada positif. Frekunsi lebih besar dari 256
Hz menunjukkan hasil tes Rinne yang kurang reliabel
dan frekuensi 2048 Hz tidak banyak membantu
diagnostik gangguan konduktif.

Nilai ketepatan tes Rinne cukup tinggi pada anak-anak,


apabila besar A-B gap mencapai 35 dB atau lebih.
Hilyard dkk melakukan skrining pendengaran pada
920 anak dengan memakai garpu tala frekuensi 1000
Hz, didapati hasil tes Rinne negatif pada 207 anak
akan tetapi tes garpu tala dilakukan tanpa
menggunakan masking.
Prinsip : membandingkan AC dan BC pada pasien
Tes Weber
Tes ini dinamakan sesuai Ernest Heinrich Weber
(1834), seorang profesor di anatomi dan fisiologi dari
Leipzig. Sebenarnya Weber tidak mengernukakan
metode yang selama ini dipakai dalarn klinik dengan
memakai namanya. Fenomena yang dikemukakannya
adalah mengenai lateralisasi hantaran tulang kearah
telinga yang disumbat. Menurut Weber apabila kita
sedang berbicara atau menyanyi, kemudian telinga
dengan jari tangan maka suara akan terdengar lebih
keras di telinga tersebut.

hasil audiometri nada murni (Stankiewicz dan


Mowry.I979;Capper,Slack dan Maw.1987) dan
hasil yang 'salah' didapatkan pada 25% pasien
dengan gangguan pendengaran unilateral, sehingga
sulit untuk secara teoritis memprediksi pada telinga
mana pasien akan mendengar suara lebih keras.
Keterbatasan tes Weber lainnya adalah sulit
dinilai pada kasus dengan tuli campur.
interpretasi pada praktek adalah tidak mungkin, dan tes
Weber sebaiknya hanya dilakukan pada kasus
gangguan pendengaran unilateral.

Tes Weber
Menurut Hulzing (1973), Schmalz (1846) adalah
orang pertama yang menjelaskan aplikasi klinis tes
ini. Tujuan tes Weber adalah untuk mendeteksi
koklea dengan fungsi yang lebih balk. Sebuah
garpu tala (biasanya 512 atau 256 Hz) digetarkan
dan ditempatkan pada garis tengah kepala
pasien. Tempat yang umum digunakan adalah
dahi, batang hidung, vertex, dan incisor atas. Dari
semua tempat ini, batang hidung merupakan tempat
yang dianjurkan karena kulit antara tulang dan
garpu tala paling tipis;vertex hanya dapat
digunakan pada pasien dengan kebotakan. Pasien
ditanya apakah suara terdengar lebih balk pada satu
telinga atau sama pada kedua telinga (umumnya
disebut terdengar di tengah kepala). Pada pasien
dengan pendengaran normal, suara terdengar di
tengah, selain normal, suara akan terdengar pada
koklea dengan fungsi lebih balk, kecuali bila ada
komponen konduktif gangguan pendengaran pada
pasien. Pada kasus ini, jika fungsi koklea simetris,
suara akan terdengar lebih keras pada telinga dengan
gangguan konduktif, atau apabila ada gangguan
konduktif bilateral, suara akan terdengar lebih
keras pada telinga dengan komponen konduktif
yang lebih besar. Alasan yang mendasari pernyataan
ini kompleks.
Menurut Tonndorf (1964), kasus kasus
diskontinuitas osikuler dan fiksasi Osikuler
bunyi akan terdengar lebih keras pada telinga.
Kami membuat hipotesis bahwa pada kasus
diskontinuitas osikuler, telinga tengah terisi massa
sehingga terjadi penurunan resonansi frekuensi.
Pada kasus kasus dengan sumbatan CAE, efek
oklusi dapat terjadi,sehingga mengakibatkan bunyi
terdengar lebih keras pada telinga yang tersumbat.
Sayangnya, hasil tes Weber tidak selalu sesuai dengan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Fenomena yang dikemukakannya adalah mengenai


lateralisasi hantaran tulang kearah telinga yang
disumbat. Menurut Weber apabila kita sedang
berbicara atau menyanyi, kemudian telinga dengan jari
tangan maka suara akan terdengar lebih keras di
telinga tersebut.
Tes Schwabach
Tes yang diperkenalkan pertama kalinya oleh
Dagabard schawabach, seorang ahli bedah telinga dari
Jerman pada tahun 1890, digunakan untuk menilai
kemampuan persepsi mendengar melalui hantaran
tulang subyek yang diperiksa dibandingkan
dengan pemeriksa. Penala digetarkan, tangkai penala
diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak
terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera
dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach
memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu
penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa
lebib dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi
disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut
dengan Schwabach sama dengan pemeriksa
Prinsipnya untuk menilai kemampuan persepsi
mendengar melalui hantaran tulang subyek
yang diperiksa dibandingkan dengan pemeriksa.
T es B i n g
Tes Bing yang dikemukakan oleh Alfred Bing
pada tahun 1891, didasarkan pada prinsip bahwa
oklusi CAE akan membuat suara hantaran tulang
terdengar lebih keras pada c, linga dengan

mekanisme konduksi normal. Fenomena ini


pertama kali dijelaskan oleh 'A-heatstone (1827).
Prinsip: oklusi CAE akan membuat suara hantaran
tulang terdengar lebih keras pada telinga dengan
mekanisme konduksi normal.
Cara pemeriksaan: sebuah garpu tala yang
digetarkan diletakkan pada os.mastoid seperti pada
tes Rinne. Seperti juga tes Rinne, terdapat dua metode:
perbandingan ambang dan perbandingan keras
suara. Pada metode perbandingan ambang,
pasien diminta untuk me n g a n g k a t t a n g a n
selama ia masih dapat mendengar suara.
K e t i k a p a s i e n m engindikasikan bahwa suara
sudah tidak terdengar lagi, pemeriksa menutup CAE
dengan t e k a n a n j a r i p a d a t r a g u s . J i k a p a s i e n
dapat mendengar suara kembali, hal ini
mengindikasikan mekanisme konduksi berfungsi
(Bing positif) dan apabila pasien tidak dapat
mendengar suara kembali disebut Bing negatif. Pada
metode perbandingan keras suara, Bila liang
telinga ditutup dan dibuka bergantian saat
penala yang berget ar ditempelkan pada mastoid,
maka telinga normal akan menangkap bunyi yang
mengeras dan ( B i n g pos i t i f) . H as i l s e ru p a ak an
d i d ap at
pa da
ga n ggu a n
p en d en ga r a n
sensorineural, namun pada pasien dengan perubahan
mekanisme konduktif seperti penderita otitis media
atau otosklerosis, tidak menyadari adanya perubahan
kekerasan bunyi tersebut (Bing negatif).

Tes Bing
Tes Gelle
Prinsip tes Gelle berdasarkan pada fenomena
yang pertama kalinya ditemukan oleh Wheatstone
pada tahun 1827 , kemudian dikembangkan
penggunaannya dalam klinik oleh Gelled seorang ahli
bedah otologi dari Paris . Fenomena tersebut berupa
penurunan persepsi kekerasan suara yang
dihantarkan melalui hantaran tulang apabila
tekanan di kanalis aurikularis ekstemus
ditingkatkan . Efek tersebut didapati pada kondisi
fungsi konduktif normal, tetapi tidak ada beda
persepsi suara pada kasus ankilosis stapes. Tes
ini banyak dipakai untuk inenilat gangguan
konduktif pada kasus otosklerosis. Tehnik:Garpu
tala yang sudah digetarkan diletakkan di
mastoid. Tekanan di kanalis aurikularis ekstemus
diubah-ubah dan dinilai ada atau tidaknya perubahan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

persepsi suara yang terdengar melalui hantaran


tulang. Dipakai 'Pulitzer hag' atau otoskop
pneumatik untuk menaikkan tekanan di depan
membrana timpani. Selain itu dapat juga
dipakai metode menutup Hang telinga dengan jari
seperti tes Bing, tetapi tes Bing dilakukan hanya
sekedar menutup liang telinga, sedangkan tes Gelled
dengan meningkatkan tekanan ke arah membrana
timpani melalui liang telinga.
Interpretasi : kenaikan tekanan di kanalis aurikularis
ekstemus akan menurunkan persepsi mendengar
melalui hantaran tulang apabila kondisi membrana
timpani utuh dan mobilitas osikula auditiva
normal. Pada telinga normal, perubahan tekanan
di
kanalis
aurikularis
eksternus
akan
mengakibatkan fluktuasi persepsi suara. Pada kondisi
fiksasi atau diskontinuitas tulang pendengaran,
perubahan tekanan kearah membrana timpani tidak
menyebabkan fluktuasi persepsi suara. Penting
diperhatikan dalam melakukan tes Gelled untuk
fiksasi kepala dengan 'headrest' agar kepala tidak
bergeser pada saat pemberian tekanan di kanalis
aurikularis ekstemus
Prinsip: fenomena berupa penurunan persepsi
kekerasan suara yang dihantarkan melalui
hantaran tulang apabila tekanan di kanalis
aurikularis ekstemus ditingkatkan . Efek tersebut
didapati pada kondisi fungsi konduktif normal,
tetapi tidak ada beda persepsi suara pada kasus
ankilosis stapes. Tes ini banyak dipakai untuk
menilai gangguan konduktif pada kasus otosklerosis.
Cara pemeriksaan:
Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan di
mastoid. Tekanan di kanalis aurikularis ekstemus
diubah-ubah dan dinilai ada atau tidaknya perubahan
persepsi suara yang terdengar melalui hantaran
tulang. Dipakai 'Pulitzer hag' atau otoskop
pneumatik untuk menaikkan tekanan di depan
membrana timpani. Selain itu dapat juga
dipakai metode menutup Hang telinga dengan jari
seperti tes Bing, tetapi tes Bing dilakukan hanya
sekedar menutup liang telinga, sedangkan tes Gelle
dengan meningkatkan tekanan ke arah membrana
timpani melalui liang telinga.
Interpretasi: kenaikan tekanan di kanalis aurikularis
ekstemus akan menurunkan persepsi mendengar
melalui hantaran tulang apabila kondisi membrana
timpani utuh dan mobilitas osikula auditiva
normal. Pada telinga normal, perubahan tekanan
di
kanalis
aurikularis
eksternus
akan
mengakibatkan fluktuasi persepsi suara. Pada kondisi
fiksasi atau diskontinuitas tulang pendengaran,
perubahan tekanan kearah membrana timpani tidak
menyebabkan fluktuasi persepsi suara. Penting
diperhatikan dalam melakukan tes Gelle untuk fiksasi

kepala dengan 'headrest' agar kepala tidak bergeser


pada saat pemberian tekanan di kanalis aurikularis
ekstemus.
Tes Lewis
Tes Lewis sangat berharga pada kasus tuli campur
dengan komponen konduktif yang minimal dan
membrana timpani utuh. Interpretasi hasil tes
Lewis sebaiknya dilakukan dengan kombinasi hasil
tes Gelled dan Bing.
Tehnik: Garpu tala diletakkan di prosesus mastoid sampai
suara tidak terdengar lagi kemudian dipindahkan di tragus
dengan cara menekan tragus sehingga kanalis aurikularis
eksternus tertutup.
Penilaian tes Lewis: apakah subyek mendengar
kembali suara garpu tala.
Interpetasi: Tes Lewis hanya untuk menilai apakah
suara akan terdengar kembali dengan penempatan
garpu tala di tragus apabila pada saat penempatan garpu
tala di prosesus mastoid tidak terdengar lagi. Dalam
kondisi membrana timpani utuh dan ada fiksasi osikula
auditiva, pemindahan garpu tala ke tragus tidak
akan membuat suara terdengar kembali. Kondisi
kelainan telinga tengah selain fiksasi tulang
pendengaran akan membuat suara terdengar lagi pada
saat garpu tala di letakkan di tragus.

Tes Lewis

Rangkuman beberapa tes garpu tala


Tes Garpu tala pada Tuli Nonorganik1,2,3,4
Tes Teal
S u b ye k y a n g m e n g a t a k a n m e n d e n g a r s u a r a
melalui hantaran tulang akan tetapi
menyangkal mendengar melalui hantaran
udara dapat dilakukan metode Teal.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Cara pemeriksaan:
Dipakai dua buah garpu tala dengan frekuensi
yang sama akan tetapi hanya satu yang
digetarkan. Garpu tala yang digetarkan
diletakkan di depan telinga yang dikeluhkan
tidak mendengar dan garpu t a l a ya n g t i d a k
d i ge t a r k a n d i l e t a k k a n d i p r o s e s u s m a s t o i d
t e l i n g a s i s i ya n g s a m a . Tes dilakukan dengan
mata tertutup, sehingga subyek yang di tes tidak
mengetahui ada dua buah ga r p u t al a ya n g
s al ah s at un ya d i l e t ak ka n di de p an t el i n ga.
S u b ye k h an ya m e r as a k an a da garpu tala
yang menempel di mastoid. Tanpa menyadari
bahwa sebenarn ya bunyi yang ada b e r a s a l
dari garpu tala yang digetarkan didepan
telinga yang dikeluhkan tidak dapat
mendengar,
subyek
akan
melaporkan
mendengar suara (subyek menduga suara
berasal dari garpu tala yang menempel di mastoid
yang tidak digetarkan).
Tes Stenger
P ri nsi p: suara nad a m urni den gan i nt ensi t as
ya n g sama diberikan secara bilateral melalui
earphone maka akan terjadi penyatuan (fusi)
persepsi m endengar di pusat pendengaran
sentral sehingga han ya akan t erdengar
sebagai s a t u s u a r a d i t e n g a h - t e n g a h
kepala.
Cara Pemeriksaan:
Tes Stenger menggunakan dua garpu
tala dengan intensitas yang b e r b e d a . K e d u a
garpu tala tersebut digetarkan dan masingm a s i n g d i l e t a k k a n d i d e p a n li an g t el i nga.
B erd asark an fenom ena Tarch anow, m aka
suar a dari kedua garpu t al a t ers ebut h a n ya
akan terdengar sebagai satu suara, yaitu
suara dengan intensitas yang lebih keras.
Apabila didepan telinga subyek yang
mengeluh
pendengarannya
kurang
diberikan
suara
garpu
tala
dengan
intensitas yang lebih keras, maka pada
k a s u s t u h o r ga n i k s u b ye k a k a n m el ap or k an
m en de n ga r di si s i t e l i n ga ya n g no rm al
s ek a l i pu n i nt en si t as n ya l e bi h l e m a h
Pada tuli nonorganik, subyek yang
sebenarn ya mendengar suara di sisi
telinga dengan i n t e n s i t a s y a n g l e b i h
tinggi akan menyangkal mendengar
s u a r a d i s i s i t e l i n g a t ers ebut (si si
t el i nga ya n g di kel uhkan penden ga rann ya
kur ang).
Reabilitas dan Validitas1,2,3,4
Dengan berulang-ulang melakukan uji penala
secara cermat, pemeriksa dapat menjadi ahli
dalam pemakaiannya. Masalah rcliabilitas (atau
dapat diulang) timbul dari penilaian yang
salah baik oleh pasien manapun pemeriksa

mengenai "saat tidak lagi terdengar" di mana


bunyi perlahan-lahan menghilang. Uji-uji ini
makin sulit dilaksanakan pada anak dan pasien
dengan perhatian yang terbatas.

membandingkan
ambang
pendengaran
antara
hantaran udara dengan menggunakan headphone (air
conduction /ac) dan
hantaran tulang dengan
menempelkan alat vibrator pada tulang mastoid (bone
conduction /bc). Hasil pemeriksaaan ini berupa
audiogram.

Klinisi harus menghindari penggunaan penala


frekuensi rendah (128 dan 256 Hz) karena
memerlukan
pengendalian
kebisingan
lingkungan, misalnya dalam ruangan kedap suara
yang biasanya tidak ditemukan pada praktek
dokter biasa. Untuk alasan fisik, Basil uji Bing
yang bermanfaat biasanya akan lebih baik bila
menggunakan penala 500 Hz dan bukannya 1000
atau 2000 Hz.

Pada hantaran tulang (ac) langsung menggetarkan


tulang-tulang tengkorak dan cairan didalamnya,
sehingga langsung menggetarkan perilimf, endolimf
dan membrana basalis sehingga terjadi perangsangan
sel rambut organon Corti. Hal ini membutuhkan
keutuhan fungsi telinga dalam dan syaraf VIII.
Sedangkan hantaran udara (bc) getaran bunyi masuk
melalui liang telinga, menggetarkan m.timpani,
tulang tulang pendengaran dan seterusnya
membutuhkan keutuhan fungsi telinga bagian luar,
tengah, dalam dan syaraf VIII.

Kesalahan yang lazim terjadi pada uji Rinne dan


Schwabach disebabkan oleh sifat - sifat hantaran
tulang. Getaran penala yang ditempelkan pada
mastoid kanan tidak hanya menggetarkan tulang
temporal kanan, tapi juga seluruh kepala; dengan
demikian telinga kiri juga terangsang pada saat
yang sama. Peredaman melintasi kepala adalah
minimal. Pada uji Rinne, jawaban terhadap
stimulus hantaran tulang akan merefleksikan
telinga dengan hantaran tulang yang lebih baik,
tanpa memperhatikan telinga mana yang
mungkin. Karena itu dimungkinkan untuk
memperoleh respons hantaran tulang dari telinga
kiri saat mengqji telinga kanan. Dan bila hantaran
tulang lebih baik dari hantaran udara, maka
hasilnya adalah Rinne negatif palsu. Dengan
mekanisme serupa, suatu uji Schwabach yang
meningkat atau memanjang untuk telinga kanan
sebenamya dapat saja merupakan respons telinga
kiri dengan hantaran tulang lebih baik dan telinga
kanan. Insidens Rinne negatif palsu dan
Schwabach memanjang palsu dapat dikurangi
dengan meminta pasien memberitahu letak
gangguan
pendengarannya.
Juga
dapat
dikendalikan
dengan
memasang
bising
penyamar (masking noise) pada telinga yang
tidak diperiksa, misalnya dengan alat penyamar
seperti "Barany buzzer". Hal in] perlu dilakukan
dengan hat]-hati karena bising penyamar yang
berintensitas tinggi tersebut dapat saja d'lateralisasi
melintasi tulang tengkorak dan sampai ke telinga.
Karena
masalah-masalah
validitas
dan
reliabilitas ini, maka sebalknya gunakan
serangkaian uji penala yang memberi kesempatan
untuk
membandingkan
indikasi
pengujian,
daripada hanya bergantug pada suatu uji saja.
Hal Ini juga sebagian merupakan penyebab
perkembangan audiometri elektris
Audiometri Nada Murni1,5,6,7
Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik
yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising
ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya
disebut nada "murni". Dengan audiometri kita dapat
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari oktaf


skala C: 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000
Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah
oktaf (750, 1500, 3000 dan 6000 Hz). Audiometer
memiliki tiga bagian penting: suatu osilator dengan
berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi, suatu
peredam yang memungkinkan berbagai intensitas
bunyi (umumnya dengan meningkatan 5dB), dan suatu
transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadangkadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik
menjadi energi akustik.
Terdapat beberapa istilah yang sering ditemukan
seperti berikut:
Nada murni (pure tone)
Merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu
frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per
detik.
Bising
Merupakan bunyi yang mempunyai banyak
frekuensi, terdiri dari (narrow band), spektrum
terbatas dan (white noise) spektrum luas.
Frekuensi
Ialah nada murni yang dihasilkan oleh getaran
suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana
(simple harmonic motion). Jumlah getaran per
detik dinyatakan dalam Hertz. Bunyi (suara)
yang dapat didengar oleh telinga manusia
mempunyai frekuensi antara 20-18.000 Hertz.
Bunyi yang mempunyai frekuensi di bawah 20
Hertz disebut infrasonik, sedangkan bunyi yang
frekuensinya di atas 18.000 Hertz disebut
suprasonik (ultra sonik).

Intesitas bunyi
Dinyatakan
dalam
dB
(decibell).
Dikenal : dB HL (hearing level), dB SL
(sensation level), dB SPL (sound pressure
level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah

subyektif, dan inilah yang biasanya digunakan


pada audiometer, sedangkan dB SPL digunakan
apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang
sesungguhnya secara fisika (ilmu alam).
Contoh : pada 0 dB HL atau 0 dB SL ada
bunyi, sedangkan pada 0 dB SPL tidak ada
bunyi, sehingga untuk nilai dB yang sama
intensitas dalam HL/SL lebih besar daripada
SPL.
Intensitas audiometer berkisar antara -I0dB
hingga 110 dB. Jika seorang pasien
memerlukan intensitas sebesar 45 dB di atas
intensitas normal untuk menangkap bunyi
tertentu,
maka
tingkat
ambang
pendengarannya adalah 45 dB, jika kepekaan
pasien lebih dekat ke normal dan hanya
memerlukan peningkatan sebesar 20 dB di atas
normal, maka ambang tingkat pendengarannya
adalah 20 dB. Jika pendengaran pasien 10 dB
lebih peka dari pendengaran rata-rata, maka
tingkat ambang pendengarannya ditulis dalam
dalam negatif atau I0dB.

Nilai nol audiometrik (audiometric zero)


Dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada
murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu
yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata
orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).
Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik
tidak sama. Telinga manusia paling sensitif
terhadap bunyi dengan frekuensi 1000
Hz yang besar nilai nol audiometriknya
kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Jadi pada frekuensi
2000 Hz lebih besar dari 0,0002 dyne/cm 2 .
Ditambah 2 standar yang dipakai yaitu
Standar ISO dan ASA. ISO = International
Standard Organization dan ASA = American
Standard Association.
0 dB ISO = 10 dB ASA atau
10 dB ISO = 0 dB ASA

warna merah.

Ambang Dengar
lalah bunyi nada murni yang terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar
oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar
menurut konduksi udara (AC) dan menurut
konduksi tulang (BC). Bila ambang dengan
ini dihubunghubungkan dengan garis, baik
AC maupun BC, maka akan didapatkan
audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis
dan derajat ketulian. penilaian:
AMBANG
0 - 20
>20 - 40
>40 - 60
>60 - 90
>110

GANGGUAN DENGAR
Dalam batas normal
Ringan
Sedang
Berat
Berat Sekali

Tes hantaran udara


Dari seluruh audiometri Subjektif, tes yang
paling
dasar
dan
terpenting
adalah
audiometri nada murni, yang membandingkan
kepekaan sensitivitas pendengaran subjek
terhadap orang dengan pendengaran normal
pada berbagai frekuensi. Sebuah audiometer
menyediakan rangsang suara terkalibrasi
dengan frekuensi tetap maupun terpulsasi
(pulsed) dalam rentang 125 hingga 8000 Hz.
Intensitas suara dinyatakan dalam decibel
hearing level (dB HI,), dimana 0 dB HL
adalah intensitas di mana orang dengan
pendengaran normal menangkap suara. 50%
setiap
kalinya.
Tingkat
pendengaran
minimum
dimana
didapatkan
respons
berulang dari subjek disebut ambang dengar.
Subjek
dikatakan
mengalami
gangguan
pendengaran jika ambang dengarnya di bawah
20 dBHL.

Pada audiogram angka-angka intensitas


dalam dB bukan menyatakan kenaikan
tinier, tetapi merupakan kenaikan logaritmik
secara perbandingan.
Contoh 20 dB bukan 2 kali lebih keras dari
pada 10 dB. tetapi : 20/10 = 2, jadi 10
kuadrat 100 kali lebih keras.

Subjek ditempatkan di dalam ruangan kedap


suara
dengan
menggunakan
earphone
dengan
bantalan
sirkumaural
dan
menekan
sebuah
tombol
yang
niengaktllkan nyala lampu pada audiometer
setiap kali mendengar suara. Seperti yang telah
dijelaskan jelaskan diatas, tujuan tes ini adalah untuk
menentukan tingkat nada terendah dengan tinggi
nada berbeda beda yang dapat didengar subjek.

Notasi pada Audiogram


Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai
grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus
penuh (intensitas yang diperiksa antara 125
8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat
dengan garis terputus-putus (intensitas
yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk
telinga
kiri
dipakai
warna
biru,
sedangkan untuk telinga kanan dipakai

Tes Hantaran Tulang


Ketika sinyal suara dihantarkan pada tulang di
belakang telinga, atau pada dahi dengan
menggunakan penggetar tulang, gelombang suara
mencapai koklea setelah melintasi sistem
konduksi telinga tengah. Karena itu, pendengaran
melalui hantaran tulang mencenninkan fungsi
dari koklea dan saluran pendengaran luhur

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

yang menghantarkan suara ke otak. Ambang


dengar hantaran tulang dibandingkan dengan
ambang hantaran udara untuk menentukan apakah
subjek mengalami lesi telinga luar dan/atau tengah,
maupun lesi koklear dan atau lesi retrokoklear.
Pengukuran kuantitatif dari perbedaan antara
ambang hantaran udara dan hantaran tulang (gap)
memungkinkan
penilaian
besaran
gangguan
pendengaran konduktif, yang berkontribusi pada
diagnosis
akurat
akan
penyakit
yang
menyebabkan gangguan pendengaran.
Getaran
dari
tulang
t e n gk o r a k
akan
m e n c a p a i k o k l e a k e d u a s i s i d a n menimbulkan
sensasi suara pada kedua telinga. Bagaimanapun,
umumnya kita hendak mengevaluasi hantaran
tulang setiap telinga secara terpisah. Ambang
terdengarnya sebuah suara akan meningkat ketika
suara lain terdengar, yang disebut masking sound.
Karenanya, ketika kita memeriksa pendengaran
hantaran tulang pada satu telinga, masking sound
diperdengarkan pada telinga lainnya sehingga
membuat suara tes tidak terdengar oleh telinga ini.
Prosedur masking ini diperlukan bahkan ketika
kita memeriksa ambang hantaran udara, tergantung
dari derajat dan asal dari gangguan pendengaran yang
terdapat pada masing masing telinga. Subjek yang
menjalani audiometri harus diberikan penjelasan
bahwa mereka diharuskan untuk memberikan respons
terhadap nada tes, dan bukan pada suara masking.
Audiometer memiliki tiga bagian penting: suatu osilator
dengan berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi,
suatu peredam yang memungkinkan berbagai intensitas
bunyi (umumnya dengan meningkatan 5dB), dan suatu
transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadangkadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik
menjadi energi akustik.
Teknik Pemeriksaan
Untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat
pendengaran dibutuhkan kerja sama yang baik antara
pemeriksa dan pasien.
pemeriksaan liang telinga
Untuk memastikan bahwa liang telinga
tidak
tersumbat. Apabila banyak serumen sebaiknya
dibersihkan dahulu.
Memberikan Instruksi
Saat akan memulai tes pasien dijelaskan terlebih
dahulu bahwa saat tes nanti akan terdengar serangkaian
bunyi yang akan terdengar pada sebelah telinga. Pasien
harus memberikan tanda dengan mengangkat tangannya
setiap terdengar bunyi bagamanapun lemahnya. Segera
setelah suara hilang, ia harus menurunkan tangannya
kembali. Ulangi instruksi ini sampai pasien benar benar
mengerti.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

M em as a n g He a dp ho n e
Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan
earphone dan mempengaruhi hasil pemeriksaan
harus disingkirkan. Bila pasien memakai kacamata atau
giwang sebaiknya dilepaskan.. Regangkan headband lebarlebar, pasanglah dikepala pasien dengan benar, earphone
kanan di telinga kanan, kemudian kencangkan sehingga
terasa nyaman di telinga. Denting diperhatikan agar
membran earphone tepat didepan liang telinga di kedua
sisi.
Seleksi telinga
Pemeriksaan dimulai dari telinga yang lebih baik dulu.
Urut an frekuensi
Dimulai pada 1000 Hz, dimana pendengaran paling
stabil, kemudian meningkat ke oktaf yang lebih tinggi
dan akhirnya 500 dan 250 Hz. Ulangi tes pads 1000 Hz
untuk meyakinkan sebelum beralih kepada telinga yang
lain. Perubahan diatas 20 dB atau lebih diantara dua oktaf,
memerlukan pemeriksaan setengah oktaf yaitu 1500 Hz,
3000 Hz atau 6000 Hz.
Posisi pemeriksaan
Pasien duduk di kursi dan menghadap kearah 30 0 dari posisi
pemeriksa, sehingga pasien tidak dapat melihat gerakan tangan,
tetapi pemeriksa dapat mengamati pasien dengan bebas.
Pemberian sinyal
Cara yang paling cepat untuk memperoleh intensitas awal
adalah dengan menyusurnya mulai dari 0 dB sampai diperoleh
responss. Matikan sinyal satu-dua detik, kemudian berikan lagi
pada level yang sama. Bila ada responss, maka tes dapat
dimulai pada intensitas tersebut.
Turunkan intensitas secara bertahap, 10 dB setiap kali sampai
responss, menghilang, kemudian naikkan 10 dB untuk
mendapatkan responss, dan turunkan 5 dB untuk
memperoleh ambang terendah. dimana sinyal terdengar
2 kali dari 3 kali perangsangan. Nada harus diberikan selama 0,5
detik secara irregular.
Ambang pendengaran biasanya direkam, kedalam suatu grafik
yang disebut audiogram, walaupun kadang-kadang ada
yang menggunakan tabel. Serangkaian hasil audiotes
yang direkam kedalam, sebuah progress audiogram
dapat pula digunakan.
Simbol-simbol internasional untuk audiometer telah
digunakan sejak 1964. Tetapi simbol ini tidak berlaku di
Amerika yang menggunakan simbol masking yang
berlainan untuk air dan bone conduction. Simbol hantaran
udara non masking yang umum digunakan adalah X untuk
kiri dan 0 untuk kanan. Sedangkan simbol masking adalah X+
untuk kiri dan 0 untuk kanan. Data dari telinga kiri ditulis
dengan warna biru dan untuk kanan dengan warna merah, tetapi
tidak mutlak. Apabila tidak diperoleh respons, pada batas
output pada audiometer, maka tuliskan simbol yang sesuai
dengan tambahan tanda panah kebawah. Derajat ketulian
dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :

Ambang dengar (AD) =


AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
3
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000
Hz berperan penting untuk pendengaran,
sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga
derajat ketulian dihitung dengan menambahkan
ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang
dengar diatas, kemudian dibagi 4.
Ambang dengan (AD) =
AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000
Hz
4

Audiogram pada tuli konduktif


3.

Gangguan dengar sensorineural


Ambang BC meningkat ,Ambang AC meningkat , Jarak
BC-AC < atau = 10

dapat dihitung ambang dengan hantaran udara (AC)


atau hantaran tulang (13). Pada interprestasi
audiogram hares ditulis (a) telinga yang mana, (b) apa
jenis ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli camper
sedang.
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung
hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian (PERHATI)
Normal
: 0 - 25 dB
Gangguan dengar ringan : 26 - 40 dB
Gangguan dengar sedang : 41 - 60 dB
Gangguan dengar sedang berat
: 61 - 90
dB
Gangguan dengar sangat berat
: > 90 dB

Audiogram pada tuli sensorineural


4.

Gangguan dengar campuran


Ambang BC meningkat lebih dari 25 dB ,AC > BC dan
terdapat gap

Berikut adalah contoh hasil audiogram


1. Normal
Ambang AB dan BC sama atau kurang dari 25 dB
AC dan BC berimpit tidak ada gap

Audiogram pd tuli campur


Audiogram Normal
2.

Gangguan dengar konduktif ( Conductive hearing loss =


CHL )
Ambang BC dalam batas normal ( 0-20dB)
Ambang AC meningkat, Jarak antara BC-AC > 10 dB

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

4.

Presbikusis

disebabkan pendengaran silang oleh telinga yang


tidak diuji?

Audiogram pada presbikusis


Peredaman antar telinga dan pendengaran
silang
Peredam antar telinga adalah berkurangnya
intensitas suatu sinyal saat ditransmisi dari
satu telinga ke telinga lainnya. Misalnya, nada
1000 Hz dengan intensitas 65 dB yang
diperdengarkan
pada
satu
telinga
(re
audiometrik nol) akan mengalami peredaman
antar telinga sebesar 55 dB sebelum akhirnya
mencapai telinga satunya sebagai sinyal 10 dB,
yang hanya akan ditangkap bila koklea telinga
tersebut peka terhadap sinyal 10 dB. Istilah
pendengaran silang (cross hearing) atau lengkung
bayangan (shadow curve) seringkali dipakai bila
pendengar berespons terhadap uji sinyal melalui
telinga yang tidak diuji. p endengaran silang
seringkali terjadi lewat tulang tengkorak melalui
hantaran tulang sekalipun sinyal diberikan melalui
penerima hantaran udara.
Tampaknya 45 dB merupakan perkiraan yang logis
sebagai peredaman minimal antar telinga,
sebelum terjadinya pendengaran silang untuk
rentang frekuensi 250 sampai 8000 Hz. Oleh
sebab itu bilamana ada perbedaan ambang
hantaran udara, antar telinga sebesar 45 dB atau
lebih, hares dipertanyakan validitas dari hasilhasil pemeriksaan telinga yang lebih buruk.
p
eredaman antar telinga untuk sinyal yang
diberikan melalui hantaran tulang dapat
diabaikan. Menempatkan vibrator tulang pada
mastoid atau pada dahi akan menimbulkan
getaran seluruh tulang tengkorak. Keadaan ini
menghasilkan stimulasi yang sama pada kedua
koklear. Tidak adanya peredaman antar telinga
yang cukup bermakna pada sinyal hantaran
tulang seringkali menimbulkan masalah
dalam mengenali hubungan hantaran tulang dan
udara yang benar pada telinga yang diuji.
Misalnya, bila terdapat perbedaan ambang
hantaran udara antar telinga, maka secara
teoretik ambang hantaran tulang setidaknya
sama baiknya dengan ambang hantaran udara
dari telinga yang lebih baik. Apakah beda
udara-tulang pada telinga yang diperiksa
merupakan beda sejati atau apakah perbedaan itu
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Untuk mensahihkan hasil-hasil pengukuran, maka


telinga yang tidak diuji perlu disingkirkan dengan
menggunakan penyamar yang efektif sehingga
jawaban yang didapat dari pasien dapat
dihubungkan dengan telinga yang diuji. Data
peredaman antar telinga dapat digunakan
untuk membuat "aturan" kapan harus
melakukan penyamaran (masking). p ada
pengujian hantaran udara bilamana tingkat
sinyal pengujian melampaui ambang hantaran
tulang telinga yang tidak diuji sebesar 45 dB atau
lebih, maka harus dilakukan penyamaran. Pada,
pengujian hantaran tulang, telinga yang tidak diuji
harus disamarkan bilamana terdapat beda udaratulang pada telinga yang diuji.
Hal hal yang mempengaruhi pengukuran nada
murni hantaran udara dan hantaran tulang. Ada 3 hal
yang mempengaruhi yaitu pemeriksa, yang diperiksa
(pasien) dan faktor alat.
Pengaruh dari pemeriksa
1. Saat pemasangan earphone. Pemeriksa harus
yakin bahwa diafragma earphone dipasang
berlawanan dengan CAE. Ukuran earphone
harus disesuaikan dengan telinga subjek
untuk mencegah terjadinya kebocoran
frekuensi rendah disekitar earphone.
2. Pemasangan penggetar tulang harus dipasang
pada prosessus mastoideus tidak lebih dari
selebar ibujari untuk mencegah radiasi suara
3. Petunjuk visual, missalnya melihat kebawah
atau membuat gerakan tubuh tertentu setiap
nada diperdengarkan tidak diperkenankan
4. Hubungan dengan pasien yang bersahabat
dapat meningkatkan motivasi dari pasien
5. Instruksi yang diberikan harus jelas dan bias
dimengerti oleh pasien
Pengaruh dari pasien
1. Terjadinya false respon dimana ada 2 tipe
false respon yaitu false positif dan false
negative. False positif terjadi ketika pasien
menyatakan mendengar nada padahal
sebenarnya tidak ada bunyi yang
diperdengaarkan. False negative terjadi
ketika pasien mengindikasikan tidak
mendengar bunyi padahal sebenarnya ada
bunyi yang diperdengarkan pada level yang
audible bagi pasien. Bila false positif
muncul hal berikut dapat dilakukan untuk
menurunkan angka dari false positif:
- Pemeriksa harus menginstruksikan ulang
kepada pasien dan membertahukan kepada
mereka bahwa mereka bereaksi ketika tidak
ada bunyi

Interval antara stimulus harus bervariasi


secara lebih signifikan

Bila terjadi false negative, pasien harus diberikan


instruksi ulang dan diperingatkan akan tanda
tersebut. Pasien seringkali perlu diperingatkan
untuk meningkatkan perhatian terhadap tugas
tersebut.
2. Kolaps dari CAE Pada pasien orang tua
ketika earphone diletakkan dikepala tekana
dari earphone tersebut menyebabkan kolaps
CAE karena menurunnya elastisitas kulit
pada bagian kartilago dari CAE. Hal ini
dapat diatasi dengan menggunakan insert
phone, canal retaining earphone, ataupun
menarik daun telinga ke atas dan
mengembalikan posisinya ke penempatan
earphone.
Faktor alat
Kalibrasi dari alat diperlukan bila didapatkan
berklurangnya akurasi ambang nada murni. Menurut
the proffssional service board of the American speechlanguage
Hearing
Assosiation,
Kaliberasi
elektroakustik dari tingkat tekanan suara untuk nada,
masking noise, dan tutur pada earphone dan lapang
suara dan tingkat kekuatan penggetar tulang harus
dilakukan setiap 3 bulan.
Audiometri Khusus
Untuk membedakan tuli kohlea dan tuli retrokohlea
diperlukan pemeriksaan khusus.
Diperlukan pemahaman mengenai istilah recruitment
dan kelelahan (decay/fatigue)
Recruitment adalah fenomena yang khas untuk
ketulian kohlear, dimana di atas ambang dengar
telinga yang terganggu akan lebih sensitif daripada
telinga yang normal. Peninggian intensitas sedikit saja
di telinga yang sakit akan dirasakan lebih keras dari
normal. Dapat diperiksa dengan tes ABLB dan SISI
Adaptasi abnormal merupakan keadaan dimana
terdapat kelainan rerokohlea, bila diberikan nada yang
kontinu akan tak terdengar lagi dalam waktu yang
lebih pendek dari normal. Disebut juga tone decay
yang disebabkan kelelahan saraf (fatigue)
Alternate Binaural Loudness Balance Test (ABLB)
Prinsip: membandingkan persepsi intensitas antara
kedua telinga pada frekwensi yang konstan
Short Increment Sensitivity Index (SISI)
Prinsip: adanya fenomena recruitment dimana kohlea
dapat mengadaptasi secara berlebihan peninggian
intensitas yang kecil, sehingga pasien dapat
membedakan selisih intensitas yang kecil tersebut
(1dB)
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tone Decay
Prinsip:
terjadinya
kelelahan
saraf
karena
perangsangan terus menerus. Bila telinga yang
diperiksa dirangsang terus menerus, telinga tersebut
tidak akan mendengar stimulus/rangsangan
Ada 2 cara: Threshold Tone Decay (TTD) dan
Suprathreshold Adaptation Test (STAT)
Speech Audiometry (Audiometri Tutur)
Berbeda dengan audiometri nada murni yang
meberikan gambaran mengenai jenis dan derajat
ketullian, audiometri tutur memeriksa kemampuan
komunikasi seseorang. Pemeriksaan ini pada
dasarnnya terdiri dari Speech Reception Threshold
(SRT) yaitu pemeriksaan sensitifitas/ambang dan
Speech Discrimination Score (pengertian)
Audiometry Bekessy
Audiometri ini otomatis dapat menilai
ambang pendengaran seseorang.
Prinsip pemeriksaan: nada yang terputus (interrrupted
sound) dan nada yang terus menerus (continue
sound).
Pemeriksaan Pendengaran pada Anak
Ada empat reflex dasar yaitu:
- Terbangun dari tidur
- Respon terkejut
- Mengedipkan mata
- Menoleh
Peralatan yang sering digunakan boneka pijat, bel dan
kerincingan yang frekuensi dan intensitasnya
diketahui. Selain peralatan dibutuhkan juga ruangan
yang sunyi terutama pada bayi berusia 4 bulan.
Behavioral Observational Audiometry (BOA)6,8
Pada usia empat bulan pertama, pendengaran dinilai
dengan pengamatan perilaku dan respons refleks
terhadap rangsangan yang kuat pada pendengaran.
Bayi berkedip atau mengatupkan kelopak mata yang
sudah tertutup (reflek auropalpebral) sebagai respons
terhadap suara keras. Kegagalan merespons suara keras
yang menetap dapat menunjukkan bayi mengalami
gangguan pendengaran yang parah.
Interpretasi:
Bila terdapat kegagalan merespons yang menetap,
menunjukkan
bayi
mengalami
gangguan
pendengaran.

Dilakukan pada anak usia 2-5 tahun, atau pada pasien


dengan retardasi mental.
Cara pemeriksaan:
Merupakan permainan audiometri untuk memeriksa
pendengaran. Anak diminta untuk menggunakan
earphone. Diminta agar anak menekan tombol,
memindahkan mainan atau hal lain yang menarik,
apabila dia mendengar suara pada earphone. Dengan
cara ini kita dapat menentukan ambang dengarnya.

Behavioral Observational Audiometry


Visual Reinforcement Audiometry6,8
Dilakukan pada anak usia 6-24 bulan.
Cara pemeriksaan:
Dalam suatu free field test, anak ditempatkan diantara
2 speaker sebagai stumulus suara. Setiap anak
merespons dengan melokalisasi suara dengan benar,
diberikan stimulus cahaya berupa mainan yang dapat
bercahaya (reinforcing respons).
Pertahanan respons (respons reinforcement) ini
memungkinkan anak untuk berpartisipasi dalam tes
cukup lama untuk menentukan tingkat ambang
berbagai frekwensi.
Interpretasi:
Dengan tes ini dapat ditentukan tingkat ambang
dengar berbagai frekwensi, dan anak dengan
gangguan pendengaran bilateral yang berat tidak
dapat melokalisasi sumber suara.

Play Audiometry
Speech Perception Test
Pada anak dilakukan dengan cara khusus
yaitu dengan picture pointing test
Cara pemeriksaan:
Anak diminta untuk menunjuk gambar,
setelah mendengar suatu kata, misalnya : kucing
kemudian anak menunjuk gambar kucing
Beberapa test yang termasuk di dalamnya adalah :
WIPI test (Word Intelligibility by Picture
Identification Test) dan NU-CHIPS tes (Northwestern
University Childrens Speech Perception Test).
Diagram pemeriksaan pada anak sesuai usia dan
klasifikasi (pemeriksaan subjektif dan objektif) dapat
dilihat pada gambar berikut.

Visual Reinforcement Audiometry


Play Audiometry6,8
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Diagram pemeriksaan audiometri anak sesuai


usia

Pemeriksaan Pendengaran Objektif


Emisi otoakustik (Otoacoustic Emission/OAE)
OAE adalah alat elektrofisiologis yang digunakan
untuk mengetahui keadaan dan fungsi sel rambut luar
kohlea secara cepat dan objektif.Pemeriksaan OAE
dipengaruhi oleh: keadaan telinga luar, telinga tengah,
telinga dalam, bising lingkungan, dan aktivitas tubuh.

Jenis TEOAE maupun DPOAE digunakan untuk


menilai keadaan kohlea dengan teknik dan daerah
tujuan berbeda, jika digunakan secara bersamaan akan
saling melengkapi.

Gelombang OAE yang dihasilkan oleh sel rambut luar


akan dihantarkan melalui tulang pendengaran,
membran timpani, dan masuk ke CAE yang akan
ditangkap oleh mikrofon. Sehingga jika terdapat
gangguan pada telinga luar maupun tengah sdapat
mengakibatkan emisi otoakustik tersebut tidak dapat
diukur dengan baik.
Emisi ini merupakan mekanisme fisiologis yang terjadi
selama proses transduksi mekanis-elektris dari suara.
Emisi otakustik tetap dapat diukur meskipun saraf
kohlearis (N VIII) mengalami kerusakan berat atupun
aktivitas listriknya dihambat oleh zat kimia.
Emisi otoakustik ini mudah mengalami kerusakan
yang diakibatkan oleh berbagai macam penyebab:
trauma akustik, hipoksia dan obat ototoksisk.
OAE terdiri dari 3 transducer yang berbeda dalam satu
probe yaitu :
1.
Loudspeaker, untuk memberikan stimulus
terhadap sel rambut kohlea
2.
Microphone, untuk menerima semua suara
yang ada di CAE
3.
Signal
separating
process,
untuk
membedakan suara yang berasal dari kohlea dan
sumber lainnya.
Ketiga transducer menyatu dalam satu probe tersebut
dilapisi oleh busa atau karet yang bersifat lentur yang
akan menutup seluruh CAE, sehingga pada saat
pemeriksaan emisi otoakustik, emisi yang dihasilkan
akan ditangkap secara maksimal oleh mikrofon.
OAE saat ini ada 2 jenis:
1.
SOAE
(Spontaneous
Otoacoustic
Emission)
2.
EOAE (Evoked Otoacoustoc Emission)
yang tdd :
1. SFOAE (Stimulus-Frequency Otoacoustic
Emission)
2. TEOAE
(Transient-Evoked
Otoacoustic
Emission)
3. DPOAE (Distortion Product Otoacoustic
Emission)
Ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda dan
saling membantu untuk menegakkan diagnosis
gangguan dengar.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Skema Jenis Otoacoustic Emission


Kegunaan Klinis OAE
OAE digunakan untuk mengetahui fungsi kohlea dan
membedakan kerusakan pada kohlea dan retrokohlea
secara tepat. OAE digunakan untuk deteksi awal
gangguan pendengaran SNHL karena pemeriksaan
cepat dan objektif
Pada skrining pendengaran kita cukup untuk
mengetahui adanya emisi sel rambut kohlea. Untuk
tujuan deteksi awal gangguan dengar, TEOAE sering
digunakan karena menggunakan metode click ataupun
toneburst, yang mempunyai sifat sebagai wideband.
TEOAE memberikan hasil mendekati 100% terhadap
stimulus yang diberikan pada orang dewasa dengan
ambang pendengaran < 30dB.
TEOAE menggunakan frekuensi 1 4 kHz. Dengan
batas pemeriksaan 30 35 dBHL. TEOAE paling baik
dugunakan
untuk
mengidentifikasi
gangguan
pendengaran pada intensiatas 2 4 kHz.
Sedangkan DPOAE menggunakan stimulus puretone
yang mempunyai sifat narrowband. DPOAE lebih
banyak digunakan untuk mengetahui kelainan yanng
lebuh spesifik pada rentang frekwensi yang lebih
tinggi, yaitu 4 8 kHz (pada jenis skrining) dan
mencapai 20kHz pada jenis clinical. Dengan batas
pemeriksaan 40 45 dB.
TEOAE dan DPOAE akurat untuk mendeteksi
gangguan dengar pada frekwensi sedang dan tinggi.
Keuntungan menggunakan OAE adalah :
1.
Obyektif
2.
Noninvasif
3.
Waktu yang digunakan relatif singkat

4.

5.
6.
7.
8.

Dapat digunakan semua usia, terutama


skrining pada neonatus, pediatrik, dewasa yang
mempunya resiko tinggi terhadap terjadinya
gangguan pendengaran
Secara teknis, mudah dilakukan
Dapat digunakan untuk skrining maupun
diagnostik
Dapat dilakukan oleh personal yang telah
dilatih secara khusus
Tidak diperlukan biaya yang mahal

Persiapan Pemeriksaan OAE


OAE dilakukan dalam ruangan yang tenang, tapi tidak
perlu soundproof, dan bebas medan listrik
Pasien yang akan diperiksa telinga tengah dalam
keadaan sehat, juga tidak dalam keadaan batuk pilek,
(timpanometri yang normal). Probe yang digunakan
harus sesuai dengan telinga.
Bayi dengan usia < 3 bulan tidak perlu diberikan
sedatif, bayi usia > 3 bulan dapat diberikan sedatif
berupa chloral hydrat
BERA (Brain Evoked Responsse Audiometry)
Istilah lain yang sering digunakan untuk BERA:
- ABR (Auditory Brainstem Responsse)
- BAER (Brainstem Auditory Evoked Responsse)
- BSEP (Brainstem Evoked Potensial)
- BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potensial)
- ERA (Evoked Responsse Audiometry)
Prinsip Dasar BERA
AEP merupakan respons listrik N VIII dan sebagian
batang otak yang timbul dalam 10 12mdetik setelah
suatu rangsang pendengaran ditangkap oleh telinga
dalam. Dengan menghadirkan sejumlah bunyi click
pada telinga, dibangkitkan letupan-letupan sinkron dari
serabut-serabut auditorik frekwensi tinggi. Respons
listrik tunggal sulit dibaca, supaya pola terlihat jelas,
digunakan skema untuk membuat rata-rata agar
gelombang menjadi nyata. Click dibuat pada 75 atau
80 dB di atas ambang dengar. Click diulangi dengan
kecepatan pengulangan pasti, mis. 11/detik atau
33/detik hingga responss click 1500 atau 2000 kali.
Setiap 2000 click yang dirata-ratakan akan
digambarkan satu garis baru. Elektroda yang dipasang
pada mastoid dibandingkan denngan elektroda di
tengah dahi, menciptakan suatu EEG. Dengan
mengambil angka rata-rata gelombang EEG ini,
terbentuk suatu pola. Bentuk gelombang ini
dikemukakan oleh Jewett tahun 1971 dan diberi label I
sampai VII. Yang dinilai gelombang I-V.
Gelombang I
: berasal dari kohlea
Gelombang II
: berasal dari nucleus kohlearis
Gelombang III : berasal dari nucleus olivari superior
Gelombang IV : berasal dari lemniskus lateralis
Gelombang V
: berasal dari folikulus inferior
Semua garis ini dapat dihasilkan kembali. Makin
dekatnya tingkat bunyi dengan ambang pendengaran,
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

gelombang V bergerak makin ke kanan dan gelombang


lain semakin kurang jelas.
Instrumentasi BERA
Alat Evoked Potential bekerja berdasarkan pada
sistem komputer yang meliputi komponen :
1.
Generator stimulus
2.
Elektroda
3.
Amplifier
4.
Filter
5.
Signal averager dengan artefact refraction
6.
Responsse display
7.
Responsse processing
8.
Printer
Interpretasi Hasil BERA
Tugas utama klinikus adalah menentukan apabila hasil
BERA ada penyimpangan dari nilai normal, apakah
karena patologi neural, gangguan pendengaran, atau
karena faktor yang nonpatologik
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
melakukan interpretasi hasil BERA:
- Maturitas susunan saraf pusat
- Neuropatia saraf pendengaran
- Kondisi susunan saraf pusat
- Kondisi pendengaran perifer
- Faktor nonpatologik
Tuli Konduktif
Pada tuli konduktif, bentuk gelombang bertahan pada
tingkat sensasi pertengahan sampai tinggi. Namun
masa laten absolut seluruh gelombang akan bergeser
ke kanan (masa laten memanjang). Besarnya
pergeseran berbanding langsung dengan beratnya tuli
konduktif. Apabila masa laten gelombang V ditetapkan
sebagai fungsi tingkat sensasi rangsang dari ambang
yang normal, maka untuk sejumlah intensitas,
penderita tuli konduktif akan memperlihatkan fungsi
intensitas masa laten yang normal, tetapi bergeser pada
koordinat intensitas sesuai dengan beratnya ketulian.
Tuli sensorineural
Penderita tuli kohlea akan menghasilkan gelombang
BERA yang bentuknya sama dengan orang normal
pada tingkat supra ambang rangsang.
Masa laten absolut gelombang I dan V hampir normal.
Namun lereng fungsi intensitas masa laten gelombang
V lebih terjal dibandingkan dengan gelombang orang
normal dan tuli konduktif. Gambaran lereng yanng
terjal disebut sebagai sebagai fungsi penguatan
(Recruting Function) dan keadaan ini biasanya sangat
jelas pada tuli kohlea denga penurunan pada frekwensi
tinggi yang khas.
Apabila sensitifitas kohlea berkurang secara tajam,
masa laten gelombang V biasanya lebig panjang
daripada normal pada tingkat sensasi rendah, akan

tetapi hampir sama atau bahkan sama dengan keadaan


normal pada tingkat sensasi tinggi.
Lesi perifer N VIII
Pemeriksaan BERA pada penderita dengan lesi N VIII
akan memperlihatkan berbagai variasi. Puncak I
mungkin terlihat tanpa diikuti puncak-puncak
berikutnya yang jelas, masa laten antar puncak dari
puncak I sampai V bisa memanjang, atau sama sekali
tidak dijumpai puncak yang dapat diidentifikasi. Dapat
dikatakan penderita dengan lesi perifer N VIII
memperlihatkan BERA dengan kelainan baik pada
bentuk gelombang, maupun pada masa laten absolut
dan relatif
Contoh gelombang BERA pada berbagai kondisi dapat
dilihat pada gambar berikut

Gelombang BERA pada berbagai kondisi


BERA pada Anak
Prosedur BERA pada anak atau bayi, mungkin perlu
ditidurkan denganmenggunakan sedatif (chloral
hydrat) guna mencegah terjadinya artefak yang
berhubungan dengan gerakan, yang dapat mengganggu
respons elektrofisiologi sistem auditori.
Interpretasi BERA pada anak usia 18 bulan sama
dengan pada orang dewasa. Namun dibawah batas usia
tersebut,
perbedaan
kematangan
neurologik
menghasilkan perbedaan yang berarti pada masa laten
puncak dan keadaan ini harus diperhitungkan sebelum
dinyatakan sebagai suatu abnormalitas.
AUDITORY STEADY STATE RESPONSE (ASSR)
Akhir-akhir ini dikembangkan tipe evoked potensial
denngan menggunakan frequency modulated dan
amplitude modulated berupa Steady State Response
(SSRs), merupakan pengukuran ambang dengar yang
frequency specific.
Berbeda dengan BERA, ASSR stimulus diberikan
berturut-turut dalam waktu pendek/modulasi teratur &
nada yang diberikan juga terus menerus. Direkam
dengan kecepatan stimulus 30-50 Hz dan respons 40
Hz, respons ASSR dianalisa berdasarkan jumlah
gelombang yang terulang dalam time window tertentu
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

(sesuai frekwensi) dan tidak menilai masa laten


masing-masing gelombang. ASSR dapat memberikan
informasi audiometric yang memuaskan pada anak dan
dewasa.

Acoustic Immitance
1.
Timpanometri
2.
Acoustic Reflex Threshold
3.
Acoustic Reflex Decay
Pemeriksaan acoustic immitance dapat memberikan
informasi
mengenai
fungsi
telinga
tengah.
Pemeriksaan ini mudah, cepat, murah dan objektif.
Prinsip Acoustic Immitance
Sistem telinga tengah bukan suatu transducer energi
yang sempurna, dan tentunya memiliki tahanan yang
dikenal dengan acoustic impedance . Aliran energi
yang melalui telinga tengah adalah acoustic
admittance. Acoustic immitance adalah istilah untuk
menggambarkan transfer energi akustik melalui telinga
tengah meskipun ada pengaruh acoustic immitance dan
acoustic admittance.
Pada pemeriksaan ini digunakan probe tip dengan cuff
yang dimasukkan ke CAE. Pada probe tip ini terdapat
beberapa saluran yang berfungsi untuk : memberikan
suara (loudspeaker), sistem pemompaan udara yang
berhubungan dengan manometer, dan sistem analisis
(mirophone)
Pada saat pemerikksaan dilakukan, diberikan acoustic
signal pada telinga dan Sound Presure Level pada
CAE diukur pada berbagai kondisi.
Timpanometri
Tympanometri adalah suatu alat untuk mengetahui
immittance dari telinga tengah yang dipengaruhi oleh
tekanan udara di CAE.
Tympanometri memberikan informasi mengenai
tekanan di telinga tengah, baik yang low impedance
(disartikulasi tulang pendengaran) atau yang high
impedance (otosclerosis, otitis media)
Tympanogram menurut Liden (1969) dan Jerger
(1970), terdapat 6 jenis tipe tympanogram:
1. Tipe A
Merupakan tipe tympanogram yang normal,
dengan peak pressure pada 0 daPa
2. Tipe As
Tipe ini memiliki kurva yang lebih landai dari tipe
A, peak pressure normal. Merupakan indikasi
adanya fiksasi osikular atau tipe tertentu dari efusi
telinga tengah
3. Tipe Ad
Memiliki
Peak
pressure
normal
tetapi
amplitudonya tinggi, menandakan adanya anomali

4.

5.

6.

membran timpani atau kemungkinan disartikulasi


osikular
Tipe B
Kurvanya flat dan merupakan indikasi adanya
efusi telinga tengah, kolesteatom, serumen,
perforasi membran timpani atau penempatan
probe yang kurang tepat
Tipe C
Ditandai dengan adanya peak pressure yang
negatif, menandakan adanya disfungsi tuba
eustachius
Tipe D
Dilakukan dengan probe yang low frequency.
Menandakan adanya anomali membrane tympani
atau disartikulasi osikular

-tekanan negatif > 50 daPa abnormal untuk orang


dewasa
-tekanan negatif > 150 daPa abnormal untuk anak
Dilihat pula tipe timpanogramnya untuk melihat
kemungkinan kelainan yang terjadi.
Acoustic Reflex
Prinsip pemeriksaaan
Otot stapedius akan berkontraksi bila distimulasi
dengan suara keras. Kontraksi dari otot stapedius ini
akan mengubah aksis dari rotasi stapes footplate, dan
mengurangi transfer energi akustik ke telinga tengah.
Perubahan konduktifitas ini dapat diukur dengan
acoustic imittance
Selama stimulasi akustik yang kuat, impuls saraf dari
cochlea berjalan di N VIII, menuju nukleus kohlearis
ventral ipsilateral, dan melalui badan trapezoid ke
pusat motorik N Facialis, kemudian impuls tersebut
turun ke N VII ke m stapedius ipsilateral.
Beberapa serabut saraf juga disalurkan dari badan
trapezoid ke compleks oliva superior dan dilanjutkan
ke nukleus motorik N VII yaitu 3-4 neuron.
Lengkung reflex kontralateral selalu terdiri dari 4
neuron. Dari N VIII dan nukleus cockhlearis ventral
impuls berjalan melaui trapezoid ke arah oliva medial
superior dan melewati nukleus motoris N VII
kontralateral ke arah m.stapedius

Tipe timpanogram
Timpanometri pada anak usia 6-7 bulan biasanya
memiliki high false negative rate, karena itu harus
digabungkan dengan gambaran klinik secara umum.
Teknik pemeriksaan
1.
Sebelum dilakukan tympanometri, lakukan
pemeriksaan telinga dulu dengan otoskop. Jangan
dilakukan pada keadaan infeksi telinga tengah atau
telinga luar, post trauma, post operasi , kecuali bila
ada permintaan khusus
2.
Pilihlah ukuran probe yang ssuai dan masukan
ke dalam CAE dengan benarsehingga terjadi
penutupan sempurna (air tight seal)
3.
Set alat pada tulisan TYMP
4.
Baca volume CAE pada penunjuk compliance
dan pasang jarum pada tekanan udara + 200 da Pa
pada tombol pengatur, kemudian setelah yakin
tidak ada kebocoran, putar ke tanda automatic
5.
Lakukan pada telinga sebelahnya
6.
Hasil pemeriksaan dicetak
Interpretasi Hasil Tympanometri
Bila dari hasil timpanogram diperoleh :

Terjadinya refleks akustik tergantung kepada fungsifungsi normal dari seluruh lengkung refleks yang
terdiri atas:
1.
Kohlea
2.
N. VIII
3.
Batang otak
4.
N. VII
5.
M.stapedius
Acoustic Reflex Threshold
Ambang akustik refleks biasanya berkisar 70-100 dB,
tetapi bervariasi menurut frekwensi, waktu dan nada
Ambang refleks harus diukur keduanya, baik ipsilateral
maupun kontralateral pada 1000 Hz dan frekwensi
lainnya jika diperlukan.
Penurunan refleks diukur selama 10 detik, 10 dB di
atas ambang pada 500 Hz dan 1000 Hz.
Refleks Decay
Cara Pemeriksaan:
Ambang refleks pada 500 dan 1000 Hz direkam lau
dibuat nada pada 10 dB diatas ambang selama 10
detik. Kehilangan 50 % selama 5 detik dianggap
abnormal.
Interpretasi:
Kehilangan 50 % selama 5 detik menunjukkan adanya
kelainan retrokohlea.
Tes Fungsi Tuba

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tes ini dilakukan untuk memperkirakan outcome


apabila dilakukan timpanoplasti pada seorang pasien.
Cara dan prinsip pemeriksaan :
Probe tip dipasang pada CAE dan diberi tekanan
positif secra berangsur. Pada tekan 200-300 mmH2O
akan terjadi penurunan mendadak kembali ke 0
mmH2O yang terjadi karena ada peneyimbangan tekan
ke ronnga hidung melaui tuba eustachius
Untuk melihat fungsi pembukaan aktif tua eustachius,
tekanan diturunkan sampai -200 mmH2O dan
penderita melakukan : menelan, manuver Toynbee
(menelan dengan penutupan lubang hidung) dan
manuver Valsava ( ekspirasi maksimal dengan hidung
dan mulut tertutup) disebut juga SSTV Test (Springing
Swallow Toynbee Valsava Test)
Hasil Normal
- Springing tuba terjadi pada < +300 mmH2O
- Perubahan tekanan dari -200 mmH2O kembali ke 0
mmH2O dengan 3 kali test Toynbee serta satu kali
test valsava

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

DAFTAR PUSTAKA
1.

Lassman,.FM. Audiolog . Dalam Adam GL. BOIES


Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition . W.B
Saunders Company. Philadelpia . 1989 ; 46- 66

2.

Swan, I.R.C. Clinical tests of Hearing and Balance.D a l a m


A l a n G . K e r r . Scott- Brown's Otolaryngology. Sixth
edition. Butterwerth Heinemann. Oxford 1997; 1 6

3.

Lutman, M.E .Diagnostic Audiometry. Dalam G. Kerr. S


cott-Brown ' s Otolaryngology Sixth edition. Butterwerth
Heinemann. Oxford 1997 ; 3-1 1

4.

Abiratno, F . Tes Garpu tala :Metode Pemeriksaan dan


Peranannya Di Era Modem. Unit Neuro-otologi Departemen
THT RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta..

8.

5.

Sutirto,I dkk .Gangguan Pendengaran . Dalam Buku


Ajar Ilmu Kes. Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke5. FKUI Jakarta. 2001 ; 9-19

6.

Skurr, B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan kuliah.


Pada Kursus Audiologi Praktis. Bandung. 13-14
mei 1991: 12-39

7.

Roeser, R J Pure Tone Tests. Dalam Roeser


R.J. Audiology Diagnosis. Thieme Medical
Publishers. New York . 2000.

Hendarmin, H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dan


Anak. Dalam Buku Ajar Ilmu Kes. Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi ke- 5. FKUI .Jakarta. 2001; 28-30.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING

Anatomi Faring
Faring merupakan bagian tubuh berupa suatu
saluran aerodigestivus dengan struktur tubular ireguler
mulai dari dasar tengkorak sampai batas inferior
setinggi kartilago krikoid di anterior dan setinggi
vertebra servikal ke-6 di posterior. Dimana faring
merupakan jalan untuk udara dan makanan 1-3. Faring
dibungkus oleh sistem otot yang akan dilanjutkan oleh
otot yang menutupi dinding esofagus. Bagian superior
faring pada orang dewasa lebih lebar. Panjang faring
berkisar antara 12 14 cm dan memiliki lebar
maksimal di daerah hyoid, yaitu sebesar 5 cm dan
lebar faring tersempit berada di daerah batas
inferiornya, yaitu sebesar 1,5 cm pada daerah yang
berbatasan dengan esofagus. Bagian dinding faring
posterior merupakan bidang datar yang berada
memanjang di depan lapisan prevertebra dari fasia
servikal yang dalam.4-7 Bagian anterior faring berlanjut
menjadi trakea dan bagian posteriornya menjadi
esofagus.2,8,9
Batas-batas faring adalah sebagai berikut:
Superior: oksipital dan sinus sphenoid
Inferior : berhubungan dengan esofagus setinggi M.
krikofaringeus
Anterior: kavum nasi, kavum oris dan laring
Posterior: kolumna vertebra servikal
Faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:7
1. Nasofaring (epifaring), yang berada di posterior
kavum nasi dan superior dari palatum molle.
2. Orofaring (mesofaring), yang berada posterior dari
mulut.
3. Laringofaring (hipofaring), berada posterior dari
laring.

Anatomi Faring7

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Dinding Posterior Faring


1.

Nasofaring
Nasofaring memiliki fungsi respirasi. Organ
ini berada superior dari palatum molle dan merupakan
ekstensi ke arah posterior dari kavum nasi. Kavum nasi
berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang
koana. Dinding atap dan dinding posteriornya
membentuk permukaan yang berada inferior dari os
sphenoid dan merupakan dasar dari os occipital. 7
Batas-batas nasofaring adalah sebagai berikut:
Superior
: basis cranii
Inferior
: bidang datar yang melalui palatum
molle
Anterior
: berhubungan dengan cavum nasi
melalui choana
Posterior
: vertebra servikalis
Lateral
: otot-otot konstriktor faring
Mukosa nasofaring sama seperti mukosa
hidung dan sinus paranasalis, yaitu terdiri dari epitel
pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa
kelenjar mukus di bawah selaput (membran) mukosa
dan terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat
melekatnya mukosa.
Ruang nasofaring yang relatif kecil memiliki
beberapa struktur penting, yaitu:
Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang
kadang disebut tonsila faringea atau tonsil
nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding
anterior basis sphenoid.
Torus tubarius atau tuba faringotimpanik,
merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di
dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan
palatum molle dan 1 cm di belakang tepi posterior
konka inferior.
Resesus faringeus, terletak posterosuperior
torus tubarius, dikenal sebagai fossa Rosenmuller,
yang merupakan tempat predileksi karsinoma
faring.
Muara tuba eustachius atau orificium tuba,
terletak di diniding lateral nasofaring dan inferior
torus tubarius setinggi palatum molle.
Koana atau nares posterior.

lateralnya dibentuk oleh otot konstriktor media dan


inferior. Di dalamnya, dinding laringofaring dibentuk
oleh otot palatofaringeus dan stilofaringeus.
Laringofaring berhubungan dengan laring melalui inlet
laringeal pada dinding anteriornya.7
Laringofaring terletak di belakang dan sisi
kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa
piriformis. Dimulai dari segitiga valekula yang
merupakan batas orofaring dengan laringofaring,
sampi setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat
masuknya sphingter krikofaringeus.
Batas-batas lainnya:
Superior
: bidang datar melewati tepi atas
epiglotis atau setinggi valekula
Inferior
: tepi bawah kartilago krikoid
Anterior
: aditus laring
Posterior
: vertebra servikalis 3 sampai 6
Valekula sendiri merupakan suatu cekungan
yang dangkal dengan batas-batas:
Anterior
: basis lidah
Posterior
: fasies epiglotis anterior
Lateral
: plika faringoepiglotika
Medial
: plika glossoepiglotika
Fossa piriformis memiliki batas-batas:
Medial
: plika ariepiglotika
Lateral
: kartilago tiroid dan membran
tirohioid
Dinding Lateral Faring 7
2.

Orofaring
Berbeda dengan nasofaring, orofaring
memiliki fungsi digestif. Organ ini dikelilingi oleh
palatum molle di superior, dasar lidah di inferior dan
sudut palatoglossal dan palatopharyngeal di lateralnya.
Orofaring berada memanjang dari palatum molle ke
batas superior epiglotis. 7
Batas-batasnya adalah sebagai berikut:
Superior : palatum molle
Inferior
: bidang datar yang melalui tepi atas
epiglotis
Anterior
: berhubungan dengan kavum oris
melalui isthmus
Posterior
: vertebra servikalis 2 dan 3 bersama
dengan otot-otot prevertebra
Isthmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus
kanan dan kiri. Arkus faringeus sendiri dibentuk oleh
pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat M.
Palatoglosus dan bagian posterior terdapat M.
Palatofaringeus. Di antara kedua pilar tersebut terdapat
fossa/ruang tonsilaris, yang berisi jaringan limfoid
yang disebut tonsila palatina.
3.

Laringofaring
Laringofaring berada memanjang mulai dari
batas superior epiglotis dan plika faringoepiglotika
sampai batas inferior kartilago krikoid. Di sana
laringofaring menyempit dan berlanjut menjadi
esofagus. Di posterior organ ini berbatasan dengan
vertebra C4 C6. Dinding posterior dan dinding
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Basis lidah dan valekula 3


Jaringan Limfoid Faring
Sekelompok jaringan limfoid pada faring
membentuk komposisi menyerupai cincin yang tidak
sempurna, yang dinamakan cincin Waldeyer.
Dinamakan cincin Waldeyer (the Waldeyer ring)
adalah sesuai dengan ahli anatomi Jerman, yaitu
Heinrich von Waldeyer, yang mendeskripsikan
jaringan limfoid di nasofaring dan orofaring tersebut. 12
Jaringan limfoid berkumpul di tempat tertentu untuk
membentuk massa yang dinamakan tonsil.7 Cincin
Waldeyer dapat ditemukan pada jalan masuk dari
traktus aerodigestivus atas.1
Cincin Waldeyer terdiri dari: 12
Tonsila palatina (faucial)
Tonsila faringeal (adenoid)
Tonsila lingualis
Tonsila tubal (eustachian)
Lateral pharyngeal bands
Pharyngeal granulations
Jaringan limfoid di ventrikel laringeal

Ketiga tonsil yang disebutkan pertama


(tonsila lingualis, tonsila faringeal atau adenoid dan
tonsila palatina) merupakan komponen terbesar.
Sedangkan empat yang lain merupakan jaringanjaringan limfoid yang kecil.10-12

maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus


faringeus ke dalam vena jugularis interna.1

Adenoid14
Drainase limfatik eferen berjalan dari kelenjar
limfe retrofaringeal ke kelenjar limfe servikal superior
dalam, terutama kelenjar di segitiga posterior.
Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang
N. IX, serta N. Vagus.
Cincin Waldeyer 7
1.
1.1

Jaringan Limfoid Nasofaring


Adenoid
Tonsila faringeal (biasa disebut adenoid bila
membesar) yang berbentuk triangular, berada pada
membrana mukosa dinding posterior.1
Adenoid terbentuk pada bulan ketiga sampai
ketujuh masa embriogenesis, sehingga pada saat lahir
adenoid sudah tampak dan berkolonisasi dengan
bakteri pada beberapa minggu awal kehidupan.1
Ukurannya mencapai puncak pada usia 6 hingga 7
tahun dan mengalami atrofi saat pubertas. Pada bayi
dan anak, dapat mengalami hipertrofi dan mengisi
rongga nasofaring, sehingga akan menyebabkan
obstruksi saluran nafas dan tuba eustachius, serta
menyebabkan timbulnya suara sengau.12
Organ ini bertindak sebagai kelenjar limfe
yang terletak di perifer, yang duktus eferennya menuju
kelenjar limfe leher yang terdekat. Hubungan anatomi
adenoid dengan nasofaring berimplikasi penyakitpenyakit pada tuba eustachius dan telinga tengah di
lateralnya, hidung, sinus paranasalis, maksila dan
mandibula di anteriornya.1
Adenoid memiliki tiga tipe epitel permukaan,
yaitu epitel kolumnar berlapis bersilia, epitel skuamosa
berlapis dan epitel transisional. Barisan epitel pada
adenoid tidak begitu rapat, sehingga memungkinan selsel dan antigen melewati lapisan tersebut. Infeksi
kronis atau pembengkakan adenoid ditandai oleh
meningkatnya proporsi epitel skuamosa yang aktif
dalam memroses antigen dan menurunnya proporsi
epitel respirasi (aktif dalam fungsi pembersihan
mukosilier) dan meningkatnya fibrosis jaringan ikat
interfolikel.1
Adenoid mendapat darah dari A. karotis
interna dan sebagian kecil cabang palatina A.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

1.2

Tonsil Tuba/Gerlachs Tonsil


Tonsil tuba dibentuk terutama oleh perluasan
nodulus limfatikus faringeal tonsil ke arah anterior
mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus
tersebut terutama ditemukan pada submukosa faring,
dekat orifisium faringeal dari tuba faringotimpanik
atau pada mukosa tuba eustachius dan fossa
Rosenmuller. 4 Jaringan limfoid ini disebut juga
Gerlachs Tonsil.
Pertumbuhan limfoid nasofaring dipengaruhi
umur, seperti pertumbuhan limfoid pada faring, dimana
mencapai puncak saat umur 10 12 tahun dan
mengalami regresi pada saat dewasa.8
Jaringan Limfoid Orofaring12
Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang
tidak berkapsel, terdapat pada basis lidah. Tonsil ini
berkembang paling akhir dibandingkan tonsil oronasal
lain, namun menetap hingga dewasa. Makin ke lateral
jaringan limfoid lebih kecil dan makin jarang. Folikel
limfoid ini jumlahnya bervariasi antara 30 100 buah.
Permukaannya dilapisi epitel skuamosa bertingkat dan
terdapat kripta yang dangkal. Sel-sel limfoid sering
mengalami degenerasi dengan deskuamasi sel epitel
dan bakteri membentuk masa detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A.
Lingualis cabang A. Karotis eksterna. Darah vena
dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis
interna. Aliran getah bening menuju ke kelenjar
servikalis profunda. Persarafan melalui cabang lingual
dari N. IX.
2.
2.1

2.2
Tonsila Palatina
Embriologi
Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan
germinal entoderm dan mesoderm, dimana entoderm

akan membentuk bagian epitel, sedangkan mesoderm


akan tumbuh menjadi jaringan mesenkim tonsil.
Pada masa perkembangan janin, faring akan
tumbuh dan meluas ke arah lateral, dimana kantung
kedua akan tumbuh ke arah dalam dinding faring yang
selanjutnya akan menjadi fossa tonsilar primitif yang
terletak antara arkus brakialis kedua dan ketiga. Fossa
tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis
pada minggu keenam belas.

Tonsil Lingualis11

Tonsila Palatina4
Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan
limfoid yang terletak di dalam fossa tonsilaris pada
kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsila palatina lebih padat
dibandingkan
jaringan
limfoid
lain.
Secara
mikroskopik tonsil terdiri dari 3 komponen yaitu
jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel
limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid).13
Keterangan:
1, Epitel skuamosa
2. Epitel reticular
3. Nodus sekunder dengan
zona terang dan zona gelap
yang berisi limfosit kecil
4. Jaringan limfoid dasar
5. Arteriola dan venula
6. Vena postkapiler

Jaringan limfoepitelial 14

Embriologi Tonsil11
Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis
kedua dan ketiga melalui pertumbuhan ke arah dorsal
atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh
secara progresif saat usia janin tiga sampai enam
bulan, sebagai massa yang solid yang tumbuh ke arah
dalam permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh
bercabang-cabang dan berongga. Sedangkan limfositlimfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan
ketiga, lalu tumbuh terorganisir sebagai nodul-nodul
setelah janin berusia enam bulan.
Pertumbuhan
jaringan
limfoid
tonsil
memperlihatkan karakteristik yang dipengaruhi oleh
usia. Pada awal kehidupan sampai masa pubertas
ukurannya akan terus meningkat atau bertambah besar
dan akan mengalami penurunan pada usia dewasa,
serta akan menghilang pada usia lanjut.8
Anatomi Tonsila Palatina

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tonsil palatina berbentuk. Pada saat lahir,


ukurannya sekitar 5 mm pada diameter anteroposterior
dan 3,5 mm pada diameter vertikal, dengan berat
sekitar 0,75 gr. 12 Pada masa anak-anak, tonsila palatina
seakan-akan turun bersama fossanya karena panjang
diameter vertikal lebih cepat bertambah daripada
diameter anteroposteriornya. Berbeda dengan jaringan
limfoid orofaring yang lain, tonsila palatina dilapisi
kapsula faringobasilar. Kapsula tersebut dipisahkan
dari jaringan di sekitarnya oleh jaringan ikat yang
longgar. Sehingga daerah tersebut dapat menjadi
tempat berkumpulnya pus dan menyebabkan abses
peritonsilar. Masing-masing tonsil memiliki 10 30
kripta yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Kripta
tersebut berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di
kutub atas, serting menjadi tempat pertumbuhan
kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk
pertumbuhan kuman, serta karena tersedianya
substansi makanan di daerah tersebut. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang
kosong di atasnya dikenal dengan fosa supratonsilar.5,6

(a) Diagram adenoid


(b) Diagram tonsila palatina. 1, Lakuna; 2, Kripta;
3, Abses pada kripta 13
Fossa tonsilar terletak di lateral orofaring,
yang dibatasi oleh:
Lateral
: M. Konstriktor faring superior
Anterior : M. Platoglosus plika anterior
Posterior
: M. Palatofaringeus plika
posterior
Superior : palatum molle
Inferior : tonsil lingual
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
suatu membran jaringan ikat yang disebut kapsul.
Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya
kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul
adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian
tonsil.5,6
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior
kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang
merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa
tonsil atau terpotongnya pangkal lidah. 5 Plika ini
penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam
fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai
sisa tonsil.
Kutub atas terletak pada cekungan yang
berbentuk bulan sabit, desebut sebagai plika
semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak,
letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut
glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting
paranannya dalam pembentukan abses peritonsil. 5,6
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial
yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran
infeksi tonsil, yaitu:
Ruang Peritonsilar (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir berbentuk segitiga dengan
batas-batas:
Anterior
: M. Palatoglosus
Lateral dan posterior
: M. Palatofaringeus
Dasar segitiga
: kutub atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelanjar salivary Weber, yang
bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsilar
menjadi abses peritonsilar.
Ruang Retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga,
berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh
ramus dan korpus mandibula. Di medial terdapat M.
buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya
terdapat M. pterigoideus internus dan bagian atas
terdapat fasikulus longus M. temporalis. Bila terjadi
abses pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

trismos disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit


dibedakan dengan abses peritonsilar.
Ruang parafaring (ruang faringomaksilar; ruang
pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas, serta
banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila
terjadi abses berbahaya sekali.
Adapun batas-batas ruang ini:
Superior : basis cranii dekat foramen jugulare
Inferior
: os hyoid
Medial
: M. konstriktor faringeus superior
Lateral
: ramus asendens mandibula, tempat
M. pterigoideus interna dan bagian
posterior
kelenjar parotis
Posterior
: otot-otot prevertebra
Ruang parafaring ini terbagi 2 tidak sama
besar oleh prosesus styloideus dan otot-otot yang
melekat pada prosesus styloideus tersebut.
Ruang prestyloid: lebih besar, abses dapat
timbul oleh karena radang tonsil, mastoiditis,
parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
Ruang poststyloid: lebih kecil, di dalamnya
terdapat A. karotis interna, V. jugularis, N. vagus
dan saraf-saraf simpatis.
Vaskularisasi
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh
darah sebagai berikut:
A. palatina asendens, cabang A. fasialis
memperdarahi bagian posterointerior
A. tonsilaris, cabang A. fasialis memperdarahi
daerah anteroinferior
A. lingualis dorsalis, cabang A. maksilaris
interna memperdarahi daerah anteromedia
A. faringeal asendens, cabang A. karotis
eksterna memperdarahi daerah posterosuperior
A. palatina desendens dan cabangnya, A.
palatina mayor dan minor memperdarahi daerah
anterosuperior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus
perikapsular ke V. lingualis dan pleksus venosus
faringeal, yang kemudian bermuara ke V. jugularis
interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum,
menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya
menembus dinding faring.

membengkak dengan hebat, sementara tonsil akan


tenang saja, padahal jarak keduanya hanya 3 4 mm.
Vaskularisasi Tonsil11
Aliran Getah Bening Tonsil
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan
menuju rangkaian getah bening servikal profunda
(deep jugular node) bagian superior di bawah M.
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks
dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferen, sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.5
Persarafan
Terutama melalui N. palatina mayor dan
minor yang merupakan cabang dari N. V2 dan N.
lingualis cabang N. IX. Nyeri pada tonsilitis sering
menjalar ke telinga. Hal ini terjadi karena N. IX juga
mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga
tengah melalui Jacobsons Nerve.

Aliran Limfe Tonsil13

Persarafan Tonsil13
Nodul-nodul Limfatik Soliter
Tersebar pada dinding posterior faring,
dibawah adenoid, melengkapi terbentuknya cincin
Waldeyer. Nodul-nodul ini bila meradang akan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Perbedaan anatomi dan fisiologi adenoid dan tonsil


normal1:
Adenoid
Anatomi Lokasi
Dinding belakang nasofaring
Gross
Bentuk triangular, invaginasi
lipatan dalam dengan beberapa kr
Mikroskopik

Fisiologi

3 jenis sel epitel:


- Pseudoepitel kolumnar bersilia
- Epitel squamosa (Ag)
- Epitel transisional
Tidak ada limfatik aferen
Mukosilier, antigen, imunitas

Perbedaan anatomi dan fisiologi


Adenoid dan Tonsil Normal1
3.

Jaringan Limfoid Hipofaring


Dari beberapa literatur menyebutkan tidak ada
jaringan limfoid yang spesifik di daerah
hipofaring/laring faring ini, seperti halnya di
nasofaring dan orofaring. Hanya disebutkan bahwa
jaringan limfoid tersebut banyak tersebar pada seluruh
permukaan mukosa hipofaring sebagai kumpulan
massa yang kecil-kecil (folikel limfoid).
Mengenai jaringan limfoid daerah laring,
disebutkan memegang peranan penting di dalam klinik,
terutama hubungannya dengan proses keganasan.
Daerah glotis terdiri dari serabut-serabut
elastis, sehingga tidak memiliki jaringan limfoid.
Daerah supraglotis sebaliknya, memiliki jaringan
limfoid yang banyak, terutama pada plika
ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi
anterior plika ariepiglotika dan berakhir sebagai
pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle
neurovaskular laring. Jaringan limfoid ini bertanggung
jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan
kontralateral.
Jaringan infraglotis, tidak sebanyak di
supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi karsinoma
bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan
paratrakeal.
Seluruh jarignan limfoid daerah laring
bermuara ke jaringan limfoid servikal superior dan
inferior dalam.
Fungsi Tonsil dalam Proses Pertahanan Tubuh
Imunologi Tonsil 5, 8, 11
Tonsil dan juga adenoid merupakan jaringan
limfoid yang mengandung sel-sel limfosit 0,1-0,2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50% :
50%, sedangkan di darah 55 75% : 15 30%. Pada
tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas
sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs
(Antigen Presenting Cells) yang berperan dalam proses

transportasi antigen ke sel limfosit, sehingga terjadi


sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil memiliki 2
fungsi utama, yaitu:
1.
Menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif;
2.
Sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Fisiologi Tonsil
Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil
mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal
kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari
udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran
nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu
menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan
dalam menghasilkan IgA, yang menyebabkan jaringan
lokal resisten terhadap organisme patogen.
Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis
tidak mempunyai sentrum germinativum dan biasanya
ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis,
barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid,
yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak
dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks
aktivitas sistem imun.
Terdapat 2 mekanisme pertahanan, yaitu
pertahanan non spesifik dan spesifik.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Mekanisme pertahanan non spesifik berupa
lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk
menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga
menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari
masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman
dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman
ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya
kuman akan mengalami opsonisasi sehingga
menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.
Setelah terjadi proses opsonisasi, maka sel
fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan
memakannya dengan cara memasukkannya dalam
suatu kantung yang disebut fagosom. Proses
selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri.
Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga
terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan
untuk pembentukan superoksidase yang akan
membentuk H2O2 yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang
terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi
di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan
proses oksidasi.
Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom.
Bila fagosit kontak dengan bakteri, maka membran
lisosom akan mengalami ruptur dan enzim

hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk


rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan
bakteri dengan proses digestif.
2.

Mekanisme Pertahanan Spesifik


Merupakan mekanisme pertahanan yang
terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap udara
pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas
bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan
menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap
organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid
juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk
mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel
tersebut mengandung granula yang bersifat mediator
vasoaktif, yaitu histamin.
Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar
benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke
sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari
60 tahun Ig-positif sel B dan sel T sangat berkurang di
semua kompartemen tonsil.

Pemeriksaan Fisik Pada Tonsil


Pemeriksaan tonsil dapat dilakukan dengan
membuka mulut pasien tanpa mengeluarkan lidah, lalu
pertengahan lidah ditekan dengan menggunakan
tongue blade pada 2/3 depan lidah di depan papila
sirkumvalata untuk mencegah reflek muntah. Ukuran
dan posisi lidah bisa menjadi faktor dalam menilai
derajat sumbatan jalan nafas.

1.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Pemeriksaan Tonsil
Klasifikasi Pembesaran Tonsil Palatina
Klasifikasi tingkat pembesaran tonsil yang
sudah dibakukan adalah dengan membandingkan besar
tonsil dengan orofaring pada bidang medial ke lateral
yang diukur diantara pillar anterior.1
- 0
: Tonsil berada di dalam fossa tonsillaris
- 1
: Besar tonsil mengisi < 25% orofaring
- 2
: Besar tonsil mengisi 25 50% orofaring
- 3
: Besar tonsil mengisi 50 75% orofaring
- 4
: Besar tonsil mengisi >75% orofaring

9.

Becker,W. Naumann, HH. Pfalttz, RC.Ear, Nose


and Throart Diseases A Pocket Reference. 2 nd ed
Thieme, 1994.p 312-24, 344-61.

10. Garrna, H. Nataprawira, HM. Rahayuningsih,


SE.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 3. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK UNPAD/RSHS Bandung,2005. P 20508,484-87.
11. Helal, Z. 6-Endoscopic Powered Adenoidectomy.
Melalui
<http//www.geogle
search/image/endoscopic adenoidectomy>.
12. Nave H, Gebert A, Pabst R. Morphology and
immunology of the human palatine tonsil. Anat
Embryol. 2001; 204: 367-73.
Klasifikasi Pembesaran Tonsil.1

DAFTAR PUSTAKA

13. Brandtzaeg P. Immunology of tonsils and


adenoids: everything the ENT surgeon needs to
know. International Congress Series. 2003; 1253:
89-99.

1.

Brodsky, L Poje, C. Tonsillitis, Tonssilectomy,


and Adenoidectomy. In Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 5th ed. Bailey B.J. & Johnson T.J
Volume
one.
Lippincot
Williams
&
WilkinsPhiladelphia, 2006. p. 1184-99.

14. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D.


Imunobiology of the tonsil and adenoid. In
Hanbook of mucosal Immunology. Academic
Press Inc. 1994:625-640.

2.

Balenger, J.J. Disease of the Nose, Throat,Ear,


Head, and Neck, 13th ed. Lou & Febiger,
Philadelphia, 1994.p. 347-57.

15. Alexander M.; Baker F.; Blem L.. Respiratory


System in: Van De Graaff: Human Anatomy,
Sixth Edition The McGrawHill Companies.
2001: 277-280.

3.

Adams, L.G. Penyakit- penyakit Nasofaring dan


Orofaring. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Editor:
Adams, LG. Boeis, RL. Higler, AP. EGC Penerbit
Buku Kedokteran, 1997.h. 320-45.

4.

Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed.


Thieme. Newyork 2003.p.196-210.

5.

Alamsyah,S. Kesesuaian antara gejala klinis


dengan HistopatologiTonsil Pasca Bedah Pada
Tonsilitis Kronik. Tesis. Bagian THT-KL Unpad,
2004.

6.

Cowan, DL. Hibbert, J. Tonsils and Adenoids. In


Scott-Browns Otolaryngology 6th ed Pediatric
Otolaryngology. Editor : Adams, AD. Cinnamond,
JM Butterworth 1997. P.6/16/1-14.

7.

Probst, R et al. Basic Otorrhinolaryngology A


step-by-step Learning Guide, Thieme, 2005.p 98105.

8.

Paparella, MM, Shumrick, DA.Otolaryngology


2nd ed Volume III Head and Neck WB Saunders
Company, 1991. P 2263-99.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

5.3

TONSILITIS

Definisi
Tonsilitis akut adalah infeksi pada tonsil yang Bakteri
disebabkan oleh virus dan bakteri.1 Tonsilektomi
Aerobik
merupakan tindakan pembedahan tertua. Tonsilektomi
merupakan tindakan pengangkatan seluruh jaringan
tonsila
palatina
dari
fossa
tonsilaris.1,2
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil
palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1,2,3,4
Epidemiologi
Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat
Anaerob
penyakit pada tonsil dan adenoid sampai saat ini masih
banyak timbul dan mengenai sebagian besar populasi
masyarakat dunia. Keluhan nyeri tenggorok, infeksi
saluran pernafasan atas dan penyakit telinga banyak
dikeluhkan oleh sebagian besar pasien, terutama anakanak. Infeksi kronisi, berulang, dan hiperplasia
obstruktif merupakan penyakit yang paling sering
mengenai tonsil dan adenoid.1
Penyakit infeksi pada tonsil ini merupakan
kondisi yang sering ditemui di klinik, terbanyak
frekuensinya diderita oleh anak-anak dengan rentang
usia antara 5-10 tahun dan dewasa muda dengan
rentang usia antara 15-25 tahun.5,7,8,9
Di Poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin
Bandung, sampai bulan Juni 2010 didapatkan sebanyak
158 kasus tonsilitis (1,8 %) dan 63 orang (39%)
dilakukan
tindakan
tonsilektomi
atau
tonsiloadenoidektomi.
Tonsil dan adenoid merupakan salah satu
organ penting dalam mekanisme pertahanan tubuh. 1,2
Akan tetapi ada kalanya tonsil tidak cukup kuat untuk
melawan infeksi, sehingga tonsil itu sendiri terinfeksi
atau dikenal dengan istilah tonsilitis. Infeksi pada
tonsil merupakan proses peradangan tonsil yang dapat
disebabkan oleh bakteri dan virus, yang kadang dapat
menimbulkan komplikasi ringan sampai berat, yang
memerlukan pengobatan medikamentosa, bahkan
sampai tindakan bedah.2,3,4
Patogenesis Penyakit Adenotonsiler
Beberapa mikroorganisme yang sering
dijumpai dari hasil kultur pada beberapa penyakit pada
tonsil dan adenoid adalah sebagai berikut:

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Group A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS)


Group B, C, G Streptococcus
Hemophyllus influenza (Tipe B dan non tipe)
Streptococcus pneumonia
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Hemophyllus parainfluenza
Neisseria sp.
Micobacteria sp.
Bacterioides sp.
Peptococcus sp.
Actinomycosis sp.
Epstein Barr
Adenovirus
Influenza A, B
Bakteri dan Virus pada tonsil dan adenoid1

Klasifikasi Klinis Penyakit Tonsil dan Adenoid


Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:1
Infeksi/Inflamasi
Tonsil
Tonsilitis akut
Tonsilitis akut rekuren
Tonsilitis kronis/persisten
Tonsilolithiasis
Adenoid
Adenoiditis akut (Nasofaringitis)
Adenoiditis rekuren
Adenoiditis kronis/persisten
Obstruksi
Nasofaringeal
Orofaringeal
Kombinasi
Neoplasma
Jinak
Kelainan Limfoproliferatif
Hiperplasia papilifer limfoid
Ganas
Penyakit pada Tonsil
1.
Inflamasi Akut pada Tonsil
1.1
Tonsilitis Akut 3,13
Etiologi
Tonsilitis bakteri supuratif akut paling sering
disebabkan oleh grup A Streptococcus beta
hemolyticus.
Meskipun
Pneumococcus,
Staphylococcus dan Haemophylus influenzae, serta
virus patogen juga dapat terlibat. Kadang-kadang
Streptococcus non haemolyticus atau Streptococcus
viridans ditemukan pada biakan, biasanya hanya ada
pada kasus-kasus yang berat.

Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan
tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear, sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.
Secara klinis detritus ini mengisi kripta tonsil dan
tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang
jelas disebut tonsillitis follikularis. Bila bercak-bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur, maka
akan terjadi tonsillitis lacunaris. Bercak detritus ini
dapat melebar, sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.

Tonsilitis Akut1
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorokan, nyeri sewaktu menelan dan
pada kasus berat, penderita menolak makan dan
minum melaui mulut. Biasanya disertai demam dengan
suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi,
tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Rasa nyeri
di telinga ini karena nyeri alih melalui N.
Glossofaringeus.
Seringkali
disertai
adenopati
servikalis disertai nyeri tekan.
Pada
pemeriksaan
tampak
tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran
semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan.
Pada beberapa kasus, infeksi ini dapat
kambuh dan berulang. Bila hal ini terjadi dinamakan
tonsilitis akut rekuren, yaitu dimana kekambuhan
terjadi 4 sampai 7 kali dalam setahun atau 2 kali
kambuh dalam 2 tahun berturut-turut, atau tiga kali
kambuh dalam setahun selama 3 tahun berturut-turut.1
Pengelolaan
Pada umumnya penderita dengan tonsilitis
akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian
cairan adekuat, serta diet ringan. Analgetik oral efektif
untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik dikaitkan
dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin
masih merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat
resistensi atau penderita sensitif terhadap penisilin.
Pada kasus tersebut, eritromisin atau antibiotik spesifik
yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.
Pengobatan sebaiknya diberikan selama 5 sampai 10
hari. Jika hasil biakan didapatkan Streptococcus beta
haemolyticus, terapi yang adekuat dipertahankan
selama 10 hari untuk menurunkan kemungkinan
komplikasi non supuratif, seperti nefritis dan jantung
rematik.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan,


terutama apakah cairan dapat kontak dengan dinding
faring. Oleh karena dalam bebreapa hal cairan tersebut
tidak dapat mengenai lebih dari tonsila palatina. Akan
tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan
berkumur yang dilakukan secara rutin, akan menambah
rasa nyaman pada penderita dan mungkin akan
memengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit.
Tonsilitis Difteri 3,4
Biasanya terjadi di negara berkembang.
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab
tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae,
yaitu kuman yang termasuk gram positif dan hidup di
saluran nafas bagian atas, yaitu hidung, faring dan
laring.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 2 5 tahun, walaupun penyakit ini masih
mungkin terjadi pada orang dewasa.
1.1.1

Gambaran Klinik dan Gejala


Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan,
yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala akitbat
eksotoksin.
Gejala umum seperti juga gejala infeksi lain,
yaitu berupa kenaikan suhu tubuh, biasanya subfebris
pada 38oC, tidak lebih dari 39oC, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan
nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak, ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu (pseudomembran). Membran ini dapat meluas ke
palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus yang dapat menyumbat saluran nafas.
Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
serhingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfe lehaer akan membengkak
sedemikian besarnya, sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.
Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan
oleh kuman difteri ini akan menimbulkan keursakan
jaringan tubuh, yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernafasan/diafragma dan otototot mata. Pada ginjal dapat menimbulkan
albuminuria.

Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan
berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat
langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan akan didapatkan kuman

Corynebacterium diphteriae. Meskipun dengan


perawatan semua gejala klinis telah hilang, tetapi
kuman difteri masih dapat tinggal di dalam tonsil dan
faring. Bahkan kadang-kadang didapat karier difteri
yang tidak pernah timbul gejala penyakitnya.
Pada karier yang ditemukan sebaiknya
diterapi secepatnya. Disusul tindakan tonsilektomi
maupun adenoidektomi.
Terapi 13
Terapi berupa ADS (Anti Diphteri Serum)
untuk menetralisir toksin bebas. Dosis untuk difteri
faring ringan 40.000 U, difteri faring sedang 60.000
80.000 U dan difteri faring berat dengan bullneck
100.000 120.000 U.
Cara Pemberian ADS
Diberikan dengan dosis tunggal yang
dilarutkan dalam 100 200 ml dekstrosa iv dalam
waktu 1 2 jam, sebelumnya dilakukan uji kepekaan.
Uji kepekaan dilakukan dengan pemberian 1
tetes antitoksin, dengan pengenceran 1 : 10 pada
konjungtiva atau 0,02 ml. Penyuntikan intradermal
dengan pengenceran 1 : 100. Bila ada riwayat alergi,
dilakukan pengenceran 1 : 1000. Uji kepekaan (+) bila
ditemukan indurasi > 3 mm pada tempat suntikan
sesudah 20 menit atau timbul konjungtivitis atau mata
berair. Bila uji kepekaan (+) maka ADS disensitisasi
masing-masing dengan interval 20 menit sebagai
berikut:
0,05 ml larutan 1 : 20 s.k
0,10 ml larutan 1 : 20 s.k
0,10 ml larutan 1 : 10 s.k
0,10 ml tanpa pengenceran s.k
0,30 ml tanpa pengenceran i.m
0,50 ml tanpa pengenceran i.m
0,10 ml tanpa pengenceran i.v
Bila tidak ada reaksi alergi, sisa diberikan i.v lambat.
Eradikasi Kuman
Penisilin prokain 25.000 50.000 U/kg BB/hr
i.m tiap 12 jam selama 14 hari, atau bila hasil biakan
medium Loeffler dan medium Tellurite 3 hari berturutturut (-). Eritromisin 40 50 mg/kg BB/hr dibagi
dalam 4 dosis maksimal 2 gr/hr p.o atau i.v tiap 6 jam
selama 14 hari.
Diet makanan lunak yang mudah dicerna
dengan kalori tinggi.
Prednison 1,0 1,5 mg/kg BB/hr/p.o tiap 6
8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

Mononukleosis Infeksiosa
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh
virus Epstein Barr yang penyebarannya terjadi melalui
droplet dengan masa inkubasi 7 9 hari. Hal tersebut
dibuktikan dengan ditemukannya antibodi VEB
melalui tes diagnostik Paul Bunnell, yang merupakan

bukti bahwa terdapat hubungan antara virus Epstein


Barr dengan mononukleosis infeksiosa.4

Mononukleosis Infeksiosa 1
Gambaran Klinik dan Diagnosis
Penderita mengeluh demam dengan suhu
berkisar antara 38o 39oC. Pada pemeriksaan klinis
didapat tonsilofaringitis membranosa, hiperemis dan
terdapat eksudat dengan lifadenopati servikalis, serta
bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut. Kadangkadang ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
Setelah minggu pertama hitung jenis leukosit
mencapai 20.000 30.000/mm3 dengan 80 90% di
antaranya adalah mononuklear limfosit atipikal.12
Terapi
Terapi dengan mengobati gejala dan
penghentian pemberian antibiotik ampisilin, serta
perbaikan kesehatan mulut. Tonsilektomi dilakukan
pada kasus berat dengan gejala lokal seperti obstruksi
jalan nafas, disfagia dan demam yang menetap.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa
paralisis N. VII dan N. IX, meningitis serosa,
ensefalitis, miokarditis, anemia hemolitik, perdarahan
pada saluran cerna. Bercak-bercak perdarahan pada
kulit, hematuri sampai obstruksi jalan nafas.
1.1.3

Candidiasis/Moniliasis/Thrush
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh
jamur Candida albicans. Biasanya timbul pada pasien
dengan penurunan daya tahan tubuh. Gejala berupa
nyeri menelan. Pada tonsil, palatum, dinding posterior
faring, mukosa pipi akan tertutup oleh eksudat mukoid
atau punctata dengan ulkus eritematous. Pengobatan
dengan pemberian antimikosis.12

Candidiasis Infeksiosa 4

1.1.2

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

1.1.4

Vincents
Angina/
Angina
Ulceromembranocea/Trench Mouth
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Spirochaeta, Bacillus fusiform. Penderita mengeluh
nyeri menelan unilateral, disertai pembengkakan

kelenjar getah bening jugulodigastrik ipsilateral. 11


Keluhan disertai bau mulut, ulserasi yang dalam dan
mengenai satu tonsil, disertai membran berwarna abuabu kekuningan yang mudah dilepas dan tidak
berdarah. Keluhan tidak disertai dengan demam.
Pengobatan dengan pemberian penisilin
selama 3 6 hari. Dapat diberikan juga obat kumur.
Tonsilitis Kronis 2,3
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang
paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorok
yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis
kronis adalah rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil
dapat disebabkan oleh kuman Group A Streptococcus
beta haemolyticus, Pneumococcus, Streptococcus
viridans dan Streptococcus pyogenes. Gambaran klinis
bervariasi dan diagnosis sebagian besar tergantung
pada derajat infeksi.

Tonsilitis Kronis Hipertrofikan4


Pengelolaan
Antibiotika spektrum luas, antipiretik dan
obat kumur yang mengandung desinfektan. Pada
keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan
pasien merasa sangat terganggu, maka terapi pilihan
adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi).

1.2

Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal pada
tenggorok, tenggorok terasa kering, nyeri pada waktu
menelan, bau mulut, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak
nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa
nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih (referred
pain) melalui N. Glossopharingeus (N. IX).
Gambaran klinis pada tonsilitis kronis
bervariasi. Diagnosis pada umumnya bergantung pada
inspeksi. Pada dasarnya terdapat 2 gambaran yang
termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:
1.2.1

Tonsilitis Kronis Atrofikan/Fibrotik


Ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi). Di
sekelilingnya hiperemis dan pada kriptanya dapat
keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.
1.2.2

Tonsilitis Kronis Hipertrofikan


Ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi
dan pembentukan jaringan parut. Kripta mengalami
stenosis, dapat disertai dengan eksudat yang sering kali
purulen, yang keluar dari kripta tersebut.
Hasil biakan dari tonsil pada tonsilitis kronis
ini didapatkan bakteri dengan virulensi rendah dan
jarang ditemukan Streptococcus beta haemolyticus.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan
komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronis,
sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dapat timbul. Pada jantung dapat berupa
endokarditis, pada sendi dan otot berupa arthritis,
miositis, pada ginjal berupa nefritis, pada berupa
uveitis, iridosiklitis, pada kulit dapat berupa dermatitis,
pruritus, urtikaria dan furunkulosis.
Tonsilitis TBC 12
Dapat terjadi sebagai penyakit primer atau
sekunder setelah penyakit aktif dalam paru-paru.
Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Keluhan berupa nyeri saat menelan, otalgi disertai
pembengkakan kelenjar getah bening servikal.
Pada mukosa faring dan tonsil ditemukan
ulserasi yang mengandung tuberkel bakteri tahan asam.
Pada pemeriksaan apus tenggorok ataupun biopsi pada
tonsil ditemukan bakteri tahan asam.
Pengobatan
dengan
tonsilektomi
dan
pemberian OAT (obat antituberkulosis).
1.2.3

Tonsilitis Sifilitik 2,10,12


Disebabkan oleh Treponema pallidum. Masa
inkubasi rata-rata 3,5 minggu. Tekak dan faring
merupakan tempat kedua setelah kulit, terutama dalam
stadium kedua. Hal ini dapat dijelaskan dengan
terdapatnya sejumlah besar kelenjar limfoid, gesekan
berlebihan dan gabungan jaringan embriologis yang
komplek di daerah ini. Sifilis kongenital lebih sering
terdapat dalam faring.
Terdapat beberapa tahap gejala yang timbul:
Sifilis primer adanya syanker/lesi/ulkus pada bibir,
tonsil, anterior lidah dan mukosa pipi. Setelah
beberapa hari ulukus menjadi tidak nyeri dan keras
(ulkus durum). Biasanya lesi menghilang dan sembuh
spontan setelah 3 6 minggu.
Pada sifilis sekunder gejala dimulai pada 8
sampai 10 minggu setelah infeksi. Papula mukosa
merah gelap kehitaman pada tonsil, pillar faucial dan
palatum.
Sifilis tersier ditandai adanya gumma.
Biasanya terjadi pada 3 25 tahun setelah infeksi
primer. Adanya nodus infiltrat pada mulut, bibir, lidah,
palatum dan tonsil. Lesi tersebut bersifat destruktif
terhadap jaringan lunak ataupun tulang.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan kultur
iluminasi dan tes serologi positif setelah 4 minggu
1.2.4

pada sifilis primer dan sekunder. Treponema


immobilization test (Nelsons test) positif setelah 9
minggu. Pada stadium tersier reaksi serologis akan
positif.
Pengobatan dengan penisilin cukup efektif,
murah dan aman. Dosis 0,03 U/ml selama 10 20 hari.
Dapat juga diberikan tetrasiklin atau eritromisin 4 x
500 mg/hari.

Tonsilitis Sifilis Sekunder 4


1.2.5

Tonsil Hiperplasia Obstruktif


Pembesaran tonsil yang menyebabkan suara
mendengkur dengan gangguan obstruksi, baik pada
saat tidur ataupun terbangun. Keluhan disertai dengan
tidak dapat menelan, perubahan pada bentuk wajah dan
perubahan pada saat bersuara menjadi suara hidung
(muffling atau hypernasality).
Biasanya
disebabkan
oleh
infeksi
mikrobakteri atipikal dan aktinomikosis.

Komplikasi Tonsilogenik 13
Abses Peritonsiler (Quincy)1
Merupakan pus yang tertampung di antara
kapsul tonsil. Dapat timbul sebagai komplikasi
tonsilitis kronis atau berulang. Tapi dapat timbul juga
tanpa didahului oleh tonsilitis akut. Pasien
mengeluhkan adanya nyeri faring unilateral,
odinofagia, disfagia, drooling, trismus, nafas berbau
dan demam. Pasien juga sulit bicara, kadang bicara
seperti hot potato voice. Trismus karena peradangan
otot mastikator dan otot pterygoid.
Dari pemeriksaan fisik didapat adanya
dehidrasi, trismus, deviasi uvula, pembengkakan tonsil
dan palatum. Secara bakteriologis, abses peritonsiler
ditandai dengan infeksi bakteri campuran yang
melibatkan bekteri aerob, seperti Streptococcus
pyogenes dan Staphylococcus aureus maupun bakteri
anaerob seperti Bacteroidaceae.
Bila tidak cepat ditangani abses peritonsiler
dapat menyebar menjadi abses parafaringeal yang
nantinya dapat menyebar jauh ke mediastinum dan
menyebabkan mediastinitis. Jika telah terbentuk abses
memerlukan tindakan drainase, baik dengan teknik
aspirasi jarum atau dengan teknik insisi drainase.
1.

Tonsil Hiperplasia Obstruktif4

Keterangan:
Skalpel
A. karotis interna
V. jugularis interna

Hipertrofi Tonsil4
Komplikasi Tonsilitis2
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tonsilitis
di antaranya adalah abses peritonsiler, abses parafaring
dan abses retrofaring.

Keterangan:

Abses Peritonsilar4

V. jugularis interna
N. Vagus
A. karotis interna

2.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Abses Parafaring 1

Abses ini terjadi bila pus mengalir dari tonsil atau


abses peritonsilar melalui M. konstriktor superior.
Terbanyak berasal dari infeksi tonsil, gigi, faring dan
adenoid. Gejala klinik berupa nyeri tenggorok, demam,
kaku pada leher, pembengkakan kelenjar getah bening
dan
parotis.
Infeksi
dapat
terjadi
pada
anterior/prestyloid dan posterior/poststyloid.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah
pemberian antibiotik berdasarkan hasil kultur dan
resistensi kuman selama 10 hari. Dilakukan insisi dan
drainase terhadap abses.
Abses Retrofaring 1
Penyebab tersering abses retrofaring adalah
proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus
paranasalis yang mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaringeal. Biasanya mengenai anak-anak. Gejala
klinik berupa demam, pembengkakan leher disertai
nyeri, odinofagia dan disfagia, sesak sampai sepsis.
Pengobatan diberikan dengan pemberian
antibiotik, insisi drainase dan trakeostomi bila terjadi
gangguan pada jalan nafas.

Tonsilektomi perlu dilakukan untuk menghilangkan


fokus infeksi, pengikatan V. jugularis interna di
inferior trombus dan dilakukan pemotongan bila perlu,
serta insisi dan drainase abses di jaringan lunak.

Keterangan:
Penyebaran melalui vena
Penyebaran melalui kelenjar limfe
V. jugularis interna
4.
Kel limfe di sekitar V. jugularis
interna
Penyebaran perkontinuitatum

3.

Sepsis 13
Komplikasi ini ditandai oleh demam, tegang
di sepanjang V. jugularis interna yang dapat diraba di
bawah sudut anterior M. sternocleidomastoideus, atau
tegang pada kelenjar limfe jugulodigastrikus. Kadang
timbul kemerahan pada daerah tonsil.
Gambaran apus darah tepi menunjukkan
pergeseran ke kiri (leukositosis), splenomegali dan
adanya kemungkinan penyebaran ke paru, kulit atau
hati, dengan lidah kering dan nadi teraba cepat dan
lemah.
Bakteri dari infeksi pada tonsil dapat
memasuki aliran darah dari tonsil atau melalui pus
yang menyebar. Terdapat 3 cara kemunkinan terjadinya
sepsis:
1.
Hematogen, melalui vena tonsil dan fasial ke
V. jugularis interna. Terjadi troboplebitis pada vena
dan menyebabkan terjadinya trombus yang
terinfeksi memasuki sirkulasi paru dan tubuh.
2.
Limfogen, melalui kelenjar limfatik eferen
tonsil ke kelenjar limfe regional dan sepanjang V.
jugularis interna. Vena tersebut mengalami infeksi
dan penyebaran selanjutnya seperti jalur
hematogen.
3.
Penyebaran langsung dari abses di dalam atau
di sekitar tonsil dengan terjadinya ruptur abses
tersebut ke rongga parafaringeal atau ke jaringan
lunak servikal dengan keterlibatan V. jugularis
interna.
Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan fisik
yang menyokong terjadinya septikemia, adanya
riwayat dan gejala tonsilitis kronis. LED meningkat
dan terdapat leukositosis.
Bila sepsis terjadi harus diberikan segera
penisilin dosis tinggi atau antibiotika spektrum luas
untuk mencegah perjalanan infeksi lebih lanjut.
4.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tonsila palatina

Patogenesis sepsis tonsilogenis 14

Penyakit Lain yang Menyerupai Tonsilitis


1.
Agranulositosis
Merupakan penyakit leukopoietik yang jarang
terjadi, yang disebabkan karena keracunan obat
golongan amidopirin, sulfa dan arsen. Gejala yang
timbul berupa demam tinggi, sakit kepala dan sakit
menelan. Pada pemeriksaan tonsil tampak ulserasi dan
nekrosis dengan warna membran eksudat kehitaman.
Pada pemeriksaan laboratorium darah tampak
gambaran leukopeni dengan granulosit yang sangat
sedikit.
Pengobatan berupa eliminasi obat yang
menjadi penyebab leukotoksik, menghindari terjadinya
trauma, mencegah timbulnya infeksi sekunder dengan
pemberian antibiotika golongan penisilin dosis tinggi,
transfusi darah dan menjaga kebersihan rongga mulut.
2.

Tonsilolith
Merupakan sumbatan berupa butiran partikel
seperti pasir berwarna kuning yang mengisi kripta
tonsil. Biasanya lebih sering terjadi pada dewasa.
Terjadi karena serangan tonsilitis berulang. Keluhan
berupa pembengkakan di sekitar kripta dan sensasi
benda asing. Pengobatan berupa tonsilektomi.
3.

AIDS/Sindroma HIV
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
Retrovirus HIV yang dapat dideteksi dengan antibodi
HIV dalam serum melalui tes penapisan (ELISA).
Gejala yang timbul 35 40% bermanifestasi
di telinga, hidung dan tenggorok. Berupa sarkoma
kaposi disertai hairy leukoplakia pada lidah. Biasanya
disertai dengan limfadenopati servikal, kandidiasis,
herpes simplex dan herpes zooster, sinusitis, tonsilitis,
gingivitis, faringitis, esofagitis, disertai penurunan
pendengaran. Gejala umum yang menyertai adalah
demam, anoreksia, sakit kepala, diare dan penurunan
berat badan.

Pengobatan spesifik untuk virus penyebab


belum ditemukan.

menimbulkan gangguan mekanik. Tidak terdapat


sekret. Gejala hampir serupa dengan tonsilitis
hipertrofikan. Terapi berupa pembedahan untuk
membuang tumor.
Penyakit Adenoid
1.
Adenoid Hiperplasi Obstruktif 1 ,2, 11
Terdapat 3 gejala hidung tersumbat kronis
disertai mendengkur dan bernafas lewat mulut,
rhinorrhoe dan suara hidung.

AIDS dengan Candidiasis4

Hairy Leukoplakia4
Leukemia Limfoblastik Akut13
Merupakan penyakit keganasan pada alat
pembuat sel darah berupa proliferasi patologis sel-sel
hematopoietik muda seri limfoblas yang ditandai
dengan adanya kegagalan sumsum tulang pembentuk
sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan
tubuh lainnya. Penyebabnya tidak diketahui pasti.
Diduga berhubungan dengan faktor genetik,
lingkungan, infeksi virus dan defisiensi imunologis.
Pada pemeriksaan didapatkan penderita pucat,
lemah, lesu disertai demam atau infeksi berulang atau
menetap dan adanya perdarahan.11 Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tonsil membesar disertai ulserasi dan
nyeri hebat. Keluhan disertai juga dengan membran
kotor pada gusi, rongga mulut dan faring. Didapatkan
juga limfadenopati dan hepatosplenomegali.2,10
Dari hasil laboratorium sel darah tepi
ditemukan anemia, granulositopenia dan limfoblas >
3%. Pada sumsum tulang terlihat selularitas
meningkat, didominasi oleh limfoblas > 25%.2
4.

Fibroma Tonsil 2
Fibroma tonsil pada pria dan wanita
ditemukan sama banyaknya. Lebih banyak ditemukan
pada anak daripada dewasa. Merupakan tumor jinak
yang jarang menjadi ganas, biasanya unilateral dengan
pertumbuhan lambat.
Fibroma dapat bertangkai atau tidak
bertangkai. Makin luas fibroma, semakin besar
tangkainya. Lebih sering tunggal daripada multipel.
Karena berasal dari jaringan ikat, maka sering
mengalami degenerasi kistik, keras dan mengandung
sedikit pembuluh darah. Tumor ini kadang melekat di
tonsil atau jaringan ikat sekitar tonsil akibat
peradangan tonsil berulang. Gangguan jarang terasa
kecuali jika bertangkai dan besar, sehingga

Gejala adenoid hiperplasia


Penderita juga memiliki wajah adenoid yang
khas, yaitu mulut yang selalu terbuka, bagian tengah
wajah datar, tampak hidung kecil, gigi insisivus ke
depan (prominen), arkus faring tinggi yang
menyebabkan kesan wajah pasien tampak bodoh dan
sering disertai gangguan ventilasi dan drainase sinus
paranasalis, sehingga menimbulkan sinusitis kronis. Di
bawah bola mata pasien juga akan tampak lingkaran
hitam.1,2
Akibat dari hiperplasi ini akan timbul
sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius yang
dapat menyebabkan terjadinya otitis media akut
berulang, otitis media kronis dan akhirnya menjadi
otitis media supuratif kronis. Selain itu pasien juga
akan mengalami gangguan tidur, tidur mendengkur,
retardasi mental dan pertumbuhan fisik terhambat.

5.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Hiperplasia Adenoid1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan
gejala klinis, pemeriksaan rhinoskopi anterior dengan
melihat tertahannya gerakan velum palatum molle
pada waktu fonasi.
Terapi berupa bedah adenoidektomi dengan
cara kuretase memakai adenotom.

Wajah Klasik Adenoid11


Adenoiditis Akut (Tonsilitis Faringeal) 10
Adenoid sering terinfeksi apabila terjadi
infeksi pada tonsil, jaringan limfoid sepanjang dinding
lateral faring. Mikroorganisme yang menginfeksi
biasanya sama dengan yang ditemukan pada infeksi
tonsil.
Pada pasien dengan adenoiditis primer
keluhan berupa nyeri tenggorok mulai dari yang ringan
sampai tidak dapat menelan. Keluhan disertai demam,
malaise, nyeri kepala dan sinusitis karena obstruksi
pada koana posterior. Dapat juga dikeluhkan
pendengaran berkurang dan otalgia karena obstruksi
tuba eustachius.
Pada pemeriksaan tenggorok tampak merah,
edema pada jaringan limfoid faring dengan pustula dan
mukopus. Gejala sering disertai dengan adenopati
servikal.
Pengobatan sama dengan pada tonsilitis akut.
Pemberian cairan yang adekuat, istirahat, menjaga
kebersihan mulut dan pemberian analgetik.
Dekongestan dan antihistamin dapat diberikan sesuai
kultur dan resitensi atau diberikan antibiotik spektrum
luas. Pengobatan adenoiditis yang tidak selesai dapat
menyebabkan kekambuhan.
2.

3.

Adenoiditis Kronis
Biasanya karena pengobatan adenoiditis akut
yang tidak selesai atau gagal. Kondisi ini disertai
rhinosinusitis purulen atau bersama dengan tonsilitis
kronis. Inflamasi bisa disebabkan bekteri atau virus.
Gejala dapat disertai dengan rhinorrhea, sinusitis, serta
keluhan pada telinga tengah.
Pemeriksaan pada nasofaring ditemukan
hiperplasia pada jaringan limfoid nasofaring, disertai
inflamasi kronis dan sekret mukopurulen.
Tonsilektomi dan Adenoidektomi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat
tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis
lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa
meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan
sekitarnya, seperti uvula dan pilar tonsil.1,2
Adenoidektomi adalah tindakan operasi untuk
mengangkat adenoid (tonsila faringeal) di daerah
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

nasofaring tanpa melukai otot faring dan torus


tubarius.1,4
Indikasi absolut tonsilektomi:10
a.
Episode tonsilitis akut berulang lebih dari 3
kali dalam 1 tahun
b.
Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi
akut, tapi merupakan fokal infeksi
c.
Pasca abses peritonsiler
d.
Karier difteri
e.
Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
f.
Pembesaran tonsil yang dapat menyebabkan
obstruksi pernafasan/Obstructive Sleep Apneu
Syndrome (OSAS)1 atau gangguan menelan
(abnormal swallowing)1
g.
Dicurigai adanya keganasan pada tonsil
Indikasi absolut untuk adenoidektomi:10
a.
Penyakit telinga tengah sekunder akibat
obstruksi tuba eustachius
b.
Adenoid hipertrofi yang menyebabkan
obstruksi pernafasan
c.
Sinusitis oleh karena obstruksi ostium sinus
akibat kelainan adenoid
d.
Nasofaringitis menetap dengan gejala paa
hidung, seperti rhinorrhea, suara sengau atau
nafas berbunyi

Indikasi relatif untuk tonsiloadenoidektomi:10


a.
Nyeri tenggorok berulang
b.
Otalgia berulang
c.
Rhinitis kronis
d.
Infeksi saluran nafas berulang
e.
Tonsil yang besar atau dengan debris
f.
Limfadenopati servikal
g.
Tonsilitis TBC atau adenitis TBC
h.
Penyakit
sistemik
akibat
infeksi
Streptococcus beta haemolyticus (rheumatic
fever, rheumatic heart disease)
Kontraindikasi10
Absolut:
a.
Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik,
hemofilia dan purpura
b.
Penyakit sistemik yang tidak terkontrol:
diabetes mellitus, penyakit jantung, dll.
Relatif:
a.
Palatoschizis
b.
Anemia (Hb < 10 gr% atau HCT < 30%)
c.
Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak
termasuk abses peritonsiler)
d.
Poliomielitis epidemik
e.
Usia di bawah 3 tahun
Persiapan operasi10
Terutama keadaan organ-organ vital, seperti jantung,
paru-paru dan ginjal.

1.

2.

Pemeriksaan darah: hemoglobin, jumlah


leukosit, trombosit, PT, aPTT, ureum, kreatinin,
kadar gula darah, natrium dan kalium
Pemeriksaan urine rutin
Pemeriksaan radiologis: foto toraks
Pemeriksaan EKG, khususnya untuk usia > 40
tahun

Perawatan Preoperatif:10
Untuk penderita yang akan dioperasi dengan
narkosa umum, disarankan dirawat dan dipuasakan
sedikitnya 6 jam sebelum operasi untuk orang dewasa,
sedangkan untuk anak-anak cukup 4 jam. Pemberian
sedatif sebelum tidur mungkin dapat memberikan
ketenangan dan menghilangkan perasaan takut atau
stres operasi, membantu mencegah terjadianya cardiac
inhition dan menekan aktivitas sekresi dari kelenjar
mukus traktus respiratorius bagian atas dan bawah.
Biasanya digunakan 2 macam obat, yaitu sedatif dan
drying agent. Untuk operasi dengan anestesi lokal
tidak ada persiapan khusus.
Dikenal 2 macam anestesi dalam operasi
tonsil, yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.10
Anestesi Lokal
- Biasanya dilakukan pada orang dewasa atau
pasien yang kooperatif
- Penderita duduk tegak saling berhadapan
dengan operator. Dilakukan tahapan: rongga
mulut disemprot dengan anestesi topikal,
xylocain
2%.
Kemudian
dilakukan
penyuntikan lidocain 2% sebanyak 10 cc
dengan pembagian 3 cc di kutub atas tonsil, 3
cc di daerah tengah tonsil dan 4 cc di kutub
bawah tonsil.
- Keuntungan: mudah, murah dan praktis.
- Kerugian: rasa kurang nyaman bagi penderita
dan operator, adanya bahaya aspirasi oleh
karena posisi penderita duduk.
Anestesi Umum
- Dilakukan pada semua pasien anak dan orang
dewasa yang tidak kooperatif
- Menggunakan eter, nitrous oxyde atau vinyl
ether.
Beberapa metode tonsilektomi:
a.
Metode Guillotine Sluder-Ballenger
Metode ini terutama digunakan pada anak-anak
oleh karena fossa tonsilaris pada anak-anak masih
kecil, serta perlekatan antara kapsul tonsil ke M.
konstriktor faringeus masih longgar. Posisi
penderita sama seperti pada metode diseksi, tetapi
jenis anestesi yang biasanya diguanakan adalah
open drops.
b.
Metode Diseksi10
Metode Dissection-Snare. Cara ini adalah yang
paling sering digunakan untuk tonsilektomi. Dapat
dilakukan dengan anestesi umum atau lokal.
c.
Electrosurgery (Bedah Listrik)1
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

d.

e.

f.

g.

Teknik bedah listrik yang paling umum adalah


monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan
prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W
untuk memotong, menyatukan atau untuk
koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya
teknik yang dapat melakukan tindakan memotong
dan hemostasis dalam satu prosedur.
Radiofrekuensi1
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan
langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar
ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4 6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume
jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga
dapat terjadi bila energi radiofrekuensi dapat
diberikan pada medium penghantar, seperti
larutan salin. Partikel yang terionisasi pada
daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Oleh karena
proses ini terjadi pada suhu rendah (40o 70o C),
mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Coblation1
Teknik coblation dikenal juga dengan nama
plasma-mediated tonsillar ablation; ionised field
tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar
ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold
tonsillar ablation.
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe
untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi
(radiofrequency electrical) baru melalui larutan
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan
sekitar.
Skalpel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi
ultrasonik untuk memotong dan mengoagulasikan
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan
elektrokauter atau laser, pemotongan dan
koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi
agar tekanan gas dapat memecah sel tersebut
(biasanya 150o 400o C). Sedangkan dengan
skalpel harmonik, temperatur yang ditimbulkan
oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50 o 100o
C).
Intracapsular Partial Tonsillectomy1
Intracapsular
tonsillectomy
merupakan
tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan
microdebrider
endoscopy.
Meskipun microdebrider endoscopy bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang
dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini
dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.

h.

Keuntungan teknik ini adalah angka kejadian


nyeri dan perdarahan pascaoperasi lebih rendah
dibandingkan dengan tindakan tonsilektomi
standar.
Laser (CO2-KTP)
Laser Tonsil Ablation (LTA) menggunakan CO2
atau KTP (Potassium Titanyl Phospate) untuk
menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.
Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren. LTA
dilakukan selama 15 20 menit dan dapat
dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal.
Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal,
morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia
pascaoperasi
berkurang.
Teknik
ini
direkomendasikan untuk tonsilitis kronis dan
rekuren, sore throat kronis, halitosis berat atau
obstruksi jalan nafas yang disebabkan
pembesaran tonsil.

3.

4.
Adenoidektomi dapat dilakukan bersamaan
dengan pengangkatan tonsil. Dalam hal ini diperlukan
anestesi yang sempurna agar terjadi relaksasi palatum
dan M. konstriktor faringeus superior, sehingga
memudahkan dilakukannya operasi.
Teknik adenoidektomi dapat dilakukan
dengan kuretase dan dengan endoskopi dengan
menggunakan microdebrider.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:1
1.
Perdarahan
Komplikasi perdarahan dapat terjadi selama
operasi berlangsung atau segera setelah penderita
meninggalkan kamar operasi (24 jam pertama
pascaoperasi). Bahkan meskipun jarang terjadi,
pada hari ke-5 7 pascaoperasi dapat terjadi
perdarahan disebabkan oleh terlepasnya membran
jaringan granulasi yang terbentuk pada
permukaan luka operasi, karena infeksi di fossa
tonsilaris atau trauma makanan keras.
Untuk mengatasi perdarahan dapat dilakukan
ligasi ulang, kompresi dengan gaas ke dalam
fossa, kauterisasi atau penjahitan ke pilar dengan
anestesi lokal atau umum.
2.
Infeksi
Luka opersi pada fossa tonsilaris merupakan port
dentre bagi kuman, sehingga merupakan sumber
infeksi. Dapat terjadi faringitis, servikal adenitis,
trombosis vena jugularis interna, otitis media,
pada kasus sistemik dapat terjadi endokarditis,
nefritis dan poliarthritis. Bahkan pernah
dilaporkan adanya meningitis, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi pada paru-paru, seperti pneumonia,
bronkitis dan abses paru terjadi karena aspirasi
sewaktu operasi. Abses parafaring dapat timbul
akibat suntikan pada waktu anestesi lokal.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

5.

6.

Pengobatan komplikasi infeksi adalah dengan


pemberian antibiotik yang sesuai dan pada abses
parafaring dilakukan insisi drainase.
Nyeri Pascaoperasi
Dapat terjadi nyeri tenggorok yang dapat
menyebar ke telinga akibat iritasi ujung saraf
sensoris dan dapat pula menyebabkan spasme
faring. Sementara dapat diberikan analgetik dan
selanjutnya
penderita
segera
dibiasakan
mengunyah untuk mengurangi spasme faring.
Dapat juga terjadi elongated styloid processus,
dimana ujung prosessus styloid masuk ke fossa
tonsilaris, hingga timbul rasa nyeri sewaktu
mengunyah, yang dikenal dengan Eagle
Syndrome. Apabila A. karotis terkena, dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman di daerah
parietal dan mata. Pengobatan berupa injeksi
kortikosteroid pada daerah yang tertusuk dan
pembedahan untuk memperpendek ujung styloid
tersebut.
Trauma Jaringan Sekitar Tonsil
Manipulasi terlalu banyak saat opersi dapat
menimbulkan kerusakan yang mengenai pilar
tonsil, palatum molle, uvula, lidah, saraf dan
pembuluh darah. Edema palatum molle dan uvula
adalah komplikasi yang paling sering terjadi.
Perubahan Suara
Otot palatofaringeus berinsersi pada dinding atas
esofagus, tetapi bagian medial serabut otot ini
behubungan dengan ujung epiglotis. Kerusakan
otot ini dengan sendirinya akan menimbulkan
gangguan fungsi laring, yaitu perubahan suara
yang bersifat temporer dan dapat kembali lagi
dalam tempo 3 4 minggu.
Komplikasi Lain
Biasanya sebagai akibat trauma saat operasi,
yaitu patah atau copotnya gigi, luka bakar di
mukosa mulut karena kauter dan laserasi pada
lidah karena mouth gag. Pernah dilaporkan
terjadinya fraktur kondilus mandibula karena
pemasangan mouth gag yang terlalu kuat,
malposisi tube endotrakeal dan stenosis
nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Brodsky, L Poje, C. Tonsillitis, Tonssilectomy,


and Adenoidectomy. In Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 5th ed. Bailey B.J. & Johnson T.J
Volume one. Lippincot Williams &
WilkinsPhiladelphia, 2006. p. 1184-99.

2.

Balenger, J.J. Disease of the Nose, Throat,Ear,


Head, and Neck, 13th ed. Lou & Febiger,
Philadelphia, 1994.p. 347-57

3.

Adams, L.G. Penyakit- penyakit Nasofaring dan


Orofaring. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Editor:
Adams, LG. Boeis, RL. Higler, AP. EGC Penerbit
Buku Kedokteran, 1997.h. 320-45

4.

Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed.


Thieme. Newyork 2003.p.196-210

5.

Alamsyah,S. Kesesuaian antara gejala klinis


dengan HistopatologiTonsil Pasca Bedah Pada
Tonsilitis Kronik. Tesis. Bagian THT-KL Unpad,
2004

6.

Cowan, DL. Hibbert, J. Tonsils and Adenoids. In


Scott-Browns Otolaryngology 6th ed Pediatric
Otolaryngology. Editor : Adams, AD. Cinnamond,
JM Butterworth 1997. P.6/16/1-14

7.

Probst, R et al. Basic Otorrhinolaryngology A


step-by-step Learning Guide, Thieme, 2005.p 98105

8.

Paparella, MM, Shumrick, DA.Otolaryngology


2nd ed Volume III Head and Neck WB Saunders
Company, 1991. P 2263-99

9.

Becker,W. Naumann, HH. Pfalttz, RC.Ear, Nose


and Throart Diseases A Pocket Reference. 2nd ed
Thieme, 1994.p 312-24, 344-61

10. Garrna, H. Nataprawira, HM. Rahayuningsih,


SE.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 3. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK UNPAD/RSHS Bandung,2005. P 20508,484-87.
11. Helal, Z. 6-Endoscopic Powered Adenoidectomy.
Melalui
<http//www.geogle
search/image/endoscopic adenoidectomy
12. Nave H, Gebert A, Pabst R. Morphology and
immunology of the human palatine tonsil. Anat
Embryol. 2001; 204: 367-73.
13. Brandtzaeg P. Immunology of tonsils and
adenoids: everything the ENT surgeon needs to
know. International Congress Series. 2003; 1253:
89-99.
14. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D.
Imunobiology of the tonsil and adenoid. In
Hanbook of mucosal Immunology. Academic
Press Inc. 1994:625-640.
15. Alexander M.; Baker F.; Blem L.. Respiratory
System in: Van De Graaff: Human Anatomy,
Sixth Edition The McGrawHill Companies.
2001: 277-280.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

KARSINOMA NASOFARING
Latar Belakang
Tumor kepala leher meliputi tumor yang
tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan
medula spinalis. Tumor di daerah kepala dan leher
digabungkan menjadi satu kategori tumor kepala leher
karena mempunyai satu kesamaan etiologi, cara
penyebarannya, metode pemeriksaan diagnostik,
pengobatan, dan rehabilitasi. Dibandingkan
pertumbuhan tumor ganas di tempat lain, tumor kepala
leher tidak banyak dijumpai.1,2
Insidensi tumor kepala leher sangat bervariasi.
Di dunia ditemukan lebih dari 500.000 kasus dengan
tingkat mortalitas sebanyak 270.000 kasus per tahun,
dan umumnya terjadi di negara berkembang.1,2 Di
Eropa dan Amerika Serikat, tumor kepala leher
merupakan salah satu keganasan yang jarang terjadi,
dengan prevalensi 5-10% dari seluruh tumor,
sedangkan di negara lain seperti India, prevalensinya
mencapai 45%.3,4
Bagian Patologi Badan Registrasi Kanker
Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI,
mendapatkan tumor kepala leher di urutan ke empat
dari sepuluh besar keganasan serta urutan ke dua dari
sepuluh keganasan pada laki-laki.1
Hampir 60% tumor ganas kepala leher
merupakan karsinoma nasofaring (KNF), diikuti oleh
karsinoma sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam
prosentase rendah. KNF menduduki urutan keempat
dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim,
payudara, dan kulit.5
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di
berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di
17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru
setiap tahun, di Rio de Janeiro 16 kasus baru, di
Nigeria 12 kasus baru, sedangkan di Israel hanya
ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang
sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146
kasus setiap tahun.6
Insidensi KNF yang paling tinggi adalah pada
ras Mongoloid di Asia dan China Selatan, dengan
frekuensi 100 kali dibanding frekuensi KNF pada ras
Kaukasia. Prevalensi KNF di Provinsi Guangdong
China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.6,7,8
Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per
100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H.
Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF
paling banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7%
dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan,
ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9 Dari
seluruh penderita yang menjalani radioterapi di
Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo selama
periode tahun 1991-1997 tercatat

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

749 penderita KNF baru, dan angka ini menempati


peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta
selama periode 1988-1992 didapatkan kasus KNF
sebanyak 71,77% di antara 712 tumor ganas tubuh, dan
kebanyakan penderita KNF tersebut datang pada
stadium lanjut.11 Di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
KNF menempati urutan pertama dari seluruh tumor
ganas di daerah kepala dan leher.12
KNF berasal dari epitel nasofaring. Penyebab
utamanya adalah virus Epstein-Barr. Biasanya tumor
ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat
meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak.
Gejala utama biasanya terjadi pada leher, hidung, dan
telinga.3,6,13
Sebagian besar penderita KNF berumur di atas
20 tahun, dengan umur paling banyak antara 5070
tahun. Insidensinya meningkat setelah umur 20 tahun
dan tidak ada lagi peningkatan setelah umur 60 tahun.
Sedangkan berdasaran jenis kelamin, ditemukan
kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada lakilaki. Dari beberapa penelitian, ditemukan
perbandingan penderita laki-laki dan perempuan
adalah 2 sampai 4 : 1.6
Gejala yang timbul pada KNF biasanya
berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan
stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah yang
sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali
sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium
lanjut. Kadang-kadang penderita datang dengan gejala
KNF stadium dini, tetapi gejala yang dikeluhkan sangat
umum seperti flu, rinitis atau sinusitis sehingga tidak
terpikir oleh pemeriksa. Hal ini sangat disayangkan,
karena kesalahan ini akan sangat merugikan. Oleh
karena itu harus dilakukan berbagai upaya agar dapat
menemukan penderita KNF sedini mungkin agar
prognosis lebih baik.14,15
Kasus kanker di Indonesia termasuk karsinoma
nasofaring dari tahun ke tahun semakin menunjukkan
peningkatan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya
usia harapan hidup dan perubahan pola hidup
masyarakat kita, seperti kebiasaan menggunakan rokok
dan alkohol yang merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya tumor maupun kanker.16 Selain faktor risiko,
informasi lain seperti faktor usia, riwayat pekerjaan,
stadium tumor, dan jenis terapi juga perlu diketahui
untuk pencegahan secara dini, pengenalan, dan
penanggulangan kasus kanker pada masyarakat secara
luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid
yang terletak di belakang rongga hidung, superior dari

soft palate dengan diameter anteroposterior 2-4 cm dan


tinggi 4 cm. Nasofaring dibagi dalam beberapa regio,
yaitu dinding anterior, posterosuperior, dan lateral.
Pada bagian anterior, nasofaring berhubungan dengan
rongga hidung melalui bagian posterior dari koana dan
di dinding lateral berisi muara tuba Eustachius dan
fossa Rosenmuller (resesus faringeal) yang berbatasan
dengan dinding posterolateral. Dinding posterolateral
berisi jaringan adenoid yang di belakangnya
berbatasan dengan fasia prevertebralis.4,17

5.Parapharyngeal Space, 6.Fossa Rossenmuller,


7.Stiloid Prosesus, 8.Rouviere Node,
9.Retropharyngeal Space)
Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri
karotis eksternal, sedangkan drainase vena adalah
melalui pleksus faring ke vena jugular internal.
Persarafan nasofaring berasal dari cabang saraf kranial
V2, IX, dan X, serta saraf simpatik.4

Anatomi Nasofaring4
Fossa Rosenmuller merupakan area yang
menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma
nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis
dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat
penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis
serta prognosis. Area-area tersebut adalah17 :
Anterior
: tuba Eustachius
Antero-lateral
: otot levator veli palatini
Posterior
: retropharyngeal space
Superior
: foramen laserum di bagian
medial, apeks petrosus dan
kanalis karotikus di bagian
posterior, serta foramen
ovale dan spinosum di
bagian anterolateral
Lateral
: otot tensor veli palatini dan
pharyngeal space
Inferior
: otot konstriktor superior

Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus


morgagni17 (A:Pharyngobasilar Fascia,
B:Buccopharyngeal Fascia, C:Alar Fascia,
D:Prevertebral Fascia, S:Kanalis Karotikus; 1.Otot
Pterigoid Lateral, 2.Otot Pterigoid Medial, 3.Otot
Tensor Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini,
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Vaskularisasi dan Inervasi Kepala


dan Leher18
Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik
dan saluran getah bening sehingga dapat
mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis.
Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang
parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar
getah bening yang berpasangan, yang dinamakan
Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat
melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui
saluran langsung. Sedangkan di bagian segitiga
posterior terdapat jalur langsung terpisah yang
mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang.
Drainase lebih lanjut dapat terjadi ke leher bagian
kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar
getah bening di supraklavikula.4

Histologi Nasofaring
Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh
pseudostatified kolumnar epitelium, pada usia sekitar
10 tahun berubah menjadi stratified squamous
epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat
daerah yang merupakan tempat transisi pertemuan
kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk
kuboid atau globular yang nantinya berpotensi ke arah
keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi
jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa
menjadi asal dari sel keganasan di nasofaring.17

Alaska, diduga penyebabnya adalah karena


mereka memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin yang menggunakan bahan pengawet
nitrosamin.6,7,8
Prevalensi KNF di Indonesia hampir merata
di seluruh daerah yaitu 3,9 per 100.000 penduduk
setiap tahun. Di Rumah Sakit H. Adam Malik
Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling
banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7%
dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan,
ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9
Dari seluruh penderita yang menjalani radioterapi
di Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo
selama periode tahun 1991-1997 tercatat 749
penderita KNF baru, dan angka ini menempati
peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM
Jakarta selama periode 1988-1992 didapatkan
kasus KNF sebanyak 71,77% di antara 712 tumor
ganas tubuh, dan kebanyakan penderita KNF
tersebut datang pada stadium lanjut.11
Sebagian besar penderita KNF berumur di
atas 20 tahun yaitu antara 5070 tahun, dan
ditemukan paling banyak pada usia produktif yaitu
antara 30-59 tahun (80%), dengan puncak antara
4049 tahun. Insidensi KNF meningkat setelah
umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan
setelah umur 60 tahun. Sedangkan berdasaran
jenis kelamin, ditemukan kecenderungan penderita
KNF lebih banyak pada laki-laki daripada
perempuan. Dari beberapa penelitian, ditemukan
perbandingan penderita laki-laki dan perempuan
adalah 2-4 : 1.6

Karsinoma Nasofaring
A. Insidensi
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di
berbagai penjuru dunia cukup bervariasi.
Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata
187 kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro
ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus
baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya
ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru
yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong,
yaitu 1146 kasus setiap tahun.6
Insidensi KNF yang paling tinggi
ditemukan di daerah Cina Selatan, dengan
frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma
nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi
karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong
China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan
timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering
terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup
banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti
Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di

B. Etiologi
Penyebab pasti KNF masih belum
diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor
intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab,
yaitu faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein
Barr (EBV).
Faktor Genetik
Kerentanan
genetik
sebagai
faktor
predisposisi KNF didasarkan atas fakta banyaknya
penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu KNF
juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk
bangsa-bangsa di Asia terutama Asia Tenggara yang
masih tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di
China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar 1050 kali dibandingkan negara lainnya. Adanya riwayat
tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu
faktor resiko KNF. Secara umum didapatkan sekitar
10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang
menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan
5% diantaranya sama-sama menderita KNF dalam
keluarganya.14,19
Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II
(alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan
menyebabkan kegagalan interaksi HLA- peptide

Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher18

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

complex dengan limfosit T c/s (CD8+) atau limfosit T


helper (CD4+). Hal ini disebabkan karena tidak
dimunculkannya antigen virus/tumor pada epitop
(antigenic determinant) sehingga keberadaan virus EB
didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau
sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel
imunokompeten. Adanya kelainan genetik ini akan
sangat merugikan karena sel yang terinfeksi virus
maupun sel kanker dapat terhindar dari penghancuran
melalui
mekanisme
imunologik,
berakibat
pertumbuhan kanker yang terus berlangsung.14,19
Faktor Lingkungan
Insidensi KNF yang tinggi di lokasi
geografi tertentu mengindikasikan adanya faktor atau
bahan kimia tertentu di lingkungan yang dapat
menginduksi
terjadinya
KNF
(environmental
carcinogens) antara lain adat kebiasaan atau gaya
hidup (life style related cancer), termasuk kebiasaan
makan (diet habits). Karsinogen lingkungan bertindak
sebagai kofaktor atau promotor timbulnya KNF.19
Penelitian in vitro membuktikan bahwa
aktivasi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan
perubahan sel normal menjadi sel kanker. Penelitian
epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara
meningkatnya kejadian KNF dengan konsumsi bahan
makanan berupa ikan atau udang yang diawetkan
dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin (dry
salted fish), pindang asin dan udang asin, atau yang
dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada
penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia
ditemukan ikan asin terbukti sebagai faktor risiko yang
sangat kuat terhadap kejadian KNF. Bubur ikan asin
yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina
Selatan sejak kecil, dikenal sebagai Cantonese salted
fish terbukti mengandung nitrosamin. Nitrosamin
merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi EBV
diketemukan dalam kadar yang tinggi pada ikan asin.
Pro karsinogen merupakan karsinogen yang
memerlukan perubahan metabolis agar menjadi
karsinogen aktif (ultimate carcinogen), sehingga dapat
menimbulkan perubahan DNA, RNA, atau protein sel
tubuh.14,17,20,21
Hubungan yang konsisten dan kuat antara
kejadian KNF dengan konsumsi ikan asin dalam
waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini di
Hongkong pada sekitar 90 % kasus KNF. Pada proses
pengasinan atau pengeringan ikan (protein) dengan
pemanasan sinar matahari terjadi reaksi biokimiawi
berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang
terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin
menjadi
nitrosamin
dan
beberapa
volatile
nitrosamines
antara
lain
senyawa
Nnitrosodimethylamine
(NDMA),
Nnitrosodiethylamine
(NDEA),
N-nitrosodi-npropylamine
(NDPA),
N-nitrosodi-butylamine
(NDBA) dan
N-nitrosomorpholine
(NMOR).
Disamping sebagai pemicu aktifnya virus EB
(promotor, EBV inducer), beberapa senyawa ini
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

terutama NDMA dan NDEA bersifat karsinogenik


aktif (epigenetic carcinogen). Selain ikan asin,
nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau makanan
yang diawetkan dengan nitrit atau nitrat sebagai
bahan aditif, sayuran yang diawetkan dengan cara
fermentasi atau diasinkan dan taoco di Cina Kadar
NDMA diketemukan dalam jumlah yang lebih tinggi
setelah ikan asin bereaksi dengan asam lambung dan
nitrit. Hal ini menunjukkan bahwa nitrosamin dapat
dibuat secara endogen pada proses pencernaan ikan
asin di lambung. Selain nitrosamin, diduga ada
substrat atau bahan kimiawi lain yang terdapat di ikan
asin yang dapat menyebabkan replikasi dan aktivasi
virus EB yang secara laten berada dalam epitel
nasofaring dan limfosit B.14,21
Kebiasaan makan termasuk minum jamu,
merokok, dan minum alkohol serta kebersihan
lingkungan yang buruk diduga dapat meningkatkan
risiko terkena KNF. Sejumlah makanan dan tanaman
obat, baik yang tradisional (jamu) ataupun yang
berasal dari Cina (Chinese herbal medicine) dan
minyak untuk hidung ternyata mengandung ester
forbol dan N-butyric acid yang selain dapat bertindak
sebagai EBV inducer, juga mutagenik. Semacam teh
dari Cina dan Tunisia dapat merupakan bahan
karsinogenik. Selain menyebabkan iritasi menahun
pada tenggorok (nasofaringitis kronik), makanan
panas atau pedas dan asap pembakaran hio diduga
dapat mengaktifkan virus EB.14,22
Dilaporkan juga bahwa risiko terkena KNF
pada perokok yang merokok lebih dari 20 batang
sehari ternyata dua kali lipat lebih besar dari pada
yang bukan perokok.22 Bahan karsinogenik di asap
rokok yang diperkirakan berperan sebagai promotor
terjadinya KNF yaitu 3,4- benzypyrene dan polycyclic
aromatic hydrocarbon. Namun demikian, Roezin
mengatakan bahwa meskipun kebiasaan merokok
lebih sering dijumpai pada kelompok penderita KNF
(49,38%) dibandingkan non KNF (32,10%) ternyata
tidak menunjukkan kemaknaan secara statistik. Bahan
lainnya yang diduga dapat mengaktifkan virus EB
antara lain debu yang mengandung kromium, nikel,
arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau,
candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah serta obat
nyamuk. Beberapa bumbu masak tertentu, makanan
yang terlalu panas dan pedas juga dapat
meningkatkan kejadian KNF. Bahan-bahan ini
mungkin berperan dalam mempercepat timbulnya
KNF bersama faktor predisposisi lainnya. Bahan
karsinogen dapat mencapai nasofaring melalui
inhalasi, per-oral, subkutan dan intra vena.
Kelembaban tinggi yang disertai adanya asap (polusi
udara) dalam jangka waktu yang lama akan
memperbesar kemungkinan terjadinya KNF. Hal ini
terutama didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian
besar penderita KNF berasal dari golongan status
ekonomi yang lebih rendah. Selain kondisi
lingkungan yang buruk, terdapat beberapa bukti
bahwa KNF berkaitan dengan kurangnya makan buah

atau sayuran segar. Defisiensi nutrisi khususnya


hipovitaminose-A berhubungan erat dengan kejadian
KNF. Hal ini mungkin disebabkan karena difisiensi
vitamin A, B, dan C menyebabkan terganggunya
pertumbuhan epitel. Konsumsi vitamin C dan E dapat
mencegah pembentukan nitrosamin dalam tubuh.14
Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk famili
virus
herpes
yang
merupakan
penyebab
mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi
pada KNF, karsinoma gaster serta limfoma akut.6
Bukti kuat adanya peran EBV sebagai
penyebab KNF didasarkan atas laporan hasil
penelitian epidemiologi maupun laboratorik terutama
serologi, virologi, patologi, dan biologi molekuler
dengan ditemukannya23 :
1.

Antibodi dengan titer yang tinggi terhadap


antigen EBV dalam serum
2. Antigen inti EBV (EBNA) di dalam sel tumor
nasofaring
3. Genom EBV dalam bentuk plasmid di jaringan
tumor nasofaring dan isolasi virus
4. DNA EBV pada jaringan kanker nasofaring
5. mRNA-EBV (EBERs) di sel kanker nasofaring
Keganasan yang disertai meningkatnya titer
antibodi terhadap virus EB hanya diketemukan pada
KNF, dan tidak didapatkan pada keganasan di daerah
kepala dan leher lainnya. Peningkatan titer antibodi
terhadap virus EB hanya dijumpai pada KNF dengan
jenis WHO tipe 3 dan 2, sedangkan pada jenis WHO
tipe 1 tidak diketemukan peningkatan titer atau
meningkat dalam titer yang sangat rendah.6
Penularan EBV lewat orofaring terjadi karena
kontak oral yang intim, atau melalui saliva yang
tertinggal pada peralatan makan. Kebiasaan makan
secara tradisional dengan menggunakan sumpit untuk
mengambil hidangan makanan diduga berkaitan
dengan tingginya infeksi virus EB pada ras Cina.
Karena mudah dan cepatnya terjadi penularan maka
hampir semua individu dibawah 25 tahun sudah
terinfeksi virus EB.14
Infeksi primer alamiah dimulai pada masa
anak-anak, biasanya gejala klinik ringan atau bahkan
tanpa gejala. Di negara berkembang, hampir semua
(99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi virus EB.
Infeksi virus EB diperkirakan mengenai 80-90%
populasi di negara maju. Survei di Hongkong
menunjukkan bahwa semua anak ras Cina sebelum
umur 15 tahun telah mempunyai antibodi terhadap
virus EB. Keadaan ini menunjukkan bahwa meskipun
hanya memberikan gejala klinik ringan, virus EB
yang memasuki tubuh manusia akan menetap seumur
hidup (persisten). Hal ini mendukung pendapat bahwa
EBV infected lymphocytes and pharyngeal epithelium
banyak diketemukan pada orang normal.14

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Patogenesis infeksi EBV dimulai dengan masuknya


virus EB pada epitel faring yang kemudian di ikuti
dengan replikasi virus. Proliferasi limfosit B yang
pasif akibat provokasi virus EB diduga mendorong
terjadinya translokasi gen c-myc dengan menghasilkan
suatu klon sel-sel limfosit B yang neoplastik.
Gangguan ekspresi protoonkogen karena terjadinya
translokasi gen c-myc mengakibatkan turunnya
ekspresi gen-gen MHC (mayor histocompatibility
complex) kelas I yang diperlukan untuk mengenali
antigen asing oleh limfosit T sitotoksik (CD8).
Menurunnya kemampuan sT CD8 dalam mengenal dan
menghancurkan sel kanker berakibat perkembangan sel
kanker yang seakan tanpa hambatan. EBV dalam
siklus litik menghasilkan protein yang disebut BZLF1
yang dapat menghilangkan fungsi protein p53.
Inaktivasi dari oncoprotein yang merupakan produk
dari tumor suppressor gene (p53) menyebabkan
hilangnya hambatan proliferasi sel yang berakibat
proliferasi yang tak terkendali.14
Mekanisme karsinogenesis lainnya yaitu
melalui insersi sebagian atau seluruh DNA virus EB
pada kromosom sel inang (hospes). Penggabungan
DNA ini dalam waktu yang lama menimbulkan mutasi
gen p53 sehingga sel bebas mengadakan replikasi
DNA.14
Infeksi virus EB secara tersendiri tidak akan
menimbulkan KNF. Virus EB baru akan menimbulkan
perubahan pada sel inang (hospes) apabila di aktifkan
oleh promotor. Walaupun untaian ganda DNA (double
stranded DNA) dari virus EB pada penelitian in vitro
terbukti dapat menyebabkan proliferasi dan
transformasi morfologik dari limfosit B maupun epitel
nasofaring, namun mekanisme virus EB dalam
menyebabkan transformasi sel epitel nasofaring masih
belum diketahui dengan jelas.14
Virus EB akan mengekspresikan berbagai
macam antigen spesifik tergantung pada siklus
hidupnya dalam sel inang. Pada fase infeksi laten,
dibentuk protein inti (Epstein Barr nuclear antigen /
EBNA) dan protein membran (latent membrane
protein / LMP). Kedua antigen ini mempunyai
pengaruh terhadap proliferasi dan replikasi virus,
menyebabkan sel yang terinfeksi menjadi imortal.
Antigen pada fase replikasi dini disebut early antigen
(EA) yang dibentuk sebelum sintesa DNA virus. Pada
fase lanjut dibentuk antigen kapsul (viral capsid
antigen / VCA) yang di-ekspresikan pada saat infeksi
aktif.23
Masuknya virus EB dalam tubuh menyebabkan
dibentuknya beberapa antibodi antara lain antibodi
terhadap antigen kapsul (anti VCA) yang dapat
digunakan sebagai petunjuk (petanda) infeksi virus EB.
Selanjutnya genom EBV yang berada dalam sel inang
yaitu limfosit B dan / atau sel epitel faring akan
mengalami fusi (terminal repeat EBV genome)
sehingga terbentuk episom berbentuk lingkaran, atau
integrasi DNA EBV pada genom (kromosom) sel
inang. Nukleus sel inang yang mengandung DNA

virus EB (integrated EBV genome) akan memberi


sinyal terbentuknya protein baru. Perubahan fase laten
ke bentuk litik dimulai dengan adanya aktivasi protein
ZEBRA yang di sandi oleh gen BZLF-1. Ekspresi
protein ini mengawali sintesis berbagai protein lainnya.
Sebanyak sekitar 85 gen EBV di transkripsi selama
fase litik. Fase litik ditandai dengan berbagai ekspresi
gen EBV antara lain protein transkripsi (BZLF-1), 6
protein inti (EBV associated nuclear antigen/EBNA 16) dan beberapa protein membran (latent membrane
protein/LMP). EBNA dan LMP yang di ekspresikan
dipermukaan limfosit B, disebut sebagai LYDMA
(lymphocyte detected membrane antigen) merupakan
kompleks antigen yang dapat dikenali oleh sel NK dan
limfosit T cytotoxic / suppressor melalui HLA (MHC).
Sel limfosit B yang terinfeksi virus EB dapat
dihancurkan (lisis) oleh sel NK dan limfosit T c/s
melalui ikatan HLA - antigen restricted limfosit T c/s.
Adanya EBNA menimbulkan reaksi tubuh dengan
membentuk anti EBNA.23
Salah satu protein produk onkogen virus EB
yang secara in vitro terbukti menyebabkan
transformasi sel epitel faring maupun limfosit B
menjadi bentuk yang imortal adalah EBV-nuclear
antigen 1 (EBNA-1) dan latent membrane protein 1
dan 2 (EBV-LMP 1, 2). Beberapa bukti penelitian
menunjukkan bahwa untuk dapat menimbulkan
terjadinya perubahan keganasan dan replikasi tanpa
kontrol pada sel host (in vivo), virus EB harus
mengalami aktivasi terlebih dahulu. Berdasarkan
penelitian pada hewan, beberapa bahan diduga dapat
bertindak sebagai mediator yang dapat mengaktifkan
virus EB antara lain yaitu nitrosamine, benzopyrene,
bensoanthracene dan beberapa hydrocarbon. Zat-zat
ini terutama nitrosamin, banyak dijumpai pada bahan
makanan yang di awetkan dengan cara di asinkan
(misalnya ikan asin, sayur asin, soy beans salted)
maupun dengan pengasapan misalnya smoked salmon.
Beberapa pengobatan dengan menggunakan bahan dari
tumbuh-tumbuhan
(herbal)
pada
pengobatan
tradisional yang berasal dari Cina (Chinese traditional
medicine) diduga mengandung N - butyric acid yang
juga dapat bertindak sebagai ko-faktor atau promotor
terjadinya KNF melalui aktivasi virus EB. Bahan yang
di produksi oleh bakteri yang hidup di mukosa
nasofaring juga berpengaruh terhadap replikasi dan
reaktivasi virus EB.14,23
Keganasan di nasofaring yang dihubungkan
dengan virus EB ini terutama jenis karsinoma
anaplastik atau undifferentiated (WHO tipe 3) dan
sebagian jenis karsinoma sel skuamosa non keratinisasi
(WHO tipe 2). Karena tidak diketemukan DNA virus
EB pada jaringan tumor, maka jenis karsinoma sel
skuamosa (WHO tipe 1) diperkirakan tidak berkaitan
dengan infeksi virus EB. Tidak adanya peningkatan
titer antibodi atau peningkatan titer antibodi terhadap
virus EB yang sangat sedikit, maka KNF jenis WHO
tipe 1 diduga disebabkan karena mutasi genetik yang
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

terjadi spontan atau karena induksi bahan kimiawi


karsinogenik.14
Meskipun hubungan EBV dengan kejadian
KNF sangat kuat, namun pada kenyataannya tidak
semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang
menjadi KNF. Keadaan ini menunjukkan bahwa EBV
secara tersendiri masih belum dapat menginduksi
transformasi maligna dari sel mukosa nasofaring
normal. Transformasi sel baru terjadi bila EBV
mengalami aktivasi terlebih dahulu, baru kemudian
dapat mempengaruhi sel inang (host cell) sehingga
menjadi maligna dan mengadakan replikasi tanpa
kontrol. Aktivasi EBV terjadi oleh karena faktor
pendukung lain.14
Patogenesis
KNF terjadi akibat perubahan genetik yang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik virus maupun
faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan genetik
dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap
awal perkembangan kanker. Hal ini menunjukkan
bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh
karsinogen kimia di lingkungan yang menyebabkan
transformasi epitel normal ke lesi pra-kanker tingkat
rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya
menunjukkan bahwa infeksi laten virus EB berperan
dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke
tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB
juga berperan penting dalam proses seleksi klonal dan
perkembangan lebih lanjut.17
Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel
displastik dari lesi pra-kanker tingkat tinggi (NPIN III)
berperan dalam menghambat proses apoptosis.
Kemudian faktor lingkungan, perubahan genetik
seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen p16/p15,
delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam
tahap awal perkembangan KNF.17
Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada
kromosom 14q dan overekspresi dari gen c-myc,
protein ras dan p53 berperan dalam progresi karsinoma
yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan
genetik lainnya juga berperan dalam proses
metastasis.17

Patogenesis Karsinoma Nasofaring17


Histopatologi
Sejak tahun 1991, WHO membagi KNF ke dalam
tiga tipe, yaitu24 :

1.

2.

3.

Karsinoma sel skuamosa berkeratin (keratinized


squamous cell carcinoma). Tipe ini mempunyai
sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan
mukosa nasofaring. Sel-sel kanker dapat
berdiferensiasi baik sampai sedang, dan
menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin
didalam maupun diluar sel.
Karsinoma
sel
skuamosa
tanpa
keratin
(nonkeratinized squamous cell carcinoma). Tipe
ini paling banyak variasinya, sebagian tumor
dengan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya
dengan sel-sel yang lebih kearah diferensiasi baik.
Seringkali menyerupai gambaran pada karsinoma
sel transisional.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated
carcinoma). Kelompok disini mempunyai
gambaran patologi yang sangat heterogen.
Termasuk
disini
karsinoma
anaplastik,
limfoepitelioma, clear cell carcinoma dan varian
sel spindel.

Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin25

Karsinoma Sel Skuamosa Tidak Berkeratin25

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Karsinoma tidak berdiferensiasi25


Di Amerika Utara, ditemukan pasien KNF
dengan jenis histopatologi WHO tipe 1 sekitar 25%,
WHO tipe 2 12%, dan WHO tipe 3 63%. Sedangkan di
Cina Selatan ditemukan sekitar 3% WHO tipe 1, 2%
WHO tipe 2, dan 95% WHO tipe 3.24 WHO tipe 3 pada
karsinoma nasofaring merupakan tipe histopatologi
yang paling sering dan endemik, terutama di Asia
Tenggara.6
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan nasofaring, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan patologi.4,14,26
a.

Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada KNF biasanya
berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan
stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah
yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak
dikenali sehingga penderita kebanyakan datang
dengan keluhan benjolan di leher akibat
penyebaran tumor ke kelenjar getah bening
regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul
adalah keluhan pada telinga atau hidung yang
bersifat unilateral. Keluhan di telinga dapat berupa
gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media
serosa dan perforasi membran timpani. Gejala
pada hidung dapat berupa sumbatan hidung
dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah
atau berupa epistaksis. Gangguan penciuman dan
obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat
akibat massa tumor yang menutupi koana. Gejala
lanjut yang paling sering dijumpai dan mendorong
pasien untuk datang berobat adalah pembesaran
kelenjar getah bening leher unilateral atau
bilateral.17
Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan
saraf intrakranial. Tumor dapat meluas kearah
superior menuju ke intra kranial dan menjalar
sepanjang fosa kranii media (penjalaran
petrosfenoid). Biasanya tumor masuk rongga
tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan
kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak
yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi
gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul
N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi
wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf
kranial yang tersering mengalami gangguan
adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua
saraf grup anterior terkena gangguan maka timbul
kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma
petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan
oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan nyeri
kepala hebat karena penekanan tumor pada dura
mater. Terkenanya N. III menimbulkan gejala

ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bolamata


(oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral
karena kelumpuhan muskulus rektus internus
superior dan inferior serta muskulus palpebrae
inferior
dan
obliqus.
Gangguan
N.IV
menimbulkan kelumpuhan muskulus obliqus
inferior bolamata. Lesi saraf ini jarang merupakan
kelainan yang berdiri sendiri tetapi lebih sering
diikuti kelumpuhan N.III. Biasanya penekanan
saraf-saraf ini terjadi didalam atau pada dinding
lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI
mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral
sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan
mata tampak juling (strabismus konvergen).
Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial
berupa sakit kepala yang sering kali hebat.
Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga
hidung, sinus paranasal, fosa pterigopalatina dan
dapat sampai apeks orbita. Tumor besar dapat
mendesak palatum mole, menimbulkan gejala
obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan.
Perluasan tumor kearah postero-lateral menuju ke
ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang
kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran
retroparotidian). Disini yang terkena adalah grup
posterior syaraf otak yaitu N. VII sampai dengan
N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang
berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi
kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sebagai
sindroma
retroparotidean,
atau
sindroma
Jackson.17 Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut
adalah sebagai berikut17:
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot
konstriktor superior, dan gangguan pengecapan
pada sepertiga belakang lidah.
N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole,
faring dan laring (gejala regurgitasi, bindeng) disertai
gangguan menelan, respirasi dan salivasi.
N. XI :
hemiparesis palatum mole dan sulit
mengangkat bahu karena kelumpuhan atau atrofi otot
trapesius dan sternokleidomastoid.
N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi
lidah unilateral.
Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai
gejala akibat kelumpuhan dari nervus simpatikus
servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis,
enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai sindroma
Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena
letaknya tinggi dan berada dalam kanal tulang.
Kelainan neurologik pada KNF ini berkisar antara 2953%. Tumor di postero-lateral nasofaring dapat
menginfiltrasi otot-otot mengunyah, terutama otot
pterigoid internus yang berakibat trismus. Perluasan
tumor kearah inferior menuju rongga mulut atau regio
retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan
makan dan napas.14.17
Gejala lain KNF adalah trismus yang
disebabkan oleh infiltrasi tumor pada muskulus
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

pterigoideus yang menyebabkan gangguan membuka


mulut. Apabila tumor telah menginvasi otot levator
velli palatini maka akan mengakibatkan paralisis
palatum. Keadaan ini jarang terjadi, dan biasanya
akibat gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot
tersebut.17
Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan
yang paling sering adalah metastasis ke paru-paru,
tulang, dan hepar. Metastase ke otak terjadi melalui
penjalaran secara hematogen, sedangkan penyebaran
ke hipofisis dapat terjadi akibat perluasan langsung
dari tumor primer. Metastasis KNF ke epidural medula
spinalis dapat menyebabkan penekanan medula
spinalis, dengan gejala sisa paraplegia dan
inkontinensia.6
b. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat
dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak
langsung) dengan menggunakan kaca laring yang
kecil, dan cara nasofaringoskopi langsung dengan
alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid
nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai
sudut pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan
sumber cahaya dan monitor TV. Penggunaan alat
ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut
(trans-oral). Alat-alat tersebut dapat digunakan
untuk melihat keadaan massa di nasofaring,
berupa massa yang eksofitik atau berupa
penonjolan submukosa.14
Dengan pemeriksaan rinoskopi posterior sering
ditemukan kesulitan karena yang dilihat hanya
berupa gambaran atau bayangan yang ada di kaca.
Pada kasus yang sulit, diperlukan pemeriksaan
dengan teknik nasofaringoskopi, dan jika perlu
digunakan anestesi lokal. Flexible fibrescope atau
endoskop Hopkins kaku 00 dan 300 cukup baik
dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih
rinci. Dengan alat ini dapat dideteksi seluruh
permukaan rongga hidung dan nasofaring.6

Nasofaringoskopi tumor14
c.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
mendapatkan informasi adanya tumor,
perluasan, serta kekambuhan paska terapi.
Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma
nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak,
CT scan, dan MRI.17,26,28
1. Foto polos tengkorak dilakukan untuk
mengetahui adanya jaringan lunak di
dinding posterior pada proyeksi lateral,
melihat struktur tulang dan foramen pada
proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi
tumor ke hidung dan sinus paranasal pada
proyeksi antero-posterior dan Waters.
2. Tomografi
Komputer
(CT
scan)
mempunyai
keuntungan
dan
nilai
diagnosis tinggi yaitu kemampuan
membedakan berbagai
densitas di
nasofaring dan dapat menilai perluasan
tumor, penyebaran ke kelenjar limfa leher,
destruksi tulang serta penyebaran ke
intrakranial.

T Scan Karsinoma Nasofaring26


3.

MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan


pemeriksaan tambahan dari CT scan karena dapat
membedakan antara jaringan lunak dan cairan
misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus
paranasal.

MRI sagital menunjukkan tumor


pada atap dan dinding posterior
nasofaring3

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

d. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi sangat menunjang
diagnosis KNF. Virus Epstein-Barr yang
diketahui sebagai etiologi KNF mengandung
antigen virus, antara lain EBV- VCA, EA,
LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan
serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi
yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA
anti EBV-EA, antibodi terhadap antigen
membran, antibodi terhadap inti virus
(Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA),
antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Titer
antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan
pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) dan
radio-immuno
assay.
Dapat
juga
menggunakan teknik PCR pada material yang
diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus
pada metastase kelenjar getah bening leher.
Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada
undifferentiated
carcinoma
dan
nonkeratinizing squamous cell carcinoma.
Pada pasien KNF dapat dideteksi antibodi
IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus
dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid
antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi yang
paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat
dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini
dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang
titernya meninggi sebelum gejala KNF timbul.
Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen
EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan
dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBVVCA terjadi setelah sintesis DNA virus,
dengan demikian antibodi ini berkaitan
dengan fase lanjut dari infeksi virus EB.
Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada
seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai
dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin
A anti EBV-VCA ini dapat merupakan
pertanda tumor (tumor marker) yang spesifik
untuk deteksi KNF terutama pada stadium
dini (nilai diagnostik), memantau hasil
pengobatan dan memperkirakan kekambuhan
(nilai prognostik).14
IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis
DNA virus yaitu pada fase dini siklus
replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti
EBV-EA sudah ditemukan sebelum metastasis
secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA
dianggap positif bila 1/80. Berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi, IgG anti EBVEA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe
terbatas (EA-restricted) dan tipe menyebar
(EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBVEA (D) didapatkan pada semua penderita
KNF yang telah mendapatkan pengobatan

dengan radiasi dan tidak pada penderita


dengan kanker kepala dan leher lainnya. Bila
titernya meningkat lagi harus dicurigai adanya
kekambuhan atau metastasis. Dengan
demikian pemeriksaan IgG anti EBV-EA lebih
berguna untuk menentukan perjalanan
penyakit dan prognosis KNF.14
e.

Pemeriksaan Patologi (Biopsi)


Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan jaringan tumor di
nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang
diperoleh dari jaringan hasil biopsi. Apabila
penderita
yang
menunjukkan
hasil
pemeriksaan serologi yang positif, tetapi hasil
biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap
menderita KNF. Ada beberapa cara melakukan
biopsi, yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi
buta terpimpin (guided biposy), biopsi dengan
nasofaringoskopi direkta, dan biopsi dengan
fibernasolaringoskop.14

Stadium Tumor

M1 :

Terdapat metastasis jauh

Stadium
Stadium 0
:
Stadium I
:
Stadium IIA :
Stadium IIB :
Stadium III :
Stadium IVA :
Stadium IVB :
Stadium IVC :

Tis N0 M0
T1 N0 M0
T2a N0 M0
T1 N1 M0; T2a N1 M0
T1 N2 M0; T2a,T2b N2
T4 N0,N1,N2 M0
Semua T N3 M0
Semua T semua N M1

Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama pada
kKNF. Radioterapi juga efektif terhadap terapi
paliatif pada kasus yang sudah metastasis jauh.
Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis
merupakan terapi kuratif utama yang dapat
diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal
dan brakhiterapi.6

Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak


DNA dan mengakibatkan destruksi sel tumor.
Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut
Disamping itu radioterapi memiliki kemampuan
American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun
untuk mempercepat proses apoptosis sel tumor.
200229
Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat
mematikan sel tumor. Radioterapi memiliki
T : Tumor primer
kemampuan mengurangi rasa sakit dengan
mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi
Tx
:
Tumor primer tidak dapat ditemukan pendesakan di area sekitarnya. Disamping itu juga
T0
:
Tidak ditemukan adanya tumor primerberguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan
Tis
:
Karsinoma in situ
perdarahan dari massa tumor.6
T1
:
Tumor terbatas pada nasofaring
T2
:
Tumor meluas sampai jaringan lunak pada
orofaring
dan yang
ronggadibutuhkan
hidung
Dosis
radiasi
untuk eradikasi
T2a :
Tumor tanpa perluasan ke daerah
tumorparafaring
tergantung dari besarnya tumor. Untuk KNF
T2b :
Dengan perluasan ke daerahyang
parafaring
masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi
T3
:
Tumor meluas ke struktur tulang sekitarnya
dan atau
kesebesar
sinus paranasal
dengan
dosis
1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali
T4
:
Tumor meluas ke daerah intrakranial atauseminggu
terlibatnyatanpa
saraf kranialis,
istirahat fossa
selama sekitar 67,5
infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang
mastikator
minggu
sampai mencapai dosis total 60-70 Gy.
Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang
N :
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
lebihregional
besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi
pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi
Nx :
Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
yaitu 7075 Gy. Bila tidak didapatkan metastasis di
N0 :
Tidak ada pembesaran KGB regional
KGB leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik
N1 :
Metastasis unilateral KGB dengan ukurandengan
6 cmdosis
dalamsekitar
ukuran40-50
terbesar,
Gyterletak
dalam di
empat atau
atas fosa supraklavikular
empat setengah minggu, sedangkan bila ada
N2 :
Metastasis bilateral KGB dengan ukuran pembesaran
6 cm dalamKGB
ukuranditerbesar,
terletak di regional)
leher (metastasis
atas fosa supraklavikular
diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan tumor
N3 :
Metastasis KGB dengan ukuran > 6 cm atau
terletak pada
supraklavikular
primernya.
Bila fosa
masih
didapatkan residu tumor,
N3a : Ukuran KGB > 6 cm
diberikan radiasi tambahan (booster) dengan area
N3b : menginvasi KGB fosa supraklavikular
diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 10-15
Gy sehingga mencapai dosis total sebesar 75-80
M :
Metastasis jauh
Gy. Selain radiasi eksterna, radiasi tambahan dapat
diberikan
dengan
cara
radiasi
interna
Mx :
Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
(brakhitherapi).14,17
M0 :
Tidak ada metastasis jauh
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis


tinggi terhadap jaringan dengan volume kecil.
Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer
KNF dapat dibagi berdasarkan beberapa indikasi.
Indikasi tersebut adalah tumor persisten lokal
setelah 4 bulan pemberian radioterapi primer
sebagai terapi tambahan setelah radioterapi
eksternal dan untuk tumor persisten regional
dimana brakhiterapi diberikan pada penderita yang
akan menjalani diseksi leher.6
Brakhiterapi dilakukan dengan menggunakan
endotracheal tube. Pada awalnya brakhiterapi
hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2
yang rekuren setalah pemberian radioterapi
eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang
hanya melibatkan nasofaring, para-nasofaring, dan
atau fosa posterior nasal. Diberikan dosis 4550
Gy kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20
Gy.6
b. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF
yang rekuren atau yang telah mengalami
metastasis. Mekanisme kerja kemoterapi adalah
sebagai antimetabolit, mengganggu struktur dan
fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit
bekerja dengan menghambat biosintesis purin atau
pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur DNA
dan menahan replikasi sel.6, 17
Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat
pembelahan sel pada semua siklus sel (Cell Cycle
non Specific) baik dalam siklus pertumbuhan sel
maupun dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin,
doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu ada
juga obat kemoterapi yang hanya bekerja
menghambat pembelahan sel pada siklus
pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase specific),
yaitu metrotrexate dan 5-fluorouracil (5-FU).6, 17
Kemoterapi dapat diberikan secara
bersamaan dengan radioterapi (kemoradioterapi)
yang dimaksudkan untuk mempertinggi manfaat
radioterapi. Kemoradioterapi dapat mengontrol
tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker
secara sistemik lewat mikrosirkulasi.
Kemoradioterapi juga dapat mengontrol metatasis
jauh dan mengontrol mikrometastasis. Dengan
cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker
yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah
sel kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif terhadap radiasi.6,17,30
Deteksi Dini
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
KNF disebabkan oleh multifaktor yaitu infeksi virus
EB, pengaruh faktor lingkungan, ras (genetik), dan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

sebagainya. Pencegahan KNF harus ditujukan untuk


menghindarkan, mengurangi atau menghilangkan
faktor-faktor tersebut. Salah satu hambatan utama
dalam pencegahan adalah belum diketahuinya dengan
pasti bagaimana, dalam keadaan apa dan sejauh
mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam
patogenesis KNF.14
Di Indonesia, beberapa faktor yang dapat
diidentifikasi terutama berhubungan dengan faktor
kebiasaan dan lingkungan terutama pada penduduk
golongan sosial ekonomi rendah. Faktor-faktor
tersebut misalnya makan ikan asin, pemakaian
kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak, dan
asap obat nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk,
baik di rumah maupun di tempat kerja dengan
ventilasi yang kurang akan menambah besarnya
faktor risiko.14
Untuk menghindari, mengurangi, atau
menghilangkan faktor-faktor risiko tersebut perlu
diadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik oleh
pemerintah maupun badan-badan swasta (LSM) yang
bergerak dalam usaha penanggulangan kanker. Usaha
yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang untuk
meningkatkan status sosial ekonomi penduduk
terutama penduduk pedesaan.14
Dengan ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa
virus EB memegang peranan yang penting dalam
patogenesis KNF maka saat ini telah mulai dilakukan
berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap
virus EB. Apabila vaksin yang efektif telah ditemukan,
maka vaksinasi dapat segera diberikan terutama pada
golongan penduduk dengan risiko tinggi terkena
KNF.14
Selain itu, mengingat letak nasofaring tidak
mudah diperiksa, gejala dini sering tidak dikenali
sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium
lanjut, perlu dilakukan skrining KNF untuk deteksi
dini, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal
dan menurunkan tingkat mortalitas.17 Untuk mencapai
tujuan ini perlu kerjasama dari berbagai sektor terkait
seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi
Pendidikan Dokter/Perawat, IDI dan profesi (PerhatiKL, IAPI). Selain itu dokter atau tenaga kesehatan
pada lini pertama perlu meningkatkan pengetahuan
mengenai KNF.14,15

Lab/SMF THT FK Unair/RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, 1998. Referat

Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring31

DAFTAR PUSTAKA
1.

Wiliyanto O. Insidensi Kanker Kepala Leher


Berdasarkan Diagnosis Patologi Anatomi di RS.
Dr. Kariadi Semarang Periode 1 Januari 2001
31 Desember 2005. 2006.

2. Attar E, Dey S, Hablas A, Seifeldin IA, Ramadan


M, Rozek LS, et al. Head and Neck Cancer in a
Developing Country: A Population-based
Perspective Across 8 Years. European Journal of
Cancer. 2010;46(8):591-6.
3. Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ.
Principles and Practice of Head and Neck
Oncology. London and New York: Martin Dunitz;
2003.
4.

Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of


the Head and Neck. Hamilton, London: BC
Decker Inc; 2001.

5.

Karsinoma Nasofaring. 2009 [cited 2010 01 12];


Available from:
http://medlinux.blogspot.com/2009/02/karsinoma
-nasofaring.html.

6.

Munir D. Karsinoma Nasofaring. Medan: USU


press; 2009.

7. Cao S, Simons M, Qian C. The Prevalence and


Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in
China. Pubmed. 2011;30(2):114-9.
8. Wei KR, Yu YL, Yang YY, Ji MF, Yu BH, Liang
Z, et al. Epidemiological Trends of
Nasopharyngeal Carcinoma in China. Asian
Pacific Journal of Cancer. 2010;11:29-32.
9. Dharishini P. Gambaran Karakteristik Penderita
Karsinoma Nasofaring Di Rumah Sakit Umum
Haji Adam Malik Dari Januari Sampai Desember
2009. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
10. Hadi W. Aspek Klinis dan Histopatologis
Karsinoma Nasofaring di Lab/SMF THT FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, tahun 1997.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

11. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A.


Nasopharyngeal Carcinoma in
Ciptomangunkusumo General Hospital. In :
Tjokronegoro A. et al. Eds. Cancer in Asia
Pacific. Vol 1. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 1988 : 499-513
12. Data Pasien Onkologi di Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin.
2005-2009. Bandung.
13. Razak ARA, Siu LL, Liu FF, Ito E, OSullivan
B, Chan K. Nasopharyngeal Carcinoma: The
Next Challenges. European Journal of Cancer.
2010;46(11):1967-78.
14. Dewi YA. Karsinoma Nasofaring. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
THT-KL; 2010.
15. Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana
SM, Tan IB. Knowledge of General Practitioners
About Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas
in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical
Education. 2010;10(1):1-6.
16. Head and Neck Cancer : Question and Answer.
National Cancer Institute; 2005 [cited 2010 02
12]; Available from:
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Site
s-Types/head-and-neck.
17. Hasselt CAV, Gibb AG. Nasopharyngeal
Carcinoma. Hong Kong and London: The
Chinesse University Press, Greenwich Medical
Media LTD.; 1999.
18. Standring S. Gray's Anatomy - The Anatomical
Basis of Clinical Practice. London: Elsevier;
2008.
19. Ren ZF, Liua WS, Qina HD, Xua YF, Yua DD,
Fenga QS, et al. Effect of Family History of
Cancers and Environmental Factors on Risk of
Nasopharyngeal Carcinoma in Guangdong,
China. ScienceDirect - Cancer Epidemiology.
2010;34(4):419-24
20. Jia W, Luo X, Feng B, Ruan H, Bei J, Liu W, et
al. Traditional Cantonese Diet and
Nasopharyngeal Carcinoma Risk: a Large-Scale
Case-Control Study in Guangdong, China.
Pubmed. 2010;10:446.

21. Wee J, Ha T, Loong S, Qian C. Is


Nasopharyngeal Cancer Really a "Cantonese
Cancer"? Pubmed. 2010;29(5):517-26.
22. Friborg J, Yuan J, Wang R, Koh W, Lee H, Yu
M. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol
Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas
in Singapore Chinese. Pubmed.
2007;109(6):1183-91.
23. Thompson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus
and Cancer. American Association for Cancer
Research. 2004 February 1;10:803-21.
24. Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery
- Otolaryngology. Texas, Pennsylvania:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
25. Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology. Philadelphia: Mosby; 2004.
26. Surarso B. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma
Nasofaring. Surabaya: THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.
Soetomo2009.
27. Hawke M, Bingham B, Stammberger H,
Benjamin B. Diagnostic Handbook of
Otolaryngology: Martin Dunitz.
28. King AD, Bhatia KSS. Magnetic Resonance
Imaging Staging of Nasopharyngeal Carcinoma
in the Head and Neck. World Journal of
Radiology. 2010;2(5):159-65.
29. Lee KJ, editor. Essential Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 9 ed. Connecticut: McGrawHill; 2008.
30. Xu T, Hu C, Wang X, Shen C. Role of
Chemoradiotherapy in Intermediate Prognosis
Nasopharyngeal Carcinoma. European Journal of
Cancer. 2011;47(5):408-13.
31. Guidelines on Cancer Prevention, Early Detection
& Screening Nasopharyngeal carcinoma (NPC).
The Hong Kong Anti-Cancer Society. 2008.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

SUMBATAN JALAN NAFAS dan


BAGIAN
thoraksATAS
atau pada pasien dengan insufisiensi paruparu kronik. Trakeostomi terapeutik diindikasikan
Sumbatan jalan napas bagian atas yang
merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang THT
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan antara lain
kelainan kongenital, benda asing, infeksi, trauma,
paralisis plika vokalis, dan tumor. Gejala klinis dari
sumbatan jalan nafas ini bervariasi tergantung berat
ringannya sumbatan yang terjadi gejala klinisnya
seperti dispnea, pernapasan cuping hidung, disagia,
stridor inspiratoar, suara serak atau parau, retraksi otot
pernapasan (suprasternal, supraklavikula, interkostal,
epigastrik) dan takikardia disertai kelelahan. Bila
gejala menghebat penderita tampak gelisah kehilangan
orientasi, pucat, sianosis, dan akhirnya menjadi lemah.
Infeksi pada saluran napas atas termasuk
infeksi laring akut dan kronis dapat berlanjut menjadi
suatu obstruksi jalan nafas. Infeksi laring ini dapat
diderita oleh semua tingkatan usia. berdasarkan kondisi
anatominya, infeksi laring pada anak lebih
menimbulkan masalah dibandingkan orang dewasa.
Penyebab tersering untuk obstruksi jalan
napas karna infeksi pada laringo-trakeo-bronkitis akut.
Kondisi ini timbul paling banyak pada anak anak.
Obstruksi disebabkan oleh edema mukosa laring,
trakea, dan bronkus, dan juga oleh sekret yang kental.
Serak, batuk kering, stridor, dispne, kelelahan dan
demam dapat timbul bila penyakit bertambah berat.
Peningkatan frekuensi pernapasan dan retraksi
suprasternal selama inspirasi merupakan tanda yang
harus diwaspadai oleh dokter untuk melakukan
trakeostomi.
Tindakan trakeostomi selain itu untuk
menyelamatkan nyawa pasien juga untuk memperbaiki
keadaan umum pasien. Dengan tindakan trakeotosmi
diharapkan oksigeniasi ke jaringan lebih baik.
Sehingga pasien menjadi lebih tenang dan dapat
melanjutkan pengobatan selanjutnya. Diharapkan para
dokter khususnya dibidang THT dapat melakukan
trakeostomi dengan terampil dan aman untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan dapat menghindari
berbagai komplikasi semaksimal mungkin.
Definisi dan Sejarah
Trakeotomi dan trakeostomi merupakan istilah
yang sering digunakan untuk pembukaan dinding
anterior leher guna mencapai trakea yang bersifat
sementara. Trakeotomi adalah suatu insisi yang dibuat
pada trakea, sedangkan trakeostomi merupakan
tindakan membuat stoma yang selanjutnya diikuti
dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat
masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas
bagian atas. Trakeostomi permanen merupakan
tindakan menjahit stoma permanen ke mukosa trakea
setelah laringektomi. Trakeostomi elektif dilakukan
apabila diduga akan dilakukan timbul problem
pernapasan dalam periode pasca operasi leher, kepala
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

untuk setiap kasus insufisiensi respirasi karena


hipoventilasi alveoli, untuk mengeluarkan sekret atau
untuk keperluan pemasangan alat bantu pernafasan.
Tindakan trakeostomi mempunyai sejarah yang
panjang dimaa Mc Clelland percaya terdapat 5 periode
dalam perkembangan dan penerimaan tindakan
trakeostomi. Periode I, Asclepiades yang lahir sekitar
tahun 124 SM merupakan orang yang pertama
melakukan trakeostomi ini. Keberhasilan tindakan ini
dicatat oleh Brasallova pada tahun 1546, pada kasus
Ludwig Angina. Periode II, antara tahun 1546-1833,
dimana pada masa ini tindakan trakeostomi sangat
ditakuti karena tingginya angka kegagalan. Periode III,
dipopulerkan oleh Chevallier Jackson, 1921, yang
mengemukakan
teknik-teknik
modern
untuk
trakeostomi dan menentang dilakukanya insisi pada
kartilago krikoid atau cincin trakea pertama untuk
mengurangi angka komplikasi yang tinggi akibat
stenosis subglotik latrogenik. Pada masa ini indikasi
trakeostomi adalah sumbatan jalan nafas bagian atas.
Periode IV, dimulai tahun 1932, saat Wilson dan
Galloway mengemukaan bahwa koreksi jalan nafas
dapat dilakukan pada kasus-kasus seperti poliomielitis,
cedera kepala dan dada yang beat, intoksikasi
barbiturat dan pasca operasi. Periode V, mulai tahun
1960, dimana indikasi trakeostomi berkenbang untuk
mengatasi
akumulasi
sekret
dan
kegagalan
hipoventilasi.
Saat
ini
trakeostomi
lebih
dipertimbangkan dibandingkan intubasi endotrakea
untuk pemakaian jangka panjang yaitu lebih dari 72
jam hingga 96 jam untuk orang dewasa dan 6 hari
untuk anak-anak.
Indikasi
Tindakan trakeostomi terutama dilakukan
dalam usaha mencegah terjadinya asfiksia yang
disebabkan oleh adanya obstruksi laring dan sering
berakhir dengan kematian. Tindakan ini merupakan
pembebasan jalan napas sehingga diharapkan aliran
udara ke paru-paru dapat lancar kembali sehingga
keadaan asfiksia dapat dicegah. Obstruksi laring
merupakan gangguan tersering dari jalan nafas
terutama keadaan yang menyebabkan penyempitan
ritma glotis. Gejala yang timbul tergantung dari tingkat
penyempitna ritma glois, kausa dan lokasi
obstruksinya.
Menurut Jackson gejala obstruksi saluran nafas atas
(laring) dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu :
Stadium I : adanya retraksi pada fosa suprasternal
yang ringan dan penderita dalam keadaan tenang
Stadium II : retraksi pada fosa suprasternal lebih
dalam disertai retraksi epigastrium dan penderita
mulai tampak gelisah

Stadium III : retraksi pada fosa suprasternal, supra


dan infra klavikula, interkostal dan penderita lebih
gelisah
Stadium IV : seperti stadium III disertai pucat dan
tampak cemas. Frekuensi pernafasan makin cepat
yang kemudian makin melambat dan akhirnya
berhenti
Secara garis besar terdapat tiga kelompok dasar
indikasi untuk melakukan trakeostomi, yaitu:
a.

b.
c.
d.
e.

f.
g.
h.

Obstruksi saluran nafas bagian atas


Obstruksi oleh tumor di trakea bagian atas, esofagus,
laring, faring dan kelenjar tiroid, seperti pada
tumor pada stadium lanjut dan edema setelah
radioterapi atau operasi
Kelumpuhan (paralisis) pita suara bilateral
Lesi laring kongenital seperti pada stenosis subglotis,
laringeal web, hipoplasia atau displasia laring dan
anomali trakeosofageal.
Trauma yang menyebabkan fraktur atau luka pada
laring dan trakea, inhalasi panas
Trauma maksilofasial dengan kerusakan luas tulang
dan jaringan lunak seperti pada Le Fort II-III,
fraktur multipel mandibula dan maksila disertai
perdrahan.
Benda asing pada saluran nafas bagian atas
Penyakit inflamasi pada laring, trakea, faring, dan
lidah seperti angina Ludwig, epiglotis akut, croup
viral dan lain-lain
Sleep apneu syndrome (SAS)
1.

Insufisiensi ventilasi akibat penumpukan sekret


a. Batuk yang tidaka dekuat akibat operasi di
perut dan dada
b. Bronkopneumonia
c. Muntahan dan aspirasi isi lambung
d. Luka bakar wajah, leher dan cabang bronkus
e. Keadaan yang mengakibatkan koma seperti
pada DM, uremia, septikemia, hepatic failure

2.
1.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Sindrom hipoventilasi aleveoli


Obstruksi paru-paru kronik (PPOM) yang
disertai hipoventilasi alveoli seperti pada
bronkhitis kronis, emfisema, bronkiektasi dan
asma
2.
Depresi pernafasan sekunder karena keracunan
obat dan makanan
Tertekannya dinding dada akibat flail chest, patah
tulang iga dan emfisema akibat pembedahan
Paralisis dinding dada
Eklamsia
Cedera kepala dan dada yang berat
Emboli udara dan lemak
Koma pasca operasi bedah saraf
Penyakit-penyakit SSP seperti, stroke, ensefalitis,
Gullian Barre Syndrome, poliomielitis dan tetanus
Pada keadaan-keadana diatas, trakeostomi
dilakukan dengan menilai beat ringanya gangguan
pernapasan yang terjadi. Selain untuk membebaskan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

jalan nafas, trakeostomi juga mempunyai beberapa


fungsi seperti:
Menurunkan anatomical dead spacepada saluran
trakeobronkial
Menurunkan resistensi aliran udara sehingga bisa
meningkatkan efektivitas ventilasi alveolar
Perlindungan terhadap terjadinya aspirasi
Memungkinkan penderita menelan tanpa terjadinya
apneu
Memudahkan pembersihan trakea
Sebagai jalan untuk pemberian obat-obatan dan
humidifikasi saluran trakeobronkial
Menurunkan tekanna batuk, yang diperlukan pada
beberapa kasus neurologi dan post operasi
Kontra Indikasi
Tindak ada kontra indikasi mutlak untuk
tindakan trakeostomi. Untuk kasus-kasus tertentu yang
tidak emegensi misalnya tumor subglotis, tindakan
trakeostomi bisa ditangguhkan. Dalam hal ini
trakeostomi sebaiknya dilakukan pada saat atau dekat
dengan waktu laringektomi. Hal ini untuk menghindari
kemungkinan tumor mencapai stoma.
Keuntungan Trakeotomi
a.
Membebaskan jalan nafas dari obstruksi yang
ada diatas lubang yang dibuat di trakea
b.
Mengurangi
dead
space
pada
cabang
trakeobronkial, sehingga jumlah udara yang tidak
diperlukan pada saat inspirasi dan ekspirasi pada
tiap kali berbafas akan berkurang
c.
Usaha untuk mengatasi kesulitan bernafas
berkurang, sehingga kerja otot pernapasan lebih
ringan
d.
Cabang bronkial akan lebih mudah diaspirasi
e.
Cabang bronkial terlindung dari penghisapan dari
isi faring
f.
Penderita dapat lebih bebas untuk bernafas
Kerugian Trakeostomi
a.
Filtrasi udara tidak sempurna, sehingga
kemungkina terkena infeksi kuman lebih besar
b.
Humidifikasi kurang sempurna
c.
Menimbulkan jaringan-jaringan parur di leher
d.
Dapat timbul komplikasi yang tidak diinginkan,
seperti
perdarahan,
emfisema
subkutan,
pneumototaks dan sebagainya,
Jenis-Jenis Trakeostomi
1. Menurut letak stoma :
Trakeostomi letak tinggi
Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada
cincin trakea 1, di sebelah atas isthmus tiroid
sebagai patokan. Cara ini mempunyai resiko
seperti :
Kemungkinan mengenai plika vialis lebih
besar
Dapat terjadi stenosis laring

Insisi pada cincin trakea 1


menyebabkan perikondritis trakea

dapat

Trakeostomi letak tengah


Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada
bagian yang ditutupi isthmus tiroid, pada
cincin trakea III-IV. Merupakan cara yang
paling banyak dipakai karena relatif paling
aman

2.

Trakeostomi letak rendah


Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada
bagian bawah isthmus tiroid. Jenis ini sangat
jarang dilakukan karena :
Merupakan daerah yang aling banyak
mengandung pembuluh darah besar
sehingga sangat berbahaya
Letak trakea daerah ini terlalu dalam
Bila kanul lepas, sulit untuk dilakukan
reinsersi
Kemungkinan
terjadinya
emfisema
mediastinum lebih besar
Ujung kanul dapat melewati karina,
sehingga dapat menimbulkan laserasi
dinding bifurkasio
Jarak antara stoma dan kulit terlalu jauh
sehingga janul mudah tertarik keluar

Menurut Saat Melakukannya


Trakeostomi Emergensi
Merupakan tindakan trakeostomi untuk
mengatasi keadaan gawat darurat dengan
waktu yang sangat mendesak, karena bila
tidak segera dilakukan trakeostomi akan
membahayakan jiwa pasien. Dilakukan tanpa
harus dengan persiapan yang lengkap dan tak
harus di kamar opeasi.

Trakeostomi Elektif
Merupakan tindakan trakeostomi yang
terencana, sehingga persiapan dapat dilakukan
dengan lebih sempurna, termasuk persiapan
alat dan bila memungkinkan dilakukan di
kamar operasi

Teknik Operasi
A. Persiapan Alat
Trakea kanul dengan ukuran yang sesuai untuk
pasien
Skalpel, klem
Bisturi lengkung
Tenaklumum model Chevalier Jackson
Retraktor kecil, dua buah
Trousseau dilator
Klem hemstat, enam buah
Gunting tajam, untuk diseksi
Jarum kecil, untuk ligasi dan jahitan kulit
Needle holder
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Catgut untuk ligasi


Spuit hipodermik, untuk anestesi lokal
Pita linen, kasa pembalut, plester
Aspirator listrik, kateter karet

B. Metode dan Pelaksanaan


Pre Trakeostomi
Sebelum melakukan tindakan trakeostomi, operator
harus menjelaskan kepada penderita tentang
tindakanyang akan dilakukan dengan segala resikonya
sehingga dalam hal ini perlu informed consent seperti
tindakan bedah lainya.
Anestesi
Biasanya dilakukan anestesi lokal, yaitu dengan
infiltrasi novokain (xylocain, lidokain) 2% atau
prokain 1% dengan atau tanpa epinerfin ke jaringan
intra dan subkutan pada linea mediana leher setinggi
batas kartilagi tiroidea menelusur ke bawah sampai
batas bawah isthmus tiroid. Pada anak kecil, anestesi
lokal kurang memuaskan, sebaiknya dilakukan narkose
umum yang ringan atau bila ahli anestesinya telah
berpenglaman
dapat
dilakukan
pemasangan
endotrakeal tube sehingga palpasi trakea lebih mudah.
Posisi Penderita
Pasien berbaring terlentang dengan bagian kai lebih
rendah 30 derajat guna menurunkan tekanan vena
sentral pada vena-vena leher. Suatu selimut terlipat
atau bantal ditempatkan diantara skapula agar leher
cukup terekstensi sehingga trakea lebih mudah dicapai.
Agar ekstensi kepala dan kelurusan trakea terjaga
selama tindakan, dimana tangan kanan asisten
memegang dahi dan tangan kiri pada oksiput.
Metode Digby
Metode ini dilakukan pada trakeostomi elektif dengan
urutan:
Dilakukan tindakan a dan antiseptik di daerah
leher depan dan sekitarnya
Dilakukan anestesi infiltrasi di daearh operasi
Dilakukan insisi kulit sampai otot plastima secara
vertikal (di garis mediana, mulai dari batas atas
kartilagi krikoid smpai 4-6 cm kebawah) atau
horisontal (2 cm di bawah kartilago krikoid
sepanjang 5 cm)
Fascia dipisahkan dengan hemostat secara tumpul
vertikal
Fascia disisihkan ke lateral dengan retraktor kecil
Perdrahan diklem atau diligasi
Dilakukan diseksi secara tjam atau tumpul sampai
terlihat Fascia pretrakealis
Isthmus tiroid bila perlu dipotong atau diligasi
Dilakukan palpasi trakea berulang-ulang selam
adiseksi atau insisi untuk memastikan arah diseksi
Memastikan trakea, dilakukan aspirasi udara
trakea

Dilakukan anestesi infiltrasi transtrakea untuk


mencegah spasme batuk hebat setelah insisi cincin
trakea
Dengan skalpel yang dipegang seperti memegang
pinsil, dilakukan insisi vertikal melalui cincin
trakea II dan III, bila perlu IV. Hindari cincin I,
karena bisa menimbulkan stenosis
Tepi luka cincin trakea III dijepit dengan hemostat
dan digunting melingkar sehingga terbentuk stoma
Asisten melakukan penghisapan sekret via stoma
dan menjaga slang oksigen tetap terpasang di
hidung selama operasi dan memindahkan ke depan
stoma bila trakea telah terbuka
Kanul trakea dipasang, balon dikembangkan
(kalau ada)
Dipasang gaas steril yang telah dibasahi antiseptik
antara sayap kanul dan kulit
Kanul difiksasi dengan pita dililitkan di leher
Insisi horizontal mempunyai keuntungan kosmetik,
tetapi mempunyai beberapa kerugian, misalnya :
Kulit dapat terlipat akibat terdorong kanul kearah
dalam
Sering terjadi penumpukan sektret pada lipatan
insisi kulit bagian bawah
Ujung kanul sering menekan dinding depan trakea
sehingga mudah terjadi granulasi, nekrosis,
stenosis atau perdarahan
Lapang pandang operasi lebih sempit dibanding
insisi vertikal

Metode Chevalier Jackson


Cata ini dilakukan pada trakeostomi emergensi
sehingga alat-alat yang disiapkan tidak harus lengkap.
Bila tak ada pisau bisa digunakan pisau biasa dan
kanul pun dapat diganti dengan slang dari karet.
Walaupun tindakan trakeostomi ini dapat dilakukan
dimana saja, jangan lupa untuk melakukan tindakan a
dan antiseptik semaksimal mungkin. Uritan-uturannya
adalah sebagai berikut :
Dilakukan tindakan a dan antiseptik di daerah lehr
bagian depan dan sekitarnya
Ibu jari dan jari tengah tangan kiri menekan m.
Sternokleidomastoideus pada kedua sisinya untuk
melindungi pembuluh darah dan sekaligus
menfiksir kartilago laring dan trakea
Dengan skalpel dibuat insisi di linea madiana,
vertikal mulai dari kartilago krikoid sampai
isthmus tiroid dan tampak trakea
Dengan telunjuk sebagai penuntun, cincin trakea
II-IV dipotong vertikal
Dibantu tangkai skalpel, celah insisi trakea
dilebarkan sehingga kanul dapat masuk
Bila ada perdarahan, dilakukan ligasi
Dipasang gaas steril antara sayap kanul dengan
kulit dan kanul difiksasi dengan pita
C. Perawatan Pasca Trakeostomi
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Walaupun tindakan trakeostomi berjalan lancar,


hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah
perawatan selanjutnya selama kanul masih terpasang.
Perawatan yang kurang adekuat dapat menyebabkan
kematian terutama pada bayi dan anak.
Humidifikasi
Humidifikasi atau pengaturan kelembaban udara
penting untuk mencegah trakeitis atau krusta. Trakeitis
atau krusta dapat terjadi karena udara inspirasi masuk
kedalam saluran pernafasan tanpa filtrasi yang
sempurna, sehingga menyebabkan gangguan aktivitas
dari silia mukosa bronkus serta gangguan irama silia
untuk mengeluarkan sekret/partikel dari saluran
pernafasan. Akibatnya sekresi mukus berkurang dan
dapat terjadi metaplasia dari epitel skuamosa trakea
yang akhirnya membentuk krusta. Karena epitel
mukosa tidak bisa melakukan proteksi terhadap kuman
yang masuk, dapat terjadi trakeitis
Humidifikasi dapat dilakukan dengan nebulizer
atau alat yang berbentuk kancing yang diletakan di
deoan kanul. Bila sekret yang timbul menjadi keras
atau kering sehingga terbentuk krusta dapat diteteskan
NaCl 0,9% steril sampai 2 cc dengan atau tanap Na.
Bikarbonat.
Penghisapan Sekret
Untuk menjaga kebersihan kanul, trakea dan bronkus
dari sekret yang timbul, maka diperlukan penghisapan
dari sekret tersebut. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan tindakan ini adalah :
Mencuci tangan sebelum melakukan penghisapan
Usahakan memisahkan kateter hidung dan kateter
trakea
Lakukan penghisapan dengan hati-hati
Gunakan konektor Y sehingga lebih nyaman bagi
penderita
Lakukan penghisapan selama 15 detik atau kurang
setelah insersi kateter ke trakea bagian distal
sambil diputar dan ditarik
Penggantian Kanul
Pada kanul metal ada kalanya sekret atau krusta sulit
dibersihkan, maka perlu dipertimbangkan untuk
mengganti kanul dengan yang bersih. Sekarang banyak
dipergunakan kanul dari bahan Polyvynil Chlorida dan
karet silikon, karena mempunyai keuntungan seperti :
Sedikit menimbulkan reaksi jaringan
Sedikit menimbulkan ulserasi bila digunakan
bersama respirator
Monitoring lebih mudah karena tidak memakai
kanul dalam
Panjang kanul dapat disesuaikan dengan keperluan
Walaupun demikian, kanul non logam ini mempunyai
kerugian yaitu tidak bisa disterilkan dengan Ethilen
Oxyde, sebab zat yang dihasilkan akibat reaksinya
yaitu ethilen glikon dan ethilen chloride dpat
menyebabkan kerusakan mukosa yang berat. Jadi

untuk mendapatkan perawatan yang adekuat, perlu


diperhatikan hal-hal dibawah ini :
Harus ada perawat khusus yang mendampingi
pasien. Bila tidak memungkinkan sebaiknya
penderita ditempatkan dekat kamar perawat jaga
Karena tidak bisa berbicara atau suaranya tidak
bisa keras, penderita dapat diberi alat bantu
komunikasi seperti bel atau alat tulis
Bagian dalam kanul harus dibersihkan secara
berkala. Ada penderita yang melakukannya setiap
30 menit sekali, tetapi ada juga yang
membersihkannay bila dirasakan perlu saja.
Sangat diharapkan pada pasien dengan
trakeostomi jangka panjang untuk mempunyai
kanul cadangan, sehingga saat dekanulasi untuk
pembersihan, dapat langsung diinsersi dengan
kanul yang lain. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah menutupnya stoma saat kanul
dibersihkan.

D. Komplikasi
Sebagai akibat dari tindakan trakeostomi, dapat
terjadi komplikasi yang saat menurut terjadinya dibagi
atas :
Komplikasi segera: terjadi dalam waktu 24 jam
pertama setelah trakeostomi, yaitu:
Apneu, terjadi akibat hilangnya stimulasi hipoksia
dari respirasi. Pada pasien hipoksia berat yang ditrakeostomi, mulanay pasien masih bernafas
dengan benar untuk 1-2 kali, lalu terjadi apneu.
Hal tersebut terjadi akibat denervasi fisiologis dari
kemoreseptor perifer karena peningkatan p CO2
tiba-tiba dari udara pernafasan
Perdarahan, terjadi bila hemostasis saat
trakeostomi tidak sempurna serta dipengaruhi
naiknya tekanan arteri secara mendadak setelah
tindakan operasi dan peningkata tekanan vena
karena batuk. Perdarahan yang terjadi biasanya
tidak berbahaya, cukup diatasidg pembalutan gaas
steril sekitar kanul. Bila tidak berhasil harus
dilakukan ligasi dengan meleps kanul
Trauma struktur sekitar luka operasi,
dapat
disebabkan oleh diseksi yang terlalu dalam yang
dapat mengenai esofagus, n. Laringeus rekuren
atau kupula pleura. Untuk mengatasi hal tersebut,
dapat dipasang endotrakeal tube sebelum
trakeostomi, terutama pada anak-anak.
Emfisema subkutan, biasanya terjadi sekitar
stoma, tetapi bisa juga meluas ke daerah muka dan
dada atas.hal ini terjadi karena terlalu rpatnya
jahitan luka insisi sehingga udara yang
terperangkap didalamnya dapat masuk ke jaringan
subkutan pada saat batuk atau karena terlalu
sempitnya lubang pada fascia pretrakeal sekitar
kanul. Untuk mengatasinya dilakukan multiple
puncture dan longgarkan semua jahitan untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut seperti
pneumomediastinum dan pneumotoraks

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Pneumomediastinum, timbul karena peresapan


udara melalui luka atau karena batuk, sehingga
udara di jaringan servikal turun diantara lapisanlapisan mediastinum. Hal ini dapat dicegah dengan
membungkus
luka
yang
terbuka.
Pneumomediastinum
dapat
menyebabkan
robeknya pleura parietalis, sehingga timbul
tension atau simplwe pnemothotax
Pneumotoraks, walaupun kasusnya jarang, tetapi
harus tetap diwaspadai khususnya pada anak. Pada
anak-anak, kupula pleura letaknya lebih tinggi
sehingga udara bisa merambat ke kavum pleura
pada trakeostomi letak rendah. Hal ini dapat
dicegah dengan endotrakeal tube. Terapinya
dengan memasang chest tube secara water seal
drainage
Cedera kartilago krikoid, terjadi karena
trakeostomi letak tinggi, dicegah dengan
melakukan trakeostomi dibawah level isthmus
tiroid.
Trakeitis dan trakeobronkitis, sering terjadi pada
bayi karena asfiksia udara via kanul tidak
mengalami humidifikasi yang sempurna. Bisa
dicegah dengan humidig=fikasi dan nebulizer
sehubungan dengan trakeal collar
Fistula trakeo-esofageal, disebabkan diseksi yang
terlalu dalam sehingga terjadi penetrasi pada otot
bagian posterior trakea
Paralise n. Laringeus rekuren, terjadi karena
diseksi terlalu ke lateral, dapat dicegah dengan
diseksi di median dan menfiksasi trakea di tengah
atau memasang endotrakeal tube
Aspirasi
Malposisi kanul, terjadi karena ikatan kanul
kurang tegang atau karena ukuran kanul kurang
panjang, sehingga bisa menggeser kanul terutama
bila kepala fleksi. Kanul yang terlalu panjag dapat
menyebabkan cedera dinding anterior trakea atau
karia, ulserasi dan obstruksi partial trakea, ruptur
a. inominata dana telektasis satu sisi paru-paru
karena kanul masuk ke bronkus sebelahnya.
Komplikasi ini sering terjadi dan bisa dicegah
dengan pemilihan ukuran kanul yang sesuai dan
evaluasi rradiologis
Aerophagia, komplikasi ini sering terjadi pada
anak dan bayi, serta bisa menyebabkan dispneu
menetap dan kematian. Diperlukan tindakan
dekompresi dengan pemasangan NGT
Obstruksi kanul, biasanya oleh sumbatan sekret
atau darah beku karena perawatan yang kurang
adekuat. Bila penghisapan sekret
tidak
menghilangkan gejala obstruksi, maka merupakan
indikasi untuk penggantian kanul.

Komplikasi kemudian
Perdarahan yang terhambat, timbul karena terjadi
erosi pembuluh darah seperti a. inomita atau a.
thyroidea superior dan inferior, akibat tekanan

ujung kanul pada trakea yang menyebabkan


nekrosis. Bila hal ini terjadi, lakukan brknkoskopi
untuk melihat penyebabnya dan erosi dijahit lewat
m,edian sternotomi. Untuk pencegahan, lakukan
insisi yang adekuat, hindarkan melakukan
trakeostomi letak rendah, gunakan kanul palstik
atau silikon. Perhatikan tindakan aseptik saat
melakukan trakeostomi dan perawatan pasca
trakeostomi yang adekuat
Stenosis trakea, menimbulkan gejala seperti
stridor, biasanya terlambat yaitu setelah
stenosisnya hebat. Sering terjadi pada anak-anak,
karena kartilagi krikoid terpotong pada saat
melakukan trakeostomi letak tinggi. Hal ini
menimbulkan jaringan granulasi dan defek yang
besar serta obstruksi laring. Disamping penyebab
diatas ada faktor predisposisi seperti ulserasi
mukosa, kerusakan dan absorbsi kartilago yang
bisa menimbulkan kontraktur sekitar cuff kanul
serta pemakaian obat steroid yang dpat
menyebabkan infeksi. Untuk mengatasi stenosis
dpat dilakukan reseksi daerah stenosis dilanjutkan
anastomosis end to end
Fistul trakea-esofageal, disamping karena insisi
yang terlau dalam bisa juga karena insisi ujung
kanul kearah posterior trakea dan dinding anterior
esofagus. Hal ini bisa menyebakan aspirasi isi
lambung sehingga bisa terjadi pneumonitis.
Penutupan fistel secara spontan sulit diharapkan
sehingga diperlukan tindakan operatif dengan
membuat rotation flap dari otot untuk menutup
bagian yang terbuka.
Disphagia, diperkirakan terjadi karena adanya
hambatan langsung jugulo mandibular refleks
pada saat menelan, yang disebabkan oleh fiksasi
trakea ke kulit dan strap muscle oleh kanul, yang
dikelilingi oleh derah fibrosis, sehingga otot
suprahloid terganggu.
Fistula trakeokutaneus, disebabkan adanya
epitelialisasi, mengakibatkan gangguan penutupan
dari stoma, sehingga diperlukan tindakanoperasi
plastik
Infeksi, biasanya merupakan infeksi sekunder dari
perawatan yang kurang adekuat seperti
penghisapan dan humidifikasi
Malposisi kanul, dapat menimbulkan obstruksi
total sehingga dapat menyebabkan kematian.
Henti jantung, akibat sekunder dari efek hipoksia
dan asidosis.
Jaringan parut, terjadi pada insisi vertikal dan
trakeostomi lama. Dapat berupa perlengketan kulit
ke trakea, sehingga mengganggu gerakan trakea.
Diperlukan tindakan operatif untuk mengatasinya.
Trakeomalasia, biasanya terlokalisir, meliputi
daerah superior dari sayatan trakea. Dapat terjadi
karena ukuran kanul yang terlalu besar serta
bersudut tjam, menyebabkan gesekan tekanan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

pada cincin trakea diatasnya dan dinding posterior.


Hal ini menyebabkan hilangnya rigiditas trakea.
Dekanulasi yang sulit, merupakan komplikasi
yang tersering pada anak-anak, biasanya sekunder
dari faktor psikis dan organis karena pemakaian
kanul yang terlalu lama. Penyebab sulitnya
dekanulasi karena:
a. Anak terbiasa dengan resistensi jalan nafas
yang kurang karena trakeostomi menurunkan
dead space
b. Anak cenderung melupakan refleks apneu
selama deglutasi sehingga dapat menyebabkan
aspirasi
c. Terjadi kolaps trakea
d. Kesalahan prosedur dan perawatan pasca
trakeostomi
e. Pemakaian kanul yang tidak sesuai
f. Paralise n. Laringeus rekuren
g. Pemakaian endotrakeal tube yang terlalu lama
E. Dekanulasi
Sebelum dilakukan dekanulasi, harus dipastikan
bahwa pasase udara melalui rima glotis berjalan lancar,
untuk itu perlu dilakukan laringoskopi. Sebaiknya
dekanulasi dilakukan secepat mungkin dan secara
berthap, yaitu lumen kanul ditutupi dengan gabus kecil
yang setiap hari diperbesar sampai menutup seluruh
lumen. Bila yakin pasien tidak sesak, maka kanul dapat
dicabut dan luka operasi ditutup dengan gaas steril
setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi dengan atau
tanpa penjahitan luka.
Penyakit dekanulasi
Kondisi yang memerlukan trakeostomi yang
menetap
Dislokasi dinding trakea
Jaringan granulasi sekitar stoma
Edema mukosa laring
Perasaan tergantung pada trakeostomi
Tindak mampu menyesuaikan diri dengan bernfas
biasa
Stenosis subglotis
Trakeomalasia
Ganguan pertumbuhan laring
Dekanulasi
pada anak-anak memerlukan
penanganan yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu
dalam hal:
Tempat dekanulasi harus di kamar operasi,
dilakukan oleh ahli THT yang didampingi oleh
perawat terlatih dan ahli anestesi
Peralatan reintubasi harus telah disiapkan
Observasi pasca dekanulasi dilakukan sampai
beberapa jam dan bila perlu dilakuka pemeriksana
kadar gas darah
Evaluasi diagnostik harus dilakukan bila ada
kesulitan dekanulasi

F. Perawatan Trakeostomi di Rumah


Merawat pasien dengan trakeostomi dalam jangka
waktu lama di rumah sakit tidak hanya mahal tapi juga
mubazir dan menjauhkan mereka dari lingkungan
keluarga. Pasien dengan trakeostomi, khususnya anakanak seharusnya dirawat di rumah. Para orang tua dan
keluarga yang lainnya dapat diajarkan merawat pasien
dengan trakeostomi. Merupakan tanggung jawab
dokter dan perawat untuk mempersiapkan orang tua
atau keluarga lainya, sehingga mereka menjadi percaya
diri dalam merawat pasien dengan trakeostomi.
Nasehat bagi keluarga pasien dengan trakeostomi
Reaksi orang tua au keluarga lainnya
sehubungan dengan trakeostomi ini bermacam-macam,
dijelaskan pada mereka bahwa perasan-peasaan seperti
itu adalah wajar. Harus ada komunikasi dua arah mulai
dari perasaan marah, tidak percaya diri, bersalah
sampai yang bisa menerima dan mengerti. Perlu arah
antara pasien dengan keluarga lainnya dan kesadaran
akan kenyataan yang dihadapi, sehingga mereka
menjadi lebih percaya diri.
Latihan Perawatan di Rumah
Latihan
perawatan di rumah telah dapat
dimulai sebelum tindakan trakeostomi dilakukan,
seperti memberi penjelasan tentang anatomi dan fungsi
laring. Perlu diberi pengertian tentang :
Sebab-sebab mengapa dilakukan tindakan
trakeostomi
Bahwa trakeostomi dapat mengembalikan
sebagian dari fungsi laring
Udara pernapasan melalui kanul tidak cukup
hangat, lembab dan tidak tersaring dengan baik.
Supaya orang tua dapat dengan cepat mempelajari
perawatan trakeostomi, mereka harus menyediakan
banyak waktu sg seluruh program pendidikan bisa
mereka ikuti, mulanya mereka diajak untuk
mengamati,
kemudian
mengerjakan
dibawah
pengawasan, sampai akhirnya mereka dapat
melakukanya sendiri. Para orang tua diberi
pengetahuan tentang:
Perawatan stoma dan kulit, karena epitelialisasi
berlangsung dengan cepat, maka stoma dan kulit
harus dijaga tetap kering dan bersih, dengan garam
fisiologis dan antiseptik ringan, sehingga bebas
dari iritasi dan infeksi.
Irigasi dan penghisapan, dapat dipermudah dengan
memasukkan 0,5 1 cc larutan garam Isotonis
kedalam kanul trakea. Kateter penghisap
dimasukan sambil diputar dan ditarik kembali,
tidak boleh lebih dari 20 detik setiap penghisapan.
Mengganti verban trakeostomi, dapat dilakukan
setiap hari atau sewaktu-waktu kotor atau basah
dan sebaiknya dilakukan oleh dua orang. Penting
untuk memeriksa ketegangan ikatan kanul, agar
kanul tetap pada psoisisinya ygtepat, yaitu dengan
cara pada posisi duduk, kepala anak difleksikan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

sambil memasukan jari telunjuk diantara tali


ikatan dan leher.
Menganti kanul trakeostomi, pada umumnya
cukup dilakukan satu kali sminggu, tetapi apabila
krusta cepat terbentuk sehingga dapat menyebakan
obstruksi lumen kanul, diperlukan penggantian
yang lebih sering. Pada saat penggantian kanul,
perlu diperhatikan :
a. Harus dilakukan oleh dua orang dewasa
b. Pencahayaan yang cukup
c. Kanul cadangan dan alat penghisap harus
sudah disediakan
d. Stoma dibersihkan terlebih dahulu sebelum
kanul diganti
Fisioterapi dada
Deteksi dan penanganan komplikasi :
a. Infeksi saluran nafas
b. Resusitasi
Membersihkan dan sterlisasi perlengkapan, untuk
alat yang terbuat dari bahan non metal cukup
dicuci dengan air sabun hangat, sementara yang
terbuat dari metal dapat disterilkan dengan
autoclav atau direbus.
Masalah lain yang berhubungan dengan
trakeostomi:
a. Disiplin, kesiapan alat penghisap, pasien
jangan ditinggal sendirian
b. Belajar berbicara dan berbahasa
c. Gaas yang menutupi kanul
d. Makan, minum dan bermain, mandi serta
mencuci rambut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ballanger, J.J. : Diseases of the Nose, Throat, Ear,
Head and Neck. 13th ed. Philadelphia, Lea &
Febiger. 1985. page 424-434, 511-539.
2. Boies : Fundamental of Otolaryngology a textbok of
Ear, Nose and Throat Deseases. 6th ed.
Philadelphia, W.B. Saunders Company. 1989. page
369-387, 473-484.
3. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1.
Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page
1/12/1-1/12/18.
4. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 5.
Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997.
page5/5/1-5/5/18.
5. Cumming C.W. : Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2nd ed. Vol. 3. St Louis. Mosby Year Book.
193. page 1854-1862, 2389-2391.

6. Lee KJ : Essential Otolaryngology Head and Neck


Surgery. 6th ed. Connecticut, Appleton & Lange.
1993. page 757-777, 805-810.
7. Montgomery William : Surgery of the Upper
Respiratory System. 2nd ed. Vol. 2. Philadelphia, Lea
& Febiger. 1989. page 365-400.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

7.1.2

Keterlambatan
INFEKSI RUANG LEHER

Infeksi Ruang Leher adalah suatu proses


infeksi yang terjadi di dalam ruang-ruang yang saling
berhubungan yang dibatasi oleh otot dan fasia yang
terdapat didaerah leher. Untuk menegakkan diagnosis
dan melakukan tindakan pengobatan pada infeksi
ruang leher terutama secara pembedahan, maka
diperlukan pengetahuan mengenai anatomi ruang
leher, komplikasi yang sering ditimbulkan seperti
perdarahan, asfiksia, disfagia, dan mediastinisis.
Infeksi ruang leher meliputi infeksi pada ruang
submandibular, faringeal lateral, retrofaringeal, danger
space, dan ruang prevertebral.1,2,3
Kuman pada infeksi ruang leher masuk
melalui infeksi di gigi, infeksi tonsil, benda asing, dan
melalui faring. Sumber infeksi lain adalah melalui kulit
misalnya akibat furunkel, karbunkel, trauma,
instrumentasi, aspirasi benda asing, limfadenitis
servikal, kista tiroglosus, tiroiditis, dan laserasi
superficial yang terinfeksi. Sumber lain adalah infeksi
pada kelenjar ludah, sinus paranasalis, esophagus, atau
saluran nafas. Sebanyak 20%-50% pasien dengan
infeksi ruang leher tidak teridentifikasi sumbernya.1,4,5
Faktor risiko lain yang berpengaruh adalah
pada pasien-pasien dengan immunocompromise karena
infeksi HIV, kemoterapi atau pada pengguna obat-obat
imunosupresan.6
Ancaman jiwa akibat infeksi pada daerah
kepala dan leher sedikit lebih berkurang
sejak
ditemukannya antibiotika dan angka kematiannya
relatif rendah. Penggunaan antibiotika secara luas tidak
hanya menurunkan insidensi ancaman jiwa tetapi juga
merubah tampilan klinisnya. Tanda-tanda sistemik
seperti demam, menggigil, dan tanda-tanda klasik dari
infeksi akan berkurang pada pasien-pasien yang
sudah diobati dengan antibiotika.
Infeksi ruang leher dalam berbahaya, karena
kecenderungan penyebaran bakterinya baik secara
hematogen ataupun langsung melalui fasia dapat
mengenai
mediastinum
anterior,
ruang
pleuropulmonary, ruang retrofaring, ruang prevertebra,
danger space dan katup jantung. Untuk itu kita harus
mengenali faktor risiko dari infeksi ruang leher dalam
termasuk abses dentoalveolar, trauma leher, intubasi
endotrakheal, trauma akibat tertelan benda asing, dan
pada penyalahgunaan obat secara intra vena. 2,7,8

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

atau
kesalahan
dalam
diagnosis dapat menyebabkan konsequensi yang sangat
menakutkan termasuk mediastinitis bahkan kematian.1
Penatalaksanaan bisa diawali dengan dosis
antibiotik intravena, bila jalan nafas berada dalam
keadaan berbahaya diperlukan tindakan trakeostomi.
Bila infeksi tersebut menyebabkan pembentukan abses,
maka tindakan bedah perlu dilakukan. 2 Tindakan
secara aggressive baik secara medikamentosa maupun
pembedahan bertujuan mencegah komplikasi yang
tidak diinginkan.1

Kematian karena infeksi ruang leher sering


terjadi, biasanya disebabkan oleh septikemia, asfiksia,
atau akibat perdarahan. Sebelum antibiotika dikenal,
septicemia merupakan penyebab kematian terbanyak,
akan tetapi dengan
adanya antibiotika
dapat
menurunkan insidens dan angka kematian akibat
infeksi pada ruang leher dalam.2,6 Meskipun demikian
pernah dilaporkan rata-rata angka kematian masih
sampai sebesar 40% pada era antibiotik modern pun.1
Ada beberapa masalah yang kita hadapi
dalam penatalaksanaan infeksi ruang leher:6

Anatomi di leher yang bersifat kompleks


sehingga mempersulit penetapan lokasi yang tepat
dari lokasi infeksi.

Lokasi ruang leher berada di dalam leher


yang tertutup oleh jaringan lunak superfisial yang
belum tentu terpengaruh oleh proses infeksi. Hal
ini membuat diagnosis cukup sulit untuk
ditegakkan karena infeksi ruang leher sulit untuk
dipalpasi dan tidak mungkin divisualisasi.

Akses menuju ruang leher harus dicapai


dengan cara insisi. Hal ini dapat memungkinkan
risiko terjadinya kerusakan struktur neurovaskuler
dan jaringan lunak.

Ruang leher dikelilingi oleh suatu struktur


yang mungkin terlibat dalam proses infeksi.
Sekuele potensial terjadi, misalnya disfungsi saraf,
erosi vaskuler atau thrombosis dan osteomyelitis.

Ruang leher memiliki hubungan satu sama


lain. Infeksi pada satu ruang dapat menyebar ke
ruang lain, dapat juga menyebar ke ruang di luar

daerah kepala dan leher seperti ke arah


mediastinum atau cocigeus.
Frans pada periode FebruariAgustus 2006
melakukan penelitian tentang abses ruang leher dalam
di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan
Sadikin Bandung dan Rumah Sakit Jejaring
mendapatkan hasil lokasi abses leher dalam yang
terbanyak yaitu ruang peritonsiler dan ruang
submandibuler, kemudian diikuti ruang koli
posterolateral,
koli
anterior
dan
m.
Strenokleidomastoideus, parafaring, parotis.9
Sumber infeksi dan gejala klinis berbeda pada
anakanak dan dewasa. Pada era sebelum antibiotik,
sekitar 70% infeksi berasal dari tonsil dan faring dan
sering menyebabkab terjadinya komplikasi infeksi
ruang parafaring terutama pada anak-anak karena
infeksi tonsil dan faring lebih sering pada kelompok
ini.1 Sedangkan pada kelompok umur dewasa sumber
infeksi lebih banyak berasal dari infeksi odontogenik
dan sebagian kecil dari infeksi kelenjar ludah, trauma
penetrasi, trauma saat pembedahan, benda asing dan
penyebaran dari lapisan superficial serta dari sumber
infeksi yang tidak diketahui penyebabnya.1

Noisy breathing
Hot Potato Voice
Sepsis

Abses Retrofaring5
Pemeriksaan Penunjang:
Pada pemeriksaan radiografi Soft Tissue Lateral,
kecurigaan akan abses retrofaring bila didapatkan
penebalan jaringan lebih dari 7mm pada daerah C2
atau lebih dari 14 mm pada anak-anak dan lebih dari
22 mm pada orang dewasa pada C6.10
1.2

1.
1.1

Sumber Infeksi dan Gejala Klinis


Infeksi Ruang Retrofaring
Abses retrofaring pada umumnya terbentuk
akibat supurasi dari nodus rouviere. Sumber infeksi
paling sering adalah proses infeksi di daerah hidung,
adenoid, nasofaring dan sinus parasinalis yang
mengalir ke kelenjar getah bening retrofaringeal.
Karena kelenjar getah bening retrofaring ini
mengalami regresi pada usia 4-5 tahun dan pada usia
yang lebih besar hanya mempunyai beberapa kelenjar
getah bening, sehingga kebanyakan abses retrofaring
diderita oleh anak-anak.2,3,6
Infeksi dapat masuk secara langsung akibat
dari trauma yang menyebabkan perforasi pada dinding
posterior faring atau esofagus, atau secara tidak
langsung dari ruang parafaring. Lebih dari 60% abses
retrofaring pada anak disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan akut, sedangkan pada orang dewasa lebih
banyak disebabkan oleh trauma dan benda asing.
Penyebab infeksi yang lain yang sering pada ruang
retrofaring ini adalah hidung, adenoid, nasofaring dan
sinus.2,3,6
Gejala klinik :
Demam
Pembengkakan leher dengan disertai nyeri
Bulging dinding posterior faring unilateral
(sesuai dengan lokasi KGB)
Odinofagia dan disfagia
Rigiditas nuchal, adenopati cervical dengan
leher miring pada posisi sehat
Snoring
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Infeksi Danger Space


Sumber infeksi:
Infeksi ruang retrofaringeal
Infeksi ruang prevertebral
Infeksi ruang pharyngomaxillary
Penyebaran secara limfatik dari hidung
tenggorokan (jarang)
Gejala klinis :
Sama dengan infeksi pada ruang primer
Sepsis berat (pada keadaan lanjut)

dan

1.3
Infeksi Ruang Prevertebra
Infeksi pada ruang ini jarang terjadi. Sumber infeksi:
Infeksi pada corpus vertebra oleh kuman pyogenic
atau tubercolusa
Luka penetrasi (iatrogenic)
Gejala:
Nyeri pada punggung, bahu dan leher yang
diperberat oleh gerakan menelan
Disfagia atau dispneu
Penyebarannya:
Langsung dari corpus vertebra atau ruang yang
berbatasan
Tubercolusis vertebral (cervical Potts abses)

Hubungan antara infeksi preveertebra dan


paravertebra dengan fasial layer4
Inflamasi akut yang terjadi pada ruang
retrofaring, danger space dan ruang prevertebral dapat
mengakibatkan spame otot-otot prevertebral sehingga
menimbulkan kehilangan lordosis cervikalis yang
normal.1
1.4
Infeksi Ruang Vaskular Dalam (Carotid
Sheath)
Sumber:
Ruang faringomaksilaris (paling sering)
Ruang submandibular
Ruang visceral
Trauma atau instrumentasi
Penyebaran: invasi lokal dari ruang yang berbatasan
Gejala klinis:
Pitting
edema
di
atas
musculus
sternocleidomastoid
Torticollis
1.5

Infeksi Ruang Faringomaksila/Parafaring


Ruang parafaring berhubungan dengan setiap
ruang yang ada pada leher sehingga menempati posisi
kunci pada leher. Ruang parafaring ini ke inferior
berhubungan dengan ruang submandibular melalui
celah terbuka antara m. Kontriktor superior, medius
dan m. Mylohyoid.2,3,7
Ke
posterior
ruang
parafaring
ini
berhubungan dengan ruang retrofaring sehingga ada
kalanya sulit dibedakan secara klinis diantara
keduanya, sedangkan ke lateral ruang parafaring
berhubungan dengan ruang mastikator dan parotis.2,3,7
Sumber infeksi:
Paling sering infeksi dari tonsil (60%), gigi molar 3
bawah (30%), faring, dan adenoid.
Kelenjar parotis lobus sebelah dalam (abses parotis)
Infeksi telingan tengah dengan destruksi mastoid
tip dapat mengalami ekstensi kedalam ruang ini
(abses bezold) dan petrositis
Kelenjar getah bening (drainase dari hidung dan
faring)
Sesudah tonsilektomi dengan lokal anestesi
(melalui jarum suntik)
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Gejala bervariasi tergantung pada sumber


infeksi dan lokasinya apakah anterior atau posterior
terhadap parafaringeal space. Pada umumnya infeksi di
ruang parafaring memberikan gejala:
Demam menggigil
Edema
Nyeri, dysphagia, trismus
Odinofagi
Kaku pada leher
Pembengkakan dan indurasi sepanjang angulus
mandibula
Pembengkakan medial dinding lateral pharing
Infeksi pada bagian anterior (prestiloid) :
Penggeseran dinding lateral faring ke daerah tonsil
(prolaps tonsil dan fossa tonsilaris)
Trismus
Pembengkakan daerah parotis
Infeksi bagian anterior ini dapat meluas sepanjang m.
Styloglossus sehingga dapat menimbulkan abses di
dasar mulut yang dikenal sebagai abses Brunner.
Infeksi pada bagian (posterior) poststyloid :
Pembengkakan pada daerah pilar posterior
Trismus yang minimal
Infeksi dapat meluas ke atas sepanjang selubung
karotis, dapat menyebabkan infeksi intrakranial
atau erosi arteri karotis interna
Penyebarannya :
Hubungan langsung dengan ruang parotis
submandibula retrofaringeal, mastikator dan carotid
sheath
Dari peritonsilar abses melalui dinding faring,
limfatik, perivaskuler atau septik trombosis
1.6.1
Infeksi Ruang Parotis
Sumber infeksi: parotitis, sialolithiasis, sjorgens
syndrome
Gejala:
Nyeri, trismus
Bulging di bagian medial pada posterior dinding
lateral faring
1.7
Infeksi Ruang Submandibular
Sumber infeksi:
Infeksi gigi (>80%)
PM1-M1: sublingual
M1-2-3 : submandibular
Infeksi kelenjar saliva
Infeksi basis lidah
Infeksi lidah dan tonsil
Infeksi sinus paranasalis
Penyebarannya: secara langsung dan limfatik
Prevalensi: biasanya mengenai umur antara 20 dan 50
tahun (karena caries dentis dan pyorrhea)
Gejala klinis:
Disfagi dan odinofagi
Dasar mulut bengkak dan sakit

Lidah terdorong ke atas dan ke belakang


Trismus
Dispnea
Segitiga submental bengkak

Peritonsiler abses

Angina ludwig11
1.8
Infeksi Ruang Mastikator
Sumber infeksi: infeksi gigi molar 2 dan 3
Gejala klinis:
Sukar menelan
Sakit hebat dan bengkak pada ramus mandibula
Trismus iritasi dan spasme otot-otot mastikator
Lidah tidak mungkin ditekan karena pembengkakan
dan edema dasar mulut.
1.9
Infeksi Ruang Perintosilar2,7
Sumber infeksi:
Peradangan tonsil
Peritonsilitis akibat infeksi kripta pada fossa supra
tonsiler yang meluas
Etiologi dan patogenesa, bakteri penyebab sama
dengan bakteri pada tonsilitis lakunaris, yaitu:
Streptococcus hemolyticus
Stapphylococcus aureus
Streptococcus pneumonia
Merupakan penyebab terbanyak dari infeksi
ruang leher (deep neck space). Kemungkinan besar
disebabkan karena infeksi kripta pada bagian superior
yang menembus kapsul tonsil dan meluas ke jaringan
ikat diantara kapsul dan dinding posterior fossa
tonsilaris. Peradangan dapat terlokalisir disini atau
menembus m. Konstriktor superior, atau melalui vena
sehingga terjadi abses parafaring bahkan dapat meluas
sampai mediastinum.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Gejala klinis:
Nyeri tenggorokan yang makin hebat dan biasanya
satu sisi
Nyeri dan sukar menelan
Panas badan
Sekresi ludah berlebihan (drooling)
Trismus karena peradangan otot mastikator dan m.
Pterigoid
Sukar bicara, karena bica seperti hot potato voice
Nafas berbau
Tonsil bergeser ke tengah, keatas dan kebawah
Uvula bergeser ke sisi kontralateral
Pada pemeriksaan klinis: didapatkan jaringan
unilateral mengalami radang berat tanpa edema dan
hiperemis disertai pembengkakan pilar tonsil dan
posterolateral palatum molle, uvula terdorong ke sisi
yang sehat. Pada pemeriksaan digital: Menunjukan
adanya fluktuasi sedangkan tonsil sendiri dapat
tertutup oleh edema jaringan sekitarnya.
1.10
Infeksi Ruang Temporal
Gejala klinis:
Nyeri di daerah m. Temporalis
Trismus
Deviasi rahang ke sisi yang terkena
1.11

Infeksi Ruang Visceral Anterior


Sumber infeksi, kebanyakan infeksi ruang
pretrakheal disebabkan oleh perforasi dinding anterior
esofagus oleh instrumentasi, benda asing atau trauma
eksterna. Infeksi kadang-kadang menyebar dari
kelenjar tiroid atau ruang leher yang lainnya.
Penyebarannya: terjadi secara langsung dari
ruang parafaringeal dari prevertebral, faring esofagus,
laring dan tiroid.
Gejala klinis:
Disfagia
Odinofagia
Serak
Dyspnea
Obstruksi jalan nafas
Emfisema
Pemeriksaan fisik:

Laringoskopi: pembengkakan dan eritema dinding


hipofaring
Palpasi leher: krepitasi dari emfisema jaringan
subkutan

2.

Mikrobiologi
Pada abses leher ditemukan berbagai macam
organisme. Pada kebanyakan abses biasanya banyak
mengandung bakteri (ditunjukan pada tabel 9.1). pada
satu penelitian, rata-rata ditemukan lebih dari lima
spesies pada tiap kasus. Karena jalan masuk dan
organisme penyebab masing-masing ruang leher
berbeda, maka penemuan ini lebih memperlihatkan
ruang-ruang leher yang terkena daripada menunjukan
kuman-kuman penyebab infeksi ruang leher.1
Diantara kuman-kuman aerob, streptococcus,
terutama streptococcus viridians, streptococcus hemolitikus dan stafilokokus merupakan organisme
aerob penyebab utama pada korban penyalahgunaan
obat secara intravena (intravenous drug abuser).
Kuman-kuman penyebab lainnya adalah difteroid,
Neisseria, Klebsiella dan Haemophillus.1
Bakteri-bekteri anaerob sering terlewatkan
dalam penelitian bakteriologis karena sulitnya untuk
mengisolasi kuman tersebut. Kebanyakan abses-abses
yang berasal dari infeksi odontogenik melibatkan
bakteri-bekteri anaerob yang tersering adalah
Bacteroides terutama B. Melaninogenicus dan
peptostreptococcus.1
Eikenella corrodens dan B.
Fragilis lebih jarang ditemukan. Eikenella corrodens
seringkali resisten terhadap klindamisin. Bau busuk
pada pus biasanya menunjukan adanya keterlibatan
bakteri anaerob, tapi tidak adanya bau busuk tidak
menepis kemungkinan adanya bakteri anaerob
tersebut. Pada kasus anak-anak kurang dari 9 bulan,
Staphylococcus aureus merupakan kuman yang
dominan (80% dari hasil penelitian Brook) diikuti oleh
organisme kedua -laktamase meningkat. Hal tersebut
penting untuk kita dalam memilih antibiotik untuk
melawan organisme penyebab.1

Bacteri isolated from neck abcess (66 patients)1


AEROBIC
NO. OF ANAEROBIC
NO.
PATIE
OF
NTS
PATIE
NTS
Streptococci
50
Bacteroides
23
Alpha
not 23
Melaninogenicu 13
group D
s
Group D
2
Oralis
3
Beta group A 11
Ruminicola
2
Not A, B or D 7
Bivius
1
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Gamma not
group D
Microaeriphil
ic

Fragilis

Other spesies

3
15

Staphylococc
us
S. aureus
S. epidermis

11

Peptostreptococ
cus
Peptococcus

6
6
5

Dipthheroids

Neisseria
Klebsiella
pneumoniae
Haemophillus
infl.
Pseudomonas

3
2

Eubacterium
Fusobacterium
Eikenella
corrodens
Veillonella
parvula
Lactobacilus
Pro
pionibacterium
Unidentified
gram positive
Unidentified
gram negative

7
4

1
1

5
4
3
5
4

Sebuah penelitian mikrobiologis oleh Asmar


dari infeksi retrofaring, didapatkan bahwa hampir 90%
pasien menggambarkan hasil kultur polimikrobial.
Kuman aerob ditemukan pada seluruh kultur, dan
anaerob ditemukan lebih dari 50% pasien.1
3.
3.1

Pemeriksaan Radiologi
STL (Soft Tissue Lateral)

Foto Soft Tissue leher dapat mengkonfirmasi


suatu infeksi retrofaring. Dimensi normal dari ruang
retrofaring dan ruang retrotrachea diperkenalkan oleh
Wholley pada tahun 1958. Dimensi normal dari ruang
retrofaring adalah 7 mm yang diukur dari bagian
terdepan dari C2 ke arah jaringan lunak di dinding
faring posterior. Sedangkan ruang retrotracheal diukur
dari aspek anterior-inferior dari C6 ke arah jaringan
lunak faring posterior tidak boleh melebihi 14 mm
pada anak-anak dan 22 mm pada orang dewasa. Tanda
radiologis lain yang bermanfaat dalam mendiagnosa
retrofaringeal abses adalah hilangnya lordosis servikal
yang normal dengan straightening vertebra servikal
seperti gambaran udara dalam jaringan lunak. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Nagy dkk dikatakan
bahwa foto STL 83% lebih sensitif dibanding CT
scan.12

Gambaran Abses retrofraning pada Soft Tissue


Leher

Modalitas yang lain adalah Ultrasonografi Resolusi


tinggi. Dengan
Keuntungan: terhindar dari bahaya radiasi serta
bentuknya yang portabel.
Kerugian: operator dependent, tidak jelas memberikan
gambaran anatomi
Fungsi: untuk follow up dan guidens untuk aspirasi
Frans (2006) mendapatkan pemeriksaan
aspirasi abses ruang leher dalam dengan panduan
ultrasonografi didapatkan hasil perhitungan sensitivitas
sebesar 81%, spesifisitas 100% dan akurasi 81,8%.9
3.2

pasien. Biasanya dilakukan pada pasien-pasien dengan


spasme laring atau abses yang besar dengan bahaya
ruptur dan aspirasi.2,3,6
Pada kasus tertentu, trakeostomi atau
krikotirotomi dapat dilakukan untuk mengatasi
sumbatan jalan nafas, dimana 24 jam setelah dilakukan
krikotirotomi, dilakukan persiapan untuk tindakan
trakeostomi untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
pada daerah laryng. Pada saat jalan nafas telah
diamankan, kultur dan test resistensi dari abses harus
dilakukan. Terapi empirik harus diberikan untuk
eradikasi kuman patogen. Biasanya infeksi dari kuman
patogen polimikrobial (gram positif, gram negatif,
aerobik, anaerobik dan kuman yang memproduksi laktamase). Untuk itu antbiotik dari golongan
ampicillin-sulbactam atau clindamycin dengan
golongan ke III sefalosporin seperti contohnya
ceftazidin dapat diberikan sambil menunggu hasil
kultur.2,8
Saat terjadi pembentukan abses, biasanya
terapi medikamentosa saja tidak cukup, apabila dengan
terapi medikamentosa yang adequate selama 48 jam
tidak ada perubahan, diperlukan tindakan pembedahan
seperti insisi dandrainase abses. Pemberian cairan yang
adequant, monitor output-input, observasi status
sirkulasi dan pulmonologi dari pasien harus terus
dilakukan untuk mencegah komplikasi dari infeksi
ruang leher.2,7
Insisi dan drainase atau pembedahan harus
dilakukan, pada kasus-kasus infeksi ruang leher yang
telah terjadi komplikasi, atau antisipasi komplikasi
yang terjadi.

CT Scan dengan Kontras


Perbandingan keuntungan dan kerugian
Teknik insisi dan drainase :
penggunaan CT Scan dengan kontras
Pada abses retrofaring
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
Abses yang kecil dan terlokalisir dapat
Cepat, mudah
Radiasi ionisasi
diinsisi dengan menggunakan approach perioral untuk
Membedakan abses dan selulitis
Menimbulkan alergi
mencegah terbentuknya scar dan mencegah terjadinya
Secara anatomi gambaran lebih detail
Gambran detail dari jaringan
lunak jaringan leher.
kontaminasi
Merupakan pilihan utama
Jalan nafas dilindungi dari bahaya aspirasi
dengan cara menempatkan pasien pada posisi Rose
dengan leher dalam posisi ekstensi. Kepala
direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak akan
3.3 MRI
teraspirasi, dan dengan menggunakan skapel tajam
Perbandingan keuntungan dan kerugian
yang kecil dilakukan insisi vertikal yang pendek pada
penggunaan MRI
titik dimana pembengkakan paling besar.
No.
Keuntungan
Untuk faktor keamanan, pisau sebaiknya
1
Nol radiasi
diarahkan oleh jari telunjuk yang diletakan pada abses.
2
Detail jaringan lunak lebih baik
Jika pus tidak keluar, dimasukan hemostat tertutup
3
Multiplan
yang kecil pada luka, kemudian dengan lembut
4
Tidak ada artefak
didorong kearah yang lebih dalam dan meluas.2,7
4

Penatalaksanaan
Infeksi ruang leher dapat mengancam jiwa.
Membebaskan jalan nafas adalah hal yang utama,
pemasangan pipa Endotracheal mungkin dapat
dilakukan, tapi hati-hati pada pemasangan pipa
Endotracheal pada pasien yang masih sadar karena
prosedurnya yang rumit dan dapat membahayakan
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Insisi & drainase abses retrofaring7


Pada abses retrofaring yang lebih lanjut
dilakukan drainase dengan external approach. Sebuah
insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m.
Sternocleidomastoideus antara level os hyoid dan
clavicula. Cara insisi yang lain dan sesuai dengan segi
kosmetika adalah dengan membuat insisi horizontal
setinggi cricoid.1,2,7

Pembedahan pada abses retrofaringeal (external


approach)7
Tarikan
pada
bagian
posterior
m.
Sternocleidomastoideus
dan
carotid
sheath
memperlihatkan daerah antara faring dan vertebra,
dengan menjaga N. Hypoglossus dan superior laringeal
neurovascular bundle.2,7
Pada Abses Peritonsiler
Sebaiknya menggunakan anestesi topikal
yaitu lidokain 5% intranasal pada ganglion
sfenopalatina ipsilateral, disini dapat mengurangi nyeri
sehingga dapat mengurangi trismus.
Pada anak-anak atau penderita tidak
kooperatif, dilakukan narkose umum. Insisi dilakukan
pada daerah fluktuasi, biasanya pada daerah
supratonsiler sehingga pilar anterior terhindar dari
pembentukan jaringan parut. Pada abses peritonsiler
disini atau selulitis peritonsiler tidak akan terjadi
drainase pus, maka dilakukan punksi dulu dengan
jarum no. 12.
Untuk mencegah kekambuhan, tonsilektomi
dilakukan 5 minggu setelah peradangan teratasi.2,3,8

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Daerah untuk melakukan insisi pada abses


peritonsiler. Insisi dilakukan pada pertengahan
garis yang menghubungkan molar terakhir dan
uvula4
Pada Abses Submandibular
Cara insisi dan drainase pada abses tergantung
lokasi dan penyebaran dari infeksinya yaitu: bila abses
masih terlokalisir maka dapat dilakukan insisi dan
drainase, penyembuhan dapat terjadi sempurna.
Bila abses meluas dan menembus m.
Mylohyoid maka infeksi dapat menjalar ke ruang
submaksilaris sehingga leher akan terkena, kalau
mengenai leher secara bilateral disebut Angina
Ludwig, proses ini biasanya akan berlangsung dengan
cepat, kira-kira 3-10 jam, sehingga perlu pengobatan
yang segera. Ditandai oleh penyebaran selulitis
gangrenosa yang cepat dari daerah kelenjar
submaksilaris, berbau busuk dengan sedikit atau tidak
jelas adanya pus dan terjadi pembengkakan seperti
papan yang nyeri di daerah submandibula dan dasar
mulut, gusi serta lidah dan dapat jauh ke bawah sampai
kedaerah klavikula. Juga disertai adanya edema laring
sehingga timbul efek sesak nafas, suara serak, lidah
sakit bila digerakan dan imobilisasi rahang oleh karena
adanya regangan dan indurasi dari struktur di arkus
mandibula.
Tindakan
insisi
horizontal
dilakukan
submental, yaitu 1 cm diatas tulang hyoid dari sudut
mandibula yang satu ke sudut mandibula yang lain
kemudian fasia leher profunda dan mylohyoid diinsisi
secara vertikal dari simphisis mandibula ke tulang
hyoid. Drain ditempatkan disebelah dalam m.
Mylohyoid yaitu di dalam ruang sublingual.
Bila abses mengenai ruang submandibula
yang unilateral, insisi dilakukan sejajar dengan bagian
inferior mandibula 2 cm dibawahnya dan dilakukan
dari angulus mandibula ke simphisis.2,6
Pada Abses Parafaring:
Insisi abses pada daerah ini ada 3 cara :
a. Intraoral, bila penonjolan yang timbul kearah
faring yaitu di dinding faring lateral
b. Ekstra oral, dimana insisi dari sebelah luar,
dibawah angulus mandibula dan diseksi
secara tumpul sepanjang batas medial dari m.
Pterigoid internus menuju prosesus styloideus

c.

Melalui
fossa
submaksilaris
secara
MOSHER, cara dipergunakan bila lokasi
pus tidak jelas dan terdapat tanda-tanda
sepsis.
Teknik Mosher yaitu dengan insisi bentuk
huruf T yang cukup lebar. Garis horizontal dari huruf T
sejajar dengan pinggir bawah mandibula dan garis
vertikal dibuat di sepanjang tepi anterior otot
sternocleidomastoideus
sehingga
kelenjar
submaksilaris terbuka, vena fasialis diikat dan
dipotong, kemudian pinggir bawah kelenjar disisihkan
secara tumpul terus kearah belakang dan keatas sampai
ligamentum Stylomandibula dibawah mandibula, jari
diteruskan ke atas sampai teraba prosesus stiloideus,
kemudian diseksi diteruskan secara tumpul sampai
batas carnii fossa faringomaksilaris.2

Teknik Mosher5
Perawatan rumah sakit lebih dari 11 hari biasanya lebih
sering pada dewasa dibandingkan dengan anak-anak.
Bagan 3.1 menjelaskan mengenai algoritme
penanganan infeksi ruang leher.

Algoritme Penanganan Infeksi ruang leher1


5.

Komplikasi
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Komplikasi Infeksi ruang leher dapat


berupai:1,2
Komplikasi Infeksi :
Erosi dan Perdarahan arteri Karotis
Trombosis V.Jugular Interna
Trombosis sinus Cavernosus
Defisit Neurologis: Horner Syndrome, Nervus
Kranisalis IX-XI
Osteomielitis Mandibula
Osteomielitis Vertebra
Mediastinitis
Edema Paru
Perikarditis
Aspirasi (Ruptur Spontan)
sepsis
Kompliksi bedah:
Kerusakan struktur neurovaskuler
Infeksi luka
Septikemi
Pembentukan skar
Aspirasi
Komplikasi ini biasanya terjadi pada
penanganan yang terlambat, dimana proses infeksinya
telah mempengaruhi ruang disekitarnya. Host faktor
juga sangat berpengaruh terhadap perjalanan infeksi
pada ruang leher, seperti pada penyakit sistemik,
contohnya diabetes.
Komplikasi yang terjadi juga erat kaitannya
dengan struktur anatomi yang berdekatan dari infeksi
ruang leher itu sendiri. Organ yang sangat berisiko
apabila terjadi komplikasi karena letaknya yang saling
berhubungan adalah arteri karotis, vena jugularis,
trunchus simfatikus, nervus kranial IX-X-XII.
Tromboflebitis pada vena jugularis interna dan
septikemia sampai terjadinya septik emboli pada paru
merupakan komplikasi yang mengancam jiwa.
Sindrom Lemierre yang disebabkan oleh bakteri
fusobacterium necrophorum, dimana gejalanya
terdapat spiking fever (demam yang tiba-tiba tinggi,
tiba-tiba
normal),
nyeri
pada
daerah
m.
Sternokleidomastoideus, kaku uduk, arthritis septic,
emboli paru.
Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan
CT Scan adanya gambaran cincin yang mengelilingi
daerah radiolusen yang menandakan adanya fokal pus
didalamnya. Terapi yang diberikan meliputi antibiotik,
insisi drainase, ligasi dari vena jugularis interna,
antikoagulan.
Penyebaran infeksi juga dapat terjadi dari
sarung karotis yang terinfeksi, contohnya pada
sindroma Homer dan aneurisma myotic pada sistem
arteri karotis, dengan terjadinya pembentukan formasi
pseudoaneurisma sampai ruptur dari dinding pembuluh
darah. Perdarahan hebat dari canal auditorius, yang
memerlukan terapi segera melalui pembedahan
ataupun intervensi radiologis. Osteomyelitis pada

tulang belakang dan os mandibula dapat merupakan


sumber terjadinya infeksi pada ruang leher.
Komplikasi yang paling ditakuti dari infeksi
ruang leher adalah mediastinis. Pemeriksaan radiologi
terdapat gambaran pelebaran dari mediastinum,
pneumothorax dan pneumomediastinum atau edema
pulmoner sampai pada gambaran ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome). Kasus kematian yang
terjadi pada mediastinis dapat disebabkan oleh
perforasi esofagus.2
6.

Prognosis
Pasien dengan infeksi ruang leher mempunyai
prognosis yang baik, apabila mendapatkan penanganan
yang cepat dan tepat. Apabila terjadi keterlambatan
pada terapi, akan timbul penyulit, dan angka
kesembuhan yang rendah. Apabila murni kasus infeksi
dan sumbernya telah dieliminir, kemungkinan infeksi
berulang sangatlah kecil.1
DAFTAR PUSTAKA
1.

Byron J. Bailey, Head & Neck SurgeryOtilaryngology, 4th editon, Lippincot Williams &
Wilkins, Philadephia, 2006.

2.

Ballenger, JJ, Disease of the Nose, Throat, Ear,


Head & Neck, 13th edition, Lea and Febringer,
Philadelphia, 1985, page 306-316.

3.

K. J. Lee, Essential Otolaryngology Head & Neck


Surgery, 8th
edition, The McGraw-Hill
Companies, Inc, USA, 2003, page 422-438.

4.

Hollingshead WH. Anatomy for Surgeons, Head


& Neck, 1982.

5.

Lore & Medina, An Atlas of Head & Neck


Surgery, 4th
edition, Elsevier Saunder, Inc,
Philadelphia, 2005, page 854-855.

6.

Brown, David F, MD & Ritchmeter, William J,


MD, PhD, Infection of the Deep Fasial Spaces of
the Head & Neck, 2nd edition, American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Foundation, Inc, Washington DC, 1987, page 547.

7.

Byrne, Maria N.Md & Lee, Kj, MD FACS,


Neck Spaces and Fascial Planes, in Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery, 6th edition,
Appleton & Lange, Stamford, Connecticut, 1995,
page 443-460.

8.

Joseph, Donal J & Templer, Jerry, Gerald,


English M, Tonsilectomy and Adenoidectomy in
English Otolaryngology, Vol III, Revised Edition,
JB. Lippincot-Co, Philadelphia, 1998, page 1-22.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

9.

Frans, R. Ketepatan Aspirasi Abses Ruang Leher


Dalam
Dengan
Atau
Tanpa
Panduan
Ultrasonografi. Tesis. Unpad, 2006.

10. Putz, R. Pabst, R. Atlas anatomi manusia, 20th


edition. EGC, 1995 : page: 141.
11. Bull, RT. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th
edition. Thieme, Stutgart. 2003.
12. Lalakea MC, Messner AH. Retropharyngeal
abscess management in children: current practice.
Otolaryngology. Head and Neck Surgery.
1999:121:398-405.

pada pria dibandingkan wanita. Pada pria, insiden

TRAUMA MAKSILOFASIAL
fraktur tulang hidung tertinggi di usia 15-20 tahun
FRAKTUR HIDUNG
Fraktur tulang hidung merupakan jenis fraktur
yang sering terjadi pada wajah. Fraktur tulang hidung
menempati urutan ketiga setelah fraktur klavikula dan
pergelangan tangan. 1 Illum dkk menyatakan bahwa
sekitar 39% kasus trauma muka melibatkan hidung.
Fraktur tulang hidung dapat terjadi akibat trauma
langsung maupun tidak langsung.
Bentuk fraktur
bervariasi tergantung dari arah mana dan kekuatan
traumanya.
Fraktur tulang hidung sering terjadi
berhubungan dengan letak hidung yang berada di
bagian tengah wajah dan menonjol. Disusun oleh
kartilago dan kerangka tulang yang tidak fleksibel
menyebabkan rentannya terjadi fraktur pada hidung.
Selain tulang yang tipis, hidung disusun juga oleh
jaringan ikat yang tipis dan tidak adanya otot yang kuat
sehingga bila terjadi deviasi walaupun hanya beberapa
millimeter dapat dengan mudah terlihat dengan mata
biasa. Selain fungsi estetika, hidung juga berperan
sebagai pintu masuk jalan napas. Adanya gangguan
akan menyebabkan ketidaknyamanan dan gejala yang
berhubungan dengan sumbatan hidung dan bahkan
terganggunya penciuman.
Diagnosis yang akurat dan pemilihan operasi
yang tepat adalah kunci dalam penatalaksanaan fraktur
tulang hidung. Riwayat yang lengkap dan penilaian
fisik yang menyeluruh cukup adekuat untuk
mendiagnosis fraktur tulang hidung. Penatalaksanaan
fraktur tulang hidung dilakukan pertama kali oleh
bangsa Mesir dan Yunani dengan cara reduksi.
Meskipun trauma ini tidak mengancam
nyawa, penatalaksanaan yang salah atau kurang tepat
dapat menyebabkan deformitas baik secara estetika
maupun fungsional.
KEKERAPAN
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya
insiden fraktur tulang hidung baik pada anak-anak
maupun
dewasa.
Pada
kasus-kasus
trauma
maksilofasial, ditemukan insiden fraktur tulang hidung
pada anak-anak mencapai 45% dan pada sebanyak
39% fraktur tulang hidung terjadi pada 1000 pasien
dengan trauma maksilofasial. Insiden fraktur tulang
hidung di Denmark dilaporkan mencapai 53 per
100.000.
Berdasarkan jenis kelamin dan kelompok
umur, fraktur tulang hidung terjadi 2 kali lebih banyak
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

sedangkan usia lebih dari 60 tahun pada wanita.


Penelitian yang dilakukan Fernandes pada tahun 2004,
dari 52 pasien fraktur tulang hidung, 38 orang pria dan
14 orang wanita dengan usia 14-52 tahun (rata-rata
24.6). Penelitian yang dilakukan di sebuah klinik
fraktur tulang hidung di Inggris bulan Juli-September
2001 melaporkan dari 91 pasien yang diteliti, 59 orang
adalah pria dengan usia terbanyak 11-30 tahun dan 32
orang wanita dengan kelompok usia bervariasi.
Umumnya fraktur tulang hidung terjadi
karena perkelahian (34%), kecelakaan (28%) dan
olahraga (23%). Fernandes melaporkan dari 52 kasus
yang diteliti, sebanyak 22 (42%) kasus karena
olahraga, 6 kasus (11.5%) karena kecelakaan kerja, 2
kasus (3.8%) karena terjatuh, dan 6 kasus (11.5%)
karena trauma lain. Penyebab tersering pada anakanak adalah terjatuh dan olahraga. Selain itu, sebanyak
30-50% anak-anak korban kekerasan menderita fraktur
tulang hidung.
Wild dkk melakukan tindakan reduksi pada
37 pasien fraktur tulang hidung dan sebanyak 80 %
menyatakan puas dengan hasilnya. Staffle seperti
yang dikutip oleh Reily MJ dkk mengemukakan bahwa
tingkat kepuasan pasien dengan prosedur ini bervariasi
mulai dari 62% sampai 92%, sedangkan kepuasan
pembedah lebih rendah (21%-65%).
ANATOMI
Kerangka tulang hidung terdiri dari tulang
dan tulang rawan yang saling terikat. Nasion
merupakan daerah pertautan sepasang tulang hidung
dengan prosesus nasalis os frontal. Sepasang tulang
hidung ini menunjang setengah bagian atas dari
piramid hidung. Sebelah lateral tulang hidung akan
berartikulasi dengan prossesus frontalis maksila. Pada
bagian superior tulang hidung, kulit dan jaringan lunak
sangat tebal dan berartikulasi dengan tulang frontal,
sedangkan pada bagian inferior tulang hidung jaringan
lunak dan kulitnya lebih tipis dan berartikulasi dengan
kartilago lateral atas. hidung, kartilago dan septum .
Sehingga sering fraktur hidung terjadi pada setengah
bagian bawah dari tulang hidung. Bagian posterior
septum dibentuk oleh tulang vomer dan lamina
perpendikularis os etmoid, terletak di bagian tengah
yang berada di bagian dalam tulang hidung. Akan
tetapi tulang-tulang tersebut tipis dan hanya sedikit
menunjang setengah bagian atas hidung.
anatomi hidung, hubungan antara tulang

Anatomi septum 1, Os frontal; 2, Os nasal; 3,


Lamina perpendicular os etmoid; 4, Vomer; 5,
Krista nasalis os platina; , Krista nasalis os
maksila; 7, Kartilago kuadrangularis

Setengah bagian bawah dari hidung ditunjang


oleh sepasang kartilago lataral atas, sepasang kartilago
lateral bawah dan kartilago kuadrangularis (Gambar 1
dan 2). Kartilago lateral atas mempunyai artikulasi
berupa jaringan ikat dengan tulang hidung di bagian
superior yang menyatu dari periosteum dan
perikondrium, dengan kartilago kuadrangularis di
bagian medial dan dengan kartilago lateral bawah di
bagian inferior. Kerangka tulang rawan ini membentuk
huruf T yang menyatu di garis tengah septum.
Kerangka tulang rawan yang berbentuk huruf T
tersebut sangat penting untuk menunjang area katup,
dan memberi kekuatan yang cukup untuk menahan
tekanan dari daerah tulang di sekitarnya. Kartilago
lateral bawah terdiri dari krus medial dan lateral yang
hampir menyerupai kerangka tulang rawan yang
berbentuk huruf T tadi (Gambar 1). Disini terdapat
perlekatan berupa jaringan ikat, yaitu dengan kertilago
lateral atas di bagian superior dan dengan kartilago
septum di bagian medial. Kartilago lateral bawah ini
cukup tebal dan memberi bentuk pada lubang hidung
dan
puncak
hidung,
sedangkan
kartilago
kuadrangularis berfungsi sebagai tiang penunjang
daerah dorsum nasi dan juga puncak hidung.
PATOFISIOLOGI
Trauma yang terjadi pada hidung bervariasi,
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia,
besarnya kekuatan trauma, arah trauma dan objek
penyebab trauma.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Patofisiologi trauma

Trauma yang mengenai tulang hidung


maupun tulang rawan hidung dapat menyebabkan
deformitas dan sumbatan hidung. Tipe dan seberapa
parah fraktur tulang hidung yang terjadi tergantung
dari kekuatan, arah dan mekanisme terjadinya trauma.
Objek penyebab yang kecil dengan kecepatan tinggi
dapat menyebabkan kerusakan yang sama dengan
objek penyebab yang besar dengan kecepatan lebih
rendah. Trauma hidung dari arah lateral merupakan
trauma yang paling sering terjadi dan dapat
mengakibatkan fraktur pada satu atau kedua tulang
hidung yang sering disertai dengan dislokasi pada
septum hidung (Gambar 3, A dan B). Dislokasi septum
dapat menyebabkan dorsum nasi berbentuk S, puncak
hidung tidak simetris dan sumbatan hidung. Trauma
dari arah frontal pada hidung dapat mengakibatkan
kedua tulang hidung tertekan (depresi), dorsum nasi
menjadi lebar dan sumbatan hidung yang berat
(Gambar 3, C). Trauma yang lebih berat dapat
mengakibatkan seluruh piramid hidung patah
berkeping-keping, biasanya disebabkan oleh trauma
hidung yang datang dari arah frontal (Gambar 3, D).
Selain itu arah trauma yang jarang terjadi adalah ke
arah superior (dari bawah). Trauma dari arah ini akan
menyebabkan fraktur septum yang parah dan dislokasi
kartilago kuadringularis. Apabila trauma yang terjadi
tidak didiagnosis dan dikoreksi dengan tepat maka
pasien dengan keadaan tersebut akan mengalami
gangguan estetika dan fungsional.

KLASIFIKASI

Berdasarkan waktu, fraktur hidung dibagi


menjadi fraktur hidung baru dan lama. Pembagian
menurut waktu ini berdasarkan atas pembentukan
kalus (callus). Bila kalus belum terbentuk sempurna
maka fraktur digolongkan dalam fraktur baru,
sedangkan bila kalus sudah mengeras digolongkan
dalam fraktur lama (biasanya pada akhir minggu kedua
setelah trauma).
Fraktur tulang hidung berdasarkan keutuhan
kulit atau mukosa pada saat terjadinya trauma dibagi
menjadi; fraktur tulang hidung tertutup, fraktur tulang
hidung terbuka atau kombinasi keduanya.
Berdasarkan struktur tulang yang terlibat,
maka fraktur pada tulang hidung dapat diklasifikasikan
menjadi 5 tipe, yaitu: (1) tipe I : setengah bagian
bawah tulang hidung: (2) tipe II : seluruh tulang
hidung terpisah dari sutura noso frontal; (3) tipe III :
tulang hidung dan prosesus frontal maksila ; (4) tipe IV
: tulang hidung, prosesus frontal maksila, spina tulang
frontal dan tulang etmoid; (5) tipe S/modifikasi :
termasuk fraktur pada septum. Klasifikasi tersebut di
atas sangat sederhana, berdasarkan anatomi dan
dengan demikian dapat langsung ditentukan jenis
operasi yang akan dilakukan.
Berdasarkan susunan tulang yang mengalami
fraktur, maka fraktur pada tulang hidung dapat
diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: (1) tipe I :
fraktur tulang hidung uniteral sederhana; (2) tipe II :
fraktur tulang hidung bilateral sederhana; (3) tipe III :
fraktur tulang hidung berkeping baik unilateral,
bilateral atau frontal; (4) tipe IV : fraktur tulang hidung
yang melibatkan septum, yang dapat dibagi lagi
menjadi tipe IV a : terdapat hematoma septum; tipe IV
b : terdapat robekan pada mukosa.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Diagnosis yang tepat pada fraktur tulang
hidung ditegakkan berdasarkan riwayat trauma dan
pemerikasaan fisik secara menyeluruh. Riwayat trauma
yang meliputi : (1) kekuatan, arah dan mekanisme
terjadinya trauma; (2) adanya epistaksis atau
kebocoran cairan serebrospinalis; (3) riwayat trauma
atau operasi sebelum terjadi fraktur hidung; (4) adanya
sumbatan atau deformitas pada hidung setelah trauma.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Memahami mekanisme terjadinya trauma


akan sangat membantu dalam menentukan perluasan
dari trauma. Hal tersebut berguna untuk mengetahui
penyebab trauma, arah datangnya trauma serta
besarnya kekuatan trauma yang diterima oleh hidung.
Setiap benturan keras yang mengenai hidung harus
dicurigai terdapatnya fraktur pada tulang hidung.
Adanya deformitas pada hidung menunjukan bahwa
telah terjadi fraktur pada tulang hidung. Akan tetapi
kadang-kadang epiktaksis mungkin merupakan satusatunya gejala klinis yang ditemukan tanpa disertai
adanya deformitas yang jelas pada hidung.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan kunci dalam
mendiagnosis fraktur pada tulang hidung dan akan
lebih tepat apabila dilakukan segera setelah terjadinya
trauma dan sebelum terdapatnya edema. Pemeriksaan
lokal yang meliputi hidung luar dan rongga hidung
harus dilakukan. Inspeksi dan palpasi pada hidung
harus dilakukan, baik eksternal maupun internal untuk
mengetahui adanya deformitas, deviasi ataupun bentuk
yang abnormal.
Pemeriksaan pada hidung bagian luar harus
dinilai dari semua sudut. Pada pemeriksaan dinilai
adanya perubahan bentuk hidung tampak tidak simetris
akibat pergeseran struktur tulang hidung ataupun
kerusakan pada kartilago, ukuran, pembengkakan,
laserasi pada kulit, ekimosis dan hematoma.
Pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan
dengan rinoskopi anterior. Bila terdapat bekuan darah
maka harus dibersihkan terlebih dahulu dan bila perlu
menggunakan nasal dekongestan dan anestesi topikal.
Pada pemeriksaan dinilai aliran udara hidung, adanya
pembengkakan mukosa hidung, ada tidaknya robekan
pada mukosa septum, epistaksis, deformitas dan
hematoma septum.
Palpasi pada struktur hidung luar harus
dilakukan untuk menilai stabilitasnya. Pada
kebanyakan kasus adanya depresi atau pergeseran pada
tulang hidung merupakan tanda terdapatnya fraktur
pada hidung. Kartilago pada hidung dan septum harus
diperiksa untuk kemungkinan terdapatnya dislokasi.
Puncak hidung harus didorong ke arah oksiput untuk
memeriksa keutuhan kartilago penunjang septum.

Adanya krepitasi dan nyeri tekan juga merupakan salah


satu tanda terdapatnya fraktur pada tulang hidung.

Pemeriksaan Radiologi
Kegunaan pemeriksaan radiologi berupa foto
polos os nasal untuk mendiagnosis fraktur pada hidung
sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa penulis
menyatakan perlunya dokumentasi berupa foto polos
os nasal untuk kepentingan medikolegal pada kasuskasus fraktur tulang hidung. Akan tetapi penelitianpenelitian sebelumnya menunjukan pemeriksaan
radiologi (foto polos os nasal) memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang buruk dalam mendignosis fraktur
tulang hidung. Mereka juga menyimpulkan
pemeriksaan radiologi tidak bermanfaat dan tidak
berpengaruh dalam penatalaksanaan fraktur tulang
hidung. Pemeriksaan radiologi dengan tomografi
komputer dinilai lebih bermanfaat. Penelitian terbaru
menemukan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan
radiologi alternatif untuk mengevaluasi fraktur pada
tulang hidung.

Dokumentasi
Foto dokumentasi sebelum dan sesudah
tindakan sangat diperlukan. Foto standar yang
digunakan dalam menganalisa wajah adalah: tampak
frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak
basal. Hal ini diperlukan selain untuk kepentingan
medikolegal juga untuk perbadingan sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan serta merekam adanya
kemungkinan pasien telah mengalami deformitas pada
hidung sebelum terjadi trauma.

PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan fraktur tulang hidung
harus dipertimbangakn tiga aspek untuk mendapatkan
hasil yang baik, yaitu : waktu, jenis anestesi dan tehnik
operasi.
Pada prinsipnya apabila terjadi fraktur hidung
baru sederhana dan tertutup maka reposisi dilakukan
segera bila keadaan umum memungkinkan. Tetapi bila
terdapat edema atau hematoma yang luas maka akan
sulit untuk menegakkan diagnosis adanya fraktur dan
sulit pula menentukan posisi fragmen fraktur, maka
sebaiknya reposisi ditunda sampai akhir minggu
pertama. Diharapkan dalam waktu tersebut edema serta
hematoma akan hilang dan deformitas akan lebih jelas
terlihat. Setelah itu reposisi dilakukan secara tertutup.
Akan tetapi apabila pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya hematoma pada septum maka aspirasi atau
insisi dan drainase harus segera dilakukan agar tidak
terjadi nekrosis pada kartilago septum. Reduksi
dibutuhkan hanya untuk fraktur tulang hidung yang
mnyebabkan deformitas dan sumbatan hidung.
Pada fraktur lama yang lebih dari 2 minggu
dan sudah terbentuk kalus, reposisi secara tertutup
tidak akan memberi hasil ynag memuaskan. Dengan
demikian perlu dilakukan tindakan reposisi secara
terbuka.
Pada kasus fraktur hidung terbuka dilakukan
eksplorasi segera ditempat luka dan bila terdapat
avulsi, jaringan itu dijahitkan kembali kemudian
fragmen tulang direposisi.

PENATALAKSANAAN REDUKSI TERTUTUP


KOMPLIKASI
Komplikasi pada fraktur hidung terjadi segera
ataupun lambat. Yang termasuk komplikasi segera
adalah: edema, ekimosis, hematoma septum,
epistaksis, infeksi, adanya kebocoran cairan
serebrospinalis
dan
juga
pernah
dilaporkan
trigeminovagal reflek. Sedangkan yang termasuk
komplikasi lambat antara lain: obstruksi hidung,
jaringan parut, deformitas sekunder, sinekia, hidung
pelana dan perforasi septum.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Tujuan utama penatalaksanaan fraktur tulang


hidung adalah untuk mengembalikan fungsi dan
bentuk hidung seperti sebelum terjadinya trauma.
Di antara fraktur tulang hidung yang sering
dijumpai adalah fraktur tulang hidung uniteral yang
disertai dengan pergeseran piramid hidung kesisi
lainnya dan fraktur hidung yang disertai dislokasi atau
deviasi septum nasi. Kebanyakan fraktur tulang
hidung dapat ditangani secara adekuat dengan
menggunakan teknik reduksi tertutup. Teknik reduksi
tertutup ini biasanya memberikan hasil yang

memuaskan pada kebanyakan kasus fraktur tulang


hidung, karena teknik ini mudah dilakukan, memiliki
angka kesakitan yang rendah dan waktu penyembuhan
cepat. Oleh karena itu seorang dokter THT harus
mengusai teknik reduksi tertutup ini dengan baik
karena trauma pada hidung akan sering ditemukan
pada praktek sehari-hari, yaitu berupa fraktur pada
tulang hidung yang sederhana (simple fracture).

Apabila terjadi deviasi septum bersamaan dengan


deviasi hidung, suatu tindakan untuk meluruskan
septum dapat dilakukan bersamaan dengan reduksi
atau rinoplasti dan tindakan ini dikenal sebagai
septorinoplasti.

Teknik reduksi tertutup ini idealnya dilakukan


pada fraktur hidung baru yang sebelumnya terjadinya
trauma tidak terdapat deformitas, tidak ada keluhan
hidung tersumbat dan pada pasien-pasien yang
mengalami fraktur depresi tulang ipsilateral.

Reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung


dapat dilakukan dengan analgesia lokal atau anantesia
umum.

Indikasi
Indikasi melakukan teknik reduksi tertutup,
pada prisipnya dilakukan pada pasien-pasien yang
mengalami fraktur hidung baru, yaitu : (1) fraktur
tulang hidung uniteral atau bilateral; (2) fraktur tulang
hidung dan septum (nasal-septal complex) yang
disertai deviasi piramid hidung (nasal framework)
kurang dari setengah lebar nasal bridge.
Waktu
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi
waktu yang paling tepat dilakukannya terapi pada
fraktur tulang hidung. Penelitian fraktur tulang hidung
dilakukan segera setelah terjadinya trauma, sebelum
terdapat edema, karena edema yang terjadi pada
jaringan lunak biasanya akan menutupi fraktur tulang
hidung yang ringan sampai sedang, sehingga tindakan
reduksi tertutup sulit untuk dilakukan secepatnya.
Dengan demikian, pasien-pasien tersebut harus
dilakukan evaluasi kembali dalam 3 sampai 4 hari lagi.
Apabila terdapat edema, maka pasien-pasien tersebut
akan dilakukan pemeriksaan kembali pada 3 sampai 4
hari yang akan datang, dan tindakan reduksi tertutup
sebaiknya dilakukan antara 3 dan 10 hari sesudah
trauma. Akan tetapi waktu terbaik untuk melakukan
tindakan reduksi tertutup agar didapatkan hasil yang
memuaskan adalah 3 jam pertama setelah terjadinya
trauma. Staffel menekankan pentingnya menangani
fraktur tulang hidung dalam 2 minggu setelah
terjadinya trauma, karena pada fraktur yang terjadi
lebih dari 2 minggu dan sudah terbentuk kalus, sangat
tidak mungkin untuk melakukan teknik tersebut di
atas, sehingga memerlukan teknik reduksi terbuka.
Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Anestesi

Anestesi lokal dapat dilakukan dengan


pemasangan tampon lidokain 1-2% atau kokain 4%
yang dicampur dengan epinefrin 1 : 100.000. tampon
kapas ini ditempatkan pada meatus superior persis
dibawah tulang hidung, di antar konka media dan
septum dan bagian distal dari kapas tipis tersebut
terletak dekat foramen sfenopalatina, antara konka
inferior dan septum nasi. Tambahan suntikan anestesi
(infiltrasi lokal) dengan lidocain 2% yang mengandung
epinefrin konsentrasi 1:100.000 dilakukan disepanjang
dorsum nasi, lateral sampai piramid hidung dan bagian
bawah dari septum nasi anterior untuk memblok n.
infratrokhlearis, n. infraorbitalls, n. alveolaris superior
dan ganglion sfenopalatina. Kadang-kadang diperlukan
penambahan penyemprotan lidokain spray beberapa
kali untuk memperoleh efek vasokonstriksi yang baik.
Pemeriksa sebaiknya menunggu selama 10 sampai 20
menit agar obat anestesi yang telah diberikan bekerja
efektif. Premedikasi dengan diazepam 5 sampai 10 mg
dapat diberikan 30 menit sebelum tindakan reduksi
tertutup dimulai. Keuntungan dengan analgesia lokal
ialah biayanya murah, risikonya lebih kecil dan waktu
lebih fleksibel.
Akan tetapi pada anak-anak, orang dewasa
muda atau pasien yang tidak begitu kooperatif,
tindakan reduksi tertutup sebaiknya dilakukan dengan
anestesi umum.

FRAKTUR MAKSILA

Definisi fraktur maksila : Fraktur yang berhubungan


dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga tengah
wajah.

LeFort I
- Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus
dentalis, maksila dan palatum
- Maloklusi gigi

LeFort II
- Palatum bergeser ke belakang
- Maloklusi gigi

Klasifikasi :
Le Fort I ( Prosesus alveolaris ) : Fraktur maksila
rendah yang memisahkan maksila setinggi dasar
hidung

- Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks


zigomatikomaksilaris

Le Fort II ( Fraktur Piramidal ) : Fraktur pada palatum


dan sepertiga tengah wajah yang berakibat terpisahnya
bagian sepertiga tengah wajah dari dasar kranium.
Le fort III (Craniofacial disjunction) : Fraktur yang
mengakibatkan
pemisahan
lengkap
kompleks
zygomaticomaxillaris dari dasar kranium.

LeFort III

- komplikasi intrakranial misalnya : kebocoran


cairan serebrospinal melalui sel
atap
ethmoid dan lamina cribiformis.
Diagnosis banding : - Fraktur multiple wajah
Pemeriksaan Penunjang

Kriteria diagnosis:
A.
-

Anamnesis :
Pembengkakan infra orbital
Hipestesi cabang N.V2
Maloklusi (Le Fort I II)
Epistaksis (Le Fort II III)
LCS leak (Le Fort III)
mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi
dan arah benturan yang terjadi
cedera di bagian tubuh yang lain
riwayat perubahan status mental dan penuruna
kesadaran
adanya
defisiensi
fungsional
lainnya,
misalnya berhubungan dengan jalan nafas,
penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran

Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos


maupun CT Scan
Foto polos : posisi Waters, foto kepala lateral
maupun servikal lateral.
CT Scan baik potongan axial maupun coronal.
pemeriksaan untuk persiapan operasi :
lab darah : Hb, Lekosit, Trombosit, BT, CT,
bila perlu PT dan aPTT, SGOT,SGPT, Ureum,
Kreatinin, Na, Kalium.
Radiologik : foto Thoraks
Lain-lain : EKG bila perlu

Penatalaksanaan/terapi
B. Pemeriksaan Fisik :
secara inspeksi wajah tampak tidak simetris
atau tidak proporsional
-

Inspeksi : kelainan lokal,luka, asimetri wajah,


adakah gangguan fungsi mata,
gangguan
oklusi, trismus, paresis fascialis dan
sebagainya.
edema jaringan lunak dan ekimosis

- palpasi : daerah supraorbital, lateral orbital rim,


zygoma, infra orbital, hidung, mandibula,
sendi temporomandibular, palpasi bimanual
(ekstra intra oral).

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

- Perbaikan keadaan umum


- Medikamentosa kausal
- transfusi darah (bila perlu)
- Operatif : Repair (atau Reduksi) fraktur maksila
Dapat berupa :

LeFort I :
Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4
6 minggu

LeFort II :

Seperti LeFort I disertai fiksasi dari sutura


zigomatikum atau rim orbita

LeFort III :
Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan
intermaksilar, suspensi dari
sutura
zigometikum dan pemasangan kawat dari rim
orbita.

Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi


segmen fraktur sebagai pengganti kawat.
Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi
yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk
membuat traksi lateral atau anterior.

Dr. Yussy Afriani Dewi, Mkes, SpTHT-KL

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSHS

Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi,


traktur alveolar atau maloklusi
Penyulit :
Perdarahan
Anemia
Obstruksi jalan nafas
Cedera saraf
Kebocoran CSF
Infeksi
Syok

Das könnte Ihnen auch gefallen