Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
ABSTRACT
Mountain ecosystems are very sensitive to climate change, so that a failure in addressing climate dynamics will have serious
consequences for agricultural and forestry sectors. This study aims to determine the level of vulnerability of communities in mountain
ecosystems to climate change. The research was conducted in three villages in the Solok Regency, West Sumatra Province, namely
Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Batumbuk and Air Dingin. Primary and secondary data was collected through observation and
interviews with 30 respondents in each village, and then analyzed with descriptive analysis and scoring. The results show that exposure
with a focus on landslides that have a high degree of vulnerability in all villages. Nagari Salayo Tanang BukitSileh and Air Dingin
villages have high sensitivity level, while Air Batumbuk village has moderate sensitivity level. The major factors in the formation of the
vulnerability of mountain ecosystems are infrastructure (landslide control structures, settlement patterns), ecological factors (forest
cover, cliff condition) and economic condition (land / natural resources - based economies). Efforts to reduce the level of vulnerability
of the community are by constructing landslide control, settlement arrangement that are resistant to landslides, growing woody plants in
the area of agriculture and plantation with slope of > 45, the enrichment and expansion of community protection forest.
Keywords: Social vulnerability, climate change, mountain ecosystem.
ABSTRAK
Ekosistem pegunungan sangat sensitif terhadap perubahan iklim sehingga kegagalan dalam menangani
dinamika iklim akan berdampak serius bagi sektor kehutanan dan pertanian. Oleh karena itu, penelitian bertujuan
untuk mengetahui tingkat kerentanan masyarakat pada ekosistem pegunungan terhadap perubahan iklim.
Penelitian dilaksanakan di tiga nagari di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, yaitu: Salayo Tanang Bukit
Sileh, Air Batumbuk dan Air Dingin. Data primer dan sekunder diambil melalui observasi dan wawancara dengan
30 responden di setiap nagari, kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif dan skoring. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa singkapan dengan fokus longsor memiliki tingkat kerentanan tinggi di semua nagari. Nagari
Salayo Tanang Bukit Sileh dan Nagari Air Dingin menunjukkan tingkat sensitivitas tinggi, sedangkan Nagari Air
Batumbuk menunjukkan tingkat sensitivitas sedang. Faktor utama pembentuk kerentanan pada ekosistem
pegunungan adalah infrastruktur (bangunan pengendali longsor, pola pemukiman), ekologi (tutupan hutan,
kondisi tebing) dan ekonomi (mata pencaharian berbasis lahan/sumber daya alam). Upaya pengurangan tingkat
kerentanan masyarakat adalah: pembangunan fisik pengendali tebing, penataan pemukiman yang resisten
terhadap tanah longsor, pengayaan tanaman berkayu di areal pertanian dan perkebunan yang kemiringannya
>45o, pengayaan dan perluasan hutan lindung nagari.
Kata kunci: Kerentanan masyarakat, perubahan iklim, ekosistem pegunungan.
189
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang
rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan
iklim menyebabkan perubahan suhu dan pola
curah hujan, kemudian meningkatkan peluang
bencana klimatis seperti kekeringan dan banjir
(Tim Sintesis Kebijakan Departemen Pertanian,
2008). Kegagalan panen dan kehilangan produksi
padi akibat iklim dalam periode 1991-2000 meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1981-1990
(Boer & Las, 2003). Secara umum, dampak negatif
perubahan iklim terhadap perekonomian global
diduga menyebabkan hilangnya 5% Gross Domestic
Product (GDP) dunia setiap tahun (Pasaribu et al.,
2008).
Pergeseran musim dan perubahan pola hujan
dapat berpengaruh pada berbagai sektor. Perubahan tersebut akan menyebabkan terganggunya
musim tanam dan panen yang dapat menimbulkan
ancaman terhadap ketahanan pangan (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2009). Sistem ekonomi pertanian juga terganggu, antara lain
tata niaga pupuk mengalami hambatan dan
konsumsi petani mengalami penurunan. Di sisi
lain curah hujan yang tinggi dengan intensitas
yang meningkat dapat menambah risiko terjadinya
longsor, terlebih jika tutupan vegetasinya sangat
kurang. Ancaman longsor, stabilitas produksi
pangan dan ekosistem hutan umumnya berada di
dataran tinggi. Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional & Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (2006) menyatakan bahwa daerah sepanjang Bukit Barisan merupakan daerah
rawan longsor. Oleh karena itu dataran tinggi
merupakan ekosistem yang rentan terhadap
perubahan iklim.
Masyarakat merupakan pihak yang paling terdampak oleh perubahan musim dan cuaca ekstrem, baik dampak langsung maupun tidak langsung (Haque et al., 2012). Peningkatan kapasitas
masyarakat merupakan hal krusial dalam menjamin keberhasilan adaptasi terhadap perubahan
iklim (Wamsler & Brink, 2014), terutama mengubah pendekatan adaptasi reaktif menjadi proaktif (Departement for International Development, 2012). Oleh karena itu, kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim merupakan bagian penting untuk menyediakan informasi yang
190
penelitian efektif dilakukan pada bulan FebruariDesember 2011. Secara relatif, posisi desa lokasi
penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
B. Pengumpulan Data
Data primer diambil dengan cara observasi
dan wawancara. Pada masing-masing nagari dipilih 30 responden yang mewakili berbagai kelompok masyarakat. Di antara responden tersebut
terdapat informan kunci antara lain tokoh masyarakat sebagai local knowledge expert menurut
kriteria Davis dan Wagner (2003). Adapun data
sekunder diambil di lembaga-lembaga terkait
antara lain: Kantor Wali Nagari, Dinas Kehutanan
Kabupaten Solok, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Solok dan Balai Penelitian Buah Tropika
Solok.
C. Analisis Data
Penilaian kerentanan dilakukan menggunakan rumusan Intergovermental Panel on Climate Change
(2001) bahwa kerentanan merupakan fungsi dari
singkapan (exposure), sensitivitas (sensitivity) dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Singkapan merupakan derajat (seberapa jauh) suatu sistem
(sosial dan ekosistem) secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Sensitivitas merupakan
tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk
karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, frekuensi serta besaran ekstrem. Kapasitas adaptif
merupakan kemampuan satu sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan atau
menyesuaikan diri pada perubahan iklim,
mengurangi potensi kerusakan atau mengambil
keuntungan dari perubahan iklim tersebut.
1. Singkapan
Singkapan diukur dengan analisis kausalitas
antara variabel iklim (suhu dan curah hujan)
dengan kejadian bencana klimatis (climatic hazard)
yang berhubungan dengan kehidupan manusia
menurut Economy and Environment Programme for
Southeast Asia & International Development Research
Center (2009) yang relevan di ekosistem pegunungan, yaitu longsor. Penilaian tingkat singkapan
potensi longsor dilakukan menurut pendekatan
Suranto (2008) sebagaimana Tabel 1.
2. Sensitivitas
Sensitivitas dianalisis dengan metode scoring.
Aspek sensitivitas yang dianalisis meliputi aspek
sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi
(Benson et al., 2007) dengan melakukan pengembangan kriteria dan indikator sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Total nilai pada setiap lokasi dan
atribut/indikator diklasifikasi menggunakan skala
interval (SI). Hasil pengolahan nilai skor kemudian
diinterpretasi ke dalam tiga kelas kerentanan (sensitivitas), yaitu: tinggi, sedang dan rendah.
Penilaian
(Assessment)
Variabel (Variable )
Kelerengan (Slope):
0-15%
15-25%
> 25%
Batuan/tanah penyusun (Rock/soil components):
- Endapan lahar gunung berapi (Volcanic lava sediment)
- Batuan gunung api tak teruraikan (Volcanic rock irreducibly)
Curah hujan (Rainfall):
< 1.000 mm/tahun (<1,000 mm/year)
1.000-4.000 mm/tahun (1,000-4,000 mm/year)
4.000-6.000 mm/tahun (4,000-6,000 mm/year)
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Rendah-sedang
Sedang-tinggi
Tinggi
Skor 2
Skor 3
Sedang
Sedang-tinggi
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Rendah
Sedang
Tinggi
Ekonomi
Kriteria
(Criteria)
Cara pengukuran
(Measurement
technique)
- Data BPS
- Interview
Tingkat
pendidikan
Aksesibilitas
Kuesioner
melalui interview
Kelembagaan
Kuesioner
melalui interview
Kuesioner
melalui interview
Kuesioner
melalui interview
- Jumlah/proporsi bangunan
dan rumah tidak permanen
- Data BPS
- Kuesioner
Sumber
pendapatan
(portofolio)
Mata
pencaharian
Infrastruktur Bangunan
teknik sipil
Pola
pemukiman
192
Indikator
(Indicator)
- Data BPS
- Interview
Penilaian
(Assessment)
5: mayoritas tidak sekolah
4: mayoritas SD
3: mayoritas SLTP
2: mayoritas SLTA
1: mayoritas PT
5: tidak bisa jalan darat
4: jalan tanah >75%, terisolasi
3: jalan tanah >75%
2: jalan aspal 50%
1: jalan aspal >75%
5: tidak ada kelembagaan
4: ada tapi tidak aktif
3: salah satu aktif
2: keduanya aktif, satu dominan
1: keduanya aktif, harmonis
5: sumber tunggal
4: sumber ganda
3: tiga sumber
2: empat sumber
1: >4 sumber
5: on farm >80%
4: on farm 60-80%
3: on farm 40-60%
2: on farm 20-40%
1: on farm <20%
5: tidak ada
4: ada rencana
3: ada, tidak berfungsi
2: ada, berfungsi sebagian
1: ada, berfungsi baik
5: di dekat tebing >80%
4: di dekat tebing 60-80%
Tabel 2. Lanjutan
Table 2. Continued
Aspek
(Aspect)
Kriteria
(Criteria)
daerah
tinggi
Ekologi
Tutupan
hutan
Kondisi
bantaran
tebing
Indikator
(Indicator)
- Jarak bangunan dengan
sumber bencana
- Proporsi bangunan
pemukiman di areal tebing
>45%
- Luas/proporsi hutan saat ini
- Luas/proporsi hutan yang
diubah peruntukannya
- Jumlah/proporsi tebing yang
labil
Cara pengukuran
(Measurement
technique)
melalui interview
Kuesioner
melalui interview
Kuesioner
melalui interview
Penilaian
(Assessment)
3: di dekat tebing 40-60%
2: di dekat tebing 20-40%
1: di dekat tebing <20%
Sumber (Source): diadaptasi dari Benson et al. (adapted from Benson et al) (2007)
3. Kapasitas adaptif
Kapasitas adaptif dianalisis dengan metode
scoring. Aspek kapasitas adaptif yang dianalisis meliputi aspek yang sama dengan variabel sensitivitas, yaitu: sosial, ekonomi, infrastruktur dan
ekologi (Benson et al., 2007). Jika indikator tersebut menunjukkan sifat melemahkan maka tergolong sensitif, sedangkan jika menguatkan maka
tergolong kapasitas adaptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perubahan Iklim di Kabupaten Solok
Salah satu gejala terjadinya perubahan iklim
dapat dilihat pada sifat hujan. Sifat curah hujan
merupakan perbandingan antara jumlah curah
hujan yang terjadi selama satu bulan dengan nilai
rata-rata atau normal dari bulan tersebut di suatu
tempat (Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, 2011), yang dapat dikelompokkan
menjadi hujan normal (N), di atas normal (AN)
dan di bawah normal (BN). Sifat hujan di lokasi
penelitian cenderung di bawah normal pada
pertengahan tahun dan di atas normal pada akhir
tahun. Dinamika tersebut mengindikasikan
adanya gangguan atmosfer, minimal gangguan
pada skala lokal dan regional sehingga mem-
pengaruhi curah hujan di wilayah Solok dan sekitarnya pada semester dua, tahun 2011.
Rata-rata curah hujan bulanan 30 tahun terakhir di Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Sukarami dan Alahan
Panjang menunjukkan kecenderungan meningkat. Adapun jumlah curah hujan tahunan di kedua
stasiun memperlihatkan tren yang menurun,
namun kembali meningkat pada periode akhir
pengamatan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa curah hujan pada 30 tahun terakhir tidak stabil
(Gambar 2).
Masyarakat di lokasi penelitian sudah merasakan adanya perubahan pada suhu dan pola hujan.
Seluruh responden menyatakan bahwa masyarakat merasakan peningkatan suhu menjadi lebih
panas selama 30 tahun terakhir. Sebagian besar
responden (98%) menyatakan terjadinya perubahan pola hujan menjadi tidak teratur, semakin
tinggi intensitasnya, tapi semakin pendek
durasinya.
Masyarakat di pegunungan sebagian besar memiliki mata pencaharian pertanian dengan komoditas hortikultura seperti bawang merah, bawang
daun, kol, tomat, jagung dan tanaman lainnya.
Tanaman perkebunan yang ada adalah teh (khususnya di Nagari Air Batumbuk). Perubahan suhu
dan pola hujan dirasakan oleh masyarakat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas
193
Keterangan (Remarks): *) Tidak tersedia data, diestimasi dari tahun sebelumnya (No data, estimated from previous year).
Sumber (Source): Rochmayanto et al. (2013).
Gambar 2. Rata-rata curah hujan bulanan dan tahunan di Stasiun Pengamatan Alahan Panjang dan
Sukarami, Kabupaten Solok.
Figure 2. Monthly and yearly rainfall on the average at climatological station of Alahan Panjang and Sukarami, Solok
District.
Tabel 3. Dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem terhadap produktivitas pertanian
Table 3. Impact of climate change and extreme weather to agricultural production
No.
Komoditi (Comodity)
1
Cabe
2
Kentang
3
Bawang merah
4
Cabe keriting
5
Kol
6
Sawi
7
Kentang
8
Tomat
9
Teh
Sumber (Source): Rochmayanto et al. (2013).
194
20-50
75
50
80
75
25-50
30-50
10
10
30
-
- Masa tanah/batuan
yang tidak bergerak
(Unmovong soil/rock
masses)
Kondisi geologi
(Geological conditions)
- Kondisi struktur
geologi pada lereng
(Geological structure
conditions on the
slopes)
- Sejarah geologi
(Geological history)
Iklim dan curah hujan
(Climate and rainfall)
Kondisi hidrologi
pada lereng
(Hydrological conditions
on the slopes)
Runtuhan/jatuhan
dan robohan
(Dropping and debris)
Luncuran (Glide)
Nendatan (Slump)
Kemiringan
menengah (20-45o)
Aliran, rayapan,
pergerakan laretal
(Flow, lateral
movement)
Kaki pegunungan
dengan kemiringan
12-20o
Kemiringan
umumnya >45o
Kemiringan
menengah hingga
curam (20-65o)
Batuan yang
terpotong-potong
oleh bidang retakan
atau kekar umumnya
berupa blok-blok
batuan
Blok-blok batuan
yang masih stabil
Beberapa lereng bergerak karena kehadiran bidang kekar atau bidang perlapisan batuan yang
miring searah dengan kemiringan lereng, serta kemiringan lereng lebih curam daripada
kemiringan bidang tersebut dan lebih besar dari besar sudut gesekan dalam pada bidang
tersebut
Daerah geologi yang aktif yang terletak pada zona penunjaman, umumnya berasosiasi dengan
aktivitas gunung api dan morfologi perbukitan
- Intensitas hujan yang tinggi (>70 mm/jam atau 2.500 mm/tahun)
- Intensitas hujan yang <70 mm/jam yang terjadi terus-menerus selama beberapa jam, hari
atau beberapa minggu
- Kondisi muka air tanah dangkal pada lereng yang tersusun oleh tanah/dan batuan yang
membentuk akuifer yang tertekan
- Kondisi muka air tanah dalam namun di atas muka air tanah terdapat ak uifer yang
menggantung
- Pada lereng terdapat pipa atau saluran alam yang arah alirannya searah kemiringan lereng
Lahan pada lereng jenuh air, misalnya akibat adanya persawahan dan salur an air untuk
domestik yang mengakibatkan rembesan air ke dalam lereng.
Lain-lain penggunaan
lahan pada lereng
(Other land uses on the
slopes)
Sumber (Source): Suranto (2008).
muda yang sangat tidak kompak. Adapun menurut indikator klimatis berupa curah hujan, potensi
gerakan tanah pada ketiga desa tergolong sedang,
dengan rerata curah hujan tahunan 1.000-4.000
mm/tahun. Berdasarkan gabungan ketiga indikator dengan asumsi masing-masing indikator berbobot sama, maka potensi gerakan tanah tergolong tinggi (Tabel 5 dan Tabel 6).
Potensi gerakan tanah yang tinggi tersebut
dibuktikan dengan frekuensi kejadian longsor di
lokasi penelitian. Longsor besar terakhir terjadi
pada tahun 2006 setelah hujan turun selama dua
hari sehingga tanah menjadi jenuh air. Longsoran
tanah menimpa 10 rumah dan satu mesjid.
Korban longsor adalah 18 orang meninggal, 11
luka-luka, 60 keluarga diungsikan, sekitar 15
Variabel
(Variable)
Kelerengan (Slope)
Batuan/tanah
penyusun (Rock/soil
components)
Nagari (Village)
Salayo Tanang Bukit
Sileh
Pada umumnya lebih
dari 45o Potensi
gerakan tanah tinggi
- Batuan gunung
api tak teruraikan
- Endapan lahar
gunung berapi
- Potensi gerakan
tanah sedang-tinggi
Curah hujan
Rerata 1.302-2.228
(Rainfall)
mm/tahun
Sumber (Source): data primer/diolah (primary data/processed) (2011)
Air Batumbuk
Air Dingin
Rerata 1.302-2.228
mm/tahun
Indikator
(Indicator)
Skor
(Score)
Air Batumbuk
Bobot
Jumlah
(Weight)
(Sum)
Kelerengan
3
0,33
0,99
3
(Slope)
Batuan
penyusun
2
3
0,33
0,99
3
(Rock
components)
Curah hujan
3
2
0,33
0,66
2
(Rainfall)
Jumlah skor (Total of score)
2,64
Tinggi
Kategori (Category)
Sumber (Source) : data primer/diolah (primary data/processed) (2011)
1
196
Skor
(Score)
Air Dingin
Bobot
Jumlah
(Weight)
(Sum)
0,33
0,99
0,33
0,99
0,33
0,99
0,33
0,99
0,33
0,66
0,33
0,66
2,64
Tinggi
2,64
Tinggi
Aspek
(Aspect)
Sosial (Social)
Ekonomi
(Economy)
Infrastruktur
(Infrastructure)
Ekologi
(Ecology)
Kriteria (Criteria)
Bukit Sileh
Nagari (Village)
Air Batumbuk Air Dingin
Total faktor
(Sum of factor)
Kategori
(Category)
- Tingkat
pendidikan
- Aksesibilitas
- Kelembagaan
Sedang
1
2
2
2
3
2
6
6
Rendah
Rendah
- Sumber
pendapatan
(portofolio)
- Mata
pencaharian
11
Sedang
15
Tinggi
- Bangunan
teknik sipil
- Pola
pemukiman
daerah tinggi
15
Tinggi
15
Tinggi
- Tutupan hutan
- Kondisi
bantaran tebing
4
4
4
2
3
4
11
10
Sedang
Sedang
Faktor sensitivitas serta kapasitas adaptif dipengaruhi oleh empat aspek, yaitu sosial, ekologi,
infrastruktur dan ekonomi. Hasil analisis
sensitivitas dan kapasitas adaptif disajikan pada
Tabel 7.
Menurut sebaran spasial tingkat sensitivitas
masyarakat terhadap perubahan iklim pada
ekosistem pegunungan di lokasi penelitian berada
pada kategori sedang dan tinggi. Nagari Air
Batumbuk yang berada pada elevasi kisaran 1.200
m dpl teridentifikasi pada kategori tingkat
sinsitivitas sedang, sedangkan Nagari Bukit Sileh
dan Nagari Air Dingin yang berada pada elevasi
1.400 dan 1.600 m dpl teridentifikasi pada kategori
tingkat sensitivitas tinggi. Jika menghubungkan
antara elevasi dan tingkat sensitivitas maka ditemukan kecenderungan semakin tinggi elevasi, semakin tinggi juga sensitivitas masyarakat terhadap
perubahan iklim. Namun demikian, korelasi tersebut belum teruji oleh pengulangan lokasi pada
masing-masing elevasi.
Nagari Air Batumbuk yang menunjukkan
kategori tingkat sensitivitas sedang dipengaruhi
34
Tinggi
norma adat. Tokoh pemerintahan dan adat bersinergi secara harmonis dalam menyelaraskan
aktivitas sosial kemasyarakatan.
Aspek ekonomi berkontribusi sedang sampai
tinggi bagi sensitivitas masyarakat terhadap perubahan iklim. Portofolio mata pencaharian penduduk menunjukkan kategori sedang karena mayoritas memiliki mata pencaharian ganda yang
berfungsi sebagai pengaman (safeguard). Namun
demikian, sumber mata pencaharian mereka sangat bergantung terhadap sumber daya alam sehingga berkontribusi tinggi terhadap tingkat
sensitivitasnya.
Aspek infrastruktur yang terdiri atas faktor
ketersediaan bangunan teknik sipil dan pola
pemukiman daerah tinggi berkontribusi tinggi
terhadap tingkat sensitivitas. Di lokasi penelitian
tidak menunjukkan upaya pemerintah maupun
masyarakat untuk membuat bangunan teknik sipil
agar risiko gerakan tanah dapat dikurangi. Pola
pemukiman penduduk juga berisiko tinggi,
banyak bangunan rumah dan fasilitas umum
berada di sisi tebing yang rawan. Bangunan teknik
sipil yang banyak digunakan dalam aktivitas
pertanian dan pemukiman adalah teras bangku.
Aspek ekologi menunjukkan kontribusi sedang, faktor yang mendukungnya adalah tutupan
hutan dan stabilitas alami bantaran tebing. Tutupan hutan di lokasi penelitian mengalami
deforestasi yang tinggi dan menyisakan hutan di
lokasi yang jauh dari pemukiman. Adapun stabilitas tebing menunjukkan kategori sedang,
diperkirakan terdapat 20-80% tebing labil dan
rawan terjadi gerakan tanah apabila dipicu oleh
faktor lain.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa
perakaran pohon meningkatkan kekuatan tanah
dan stabilitas lereng (O'Loughlin & Ziemer, 1982;
Cammeraat et al., 2005). Vegetasi membantu
meningkatkan stabilitas lereng berhutan melalui
kekuatan akar dan dengan memodifikasi rezim air
tanah. Jika vegetasi ditebang dan sistem perakaran
mulai membusuk maka jalinan perakaran dengan
tanah secara progresif melemah sehingga stabilitas lereng menurun dan berisiko meningkatkan
frekuensi longsor (Ziemer, 1981; Montgomery et
198
Keterangan (Remarks):
- Sensitivitas dan kapasitas adaptif berkorelasi
negatif.
- Semakin besar poin berarti semakin tinggi
sensitivitas masyarakat, tapi semakin kuat
kapasitas adaptifnya.
&_st=13&view=c&_acct=C000228598&_v
ersion=1&_urlVersion=0&_userid=1297551
2&md5=395d498576e3b32a9e9b952a74267
c7d&searchtype=a.
Watkiss, P., Downing, T.E., & Dyszynzki, J. (2010).
Adapt cost project : analysis of the economic cost of
climate change adaptation in Africa. Nairobi:
United Nation Environment Programme.
Watson, A., Phillips, C., & Marden, M. (1999).
Root strength, growth, and rates of decay:
root reinforcement changes of two tree
species and their contribution to slope
stability. Plant and Soil, 217, 39-47.
Ziemer, R.R. (1981). The role of vegetation in the stability of forested slopes (297-308). XVII IUFRO
World Congress. Japan, 1981. Japan: International Union of Forest Research Organizations.
Zhou, Y., Watts, D., Cheng, X., Li, Y., Luo, H., &
Xiu, Q. (1997). The traction effect of lateral
roots of Pinus yunnanensis on soil reinforcement: a direct in situ test. Plant and Soil,
190, 77-86.
201