Sie sind auf Seite 1von 16

Pertanyaan saudari tentang bagaimana suami saudari segera memberikan pembagian harta gono gini

kurang jelas maka kami maknai menjadi bagaimana caranya saudari dapat memperoleh haknya?
Untuk itu sebelum kami menjawab pertanyaan tersebut maka ketentuan mengenai harta benda yang
timbul dikarenakan perkawinan saudari, maka berlaku ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :

Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama


Selanjutnya menurut kaidah hukum yang termuat dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung No.
1448K/Sip/1974, disebutkan:

Sejak berlakunya

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, harta

benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya
perceraian harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami istri
Maka dari itu harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan yang wajib dibagi sama
rata antara saudari dan suami saudari baik yang sifatnya piutang maupun utang.
Dikarenakan pembagian harta gono gini harus sama rata maka harta yang berhak Anda dapatkan adalah
setengah bagian dari harta bersama yang saudari dapatkan setelah menikah, dan mengenai hak saudari
yaitu setengah bagian dari harta bersama telah tercantum pembagiannya dalam putusan pengadilan
seperti yang saudari terangkan.
Namun dikarenakan saudari belum mendapatkan apa yang yang menjadi hak saudari dikarenakan suami
saudari belum mau memberikan setengah dari hasil penjualan rumah padahal sudah diputuskan di
pengadilan. maka langkah selanjutnya yang dapat saudari lakukan adalah denganmengajukan
permohonan eksekusi kepada pengadilan.
Permohonan eksekusi adalah permohonan untuk diadakannya upaya paksa agar yang dikalahkan mau
melaksanakan isi putusan. Maka dalam hal ini saudari dapat memintakan permohonan eksekusi agar
suami saudari mau menjual rumah tersebut dan membagikan setengah dari hasil penjualan rumah itu.
Apabila setelah diajukan permohonan eksekusi tetapi suami saudari belum mau melakukan isi putusan
Pengadilan, maka dapat melakukan permohonan ke Pengadilan untuk memberikan peringatan
(aanmaning). Hal peringatan ini diatur di dalam Pasal 196 Herzien Indonesis Reglement (HIR), yang
menyebutkan:
(1)

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai dalam menjalankan isi putusan itu dengan baik

maka pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan, baik dengan lisan maupun dengan surat agar
putusan itu dijalankan yaitu kepada ketua pengadilan negeri yang tercantum didalam Pasal 195 ayat (1)
HIR;
(2)

Kemudian ketua memerintahkan memanggil pihak yang dikalahkan serta menasihati agar

menjalankan putusan itu dalam waktu yang telah ditentukan oleh ketua paling lambat 8 hari
Apabila suami saudari tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan yang sah, maka suami
saudari dianggap mengingkari untuk memenuhi panggilan. Terhadap pengingkaran memenuhi
pemanggilan ini maka berlakulah ketentuan Pasal 197 Ayat (1) HIR, yang menyebutkan:

Jika sudah lewat waktu yang telah ditentukan dan pihak dikalahkan belum juga menjalankan putusan
itu atau jika ia telah dipanggil secara patut tetapi tidak datang menghadap maka karena jabatannya
ketua memberi perintah dengan surat agar disita sekian barang tidak tetap dan jika tidak ada atau
ternyata tidak cukup juga dari sekian barang tetap sehingga dirasa cukup sebagai pengganti sejumlah
uang yang tersebut didalam putusan iu dan semua biaya untuk menjalankan putusan itu

dari ketentuan di atas maka secara ex officio (kewenangan jabatan), ketua pengadilan dapat langsung
mengeluarkan surat perintah eksekusi dimana tidak diperlukan lagi proses pemeriksaan sidang
peringatan dan tidak diberikan tenggang masa peringatan.
Maka setelah sita eksekusi dilaksanakan, saudari dapat mengajukan permohonan lelang eksekusi sesuai
dengan ketentuan Pasal 200 Ayat (1) HIR, yang menyebutkan:

Penjualan barang yang disita diakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan
dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitan itu atau orang lain yang cakap dan dapat
melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua
untuk itu dan berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu
Maka, setelah dilaksanakannya sita eksekusi yang dalam hal ini rumah tersebut, maka Pengadilan dapat
memerintahkan kantor lelang untuk melelang rumah itu dan hasilnya dibagi sama rata yaitu setengah
bagian untuk saudari dan setengah bagian untuk suami saudari sebagaimana bunyi amar putusan yang
saudari sebutkan.
Selanjutnya, mengenai suami saudari yang tidak mau membagikan setengah dari penjualan 2 mobil
tersebut, maka saran kami adalah saudari memintakan hak saudari terlebih dahulu secara musyawarah
mufakat, apabila setelah musyawarah mufakat saudari tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya
yaitu setengah dari penjualan mobil tersebut, maka saudari dapat memilih 2 alternatif langkah hukum.
Yang pertama, Mengenai 2 mobil yang dijual suami saudari pada saat proses perceraian dalam
Persidangan. Menurut hukum perdata, jual beli yang demikian dapat dikategorikan sebagai perikatan jual
beli yang dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subyektif sahnya suatu perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan:
Pasal 1320 KUHPerdata

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :


1.1.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

2.2.

Kecakapan untuk membut suatu perikatan

3.3.

Suatu hal tertentu

4.4.

Suatu sebab yang halal

Pasal 36 Ayat (1) Undang Undang No. 1 Tahun 1974

Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
Oleh karena itu, perikatan jual beli yang dilakukan oleh suami dengan pihak ketiga tersebut, dapat
dibatalkan, jika saudari menghendakinya.
Dalam hal ini, saudari menginginkan hak saudari dari penjualan mobil tersebut, namun suami saudari
sudah menjual mobil dimaksud, sehingga saudari tidak dapat meminta Pengadilan untuk
mengeksekusinya, maka berdasarkan penjelasan di atas, saudari dapat menempuh upaya hukum,
dengan cara mengajukan gugutan pembatalan jual-beli mobil tersebut agar dapat kembali ke dalam
keadaan semula, yaitu sebagai harta gono gini. Setelah proses gugatan pembatalan tersebut selesai,
saudari kemudian dapat memintakan pengadilan mengeksekusi mobil dimaksud guna memenuhi isi
putusan mengenai harta gono gini sebagaimana saudari maksud di atas.
Demikian penjelasan kami mengenai cara mendapatkan harta gono gini yang sudah diputus oleh
pengadilan tetapi tidak dilaksanakan. Semoga bermanfaat.
(LBH Mawar Saron)

Dasar Hukum:
1.UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2.HIR
3.Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Pada awalnya kami semua menerima isi putusan tersebut, tanpa ada satu pihak pun yang menyatakan
Banding. Namun saat ini saya melihat keanehan.
Sampai sekarang pun warisan tersebut tidak juga dijual sehingga tidak bisa dibagi-bagi. Saudara-saudara
kandung saya selalu menunda-nunda tanpa alasan yang jelas. Padahal saya tahu bahwa penundaannya
hanyalah agar mereka tetap dapat menikmati keuntungan dari aset-aset tersebut.
Saya pun semakin terheran-heran saat saya minta Pengadilan melakukan eksekusi, mereka malah
mengatakan tidak dapat dieksekusi. Saya ingin bertanya:
1.Apakah putusan pengadilan tersebut memang tidak dapat dieksekusi?
2.Apakah saya dapat secara paksa menjual seluruh aset tersebut?

Sekian pertanyaan saya, terima kasih.

Jawaban
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
1.Kami asumsikan bahwa isi putusan tersebut hanya menetapkan bagian-bagian warisan, tanpa ada
perintah untuk melaksanakan (eksekusi) pembagian warisan. Hal ini terjadi karena Gugatan yang
saudara buat tidak sekaligus memohonkan agar harta warisan segera di eksekusi pembagiannya.

Apabila memang hal itu yang terjadi, maka pengadilan telah bertindak sebagaimana mestinya. Dalam
Hukum Acara Perdata terdapat asas Hakim bersifat pasif dalam menangani perkara (secendum allegata
iudicare). Maksudnya, hakim memeriksa dan memutus perkara berdasarkan hal-hal yang diajukan oleh
para pihak yang bersengketa, tanpa melakukan pengembangan perkara ke hal-hal yang tidak diajukan
kepada hakim. Tidak ada pasal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur secara
tegas, namun asas tersebut telah menjadi dasar/fondasi dalam praktek peradilan perdata di Indonesia.
Sebagai turunan dari asas tersebut, dalam perkara perdata hakim juga dilarang memberi keputusan
mengenai hal-hal yang tidak dimohonkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan
(3)Herzeine Inlandsche Reglement (HIR), yang menyatakan:

(2)
(3)

Hakim wajib mengadili atas segala bagian gugatan.

Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan

daripada yang digugat


Dengan kata lain, hakim tidak akan memberikan putusan melebihi dari hal yang dimintakan oleh
Penggugat (ultra petitum). Dengan tidak adanya permintaan pelaksanaan pembagian harta warisan,
maka tidak ada dasar hukum bagi pengadilan untuk melakukan eksekusi terhadap bagian warisan
saudara.
Namun apabila misalnya isi putusan Pengadilan tersebut telah memerintahkan dan menghukum para
pihak untuk segera membagi harta warisan tersebut maka anda boleh mencoba memasukan permohonan
untuk eksekusi atas objek putusan tersebut dengan dasar hukum pasal 196 HIRyang menyatakan :

jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi keputusan itu dengan baik, maka pihak
yang dimenangkan memasukkan permintaan; baik dengan lisan, baik dengan surat, supaya keputusan
itu dijalankan, yaitu kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195. Maka
ketua itu menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasehati, supaya ia mencukupi
keputusan itu didalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selam-lamanya delapan hari.
Berdasarkan permohonan ini Ketua Pengadilan Negeri setempat akan mengeluarkan teguran
(aanmaning) kepada pihak yang kalah untuk segera menjalankan putusan secara sukarela, jika tidak
terhadap objek putusan tersebut dapat dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dilakukan pelelangan.

1.Untuk segera menjual suatu harta warisan, harus dengan persetujuan dari seluruh ahli waris sah
lainnya. Apabila para ahli waris telah bersepakat, maka penjualan dapat dilakukan. Penjualan tanpa
ada persetujuan dari seluruh ahli waris yang sah berpotensi terjadi Tindak Pidana Penggelapan. Tindak
Pidana Penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
menyatakan:

barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana dendan
paling banyak sembilan ratus rupiah
Dalam hal tidak adanya kesepakatan untuk melakukan penjualan, saudara dapat mengupayakannya agar
harta warisan segera dijual dan kemudian dibagi-bagi menurut bagiannya masing-masing. Saudara dapat
memintakannya dengan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama, sebagaimana diatur
dalam Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan:

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada
ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian warisan.
Selain melalui Pengadilan Agama, berdasarkan penetapan bagian waris yang telah ada, saudara dapat
memilih mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Pengadilan Negeri. Hal ini dikarenakan
saudara-saudara kandung tersebut telah menguasai barang yang bukan milik mereka. Saudara dapat
menuntut pengembaliannya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 574 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), yang isinya:

Pemilik barang berhak menuntut siapa pun juga yang menguasai barang itu, supaya mengembalikannya
dalam keadaan sebagaimana adanya.
Selain itu, saudara juga dapat mengajukan ganti kerugian atas tindakan-tindakan yang merugikan
saudara. Berdasarkan Pasal 579 KUHPerdata, pihak-pihak yang menguasai suatu barang yang bukan
miliknya dengan itikad buruk memiliki kewajiban untuk:

1.

mengembalikan segala hasil suatu barang beserta barang itu sendiri, bahkan juga hasil yang

kendati tidak dinikmatinya, sedianya dapat dinikmati oleh pemilik; tetapi sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 575, boleh ia mengurangkan atau menuntut kembali biaya yang dikeluarkan guna menyelamatkan
barang itu selama dalam kekuasaannya dan juga biaya demikian yang dikeluarkan guna memperoleh
hasil itu, yakni untuk penanaman, pembenihan dan pengolahan tanah;
2.

mengganti segala biaya, kerugian dan bunga;

3. membayar harga barang bila ia tidak dapat mengembalikan barang itu, juga manakala barang itu
hilang di luar kesalahannya atau karena kebetulan, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barang itu
akan lenyap juga, sekalipun besit atas barang itu dipegang oleh pemiliknya.

Demikian jawaban kami, terima kasih atas perhatiannya.

Dasar Hukum

1.1.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan

Kehakiman);

2.2.

Herzeine Inlandsche Reglement (HIR);

3.3.

Kompilasi Hukum Islam (KHI);

4.4.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan

5.5.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Jika tidak ada perjanjian perkawinan, dalam perceraian harta bawaan


otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri dan harta bersama
akan dibagi dua sama rata diantara keduanya (Pasal 128 KUHPer, Pasal
97 KHI). Tentunya jika ada perjanjian perkawinan, pembagian harta
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian itu.
Harta

gono-gini adalah

harta

benda

yang

diperoleh

selama

berlangsungnya

perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap
memiliki hak atas harta gono gini. Jadi, harta gono gini meliputi harta yang diperoleh dari
usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik
suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan
segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah
pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan
kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang
tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masingmasing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.
Suatu perbuatan hukum yang menjadi penyebab timbulnya harta gono gini itu adalah
"Perkawinan" baik perkawinan yang diatur oleh pasal 26 dan seterusnya KUHPerdata,
maupun perkawinan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusnya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu "cerai gugat" dan "cerai
talak", penyebutan ini menunjukkan kesan adanya perselisihan antara suami dan isteri.
Dalam hal ini hak untuk memecah perkawinan melalui perceraian tidak lagi monopoli
suami. Isteri diberi hak untuk mengajukan gugatan cerai. Perceraian dengan talak biasa
disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam. Sedangkan perceraian dengan gugatan biasa disebut dengan cerai gugat
berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan bukan
agama Islam.

Harta gono gini menurut KUHP


Persatuan harta kekayaan dalam pasal 119 KUHPerdata pada pokoknya dikemukakan
bahwa terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan
bulat harta kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan
tentang hal tersebut, jadi dari sini dapat diartikan bahwa yang dimaksud Harta gono
gini adalah "Persatuan harta kekayaan seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta
yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan
yang akan diperoleh selama perkawinan".
Harta gono gini menurut UU No. 1 Tahun 1974
Harta gono gini menurut UU ini ialah: "terbatas pada harta yang diperoleh selama dalam
perkawinan". Sedangkan harta yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung ini disebut
dengan harta bawaan.
Mengenai harta bersama ini, dalam syariat Islam (Al Quran dan Sunnah) tidak ada diatur.
Seolah-olah masalah harta bersama dalam hukum Islam kosong atau vakum. Hukum
agama tidak mengenal harta bersama.
Mengenai pokok-pokok hukum Lembaga harta gono gini yang diatur dalam Bab XII
Kompilasi Hukum Islam secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
a. harta gono gini terpisah dari harta pribadi masing-masing:
- harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya
(suami-isteri).
- harta bersama menjadi hak bersama suami-isteri dan terpisah sepenuhnya dari harta
pribadi.
b. harta gono gini terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan:
- sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama,
- tanpa mempersoalkan siapa yang mencari,
- juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar.
c. tanpa persetujuan bersama; suami atau isteri tidak boleh mengasingkan atau
memindahkan,
d. hutang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama,
e. dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta gono gini, terpisah antara suami
dengan masing-masing isteri,
f. apabila perkawinan pecah (mati, cerai):
- harta gono gini dibagi dua,
- masing-masing mendapat setengah bagian,
- apabila terjadi cerai mati, bagiannya menjadi tirkah,

g. sita marital atas harta bersama diluar gugat cerai (pasal 95)
- suami isteri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah satu
pihak boros atau penjudi.
Mengenai gugatan cerai dari isteri, harus disertai alasan-alasannya (pasal 148 Kompilasi
Hukum Islam).
Alasan-alasan perceraian (pasal 116 Kompilasi Hukum Islam):
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat ynag membahayakan
pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. suami melanggar taklik-talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga.
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian
Karena terjadinya perceraian, maka ada tiga akibat yang perlu diperhatikan yaitu:
1. akibat terhadap anak dan isteri;
2. akibat terhadap harta perkawinan;
3. akibat terhadap status.
Akibat terhadap anak dan isteri
1. bapak dan ibu tetap berhak memelihara dan mendidik anak-anak mereka semata-mata
untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang penguasaan anak, Pengadilan
memberikan keputusannya.
2. bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan kepada bekas isteri, dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
(pasal 41 Undang-undang Perkawinan).

Akibat terhadap harta perkawinan


Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta
tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan
harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian
dan kepatutan.
Tetapi terhadap harta bersama, mungkin akan timbul persoalan. Menurut ketentuan pasal
37 UU Perkawinan, bila perkawinan putus karena perceraian. harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing
ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain.
Dengan demikian penyelesaian harta gono gini adalah sebagai berikut:
1. Bagi mereka yang kawin menurut agama islam, hukum islam tidak mengenal harta
bersama, karena isteri diberi nafkah oleh suami. Yang ada adalah harta milik masingmasing suami dan isteri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.
2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi
tunduk pada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini, harta guna kaya), jika
terjadi perceraian, bekas suami dan bekas isteri masing-masing mendapat separuh.
3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetapi tunduk kepada BW yang
mengenal harta gono gini (persatuan harta sejak terjadi perkawinan), jika terjadi
perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri (pasal 128
KUHPerdata).
Jika terjadi sengketa tentang penyelesaian harta gono gini, sedang hal ini tidak diatur
menurut hukum agama maka dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang,
walaupun bagi mereka yang beragama Islam.
Akibat terhadap status
Bagi mereka yang putus perkawinan karena perceraian memperoleh status perdata dan
kebebasan sebagai berikut:
1. Kedua mereka itu tidak terikat lagi dalam tali perkawinan dengan status janda atau
duda.
2. Kedua mereka itu bebas untuk melakukan perkawinan dengan pihak lain.
3. Kedua mereka itu boleh melakukan perkawinan kembali sepanjang tidak dilarang
undang-undang atau agama mereka.

PERTANYAAN:
Assalamualaikum Wr Wb.
Saya adalah laki laki yang telah bercerai atas gugatan istri, dan telah putus perJuli 2011, dengan talak
satu (putus 3 kali sidang tanpa kehadiran saya karena surat panggilan tidak sampai ke saya sengaja
atau tidak pihak istri memberikan alamat yang tidak jelas- sedangkan alamat kantor saya bekerja pihak
istri tahu. Putusan talak dengan saksi orang tua lelaki dan saudara perempuan dari pihak istri.
Selama perkawinan kami mempunyai rumah yang masih dlam cicilan sampai tahun 2023. Dari
perkawinan kami dikarunia 1 anak perempuan kelahiran 1997 dan 1 anak laki laki kelahiran tahun 2000.
Keduanya ikut pihak istri. Sampai saat ini saya masih tetap mengirim uang ke anak anak ( tapi tidak
sebanyak sewaktu masih dalam status perkawinan)
Ada yang akan sampaikan beberapa fakta sbb:

31 Januari 2011 rumah dikontrakan tanpa sepertujuan saya.


27 Juli 2011 jatuh putusan talak oleh pengadilan
31 Januari 2012 rumah di perpanjang kontrak, pun tanpa sepertujuan saya hanya anak saya yang
sms bahwa rumah di kontrakkan.

Hasil

kontrakan saya tidak mengetahui dan hanya di beri tahu bahwa habis digunakan untuk

keperluan anak anak.

Sampai saat ini saya masih membayar cicilan rumah.


Bulan ini saya dan pihak istri sepakaat untuk menjual rumah tersebut
Sebelum perkawinan tahun 1996 istri telah membeli rumah dengan cara cicilan, semua pengurusan
kepemilkan rumah atas biaya dan atas nama istri. Setelah perkawinan kami menempati rumah
tersebut dan cicilan saya yang bayar.

tahun 1997 istri berhenti bekerja dan mendapat uang pesangon dan sebagian besar uang tersebut
digunakan untuk merenovasi rumah.

tahun

2007 kami menjual rumah tersebut dan menyelesaikan dengan pihak bank. Hasil penjualan

rumah tersebut dipegang sama istri dan kami gunakan untuk DP rumah baru dgn masa cicilan smpe
2023 dan atas nama saya.

Tahun

2008/2009 saya pribadi mendapat warisan dari orang tua sya dan saya gunakan untuk

merenovasi rumah.

Dari

tahun 2008 tersebut istri bekerja lagi dan mempunyai penghasilan sendiri (penggunaan

gajinya digunakakan untuk keperluan sehari hari


Pertanyaan saya :

1.Harta bawaan istri sejumlah yang mana saja: Semua biaya kepemilkan rumah pertama? pesangon
istri yang digunakan untuk renovasi rumah pertama apakah masih termasuk harta bawaan nya.

2.Uang

warisan dari orang tua saya tahun 2008 tersebut dan saya yang gunakan untuk renovasi

rumah apakah itu harta bersama atw harta bawaan saya pribadi.

3.Bagaimana

status pembayaran cicilan rumah setelah jatuh talak, termasuk harta bersama atw

bukan.

4.Bagaimana

pembagian harta bersama (hasil penjualan rumah / over kredit dan perabotan rumah

yg sekarang )
Demikian pertanyaan saya sampaikan.
Sebelum dan sesudahnya saya haturkan terima kasih.
Eddy

JAWABAN:
Waalaikum salam wr wb.

Saudara penanya yang kami hormati.


Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.
Tentang harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 s.d 37 UU nomor 1 tahun 1974 jo. pasal
85 sd 97 KHI
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
Pasal 35
1.Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadiharta bersama.
2.Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atauwarisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang parapihak
tidak menentukan lain.
Pasal 36
1.Mengenai harta bersama, suami atauisteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2.Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
KHI
Pasal 1 huruf f:
Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama,
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masingmasing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan
itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak
berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak
lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama.
Pasal 93
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama.
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4) Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masingmasing terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga
atau keempat.
Pasal 95
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975
dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
(2) Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama.

Pasal 96
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar
putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
Memperhatikan ketentuan pasal-pasal tersebut, maka:
1.Harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum terjadinya akad nikah, setelah akad nikah,
maka menjadi harta bersama tanpa mempermasalahkan atas nama siapa harta tersebut (KHI psl 1
huruf (f), UU no 1 tahun 1974 ps 35), adapun harta bawaan yang digunakan untuk renovasi rumah,
maka rumahnya adalah harta bersama. Nilai renovasinya dapat dihitung sebagai harta bawaan
karena diambil dari harta bawaan.
2.Uang hasil warisan adalah harta bawaan (ps 35 ayat (2) UU no 1 tahun 1974), kemudian digunakan
untuk renovasi rumah, maka rumahnya adalah harta bersama. Nilai renovasinya dapat dihitung
sebagai

harta

bawaan

karena

diambil

dari

harta

bawaan.

Melihat dari 2 pertanyaan dan jawaban tersebut, artinya suami dan isteri telah menggunakan harta
bawaan masing-masing untuk merenovasi rumah, dalam hal ini dapat dilakukan perdamaian
karena sama-sama andil dalam renovasi rumah.
3.Pembayaran cicilan rumah ditanggung oleh atas nama siapa yang berhutang, kalau atas nama
suami, maka suami yang bertangungung jawab membayarnya sampai lunas, adapun yang dihitung
sebagai harta bersama adalah nilai cicilan per bulan rumah tersebut sampai dengan tanggal
jatuhnya talak oleh Pengadilan Agama, adapun cicilan sesudah terjadinya talak berdasarkan putusan
Pengadilan Agama menjadi harta siapa (baik suami atau istri) yang melunasinya sampai lunas.
Misal kredit rumah selama 15 tahun, tetapi baru 3 tahun membayar cicilan rumah, terjadi
perceraian, maka yang dihitung sebagai harta bersama adalah nilai dari cicilan selama 3 tahun
tersebut, 12 tahun berikutnya menjadi tanggung jawab yang membayar rumah tersebut apakah
suami atau isteri, tergantung kesepakatan keduabelahpihak dan akan menjadi harta yang membayar
sisanya sampai lunas.
4.Menurut ketentuan KHI pasal 97: Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Semua jawaban dari kami tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Untuk
mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat, maka harus diajukan ke Pengadilan Agama dalam
pembagian harta bersama tersebut.
Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam
Admin

GUGATAN CERAI NON MUSLIM


Posted on Juli 1, 2012by jaya pos indonesia

Kepada Yth:
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Jl. Jend A.Yani No.1 Pulo Mas,
Jakarta-Timur, Indonesia
Perihal : Gugatan Cerai
Dengan Hormat,
Perkenankan saya, Dodi Hermawan, umur 36 tahun, pekerjaan Swasta, agama Kristen
Protestan, alamat Jl. Jakarta Alfa No. 8, Rt. 003, Rw. 004, Joglo, Kec. Kembangan, Jakarta
Timur, untuk selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT.
Bahwa Penggugat bersama ini hendak mengajukan gugatan perceraian terhadap Dr. Wani
Lilianti, umur 36 tahun, pekerjaan Dokter, agama Kristen Protestan, alamat Jalan Raya
Kopi Raya No. 9, Rt.004, Rw. 006, Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk selanjutnya disebut
sebagai TERGUGAT.
Adapun yang menjadi dasar dari gugatan ini adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat adalah suami sah dari Tergugat yang telah menikah di Gereja Yohanes
Penginjil di Jakarta pada tanggal 30 September 2000, sesuai dengan Kutipan Akta
Perkawinan No. 123/VIII/2000, dari daftar perkawinan Stbld.
1900.no.123.Yo.2345.No.18, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI
Jakarta; (Bukti P-1)
2. Bahwa pada mulanya kehidupan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat
berjalan rukun dan damai dan jika ada perselisihan dan pertengkaran itu di anggap
sebagai ujian dalam membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. Bahwa akan tetapi kehidupan rukun dan damai tersebut tidaklah berlangsung lama,
karena ternyata antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan-perselisihan
dan pertengkaran-pertengkaran yang bermuara pada terciptanya perbedaan prinsip, yang
telah berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak ada harapan untuk didamaikan dan

dipersatukan lagi;
4. Bahwa perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran tersebut disebabkan
antara lain:
a. Bahwa pandangan hidup Penggugat dan Tergugat sudah sangat jauh berbeda;
b.Bahwa pada dasarnya Penggugat sangat mengerti sekali sifat, resiko dan pekerjaan
Tergugat sebagai seorang dokter dari dulu sewaktu sebelum menikah, oleh karenanya
Penggugat justru memberikan kepercayaan dan kebebasan untuk Tergugat untuk berkarir
dalam pekerjaannya;
Bahwa seiring dengan berjalannya waktu, Tergugat sudah sangat terlalu sibuk dengan
pekerjaannya sebagai seorang dokter, sehingga seringkali tidak
memperdulikan/memperhatikan Penggugat sebagai suaminya;
c. Bahwa bila sedang berpergian bertugas Tergugat memakan waktu berhari-hari bahkan
sampai berminggu-minggu meninggalkan Penggugat dimana kejadian-kejadian tersebut
sering kali terjadi sampai saat ini;
d. Bahwa lama-kelamaan dikarenakan Tergugat sejak awal pernikahan terlalu sering
berpergian baik keluar kota maupun keluar negeri sehingga kewajiban Tergugat sebagai
seorang istri syah Penggugat menjadi terbengkalai;
e Bahwa Penggugat telah mengajak Tergugat untuk berdiskusi dan meminta agar Tergugat
mengurangi kegiatan berpergian dan lebih memperhatikan Penggugat selaku suaminya
akan tetapi Tergugat tidak pernah memperdulikan permintaan Penggugat tersebut dan
tetap sibuk dalam kegiatannya;
f Bahwa berkali-kali Penggugat berusaha untuk menjalin komunikasi dengan Tergugat
akan tetapi tidak pernah mendapatkan tanggapan yang baik dari Tergugat maupun
keluarganya, malah jawaban untuk bercerai-lah yang didapatkan Penggugat dari si
Tergugat ;
5. Bahwa Perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran antara Penggugat
dengan Tergugat telah terjadi secara terus menerus dan berlarut-larut, sehingga antara
Penggugat dengan Tergugat tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga, karena itu terpenuhilah Pasal 19 (F) Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang berbunyi
sebagai berikut:
Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


6. Bahwa Penggugat telah berusaha untuk mengajak berdamai Tergugat dengan mencoba
mengajaknya berbicara dan mencari jalan keluar yang baik dalam menyelesaikan
permasalaan rumah tangga mereka juga dengan cara berbicara melalui keluarga Tergugat,
akan tetapi Tergugat sangat sulit untuk diajak berkomunikasi dikarenakan kesibukannya
tersebut;
7. Bahwa pada sekitar bulan Juni 2006 kesabaran Penggugat sebagai suami kembali diuji
dengan rencana berpergian kembali Tergugat ke Aceh setelah kepulangannya selama
beberapa bulan sebelumya keluar negeri, Penggugat sebagai kepala rumah tangga
mencoba untuk mengetuk hati Tergugat dengan menahan kepergian Tergugat tersebut dan
mengatakan apabila dia tetap pergi maka rumah kami tertutup untuknya;
8. Bahwa akan tetapi Tergugat sama sekali tidak mengindahkan permintaan Penggugat
dan tetap berangkat juga ke Aceh dan ternyata sepulangnya dari Aceh tersebut Tergugat
tidak kembali kerumah Penggugat-Tergugat akan tetapi pulang kerumah orang tua
Tergugat;
9. Bahwa Penggugat masih berusaha memikirkan dan mempertahankan keutuhan
hubungan berkeluarganya dengan cara menghubungi Tergugat di rumah orang tuanya
serta meminta bantuan pada pihak saudara-saudara Tergugat dengan maksud untuk
berdamai, membujuk dan mengajaknya pulang kerumah bersama, akan tetapi niat baik
Penggugat tersebut tidak mendapatkan sambutan yang baik dari Tergugat bahkan
Tergugat mengatakan untuk bercerai saja dari Penggugat;
10. Bahwa pada bulan November 2006 Penggugat kembali mendatangi Tergugat dan
mengajaknya untuk berdamai di hadapan orang tua Tergugat, akan tetapi ternyata niat
Tergugat untuk meminta cerai dari Penggugat semakin dan sangat kuat;
11. Bahwa pada akhirya pada tanggal 7 April 2007 Tergugat membuat Surat Pernyataan
yang isinya antara lain keinginan untuk bercerai dan sebagai akibat perceraian Tergugat
meminta uang sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) (Bukti P.2);
Bahwa Tergugat semenjak bulan Juni 2006 sampai dengan saat ini sudah tidak tinggal
bersama lagi dengan Penggugat halmana seharusnya sepasang suami-istri selayaknya
tinggal satu atap dalam menjalani bahtera rumah tangganya;
12. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas maka cukup alasan bagi Penggugat
untuk menuntut perceraian berdasarkan putusan Pengadilan;

Maka : Berdasarkan halhal tersebut di atas dengan ini Penggugat mohon kehadapan
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur cq. Majelis Hakim, agar berkenan kiranya:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilakukan di
Gereja Yohanes Penginjil di Jakarta pada tanggal 30 September 2000, sesuai dengan
Kutipan Akta Perkawinan No. No. 123/VIII/2000, dari daftar perkawinan Stbld.
1900.no.123.Yo.2345.No.18, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI
Jakarta, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;
3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk mengirim
salinan resmi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor
Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta agar dapat didaftarkan perceraian ini dalam suatu
daftar perceraian;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul karena perkara ini ;
Atau : Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Timur berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Jakarta, 18 September 2007
Hormat Saya,
Materai Rp 6000 & tanda tangan
Penggugat
Dodi Hermawan

Das könnte Ihnen auch gefallen