Sie sind auf Seite 1von 22

ALIRAN HERMENEUTIKA &

SEMIOTIKA DALAM FILSAFAT

Aliran Hermenuetika & Semiotika Dalam Ilmu Filsafat


A. Aliran Hermeneutika
Secara bahasa, akar kata Hermeneutika merujuk pada bahasa para filosuf kuno, Yunani:
hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan) dan hermeneia (penafsiran
atau interpretasi).1 Hermeneuein memposisikan diri sebagai kata kerja, sementara hermeneia
merepresentasikan diri sebagai kata benda.
Istilah hermeneueine dan hermeneia dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam
sejumlah literatur peninggalan masa Yunanai Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang
didalamnya terdapat risalah terkenal pada bab logika proposisi yang bertajuk Peri
Hermeneias (tentang penafsiran). Ia juga digunakan dengan bentuk nominal dalam epos
Oedipus at Colonus, juga terdapat dalam karya Plato yang (dalam bahasanya) menyebut para
penyair kala itu dengan sebutan hermenes (penafsir) para Tuhan. 2 Kemudian, varian
pemahamannya saat itu berkembang pesat oleh sentuhan pena para penulis kuno terkenal
seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus yang mencurahkan
nuansa makna hermeneutika pada signifikansi modern, khususnya pada sastra dan interpretasi
kitab suci (baca: bibel).
Masih dalam kerangka pemahaman bahasa, istilah Hermenutika seringkali diasosiasikan
dengan kata Hermez8, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani, dimana (dimaknai) sebagai
utusan Tuhan Perbatasan. Tepatnya, Hermez diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa
yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia
1 Abd. Salam Arief, Ibid, lihat juga Richard E. Palmer, Hermeneutics: interpretation Theory in Schleirmacher,
Dilthy, Heidegger, and Gadamer, terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika: Teori Baru
Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet. I. hlm. 14. Lihat juga Moh. Ali Topan dalam
makalahnya berjudul Memahami Metode Hermeneutik dalam Studi Arsitektur dan Kota, (www.islamlib.com),
2003.
2 Lihat Alireza Alatas dalam makalahnya yang berjudul Menimbang Pandangan Hermeneutika, dalam situs
www.islamalternatif.com. Himpunan Pelajar Islam Iran/HPI, 2005, di download pada sabtu, 15 Oktober 2005.

manusia. Di sinilah terjadi mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat
ditangkap lewat intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami.
Sehingga, para sarjana ilmu-ilmu al-Quran memahami kata tersebut (baca:
hermez) mempunyai tiga gradasi (tingkatan) prinsip interpretasi, yang dapat menunjukkan
variabel kegiatan manusia dalam proses pemahaman, yakni 3: (1). Matan atau teks atau
tanda (sign), yakni pesan yang muncul dari sumbernya, yang diasosiasikan sebagai
pesan/teks yang di bawa oleh Hermez; (2). Perantara, yakni penafsir (hermez), dan (3).
Perpindahan pesan ke pendengar (lawan bicara).
Dari ketiga gradasi prinsip tersebut di atas, kita akan bisa meraba, bahwa proses sirkulasi
tafsir akan segera dilakukan tatkala telah lengkap perangkatnya: teks (sign) selaku sumber
hukum dari Tuhan, kemudian si-penafsir sebagai pembaca teks, dan pendengarnya
sebagai proses pemindahan pesan dari Tuhan, pembaca hingga audiens teks tersebut turun
(hadir). Dari sini, diketahui bahwa hermeneutika seringkali digunakan untuk
mengembangkan kaidah-kaidah umum penafsiran sehingga dengan bantuan metode
penafsiran yang benar, dapat menghindarkan diri dari distorsi makna.
Dari kerangka tersebut, kemudian muncul pemahaman bahwa kata hermeneutika
yang diambil dari peran Hermes merupakan sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan
(the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus
menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari (mengungkap, menyingkap) makna,
rasional dan dapat diuji, dalam hal ini kita akan menemukan prinsip hermeneutika sebagai
sebuah metode yang erat terkait dengan bahasa.
Sampai di sini, Richard E. Palmer dalam karyanya yang berjudul
Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthy, Heidegger, and Gadamer
menjelaskan bahwa bahasa merupakan mediasi yang paling sempurna dalam proses
3 Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, op.cit, hlm. 23. lihat juga Fahrudin Faiz, Hermeneutika alQuran: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ, Press, 2005, hlm. 4

(interpretasi). Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang diasosiasikan
dengan Hermez ini terkandung di dalam semua tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein
dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari
hermeneuein, yaitu: (1). Mengungkapkan (to exprees, untuk mengekspresikan) kata-kata,
misalnya, to say; (2). Menjelaskan, (to explain) seperti menjelaskan sebuah situasi; (3).
Menerjemahkan (to translate), seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu
bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris to interpret, namun masing-masing ketiga
makna itu membetuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Dengan
demikian interpretasi dapat mengacu kepada tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan,
penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi dari bahasa lain.4
Hanya saja kita bisa mencatat bahwa secara prinsip proses Hermez sedang
berfungsi dalam ketiga persoalan itu, sesuatu yang asing, ganjil, waktu yang berbeda, tempat
atau pengalaman nyata, hadir, komprehensif; sesuatu yang memerlukan representasi,
eksplanasi,

transliterasi

yang

bagaimanapun

juga

mengarah

pada

pemahamandiinterpretasi. Dalam bahasa Zygmunt Baumann, dijelaskan bahwa


hermeneutika menjadi upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari
sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang
menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Atau dalam pemahaman lain,
fungsi hermeneutika adalah untuk membawa sesuatu yang asing (unfamiliar), jauh (distant),
dan tidak jelas maknanya (obscure in meaning), menjadi nyata, dekat dan jelas maknanya
(intelligible).
Kemudian, lebih jauh lagi, jika kita lihat pelbagai literatur hermeneutika modern, proses
pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa
sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian exegesis
daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi
4 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta:
Teraju, 2002, hlm. 24-25.

pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran atau filsafat
penafsiran yang lazim dipahami dalam terminologi hermeneutika. Jika eksegesis merupakan
komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai
aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan ber-exegesis.
Sementara itu, merujuk berbagai diskursus yang berkembang dalam filsafat
kontemporer, di samping hermeneutika mempunyai kedekatan terminologi dengan eksegetis,
hermeneutika pula pada umumnya dapat juga didefinisikan sebagai disiplin yang
berkenanaan dengan teori tentang penafsiran. Istilah teori di sini tidak dapat semata-mata
diartikan sebagai Kuntslehre, sebuah istilah yang digunakan Schleiermacher untuk
menunjukkan suatu eksposisi metodologis tentang aturan-aturan yang membimbing
penafsiran teks-teks. Akan tetapi, istilah teori juga merujuk kepada filsafat dalam
pengertian yang lebih luas karena tercakup di dalamnya tugas-tugas menganalisis segala
fenomena dasariah dalam proses penafsiran atau pemahaman manusia. Jika yang pertama
lebih bersifat teknis dan normatif, maka yang terakhir ini meletakkan hermeneutika secara
lebih filosofis, kalau bukan menganggapnya filsafat itu sendiri.
Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan
perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran, menyangkut halhal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus dipenuhi untuk menghindari
pemahaman yang keliru terhadap teks. Oleh karena itu, hermeneutika dalam pengertian ini
mengandaikan adanya kebenaran di balik teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut,
dibutuhkan metode-metode penafsiran yang relatif memadai.
Sementara itu, hermeneutka dalam pengertian filsafat pertama-tama bukan berurusan
dengan tetek-bengek kebenaran sebuah penafsiran dan cara-cara memperoleh kebenaran
tersebut. Ia lebih kompeten memperbincangkan hakikat penafsiran: bagaimana suatu
kebenaran bisa muncul sebagai suatu kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat

dikatakan benar. Di sini hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola
pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman tersebut diajukan, dibenarkan, dan
bahkan disanggah. Gadamer dalam bahasa yang lebih tegas mendeklarasikan bahwa
hermeneutika bertugas merefleksikan segala cara manusia memahami dunia dan bentukbentuk ungkapan pemahaman tersebut.
Kita telah sedikit mendapatkan pengertian bagaimana pemahaman hermeneutika baik
dari sisi bahasa, istilah dan varian-varian yang menyembul diantaranya. Untuk selanjutnya,
kita akan coba menanyakan pada Farid Esack sendiri yang (dalam hal ini) merujuk Carl
Braaten, bahwa hermeneutika adalah the science of reflecting on how a word or an event in
past time and culture may be understood and become existianlly meaningful in our present
situation.5
Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata
atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna
secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Proses ini, ujar Braaten, melibatkan aturan
metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistemologis tentang
pemahaman.
Sementara Rudolf Bultman sebagaimana dikutip dalam tulisan Abdul Moqsith
Ghazalli, menyatakan the term hermeneutics is generally used to discrible the attempt to
span the gap between past and present. Yang bermaksud, biasanya hermeneutika dipakai
untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini. Paul Ricoeur selanjutnya
menemukan inovasi pemaknaan yang lebih jauh dari sekedar jembatan makna antara jurang
masa lalu dengan masa kini, yakni meletakkan hermeneutika lebih banyak berkaitan dengan
proses interpretasi teks; teks (yang dimaksud dalam pemahamannya) sebagai setiap
5 Farid Esack, Quran liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
Against Oppression, London: One World Oxford, 1997, terj. Edisi Indonesia, Al-Quran, Liberalisme,
Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 82-83

diskursus yang ditetapkan dalam bentuk tulisan (any discouce fixed into writing).
Hermeneutika dipakai sebagai metode pembacaan atas teks dalam kerangka untuk
menemukan dimensi-dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan
sebelumnya, bahkan yang dimaksudkan oleh makna awalnya.
a) Latar Belakang Munculnya Filsafat Hermneutika
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap
timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi: Pertama milieu
masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milieu masyarakat
Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan
berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu.

Ketiga milieu

masyarakat Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi


dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen

Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun


istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos,
Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan
hermeneutika artinya menunjukkan sesuatu yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi
meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika.
Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas
kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh nabi. Nabi disini maksudnya
adalah mediator antara para dewa dengan manusia.
Dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam
memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat Yunani
menyelesaikan dengan konsep rational logos.
Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu
intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih
dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris
terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and
outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria
(20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode alegoris.
Metode yang juga disebut typology itu intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna
spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman

simbolik yang merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian
ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M)
telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.
Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok
yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara
kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan metode interpretasi
simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan
yang kedua berada dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini
seorang teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan
tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori
semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya
distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang
terlalu simplistik.
Perkembangan pemikiran hermeneutika dalam teologi Kristen terjadi pada abad
pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang
didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu pemikiran Islam
mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya
al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya
Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga
bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan bahwa
pengarang kitab suci adalah Tuhan dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog
adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika
Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar
memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap
interpretasi alegoris
Di awal abad pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi Kristen
tapi masih berada dibawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks
Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh pandangan hidup
ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai muncul membawa
hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme

Bagaimanapun resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang


dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang
menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat pun
bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti
Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh
manusia modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah adanya gap antara bahasa modern
dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir tentang diri mereka dan cara
berfikir masyarakat Kristen modern.
Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat
modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian
dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia tanpa
menghilangkan esensi pesannya.
Bel pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation dapat
ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus
exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method of Explanation of Sacred
Literature), terbit pada tahun 1654. Di situ hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis
sebagai metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya diperluas
kepada non-Biblical literature.
Benedictus de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus
theologico-politicus (Risalah tentang politik teologi) menyatakan bahwa standar eksegesis
untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua. Perlahan-lahan hermeneutika
dalam pengertian baru ini diterima sebagai alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga
menjadi pengantar disiliplin ilmu interpretasi.
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada
semangat rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan
pada abad ke-16. Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan memeperoleh
perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat
diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan mereka ingin memperoleh kejelasan serta
pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam berbagai hal dianggap
bertentangan.
Tanda ini bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad
berikutnya. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman sekaligus
tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai

berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada pertengahan abad ini di Eropa
bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik, hermeneutika sebagai metode
penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena sebuah karya seni merupakan contoh
perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik antara sang pencipta, proses pensiptaan
dan karya cipta.
Perkembangan makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi menuju
kepada metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast
(1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements
of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3
tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks
dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman
makna kata pada teks, dan 3) pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk kepada
semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi
teologis ataupun psikologis.
Pada tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih
berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel secara rasional
menjadi pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika berkembang dalam milieu
yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan dengan pemikiran filsafat Barat.
Dari teologi protestan kepada filsafat

Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu


pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi,
agama dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber disenchantment
terjadi di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap
penyebab kemunduran.
Pada abad ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang. Studi
kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk
memahami isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal teks sebagai dasar diskusi
mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian mencari situasi sosiologis dan historis
sebagai konteks untuk memahami asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian
Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan terhadap textus receptus edisi Erasmus. Studi
tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy Scripture)
tidak identik, bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara

otoritatif. Di dalam milieu pemikiran inilah makna hermeneutika berubah menjadi


metodologi filsafat.
b) Perkembangan Filsafat Hermeneutika beserta para Tokohnya
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).

Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin


pada tahun 1815-1816, digelar sebagai the founder of General Hermeneutics. Gelar
tersebut diberikan karena pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori
penafsiran. Materi kuliahnya universal hermeneutic menjadi rujukan Gadamer dan
berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman
pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia
dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal.
Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom
filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai
fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.6
Schleiermacher mengadakan reorientasi paradigma dari makna teks kepada
pemahaman teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah
mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai
makna historis menjadi pemahaman historis yang segala sesuatunya merujuk kepada
masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa
kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus
menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu
dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan
mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan
hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam pengertian
filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika
teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum
mengenai pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan
usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang tidak terbatas
kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel

Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005.

dan filologis kepada problem penafsiran yang umum, maka teori penafsiran Schleiermacher
disebut juga dengan hermeneutika universal (universal hermeneutics).7
Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang
selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang
lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian
sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan
pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas
pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek
kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi). Kedua aspek itu
saling melengkapi satu dengan lainnya. Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu
adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan
bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran
pengarang). Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan Hermeneutical Circle.
Jadi, bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks keseluruhan
ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang (the
part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh seorang interpreter maka
Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik atau
bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang teks tersebut
lebih baik daripada pengarang sendiri.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar
pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan
sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada
pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus
sastra, dan sejarawan asal Jerman.8
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah tehnik
memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu
ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari
pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus
7 Ibid
8 E. Palmer, Richard. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer
diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk
kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam
sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis,
usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang
bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini
anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan
pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu
disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan
mengembangkannya

menjadi

metode-metode

dan

aturan-aturan

yang

menentukan

obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan
prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.9
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah
pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque
of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical Reason.
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin:
ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek
penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek,
ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu
sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang
membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga
orientasi dari subyek pengetahuan, yakni "sikapnya" terhadap obyek. Dengan demikian,
perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara
epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren),
yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab,
pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan
pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam
pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey
menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks
dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk
memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang

9 ibid

perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang
mendorong lahirnya teks.
Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu
humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan
penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan
Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.
Martin Heidegger (1889-1976)
Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika
dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya.
Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling
dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa
fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip
fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis
karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih
sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa
fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan
pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai
sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif,
melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi
Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak
mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.10
Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi
ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode.
Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud
terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger
menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti disanawujud.
Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam
pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode
pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap
selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di mana pemahaman
tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami
10 Ibid

sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan
sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang
memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya berbeda dengan
benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat
nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis
mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya
seinde lainnya.
Sekalipun

Heidegger

masih

tidak

mengidentikkan

antara

manusia

yang

menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak
bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi
digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan
kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan
dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat
manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam
pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan
mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan
penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Heidegger menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna
kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman
terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam
karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan
dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang
essensial dan terus menerus.
Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia
menganggap teks sebagai suatu ketegangan dan tarik-menarik antara kejelasan dan
ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi
yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran manusia
terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks
tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan
pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia
bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.
Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya
berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi
eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan,

kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri
keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh karenanya, interpretasi
merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa, karena teks mempunyai
fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu sendiri.
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang
hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara
pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan
mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.

Hans-Georg Gadamer (1900-1998)


Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak
menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran
dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan
dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep pengalaman
historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi
merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan. Gadamer menegaskan makna bukanlah
dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait
yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah
hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas
hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala
bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika
dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara
eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri
dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas
menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan
keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni
berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi
sebab karya itu ada.
Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks.
Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang
pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita

mendekati teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan


potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah
kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas
sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi
teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia
sebut dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya
adalah bahasa.
Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki
manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak
terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran
tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks kita akan
berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, sebenarnya ada dua
metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan
seenaknya memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup
budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement ketika kita
menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang lain.
Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu yang objektif karena masih
terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita
melampaui hubungan antara subjek dan objek.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu menyadari
bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua,
situasi hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca yang
tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini
merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya
agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus
menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus
dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi.
Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca.
Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca.
Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik".
Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan
makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi

dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan
tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.
Jurgen Habermas (1929- )
Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada
di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi
ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium
pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan
kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam
ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media
dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai.
Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan
kekuasaan (power interest) sang interpereter.

Paul Richour (1913-2005)


Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis
tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah
proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam
dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa
simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.
Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple
meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang
betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah
sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.
Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif
diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat
diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup
(worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.
Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.

B. Aliran Semiotika
Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti tanda atau seme, yang
berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika,
retorika, dan poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk
pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Jika diterapkan pada tandatanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.
Kata semiotika dan semiologi adalah istilah yang ada dalam sejarah linguistic, selain
kedua istilah ini ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik
untuk merujuk kepada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau
lambang.
Sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi, mengandung pengertian yang
persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya
menunjukkan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Pierce atau mengacu
pada tradisi Amerika menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung Saussure
atau mengacu pada tradisi Eropa menggunakan kata semiologi. Namun yang terakhir, jika
dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai, ada kecendrungan istilah semiotika
lebih populer dari istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering
menggunakannya.
Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan
karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Pada dasarnya,
semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah
semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah:
S ( s, i, e, r, c )
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotic), s untuk sign ( tanda); I untuk
interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh, r untuk reference (rujukan); dan c
untuk context (konteks) atau conditions (kondisi)

Begitulah, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara
sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang
menyertainya.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi semiotika disusun dalam tiga poros. Poros
horizontal menyajikan tiga jenis penyelidikan semiotika (murni, deskriptif, dan terapan);
poros vertical menyajikan tiga tataran hubungan semiotic (sintaktik, semantic, dan
pragmatic); dan poros yang menyajikan tiga kategori sarana informasi (signals, signs, dan
symbols).
TEORI TANDA FERDINAND DE SAUSSURE
Dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857 dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di
kota itu karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund
Freud dan Emile Durkheim. Selain sebagai seorang ahli linguistic, ia juga adalah seorang
spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Sansekerta yang menjadi sumber pembaruan
intelektual dalam bidang ilmu social dan kemanusiaan. Ia sebetulnya tidak pernah mencetak
pemikirannya menjadi buku. Catatan-catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi
sebuah outline.
Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah
simponi, kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan
kepada permainan individual dari setiap pemain musik. Untuk memahami bahasa, kita harus
melihatnya secara sinkronis, sebagai sebuah jaringan hubungan antara bunyi dan makna.
Kita tidak boleh melihatnya secara atomistic, secara individual.
Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak
dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan
signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole
(tuturan, ujaran); (4) synchronic (sikronik) dan diachronic (diakronik); serta (5) syntagmatik
(sintagmatik) associative (paradigmatic)
LINGUISTIK STRUKTURAL ROMAN JAKOBSON
Beliau adalah murid ahli fonologi Rusia Nikolai Trouberzkoy. Dilahirkan di Moskow
pada tahun 1896. Ia dianggap sebagai salah seorang ahli linguistic abad ke-20 yang menonjol,

yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi
bahasa bisa hilang pada afasia. Pemikiran awalnya yang penting adalah penekanannya pada
dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metaphor retoris (kesamaan),
dan metonimia (kesinambungan), Ia pelopor utama upaya pendekatan strukturalis pada
bahasa, khususnya karena ia sangat menekankan bahwa pola suara bahasa pada hakikatnya
bersifat relasional. Hubungan antara suara dalam konteks tertentu menghasilkan makna dan
signifikansi. Ia adalah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan
proses komunikasi teks sastra.
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang menyatakan bahwa
bahasa atau struktur bahasa bersifat diferensial. Jakobson memandang bahwa bahasa
memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif,
pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang
langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual,
penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk,
pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi fuitis,
penyandi pesan. Dan ia yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk
memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna, dan
dilakukan dengan mengetahui cirri-ciri pembeda dari suatu suara yang memisahkannya
dengan cirri-ciri suara yang lain.
METASEMIOTIKA LOUIS HJELMSLEV
Lahir di Denmark pada tahun 1889, dan meninggal pada1966. Dikenal sebagai salah
satu tokoh linguistic yang berperan dalam pengembangan semiologi pasca Saussure. Ia
mengembangkan sistem dwipihak yang merupakan ciri sistem Saussure, dan membagi tanda
ke dalam expression dan content, dua istilah yang sejajar dengan signifier dan signified dari
Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan
perlunya sebuah sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam
masyarakat Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah
hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga
mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.
Hjelmslev mengatakan bahwa sebuah semiotika denotative adalah sebuah semiotika
dimana bidangnya bukanlah semiotic, sedangkan semiotika konotatif adalah sebuah

semiotika di mana bidangnya bersifat semiotik. Meskipun begitu, sebenarnya tidak hanya
demikian yang berlangsung. Bidang kandungan bisa menjadi semiotika, dan menurut
Hjelmslev ini disebut sebagai suatu metasemiotika. Menurut Hjelmslev, linguistic adalah
sebuah contoh metasemiotika: telaah tentang bahasa yang juga adalah bahasa itu sendiri.
SEMIOLOGI DAN MITOLOGI ROLAND BARTHESP.
Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis.
Ayahnya, seorang perwira angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di laut utara
sebelun usia Barthes genap mencapai satu tahun. Sepeninggal ayahnya, ia kemudian diasuh
oleh ibu, kakek, dan neneknya.
Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan
model linguistic dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis
yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Ia
berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi
dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah
peran pembaca ( the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang
sering disebut sebagai sistem pemaknaan tartan kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang
telah ada sebelumnya.

Das könnte Ihnen auch gefallen