Sie sind auf Seite 1von 7

1.

Latar Belakang Audit Sosial


Perkembangan dua pertumbuhan ekonoi yang melesat sejak
revolusi industri abad 18 di Inggris hingga mencapai klimaksnya yang
kemudian melahirkan kolonialisme yang kemudian memantapkan peran
moda (kapitalisme) dan khususnya peran korporasi.
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat
memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, diman menurut
pendekatan teori akuntansi tradisional, perusahaan harus memaksimalkan
labanya agar dapat memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang
yang dibutuhkan masyarakiat untuk dikonsumsi , perusahaan membayar
pajak, memberikan sumbangan , dan lain-lain. Karenanya perusahaan
mendapat legitimasi bergerak leluasa melaksanakan kegiatannya. Namun,
lama kelamaan perusahaan dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin
menyadari adanya

dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh

perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencari laba yang


maksimal, yang semakin lama semakin besar yang sukar. Akibat peran
kapital terlalu mendominasi kemudian terjadi eksploitasi sumber-sumber
alam serta masyarakat (sosial) tanpa batas untuk kemajuan perusahaan
atau korporasi yan pada akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan
alam yang sudah barang tentu akan mengusik kenyamanan manusia,
seperti

populasi,

kerancuan,

kebisingan,

pamaksaan,kesewenang-wenangan dan lain-lain.


Audit sosial dapat dikatakan tumbuh
ketidakpuasan

masyarakat

akibat

dari

dari

semakin

diskripsi,
adanya

rasa

berkembangnnya

jangkauan kegiatan perusahaan , sehingga seringkali terjadi persinggungan


antara nilai-nilai lingkungan masyarakat dengan kepentingan perusahaan.
Audit Sosial diarahkan pada masalah-masalah tersebut yang dalam istilah
lain melakukan penilaian apakah suatu organisasi atau perusahaan telah
melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
Audit tanggung jawab sosial diharakan dapat dipergunakan untuk
menilai dampak sosial dari kepentingan perusahaan, mengukkur efektifitas
program perusahaan yang bersifat sosial dam melaporkan sampai seberapa

jauh perusahaan memenuhi tanggung jawab sosialnya. Suatu informasi


internal dan eksternal memungkinkan penilaian menyeluruh terhadap
sumber-sumber daya dan dampaknya (baik sosial maupun ekonomi), oleh
karena itu pada prinsipnya audit tanggung-jawab sosial timbul dalam
upaya memnuhi ketentuan informasi bagi pihak-pihak selain pemillik dan
kreditur maka ruang lingkup audit tanggung jawab sosial diarahkan ke
berbagai bidang yang menjadi tujuan sosial.
2. Pengertian Audit Sosial
Audit Sosial adalah alat yang departemen pemerintah dapat merencanakan,
mengelola dan mengukur non-kegiatan keuangan dan memantau baik internal dan
eksternal konsekuensi dari departemen / organisasi operasi sosial dan komersial.
Ini adalah alat sosial akuntabilitas untuk sebuah organisasi.
Audit sosial merupakan salah satu bidang dalam ilmu sosial terapan yang
penting dalam pembangunan, terutama untuk memberdayakan masyarakat. Proses
audit sosial menyediakan alat yang dapat digunakan oleh organisasi untuk
menjamin ketepatan mencapai tujuan sosial. Dengan kata lain audit bukanlah
tujuan melainkan suatu instrumen untuk mencapai tujuan yaitu mencari nilai
manfaat (goal oriented process). Ini merupakan cara akurat untuk
menggambarkan apa yang telah dicapai oleh suatu lembaga. juga dapat menuntun
organisasi untuk menjelaskan mengapa, siapa dan apa (kebijakan maupun
tindakan) yang dilakukan oleh lembaga. Pelaksanaan audit sosial selalu
melibatkan stakeholders agar proses demokrasi terwujud dan untuk meningkatkan
akuntabilitas lembaga.
Berdasarkan kerangka ketatanegaraan, ada tiga jenis akuntabilitas
yaitu democratic
accountability,
professional
accountability dan legal
accountability. Audit sosial merupakan upaya untuk menjawab akuntabilitas
berdasarkan kepuasan stakeholders dan staf, selain dari aspek finansial, aspek
operasi kegiatan internal, dan aspek waktu.
Institusi dan organisasi sosial dalam mengadakan audit sosial, biasanya
didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:

Keinginan

membentuk community

enterprise yang

menyediakan

pelayanan masyarakat sehingga perlu menetapkan performance seperti apa


yang diinginkan;
Dapat menguji opini orang lain sehingga dapat membantu perencanaan

selanjutnya;
Dapat memberikan data kualitatif dan kuantitatif untuk menuntun

organisasi sehingga memberikan performance terbaik;


Memberikan gambaran obyektif kegiatan yang dilakukan lembaga dan
memaparkan keunikan dan keberhasilan lembaga tersebut sebagai bukti
pertanggungjawaban kepada lembaga donor maupun kepada masyarakat
sebagai penerima manfaat program; keinginan untuk menerapkan nilai
sebagai agent of change di dalam masyarakat serta mencari ide atau cara baru.
Menurut Pearce dan Robinson (2008) pada pembasan sebelumnya, audit
sosial merupakan alat pengukur kinerja sosial yang dibandingkan dengan tujuan
sosial yang ada pada entitas tersebut. Karena audit sosial merupakan alat
pengukur oleh sebab itu sebuah alat harus memliki pondasi atau dasar sebelum ia
menjadi sebuah pengukur.
Audit sosial yang harus memiliki pondasi tentunya dalam pendekatan
audit sosial. Berikut prinsip pendekatan yang dikemukakan oleh Pearce dan Kay
(2001 dalam Muljono. et. al, 2007):

1. Multi-perspective, bahwa opini yang didapat harus dari berbagai sumber yang
luas(keseluruhan stakeholder), baik yang memperngaruhi atau terkena
dampak organisasi/lembaga.
2. Comprehensive, bahwa laporan yang dihasilkan harus meliputi seluruh aspek dan
aktivitas lembaga tersebut.
3. Comparative, bahwa organisasi pelayanan masyarakat harus selalu meningkatkan
pelayanan dengan mengadakan perbandingan performance lembaga
dengan organisasi lain dari waktu ke waktu.
4. Regular, yakni diupayakan berjalan setiap tahun dan bukan one-off exercise,
bertujuan menghasilkan social account berdasar pada konsep dan
pelakasanaan melekat sebagai budaya organisasi/lembaga tersebut.
5. Verified, bahwa laporan pelaksanaan kegiatan (social account) harus dilihat oleh
orang luar (independent person), untuk menjamin bahwa pelaksanaan

social account diaudit oleh seseorang yang tidak memiliki keterkaitan


pribadi terhadap lembaga tersebut.
6. Disclosed, bahwa pelaksanaan audit sosial memiliki ruang lingkup yang luas
untuk menjamin keterbukaan kepada stakeholder dan komunitas yang
lebih luas yang memiliki perhatian pada akuntabilitas dan ransparansi.
Prinsip pendekatan yang telah dijabarkan Pearce dan Kay (2001
dalam Muljono. et. al, 2007) juga memiliki manfaat dibalik masingmasing pendekatan tersebut. Berikut manfaat yang dikemukakan pula oleh
Pearce dan Kay (2001 dalam Muljono. et. al, 2007):
1. Memiliki definisi yang tajam dan fokus dalam lembaga,
2. Memberikan pertanggunjawaban kepada stakeholder,
3. Menyediakan kerangka kerja yang bermanfaat untuk semua katifitas
lembaga,
4. Memberikan kepercayaan untuk memperoleh outcome yang tepat,
5. Menjamin lingkungannya untuk dapat merasakan manfaat keberadaan
lembaga tersebut,
6. Melibatkan stakeholder dalam setiap kegiatan lembaga, dan
7. Menyediakan proses yang fleksibel dan penilaian internal maupun
eksternal
yang jujur sehingga dapat mendorong konsistensi lembaga tersebut.
3. Ruang Lingkup Audit Sosial
Pembahasan selanjutnya mengenai batasan dan ruang lingkup dari audit
sosial dalam kaitannya mengaudit CSR pada suatu entitas. Menurut Mudjiono
(2011), audit sosial memliki ruang lingkup diantaranya sebagai berikut:
1.

Etika: nilai-nilai, moral, norma dan aturan yang menjadi milik entitas.
Dengan adanya pembatasan dalam pembahasan etika dapat diketahui

ciri spesifik budaya yang berlaku di entitas, yang dapat mencerminkan


kegiatan operasional entitas.
2.

Tenaga Kerja: menciptakan suasana lingkungan kerja yang menerima


seluruh tenaga kerja untuk pengembangan potensi diri. Tenaga kerja
juga termasuk sebagai ruang lingkup audit sosial karena selain
konsumen, pekerja adalah cerminan dari efektifitas tanggung jawab
sosial yang paling dekat dengan entititas.

3.

Lingkungan Hidup: dalam konteks lingkungan alam, kebijakan akan


memantau dan menurunkan kerusakan akibat dari aktivitas industri
terhadap

lingkungan

alam.

Audit

sosial

memang

seharusnya

memperhatikan keadaan sosial termasuk lingkungan. Karena hal sosial


tidak luput dengan keadaan lingkungan, kedua hal tersbut berbanding
lurus. Jika keadaan lingkungan sangat mendukung pasti keadaan sosial
berlangsung baik, begitu pula dengan sebaliknya.
4.

Hak Asasi Manusia (HAM): meyakinkan korporat untuk tidak


melanggar hak manusia dan menghindari bekerja sama dengan para
pelanggar HAM. 8 Dipastikan tidak boleh terjadi pelanggaran HAM
dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang baik adalah
lingkungan yang seluruh kewajiban dapat dipenuhi dan hak-hak setiap
manusia tercapai dengan saling menghormati hak dan kewajiban
sesama.

5.

Komuniti: menanamkan modal dan komuniti lokal. Maksudnya adalah


ruang lingkup sosial yang menyangkut organisasi atau komunitas non
profit sebagai pihak eksternal yang ada kaitannya dengan entitas dalam
melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Karena
dalam melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus
melibatkan pihak lain (eksternal). Tujuannya untuk tersalurkannya
tujuan dari kegiatan sosial tersebut pada pihak luar entitas.

6.

Masyarakat: menanamkan investasi di luar komuniti lokal. Dalam audit


sosial tentunya selalu berkaitan dengan masyarakat selaku objek
penerimanya. Sehingga masyarakat termasuk dalam ruang lingkup audit
sosial. Ruang lingkup audit sosial ini dapat menilai kebutuhan
masyarakat pada kenyataanya. Kemudian kembali lagi atas dasar efisien
dan efektif.

7.

Pemenuhan Kebutuhan: identifikasi seluruh kewajiban secara legal.


Dikatakan sebelumnya mengenai HAM sebagai ruang lingkup audit
sosial, tidak jauah berbeda dengan pemenuhan kebutuhan. Audit sosial
bisa dijadikan penilaian efisien dan efektif suatu kinerja.
Menurut pemaparan Mudjiono (2011) tentang alasannya menggunakan

ruang lingkup diatas adalah ada kaitan antara pihak terkait (stakeholder) dengan
sasaran audit sosial. Maksudnya adalah dalam sebuah entitas pasti memiliki pihak
terkait 9 baik dari luar entitas (external stakeholder) dan pihak terkait dalam
lingkup entitas (internal stakeholder) tersebut. Adanya stakeholder baik yang
berasal dari internal maupun eksternal berguna untuk mengidentifikasikan cara
untuk meneliti dari pengaruh hubungan stakeholder dengan entitas. Sehingga
dalam proses audit sosial ruang lingkupnya seputar yang telah disebutkan diatas.
Jadi tidak melebar hingga pembahasan keadaan financial entitas ataupun yang
berkaitan dengan pelaporan secara akuntansi. Karena dalam jurnal ini audit sosial
sebagai standar ataupun alat yang digunakan untuk menilai keberhasilan atas
kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam hal ini adalah kegiatan
CSR. Sehingga ruang lingkup seperti diatas akan membatasi wilayah pengauditan
CSR dengan audit sosial.

4. Proses Audit Sosial

Seperti pada audit laporan keuangan yang membutuhkan langkah-langkah


ataupun tahapan dalam melakukan proses audit. Berikut tahapan menurut Kay
(2001):
1. Mengumpulkan bahan dan mempersiapkan proses audit sosial;
2. Menentukan tujuan pelaksanaan audit sosial, membuat daftar stakeholder;
3. Menentukan indikator yang akan digunakan untuk mengukur performance
lembaga;
4. Mempersiapkan social book-keeping, yakni informasi yang secara rutin
dikumpulkan untuk menggambarkan performance lembaga tersebut dalam
kaitannya dengan pencapaian tujuan sosial (social objectives);
5. Mempersiapkan social account, yakni dokumen yang dihasilkan dari
proses social accocunting yang mengukur performance lembaga kualitatif
maupun kuantitatif;
6. Menguraikan dan menjabarkan informasi yang terdapat dalam social
accounts dan mengadakan wawancara dengan stakeholder;
7. Menyusun laporan audit sosial.

Das könnte Ihnen auch gefallen