Sie sind auf Seite 1von 13

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Untuk kegunaan lain dari Hati, lihat Hati (disambiguasi).
Hati

Hati manusia

Gambar organ dalam manusia, hati (bahasa Inggris: liver)


terletak di tengah.

Latin

jecur, iecer

MeSH

A03.620

Hati (bahasa Yunani: , hpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam
rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga
termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara
memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat
dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati
disebut proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal.[1] Sel parenkimal pada hati
disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan melakukan berbagai fungsi utama
hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal. Hepatosit merupakan sel endodermal yang
terstimulasi oleh jaringan mesenkimal secara terus-menerus pada saat embrio hingga

berkembang menjadi sel parenkimal.[2] Selama masa tersebut, terjadi peningkatan transkripsi
mRNA albumin sebagai stimulan proliferasi dan diferensiasi sel endodermal menjadi hepatosit.[3]
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel Kupffer, sel Ito,
limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati sekitar 6,5% volume hati dan
memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan banyak fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan permukaan
hepatosit dari darah, SEC memiliki kapasitas endositosis yang sangat besar dengan berbagai
ligan seperti glikoprotein, kompleks imun, transferin dan seruloplasmin. SEC juga berfungsi
sebagai sel presenter antigen yang menyediakan ekspresi MHC I dan MHC II bagi sel T. Sekresi
yang terjadi meliputi berbagai sitokina, eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin1, nitrogen monoksida dan beberapa komponen ECM.
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan banyak vesikel lemak di
dalam sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga memberikan lapisan ganda pada lumen
lobus sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi normal, sel Ito menyimpan vitamin A guna
mengendalikan kelenturan matriks ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga
merupakan kelenturan dari lumen sinusoid.
Sel Kupffer berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga dengan kemampuan
endositik dan fagositik yang mencengangkan. Sel Kupffer sehari-hari berinteraksi dengan
material yang berasal saluran pencernaan yang mengandung larutan bakterial, dan mencegah
aktivasi efek toksin senyawa tersebut ke dalam hati. Paparan larutan bakterial yang tinggi,
terutama paparan LPS, membuat sel Kupffer melakukan sekresi berbagai sitokina yang memicu
proses peradangan dan dapat mengakibatkan cedera pada hati. Sekresi antara lain meliputi spesi
oksigen reaktif, eikosanoid, nitrogen monoksida, karbon monoksida, TNF-, IL-10, sebagai
respon kekebalan turunan dalam fase infeksi primer.
Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang bermukim di hati. Sel pit
dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa bergantung pada ekspresi antigen
pada kompleks histokompatibilitas utama. Aktivitas sel pit dapat ditingkatkan dengan stimulasi
interferon-.
Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-, sel T- dan sel NKT.

Daftar isi

1 Sel punca

2 Sel imunologis

3 Fungsi hati

4 Regenerasi sel hati

5 Penyakit pada hati


o 5.1 Pengaruh alkohol
o 5.2 Pengaruh alkaloid

6 Transplantasi hati

7 Bacaan lanjut

8 Rujukan

9 Pranala luar

Sel punca
Selain hepatosit dan sel non-parenkimal, pada hati masih terdapat jenis sel lain yaitu sel intrahepatik yang sering disebut sel oval,[4] dan hepatosit duktular.[5] Regenerasi hati setelah
hepatektomi parsial, umumnya tidak melibatkan sel progenitor intra-hepatik dan sel punca
ekstra-hepatik (hemopoietik), dan bergantung hanya kepada proliferasi hepatosit. Namun dalam
kondisi saat proliferasi hepatosit terhambat atau tertunda, sel oval yang berada di area periportal
akan mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi hepatosit dewasa.[4][6] Sel oval merupakan
bentuk diferensiasi dari sel progenitor yang berada pada area portal dan periportal, atau kanal
Hering,[7] dan hanya ditemukan saat hati mengalami cedera.[8] Proliferasi yang terjadi pada sel
oval akan membentuk saluran ekskresi yang menghubungkan area parenkima tempat terjadinya
kerusakan hati dengan saluran empedu. Epimorfin, sebuah morfogen yang banyak ditemukan
berperan pada banyak organ epitelial, nampaknya juga berperan pada pembentukan saluran
empedu oleh sel punca hepatik.[9] Setelah itu sel oval akan terdiferensiasi menjadi hepatosit
duktular. Hepatosit duktular dianggap merupakan sel transisi yang terkait antara lain dengan:[10]

metaplasia duktular dari hepatosit parenkimal menjadi epitelium biliari intra-hepatik

konversi metaplasia dari epitelium duktular menjadi hepatosit parenkimal

diferensiasi dari sel punca dari silsilah hepatosit

tergantung pada jenis gangguan yang menyerang hati.


Pada model tikus dengan 70% hepatektomi, dan induksi regenerasi hepatik dengan
asetilaminofluorena-2, ditemukan bahwa sel punca yang berasal dari sumsum tulang belakang

dapat terdiferensiasi menjadi hepatosit,[11][12] dengan mediasi hormon G-CSF sebagai kemokina
dan mitogen.[13] Regenerasi juga dapat dipicu dengan D-galaktosamina.[14]

Sel imunologis
Hati juga berperan dalam sistem kekebalan dengan banyaknya sel imunologis pada sistem
retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis antigen yang terbawa ke hati melalui sistem portal
hati. Perpindahan fase infeksi dari fase primer menjadi fase akut, ditandai oleh hati dengan
menurunkan sekresi albumin dan menaikkan sekresi fibrinogen. Fasa akut yang berkepanjangan
akan berakibat pada simtoma hipoalbuminemia dan hiperfibrinogenemia.[15]
Pada saat hati cedera, sel darah putih akan distimulasi untuk bermigrasi menuju hati dan bersama
dengan sel Kupffer mensekresi sitokina yang membuat modulasi perilaku sel Ito.[16] Sel TH1
memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan selular seperti IFN-gamma, TNF,
dan IL-2. Sel TH2 sebaliknnya akan memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan
humoral seperti IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 dan meningkatkan respon fibrosis. Sitokina yang
disekresi oleh sel TH1 akan menghambat diferensiasi sel T menjadi sel TH2, sebaliknya sitokina
sekresi TH2 akan menghambat proliferasi sel TH1. Oleh sebab itu respon kekebalan sering
dikatakan terpolarisasi ke respon kekebalan selular atau humoral, namun belum pernah
keduanya.

Fungsi hati
Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga saat ini belum
ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu menggantikan semua fungsi
hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan proses dialisis hati, namun teknologi ini
masih terus dikembangkan untuk perawatan penderita gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati menghasilkan:

empedu yang mencapai liter setiap hari. Empedu merupakan cairan kehijauan dan
terasa pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua, yang kemudian
disimpan di dalam kantong empedu atau diekskresi ke duodenum. Empedu mengandung
kolesterol, garam mineral, garam empedu, pigmen bilirubin, dan biliverdin. Sekresi
empedu berguna untuk mencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi
lemak di usus, dan mengubah zat yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut dalam
air. Apabila saluran empedu di hati tersumbat, empedu masuk ke peredaran darah
sehingga kulit penderita menjadi kekuningan. Orang yang demikian dikatakan menderita
penyakit kuning.

sebagian besar asam amino

faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI

protein C, protein S dan anti-trombin

kalsidiol

trigliserida melalui lintasan lipogenesis

kolesterol

insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang berperan penting
dalam pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan tetap memiliki efek anabolik
pada orang dewasa.

enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang
terbentuk dapat mengikat NH dan CO yang bersifat racun.

trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping darah


oleh sumsum tulang belakang.

Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel darah
merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu mengambil alih tugas
ini.

albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.

angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah


ketika diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal saat ditengarai
kurangnya tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.

enzim glutamat-oksaloasetat transferase, glutamat-piruvat transferase dan laktat


dehidrogenase

Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada umumnya, hati juga
berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:

Glukoneogenesis, sintesis glukosa dari beberapa substrat asam amino, asam laktat, asam
lemak non ester dan gliserol. Pada manusia dan beberapa jenis mamalia, proses ini tidak
dapat mengkonversi gliserol menjadi glukosa. Lintasan dipercepat oleh hormon insulin
seiring dengan hormon tri-iodotironina melalui pertambahan laju siklus Cori.[17]

Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk kemudian


dilepaskan ke darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh. Hormon
glukagon merupakan stimulator utama kedua lintasan glikogenolisis dan glukoneogenesis
menghindarikan tubuh dari simtoma hipoglisemia. Pada model tikus, defisiensi glukagon
akan menghambat kedua lintasan ini, namun meningkatkan toleransi glukosa.[18] Lintasan
ini, bersama dengan lintasan glukoneogenesis pada saluran pencernaan dikendalikan oleh
kelenjar hipotalamus.[19]

Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa.

dan pada lintasan katabolisme:

degradasi sel darah merah. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya dipecah menjadi
zat besi, globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang, sedangkan heme dirombak
menjadi metabolit untuk diekskresi bersama empedu sebagai bilirubin dan biliverdin
yang berwarna hijau kebiruan. Di dalam usus, zat empedu ini mengalami oksidasi
menjadi urobilin sehingga warna feses dan urin kekuningan.

degradasi insulin dan beberapa hormon lain.

degradasi amonia menjadi urea

degradasi zat toksin dengan lintasan detoksifikasi, seperti metilasi.

Hati juga mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:

vitamin A (cadangan 12 tahun)

vitamin D (cadangan 14 bulan)

vitamin B12 (cadangan 1-3 tahun)

zat besi

zat tembaga.

Regenerasi sel hati


Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang sangat penting agar
hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan dari proses detoksifikasi dan imunologis.
Regenerasi tercapai dengan interaksi yang sangat kompleks antara sel yang terdapat dalam hati,
antara lain hepatosit, sel Kupffer, sel endotelial sinusoidal, sel Ito dan sel punca; dengan organ
ekstra-hepatik, seperti kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, pankreas, duodenum, hipotalamus.[20]
Hepatosit, adalah sel yang sangat unik. Potensi hepatosit untuk melakukan proliferasi, muncul
pada saat-saat terjadi kehilangan massa sel,[21] yang disebut fase prima atau fase kompetensi
replikatif[22] yang umumnya dipicu oleh sel Kupffer melalui sekresi sitokina IL-6 dan TNF-.
Pada fase ini, hepatosit memasuki siklus sel dari fase G0 ke fase G1.
TNF- dapat memberikan efek proliferatif atau apoptotik, bergantung pada spesi oksigen reaktif
dan glutathion, minimal 4 faktor transkripsi diaktivasi sebelum hepatosit masuk ke dalam fase
proliferasi, yaitu NF-B, STAT-3, AP-1 dan C/EBP-beta.[23]

Proliferasi hepatosit diinduksi oleh stimulasi sitokina HGF dan TGF-, dan EGF[23] dengan dua
lintasan. HGF, TGF-, dan EGF merupakan faktor pertumbuhan yang berasal dari substrat serina
dan protein logam[24] yang menginduksi sintesis DNA.[22] Lintasan pertama adalah lintasan IL6/STAT-3 yang berperan dalam siklus sel melalui siklin D1/p21 dan perlindungan sel dengan
peningkatan rasio FLIP, Bcl-2, Bcl-xL, Ref1, dan MnSOD. Lintasan kedua adalah lintasan PI3K/PDK-1/Akt yang mengendalikan ukuran sel melalui molekul mTOR, selain sebagai zat antiapoptosis dan antioksidan.
Hormon tri-iodotironina, selain menurunkan kadar kolesterol pada hati,[25] juga memiliki
kapasitas dalam proliferasi hepatosit sebagai mitogen yang berperan pada siklin D1,[26]
mempercepat konsumsi O2 oleh mitokondria dengan mengaktivasi transkripsi pada gen
pernafasen hingga meningkatkan produksi spesi oksigen reaktif.[27] Sekresi ROS ke dalam
sitoplasma hepatosit akan mengaktivasi faktor transkripsi NF-B.[28] Pada sel Kupffer, ROS
dalam sitoplasma, akan mengaktivasi sekresi sitokina TNF-, IL-6 dan IL-1 untuk disekresi.
Ikatan yang terjadi antara ketiga sitokina ini dengan hepatosit akan menginduksi ekspresi
pencerap enzim antioksidan, seperti mangan superoksida dismutase, i-nitrogen monoksida
sintase, protein anti-apoptosis Bcl-2, haptoglobin dan fibrinogen- yang diperlukan hepatosit
dalam proliferasi.[29] Stres oksidatif yang dapat ditimbulkan oleh ROS maupun kerusakan yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai sitokina, dapat dilenyapkan dengan asupan tosoferol (100
mg/kg) atau senyawa penghambat gadolinium klorida (10 mg/kg) seperti yang dimiliki oleh sel
Kupffer, sebelum stimulasi hormon tri-iodotironina,[30] sedangkan laju proliferasi hepatosit
dikendalikan oleh kadar etanolamina sebagai faktor hepatotrofik humoral.[31]
Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi telah diketahui semenjak zaman Yunani kuno dari
cerita mitos tentang seorang titan yang bernama Prometheus.[32] Kemampuan ini dapat sirna,
hingga hepatosit tidak dapat masuk ke dalam siklus sel, walaupun kehilangan sebagian
massanya, apabila terjadi fibrosis hati. Lintasan fibrosis yang tidak segera mendapat perawatan,
lambat laun akan berkembang menjadi sirosis hati[33] dan mengharuskan penderitanya untuk
menjalani transplantasi hati atau hepatektomi demi kelangsungan hidupnya.
Regenerasi hati setelah hepatektomi parsial merupakan proses yang sangat rumit di bawah
pengaruh perubahan hemodinamika, modulasi sitokina, hormon faktor pertumbuhan dan aktivasi
faktor transkripsi, yang mengarah pada proses mitosis. Hormon PRL yang disekresi oleh kelenjar
hipofisis menginduksi respon hepatotrofik sebagai mitogen yang berperan dalam proses
proliferasi dan diferensiasi.[34] PRL memberi pengaruh kepada peningkatan aktivitas faktor
transkripsi yang berperan dalam proliferasi sel, seperti AP-1, c-Jun dan STAT-3; dan diferensiasi
dan terpeliharanya metabolisme, seperti C/EBP-alfa, HNF-1, HNF-4 dan HNF-3. c-Jun
merupakan salah satu protein penyusun AP-1.[35] Induksi NF-B pada fase ini diperlukan untuk
mencegah apoptosis dan memicu derap siklus sel yang wajar.[36] Pada masa ini, peran retinil
asetat menjadi sangat vital, karena fungsinya yang menambah massa DNA dan protein yang
dikandungnya.[37]

Penyakit pada hati


Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di dalam
tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-dimensional, hati menjadi

sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai penyakit
tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati,[38]
dengan simtoma paraklinis berupa peningkatan rasio plasma laminin, sebuah glikoprotein yang
disekresi sel Ito, asam hialuronat dan sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe III,[39] dan CEA.
[40]
Fibrosis hati dapat disebabkan oleh rendahnya rasio plasma HGF,[41][42] atau karena infeksi
viral, seperti hepatitis B, patogen yang disebabkan oleh infeksi akut sejenis virus DNA yang
memiliki fokus infeksi berupa templat transkripsi yang disebut cccDNA yang termetilasi,[43] atau
hepatitis C, patogen serupa hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus
infeksi berupa metilasi DNA, terutama melalui mekanisme ekspresi genetik berkas GADD45B,
sehingga mengakibatkan siklus sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.[44][45]
Fibrosis hati memerlukan penangan sedini mungkin, seperti pada model tikus, stimulasi
proliferasi hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis B,[46] sebelum berkembang
menjadi sirosis hati atau karsinoma hepatoselular. Setelah terjadi kanker hati, senyawa
siklosporina yang memiliki potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan mempercepat
perkembangan sel kanker,[47] oleh karena sel kanker mengalami hiperplasia hepatik, yaitu
proliferasi yang tidak disertai aktivasi faktor transkripsi genetik. Hal ini dapat diinduksi dengan
stimulasi timbal nitrat (LN, 100 mikromol/kg), siproteron asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin
(NAF, 200 mg/kg).[48]
Hepatitis juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria di dalam hepatosit, yang disebut
steatohepatitis. Disfungsi mitokondria akan berdampak pada homeostasis senyawa lipid dan
peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang menginduksi TNF-.[49] Hal ini akan berlanjut pada
pengendapan lemak, stres oksidatif dan peroksidasi lipid,[50] serta membuat mitokondria menjadi
rentan terhadap kematian oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria,
atau oleh apoptosis melalui pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitas membran
mitokondria dengan mekanisme Fas/TNF-. Permintaan energi yang tinggi pada kondisi ini
menyebabkan mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicu sirosis
hati,[50] sedangkan peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan
membran mitokondria sisi dalam yang disebut sardiolipin, dengan peningkatan laju oksidasi-beta
asam lemak, akan terjadi akumulasi elektron pada respiratory chain kompleks I dan III yang
menurunkan kadar antioksidan.[49]
Sel hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi fibrinogen dengan reaksi fibrogenesis
setelah diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang tinggi. Apoptosis
kronis kemudian dikompensasi dengan peningkatan laju proliferasi hepatosit, disertai DNA yang
rusak oleh disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan kanker.
Pada model tikus, melatonin merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis hati,[51] sedang pada
model kelinci, kurkumin merupakan senyawa organik yang menurunkan paraklinis
steatohepatitis,[52] sedang hormon serotonin[53] dan kurangnya asupan metionina dan kolina[54]
memberikan efek sebaliknya dengan resistansi adiponektin.[55]

Disfungsi mitokondria juga ditemukan pada seluruh patogenesis hati, dari kasus radang hingga
kanker dan transplantasi.[56] Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama dengan GSH
bersinergis sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil serina hingga
mencegah terjadinya sirosis hati.[57]

Pengaruh alkohol
Alkohol dikenal memiliki fungsi immunosupresif terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk
meredam ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam pertahanan hati
terhadap infeksi viral, terutama HCV.[58] Alkohol juga meredam rasio kemokina IFN pada
lintasan transduksi sinyal selular, selain meningkatkan resiko terjadinya fibrosis.[59]
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi terhadap alkohol untuk menginduksi stres
oksidatif.[60] Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh etanol adalah induksi
enzim sitokrom P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion
superoksida dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat toksik termasuk etanol menjadi
produk yang lebih reaktif dan toksik. Sel dendritik tampaknya merupakan sel yang paling
terpengaruh oleh kandungan etanol di dalam alkohol. Pada percobaan menggunakan model tikus,
etanol meningkatkan rasio plasma IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, AST, ALT, ADH, -GT, TG, MDA
dan meredam rasio IL-10, GSH,[61] faktor transkripsi NF-B dan AP-1.[62]

Pengaruh alkaloid
Kopi, salah satu kompleks senyawa alkaloid dari golongan purina xantina dengan asam
klorogenat dan lignan,[63] pada studi epidemiologis, disimpulkan sebagai salah satu faktor
penurun risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2,[64][65] penyakit Parkinson, sirosis hati dan
karsinoma hepatoselular,[66] dan perbaikan toleransi glukosa.[63] Konsumsi kopi secara kronis
terbukti tidak menyebabkan tekanan darah tinggi namun secara akut mengakibatkan peningkatan
tekanan darah sementara dalam selang waktu singkat,[67] dan plasma homosisteina[66] sehingga
dapat menjadi ancaman bagi penderita gangguan kardiovaskular.[64]
Konsumsi kopi secara teratur dapat menurunkan rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada
lintasan metabolisme hati,[68] yang sering disebabkan oleh[69] infeksi viral, induksi obat-obatan,
keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol, diabetes, obesitas), penyakit otoimun,[70]
dan resistansi insulin, sindrom metabolisme,[71] dan kelebihan zat besi.[72] Selain ALT, kopi juga
menurunkan enzim hati yang lain, yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase.[73] dan memberikan
efek antioksidan dan detoksifikasi fase II oleh karena senyawa diterpena, kafestol dan kahweol,
[74]
sehingga mencegah terjadinya proses karsinogenesis.[75][76] Proses tersebut disertai dengan
gamma-GT sebagai indikator utama.[77]

Transplantasi hati
Teknologi transplantasi hati merupakan hasil yang dikembangkan dari penelitian pada beberapa
bidang studi kedokteran. Pada tahun 1953, Billingham, Brent, dan Medawar menemukan bahwa
toleransi kimerisme[78] dapat diinduksi oleh infus sel hematolimfopoietik donor pada model tikus.
[79]

Pada tahun 1958 studi canine mengembangkan suatu teori mengenai molekul hepatotrofik pada
portal pembuluh balik pada hati dan menemukan hormon insulin sebagai faktor hepatotrofik
utama dari beberapa faktor lain yang ada.[80] Pada saat yang hampir bersamaan teori mengenai
transplantasi multiviseral dan hati juga berkembang dari studi imunosupresi yang mempelajari
algoritma empiris dari pengenalan pola dan respon terapis. Pada awal 1960, dibuktikan bahwa
canine dan allograft manusia memiliki toleransi kimersime yang dapat terinduksi otomatis
dengan bantuan imunosupresi, hingga pada akhir 1962 disimpulkan dengan keliru, bahwa
transplantasi melibatkan dua sistem kekebalan yang berbeda. Konsekuensi kesimpulan tersebut
menjadi dogma bahwa tolerogenisitas hati, pada dasarnya, berbeda, tidak hanya dengan sumsum
tulang belakang, tetapi dengan seluruh organ tubuh yang lain.[79] Kekeliruan ini tidak terkoreksi
dengan baik hingga tahun 1990.[78]
Transplantasi hati yang pertama dilakukan di Denver pada tahun 1963,[81] keberhasilan pertama
tercatat pada tahun 1967 dengan azatioprina, prednison dan globulin anti-limfoid, oleh Thomas
E. Starzl dari Amerika Serikat, disusul oleh keberhasilan transplantasi sumsum tulang belakang
manusia pada tahun 1968.[78] Rentang waktu antara 1967 hingga 1979 mencatat 84 kali
transplantasi hati pada anak dengan 30% daya tahan hidup hingga 2 tahun.[81]
Perkembangan studi imunosupresi kemudian memberikan perbaikan dan harapan hidup lebih
panjang bagi pasien, antara lain dengan pergantian azatioprina dengan siklosporina pada tahun
1979, lalu tergantikan dengan takrolimus pada tahun 1989.[80]
Pada tahun 1992, dikembangkan teori mikrokimerisme leukosit donor[82] dengan cakupan donor
dari silsilah berlainan, yang memberikan harapan hidup yang sangat panjang bagi penerima
donor organ, setelah diketahui hubungan antara aspek imunologis dari transplantasi, infeksi,
toleransi oleh sumsum tulang belakang, neoplasma dan kelainan otoimun, yang disebut sebagai
mekanisme seminal. Respon kekebalan dan toleransi kekebalan antara organ donor dan tubuh
ditemukan merupakan fungsi dari migrasi dan lokalisasi leukosit.[79] Salah satu temuan adalah
aktivasi sistem kekebalan turunan oleh sel NK dan interferon- segera setelah transplantasi
selesai dilakukan.[83] Pada model tikus, sel hepatosit donor ditemukan bersifat sangat antigenik
sehingga memicu respon penolakan, yang dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama
antara sel T CD4 dan sel T CD8.[84]
Untuk itu diperlukan terapi imunosupresif yang intensif sebelum transplantasi dilakukan, yang
disebut preparative regimen atau conditioning untuk mencegah penolakan organ donor oleh
sistem kekebalan inang.[85] Terapi imunosupresif tersebut ditujukan untuk menekan sel T dan sel
NK inang guna memberikan ruang di dalam sumsum tulang belakang untuk transplantasi sel
punca hematopoietik dari organ donor melalui terapi mielosupresif, untuk keseimbangan
repopulasi sel donor dengan sel hasil diferensiasi dari sel punca inang.
Dewasa ini, transplantasi hati dilakukan hanya pada saat hati telah memasuki jenjang akhir suatu
penyakit, atau telah terjadi disfungsi akut yang disebut fulminant hepatic failure. Kasus
transplantasi hati pada manusia umumnya disebabkan oleh sirosis hati akibat dari hepatitis C
kronis, ketergantungan alkohol, hepatitis otoimun dll.

Teknik umum yang digunakan adalah transplantasi ortotopik, yaitu penempatan organ donor
pada posisi anatomik yang sama dengan posisi awal organ sebelumnya. Transplantasi hati
berpotensi dapat diterapkan, hanya jika penerima organ donor tidak memiliki kondisi lain yang
memberatkan, seperti kanker metastatis di luar organ hati, ketergantungan pada obat-obatan atau
alkohol. Beberapa ahli berpedoman pada kriteria Milan untuk seleksi pasien transplantasi hati.
Organ donor, disebut allograft, biasanya berasal dari manusia lain yang baru saja meninggal
dunia akibat cedera otak traumatik (kadaverik). Teknik transplantasi lain menggunakan organ
manusia yang masih hidup, operasi hepatektomi mengangkat 20% hati pada segmen Coinaud 2
dan 3 dari orang dewasa untuk didonorkan kepada seorang anak, pada tahun 1989.

Bacaan lanjut

(Inggris) [1] Ekspresi genetik yang diinduksi oleh hormon tri-iodotironina dan GH

Rujukan
1.

^ (Inggris)"Cooperation of liver cells in health and disease.". Medical University


of Gdansk, Department of Histology and Immunology; Kmie Z.. Diakses pada 30 Juli
2010.

2.

^ (Inggris)"An experimental analysis of liver development". Douarin NM.


Diakses pada 11 Oktober 2010.

3.

^ (Inggris)"Hepatocyte differentiation initiates during endodermal-mesenchymal


interactions prior to liver formation". Section of Biochemistry, Brown University; Cascio
S, Zaret KS. Diakses pada 11 Oktober 2010.

4.

^ a b (Inggris)"The role of hepatocytes and oval cells in liver regeneration and


repopulation". Department of Pathology, University of Washington; Fausto N, Campbell
JS.. Diakses pada 1 Agustus 2010.

5.

^ (Inggris)"Ductular hepatocytes". Medical College of Virginia, Virginia


Commonwealth University; Sirica AE.. Diakses pada 1 Agustus 2010.

6.

^ (Inggris)"Stem cells, cell transplantation and liver repopulation". Marion


Bessin Liver Research Center, Division of Hepatology, Department of Medicine, Albert
Einstein College of Medicine of Yeshiva University; Oertel M, Shafritz DA.. Diakses pada
1 Agustus 2010.

7.

^ (Inggris)"Hepatic progenitor cells, stem cells, and AFP expression in models of


liver injury". Division of Radiooncology, Deutsches Krebsforschungszentrum; Kuhlmann
WD, Peschke P.. Diakses pada 1 Agustus 2010.

8.

^ (Inggris)"Hepatic stem cells: a review.". Department of Anatomical Pathology,


University of Cape Town; Vessey CJ, de la Hall PM.. Diakses pada 1 Agustus 2010.

9.

^ (Inggris)"Epimorphin regulates bile duct formation via effects on mitosis


orientation in rat liver epithelial stem-like cells". Stem Cell and Regenerative Medicine
Lab, Beijing Institute of Transfusion Medicine; Zhou J, Zhao L, Qin L, Wang J, Jia Y, Yao
H, Sang C, Hu Q, Shi S, Nan X, Yue W, Zhuang F, Yang C, Wang Y, Pei X.. Diakses pada
11 Oktober 2010.

10.

^ (Inggris)"Ductular hepatocytes.". Medical College of Virginia, Virginia


Commonwealth University; Sirica AE.. Diakses pada 1 Agustus 2010.

Das könnte Ihnen auch gefallen