Book Review
Judul buku: Aras Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikils Otoritatiff
Penulis —: Khaled M. Abou El-Fadl
Penerjemah : Cecep Lukman Yasin
Penerbit : Serambi IImu Semesta
Tahun terbit : 2003
Tebal buku : 640 halaman.
ISLAM DAN OTORITARIANISME
Oleh: Toat Haryanto
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
A. Pendahuluan
Ketika sebuah ceks lahir, maka teks itu akan segera hidup, memiliki
hak dan integrasinya sendiri. Ada kemungkinan, bahwa sebuah teks tidak
bisa dilepaskan dari pengarangnya, atau tidak bisa menantang pembaca
dalam tingkat kerumitannya, dan akan tereduksi menjadi teks yang
mudah ditebak, membosankan dan tertucup, Schingga, teks bukan saja
hatus terbebas dari paternalisme yang menguasai pengarangnya, tapi juga
dati ooritarianisme pembaca yang dapat membunuh teks tersebut.
Mengenai hukum Islam, mengatasnamakan otoritas pengarang
(Tuhan) untuk membenarkan kezaliman pembaca sudah menjadi
kecenderungan pada masa modern ini. Kecenderungan seperti ini adalah
bentuk kelaliman dan pengebirian logika Islam. Bahkan dalam beberapa
kasus seringkali terjadi bentuk kesewenang-wenang sebagian kelompok
untuk memaksakan pemahamanya terhadap kelompok lain atau
masyarakat umum. Al-Qur'an senditi mengingatkan Nabi Muhammad
untuk tidak mengendalikan atau mendominasi orang lain, tapi hanya
untuk menaschati dan mengajari mercka.!
Otoritarianisme bukan hanya akan mencerabut integritas dan
kehormatan hukum Islam, tapi juga akan menghancurkan kekuatan dan
kchormatan dinamika hukum Islam dalam diskursus modern. Ketika kita
1 Lihat Q.S, al-Ghasyiyah (88): 21-22
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 139oat Haryanto
berbicara tentang hukum Islam di dunia modern, kita sering merasakan
seolah-olah kita sedang berpartisipasi dalam sebuah khayalan kolektif yang
tiagis, dan tidak ada keraguaan sedikit pun dalam pikiran bahwa hukum
Islam adalah salah satu sistem hukum yang sangat luar biasa dan secara
intelektual sangat mengagumkan dalam sejarah kemanusiaan, Namun
sebenarnya sistem hukum Islam yang demikian mengagumkan sangat
dipengaruhi dan direkonstruksi oleh sistem Common Law dalam beberapa
hal tertentu yang cukup berarti.? Meski begitu, pengaruh dan rekonstruksi
tersebut sama-sekali tidak mengubah atau memperbaiki kondisi atau starus
hukum Islam pada masa modern ini.
Dalam buku A‘as Nama Than Khaled M. Abou Fadl tampak
sedikit banyak memberikan gambaran akan kegelisannya tethadap
fenomena yang sekarang ini banyak melanda umat Islam. Kajian Islam
kian banyak diwarnai oleh otoritas yang sewenang-wenang sehingga
menghilangkan rub Islam itu sendii.. Orang yang mengatasnamakan Than
seringkali mengklaim sebagai orang yang mempunyai otoritas mutlak
memahami pesan Tuhan secara ucuh, siapapun yang bersebrangan dengan
pemahamnya dianggap sebagai penyimpangan pesan Tuhan, Sebagai
pembaca teks Tuhan, mereka seakan mampu meleburkan diri dengan teks,
bahkan dengan pembuat teks itu sendiri, dalam hal ini adalah Tuhan. Di
dalam pengantarnya, Khaled M, Abou El Fadl menulis buku itu dengan
tujuan urama menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun
gagasan otoritas dan mengidentifikasi penyalahan otoritas dalam hukum
Islam, dengan tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada
otoritas persuasif dan otoritas moral. Ini berarci yang menjadi fokus
utamanya adalah gagasan tentang pemegang otoritas dalam hukum Islam,
yang dibedakan dengan otoritarianisme, bahkan Khaled M. Abou El Fadl
secara terang-terangan menulis buku ini dengan tujuan menyerang para
pendukung kecenderungan otoriter.
Talisan ini bukan akan berbicara mengenai persoalan fikih yang
otoriter ke fikih otoritatif sebagaimana persoalan yang banyak dijadikan
diskusi dalam buku tersebut, namun penulis lebih menekankan sudut
pemikiran penulis buku Aras Nama Tuhan itu mengenai konsep berfikir
otoriter melalui sebuah sistem berfikir hermeneutika, dengan meletakan
posisi pembaca, teks dan pengarang.
2. Dikutip oleh Fadl dari John. Makdisi, “The Islamic Origins of the Common
Law’, dalam North Carolina Law Review, 77 (5), him. 1635-1739.
140 | Rasail. Vol. 1. No. 1. 2014Book Review: Islam dan Otoritarianisme
B. Hermeneutika
Sebagai metode penafsiran teks, baik verbal maupun non-verbal,
hermeneutika semakin digandrungi oleh sejumlah intelektual muslim, tak
terkecualidilndonesia. Melalui hermeneutika,entitas pemikiran dan praktik
kebudayaan apapun seketika terkondisikan sebagai “anti kemapanan”,
“anti rezimentasi”, dan “anti hegemoni", Dalam perkembangannya, ada
beberapa perbedaan yang berkembang mengenai hakikat hermeneutika
itu sendiri. Sebagian hermeneut melihat hermencutika sebagai sebuah teoti
penafsiran dan metodologi filologi. Misalnya Ricard E.Palmer melalui
bukunya Hermeneutica Sasa Sive Methodus Ecponendrum Sacrarum
memahami hermenetika sebagai teori penafsiran kitab sucis Schleiermacher
menjadikan hermeneutika sebagai ilmu tentang pemahaman linguistic;
sedangkan Dilthey menjadikan hermeneutika sebagai dasar metodologis
ilmu scjarah, Martin Heidegger memandang heremeneutika sebagai
fenomenologi. Bukan sebagai metode memahami serta bukan metodologi
filologi sebagaimana yang diungkapkan Dilthey, Heidegger menjadikan
hermeneutika sebagai kajian filsafat yang kemudian diikuti oleh para
generasi sesudahnya seperti Marburg Rudolf Butlman dan Hans-Georg
Gadamer
Ulama Islam sendiri sering merespon hermeneutika sebagai sebuah
metodologi interpretasi teks, sebuah cara untuk memecahkan hubungan
antara pengarang (author) dan pembaca (reader). Fazlu Rahman
menawarkan konsep double movement (gerakan ganda), yaitu melakukan
ziarah pemahaman terhadap lahirnya teks di masa lampau dan dibawa
Kembali ke masa sekarang untuk menangkap “ruh” reks al-Que'an.4 Karena
bagi Fazlur Rahman, al-Qus'an hanya sepersepuluhnya saja yang nampak
di permukaan, sedangkan sisahnya masih tenggelam di dalam permukaan
arus sejarah. Hasan Hanafi menawarkan Hermencutika fenomenologi,
Nast Abu Zayd dengan hermeneutika satra kritis, Mohammad Arkoun
dengan hermeneutika antropologi nalar Islam, Fatimah Mernisi ~ Riffae
3. Pengaruh Heidegger terhadap Gadamer dapat dilihar dari kerangka hermeneu-
tic Gadamer berkaitan dengan pokok-pokok khusus yang berhubungan erat dengan fil-
safat Heidegger. Lihat Mispon Indarjo, Gambanan pengalaman Hermeneutik Hans-Goerg
Gadamer, dalam majalah filsafac Driyarkara Th. XX no.1993/1994
4. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, ter
Absin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm.9-13
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 141oat Haryanto
Hasan—Amina A.Wadud dengan hermeneutika gender, Muhammad Syarur
dengan hermeneutika linguistik fikih perempuan, dan lain scbagainya.
Melalui hermeneutika pula Khaled M. Abou El Fadl mencoba
menganalisa keterlibatan pembaca yang seringkali merasa dirinya sebagai
pemangku utama pesan Tuban, Ia menegaskan keterpisahan antara
pengarang dan pembaca, yang kerap kali pembaca lebur dengan pengarang.
Sikap otoriatianisme pembaca ini yang kemudian menimbulkan sikap
kesewenang-wenangan atas interprtasi teks. Khaled berulang kali
menjelaskan dalam bukunya itu bahwa penggantian secara halus, dan
lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan
(Author) oleh pembaca (reader) adalah tindakan despotisme dan sekaligus
bentuk penyclewengan yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak
dibenarkan begitu saja tanpa keitik yang tajam dari komunitas penalsir
yang ada di sekitarnya.
Al-Quran adalah kitab suci yang diyakini keotektikannya sebagai
kalam Tahan, sebagai pedoman umat manusia khususnya umac Islam
untuk bisa mengisi seluruh masa hidupnya dengan nilai-nilai yang
luhur sehingga tercipta kebahagiaan yang sejati baik di dunia maupun
di akhirat kelak. Perintah-perintah ‘Tuhan baik yang bersifae amaliyab
kemanusian maupun bencuk ritual kegamaan dan lain sebagainya sudah
tertuang dalam al-Qur'an itu, Manusia hanya memahami teks al-Qur’an
yang kemudian mengamalkan sesuai dengan pesan teks tersebut. Tapi
permasalahannya adalah, adanya keberagaman kesimpulan olch orang
yang mencoba memahami pesan ceks tersebut, dimana veks itu senditi
sepenuhnya bersandar pada alat perantara “bahasa’. Bahasa inilah yang
menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain
dan tidak bukan adalah hasil kesepakan komunitas dan ciptaan budaya
manusia, Ketika proses pemahaman tks yang sesungguhnya bersifat
interpretatif ditutup, maka sescorang atau kelompok telah memasuki
wilayah tindakan yang bersifac sewenang-wenang. Jika seorang pembaca
mencoba menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau
memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan itu berresiko tinggi melanggar
integricas pengarang atau bahkan integritas itu sendii.
CC. Relasi Pembaca, Teks, dan Pengarang
Hans-Georg Gadamer dalam hermeneutikanya memberikan arahan
tentang metode-metode yang digunakan dalam bernalar hermencutika.
142 | Rasail. Vol. 1. No. 1. 2014Book Review: Islam dan Otoritarianisme
Pertama, affective history (sejarah yang mempengaruhi kesadaran seseorang),
pola fikir dan tindakan sescorang pasti dipengarui olch pengalaman
sejarahnya. Kita tahu bahwa tiada ilmu yang paling berharga kecuali
penal Saya, anda, dan semua manusia hidup dalam rang dan wakctu
ng selalu berubah, dan ieu mengakibarkan pengalaman kesejarahan yang
berbeda pula. Tidak jarang dan pasti itu sunatullah bahwa corak pandang
dan persepsi orang berbeda-beda dalam menghadapi suatu permasalahan,
dan permasalahan yang dihadapi sama akan tetapi solusi yang muncul
beragam. Oleh karena itu affective history tidak boleh dilupakan —lemah
dan harus mengakar kepada jiwa manusia sebagai ciri khas tingkah laku,
cara kerja, dan pola berikir.’
Kedua, preundestanding (prapemahaman), berkaitan sangat crat
dengan affective history, Hal ini menekankan bahwa pemahaman seseorang
dibentuk oleh pemahaman-pemahaman sebelumnya. Historisitas
pemahaman satu orang tentu berbeda dengan yang lain, dan jelas tidak
sama, Suatu teks bisa diartikan dengan berbagai pemahaman sesuai dengan
prapemahaman yang bersangkutan, Benar-salah dan kuat-lemahnya
argumentasi yang ditawarkan dipengaruhi bagaimana prapemahamannya.
Dengan begitu kebenaran itu harus terbuka, bisa jadi kebenaran berasal
dari orang lain atau kebenaran muncul karena terjadi diskusi antane
subyekeifitas yang kemudian membentuk obyektifitas kebenaran.§
Ketiga, penggabungan atau asimilasi horizon dan line circle of
hermeneutika (garis lingkar hemeneutik). Kaitannya dengan hal ini ada
yang dinamakan cakrawala pengetahuan atau horizon dalam teks dan
cakrawala pemahaman atau horizon dalam jiwa reader. Penggabungan
atau asimilasi antara keduanya membentuk yang namanya line circle of
hermeneutika, Pembaca boleh sesuka hatinya memahami suatu teks
yang ada di depannya, Dia bolch berpendapat sesuai dengan hasil
pemahamannya tersebut, Akan tetapi yang menjadi caratan bahwa dia
tidak boleh mengklaim bahwa pendapatnya yang pasti dikarenakan itu
hanya merupakan pemahaman kemungkinan yang kemudian discbut
pemahaman “subyektifitas”. Teks mempunyai pengetahuan tersendiri dan
ini berimbas pada tingkat keobyektivirasan pemahaman. Ketika terjadi
pertentangan antara subyektificas dan obyektifitas maka yang dimenangkan
5 Syahiron Syamsuddin, Hermeneutike dan Pengembangan Uluomul Qur'an, (Yor-
yakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hm. 45
6 Ibid., him. 46
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 143Toat Haryanto
adalah pengetahuan yang ada dalam teks itu sendiri. Pembaca dituntun
hanya untuk menggali pemahaman dan tidak boleh bersikap otoriter
tethadap klaim pemahamannya.”
Keempat, penerapan atau aplikasi, Kitab suci sebagai teks sudah
final, dalam artian sudah tidak ada penambahan lagi. Teks yang sudah
final tersebut dihadapkan kepada para reader atau penafsirnya dengan
perbedaan masa antara mereka. Untuk menghidupkan kembali teks, harus
dibangun pemahaman bahwa teks itu sebenarnya bukan obyek kajian yang
final. Ada hal lain yang mendorong pergerakan teks agar bisa diterima di
semua masa, yaitu para penafsir yang mampu menggali makna terdalam
dari teks tersebut.?
D. Pemegang Otoritas
Scbagaimana kita ketahui bahwa dalam Islam tidak dikenal sistem
geteja, dan bahwa tak seorangpun atau kelompok orang yang menyandang
sebagai ororitas Tuhan, Gambaran yang disampaikan berulang-ulang ini
merupakan salah satu bentuk sikap egalitarianisme Islam dan ketetbukaan
akses tethadap kebenaran Tuhan bagi semua orang, Kaum muslim berusaha
keras untuk menemuan kehendak Tahan, tetapi tidak seorangpun bethak
mengklaim memiliki otoritas tersebut. Islam juga menolak elitisme dan
menekankan bahwa kebenaran bisa dicapai oleh semua orang tanpa
memandang ras, kelas, atau jenis kelamin. Ketika kita memulai pengkajian
khazanah keislaman baik kalam, fikih, dan lain sebagainya, kita akan
menemukan keragaman pendapat dan perdebatan yang begitu banyak
tentang pelhagai persnalan. Adanya petherlaan pendapar di kalangan ulama
muslim klasik memperlihatkan sikap keterbukan ulama dengan tidak
mengklaim hasilijedhadnya sebagai final dati kehendak Tuan, Diceritakan
bahwa Imam Malik berargumen, tidak seorangpun ahli hukum atau tradisi
pemikiran hukum yang berhak memilikei klaim ekskdlusif atas kebenaran
Tuhan, sehingga khalifah tidak memiliki wewenang untuk mendukung
madzhab-madzhab tertentu ataupun melarang madzhab-madzhab lain.
Lebih jauh lagi Imam Abu hanifah pernah berkata: “saya yakin bahwa
pendapat saya benar, retapi saya mengakui bahwa pendapat saya mungkin
saluh, Saya juga yakin babwa pendapat lawan saya salah, tapi saya mengakui
7 Ibid., him. 48
8. Ibid., hlm.50
144 | Rasail. Vol. 1. No. 1. 2014Book Review: Islam dan Otoritarianisme
pendapat mereka mungkiin benar.”” Ungkapan-ungkapan itu menunjukan
sikap bijak ulama Islam untuk menerima berbedaan yang terjadi dengan
tidak menghakimi pendapatnya adalah yang paling benar.
Konsep Otoritas
Scbelum mengkaji lebih lanjut proses terbentuknya otoritas dalam
Islam, Khaled M. Abou El Fadl membuat perbedaan antara otoritas
yang bersifar Aoersif dan otoritas yang bersifat persuasif, Otoritas kocrsif
merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan
cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum,
schingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa uncuk
rujuan praktis’ mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus
menurutinya. Sedang otoritas persuasif lebih melibatkan kekuasaan yang
bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan mengarahkan keyakinan
atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan, Mengutip Friedman,
“memangku otoritas” artinya menduduki jabatan resmi atau posisi
serukeural yang memberikannya kekuasaan untuk mengeluarkan petintah
dan arahan, Scorang yang memangku otoritas dipatahi orang lain dengan
cara menunjukkan simbol-simbol otoritas yang memberikan pesan kepada
orang lain bahwa mereka berhak mengeluarkan perintah atau arahan.
Dalam kasus ini tidak dikenal adanya “kecundukan atas keputusan pribadi,”
karena seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan orang yang memangku
ororitas itu, namun ia tidak memiliki pilihan lain kecuali menaatinya.
‘Tunduk kepada otoritas berarti menyerahkan atau mengalihkan keputusan
dan penalaran individunya. Orang yang menyerahkan kepurusan kepada
orang lain berarti telah melepaskan kesempatannya untuk menguji dan
mengkaji nilai sesuatu yang harus ia yakini atau jalankan.!? Ketundukan
semacam ini mengandung arti bahwa sescorang menyerahkan nalarnya
kepada kehendak dan keputusan orang lain, yang dibedakan dari upaya
9. Ada pendapar lain yang menyatakan bahwa ungkapan cersebut berasal dari
Imam Syafi. Versi lain dari laporan tersebut menyatakan bahwa imam Abu Hanifah dic
‘wayatkan telah berkata “kita mengetahui (bahwa pendapat) ini semata sebuah pendapat,
dan itulah hal yang terbaik yang dapat kita capai. (Jika) sescorang mempunyai pendapat
yang berbeda, maka ia akan memegang pendapat yang ia yakini (terbaik) dan kita me-
‘megang pendapac yang kita yakini (terbaik). bn Hazm al-Deahiri, Kitab al-Fashl, jlid
kedua, hal.46; Mahmashani, flu al-Tasyri’hlm. 42.
10 Friedman R.B., On she Concept of Authority in Politeal Philosophy, Authority edi
tor; Joseph Raz, Oxford: Basil Blackwell, 1990.
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 145Toat Haryanto
memahami nilai yang substansif dari pemerintah pemangku otoritas yang
harus diyakini dan dijalankan.
Pemegang Otoritas dalam Islam
Tuhan, Al-Qur'an dan Nabi adalah pemegang otoritas dalam Islam.
Namun pada kenyataanya, ketiganya bukan merupakan pemegang
otoritas yang sebenarnya, Polemik muncul saat kelompok-kelompok Islam
mengklaim dirinya sebagai kelompok yang malah memposisikan dirinya
sebagai pemegang otoritas Tuhan. Teks Al-Qur'an sendiri menyimpan
sejumlah perdebatan dalam pelbagai kesimpulannya, maka tidak heran
kalau hampir setiap mufassir menghasilkan kesimpulan yang berbeda satu
sama lain.
Scjarah awal Islam memunculkan dua kelompok besar yang
berbeda pendapat mengenai konsep hukum Tuhan. Kelompok Khawatij
berpendapat bahwa hukum Allah bisa ditentukan secara akurat, baik
menyangkut makna maupun penerapannya, Tapi ‘Ali_ memandang
bahwa hukum Allah tidak bisa ditentukan dengan mudab, sehingga ia
memberian peran yang lebih besar kepada perwakilan manusia. Namun
perlu dicatat bahwa hak mewakili ini berada di tangan penguasa atau
pengarah perundingan yang harus memutuskan mengenai penerapan
hukum.
Perdebatan yang terjadi dalam Islam bukan sekedar produk dati
tekanan sosial-ekonomi dan konflik politik dalam Islam. Teks al-Qur'an
sendiri menyimpan sejumlah perdebatan. Diskursus Islam secara berulang-
ulang memunculkan persoalan tentang kedaularan Tahan dan kewajihan
mentaati Tuhan, Bagi sebagian, propaganda kelompok khawarij adalah
ungkapan yang diambil dari al-Quran. Sepertimisalnya al-Qui’an
menyatakan: “keputusan itu hanya milik Allah, dan Dia memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang benat, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”"' Lebih jauh lagi secara khusus
al-Qur'an memerintahkan orang Islam untuk melaksanakan perintah
Tuhan, dan membedakannya dengan mengikuti nafsu manusia.!*Tetapi
gagasan renang ketundukan kepada Tuhan memunculkan serangkaian
persoalan menantang, yang sebagian terkait dengan kemampuan untuk
11 QS. Yusuf (12): 40; hat juga QS. al-An'am (6): 57 dan 62, QS, Yusuf (12):
40
12 QS. Al-Maidah (5): 49.
146 | Rasail. Vol. 1. No. 1, 2014Book Review: Islam dan Otoritarianisme
menjelaskan bahwa kenyataan, secara langsung atau tidak, Tuhan atau
nabi-Nya telah mengeluarkan perintah tertentu. Persoalan ini terkait
dengan pembuktian sejarah dan uji otentisitas mengenai bagaimana
kica mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari nabi-
Nya, atau dengan ungkapan sedethana, bahwa kita mengetahui bahwa
seseorang mengatakan sesuatu dan tidak berbohong serta menisbatkan
sesuatu kepada Tuhan dan nabi-Nya, padahal sebenarnya Tuhan atau nabi-
Nya tidak mengatakan hal ieu.
E. Teks dan Otoritas
Al- Qur'an dan as-Sunnah
Al-Qui’an dan as-Sunnah merupakan teks utama dalam Islam, dan
dipandang sebagai teks firman Tuhan yang abadi, diwahyukan, dihafal,
diriwayatkan secara lisan dan akhirnya dihimpun dan diculis pada masa
sahabat setelah wafatnya Nabi (10 H/632 M). Dalam konteks tindakan
kepengarangan, apa maksud periwayarkan al-Qur’an secara lisan? Apakah
para perawi dan penghimpun al-Qur'an sebagai bagian dari proses
kepengarangan? Kini kita jadikan sunnah sebagai sebuah contoh. Dogma
yang sudah mapan dalam Islam tidak memposisikan sunnah setingkat
dengan al-Qur'an dalam hal aucentisitas dan keabadiannya, Sunnah
dipandang sebagai sebuah korpus riwayat tak berbentuk tentang perilaku,
sejarah dan perkataan Nabi. Dan juga mencakup beragam riwayat sahabat
Nabi. Tampaknya sunnah pada mulanya dituturkan secara isan hingga
akhirnya didokumentasikan dalam berbagai kitab yang dikenal dengan
sunan atau masanid. Dalam bentuk lisan, sunnah merekam tradisi yang
hidup dalam umat Islam terdahulu. Sunnah dihimpun melalui mata rantai
perawi yang cukup panjang mulai dari Nabi, para sahabac dan berujung
kepada para perawi terakhir sebelum hadits ersebut dibukukan. Penting
untuk dicatat bahwa pertimbangan sosial, politik, dan teologis masuk ke
dalam proses pengujian krcdibilitas para perawi hadits. Para abli hukum
dan ulama hadits akan menganalisis kandungan substantif sebuah hadits
berdasarkan analisis “Zn ‘ilal al-matn, Hadits yang memiliki mata rancai
periwayatan yang tidak memiliki cela mungkin akan ditolak karena
substansi hadits tersebut tidak benar. Hadits semacam itu ditolak karena
ia mengandung kesalahan yang terkait dengan cata bahasa dan sejarah,
atau bertentangan dengan al-Qur'an, hukum alam, pengalaman umum,
atau kesimpulan rasional, Para ahli hadits akan menyatakan bahwa hadits
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 147Toat Haryanto
tersebuc memiliki cacat, atau memiliki ‘ila! gadihah fil-main. Namun
analisis semacam ini penuh dengan ketidak jelasan, dan belum banyak karya
yang menulis tentang karya ini. Para ahli hadits sering kali menyatakan
bahwa ‘lal al-matn adalah ilmu misterius yang hanya bisa diselami oleh
ulama yang terampil. Tradisi-tradisi dan kehidupan sosial yang melingkupi
kehidupan para sarjana muslim turut mewarnai corak pemahaman mereka
atas interpretasinya terhadap hukum Islam. Kebanyakan kumpulan tulisan
tentang hukum Islam tercampuri atas tradisi-tradisi semacam itu.'?
Diriwarayackan bahwa para ulama hadits telah mengkaji dan menolak
ribuan hadits yang mereka anggap palsu. Sulit untuk menyusun ulang
konteks dati proses seleksi yang melandasi upaya para ulama tersebut. Tapi
tidak diragukan lagi bahwa
ficksibel dan kreatif, artinya bahwa pemilihan dan pengujian autentisitas
bukanlah hasil semacam formula matematika atau proses yang sangat
terstruktur, Namun para ulama tersebut memahami dan menanggapi
serta dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai konteks ketika mereka
memutuskan hadits mana yang dipandang berasal dari Nabi dan Sahabat
dan mana yang tidak. Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika para ahli
hadits tidak sepakat tentang hadits mana saja yang dipandang autentik
sehingga kita menemukan variasi yang sangat komplek dalam kitab
mereka."*
Sebuah teks bisa memiliki beragam pengarang, yaitu pengarang
historis yang menciptakan teks, pengarang produksi yang mungkin
mengolah dan mencetak teks, pengarang revisi yang menyunting,
mengubah dan menuangkan kembali teks tersebut, dan_pengarang
incerpratasi yang memeriksa dan menciptakan makna dari lambang-
lambang yang membentuk teks. Beragam pengarang ini tidak memainkan
peran dan fungsi yang sama, namun peran dan fungsi mereka berubah
menjadi konteks tertentu."*
13 Khaled, Azas Nama Tihan.., him. 151
14 Ibid, hlm.152
15 Mengenai hal ini Khalid merekomendasikan Gracia, Texts Ontological Status,
Ldentity, Atahor, Audience, yang, mennbagi tipe-tipe pengarang yang membentuk sebuah
teks, yaitu pengarang hisitoris, pengarang pseudo hiswors, pengarang gabungan dan pen-
gatang interpretadif
148 | Rasail. Vol. 1. No. 1. 2014Book Review: Islam dan Otoritarianisme
Teks, Penetapan dan Otoritas
Para sarjana Islam telah melahirkan sebuah tradisi penafsiran al-
Quran yang luar biasa yang dikenal dengan ‘iin tafir yang cendrung,
berkonsentrasi. pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk
memecahkan makna teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Dalam
upaya melakukan penafsiran, para sarjana pra-modern telah mengkaji
maksud dan makna wahyu berdasarkan teks." Karena Tuhan Maha Besar
dan Abadi, maka diasumsikan bahwa setiap huruf, kata, dan kalimat
yang ada dalam al-Qur'an diletakkan karena alasan tertentu. Lebih lanjut
tidak ada kemungkinan bahwa pengarang al-Qur’an mengungkapkan
diti-Nya dengan cara yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Konteks
sebuah teks diteliti terurama melalui ilmu tentang sebab-sebab pewahyuan
(ilm asbab al-nuzul), tapi penelitian konseptual ini pada prinsipnya lebih
berkonsentrasi pada upaya memahami maksud awal pengarang."”
Beberapa konsep analisis kategoris yang dikembangkan oleh para
ahli hukum Islam adalah sebagai berikut: zhabir dan khafiyy apakah
yang dipertimbangkan adalah makna yang tampak dipermukaan atau
yang tersembunyis wadhih dan mubbam, apakah kata yang digunakan
mengandung makna yang jelas atau tidak jelas; muffassar dan mujmal,
apakah kata tertentu yang diambil dari konteksnya memiliki makna yang,
tegas dan spesifik; mubkam, apakah kata atau kalimat yang diganakan
mempunyai makna yang jelas dan tidak diragukan; mesyhil, apakah kata
atau kalimat yang digunakan memiliki makna yang samar atau konteks
yang samat; mutasyabbih, kata-kata yang maknanya tidak diketahui karena
conroh penggunaan Kurang: ‘amm dan khash, kata atau kalimar yang
mencakup makna yang umum atau khusus; uthlag dan mugayyad, kata
dan kalimat yang digunakan bersifat absolut dan tidak memiliki batasan;
masyruth, kata atau kalimat yang menggantungkan maknanya pada kata
dan kalimat yang lain; hagigi dan majazi, kata atau kalimat yang digunakan
bersifat literal dan metaforis; musytarak, kata atau kalimat yang digunakan
mengandung makna homonim atau memiliki lebih dari satu makna.'*
‘Tidak ada konsensus di kalangan abli hukum Islam tentang kata atau
kalimat yang masuk pada ketegori tertentu, tapi hal tersebut sangat tidak
16 Khalid merujuk dari Garje The Quran, him 30-44
17 Khalid merujuk dari Al-Shalih, Mabahitfi ‘Ulum al-Qur'an, hlm.127-163
18 Secara spesifik lihat Kamali, Principles, hlm.86-137, al-Shalih, mababts, lm.
281-286, 299-312.
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 149oat Haryanto
relevan dengan alasan kerangka konseptual yang berada di balik disiplin
ini. Berbagai kategori ini dipandang sebagai perangkat metodologis yang
dimaksud untuk mengontrol dan membatasi subjektivitas interpretasi
pembaca terhadap teks. Kategori- kategori dan kaidah-kaidah tradisional
tersebut akan jauh lebih berguna jika kita melakukan_ pendekatan
konseptual tethadap disiplin tersebut. Kaidah-kaidah interpretasi ini
merupakan hasil dari perkembangan sejarah yang menghasilkan label-
label bahasa yang memadai untuk masanya.
Dari pemahaman kita terhadap kompleksitas konsep sebuah makna,
pertanyaan yang muncul adalah: apa atau siapa yang harus menentukan
makna dalam sebuah penafsiran? Setidaknya, pada tingkat yang
disederhanakan, ada tiga kemungkinan jawaban. Kemungkinan pertama
adalah bahwa makna ditencukan oleh pengarang, atau setidaknya oleh
upaya pemahaman tethadap maksud pengarang. Kemungkinan yang
kedua berpusat pada peranan teks dalam menentukan maksa. Kita dapat
menyatakan bahwa teks, yang mempunyai sistem makna bahasa yang rumit,
dipandang satu-satunya sarana yang mampu mengklaim kewenangan
menentukan makna, Dan kemungkinan yang ketiga adalah memberikan
penetapan makna kepada pembaca. Semua pembaca membawa serta
subjektivitas mereka ke dalam proses pembacaan. Tiga kemungkinan yang
digambarkan di atas adalah bentuk penyederhanaan kasar atas diskursus
tentang penetapan makna. Dari ketiganya terbukei berperan_penting
sebagai bahan dasar uncuk perbincangan kita mengenai otoritas, Dalam
khazanah keilmuan Islam sedikie sekali sarjana yang menyatakan bahwa
makna ditentukan atau harus ditentukan hanya oleh pengarang, teks atau
pembaca saja. Argumen yang sering dikemukakan adalah bahwa terjadi
proses kompleks, interaktif; dinamis dan dialektik di antara ketiga unsur
tersebut, Namun para pengarang tidak sepakat tentang unsur mana yang
memainkan peran utama atau sampingan."”
FE. Konstraksi Otoritarianisme
Persoalan otoritarianisme dalam penetapan makna kurang mendapat
perhatian para sarjana. Beberapa sarjana_cenderung menyejajarkan
interpretasi teks yang bersifac spekulatif atau tidak masuk akal dengan
otoritasianisme epistemologis. Joseph Vaning menuis buku tentang
perbedaan antara yang otoritatif dan yang otoriter. Dalam bukunya ia
19 Khaled, Atas Nama Tichan, bm. 185
014
150 | Rasail. Vol. 1. No.Book Review: Islam dan Otoritarianisme
menjelaskan bahwa meskipun ada keburuhan untuk menganut sebuah
keyakinan bersama tethadap sebuah sistem scbclum melakukan upaya
interpretasi, yang otoriter adalah sebentuk taklid buta, sementara yang
ororitatif adalah melakukan “pilihan terbaik berdasarkan rasio”*” Dalam
konteks Islam, otoritarianisme adalah sebuah perilaku yang sama sekali
tidak berpegang pada prasyarat diri dan melibatkan Klaim palsu yang
dampaknya adalah penyalagunaan kehendak Tuhan. Otoritarianisme
merupakan pengabadian terhadap realitas ontologis. Tuhan dan
pengambilalihan kehendak Tuhan dan wakil Tuhan schingga wakil tersebut
secara efektif kemudian mengacu pada dirinya sendiri. Dalam pergerakan
sosok yang otoriter, perbedaan antara wakil dan cuannya menjadi tidak
jelas dan kabur, Pernyataan scorang wakil mencakokkan penetapannya
kedalam perintah tuannya.”*
Hukum Besi Otovitarianisme
‘Mengutip Robert Michels, Khaled menjelaskan bahwa dalam karya
Klasiknya tentang demokrasisecara persuasive, Michels menyacakan
bahwa semua sistem politik, termasuk utamanya demokrasi, berada
dalam genggaman apa yang disebut Hukwm Besi Oligarki. Michels
menegaskan bahwa sistem-sistem politik mengalami tekanan yang
sangat kuat ke arah sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan tersebut
merupakan kecendrungan alamiah dalam semuah organisasi: manusia.
Begitu pula halnya, dalam seluruh proses interpretasi, ada kecenderungan
yang pasti ke arah otoritarianisme yang ditandai munculnya penetapan
yang bersifar rerap dan tidak bisa heruhah. Pemegang. aroritas biasanya
cendrung mengarah bersifat otoriter kecuali ada upaya sadar dan akcif
untuk membendung kecendrungan tersebut dari wakil yang melakukan
interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut. Akibatnya,
teks dan kontruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses
ini, teks itu tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi
20 Ibid him. 204. Khaled merujuk pada Joseph Vining, The Authoritative and the
Authoritarian. Chicago University Press, 1986. Menurutnya, karya Vining ini agak ber
fac abscrak dan sulic dipahami. api yang menarike ia mencatat persamaan antara jeni
asumsi dan premis yang dibuat oleh para teolog dan praktisi hukum kerika mereka mem-
bahas persoalan atau hukum.
21 Ibid., him. 205,
Rasail. Vol. 1. No. 1.2014 | 151Toat Haryanto
pengganti teks.22
Hukum Islam sebagai Karya yang Terus Berubah
Al-Quran dan Sunnah, meminjam istilah Umberto Eco, merupakan
ya yang terus berubah”, keduanya adalah karya yang membiarkan
dirinya mercka terbuka bagi berbagai strategi interpretasi. Ini tidak berarti
bahwa keduanya terbuka bagi segala bencuk interpretasi. Tetapi maksudnya
adalah bahwa keduanya mampu menampung gerak interpretasi yang
dinamis. Jika Syariiah dikehendaki mampu memiliki relevansi yang
bersinambung dengan berbagai konteks dan zaman, maka hukum Islam
harus menganut gagasan centang pergerakan aktif dalam pembentukan
makna, Sedangkan risiko dari penutupan sebuah teks adalah bahwa teks
akan dipandang tidak relevan. Penetapan makna teralhir yang diletakan
pada teks akan menyegel makna teks untuk selamanya. Teks menjadi tidak
relevan lagi, dalam arti bahwa pembaca tidak punya alasan untuk kembali
merujuk teks dan menggelutinya.”®
Dari pandang sosiologis, dalam beberapa kasus hal ini mungkin tidak
bisa dihindari, tetapi secara moral hal ini tetap tidak dapat dibenarkan,
Menutup teks adalah sebentuk kesombongan intelekcual. Pembaca
mengklaim memiliki suatu pengetahuan yang identik dengan pengetahuan
Tuhan. Dengan mengklaim telah mengetahui arti yang sebenarnya dati
sebuah teks, pembaca seakan berkata “interprtasi saya sangar identik
dengan makna ceks yang sebenarnya,” Dengan klaim seperti ini sebenarnya
tclah menyandingkan penetapan makna pembaca dengan teks aslinya.”*
G. Penutup
Salah satu prestasi besar peradaban Islam adalah hukum Islam
sebagai gudang intelektual yang cerdas yang telah banyak diumuskan
oleh para sarjana muslim, Para sarjana muslim berhasil meletakan dasar-
dasar penafsiran untuk menangkap pesan Tuhan melalui sejumlah metode
interpretasinya. Saat mereka melakukan sejumlah usaha untuk menangkap
pesan Tuhan itu merekapun tidak terjerumus dalam otoritas ‘Tuhan.
22 Khaled, Atar Nama Tuhan, him. 206; Robert Michels, Political Parties: A Socio-
logical Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, New York: the Free Press,
1962, terutama hm, 342-356.
23 Ibid., him. 211.
24 Ibid., him, 213
152 | Rasail. Vol. 1. No. 1. 2014Book Review: Islam dan Otoritarianisme
Namun hal itu berbeda saat sejumlah lembaga hukum Islam, oranisasi
Islam, institusi Islam dsb. didirikan di berbagai tempat, sebagai penguasa
kebenaran yang berhak mengadili segala persoalan umat. Atas nama Tuhan
mereka mengeluarkan beberapa keputusan dan menghakimi sikap umat
yang bersebrangan dengan pemahamannya melalui simbol otoritasnya
sebagai wakil Than, Membahas hukum Tuban jelas akan melibatkan
upaya yang rumic dalam menyeimbangkan kekuasaan mutlak ‘Tuhan,
kchendak manusia dan moral. Perintah-perintah Tuhan selalu bertumpuh
pada teks, karena teks diyakini merupakan media pesan Tuhan. Pembacaan
teks seringkali menimbulkan ketidakseimbangan antara pembaca, teks dan
pengarang. Hermeneutika adalah salah satu bentuk incerpratasi yang bisa
membedakan relasi antara pembaca, ecks dan pengarang. Hermeneutika
mencoba membongkar otoritarianisme pembaca teks yang meyakini
diti menjadi pemegang tunggal pesan Tuhan, sehingga dengan metode
ini tradisi otoritarianisme keagamana akan berkurang dan menghindari
kesewanang-wenangan dan pemaksaan pemahaman. Inilah yang dilakukan
oleh Khaled M Abou El Fadl dengan karyanya
Rasail. Vol. 1..No. 1.2014 | 153