Sie sind auf Seite 1von 30

Gambaran rontgen untuk pneumonia

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau

segment paru secara anantomis.


Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada

atelektasis.
Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas
lesi dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan

jantung atau di lobus medius kanan.


Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang

paling akhir terkena.


Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air

Bronchogram

Sign

(terperangkapnya udara pada bronkus karena tiadanya pertukaran udara


pada alveolus).

Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu


segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.
Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)
Foto Thorax

Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang


dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak

konsolidasi dalam lobus. Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak


homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.
Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial


prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih
terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.

Radiologi PPOK
Gambaran radiologis pada pasien dengan PPOK seringkali didapatkan
gambaran emfisematous lung. Ciri khas yang tampak pada emfisematous

lung diantaranya tampak sela iga melebar, gambaran hiperaerated,


diafragma mendatar, dan jantung berbentuk pendulum (menggantung).

Gambaran Radiologis TB
a. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
Bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus

atas paru dan segmen superior lobus bawah.


Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular.


Bayangan milier.
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
b. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif adalah:
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura

Gambar. X-ray TB

Perbedaan TB Laten dan TB Aktif


TB LATENT

TB AKTIF

Tanpa gejala

Ada gejala-gejala yaitu:


Batuk berdahak lebih dari 2
minggu
Nyeri dada
Batuk lendir (sputum) campur
darah
Kelemahan umum
Penurunan berat badan
Hilang nafsu makan
Menggigil
Demam
Keringat pada malam hari

Tidak merasa sakit

Merasa sakit (lihat gejala di atas)

Tidak menular ke orang lain

Menular ke orang lain melalui droplet


yang keluar melalui batuk, ketawa,
bicara, menyanyi dan dibawa udara

Hasil tes kulit atau tes darah Hasil tes kulit atau tes darah
umumnya mengindikasikan adanya umumnya mengindikasikan adanya
infeksi TB
infeksi TB
Mycobacterium tuberculosis inaktif Mycobacterium
tuberculosis
(dormant), tidak berkembang-biak
berkembang-biak dan merusak organ
tubuh yang diserang
Pemeriksaan

sinar

dada Pemeriksaan

sinar

dada
5

menunjukkan tanda-tanda TB latent menunjukkan


tanda-tanda
TB
dan pemeriksaan mikroskopis sputum Aktif, pemeriksaan
mikroskopis
(dahak) negatif
sputum (dahak) positif, biakan positif
TB Latent perlu diobati supaya tidak TB Aktif perlu diobati sampai sembuh
menjadi TB Aktif
supaya tidak mengganggu kesehatan
penderita dan menular pada orang lain

Perbedaan Global Initiative For Asthma (GINA) Tahun 2012, 2015


dan 2016
1. Kriteria Reversibilitas dan variabilitas
GINA 2012
Reversibilitas
Peningkatan FEV1 >12% atau >200ml post uji bronkodilator
Variabilitas
Variasi diurnal PEF >20%
GINA 2015
Reversibilitas
dewasa: Peningkatan FEV1 >12% dan 200ml
Anak-anak: Peningkatan FEV1 >12% dari nilai prediksi
Variabilitas
dewasa: Variasi diurnal PEF >10%
Anak-anak: Variasi diurnal PEF >13%)
GINA 2016
Reversibilitas
dewasa : peningkatan FEV1 >12 % dan >200 dari nilai baseline, 10-15 menit
setelah 200-400 mcg albuterol atau ekuivalen (lebih dipercaya jika peningkatan
>15% dan >400ml)
Anak-anak: peningkatan FEV1 >12 % dari nilai prediksi
Variabilitas
dewasa: rata-rata variasi diurnal PEF > 10%
Anak-anak: rata-rata variasi diurnal PEF >13 %
2. Penambahan terapi pada step 4 dan 5
GINA 2012
Step 4 dan 5
pada step 4 masih menggunakan terapi kombinasi inhalasi kortikosteroid dosis
medium-tinggi dengan LABA.
Pada step 5 digunakan penambahan kontroler oral kortikosteroid pada pasien dengan
asma berat yang tidak terkontrol dan frekuensi eksaserbasi yang tinggi. Penambahan
terapi anti IgE juga merupakan pengontrol yang baik pada asma akut alergi yang tidak
6

terkontrol dengan kombinasi inhalasi dosis tinggi atau oral kortikosteroid.

GINA 2015
Step 4 dan 5
Penambahan tiotropium dengan inhalasi sebagai pilihan kontroler baru untuk step 4
dan 5 pada pasien berusia 18 tahun dengan riwayat eksaserbasi.

GINA 2016
Step 4
Penambahan tiotropium sebagai pilihan untuk remaja (usia 12 tahun) dengan
7

riwayat eksaserbasi.
Step 5
Lebih baik dilakukan pemeriksaan lanjutan dan penambahan terapi seperti:
1. Tiotropium dengan inhales pada pasien usia 12 tahun dengan riwayat eksaserbasi.
2. Omalizumab (anti-IgE) untuk alergi asmaberat
3. Mepolizumab (anti-IL5) untuk asma eosinophil berat (12 tahun)

2. Penggunaan Fluticasone furoate


GINA 2012
GINA 2015
GINA 2016
Fluticasone
furoute Fluticasone furoute tidak a. Fluticasone
furoate
tidak termasuk dalam termasuk dalam pilihan
ditambahkan kedalam
pilihanobat ICS. Tapi obat ICS. Tapi disini
tabelobat ICS untuk
disini
menggunakan menggunakan fluticason
dewasa dengan dosis
fluticason
propionat propionat untuk dewasa
rendah (100 mcg) dan
untuk dewasa dengan dengan dosis 100-250,
tinggi (200 mcg).
dosis 250 mcg, 500 >250-500, >500 mcg dan b. Fluticasone furoate /
vilanterol dosis rendah
mcg dan 1000 mcg.
anak-anak 6-11 tahun
ditambahkan
sebagai
dengan dosis 100-200,
pilihan
Step
3
>200-400, >400 mcg.
ICS/LABA

3. Level evidence stepping down ICS


GINA 2012
GINA 2015
jika ICS saja dosis Stepping down dosis
medium-tinggi,
ICS ICS 2550% dalam 3
aman
bagi
dikurangi 50% selama bulan,
sebagian besar pasien
3 bulan (Evidence B)
jika hanya ICS dosis (Evidence B).
rendah, tetap digunakan
tapi dosis sekali sehari
(Evidence B)
jika ICS dan LABA,
ICS dikurangi 50% dan
LABA tetap dilanjutkan
(Evidence B)
pengontrol di stop jika
pasien
terkontrol
dengan dosis terendah
dan tidak muncul gejala
selama
1tahun
(Evidence B)

GINA 2016
Stepping down dosis ICS
2550%
dalam3bulan,
aman bagi sebagian besar
pasien (Evidence A).

4. Pencegahan primer asma


GINA 2012
- tidak dijelaskan tentang pencegahan primer asma, tapi hanya penjelasan
mengenai pencegahan terjadinya eksaserbasi
- pengobatan untuk mengontrol asma berperan penting karena sebagian
besar pasien kurang sensitif terhadap faktor risiko ketika asma tidak
terkontrol dengan baik
GINA 2015
- Menghindari paparan asap tembakau selama kehamilan dan pada tahun
pertama setelah kelahiran.
- Dorongan untukmelahirkan pervaginam
- Penyuluhan untuk memberikan ASI
- Hindari penggunaan paracetamol (acetominofen) dan antibiotic spectrum
luas hingga usia 1 tahun.
GINA 2016
Terdapat penambahan informasi tentang:
1. Diit maternal selama kehamilan.
- Tidak ditemukan bukti bahwa konsumsi makanan tertentu akan
meningkatkan resiko terjadinya asma.
-

Data yang ada menyebutkan bahwa obesitas selama kehamilan akan


meningkatkan resiko terjadinya asma pada anak.
9

2. Alergen indoor
- Pada anak-anak, kelembapan dan jamur di lingkungan rumah berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya asma.
- Remediasi dari kelembapan dan jamur di rumah mengurangi gejala asma
dan penggunaan obat pada dewasa (Level evidence A)

TB Milier
a Definisi
Tuberkulosis

milier

(TB

milier)

merupakan

penyakit

limfohematogen sistemik akibat penyebaran kuman Mycobacterium


tuberculosis dari kompleks primer, yang biasanya terjadi dalam
waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi awal.

TB milier dapat

mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi


pada beberapa organ (seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB
milier klasik diartikan sebagai kuman basil TB berbentuk millet
(padi) ukuran rata-rata 2 mm, lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada
Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 % kasus TB.
b Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit
tuberkulosis pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora,
tidak bergerak, panjang 2-4 nm. Obligat aerob yang tumbuh dalam
media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik pada suhu 37-410C,
dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek
bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu
c

generasi 12-24 jam.


Epidemiologi
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus,
hampir 50% kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua
pasien TB, 1,5% di perkirakan merupakan TB milier. Laporan dari
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat,
dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257 pasien (1,2%) dari 21.337
pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih tinggi pada
orang Afrika Amerika di Amerika Serikat karena pengaruh faktor
sosial ekonomi, laki-laki lebih tinggi insidennya dari wanita. Pada
beberapa kasus di temukan

bahwa kulit hitam

lebih tinggi
10

insidennya di bandingkan kulit putih karena pengaruh sosial


ekonomi.
Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak
kecil, terutama usia < 2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi
makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum
berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah berkembangbiak
dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat terjadi pada
anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer
sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat
reaktivasi kuman yang dorman.
Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah
dan virulensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan status
imunologis pasien (non spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang
menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan timbulnya TB
milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis,
diabetes

melitus,

gagal

ginjal,

keganasan,

dan

penggunaan

kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi


perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya
sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok,
penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi.
d Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Ukuran kuman TB sangat kecil (<5m), sehingga kuman yang
terhirup dalam percik renik (droplet nuclei) dapat mencapai alveolus.
Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya

dapat

dihancurkan.

Individu

yang

tidak

dapat

menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit


kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang di namakan
fokus primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman TB dari fokus
11

primer Ghon menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe


regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Gabun/gan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary
complex). Waktu yang di perlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap di sebut sebagai masa
inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Penyebaran hematogen secara
langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic
spread) dengan kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke
seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh darah akan
tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat
tersebut. Semua tuberkel yang di hasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian
(millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning
berukuran 1-3 mm , sedangkan secara histologik merupakan
granuloma. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6
bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada anak dibawah 5 tahun (balita) , terutama dibawah 2
tahun.
12

Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan TB adalah :
1

Mengobati penyakit TB itu sendiri

Mencegah kematian dari TB aktif atau komplikasi TB

Mencegah TB relaps

Mencegah resistensi obat karena pemakaian kombinasi obat

Mengurangi (menurunkan) penularan TB terhadap orang lain


Pengobatan anti tuberkulosis di kelompokkan menjadi dua fase:

fase yang pertama adalah fase intensif (awal) yang bertujuan


membunuh dengan cepat sebagian besar kuman dan mencegah
resistensi obat, dan fase yang kedua adalah fase lanjutan, yang
bertujuan membunuh kuman yang dormant (tidak aktif). Pada fase
intensif di berikan 4 macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
dan ethambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan di berikan
rifampisin

dan

isoniazid

selama

10

bulan

sesuai

dengan

perkembangan klinis. Dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan dosisnya
Dosis
Nama obat

Isoniazid
Rifampisin

Dosis harian

maksimal

(mg/kgBB/hari) (mg
5 15*
10 20

per

Efek Samping

hari)
300

Hepatitis,

600

hipersensitivitas
Gastrointestinal,

neuritis

perifer,

reaksi

trombositopenia,

kulit,

peningkatan

enzim hati, cairan tubuh berwarna


Pirazinamid
Etambutol

15 20
15 20

2000

oranye kemerahan
toksisitas
hati,

1250

gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata

artralgia,

berkurang, buta warna merah


hijau,

penyempitan

pandang,

lapang

hipersentivitas,

gastrointestinal
13

Streptomisin
15 40
1000
ototoksik, nefrotoksik.
(*) Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak
melebihi
10 mg/kgBB/hari
Beberapa ahli merekomendasikan ethionamid (ETH) sebagai
obat pilihan keempat.
Tabel 2. Regimen pengobatan TB Milier menurut WHO
Fase intensif
2HRZS
2HRZ (S or Eth)

Fase lanjutan
4HR
7-10HR

Referensi
WHO (pedoman therapi)
American
Academy

6HRZEth

Pediatrics
Tidak ada (regimen Donald, 1998
total untuk 6 bulan)
Kortikosteroid

(prednison)

diberikan

pada

TB

milier,

meningitis TB, perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB.


Prednison biasanya diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari selama 4
minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama
2-6 minggu.
Semua kasus yang diduga atau di diagnosis TB milier
seharusnya dirawat dirumah sakit sampai keadaan klinisnya stabil.
f

Evaluasi Hasil Pengobatan


Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi.
Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi
klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang
terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya
kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi
radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan untuk
evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang
dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga
beberapa bulan.

14

of

Pengertian TB paru primer, kompleks primer, dan Ghon.


Tuberkulosis Primer:
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikrobakterium
tuberkulosis. Setelah melewati barier mukosilier saluran nnapas, basil TB
akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multipikasi di paru,
disebut focus Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai kelenjar limfe
hilus. Fokus Ghon dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer.
Melalui kompleks primer basil dapat menyebar melalui pembuluh darah
ke seluruh tubuh. Respon imun seluler/ hipersensitivitas tipe lambat
terjadi 6-8 minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB serta
kemampuan daya tahan tubuh host akan menentukan perjalanan penyakit
selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respon imun tubuh dapat
menghentikan multipikasi kuman, sebagian kecl menjadi kuman dorman.
Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respon imun tidak
dapat menghentikan multipikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada
beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami
salah satu hal sebagi berikut:
a Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
b Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, fibrotik,
c

perkapuran)
Menyebar dengan cara:
Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya
Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru
sebelahnya. Atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi

penyebaran di usus
Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain
seperti TB milier, meningitis, ke tulang, ginjal, dan genitalia

Kriteria penderita asma dirawat di rumah dan dirawat di rumah


sakit.
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat
bersifat

fatal

atau

mengancam

jiwa. Seringnya

serangan

asma

menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan


kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau
perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat.
15

Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam


penanganan serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan
pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya
memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita
(pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU,
dan lain-lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya
seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami
kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat
serangan di darurat gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan
yang tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari darurat
gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat, penilaian
respons

pengobatan

yang

kurang

tepat

menyebabkan

tindakan

selanjutnya menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas


menyebabkan perburukan asma yang menetap, menyebabkan serangan
berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma
akut berat bahkan fatal.

Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat


terjadi serangan, apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang
sehari-hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus pergi
16

ke

rumah

sakit. Konsep

itu

yang

harus

dibicarakan

dengan

dokternya . Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter dan atau


fasilitas rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan
memberikan penanganan yang tepat.
Kondisi di Indonesia dengan fasilitas layanan medis yang sangat
bervariasi mulai dari puskesmas sampai rumah sakit tipe D - A, akan
mempengaruhi bagaimana penatalakasanaan asma saat serangan akut
terjadi sesuai fasilitas dan kemampuan dokter yang ada. Serangan yang
ringan sampai sedang relatif dapat ditangani di fasilitas layanan medis
sederhana, bahkan serangan ringan dapat diatasi di rumah. Akan tetapi
serangan sedang sampai berat sebaiknya dilakukan di rumah sakit.

Kriteria rawat jalan dan rawat inap untuk pasien pneumonia.


Pneumonia Severity Index (PSI)
Skor prediksi PSI mengklasifikasikan pasien ke dalam 5 kelas
mortalitas dan keunggulan skor ini untuk memprediksi angka mortalitas telah
dikonfirmasi melalui berbagai penelitian. Kriteria PSI terdiri dari 20 variabel
yang berbeda oleh karena itu sangat tergantung dari kelengkapan lembar
penilaian, sehingga sulit diterapkan pada situasi pelayanan gawat darurat
yang sibuk. Akan tetapi, skor ini sangat baik untuk mengkaji penderita
dengan risiko mortalitas rendah yang sesuai untuk mendapat penanganan
rawat jalan daripada penderita dengan pneumonia berat yang membutuhkan
perawatan rumah sakit. Berdasarkan tingkat mortalitasnya maka pasien
dibagi menjadi: kelas risiko I dan II dirawat jalan(outpatients) , pasien kelas
risiko III dirawat inap singkat atau dalam unit pengawasan, dan pasien kelas
17

risiko IV dan V dirawat inap (inpatients).


Berdasarkan pedoman ATS, pasien dengan kelas risiko III mungkin untuk
dirawat jalan atau dirawat inap singkat.
Tabel Skor Prediksi Pneumonia Severity Index
Karakteristik Pasien
Faktor Demografi
Usia laki-laki
Usia wanita
Tinggal di rumah perawatan
Penyakit Komorbid
Keganasan
Penyakit liver
Gagal jantung kongestif
Penyakit serebrovaskuler
Penyakit ginjal

Poin skor

Usia
Usia-10
+10
+30
+20
+10
+10
+10

18

Temuan Pemeriksaan Fisik


Penurunan kesadaran
Laju pernapasan 30 x per menit
Tekanan darah sistolik <90 mmHg
Suhu < 35 oC / 40 oC
Nadi 125 x per menit
Temuan Laboratorium
pH <7,35
BUN>11mmol/L atau 30mg/dL
Natrium <130mmol/L
Gula darah >14 mmol/L atau
250mg/dL
Hematokrit <30%
p02 <60mmHg
Efusi pleura

+20
+20
+20
+15
+10
+30
+20
+20
+10
+10
+10
+10

Sumber : Fine MJ dkk


Total skor PSI berdasarkan karakteristik pasien pada tabel 3 selanjutnya
digunakan untuk menentukan kelas risiko dan risiko mortalitas pasien CAP

Tabel Derajat keparahan pneumonia berdasarkan skor PSI


Total Skor PSI

Kelas Risiko

Risiko Mortalitas

<51

Rendah

51-70

II

71-90

III

91-130

IV

Sedang

>130

Tinggi

Sumber : Niederman MS.Terapi empirik. Dalam : ATS


Modifikasi dari skor PSI dibutuhkan dalam memutuskan tempat perawatan
pasien. Pasien dengan kelas risiko I-III dirawat inap apabila saturasi oksigen
arteri <90% atau tekanan oksigen arteri (PaO2) <60 mmHg. Selain karena
hipoksemia, kelas risiko rendah kriteria PSI I-III dirawat inap apabila
didapatkan syok, penyakit penyerta, efusi pleura, ketidakmampuan
19

mempertahankan konsumsi obat secara oral, masalah sosial( tidak ada


keluarga/orang yang dapat menjaga), dan respon yang inadekuat terhadap
terapi antibiotik empirik sebelumnya. Alasan medik dan psikososial lain
untuk pasien dirawat inap adalah vomitus, penyalahgunaan obat injeksi,
gangguan jiwa berat, tuna wisma, status fungsional yang buruk dan disfungsi
kognitif. Namun pasien dengan kelas risiko V dan umur yang sangat tua dan
disertai berbagai penyakit kronik dapat dikelola sebagai outpatient.
CURB-65
Merupakan model skor yang direkomendasikan oleh British Thoracic
Society (BTS) berdasar pada lima gambaran klinik utama yang sangat praktis,
mudah diingat dan dinilai. Skor ini juga telah divalidasi walaupun dengan
jumlah sample yang lebih sedikit dibandingkan dengan PSI. Kelebihan skor
CURB-65 adalah penggunaannya yang mudah dan dirancang untuk lebih
menilai keparahan penyakit dibandingkan dengan PSI yang menilai risiko
mortalitas. Skor CURB-65 lebih baik dalam menilai pasien pneumonia berat
dengan risiko mortalitas tinggi. Walaupun skor CURB-65 mudah digunakan
tetapi kurang dalam menilai tanda vital dan kadar oksigen yang menjadi
kekurangan mengingat pentingnya penilaian cepat terhadap oksigenasi pada
pasien saat datang ke ruang gawat
darurat.

20

Tabel 5. Skor Prediksi CURB-65


Karakteristik

Skor

Penurunan kesadaran
Urea nitrogen darah > 20 mg per dL (7.14 mmol per L)
Laju pernapasan 30 x per menit
Tekanan darah (sistolik < 90 mm Hg atau diastolik 60
mm
Hg)

1
1
1
1
1
Total skor: 5

Usia 65 tahun

Sumber : Lim dkk


Tabel 6. Skor tes mental atau Abbreviated Mental Test (AMT) yang
direkomendasikan oleh BTS
Pertanyaan

Poin skor

Umur

Tanggal lahir

Waktu

Tahun

Nama rumah sakit

Mengenali dua orang (misalnya dokter dan

perawat)
Alamat (untuk diulang pasien saat

pertanyaan terakhir)
Tahun suatu kejadian di masa lalu (misalnya

hari kemerdekaan Indonesia)


Nama presiden/ raja

Hitung mundur 20 1

1
Total skor: 10

Sumber: Hodkinson HM. Evaluasi skor tes mental. Dalam: BTS 25

21

Penurunan kesadaran didefinisikan sebagai skor tes mental

atau

Abbreviated Mental Test 8 atau adanya disorientasi baru terhadap orang, tempat,
dan waktu. Total skor 0-3 menandakan terjadinya gangguan kognitif berat dan 4-6
gangguan ringan.
Berikut adalah bagan untuk menjelaskan aplikasi skor prediksi CURB-65
dalam penatalaksanaan pasien CAP:
Adanya:
Penurunan kesadaran Urea>
7mmol/L
Laju pernapasan 30 x per menit
Tekanan darah (sistolik < 90 mm Hg atau
diastolik 60 mm Hg)
Usia 65 tahun
Total skor
0 atau 1

3 atau lebih

Derajat keparahan

Kelompok 1
Derajat rendah

Kelompok 2
Derajat sedang

Kelompok 3
Derajat tinggi

Pilihan
Terapi

Rawat
jalan

evaluasi

Dipertimbangkan rawat inap


Pilihan termasuk:
a) Rawat inap
b) Rawat jalan dengan
bila skor CURB-65
=4
atau 5

Penatalaksanaan rawat
inap sebagai pneumonia
berat
Pertimbangkan rawat
ICU

Sumber: Lim, dkk


Gambar Aplikasi skor CURB-65 dalam penatalaksanaan pasien CAP

22

Patogenesis pneumonia menjadi abses paru.


Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai
dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan
likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir
proses abses dengan jaringan fibrotik.
Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke saluran
nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya mungkin keluar
sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada pemeriksaan radiografik
Abses yang pecah akan keluar bersama batuk sehingga terjadi aspirasi pada bagian
lain dan akhirnya membentuk abses paru yang baru.. Kadang-kadang abses pecah ke
dalam rongga pleura dan menghasilkan fistula bronkopleura, yang menyebabkan
pneumotoraks atau empiema.
1. Patofisiologi
Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan
faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru
dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah
air-fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga
dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung
dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkulosis dengan
kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada
penderita empisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses abses
paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala
yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-

23

kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe


peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan
suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi
infeksi dapat terbentuk abses.
Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut:
Aspirasi berulang, M.O Terjebak di
sal nafas bawah, proses lanjut
pneumonia inhalasi bakteria
Faktor
Predisposisi
Bakteri mengadakan multiplikasi
dan merusak parenkim paru

Dilepasnya zat pirogen


oleh
leukosit pada jaringan
yang meradang

Proses Peradangan

Dikelilingi jar. Granulasi

Panas

Ujung saraf
paru tertekan

Gangguan rasa
nyaman: Nyeri

Gangguan Rasa Nyaman:


Hiperthermi

Proses nekrosis

DifusiVentilasi
terganggu

Kelemahan
Fisik

Kadar O2
Turun

Produksi Sputum berlebih

Kurang
Informasi

Reflek batuk

24

Intoleransi
Aktifitas

Gangguan
Pertukaran Gas

Bersihan Jalan
Nafas

Kurang
Pengetahuan

Penatalaksanaan PPOK stabil


1. Obat-obatan
2. Edukasi
3. Nutrisi
4. Rehabilitasi
5. Rujukan ke spesialis paru/rumah sakit
Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
-

menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg


Dahak jernih tidak berwarna
Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil

spirometri)
Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :


Mempertahankan fungsi paru
Meningkatkan kualiti hidup
Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala
atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi

Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri
maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi
penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a.

Menjaga PPOK tetap stabil

25

b.
c.
d.
e.
f.

Melaksanakan pengobatan pemeliharaan


Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
Meningkatkan kualiti hidup

Penatalaksanaan di rumah meliputi :


1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan sesuai klasifikasi. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler,
nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut,
koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk
MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara
terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul
eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang
oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan
aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu
aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis
oksigen tidak lebih dari 2 liter
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita
PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah

4. Rehabilitasi
Penyesuaian aktiviti
Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
"Pursed-lips breathing"
Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
Tanda eksaserbasi
Efek samping obat
Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

Obat-obatan

26

Dalam penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini melanjutkan pengobatan


pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru baik setelah mengalami
serangna berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru,
analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-obatan diberikan dengan tujuan mengurangi
laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai
dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Obat-obatan yang
digunakan

Bronkodilator Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis


dengan golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan
berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Misal : Dosis :
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1

mg.
Kortokosteroid
Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk oral,
setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama bagi penderita
dengan uji steroid positif.

Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH) - Mukolitik Gliseril guayakolat dapat diberikan
bila sputum mukoid.
Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu Manfaatkan
obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang terjadi pada
keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari efek
samping obat.

Edukasi
Karena keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural
lainnya, seperti keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk,
keterbatasan ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi di Puskesmas ditujukan untuk

27

mencegah bertambah beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia
dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktiviti serta mencegah eksaserbasi.
Nutrisi
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat Diberikan dalam
porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan meningkatnya derajat
sesak. Pemberian karbohidrat yang berlebihan menghasilkan Co2 yang berlebihan.
Rehabiltasi - Latihan pernapasan dengan pursed-lips - Latihan ekspektorasi - Latihan
otot pernapasan dan ekttremiti.

PPOK Eksaserasi Akut


PPOK terbagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Penatalaksanaan derajat
ringan diatasi di poliklinik rawat jalan. Derajat sedang dapat diberikan obat-obatan
perinjeksi kemudian dilanjutkan dengan peroral. Sedangkan pada eksaserbasi derajat
berat obat-obatan diberikan perinfus untuk kemudian bila memungkinkan dirujuk ke
rumah sakit yang lebih memadai setelah kondisis darurat teratasi.
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat

28

Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
Obat-obatan eksaserbasi akut
1. Penambahan dosis bronkodilator dan frekuensi pemberiannya. Bila terjadi
eksaserbasi berat obat diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau per
drip, misal :
Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap 1 jam dan

dapat dilanjutkan dengan pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam .


Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan hati-hati.
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan dengan

perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.


Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1
botol cairan infus yang dipergunakan adalah Dektrose 5%, Na Cl 0,9%

atau Ringer laktat.


2. Kortikosteroid diberikan dalam dosis maksimal, 30 mg/hari dalam 2 minggu
bila perlu dengan dosis turut bertahap (tappering off).
3. Antibiotik diberikan dengan dosis dan lama pemberian yang adekuat (minimal
10 hari dapat sampai 2 minggu), dengan kombinasi dari obat yang tersedia.
Pemilihan jenis antibiotik disesuaikan dengan efek obat terhadap kuman Gram
negatif dan Gram positif serta kuman atipik.
Di Puskesmas dapat diberikan
Lini I :
ampisilin, Kontrimoksasol, Eritromisin
Lini II :
ampisilin kombinasi kloramfenikol, eritromisin, kombinasi
kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan eritromisin
sebagai makrolid.

29

4. Diuretik Diuretik pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal jantung


kanan atau kelebihan cairan.
5. Cairan Pemberian cairan harus seimbang, pada PPOK sering disertai kor
pulmonal sehingga pemberian cairan harus hati-hati.
Rujukan dari Puskesmas ke Pelayanan Kesehatan yang lebih tinggi/Rumah
Sakit/Spesialis dilakukan bila :
PPOK derajat berat
Timbul pada usia muda
Sering terjadi eksaserbasi
Memerlukan terapi oksigen
Memerlukan terapi bedah paru
Sebagai persiapan terapi pembedahan

30

Das könnte Ihnen auch gefallen