Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
jaminan adanya perlakuan yang sama dari pemerintah baik terhadap penanaman
modal asing maupun penanaman modal dalam negeri yang tertuang dalam Pasal 4
ayat (2) sebagai berikut :
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah :
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha
bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang - undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan
kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
Perlakuan sama yang diinginkan Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal tersebut dibatasi oleh kepentingan nasional. Salah satu bentuk
kepentingan nasional tersebut dicantumkan langsung dalam Pasal 4 ayat (2) c.
Dengan kata lain perlakuan sama antara asing dan domestik tidak berlaku dalam
hal kepentingan nasional menghendaki adanya perlindungan terhadap usaha mikro,
kecil, menengah dan koperasi.
National Treatment dalam perlakuan antara asing dan domestik masih
membenarkan adanya penerapan syarat - syarat investasi yang berbeda antara
penanaman modal asing dan domestik, sepanjang penerapan syarat yang berbeda
tersebut sejalan dengan Specific of Commitment (SoC) yang menjadi komitmen
sebuah negara.
2. Perlakuan sama berdasarkan prinsip nasional Most Favoured Nation
Penerapan prinsip perlakuan sama juga dibedakan berdasarkan fase kegiatan
penanaman modal. Perlakuan sama pada prinsipnya diterapkan pada fase post
estabilishment stage atau pada kategori brown investment field. Maksudnya
perlakuan sama diberikan setelah investor masih dapat dikenal syarat - syarat yang
pada dasarnya berbeda antara asing dan domestik, misalnya syarat pemilikan
modal, syarat dan pembatasan bidang usaha, dan performance requirement
lainnya. Dengan kata lain, penerapan prinsip perlakuan sama (national treatment)
masih memberikan ruang pada pemerintah host country untuk memberikan
perlindungan kepada investor domestik terutama dengan menggunakan SoC.
Prinsip Most Favoured Nation merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan atau
perlakuan sama antara penanaman modal asing yang lain yang masuk ke suatu
wilayah teritori suatu negara tertentu. Prinsip Most Favoured Nation ini termuat
dalam Pasal I GATT. Most Favoured Nation merupakan implementasi dari larangan
Penerapan prinsip the most favoured nations ini dalam Undang - Undang No.
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mengandung pengecualian yakni pada
Pasal 6 ayat (2) bahwa perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2)
disebutkan pengertian hak istimewa tersebut sebagai kesatuan kepabeanan,
wilayah perdagangan bebas, pasar bersama (common market), kesatuan moneter,
kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah asing yang bersifat bilateral, regional, atau multilateral yang berkaitan
dengan hak istimewa tertentu dalam penyelenggaraan penanaman modal.
Prinsip non diskriminasi selalu diidentikkan dengan ketentuan - ketentuan
mengenai National Treatment (NT) dan Most Favoured Nations (MFN). Penerapan
kedua prinsip ini adalah masalah yang sangat sensitif karena beberapa hal yakni :
1. Masalah ini terpaut langsung dengan eksistensi kedaulatan sebuah negara
untuk mengatur investor dan investor asing yang berada di wilayah hukum
mereka;
2. Masalah ini berkaitan langsung dengan kemampuan sebuah negara untuk
melindungi investor dan investasi domestik mereka;
3. Terkait langsung dengan pencapaian target - target pembangunan yang
ditetapkan oleh host country.
Prinsip perlakuan sama atau non discriminatory principle didasarkan atas
alasan bahwa host country dengan menggunakan argumen - argumen tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan sering mendapat perlakuan yang berbeda atau
diskriminasi kepada penanaman modal asing. Prinsip perlakuan sama merupakan
pintu masuk yang paling strategis untuk memberikan hak yang lebih besar pada
MNC. Prinsip perlakuan sama yang luas akan mengakibatkan kehilangan
keleluasaan negara - negara berkembang dalam menerapkan syarat - syarat
tertentu yang dibebankan kepada investor asing yang akan masuk.
Padahal persyaratan - persyaratan tersebut sangat diperlukan negara
berkembang dalam upaya mereka memanfaatkan investasi asing secara optimal
bagi pembangunan nasional mereka. Misalnya untuk keperluan pembangunan
teknologi melalui persyaratan alih teknologi, untuk meningkatkan kualitas SDM
melalui pembatasan tenaga asing untuk didampingi oleh tenaga lokal dengan
ketentuan tenaga asing dan kewajiban tenaga asing untuk didampingi oleh tenaga
lokal dengan ketentuan tenaga asing harus mentransfer pengetahuan dan skillnya
kepada tenaga lokal, persyaratan daerah berusaha untuk memastikan pemerataan
pembangunan dan percepatan pembangunan infrastruktur di daerah - daerah,
persyaratan partisipasi modal dan pembatasan waktu dengan tujuan untuk
membagi kesejahteraan melalui keuntungan untuk membagi kesejahteraan melalui
keuntungan kepada pengusaha nasional dan untuk memastikan bahwa pada suatu
1. Kepastian Hukum;
2. Keterbukaan;
3. Akuntabilitas;
4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
5. Kebersamaan;
6. Efisiensi berkeadilan;
7. Berkelanjutan;
8. Berwawasan Lingkungan;
9. Kemandirian;
10.Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Asas yang menjadi kekhawatiran masyarakat yang pada undang - undang
sebelumnya tidak dikenal adanya asas perlakuan yang sama (non diskriminatif).
Asas ini baru dikenal pada Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal, dimana situasi perdagangan dunia pada waktu penerbitan Undang - Undang
No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal telah berubah mengikuti arus
globalisasi dan kecendrungan keinginan dunia usaha yang menghendaki perlakuan
yang sama bagi semua peserta dalam perdagangan bebas.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi MIGA yang salah satu
klausula didalamnya adalah bahwa negara - negara penandatangan konvensi tidak
ICSID
ICSID atau Konvensi Washington;
1. Menciptakan pusat penyelesaian sengketa investasi internasional.
2. Tujuannya adalah untuk memberikan fasilitas konsiliasi dan arbitrase
sengketa investasi di antara negara-negara penandatangan Konvensi dan
warga negara negara-negara penandatangan Konvensi lainnya.
3. Secara internasional memberikan kedudukan istimewa bagi individu untuk
menjadi subjek hukum ekonomi internasional.
4. Bersifat institusional karena terwujud dalam suatu kelembagaan.
Syarat-syarat suatu sengketa dapat diajukan ke ICSID :
1. Para pihak harus sepakat untuk mengajukan sengketa mereka kepada ICSID.
2. Sengketa haruslah terjadi antara negara penandatangan Konvensi atau
organ-organ negara tersebut dan warga negara penandatangan konvensi.
3. Sengketa timbul karena suatu investasi.
Arbitrase ICSID (mengenai kesepakatan);
UNCITRAL
Tujuan; harmonisasi di bidang penyelesaian sengketa komersial internasional.
Menghasilkan peraturan arbitrase dan konsiliasi, adapun produknya adalah:
1. Conciliation Rules,
Pasal 1: Application ofthe rules;
a. Contractual or other legal relationship amicable (damai), agree that these
rules will apply.
b. Agree to exclude or vary (boleh dimodifikasi/ aturan domestik boleh
dipakai/ fleksibel).
c. Domestic rules shall apply in conflict.
Pasal 2: Proses pengajuan,
a. Written invitation,
b. Confirming in writing (ada jangka waktu).
c. Reject... will be no conciliation
2. Arbitration Rules,
Ruang lingkup:
a. Berlaku hanya berdasarkan prrjanjian tertulis/contract -arbitration clause.
b. Sengketa dagang/international trade.
c. Modification rules.
Dalam hal ini yaitu terhadap; pihak yang mengangkat arbiter, tempat,
jumlah, dan bahasa.
Berkenaan dengan jumlah arbiter maka bila belum ada ... dipilih 3 orang
(oleh Appointing Authority)
a. Peraturan substantif; para pihak dapat memilih hukum mana yang
dipergunakan.
b. Sistem hukum tunggal dari suatu negara.
c. Dapat pula memutuskan berdasarkan amiable compositeur atau ex
auquo et bono.
d. Memakai ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kebiasaan dalam
perdagangan internasional/trade usage
3. Model Law,
yaitu aturan-aturan tentang arbitrase yang nantinya bisa dimasukkan ke
dalam hukum nasional negara-negara tanpa harus diratifikasi terlebih
dahulu.
Keputusan :
1. Suara mayoritas dari para arbitrator,
2. Suara mayoritas hanya terjadi bila terdapat tiga arbitrator,
STUDI KASUS
KASUS AMCO CORP. Vs REPUBLIK INDONESIA
Kasus Posisi
Tahun 1964, PT. Bluntas memulai pembangunan konstruksi Hotel Kartika
Plaza.
Tahun 1965, Pembangunan terhenti karena macet. PT. Bluntas berganti nama
menjadi PT. Wisma Kartika (di bawah pengawasan PT. INKOPAD).
Tahun 1968, PT. Wisma Kartika mengadakan perjanjian dengan AMCO Corp.
dalam penyelesaian pembangunan hotel melalui lease and management
agreement (Profit - sharing). Dimuat klausul arbitrase, yaitu arbitrase ICSID.
Tahun 1972, pembangunan hotel selesai.
Tahun 1980, muncul sengketa, yaitu berkenaan dengan :
a. Pelaksanaan management Hotel Kartika Plaza,
b. Saham (PT. Wisma Kartika tidak mendapat bagian saham).
PT. Wisma Kartika memutuskan keikutsertaan management Amco Corp.
Izin penanaman modal dicabut oleh Ketua BKPM pada tanggal 9 Juli 1980.
Penyelesaian secara damai gagal.
Tahap I :
Tanggal 15 Januari 1981, AMCO Corp. mengajukan sengketa ke ICSID.
Composition of Tribunal :
President
: Berhold Goldman (French)
Arbitrators : Isl Foighel (Danish), Edward W. Rubin (Canadian)
RI dianggap melakukan pelanggaran hukum.
RI berprndapat ICSID tidak berwenang (dengan penafsiran sempitnya).
AMCO Corp. berpendapat tidak ada dalam prinsip Hukum Internasional yang
mengharuskan dilakukan penafsiran secara sempit terhadap klausul arbitrase,
sehingga bahwa perusahaan dalam klausul arbitrase harus ditafsirkan sebagai
perusahaan penanam modal, tidak hanya PT. AMCO sebagai pelaksana utama
tapi juga perusahaan yang menguasai saham-saham dan modalnya, yaitu
AMCO Asia.
Dewan Arbitrase menolak prisip penafsiran seperti yang dilakukan Indonesia.
Tanggal 21 November 1984, Keputusan Pertama arbitrase ICSID
memenangkan AMCO Corp.
Tahap pertama Indonesia harus membayar US$ 4.200.000,- dari jumlah yang
dituntutkan oleh AMCO sebesar US$ 12.000.000.
Tahap II :
Tanggal 18 Maret 1985, berdasarkan pasal 52 Konvensi ICSID, maka RI
mengajukan permohonan pembatalan keputusan (annulment), dengan alasan :
a. ICSID telah melampaui wewenangnya (manifestly exceeded its powers).
b. ICSID telah melanggar suatu kaidah prosedural yang asasi.
c. ICSID
tidak
dapat
menyatakan
dasar-dasar
dan
alasan-alasan
keputusannya.
RI dianggap melanggar hukum tapi AMCO sendiri juga wanprestasi.
Tanggal 16 Mei 1986, Dewan Arbitrase Ad Hoc ICSID dibentuk.
Composition of Tribunal :
President : Ignaz Seidl-Hohenveldern (Austrian)
Arbitrators : Florentio P. Feliciano (Philippine), Andrea Giardina (Canadian)
Terhadap keputusan pertama :
a. sebagian keputusan dibatalkan,
b. sebagian keputusan diperiksa.
Adapun yang dianggap keliru terhadap Dewan Arbitrase pertama adalah
bahwa panitia pertama telah secara keliru langsung mempergunakan hukum
internasional dan perasaan keadilan mereka sendiri, sedangkan menurut
ketentuan ICSID sendiri seharusnya menggunakan Law of The Host State.
Berdasarkan fakta baru, Indonesia tidak mengetahui jika perusahaan AMCO
yang didaftarkan di negara bagian Delaware AS telah dilebur dalam sebuah
perusahaan baru pada saat sebulan setelah keputusan Dewan Arbitrase tahap
1 keluar, dan berdasarkan pasal 42 (1) Konvensi, maka hukum Indonesia-lah
yang berlaku, sehingga kalau dilebur akan mengakibatkan perusahaan
tersebut terhenti untuk melakukan perbuatan hukum apapun termasuk dalam
berarbitrase.
Dewan tidak setuju, berpendapat bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di
negara peleburan itu terjadi, sehingga yang berlaku adalah hukum negara
bagian Delaware itu sendiri (Section 278 Delaware general Corporation Law).
Dewan melakukan accounting khusus sehingga dicapai jumlah US$ 2.472.290,
dan dewan berpendapat bahwa kekurangan sekitar US$ 600.000 tidak