Sie sind auf Seite 1von 11

Kebijakan Dasar Pemerintah Terhadap Investor Asing dan Domestik

Adapun prinsip - prinsip perdagangan internasional sebagaimana diatur dalam GATT


- WTO yang telah menjadi prinsip penanaman modal asing, yakni :
1. Perlakuan sama berdasarkan prinsip nasional National Treatment
Principle
Prinsip National Treatment mengatur tentang perlakuan yang sama antara
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri di suatu wilayah
teritori negara tertentu. Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT.
Perlakuan nasional yang saling menguntungkan (Mutual National Treatment)
menawarkan hak - hak penuh untuk masuk dan berdirinya investasi asing
berdasarkan pada perlakuan nasional untuk semua individu dan badan hukum yang
terlibat dalam aktivitas bisnis lintas batas territorial dari negara - negara anggota
suatu organisasi integrasi ekonomi kawasan tertentu. Prinsip ini berlaku luas. Prinsip
ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan - pungutan lainnya.
Berlaku pula terhadap perundang - undangan, pengaturan dan persyaratan persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan,
distribusi atau penggunaan produk - produk di pasar dalam negeri. Perlakuan
nasional ini membentuk satu rejim bersama untuk perizinan dan masuknya investor
dari negara - negara anggota. Jiwa dari prinsip national treatment adalah adanya
perlakuan sama oleh suatu negara baik terhadap kepentingannya sendiri maupun
terhadap kepentingan negara lain. Prinsip national treatment ini menghindari
diterapkannya peraturan - peraturan yang menerapkan peraturan - peraturan yang
menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat untuk memberikan
proteksi terhadap produk - produk buatan dalam negeri. Prinsip national treatment
merupakan suatu kewajiban dalam General Agreement on Trade in Services (GATS)
yang mana negara - negara secara eksplisit harus menrapkan prinsip ini terhadap
jasa - jasa atau kegiatan jasa - jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip national
treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari
negosiasi atau perundingan diantara negara - negara anggota. Persaingan yang adil
antara produk impor dan produk dalam negeri maka terjadi perbaikan kinerja pada
produksi dalam negeri untuk lebih efisien sehingga dapat bersaing dengan produk
impor, sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih menguntungkan karena
memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih baik dan harga yang
lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru tindakan yang demikian
dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk mengambil keputusan bisnis
yang lebih bebas. Dirjen GATT memberikan illustrative list yang berisi gambaran
tentang tindakan persyaratan penanaman modal yang dilarang terdapat dua ukuran
untuk menyatakan suatu persyaratan penanaman modal melanggar ketentuan
Article III.4 GATT 1994 yaitu persyaratan penggunaan komponen buatan dalam
negeri (local content requirement) dan persyaratan keseimbangan perdagangan
(trade balancing requirement). Perlakuan sama dalam konteks national treatment
pada Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal adalah

jaminan adanya perlakuan yang sama dari pemerintah baik terhadap penanaman
modal asing maupun penanaman modal dalam negeri yang tertuang dalam Pasal 4
ayat (2) sebagai berikut :
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah :
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha
bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang - undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan
kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
Perlakuan sama yang diinginkan Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal tersebut dibatasi oleh kepentingan nasional. Salah satu bentuk
kepentingan nasional tersebut dicantumkan langsung dalam Pasal 4 ayat (2) c.
Dengan kata lain perlakuan sama antara asing dan domestik tidak berlaku dalam
hal kepentingan nasional menghendaki adanya perlindungan terhadap usaha mikro,
kecil, menengah dan koperasi.
National Treatment dalam perlakuan antara asing dan domestik masih
membenarkan adanya penerapan syarat - syarat investasi yang berbeda antara
penanaman modal asing dan domestik, sepanjang penerapan syarat yang berbeda
tersebut sejalan dengan Specific of Commitment (SoC) yang menjadi komitmen
sebuah negara.
2. Perlakuan sama berdasarkan prinsip nasional Most Favoured Nation
Penerapan prinsip perlakuan sama juga dibedakan berdasarkan fase kegiatan
penanaman modal. Perlakuan sama pada prinsipnya diterapkan pada fase post
estabilishment stage atau pada kategori brown investment field. Maksudnya
perlakuan sama diberikan setelah investor masih dapat dikenal syarat - syarat yang
pada dasarnya berbeda antara asing dan domestik, misalnya syarat pemilikan
modal, syarat dan pembatasan bidang usaha, dan performance requirement
lainnya. Dengan kata lain, penerapan prinsip perlakuan sama (national treatment)
masih memberikan ruang pada pemerintah host country untuk memberikan
perlindungan kepada investor domestik terutama dengan menggunakan SoC.
Prinsip Most Favoured Nation merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan atau
perlakuan sama antara penanaman modal asing yang lain yang masuk ke suatu
wilayah teritori suatu negara tertentu. Prinsip Most Favoured Nation ini termuat
dalam Pasal I GATT. Most Favoured Nation merupakan implementasi dari larangan

perlakuan diskriminasi. Dalam konteks yang sangat umum di bidang perdagangan


barang, Most Favoured Nation merefleksikan ketentuan tentang pemberian konsensi
kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara.88 Di
dalam perjanjian - perjanjian bilateral, multilateral prinsip ini selalu dituangkan
untuk menarik masuknya penanaman modal asing ke wilayah negara tertentu.
Perlakuan Most Favoured Nation (MFN) untuk para investor dari negara negara bukan anggota biasanya tidak tersedia. Perlakuan nasional kombinasi
menawarkan hak penuh untuk masuk dan berdirinya investasi asing (sesudah dan
sebelum masuk) berdasarkan pada perlakuan nasional atau MFN yang lebih baik.
Para investor dari negara - negara anggota mendapat hak dan perlakuan
yang sama untuk mengakses semua keperluan sebagaimana diperoleh oleh para
investor dalam negeri ataupun investor dari negara - negara berkembang.
Perlakuan nasional kombinasi tidak tersedia buat para investor dari negara - negara
bukan anggota. Perlakuan nasional kombinasi menyarankan pilihan - pilihan
kebijakan untuk mengikuti model perlakuan nasional/MFN sepenuhnya, membuka
kesempatan masuk, dan berdirinya investasi asing dari para investor dari negara negara yang terikat perjanjian berdasarkan pada keadaan yang lebih baik dari dua
standar yang digunakan ini. Investor hanya dilarang untuk masuk ke industri industri yang termasuk dalam daftar negatif. Keberadaan daftar negatif untuk
pengecualian beberapa industri memberi tekanan bahwa industri strategis tertentu
berada diluar jangkauan liberalisasi. Hanya dihilangkan hak - hak untuk memasuki
industri yang masuk dalam daftar negatif (negative lists) untuk investasi asing.
Tujuannya adalah untuk memperluas hak - hak masuk dan berdirinya investasi
asing.
Pada intinya, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan
semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian pengecualiannya, khususnya dalam menyangkut kepentingan negara sedang
berkembang. Jadi berdasarkan prinsip ini, suatu negara anggota pada pokoknya
dapat menuntut untuk diperlakuan sama terhadap produk impor dan ekspornya di
negara - negara anggota lain.
Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal juga
mengatur tentang penerapan perlakuan sama dalam pengertian the most favoured
nations, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) yakni pemerintah
memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal
dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. Artinya, pada
prinsipnya pemerintah Indonesia tidak akan memberikan perlakuan khusus atau
perlakuan yang lebih baik terhadap satu investor dari negara tertentu dibandingkan
dengan investor dari negara lainnya.

Penerapan prinsip the most favoured nations ini dalam Undang - Undang No.
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mengandung pengecualian yakni pada
Pasal 6 ayat (2) bahwa perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2)
disebutkan pengertian hak istimewa tersebut sebagai kesatuan kepabeanan,
wilayah perdagangan bebas, pasar bersama (common market), kesatuan moneter,
kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah asing yang bersifat bilateral, regional, atau multilateral yang berkaitan
dengan hak istimewa tertentu dalam penyelenggaraan penanaman modal.
Prinsip non diskriminasi selalu diidentikkan dengan ketentuan - ketentuan
mengenai National Treatment (NT) dan Most Favoured Nations (MFN). Penerapan
kedua prinsip ini adalah masalah yang sangat sensitif karena beberapa hal yakni :
1. Masalah ini terpaut langsung dengan eksistensi kedaulatan sebuah negara
untuk mengatur investor dan investor asing yang berada di wilayah hukum
mereka;
2. Masalah ini berkaitan langsung dengan kemampuan sebuah negara untuk
melindungi investor dan investasi domestik mereka;
3. Terkait langsung dengan pencapaian target - target pembangunan yang
ditetapkan oleh host country.
Prinsip perlakuan sama atau non discriminatory principle didasarkan atas
alasan bahwa host country dengan menggunakan argumen - argumen tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan sering mendapat perlakuan yang berbeda atau
diskriminasi kepada penanaman modal asing. Prinsip perlakuan sama merupakan
pintu masuk yang paling strategis untuk memberikan hak yang lebih besar pada
MNC. Prinsip perlakuan sama yang luas akan mengakibatkan kehilangan
keleluasaan negara - negara berkembang dalam menerapkan syarat - syarat
tertentu yang dibebankan kepada investor asing yang akan masuk.
Padahal persyaratan - persyaratan tersebut sangat diperlukan negara
berkembang dalam upaya mereka memanfaatkan investasi asing secara optimal
bagi pembangunan nasional mereka. Misalnya untuk keperluan pembangunan
teknologi melalui persyaratan alih teknologi, untuk meningkatkan kualitas SDM
melalui pembatasan tenaga asing untuk didampingi oleh tenaga lokal dengan
ketentuan tenaga asing dan kewajiban tenaga asing untuk didampingi oleh tenaga
lokal dengan ketentuan tenaga asing harus mentransfer pengetahuan dan skillnya
kepada tenaga lokal, persyaratan daerah berusaha untuk memastikan pemerataan
pembangunan dan percepatan pembangunan infrastruktur di daerah - daerah,
persyaratan partisipasi modal dan pembatasan waktu dengan tujuan untuk
membagi kesejahteraan melalui keuntungan untuk membagi kesejahteraan melalui
keuntungan kepada pengusaha nasional dan untuk memastikan bahwa pada suatu

saat pengusaha nasional menjadi mayoritas dalam usaha yang bersangkutan,


demikian juga persyaratan divestasi. Jika persyaratan tersebut dihilangkan
perusahaan MNC akan menjadi lebih leluasa dan memperoleh hak - hak baru yang
dilindungi dalam kerangka hukum internasional.
Prinsip national treatment dan prinsip most favoured national merupakan
prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip - prinsip lainnya dalam GATT. Dalam
sistem GATT, prinsip national treatment dan prinsip most favoured national
menjamin tidak adanya tindakan diskriminatif diterapkan oleh negara - negara
anggota. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang - bidang
perdagangan yang lahir dalam perjanjian putaran Uruguay. Kedua prinsip ini juga
berlaku dalam General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara
- negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama
terhadap jasa - jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara
lainnya.
Perekonomian dunia yang ditandai dengan persaingan antar bangsa yang
semakin ketat menjadi pemicu terbitnya Undang - Undang No. 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal. Pada prinsipnya ada 2 (dua) sistem perlakuan sama
yang dianut dalam Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
yakni national treatment dan most favoured national. Adapun asas - asas yang
terkandung dalam Pasal 3 Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal yakni :

1. Kepastian Hukum;
2. Keterbukaan;
3. Akuntabilitas;
4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
5. Kebersamaan;
6. Efisiensi berkeadilan;
7. Berkelanjutan;
8. Berwawasan Lingkungan;
9. Kemandirian;
10.Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Asas yang menjadi kekhawatiran masyarakat yang pada undang - undang
sebelumnya tidak dikenal adanya asas perlakuan yang sama (non diskriminatif).
Asas ini baru dikenal pada Undang - Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal, dimana situasi perdagangan dunia pada waktu penerbitan Undang - Undang
No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal telah berubah mengikuti arus
globalisasi dan kecendrungan keinginan dunia usaha yang menghendaki perlakuan
yang sama bagi semua peserta dalam perdagangan bebas.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi MIGA yang salah satu
klausula didalamnya adalah bahwa negara - negara penandatangan konvensi tidak

boleh menciptakan diskriminasi bagi penanam modal dalam negeri terhadap


penanam modal asing. Dalam kesepakatan GATT - WTO khususnya yang berkaitan
dengan perdagangan dan investasi yang disebut dengan Trade Related Investment
Measures (TRIMs) ditentukan juga bahwa setiap negara penandatangan persetujuan
TRIMs tidak boleh membeda - bedakan antara penanam modal dalam negeri
dengan penanam modal asing.
Namun apabila diteliti asas perlakuan yang sama hanya sebatas untuk hal hal yang berkaitan dengan pengurusan perizinan penanaman modal, dan belum
mencakup perlakuan yang sama terhadap bidang - bidang usaha yang dapat
dimasuki untuk kegiatan penanaman modal. Pemerintah memandang perlu untuk
mempertahankan kebijakan tersebut dalam semangat liberalisasi perdagangan.

ICSID
ICSID atau Konvensi Washington;
1. Menciptakan pusat penyelesaian sengketa investasi internasional.
2. Tujuannya adalah untuk memberikan fasilitas konsiliasi dan arbitrase
sengketa investasi di antara negara-negara penandatangan Konvensi dan
warga negara negara-negara penandatangan Konvensi lainnya.
3. Secara internasional memberikan kedudukan istimewa bagi individu untuk
menjadi subjek hukum ekonomi internasional.
4. Bersifat institusional karena terwujud dalam suatu kelembagaan.
Syarat-syarat suatu sengketa dapat diajukan ke ICSID :
1. Para pihak harus sepakat untuk mengajukan sengketa mereka kepada ICSID.
2. Sengketa haruslah terjadi antara negara penandatangan Konvensi atau
organ-organ negara tersebut dan warga negara penandatangan konvensi.
3. Sengketa timbul karena suatu investasi.
Arbitrase ICSID (mengenai kesepakatan);

1. Ratifikasi suatu negara penandatangan konvensi tidak serta merta


menyebabkan terjadinya kesepakatan untuk menyelesaikan secara arbitrase
ICSID.
2. Suatu negara penandatangan konvensi wajib untuk menyelesaikan sengketa
ini secara arbitrase di ICSID hanya apabila negara itu secara khusus setuju
untuk membawa suatu sengketa tertentu atau jenis-jenis sengketa tertentu
ke ICSID.
3. Suatu negara bisa menentukan dalam menyelesaikan suatu sengketanya
dengan non arbitrase klausul terhadap bidang-bidang investasi tertentu
untuk tidak terikat ICSID (pasal 25 ayat (4) Konvensi), contohnya; Arab Saudi,
Papua New Guinea, dan Guyana.
4. Arbitrase ICSID mempunyai jurisdiksi yang eksklusif, diberlakukan dengan
mengenyampingkan pengadilan-pengadilan negeri dari kewenangannya
terhadap sengketa investasi yang diajukan ke ICSID.
5. Tidak ada upaya hukum untuk penetapan sementara.
6. Tidak ada peninjauan kembali atas isi putusan.
Exhausted of Local Remedies (penyelesaian sengketa setempat).
Putusan
Putusan ICSID;
1. Adalah mengikat dan tidak dapat ditinjau kembali oleh pengadilan.
2. Suatu negara penandatangan konvensi harus mengakui dan melaksanakan
putusan ICSID sebagaimana melaksanakan suatu putusan akhir Hakim suatu
pengadilan di negara tersebut.
3. Pada tahun 1978 terdapat additional protocol dimana berdasarkan additional
protocol ini maka ICSID bisa digunakan bagi negara non anggota dan bukan
hanya masalah investasi tapi juga masalah perdagangan internasional.
4. ICSID bersifat fleksibel, artinya para pihak bebas menentukan hukum mana
yang dianut.
Pilihan Hukum;
1. Para pihak bebas untuk menunjuk peraturan hukum mana yang akan diikuti
oleh pengadilan tersebut.
2. Apabila tidak ada kesepakatan, pengadilan akan memakai hukum dari negara
penandatangan konvensi bagi sengketa tersebut (termasuk aturan-aturan
Hukum Antar Tata Hukum) dan aturan-aturan Hukum Internasional serupa
yang dapat diterapkan.
Dalam ICSID ada 2 mekanisme, yaitu :
1. Correction
Apabila terdapat kesalahan dalam administrasi.
2. Annulment (pembatalan),
Suatu pihak dapat meminta pembatalan atas suatu putusan dengan alasan
bahwa ;

a. Pengadilan (panel arbitrase) tersebut tidak terbentuk secara wajar.


b. Pengadilan tersebut jelas-jelas bertindak melebihi wewenang yang dimiliki.
c. Seorang anggota pengadilan korup.
d. Ada penyimpangan yang serius dari ketentuan prosedur yang mendasar.
e. Putusan tersebut tidak menjelaskan alasan-alasannya.

UNCITRAL
Tujuan; harmonisasi di bidang penyelesaian sengketa komersial internasional.
Menghasilkan peraturan arbitrase dan konsiliasi, adapun produknya adalah:
1. Conciliation Rules,
Pasal 1: Application ofthe rules;
a. Contractual or other legal relationship amicable (damai), agree that these
rules will apply.
b. Agree to exclude or vary (boleh dimodifikasi/ aturan domestik boleh
dipakai/ fleksibel).
c. Domestic rules shall apply in conflict.
Pasal 2: Proses pengajuan,
a. Written invitation,
b. Confirming in writing (ada jangka waktu).
c. Reject... will be no conciliation
2. Arbitration Rules,
Ruang lingkup:
a. Berlaku hanya berdasarkan prrjanjian tertulis/contract -arbitration clause.
b. Sengketa dagang/international trade.
c. Modification rules.
Dalam hal ini yaitu terhadap; pihak yang mengangkat arbiter, tempat,
jumlah, dan bahasa.
Berkenaan dengan jumlah arbiter maka bila belum ada ... dipilih 3 orang
(oleh Appointing Authority)
a. Peraturan substantif; para pihak dapat memilih hukum mana yang
dipergunakan.
b. Sistem hukum tunggal dari suatu negara.
c. Dapat pula memutuskan berdasarkan amiable compositeur atau ex
auquo et bono.
d. Memakai ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kebiasaan dalam
perdagangan internasional/trade usage
3. Model Law,
yaitu aturan-aturan tentang arbitrase yang nantinya bisa dimasukkan ke
dalam hukum nasional negara-negara tanpa harus diratifikasi terlebih
dahulu.
Keputusan :
1. Suara mayoritas dari para arbitrator,
2. Suara mayoritas hanya terjadi bila terdapat tiga arbitrator,

3. Ketua arbitrator berwenang untuk memutuskan.


Penghentian sidang dapat dilakukan scbelum keluar award/ sebelum
terminations.
Appointing Authority:
a. Adminitrasi arbitrase,
b. Mengangkat arbiter,
c. Mereview sanggahan,
d. Menentukan fee.
Prosedur :
a. Surat gugatan/statement of claims,
b. Statement of defence (jawaban),
c. Provisionil measure/interem award.
Hukum yang berlaku:
1. Hukum Materiil;
a. Kesepakatan para pihak, jika tidak maka;
b. Hukum Perdata Internasional diberlakukan.
2. Hukum Formil;
a. Hukum tempat dimana arbitrase akan dilakukan.
b. Bila in conflict dengan Hukum nasional maka hukum nasional yang
diberlakukan.
Correction of The Award:
a. Error in computation,
b. Any Clerical or typographical error.
Putusan :
1. Amiable compositeur atau ex aequo et bono (harus tertulis).
2. Term in contract (termasuk trade usage)

STUDI KASUS
KASUS AMCO CORP. Vs REPUBLIK INDONESIA
Kasus Posisi
Tahun 1964, PT. Bluntas memulai pembangunan konstruksi Hotel Kartika
Plaza.
Tahun 1965, Pembangunan terhenti karena macet. PT. Bluntas berganti nama
menjadi PT. Wisma Kartika (di bawah pengawasan PT. INKOPAD).
Tahun 1968, PT. Wisma Kartika mengadakan perjanjian dengan AMCO Corp.
dalam penyelesaian pembangunan hotel melalui lease and management
agreement (Profit - sharing). Dimuat klausul arbitrase, yaitu arbitrase ICSID.
Tahun 1972, pembangunan hotel selesai.
Tahun 1980, muncul sengketa, yaitu berkenaan dengan :
a. Pelaksanaan management Hotel Kartika Plaza,
b. Saham (PT. Wisma Kartika tidak mendapat bagian saham).
PT. Wisma Kartika memutuskan keikutsertaan management Amco Corp.
Izin penanaman modal dicabut oleh Ketua BKPM pada tanggal 9 Juli 1980.
Penyelesaian secara damai gagal.

Tahap I :
Tanggal 15 Januari 1981, AMCO Corp. mengajukan sengketa ke ICSID.
Composition of Tribunal :
President
: Berhold Goldman (French)
Arbitrators : Isl Foighel (Danish), Edward W. Rubin (Canadian)
RI dianggap melakukan pelanggaran hukum.
RI berprndapat ICSID tidak berwenang (dengan penafsiran sempitnya).
AMCO Corp. berpendapat tidak ada dalam prinsip Hukum Internasional yang
mengharuskan dilakukan penafsiran secara sempit terhadap klausul arbitrase,
sehingga bahwa perusahaan dalam klausul arbitrase harus ditafsirkan sebagai
perusahaan penanam modal, tidak hanya PT. AMCO sebagai pelaksana utama
tapi juga perusahaan yang menguasai saham-saham dan modalnya, yaitu
AMCO Asia.
Dewan Arbitrase menolak prisip penafsiran seperti yang dilakukan Indonesia.
Tanggal 21 November 1984, Keputusan Pertama arbitrase ICSID
memenangkan AMCO Corp.
Tahap pertama Indonesia harus membayar US$ 4.200.000,- dari jumlah yang
dituntutkan oleh AMCO sebesar US$ 12.000.000.
Tahap II :
Tanggal 18 Maret 1985, berdasarkan pasal 52 Konvensi ICSID, maka RI
mengajukan permohonan pembatalan keputusan (annulment), dengan alasan :
a. ICSID telah melampaui wewenangnya (manifestly exceeded its powers).
b. ICSID telah melanggar suatu kaidah prosedural yang asasi.
c. ICSID
tidak
dapat
menyatakan
dasar-dasar
dan
alasan-alasan
keputusannya.
RI dianggap melanggar hukum tapi AMCO sendiri juga wanprestasi.
Tanggal 16 Mei 1986, Dewan Arbitrase Ad Hoc ICSID dibentuk.
Composition of Tribunal :
President : Ignaz Seidl-Hohenveldern (Austrian)
Arbitrators : Florentio P. Feliciano (Philippine), Andrea Giardina (Canadian)
Terhadap keputusan pertama :
a. sebagian keputusan dibatalkan,
b. sebagian keputusan diperiksa.
Adapun yang dianggap keliru terhadap Dewan Arbitrase pertama adalah
bahwa panitia pertama telah secara keliru langsung mempergunakan hukum
internasional dan perasaan keadilan mereka sendiri, sedangkan menurut
ketentuan ICSID sendiri seharusnya menggunakan Law of The Host State.
Berdasarkan fakta baru, Indonesia tidak mengetahui jika perusahaan AMCO
yang didaftarkan di negara bagian Delaware AS telah dilebur dalam sebuah
perusahaan baru pada saat sebulan setelah keputusan Dewan Arbitrase tahap
1 keluar, dan berdasarkan pasal 42 (1) Konvensi, maka hukum Indonesia-lah
yang berlaku, sehingga kalau dilebur akan mengakibatkan perusahaan
tersebut terhenti untuk melakukan perbuatan hukum apapun termasuk dalam
berarbitrase.
Dewan tidak setuju, berpendapat bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di
negara peleburan itu terjadi, sehingga yang berlaku adalah hukum negara
bagian Delaware itu sendiri (Section 278 Delaware general Corporation Law).
Dewan melakukan accounting khusus sehingga dicapai jumlah US$ 2.472.290,
dan dewan berpendapat bahwa kekurangan sekitar US$ 600.000 tidak

merupakan kriteria yang materiil untuk dapat melakukan pencabutan izin


penanaman modal.
Pembatalan keputusan Panitia Ad Hoc telah dilakukan dengan modifikasi
tertentu with qualifications. Adapun yang dipertahankan adalah bahwa
Indonesia bertanggung jawab secara internasional terhadap kurangnya
pemberian perlindungan terhadap pihak investor, yakni bahwa pihak
Kepolisian RI dan TNI telah hadir pada saat secara de facto dan fisik
mengambil alih gedung dan manajemen hotel. Tindakan ini dianggap identik
dengan main Hakim sendiri (illegal selfhelp).
Tahap III :
Tanggal 12 Mei 1987, AMCO Corp. mengajukan tuntutannya kembali.
Tanggal 12 Descmber 1987, Arbitrase baru dibentuk dan menetapkan bagian
mana yang dibatalkan dan bagian mana yang tetap berlaku.
Composition of Tribunal :
President : Sompong Sucharitkul (Thai)
Arbitrators : Arghyrio A. Fatouros (Greek), Dietrich (Swiss).
Tahun 1992, RI dinyatakan kalah, dan diharuskan membayar ganti kerugian
sebesar US$ 2.600.000.

Das könnte Ihnen auch gefallen