Sie sind auf Seite 1von 6

Aliran Filsafat Rasionalisme

I.

Pendahuluan
Menurut Mohammad Zamroni dalam bukunya Filsafat, Ilmu dan Komunikasi,

filsafat adalah usaha untuk memahami dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya.
Bidang filsafat sangat luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau
oleh fikiran. Filsafat berusaha untuk hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral,
estetik dan agama. Para filsuf telah mencari suatu pandangan tentang hidup secara
terpadu, menemukan maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang
beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia didalamnya.
Menurut sejarah, Pythagoras (571-497M) adalah orang yang pertama kali
memakai kata philosopia. Ketika beliau ditanya apakah dirinya sebagai orang
bijaksana, maka pythagoras dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai
philosopos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Banyak sumber
menegaskan bahwa sophia mengandung arti lebih luas daripada kebijaksanaan
hingga disimpulkan bahwa asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya
adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excelence).
Namun demikian (Stefanus Supriyanto,2013: 22)

menuliskan filsafat

merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan.


Kebijaksanaan merupakan wujud ideal dalam kehidupan manusia, karena akan
menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan
kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sebagaimana yang
biasa dilakukan manusia (actus homini). Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai
dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah dan kebiasaan tertentu.
Akan tetapi dikarenakan sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi
sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara
membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada
zaman modern ini pada umumnya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu
filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan
1. Metode Historis; yaitu dengan mempelajari sejarah perkembangan sejak
dahulu kala hingga sekarang, Di sini dikemukakan riwayat hidup tokohtokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang
logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti

juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan


(kronologis) menurut waktu masing masing
2. Metode Sitematis yaitu dengan cara mempelajari isi atau lapangan
pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu. Dalam metode ini
orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak
mementingkan

urutan

zaman

perjuangannya

masing-masing.

Orang

membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu.


Pemahaman terhadap filsafat dapat juga dilakukan melalui pemahaman terhadap
tokoh-tokoh dan aliran-alirannya, dan dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran,
berbagai isme bermunculan. Aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat juga sangat
banyak dan kompleks. Secara garis besar aliran-aliran ini terbagi menjadi tiga yakni
aliran metafisika yang mempersoalkan tentang keberadaan (being) atau eksistensi,
aliran etika yang mempersoalkan tentang nilai-nilai dan aliran teori pengetahuan
yang mempertanyakan soal pengetahuan atau kebenaran.
Aliran metafisika atau yang mempersoalkan keberadaan menimbulkan tiga segi
pandangan yaitu;
1. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas) yang melahirkan aliran
filsafat; Monisme, Dualisme dan Pluralisme
2. Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas), menimbulkan beberapa
aliran filsafat; Spiritualisme, Materialisme
3. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan. Aliran
yang berusaha menjawab persoalan ini yakni: Mekanisme, Teleologi,
Vitalisme,Organisme, Determinisme, Indeterminisme
Aliran etika atau yang mempersoalkan tentang nilai-nilai melahirkan beberapa
aliran seperti; Naturalisme, Hedonisme, Utilitarianisme, Theologis.
Aliran teori pengetahuan yang mencoba menjawab pertanyaan, bagaimana
manusia mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan berlaku,
terbagi menjadi dua golongan yakni;
1. Golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan, dijawab oleh
aliran aliran; Rasionalisme, Empirisme, Realisme, Kritisisme.
2. Golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia, termasuk
kedalamnya; Idealisme, Empirisme, Positivisme, Pragmatisme.

II.

Aliran Rasionalisme

Apabila kita belajar filsafat dengan metode pertama atau metode historik,
munculnya aliran rasionalisme ini dimasukan kedalam tahap awal mulanya filasafat
zaman modern, meski sebenarnya era permulaan kemajuan filsafat itu dimulai oleh
era dimana terjadi gerakan renaissance abad 15 yang kemudian dimatangkan oleh
gerakan aufklaerung dan dalam beberapa literatur era ini disebut dengan zaman
pencerahan, karena era ini merupakan era dimana disebut sebagai era perubahan
dari era abad pertengahan yang bisa disebut era abad kegelapan atau Dark Ages.
Secara etimologi Rasionalisme berasal dari kata bahasa inggris rationalisme.
Kata ini berakar dari kata bahasa latin ratio yang berarti akal. Seorang filsuf
bernama A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme
adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi
pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan
bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh dan mengetes
pengetahuan.
Sementara secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang
berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia
menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau
unggul atas dan bebas dari pengamatan inderawi.
Rene Descartes (1595-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gotfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716) merupakan tokoh-tokoh aliran ini. Descartes juga
dianggap sebagai Bapak filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, kata bapak
pantas disematkan karena Descartes adalah orang pertama pada zaman modern itu
yang membangun filsafat atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh
pengetahuan akliah. Beliau pula orang pertama diakhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar
filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang
lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat
yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin
filsafat dilepaskan dari dominasi agama kristen, selanjutnya kembali kepada
semangat filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.

Tokoh-tokoh gereja pada saat itu masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa
dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam
(percaya dahulu baru paham) yang dipopulerkan oleh anselmus Canterbury seorang
Uskup Agung. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal,
Descartes menyusun argumentasinya tentang bagaimana memperoleh hasil yang
sahih yang diuraikan kedalam empat hal :
1.

Tidak menerima sesuatu apapun sebagai kebenaran, kecuali bila saya


melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada

suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.


2. Pecahkanlan setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian,
sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana
dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling
sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan
yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satupun
yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya.
Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas dasar panca indera. Pada
dasarnya, ia bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya harus diragukan
kebenarannya, dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas harus dipilah-pilah
hingga menjadi bagian yang kecil.
Adapun pemikiran rasionalisme lainnya Baruch Spinoza (1632-1677) yang
dianggap sebagai orang yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang
dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sebuah sistem filsafat
yang menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Seperti halnya orang yunani, Spinoza
mengatakan bahwa dali-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak
diperlukan lagi. Spinoza meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang
dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur, maka ia pasti akan
memahami makna yang terkandung dalam pernyataan sebuah garis lurus
merupakan jarak terdekat diantara dua buah titik, maka kita harus mengakui

kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang menjadi aksioma (terbukti dengan


sendirinya.
Seorang filsuf jerman Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) sama halnya
dengan spinoza yang mengikuti pemikiran Rene Descartes, berpendapat bahwa
subtansi ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat
dirumuskan, sesuatu harus mempunyai alasan. Bahkan, tuhan juga harus
mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakannya. Kita lihat bahwa hanya ada
satu substansi, sedangkan substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu
monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah
pencipta monad-monad itu.

III.

Penutup

Sederhananya aliran Rasionalisme berpandangan bahwa semua pengetahuan


bersumber pada akal. Filsafat rasionalisme mempercayai bahwa pengetahuan yang
dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia
pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi
karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau
khayalan, maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak
dapat diandalakan.
Inilah alasan mengapa para penganut Empirisme begitu kecewa dengan
Rasionalisme, karena dianggap telah menghinakan Empirisme yang meyakini
bahwa kebenaran itu berpusat kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah
satu diri sendiri adalah fungsi-fungsi inderawi, yang berhubungan juga dengan
empirisme.

DAFTAR PUSTAKA :

Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi Pengantar Ontologis,


Epistemologis, Aksiologis. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
Syekhuddin. 2009. Filsafat Modern dan Pembentukannya (Renaisans,
Rasionalisme dan Empirisme.
https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-modern-danpembentukannya-renaisans-rasionalisme-dan-empirisme/
Mujib ZA. 2012. Aliran Rasionalisme. mujibennal.blogspot.co.id/2012/10/aliran-rasionalisme-dan-empirisme.html?m=1

Das könnte Ihnen auch gefallen