Sie sind auf Seite 1von 15

Booklet KSK 16 2.

indd 1

10/20/2016 11:28:29 PM

Indonesia Kaya

Booklet KSK 16 2.indd 2-3

@IndonesiaKaya

@indonesia_kaya

10/20/2016 11:28:30 PM

Sambutan Penyelenggara
Kusala Sastra Khatulistiwa

Sambutan Ketua Juri


Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16
Hizkia Yosie Polimpung
Ketua Koperasi Riset Purusha
hypolimpung@purusha.id

Nostalgia dan Utopia Sastra

Di

era teknologi, ketika begitu banyak yang merasa bisa menulis, memotret, melukis,
mengkomposisi musik dan membuat lm, kita perlu merenungkan kembali estetika.
Karena estetika yang seyogianya sebuah disiplin yang mengkritisi dan menimbang prinsipprinsip keindahan sudah kehilangan haluannya. Sebuah karya dinilai berdasarkan suka atau
tidak suka, dipuji ataupun disampahkan tergantung kelompok mana yang lebih dominan.
Opini pada akhirnya menjadi penilai sebuah karya, bukan sebuah analisis yang mendalam,
yang menggugah dorongan untuk menerobos pagu-pagu kreasi. Keadaan ini menjadikan
semua yang beropini menjadi kritikus-kritikus. Semakin banyak pengikut para kritikus opini
ini, semakin besar peran mereka terhadap karya-karya yang diterima dan tidak diterima.
Jangan heran seandainya hari ini begitu banyak karya tak bermutu beredar begitu gencar
di mana-mana. Dan seperti juga dengan opini, karya-karya yang dipuji oleh para kritikus
opini inipun berlalu tanpa mengajukan sebuah dialog baru pembaruan berkarya. Mereka
menjadi objek-objek opini sesaat, bukan karya-karya yang menandai sebuah gerakan yang
memajukan pergelutan kreatitas.
Persis 16 tahun yang lalu, saya berdiri di sini. 16 tahun kemudian, saya berdiri di sini dalam
lanskap kesenian yang tak banyak mengalami perubahan. Tentunya, ada beberapa berita
menggembirakan, seperti karya-karya sastra kita mulai mendapat perhatian dunia. Di
sinipun, saya kira hanya sebuah pengecualian daripada sebuah gerakan dinamis yang
mendobrak pintu sastra dunia.
Kepada para penyantun Kusala Sastra Khatulistiwa yang mengikuti program ini sejak awal
atau selama perjalanannya, kami menghaturkan banyak terima kasih. Ajang penghargaan
dari komunitas kembali ke komunitas ini semoga bisa bertahan terus, dan semoga setiap
tahun bisa mengajukan karya-karya yang memajukan dialog pertukaran tentang kreasi.
Richard Oh
Founder Kusala Sastra Khatulistiwa

Booklet KSK 16 2.indd 4-5

aat mendiskusikan karya-karya nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) ke-16, kami,
yang dipercaya mengampu penjurian, semakin culas menyadari suatu spontanitas
yang diam-diam mengarahkan, saat kami menelusuri rak-rak di toko dan kios buku, daring
maupun luring, mencari-cari bahan audisi. Kaki dan mata kami seakan kompak untuk
langsung melewati begitu saja rak-rak yang berlabelkan roman remaja dan sampulsampul buku yang memantik nuansa religius, motivasional, swabantu, dan serba-serbi
tutorial praktis. Seakan ada presuposisi yang mengarahkan lirikan mata kami ke namanama tertentu, dan sebaliknya juga ada ke-suudzon-an yang mencubit telinga kami untuk
lekas mengalihkan pandangan dari nama-nama tertentu lainnya. Kami cukup merasa
beruntung karena bisa mencicip kesempatan untuk saling mempertanyakan spontanitas
ini satu sama lain; merefleksikannya, menginterogasinya, sekalipun dengan hasil yang
tidak bisa dibilang memuaskan.
Saat berbicara tentang sastra, terasa kehadiran suatu dikotomi antara sastra populer
dan sastra yang serius. Tapi saat kami saling menanyakan apa batasan dikotomi itu,
hampir seluruh penjelasannya dimulai dengan kata ehm yang lumayan panjang.
Tiba-tiba pikiran-pikiran nakal berhinggapan: bukankah ketidakjelasan batasan ini yang
menggoda upaya-upaya untuk meneguhkan pembatasan itudengan cara seperti apapun?;
bukankah ketidak-menentuan ini yang memberi insentif untuk siapapun yang memiliki
atau mampu menghimpun akses ke modal (ekonomi, sosial, kultural, simbolik dan akhirnya
politik) untuk mengklaim ini yang sastrawi!?; dan bukankah ini semua yang akhirnya
meneguhkan pengelompokan semu, dan meniupkan nuansa eksklusif satu dari yang
lainnya, dan kemudian melahirkan kultus-kultus kebegawanan nan elitis, dan pada gilirannya
meneguhkan pusat-pusat kediktatoran selera? Seperti diagnosis salah satu juri, bersastra
akhirnya menjadi suatu manuver untuk mengejar capaian paling kini dalam bentuk rekaan
sebagai manusia yang berbudaya.
Menahan impuls umum untuk ikut-ikutan membeda-bedakan kedua jenis sastra ini,
kami mencoba mencari-cari apa yang kira-kira mempersamakan keduanya. Ada satu hal
yang cukup simtomatik, yaitu mewabahnya nostalgia. Dalam bahasa Yunani, nostos berarti
kepulangan dan algos berarti rasa sakit. Tepat dalam nuansa etimologis ini nostalgia
yang dimaksud: kerinduan ingin pulang yang menyakitkan. Sekalipun bergenus satu,
namun nostalgia ini merupa dalam banyak bentuk. Nostalgia sublimitas, yang susah-payah
diusahakan dengan diksi yang ruwet dan berbelit. Pikirnya, semakin rumit, semakin sublim
dan sastrawi suatu karya menjadi. Tapi, sampai mana toleransi akan kerumitan ini? Bisakah
sampai serumit bahasa pemrograman yang mendalangi laman-laman di internet? Lantas

10/20/2016 11:28:31 PM

Sambutan Ketua Juri


Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16
siapa yang menentukan kerumitan mana yang sastrawi dan mana yang bukan? Nostalgia
lainnya adalah akan suatu gagasan kemanusiaan. Kerentanan manusia diekspos; seluruh
drama kehidupannya dipersonalisasi, dianggap semata-mata persoalan privat akibat
kemalangan proses-proses diluarnya, yang menjadikannya korban tak berdaya. Alhasil,
terkukuhkanlah individualisme manusiaatau lebih tepatnya, suatu konsepsi heroik dan
nostalgik tentang apa itu manusia.
Yang terakhir tadi, biasanya juga diiringi nostalgia kontemplasi kepertapa-pertapaan.
Tidak jarang, kebegawanan nama-nama besar ikut mewarnai proses-proses kreatif dari
penulis sastra yang demikian. Membayangkan dirinya sebagai penulis yang terasing,
yang terpenjara, yang dikejar-kejar, yang terzalimi, semuanya dari kursi nyaman di kafe
ber-AC. Nostalgia ini seringkali sukses memengaruhi tubuh biologis untuk memroduksi
serotonin dan adrenalin berlebih. Membuat sang penulis terpantik emosinya, dan kemudian
menyulap karyanya menjadi semacam pentungan satpol PP untuk menggusur musuhmusuh imajiner dari ruang sastrawinya yang nostalgik. Implikasi etis, katanya. Tapi, apa
yang menjustifikasi etik kesusasteraan apabila motivasinya tidak lebih dari sekedar efek
proses neurologis di otak amigdala sang manusia-sastrawan? Etiknya, alhasil, membuat
karya sastranya tak lebih dari sekedar petualangan Kisotik nan heroik akan sesuatu yang
ia fantasikan sendiri dari posisi geografisnya, posisi kelasnya, dan posisi seleranya. Ah,
mungkin hanya satu yang bisa memvalidasi nostalgia sastrawi etik ini: pengandai-andaian
akan suatu humanisme yang universalyang sebenarnya bersumber dari sesuatu yang
partikular, diproses secara pekuliar, dan singkatnya: plintiran. Tentu saja, di sini, para
sastrawan makin sibuk menyisipkan petuah-petuah dan menyelipkan hikmah dalam setiap
ceritanya, yang akhirnya membuat karya sastra menjadi sekedar improvisasi estetik dari
genre swa-bantu motivasional.
Masih ada lagi. Nostalgia sastra sebagai suatu pencerminan spesial akan realitas sosial,
baik itu wajahnya yang cantik maupun bopeng. Dalam nostalgia ini, karya sastra dipercaya
mampu menjadi medium tulus nan jujur untuk menyuarakan kebenaran (saat jurnalisme
dibungkam, misalnya)sekalipun tak jarang juga sebenarnya diakui bahwa pelbagai
subyektivitas si pengarang juga berpotensi mengorting kadar jujur tersebut. Persis seperti
seolah-olah teori ketergelinciran penanda di bawah petanda tidak pernah mereka
hapalkan. Nostalgia pencerminan ini juga memiliki kembaran di sisi seberangnya, yaitu
pencerminan perasaan, luapan ekspresi, dan hasil cipta-rasa-karsa yang konon adalah
kepunyaan sang penulis. Seolah sentimen-sentimen tersebut benar adalah kepunyaannya
seorang. Ujungnya, menjadi agak sukar membedakan karya sastra dengan laman mikroblogging. Persis seperti logika privatisasi ruang publik dalam praktik media sosial hari ini.
Semua nostalgia ini, sekalipun nampak berbeda, ada satu yang menyamakan: semuanya
ingin melarikan diri dari keras dan peliknya realitas sosialbagaimanapun ia diartikan.
Ernst Bloch mungkin akan menyebut nostalgia-nostalgia ini sebagai utopia abstrak.
Sekalipun utopis, sayangnya ia adalah produk dari realitas itu sendiri. Ia adalah buih-buih
lamunan nostalgik dari sang pengarang yang beragoni ria dengan realitasnya. Ia adalah
angan kehidupan sempurna saat sang pengarang menjalani kehidupannya yang serba

Booklet KSK 16 2.indd 6-7

berkebatasan gara-gara: entah cengkraman penguasa, entah pengawasan norma sosial,


entah tipu muslihat uang, atau sekedar hukum kemalangan. Ketergesa-gesaannya untuk
melarikan diri dari realitas yang pedih membuatnya secara tak sadar mengendapkan suatu
skenario ideal kemana ia harus pulang. Sayangnya, bentuk dan warna endapan tersebut
sudah keduluan disetel oleh realitas itu sendiri. Sastra nostalgik, sebagai utopia abstrak,
dengan demikian sudah selalu menjadi bagian dari realitas itu sendiri, bagian yang telah
diantisipasi kelahirannya. Seminim-minimnya di sini kita bisa memetik pelajaran bahwa
setiap perjalanan pulang sastrawi sudah pasti selalu tersesat.
Utopia hanya akan menjadi utopis saat ia bersifat konkrit, kata Bloch. Ia tetaplah lahir dari
realitas yang konkrit. Namun ia telah siuman dari nostalgia akan suatu kampung halaman
imajiner kemana ia harus pulang. Ia sukses menyudahi lamunannya tentang dunia khayangan
di luar sana. Sebaliknya, ia mengafirmasi total ketermaktubannya dalam realitas, namun
mampu berjarak darinya. Terbenam, tanpa harus larut. Tenggelam, tanpa harus hanyut.
Sastra yang menjelmakan utopia konkrit, ketimbang menafikan keterjeratannya yang
tak terelakkan dalam realitas yang menyituasikannya, justru mengafirmasinya, dan balik
meretasnya. Ia mengkhianati prinsip realitas itu sendiri, justru saat ia bermain-main dengan
mengekspos kefanaan realitas itu sendiri, memanipulasinya, dan memarodikannya secara
tragis. Ia merayu potensialitas ganjil dari tatanan material realitas, dan menyuguhkannya
balik kepada sang empunya normativitas penjaga realitas. Ia tidak merekonstruksi, tidak
juga sekedar mendekonstruksi; mungkin tepatnya, ia memiskonstruksi. Utopia konkrit
adalah selalu suatu kebaruan yang kreatif, yang inovatif, namun selalu mengganggu sirkuit
konservatif realitas. Di hadapan utopia konkrit, gelembung-gelembung busa utopia abstrak
akan dengan sendirinya berletusan satu per satu.
Sastra adalah proyek romantik, tandas salah satu rekan juri. Ia tidak sekedar permainan
belaka pengisi waktu luang. Ia adalah suatu keseriusan dan kebersikerasan bahwa realitas
yang ada tidaklah harus selalu sebagaimana ia disajikan di depan mata. Ia menolak untuk
begitu saja menerima abstraksi-abstraksi nostalgik yang mencoba menarasikan realitas. Ia
melankolis, selalu berpegang akan sesuatu yang tak pernah dimungkinkan untuk ada oleh
tata-bahasa realitas. Ia fantastis, namun dalam bentuk yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ia erotis, tanpa keharusan mengumbar-umbar sensualitas. Ia menggugah kesadaran baru,
tanpa perlu sibuk menggurui.
Sastra yang menjelmakan utopia konkrit ini: entah, ada atau tidak. Semoga saja ada di
deretan nominasi KSK 16 ini. Setidaknya, yang coba kami lakukan dari segala keterbatasan
adalah mengumpulkan karya-karya yang bisa merepresentasi tendensi-tendensi dalam
kesusasteraan Indonesia, mengangkatnya, dan menyajikannya ke khalayak penikmat dan
kritikus sastra di tanah air. [HYP]
Jakarta, 20 Oktober 2016

10/20/2016 11:28:31 PM

Plaza Indonesia Level 1 #I 141 021-29924015, Plaza Senayan Level 1 #143B 021-5725141, Pacic Place Level G #27-28 021-51402762,
PIM 2 Level G 029A 021-75900926, Mall Taman Anggrek Level Upper Ground #85 021-5639576, Kota Kasablanka Level G #01 021-29488485,
Mall Kelapa Gading 3 Level 1 Unit Island #k 021-45853830, Sheraton Hotel Tower Level 1 Lobby 031-5348408,
Tunjungan Plaza Mall Surabaya Level UG #30 031-5459762
Booklet KSK 16 2.indd 8-9

10/20/2016 11:28:33 PM

A.S. Laksana

Eka Kurniawan

A.S. Laksana adalah seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra,


dan wartawan Indonesia yang dikenal aktif menulis cerita pendek
di berbagai media cetak nasional di Indonesia.

Eka Kurniawan adalah seorang penulis yang menamatkan pendidikan


tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ia belajar bahasa Indonesia di IKIP Semarang dan ilmu komunikasi


di FISIP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia juga menjadi salah
satu pendiri majalah Gorong-Gorong Budaya.
Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid
Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah
penulisan kreatif Jakarta School. Kini ia aktif di bidang penerbitan.
Kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Bidadari yang
Mengembara terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 versi Majalah
Tempo.
Diundang dalam Festival sastra Winternachten 2006, Den Haag,
Belanda.
Buku-bukunya yang telah terbit antara lain :
Bidadari yang Mengembara, KataKita 2004, Creative Writing,
Mediakita 2005, Podium DeTIK, Kumpulan kolom Podium di tabloid
DeTIK, Medan Perang, cerita bersambung di Koran Tempo, Ular di
Tapak Tangan, cerita bersambung di Suara Merdeka, Pola Sugesti
dan Strategi Terapi Milton Erickson, literatur Ericksonian Hypnosis,
tranceFormasi 2010, EFT - Keajaiban di Ujung Jari
Anda, tranceFormasi 2010.

Booklet KSK 16 2.indd 10-11

Ia terpilih sebagai salah satu "Global Thinkers of 2015" dari jurnal


Foreign Policy.
Buku-bukunya antara lain :
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (Non Fiksi,
1999). Cantik itu Luka (Novel, 2002). Diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris sebagai Beauty Is A Wound (2015) oleh Annie Tucker,
diterbitkan oleh New Directions Publishing. Juga diterjemahkan
ke beberapa bahasa lain. Lelaki Harimau (Novel, 2004). Diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris sebagai Man Tiger (2015) oleh Labodalih
Sembiring, diterbitkan oleh Verso Books. Juga diterjemahkan ke
beberapa bahasa lain. Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya
(Cerita Pendek, 2005). Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Cerita
Pendek, 2005). Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Novel,
2014). Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Annie Tucker,
direncanakan terbit 2017 oleh New Directions (US) dan Pushkin
Press (UK). Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta
Melalui Mimpi (Novel, 2015). O (Novel, 2016) Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama.

10/20/2016 11:28:34 PM

Eko Triono

Sundari Mardjuki

Eko Triono, di samping menjuarai sejumlah lomba penulisan puisi,


aktif di antologi bersama seperti, yang terbaru juara selekda DIY
dan terbitnya Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita: Antologi 6 Penyair
Muda Cilacap (Disbudpar Cilacap, 2010) disamping antologi
Sebuket Mawar Merah (Juxtaposse, 2009) Hari Ini Tak Ada Hujan
Turun (As-Shaff, 2007) Sang Pengembara (Tebas Press, 2007), Negeri
Bayang-bayang (Indeppenden Press, 2008).

Sundari Mardjuki menemukan gairahnya dalam menulis sejak masih


di sekolah tinggi, di mana ia menulis cerita pendek untuk dirinya
sendiri.

Ia bergiat di komunitas Kolom Senja dan Tebas.


Beberapa tulisannya, opini, artikel, cerpen, dan puisi, mampir di
media masa lokal dan nasional, antara lain : Kedaulatan Rakyat,
Republika, Suara Merdeka, Kompas-Jogja, Seputar Indonesia,
Minggu Pagi, Merapi, Majalah Kreativa, Dimensi, Jurnal Ilmiah Pelita,
dan lain-lain.

Selama di Belanda, ia belajar tentang menulis pada Workshop


Menulis Amsterdam 2010-2011.
Buku-bukunya antara lain : Papap, Aku cinta kamu - Sebuah Novel
(2012), Funtastic Fatin - A Non Fiksi (2013), Genduk - Sebuah Novel
(2016).
Sundari dianugerahi sebagai "Best New Comer" (2012) untuk Buku
Papap, Aku cinta kamu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sundari adalah co-founder dari Workshop Menulis Jakarta, komunitas
menulis yang mengumpulkan orang-orang dengan semangat yang
sama, menulis.
Beberapa bagian dari royalti bukunya disumbangkan ke Komunitas
Cendekia Mandiri, sebuah komunitas yang memberikan pendidikan
bagi anak-anak marjinal yang tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

Booklet KSK 16 2.indd 12-13

10/20/2016 11:28:34 PM

Yusi Avianto Pareanom


Yusi Avianto Pareanom adalah seorang penulis, penerjemah dan
penerbit serta anggota Dewan Kesenian Jakarta, di bidang komite
sastra
Ia juga berpartisipasi dalam berbagai pertunjukan teater dan proyek
seni, termasuk proyek I Lagaligo - sebuah mitologi kuno dari Bugis
yang diproduksi oleh sutradara avant-garde dari AS, Robert Wilson
(2004-2011) serta terlibat dalam proyek Paviliun Indonesia untuk
Venesia International Arts Biennale, Italia ( 2013 dan 2015).
Karya-karyanya diterbitkan adalah: Rumah Kopi Singa Tertawa (2011),
A Grave Sin No. 14 dan Cerita Lainnya (2015, diterbitkan dalam tiga
bahasa: Indonesia, Inggris dan Jerman).
Buku terbarunya adalah sebuah novel berjudul Raden Mandasia
Si Pencuri Daging Sapi (2016).
Ia mengajarkan sastra dan penulisan kreatif serta menerjemahkan
karya sastra dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Booklet KSK 16 2.indd 14-15

10/20/2016 11:28:35 PM

Avianti Armand

Cyntha Hariadi

Avianti Armand adalah arsitek , dosen dan penulis fiksi, puisi, serta
artikel-artikel mengenai arsitektur.

Cyntha Hariadi lahir pada tahun 1973, menyelesaikan pendidikan


terakhir di New School for Social Research dengan jurusan Kajian
Media di AS.

Kumpulan cerita pendeknya yang pertama, terbit tahun 1999


dengan judul Negeri Para Peri. Salah satu cerita dalam buku tersebut
yang berjudul Pada Suatu hari, Ada Ibu dan Radian, terpilih sebagai
cerpen terbaik Kompas 2009. Kumpulan cerpennya yang lain
berjudul Kereta Tidur terbit pada tahun 2011.
Kumpulan puisinya yang berlatar belakang kitab suci Perjanjian
Lama berjudul Perempuan yang Dihapus Namanya, terbit tahun
2010 dan memenangi Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa
untuk kategori Puisi, pada tahun 2011.

Booklet KSK 16 2.indd 16-17

Berawal sebagai penulis gaya hidup, seni dan budaya di koran


Sunday Observer dan Majalah Dewi, kini ia penulis iklan lepas di
Jakarta.
Ibu Mendulang Anak Berlari adalah judul buku pertamanya. Dalam
62 manuskrip puisi, ia mengajak pembaca menyelami berbagai
kompleksitas dalam kehidupan seorang ibu dalam bahasa yang
sederhana.

10/20/2016 11:28:35 PM

F. Aziz Manna

Ni Made Purnama Sari

F. Aziz Manna adalah penyair, aktor, mantan ketua Teater GAPUS


Surabaya, aktivis Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP),
tergabung dalam Sanggar Kopi & Rokok Surabaya serta komunitas
@rekpilem Surabaya.

Ni Made Purnamasari menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya


dimuat di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jurnal Nasional,
Majalah Femina, Jawa Pos dan Bali Post.

Karya-karyanya tersebar di media lokal dan nasional dan beberapa


media kampus serta pernah disiarkan radio suara Jerman Deuchte
Welle.
Puisinya terkumpul dalam antologi puisi Menguak Tanah Kering
(GAPUS, 2000), Kumelambungkan Cintaku (GAPUS, 2003), Antologi
Penyair Jawa Timur, Permohonan Hijau (FSS, 2003-2004), Antologi
Penyair Tiga Wilayah Festival Mei (FSB dan Institut Nalar Jatinangor,
2005), Izinkan Aku Menciummu (Gapus, 2006), Wong Kam Pung
(FSS, 2010), Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang (FS3LP dan
Diamond Publishing, 2010).

Puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis.


Antologi puisi pertamanya, Bali Borneo (2014), meraih penghargaan
Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2014.
Sejak 2007, ia meraih berbagai penghargaan penulisan.Puisinya
termasuk dalam Buku Antologi 100 Puisi Indonesia Terbaik Anugerah
Sastra Pena Kencana (2007), buku antologi Temu Penyair 5 Kota di
Payakumbuh Kampung Dalam Diri (2008), serta Antologi Puisi
Indonesia Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana (2008 dan 2009),
Temu Sastrawan Indonesia (2010 dan 2011), Antologi Ubud Writers
and Readers Festival (2010), Antologi Couleur Femme: Kumpulan
Puisi Indonesia-Perancis yang diterbitkan Alliance Francaise
Denpasar beserta Forum Jakarta Paris (2010) dan sebagainya.
Selain itu, karyanya (esai biografi) juga telah dibukukan dengan
tajuk Waktu Tuhan: Wianta (2007). Ia juga turut dalam program
Penulisan Cerita Rakyat dari Pusat Bahasa Jakarta tahun 2010.
Telah diundang dalam berbagai acara, baik pertunjukan maupun
diskusi sastra, di Bali serta di beberapa daerah lain di Indonesia,
termasuk Diskusi dan Peluncuran Buku Antologi Cerpen Lobakan
yang membahas kaitan antara sastra dan sejarah peristiwa 1965 di
Bali (2009) di Goethe Institut Jakarta.

Booklet KSK 16 2.indd 18-19

10/20/2016 11:28:35 PM

Norman Erikson Pasaribu


Norman Erikson Pasaribu meraih penghargaan Cerpen Terbaik
Kompas pada saat usianya baru 23 tahun. Oleh penerbitnya, Norman
disebut sebagai Salah seorang penulis yang akan memberi warna
cerah pada masa depan sastra Indonesia.
Di lingkungan keluarganya, Norman memang sudah dibiasakan
membaca sejak kecil. Meskipun gemar membaca sejak kecil, aktivitas
menulisnya baru dimulai secara serius pada akhir tahun 2009.
Kumpulan cerita pendek pertamanya, Hanya Kamu yang Tahu Berapa
Lama Lagi Aku Harus Menunggu (2014) masuk kedalam daftar lima
besar buku prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa 2014.
Buku kumpulan puisinya yang baru terbit adalah Sergius Mencari
Bacchus (2016) diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, menjadi
juara pertama dalam Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan
Kesenian Jakarta 2015.

Booklet KSK 16 2.indd 20-21

10/20/2016 11:28:36 PM

Pemenang Penghargaan
Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15
Bidang Prosa

Dorothea Rosa Herliany


AKU MENCINTAIMU
Aku mencintaimu.
Itu adalah terjemahan dari kalimat bahasa Inggris I love you. Kita sendiri, setidaknya
saya, yang berasal dari suku Jawa, tidak memiliki suatu kebiasaan bahwa ketika mencintai
sesuatu atau seseorang, akan mengungkapkan perasaan kita dengan kalimat itu tadi.
Rasanya malah aneh kalau kalimat tersebut diungkapkan, apalagi kalau bahasa Indonesia
tersebut diterjemahkan (lagi) dalam bahasa Jawa: aku tresna kowe.
Ungkapan cinta a la Jawa yang lebih umum (lebih ada atau lebih memasyarakat, terutama
di kalangan rakyat jelata) sebetulnya adalah langsung melakukan sesuatu tindakan,
bergerak yang tujuannya untuk membuat senang yang dicintai. Kalau ia barang, atau ia
alam (tanaman atau binatang), maka ia akan merawat dan memberi makan dan memelihara
alam itu dengan setulusnya. Kelaknya, terutama dalam hal ini kalau ia alam, alam akan
berbalik memelihara kita, ia tumbuh subur, memberikan buah terbaik, dst. Maka, cintamencintai jadi sesuatu yang lebih natural. Cinta menjadi hal yang begitu saja dan benarbenar terbit dari dalam diri kita sendiri.
Demikian pulalah mencintai sastra. Mencintai sastra, adalah perkara untuk langsung masuk
ke tindakan, yakni bersama sang kreator (pencipta sastra) tenggelam, ikut terjun ke dasar
terdalam sebuah jurang besar yang dibentangkan si kreator, menjadi satu pengembaraan
dengan si kreator, bersatu batin, sama berdenyut, berdetak, tersentak, terhenyak, terluka,
bernanah, berdarah, untuk bisa merasakan kesenangan, keriaan, kenikmatan, kegundahan
dan kepahitan sebuah kehidupan.

Booklet KSK 16 2.indd 22-23

Mencintai sastra bukanlah semata soal membeli buku sastra tapi tidak dibaca atau dibaca
tapi hanya ingin tahu garis besarnya saja, membaca sepintas supaya tidak ketinggalan
zaman kalau ada teman bicara sastra; bukan juga semata soal mendiskusikan buku sastra
saja (padahal tidak membaca yang didiskusikan), mengikuti seminar sastra, aktif dalam
media sosial sastra, dan seterusnya.
Mencintai sastra -aslinya dan sederhananya- adalah hanya antara aku dan dia
(sastra). Cinta-mencintai menjadi terjadi. Ketika kita mencintai sastra dengan
cara yang dalam, sastra juga akan memberi sesuatu yang berharga bagi diri kita.
Terima kasih pada Richard Oh dan Tim serta para sponsor yang sudah 15 tahun lebih
melaksanakan hajatan Kusala Sastra Khatulistiwa. Para pecinta sastra sejati, mari kita samasama (diam-diam saja) juga merayakan sastra Indonesia dari rumah/kamar kita masingmasing.

***

10/20/2016 11:28:36 PM

Pemenang Penghargaan
Kusala Sastra Khatulistiwa ke-15
Bidang Puisi

Joko Pinurbo
Dari Asa ke Asu

ebagai ungkapan terima k asih saya atas pemberian Kusala Sastra Khatulistiwa, sebagai
ungkapan kegembiraan saya atas percintaan indah dengan puisi, sebagai ungkapan
syukur saya atas pergulatan panjang mencari cara dan gaya, sebagai ungkapan hormat
dan cinta saya kepada Bahasa Indonesia, izinkan pada kesempatan yang baik ini saya
membagikan salah satu sajak terbaru saya.
KAMUS KECIL
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
gembira, sedangkan pemulung
tidak pelnah melasa gembila;

bahwa lidah memang pandai berdalih;


bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku
ke sebuah paragraf yang menguarkan
bau tubuhmu. Malam merangkai kita
menjadi kalimat majemuk yang hangat
di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat.
Ketika induk kalimat bilang pulang, anak kalimat
paham bahwa pulang adalah masuk
ke dalam palung. Ruang penuh raung.
Segala kenang tertidur di dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah
menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal
dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
(Jokpin, 2014)
Selamat kepada Richard Oh dan kawan-kawan yang telah berkhidmat untuk meningkatkan
apresiasi terhadap karya sastra Indonesia.

Yogyakarta, 15 Oktober
2016
Joko Pinurbo

* Joko Pinurbo adalah pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2005 dan 2015. Buku puisi terbarunya: Surat Kopi (2014),
Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), dan Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016).

Booklet KSK 16 2.indd 24-25

10/20/2016 11:28:36 PM

Booklet KSK 16 2.indd 26-27

10/20/2016 11:28:37 PM

Booklet KSK 16 2.indd 28

10/20/2016 11:28:39 PM

Das könnte Ihnen auch gefallen