Sie sind auf Seite 1von 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas
38oC per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit
atau metabolik lain, terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun dan
tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.

3.2 Etiologi
Secara garis besar terdapat tiga etiologi utama yang saling berhubungan dan
berperan serta dalam terjadinya bangkitan kejang, yakni imaturitas otak,
demam, dan predisposisi genetik. Imaturitas otak yang berhubungan dengan
kejadian

kejang demam belum dapat dijelaskan secara menyeluruh oleh

peneliti, akan tetapi terdapat dugaan adanya peningkatan mielinisasi dan


peningkatan kompleksitas sinaps neuron otak.

3.3 Faktor Risiko


Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu:
demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat
pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara
lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).

a. Faktor demam
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8 oC aksila atau di
atas 38,3oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi
yang tersering pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang.
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal
ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu
tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat
sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen.
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan
otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga
menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel
terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang kejang
dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat
merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh
berkisar 38,9C-39,9C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu
tubuh 37C-38,9C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam
terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu:
- Neurulasi
- Perkembangan prosensefali
- Proliferasi neuron
- Migrasi neural
- Organisasi

13

Mielinisasi.

Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai


migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi
pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami
bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.

Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk


asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif,

sebaliknya

reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum


matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin releasing
hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi
dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan
otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa
ini, apabila anak mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah
terjadi bangkitan kejang. Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang
demam dan 90% kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai
dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai
dengan 24 bulan.

14

c. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan sekitar 60-80%. Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat
kejang demam maka anaknya beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua
orang tua mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka
resikonya meningkat

menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua

orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko terjadi


kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.
d. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan

berbagai

komplikasi

kehamilan

dan

persalinan.

Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan


gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi pada
ibu dapat menyebabkan

aliran darah ke plasenta berkurang sehingga

berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR.


Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan
iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya
faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai seperti demam.
e. Faktor Paskanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf
pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi

15

lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya


kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus
Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Selain infeksi,
ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang demam
pada anak sebesar 20,6%.

3.4 Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, < 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
3.5 Patogenesis Dan Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf,

16

seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial


membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel
lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial
membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap
sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu:
- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
-

kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.


Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya
hipokalsemia
dan

hipomagnesemia.
Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat
akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa


pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang
memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan
sel saraf meningkat.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,
otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada
kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,

17

hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal


ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
-

matang/immatur.
Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permiabilitas membran sel.


Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan

CO2 yang akan merusak neuron.


Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran

ion-ion keluar masuk sel.


Gambar 1. Mekanisme terjadinya kejang demam
3.6 Diagnosis

Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain


dapat disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari

18

beberapa diagnosis banding tersebut, meningitis merupakan penyebab


kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada
kejang yang disertai demam yaitu 2-5%.
a. Anamnesis
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval,
-

keadaan anak pasca kejang


Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi
saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media

akut/OMA, dll)
Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam

keluarga
Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah
yang

mengakibatkan

mengakibatkan

gangguan

hipoksemia,

elektrolit,

asupan

kurang

sesak

yang

yang

dapat

menyebabkan hipoglikemia)

b. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain:


- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II,
-

Kernique, Lasuque dan pemeriksaan nervus cranial


Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB)

membonjol, papil edema


Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran
pernapasan, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain

sebagainya yang merupakan penyebab demam


Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex
patologis

c. Pemeriksaan penunjang

19

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi

penyebab

demam,

atau

keadaan

lain

misalnya

gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium


yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.

Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya
meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak
jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:

Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan


pungsi lumbal.
-

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan.

20

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang


demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada
-

anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.


Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam
evaluasi kejang demam sederhana dan masih kontroversial untuk
dilakukan pada kejang demam kompleks sekalipun. Pemeriksaan
radiologi misalnya Magnetic resonance imaging (MRI) dapat
dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di otak
misalnya di daerah hipokampus jika penyebab kejang masih belum
diketahui.

3.7 Tatalaksana
a. Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang
obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena adalah 0,3 -0,5 mg/kg perlahan lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau dirumah
adalah diazepam rektal. Diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10
kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau Diazepam
rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.

21

Bila setelah pemberian Diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat


diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian Diazepam rektal masih tetap
kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan
Diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap
belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari
50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8
mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin
kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif. Bila kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya.

22

Gambar 2. Bagan Pentalaksanaan Saat Kejang

b. Pemberian obat pada saat demam


-

Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia
sepakat

bahwa

antipiretik

tetap

dapat

diberikan.

Dosis

Paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4


kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat
23

dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang


dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan.
-

Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30% -60%
kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap
8 jam pada suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada
25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

c. Pemberian Obat Rumat


1. Indikasi Pemberian obat Rumat
Pengobatan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu) ;
-

Kejang lama > 15 menit

Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah


kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrocephalus.

Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam

24

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

Kejang demam 4 kali per tahun.

2. Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti
ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama
yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun
bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2
bulan.
3.8 Prognosis
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,

25

dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau
kejang berulang baik umum atau fokal.
b. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor
risiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan

berulangnya

kejang

demam

hanya

10%-15%.

Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun


pertama.

26

Das könnte Ihnen auch gefallen