Sie sind auf Seite 1von 10

AKUNTANSI SYARIAH

DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM.


Padlah Riyadi., SE., AK., CA., MM

Merupakan sesuatu yang sudah tidak dipertentangkan lagi dan juga sebagaimana
sejarah telah berkali-kali menginformasikan kepada kita, bahwa "akan datang
kepada ummat manusia ini suatu masa yang pada saat itu mereka akan
melupakan cita-cita mereka yang luhur, lalu sebagai gantinya mereka
bersungguh-sunguh di dalam menggapai hal-hal yang rendah dan tidak
berarti di dalam kehidupan mereka, dan aktivitas akal dan sosial mereka
mengarah kepada yang berlebih-lebihan dan yang sia-sia belaka. Masa ini
bagaikan saat-saat pingsan bagi seorang manusia yang hidup, atau
bagaikan saat-saat kebingungan bagi akal pemikiran mereka.
Apabila hal ini berlangsung lama, akibat akhirnya tentulah akan sangat berbahaya.
Bahkan, kejatuhan dan kekalahan yang menimpa manusia, yang paling bahaya,
berawal dari masa yang kacau ini". (Muhammad Al Ghazali, 1961 M., halaman 45).
Oleh karena itu, kita semua harus menjauhkan diri dari kondisi ketidaksadaran ini,
dan selalu berupaya untuk memastikan legitimasi muamalat.
Ummat Islam pernah mengalami suatu periode tidur yang panjang, yang
pada saat itu mereka lupa terhadap apa yang telah diwajibkan Allah
Subhanahu Wa Ta`ala terhadap kaum muslimin, namun kondisi ummat
pada hari ini lebih baik daripada kemarin. Hal itu karena era kebangkitan Islam
ini telah mulai meniti jalannya sejak pertengahan abad ini, walaupun masih dalam
bentuknya yang sangat sederhana dan lamban sekali. Namun, kebangkitan ini telah
menjadi lebih jelas pada dekade sembilan puluhan dari abad ini.
Tidak diragukan lagi bahwa kebangkitan ini telah menjadi terang dan jelas pada
prilaku sejumlah kalangan yang tidak bisa dipandang remeh dari kaum muslimin.
Prilaku mereka yang bersifat individu ini, tercermin pada muamalat mereka dan
keinginan mereka untuk merealisasikan syari`at Islam di seluruh segi kehidupan
mereka, sekuat kemampuan yang ada. Prilaku mereka ini terlihat dengan sangat
jelas melalui sejumlah proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang mempunyai
1
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

karakter keislaman, seperti berdirinya bank-bank, lembaga-lembaga keuangan,


lembaga-lembaga bantuan sosial kemasyarakatan, dan perusahaan-perusahaan
asuransi. Semuanya itu berjalan di dalam ruang lingkup syari`at Islam berdasarkan
apa yang dijelaskan oleh sebagian ulama kita, wallahu a`lam.
Lembaga-lembaga investasi yang berkarakter Islam ini telah dimulai melalui
pendirian bank-bank yang tidak ribawi di negara Pakistan, lalu disusul di negara
Mesir, kemudian diikuti oleh sebagian dari negara-negara teluk. Aktivitas-aktivitas
bisnis yang berlandaskan syari`at itu telah mulai meniti jalannya, dengan bantuan
Allah Subhanahu Wa Ta`ala, namun haruslah ada pengembangan prinsip-prinsip,
kaidah-kaidah, standar-standar, dan sistem-sistem akuntasi yang erat kaitannya
dengan tuntutan-tuntutan syari`at Islam. Hal itu karena legitimasi transaksi
keuangan itu pada dasarnya tidaklah berhenti di saat selesai, bahkan celupan
syari`at ini harus membentang, mencakup langkah-langkah kegiatan akuntasi
mendatang, untuk menyempurnakan transaksi-transaksi tersebut secara syari`at.
Sesungguhnya legitimasi muamalat itu tidaklah terbatas ruang lingkupnya
sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahkan juga mencakup pihakpihak yang bermuamalah, di samping segi-segi kegiatan akuntasi. Yang kami
maksudkan dengan pihak-pihak yang bermuamalat itu adalah kedua belah pihak
yang bermuamalat.
Pihak pertama adalah para sekutu yang membentuk perusahaan itu, atau para
pemegang saham. Pihak kedua adalah orang-orang yang bermuamalat dengan
mereka. Apabila kita telah sepakat bahwa muamalah itu pada dasarnya telah sah
menurut syari`at, seperti kegiatan jual beli bahan-bahan makanan yang bersih dari
setiap hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala, maka para sekutu itu
diharuskan pula dari kalangan kaum muslimin. Hal itu adalah sebagaimana yang
telah kami isyaratkan sebelumnya pada pembahasan ketiga dari bab III bahwa
sebagian dari fuqaha kita ada yang memandang tidak bolehnya persekutuan orang
muslim dengan non muslim di dalam modal pokok syirkah. Jika hal ini merupakan
perkara yang berkaitan dengan syari`at, kami setuju dengannya tanpa
mendalaminya. Hanya saja, kami ingin menambahkan bahwa permasalahan syar`i
ini mempunyai dimensi manajemen dan bisnis yang berkaitan dengan sistem
perekonomian, dan selanjutnya dimensi politik.
Dari sisi manajemen dan bisnis, sesungguhnya keikut-sertaan non muslim
itu berimplikasi pada terwujudnya manfaat-manfaat perdagangan bagi
non muslim tersebut. Hal ini di samping tidak diketahuinya sumber dan karakter
harta yang dijadikan saham oleh orang-orang non muslim itu. Hal ini terkadang bisa
mengakibatkan tercampurnya harta yang halal dengan yang haram, yang
selanjutnya akan mengakibatkan rusaknya harta tersebut secara keseluruhan
sebagai akibat dari rusaknya sebagian darinya. Manfaat yang terwujud bagi
kalangan non muslim dari sisi bisnis ini bisa jadi akan mempunyai pengaruh dan
dimensi politik yang akan diarahkan untuk melawan kaum muslimin itu sendiri.
Sesungguhnya sebuah pemantauan saja terhadap investasi-investasi orang-orang
yang membawa semangat Islam pada negara-negara dan masyarakat-masyarakat
yang non muslim merupakan sebaik-baik bukti tentang pentingnya legitimasi
muamalat tersebut dalam maknanya yang luas, yang mencakup ljuga pihak-pihak
yang bermuamalat itu sendiri.
2
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, tanggung jawab yang paling
utama dan paling besar yang berada dipundak akuntan muslim itu
tercermin pada penerapan prinsip pertama, yaitu legitimasi muamalat.
Yakni, dia wajib memastikan akan kebenaran dan keselamatan transaksitransaksi tersebut sejak dari dasarnya, dan termasuk juga pengilustrasian
dan analisa hasil-hasil, kemudian penafsirannya. Di antara permasalahanpermasalahan yang telah dimaklumi bersama, akuntan itu kadangkala tidak
mengetahui seluruh permasalahan yang berkaitan dengan muamalat tersebut. Akan
tetapi, hal ini tidaklah lalu membebaskan dia dari tanggung jawab. Dalam keadaan
ini, dia wajib mengkaji dan menanyakannya kepada orang-orang yang berilmu
dalam seluruh bidang yang mempunyai kaitan dengan muamalat tersebut. Pada
hakikatnya, hal ini merupakan salah satu permasalahan utama yang menuntut
adanya pengaturan profesi akuntan di dalam masyarakat Islam, dengan cara
mempersiapkan kondisi yang kondusif untuk penerapan syari`at Islam secara
efektif.
Pada pembicaraan mengenai prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual)
ini, yang juga dikenal dengan istilah syakhshiyyah ma`nawiyyah, kita semua harus
hati-hati, karena prinsip ini mempunyai signifikansi dan pengaruh terhadap kegiatan
akuntansi dari satu sisi, dan terhadap hasil-hasil dari kegiatan investasi tersebut
dari sisi yang lainnya. Sebab, wajib dibedakan antara entitas spiritual sebagai suatu
konsep dari satu sisi, dan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban
pemilik perusahaan dari sisi yang lainnya. Demikian pula wajib memahami makna
syakhshiyyah qanuniyyah dari sisi yang ketiga, dan makna wihdah muhasabiyyah
(kesatuan akuntansi) pada sisi yang keempat. Pada akhirnya, haruslah mengetahui
pengaruh dari syakhshiyyah qanuniyyah dan kesatuan akuntansi ini terhadap
entitas spiritual tersebut. Point-point ini akan menjadi topik kajian kita pada
pembahasan ini, dengan seizin Allah Subhanahu Wa Ta`ala.

Entitas Spiritual
Sesungguhnya yang dimaksud dengan konsep entitas spiritual ini adalah adanya
pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap
kegiatan investasi tersebut. Contoh dalam hal ini adalah apabila sekelompok pribadi
menginvestasikan bagian tertentu dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala
titipkan kepada mereka untuk pendirian suatu lembaga perdagangan, maka
lembaga ini menjadi terpisah dari para pendirinya, dan memiliki legalitas pribadi
yang khusus baginya dan dikenal bahwa dia memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah
(entitas spiritual). Ini adalah konsep umum. Akan tetapi permasalahannya tidaklah
diambil dengan sifat keumuman ini, secara otomatis dan terus menerus. Hal itu
karena ada segi-segi syari`at dan undang-undang positip yang mempunyai
pengaruh langsung terhadap penerapan konsep ini.
Sesungguhnya penerjemahan dan pencerminan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah
ini terhadap penerapan praktis dari konsep tersebut haruslah mempengaruhi dan
terpengaruh secara langsung dan otomatis terhadap hak-hak dan kewajiban3
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

kewajiban para pemilik perusahaan. Di sini, kita harus membedakan jenis-jenis


hubungan yang menyatukan para pemilik perusahaan yang telah menginvestasikan
sebagian dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan kepada mereka. Ada
individu yang memiliki secara lahiriyah-- suatu perusahaan atau kegiatan investasi,
dan tidak ada sekutu bersamanya pada kepemilikan yang lahiriyah ini. Ada lagi
suatu kepemilikan lahiriyah, yang bersekutu padanya dua orang atau lebih dalam
pendanaan kegiatan investasi tersebut, dan mungkin juga ini yang seringkali
terjadi-- dalam manajemennya.
Di samping kedua bentuk kepemilikan yang lahiriyah ini, ada lagi jenis ketiga dari
jenis-jenis investasi, yakni persekutuan beberapa individu, dan pada umumnya
tidak saling mengenal satu dengan yang lain, dalam pendanaan suatu kegiatan
investasi tertentu. Tetapi, mereka tidak memanajnya sendiri, karena hal itu tidak
memungkinkan. Biasanya, dimanaj oleh pihak atau badan khusus yang tidak ikut
investasi pada proyek itu sendiri. Terakhir, ada lagi jenis investasi keempat tasi
yang kepemilikan lahiriyahnya kembali kepada individu tertentu. Yakni, berbentuk
hibah atau waqaf atau yang mempunyai kepentingan umum, akan tetapi tidak
berhubungan dengan individu atau pribadi-pribadi yang dikenal diri mereka. Kami
akan mengkaji bentuk-bentuk kepemilikan lahiriyah yang beraneka ragam itu dalam
pembahasan ini, dari segi pengaruhnya dan keterpengaruhannya dengan konsep
syakhshiyyah i`tibariyyah yang pada sebagian negeri-negeri Arab dikenal dengan
istilah sykhshiyyah qanuniyyah, hanya saja kami akan mempergunakan istilah
syakhshiyyah i`tibariyyah pada buku ini.
Apabila kita perhatikan lembaga-lembaga yang bersifat pribadi, yang mewakili jenis
pertama dari jenis-jenis sistem investasi, kita dapatkan bahwa di sana ada dua
permasalahan yang akan mempengaruhi dan akan terpengaruh dengan konsep
syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Pertama, berkaitan dengan harta-harta yang
dinvestasikan itu sendiri dan kaitannya dengan harta-harta pribadi tersebut. Kedua,
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik kepemilikan yang
bersifat lahiriyah itu, sebagai akibat atau hasil dari kegiatan investasinya.
Ditinjau dari segi harta yang diinvestasikan, akan kita dapatkan bahwa harta-harta
ini harus tetap jauh dari tindakan pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah
tersebut. Ini berarti bahwa harta-harta yang diinvestasikan pada lembaga itu harus
dipergunakan pada hal-hal yang ada kaitannya dengan kegiatan lembaga itu saja,
tanpa dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi pemilik kepemilikan yang
bersifat lahiriyah tersebut. Maka, tidak diperbolehkan bagi pemilik kepemilikan yang
bersifat lahiriyah itu untuk melakukan pembelian kebutuhan-kebutuhan untuk
pribadinya atau untuk keluarganya atau kaum kerabatnya atau siapa saja, lalu
mencatat transaksi-transaksi tersebut atas tanggungan lembaga. Hal itu karena
perhitungan-perhitungan lembaga itu harus dibatasi hanya untuk transaksitransaksi yang memang dibutuhkan atau diharuskan oleh karakter kegiatan
lembaga itu, yang tanpa hal itu niscaya lembaga itu tidak mungkin merealisasikan
tujuan-tujuan yang diharapkan dari pendiriannya. Sudah barang tentu,
diperkenankan bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini untuk mengambil
dari harta lembaga itu apa yang dia inginkan, dan membeli apa yang dia sukai dan
membelanjakannya sesuai yang dia kehendaki, dengan catatan bahwa pencatatan
jumlah yang telah diambil untuk keperluan pribadi apa pun itu harus dinyatakan

4
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

sebagai pengambilan pribadi yang menjadi tanggung jawab pemilik kepemilikan


lahiriyah tersebut, bukan sebagai pengeluaran lembaga.
Pembedaaan antara pengeluaran-pengeluaran pribadi pemilik kepemilikan yang
bersifat lahiriyah ini dan pengeluaran-pengeluaran lembaga itu sendiri mempunyai
signifikansi, ditinjau dari pandangan syar`i. Sebab, dimasukkannya pencatatan
pengeluaran-pengeluaran pribadi bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah
itu ke dalam bagian dari pengeluaran-pengeluaran lembaga akan mengakibatkan
tanpa diragukan lagi-- bertambahnya pengeluaran-pengeluaran dari kenyataan
yang seharusnya terjadi. Pertambahan ini menggambarkan berlebih-lebihan dalam
pengeluaran ketika dibandingkan dengan pemasukan, karena pengeluarann yang
berlebih-lebihan tersebut tidaklah seluruhnya dipergunakan untuk merealisasikan
pemasukan tersebut.
Sebagai akibat dari itu semua, maka penerapan prinsip muqabalah perimbangan
akan menghasilkan salah satu dari dua hal, yaitu: Pertama, Hasil penerapan prinsip
perimbangan itu akan mengakibatkan menurunnya volume keuntungan yang
sebenarnya, ini pada sebaik-baik keadaan, yang selanjutnya akan mengakibatkan
penurunan jumlah zakat yang wajib untuk dikeluarkan. Sedangkan hal yang kedua
adalah tergambarkan dalam bentuk adanya kerugian-kerugian. Kerugian-kerugian
ini bisa jadi seluruhnya bukanlah merupakan kerugian-kerugian yang
sesungguhnya, bahkan sebenarnya tidak ada kerugian sama sekali. Namun,
kegiatan mencampurkan pengeluaran-pengeluaran pribadi tersebut dengan
investasi
telah
menyebabkan
tersedotnya
keuntungan-keuntungan
yang
sebenarnya telah ada, dan merubahnya menjadi kerugian. Sebagai akibat dari
bercampurnya pengeluaran-pengeluaran itu, hilanglah alokasi bagian untuk zakat,
sehingga mengakibatkan tidak dibersihkannya harta-harta tersebut, apakah hal itu
disengaja ataupun tidak disengaja. Oleh karena itu, pencatatan seluruh
pengambilan pribadi itu, apakah secara tunai ataukah dalam bentuk barang-barang
atau jasa, seluruhnya harus menjadi tanggungan pemilik kepemilikan yang lahiriyah
tersebut.
Di saat penyiapan dan pengilustrasianan perhitungan-perhitungan tahunan pada
akhir tahun keuangan selesai, maka penarikan-penarikan pribadi untuk pemilik
kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut harus disesuaikan dengan kondisi yang
dihadapi oleh kegiatan investasi lembaga yang bersifat pribadi. Apabila di sana ada
keuntungan-keuntungan yang telah terealisir selama tahun keuangan tersebut,
jumlah keseluruhan dari penarikan pribadi untuk pemilik kepemilikan yang bersifat
lahiriyah tersebut dipotong dari keuntungan-keuntungan yang telah terealisir.
Kemudian, pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu berhak untuk berbuat
terhadap
keuntungan-keuntungan
yang
masih
tersisa,
apakah
dengan
mengambilnya secara keseluruhan, ataukah sebagiannya saja, ataukah dengan
cara menambahkannya kepada pokok modalnya. Adapun apabila hasil-hasil
kegiatan lembaga perorangan tersebut selama tahun keuangan yang telah berlalu
itu tergambarkan dalam bentuk kerugian, maka pengambilan-pengambilan pribadi
untuk pemilik kepemilikan yang bersifar lahiriyah itu harus dikompromikan dengan
modal pokoknya, yakni modal pokoknya itu dipotong sesuai dengan besarnya
jumlah penarikan yang bersifat pribadi tersebut. Kami akan membahas kondisikokndisi ini dengan contoh-contoh penerapannya pada seri kedua dari Serial
Referensi Para Akuntan dan Auditor, bi`aunillah
5
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

Telah kami katakan sebelumnya pada pembahasan ini bahwa ada dua
permasalahan yang akan mempengaruhi dan terpengaruh dengan konsep
syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Pertama, berkaitan dengan harta-harta yang
diinvestasikan itu sendiri dan kaitannya dengan harta-harta pribadi tersebut. Hal ini
telah kita bicarakan pada bagian yang telah lalu. Sedangkan yang kedua, berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemilik kepemilikan yang bersifat
lahiriyah tersebut, sebagai akibat atau hasil dari kegiatan investasinya. Hal ini akan
kita bicarakan di sini.
Dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang
bersifat lahiriyah ini, topik ini akan dibahas dari dua sisi, yaitu: Pertama, hak-hak
pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu. Kedua, kewajiban-kewajiban
pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Hak-hak pribadi pemilik
kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu adalah tidak ditentang dalam pengambilan
seluruh keputusan yang mempunyai kaitan dengan karakter kegiatan tempt
menginvestasikan harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan padanya, atau
sebagian darinya. Hak pengambilan keputusan-keputusan ini diiringi oleh hak yang
lain, yaitu hak menguasai seluruh keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan
tersebut, dan tidak ada hak bagi orang lain untuk menyertainya dalam keuntungankeuntungan yang telah dihasilkan itu. Adapun dari sisi kewajiban-kewajiban pribadi
pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, maka kita dapatkan bahwa
kewajiban-kewajiban itu berkaitan erat dengan hak-hak yang telah kita jelaskan
tersebut.
Karena pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu memiliki hak pengambilan
seluruh keputusan yang berkaitan dengan karakter kegiatannya, dan memiliki hak
untuk berbuat terhadap seluruh keuntungannya secara sendirian, untuk selanjutnya
dia akan menanggung resiko seluruh hasil-hasil yang terwujud sebagai akibat dari
keputusan-keputusannya tersebut. Apabila keputusan-keputusan itu menimpakan
kerugian kepada lembaga perseorangan tersebut, kerugian-kerugian itu harus
terefleksi kepada pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu sendiri. Yaitu,
dengan ditutupnya kerugian tersebut melalui pemotongan modal pokok yang
diinvestasikan, dan khusus bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu,
sebagai akibat dari tanggung jawabnya terhadap kondisi akhir yang dihadapi oleh
lembaga yang di dalamnya dia berkuasa penuh dalam pengambilan keputusan.
Kadangkala, permasalahannya tidaklah berhenti sampai di situ saja, yakni kadangkadang kerugian-kerugian itu melampaui modal pokok yang dikhususkan untuk
investasi pada lembaga tersebut, bahkan menyedot keseluruhannya, sehingga di
sana tidak ada lagi sisa-sisa harta yang cukup untuk menutupi hutang-hutang
lembaga yang secara lahiriyah dimiliki oleh individu tersebut. Dalam keadaan
seperti ini, pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu harus bertangung jawab
secara pribadi dan mutlak terhadap hasil-hasil kegiatan lembaganya, dan dia harus
menutupi seluruh hutang-hutang yang berakibat pada lembaganya itu dengan harta
pribadinya, yang bisa jadi masih tersimpan atau diinvestasikan pada bidang yang
lain.
Dari yang telah kami sebutkan sebelumnya itu, kita bisa memperhatikan bahwa
tidak ada perbedaan antara hak-hak serta kewajiban-kewajiban pribadi pemilik
kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban
lembaganya yang bersifat perseorangan itu. Keduanya adalah pribadi yang satu,
6
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

yakni diperbolehkan bagi pihak ketiga untuk menuntut individu pemilik kepemilikan
yang bersifat lahiriyah tersebut secara pribadi, sebagai akibat atau hasil dari
muamalatnya dengan lembaga yang pada dasarnya kembali kepada individu
tersebut. Demikian juga, diperbolehkan bagi individu pemilik kepemilikan yang
bersifat lahiriyah itu sebagai, pihak pertama, untuk mengadakan tuntutan --dalam
kapasitasnya sebagai pribadi-- tehadap pihak ketiga, sebagai akibat dari
hubungannya dengan lembaga, sebgai pihak kedua, yang pada dasarnya kembali
kepada pihak pertama. Namun, sebagaimana yang telah kami isyaratkan
sebelumnya, di sana terdapat perbedaan dari sisi pencampuran harta, yakni tidak
diperbolehkan
mencampurkan
pengeluaran-pengeluaran
pribadi
pemilik
kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dengan pengeluaran-pengeluaran yang
khusus bagi kegiatan investasi, pada lembaga-lembaga yang bersifat individual.
Penerapan prinsip syakhshisyyah i`tibariyyah terhadap lembaga individual di dalam
permasalahan yang seperti ini merupakan sesuatu yang telah disepakati secara
syar`i, dan tidak ada perselisihan di seputarnya di kalangan para ulama, semenjak
berdirinya negara Islam pada tahun 622 M. Dan undang-undang positip, dalam
segala bentuknya, pada sistem-sistem yang tidak Islami dalam segala jenisnya, juga
telah menempuh metoda ini. Hal ini tampak jelas secara khusus semenjak
dimulainya sistem usaha investasi, pada permulaan abad XVIII, yakni investasiinvestasi pada saat itu telah mengambil karakternya yang pribadi, sebelum
munculnya revolusi industri.
Kepemilikan individu itu mengikat pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat
lahiriyah tersebut dengan lembaga atau kegiatan investasinya, maka perkara
syakhshiyyah i`tibariyyah tidaklah berdiri sebagai batas pemisah antara keduanya.
Oleh karena itu, penghitungan apa-apa yang menjadi milik pemilik kepemilikan
yang bersifat lahiriyah itu pada waktu tertentu, diakibatkan oleh penerapan
perimbangan akuntansi berikut ini: Aset-aset kewajiban-kewajiban = hak-hak
pemilik kepemilikan lahiriyah
Dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta`ala, kami akan membahas tentang
perimbangan ini, pembentuk-pembentuk dan penerapan-penerapannya pada seri
kedua Serial Referensi Para Akuntan dan Auditor.
Adapun jenis yang kedua dari jenis-jenis bentuk sistem investasi tersebut adalah
apa yang dikenal dengan istilah syarikat syakhshiyyah (syirkah-sysirkah pribadi).
Namun, wajiblah dibedakan antara dua bagian utama dari syirkah-syirkah ini.
Demikian juga bahwa masing-masing dari kedua bagian ini memiliki syirkah-syirkah
yang berbeda-beda. Kedua bagian yang utama tersebut adalah syirkah-syirkah
sistem Islam dan syirkah-syirkah sistem non-Islam.
Sebelumnya telah kita bicarakan tentang ruang lingkup akuntansi pada
pembahasan ketiga dari bab III. Yakni, dalam bab tersebut telah kita kemukakan
penjelasan secara ringkas mengenai syirkah `uqud atau sebagaimana juga dikenal
dengan nama syirkah ikhtiyariyyah, untuk membedakannya syirkah ijbariyyah. Dan
telah kami jelaskan pada saat itu bahwa syirkah-syirkah yang dikenal di dalam
sistem Islam tersebut adalah syirkah `inan, syirkah mufawadlah, 'syirkah wujuh,
syirkah a`mal atau syirkah abdan, dan terakhir syirkah mudlarabah. Demikian pula
telah kami isyaratkan pada saat itu mengenai adanya beberapa perbedaan
7
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

pendapat dalam hal fiqhnya, yang tentu saja tidak akan kita bahas pada
kesempatan sekarang ini karena tidak termasuk dalam topik pembahasan kita saat
ini.
Sesungguhnya yang menjadi kepentingan kita dalam pembahasan sekarang ini
adalah prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ditinjau dari segi hubungannya dengan
syirkah-syirkah sistem Islam, yaitu syirkah-syirkah yang tumbuh dan berjalan di
bawah naungan negara Islam, dan tidak ada seorang pun yang menggugat akan
kebolehan pendirian dan pembentukannya, walaupun ada juga yang
mempermasalahkan sebagian dari sisi-sisinya yang lain, terutama para pendiri
syirkah tersebut. Di sini, dan sebagaimana halnya lembaga-lembaga individual,
harus dibedakan antara dua permasalahan yang utama, yang keduanya akan
mempengaruhi dan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini.
Kedua permasalahan tersebut adalah: Pertama, hal-hal yang khusus berkaitan
dengan harta-harta yang diinvestasikan, yaitu harta-harta syirkah dan hubungannya
dengan harta-harta pribadi para sekutu dalam syirkah tersebut. Kedua, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para sekutu, ditinjau dari segi hubungan mereka dengan
syirkah tersebut dan hasil kegiatan-kegiatannya.
Ditinjau dari segi harta-harta yang diinvestasikan, yaitu harta-harta
syirkah yang dijadikan saham oleh para pendiri syirkah, dan hubungannya
dengan harta-harta pribadi milik para sekutu yang membentuk syirkah
itu, maka kita akan mendapatkan bahwa harta-harta itu sebagaimana
halnya lembaga individual-- harus tetap jauh dari jangkauan para sekutu
untuk tujuan-tujuan pribadi mereka. Pada syirkah `inan misalnya, tidak
diperkenankan bagi setiap sekutu untuk mencampurkan hartanya dengan harta
syirkah dan juga dengan harta yang selainnya, karena hal itu akan mengandung
pengharusan hak-hak pada harta tersebut. Ini bukanlah termasuk perdagangan
yang diperbolehkan. Juga tidak diperkenankan bagi setiap sekutu untuk mengambil
harta dengan suftajah (bill of exchange) atau memberikan harta dengan suftajah,
karena hal itu mengandung bahaya atau kemudlaratan yang dia tidak diizinkan;
tidak diperbolehkan baginya untuk meminta pinjaman terhadap harta syirkah; serta
tidak diperkenankan baginya untuk menyatakan suatu pengakuan terhadap harta
syirkah. (Ibnu Qudamah, 1403 H./ 1983 M., juz V, halaman 130--131)
Apa yang kami sebutkan di sini mengenai permasalahan syirkah `inan berlaku juga
terhadap syirkah wujuh. Sebab, asas syirkah wujuh itu adalah "dua orang berserikat
pada apa-apa yang mereka beli dengan modal kredibilitas pribadi mereka dan
kepercayaan para pedagang terhadap mereka, tanpa harus memiliki modal pokok
sedikit pun.Imam Malik dan Imam Syafi`i berkata bahwa (dalam syirkah wujuh)
dipersyaratkan penyebutan syarat-syarat perwakilan, karena syarat-syarat
perwakilan itu dipertimbangkan dalam syirkah tersebut, seperti penentuan jenis,
dan syarat-syarat perwakilan lainnya, sedangkan syirkatul `inan mengandung
makna perwakilan . Kedua sekutu (dalam syirkah wujuh), pada tindak-tanduk,
hak-hak, kewajiban-kewajiban, persetujuan-persetujuan, dan penolakan-penolakan
keduanya, dan lain-lainnya, setaraf dengan dua sekutu pada syirkah `inan." (Ibid,
halaman 122--123)
Demikian juga bahwa syirkah mudlarabah itu hukumnya seperti hukum syirkatul
`inan dalam hal bahwa setiap yang diperkenankan bagi salah seorang di antara
8
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

mereka untuk melakukannya, itu berarti diperkenankan pula bagi pihak yang
lainnya untuk melakukannya; dan apa-apa yang dilarang salah seorang dari mereka
untuk melakukannya, itu berarti dilarang pula bagi pihak yang lainnya untuk
melakukannya. Apa-apa yang diperselisihkan pada syirkah `inan tersebut, pada
syirkah mudlarabah juga diperselisihkan; dan apa-apa yang diperbolehkan untuk
menjadi modal pokok syirkah tersebut, berarti diperkenankan pula untuk menjadi
modal pokok syirkah mudlarabah; dan apa-apa yang tidak diperkenankan padanya,
tidak diperkenankan pula di sini sebagaimana yang telah kami jelaskan
Adapun syirkah mufawadlah, yang menduduki tingkat pertama dalam menghadapi
berbagai macam perbedaan pendapat fiqhiyyah tentang kebolehannya, maka
sangat sulit terjun ke dalam perdebatan-perdebatan fiqhiyyah untuk menguatkan
salah satu pendapat dari pendapat yang lainnya, karena ini bukan bidang
spesialisasi kami. Akan tetapi karena dia memang telah ada, dan untuk tujuantujuan prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah, serta secara umum, maka yang tampak
dalam pandangan kami bahwa diperbolehkannya syirkah mufawadlah ini dengan
pengertian seperti yang dipahami oleh madzhab Maliki dan Hanbali adalah lebih
kuat, dan bahwasanya tidak dipersyaratkan padanya kecuali seperti apa yang
dipersyaratkan pada syirkah `inan", ('Ali Ahmad Al Qulaishi (A), 1414 H. / 1993 M.,
halaman 21). Dari sini dapatlah kami ambil suatu kesimpulan bahwa batasanbatasan yang kami kemukakan sebelumnya mengenai syirkah `inan berlaku juga
untuk syirkah mufawadlah ini.
Adapun mengenai syirkah a`mal atau abdan --yang juga perselisihkan
dalam hal kebolehannya, di samping dalam hal hakikatnya ketika
dibolehkan-- sesungguhnya berkaitan dengan persoalan kegiatan itu
sendiri, dan persoalan harta bukanlah asas atau dasarnya. Hal itu karena
hakikatnya adalah pembagian hasil kegiatan, yakni dua orang atau lebih bersekutu
dalam apa yang mereka hasilkan dengan tangan-tangan mereka, seperti
persekutuan para pengrajin untuk bekerja pada kerajinan mereka, atau mereka
bersekutu dalam apa yang mereka hasilkan dari kegiatan-kegiatan yang
diperbolehkan. Madzhab Hanafi
mendefinisikannya dengan
mengatakan,
persekutuan dua orang pengrajin yang sama dalam keahliannya, atau mungkin saja
berbeda, untuk mengerjakan suatu kegiatan pekerjaan, dan hasilnya dibagi di
antara mereka. (Ibid, halaman 24) Selanjutnya, kita dapatkan bahwa di sana tidak
ada modal pokok yang tetap atau aktif, yakni kegiatannya itu terbatas pada
pekerjaan saja, dan pembagian hasilnya berdasarkan apa yang telah disepakati.
Maka di sini, sebagai suatu kaidah umum, tidak ada tempat bagi percampuran
harta-harta pribadi tersebut dengan yang khusus untuk syirkah.
Adapun permasalahan yang kedua berkaitan dengan hak-hak dan kewajibankewajiban para sekutu, dilihat dari segi hubungan mereka dengan syirkah dan hasilhasil kegiatannya, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu
syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) dan di bawah naungan syirkah-syirkah
sistem Islam. Di sini kita dapatkan bahwa prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ini tidak
dapat diterapkan dan tidak bisa memisahkan syirkah itu dari para sekutunya, lain
halnya pada saat bercampurnya harta-harta pribadi dengan harta-harta perusahaan
seperti yang telah kita kemukakan sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban syirkah terhadap pihak lain sebenarnya juga merupakan hakhak dan kewajiban-kewajiban para sekutu terhadap pihak lain. Demikian pula,
9
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

kerugian syirkah itu merupakan kerugian bagi para sekutu itu sendiri, dan
keuntungan-keuntungannya merupakan keuntungan bagi para sekutu itu sendiri.
Hal itu karena wadl`iyyah wadl dlaman (jaminan) merupakan salah satu keharusan
syirkah. Oleh karenanya, dikaitkanlah hal itu kepada para sekutu sebagaimana
halnya keuntungan." (Ibnu Qudamah, 1403 H. / 1983 M., juz V, halaman 128) Hal
ini dapat diterapkan kepada seluruh -syirkah yang telah kami isyaratkan
sebelumnya, yang berada di bawah naungan sistem Islam.

10
Ekonomi Islam dalam sebuah catatan akuntan Indonesia

Das könnte Ihnen auch gefallen