Sie sind auf Seite 1von 34

BAB I

STATUS PENDERITA NEUROLOGI


I.

IDENTIFIKASI
Nama

: Tn. A

Umur

: 51 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl. PSI Lautan RT. 21 RW. 06, Kel 36 Ilir, Kec. Gandus, Kota
Palembang

Agama

: Islam

Tanggal MRS

: 24 November 2016

No. RM/Register : 981192/RI16032233


II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan aloanamnesis, 24 November 2016 Pukul 08.00 WIB)
Penderita dirawat di bagian saraf RSMH karena mengalami kejang rangsang yang
terjadi sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit.
6 hari sebelum masuk rumah sakit penderita diketahui mengalami luka di tangan
sebelah kiti akibat tertusuk bilah bambu, luka tidak dibersihkan dan penderita tidak
berobat. Penderita lupa apakah pernah divaksin tetanus sebelumnya atau tidak. 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami kejang. Kejang berupa kejang rangsang,
kaku seluruh tubuh, frekuensi tidak tentu, timbul setiap kali ada rangsangan, pegangan,
cahaya, suara, lama kejang <10 detik, penderita juga mengalami kesulitan membuka mulut,
rahang terasa kaku, dan perut keras seperti papan. Saat kejang tidak ada mata mendelik ke
atas, mulut berbusa, lidah tergigit, dan mengompol. Penderita juga tidak mengalami
demam, mual, muntah, ataupun penurunan kesadaran. Lalu pasien berobat ke RS
A.K.Gani, dikatakan tetanus dan mendapatkan suntikan anti tetanus dan pasien di rujuk ke
IGD RSMH.
Riwayat digigit anjing atau hewan lain tidak ada. Riwayat trauma kepala dan
pembedahan sebelumnya disangkal. Penyakit seperti, diabetes mellitus, sakit gigi tidak ada.
Penyakit seperti ini diderita untuk pertama kalinya.

III.

PEMERIKSAAN
Status Internus (Pemeriksaan Fisik, 24 November 2016 Pukul 08.45 WIB)
Kesadaran

: GCS = 15 (E4M6V5)

Tekanan Darah

: 100/80 mmHg

Nadi

: 80 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.

Suhu Badan

: 36,8 C

Pernapasan

: 20 kali/menit

Vas

:4

Jantung

: HR = 80 kali/menit, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru

: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

: Datar, keras seperti papan, nyeri (+), hepar dan lien sulit dinilai, BU
(+) normal.

Anggota Gerak : Tampak luka abses pada bagian 1/3 proksimal antebrachii sinistra
ukuran 5 x 5 cm, nyeri tekan (+).
Genitalia

: Tidak diperiksa

Status Psikiatrikus
Sikap

: kooperatif

Perhatian : ada

Ekspresi Muka

: ada

Kontak Psikik

: ada

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk

: Normochepali

Deformitas

: (-)

Ukuran

: normal

Fraktur

: (-)

Simetris

: simetris

Nyeri fraktur

: (-)

Hematom

: (-)

Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

Tumor

: (-)

Pulsasi

: (-)

Sikap

: kaku

Deformitas

: (-)

Torticolis

: (-)

Tumor

: (-)

LEHER

Kaku kuduk: (-)

Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius
Penciuman

Kanan
Tidak ada kelainan

Kiri
Tidak ada kelainan

Anosmia

Hiposmia

Parosmia

N. Optikus
Visus

Kanan
6/6

Kiri
6/6

Campus visi

V.O.D

V.O.S

Anopsia

Hemianopsia

Fundus Oculi
Papil edema
Papil atrofi
Perdarahan retina

N. Occulomotorius, Trochlearis, &

Kanan

Kiri

Abducens
Diplopia

Celah mata

Ptosis

Sikap bola mata


-

Strabismus

(-)

Exophtalmus

(-)

Enophtalmus

(-)

Deviation conjugae

Baik ke segala

Baik ke segala

arah

arah

Bulat

Bulat

Gerakan bola mata

Pupil
3

Bentuk
Diameter
Isokor/anisokor
Midriasis/miosis
Refleks cahaya
Langsung
Konsensuil
Akomodasi
- Argyl Robertson

N. Trigeminus
Motorik
-

Menggigit
Trismus
Refleks kornea

Sensorik
-

Dahi
Pipi
Dagu

N. Fasialis
Motorik
-

Mengerutkan dahi
Menutup mata
Menunjukkan gigi
Lipatan nasolabialis
Bentuk muka

Sensorik
-

2/3 depan lidah


Otonom
Salivasi
Lakrimasi
Chvosteks sign

3 mm

3 mm

Isokor

Isokor

Kanan

Kiri

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

(+) 2 jari

(+) 2 jari

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Kanan

Kiri

Simetris

Simetris

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Simetris
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Simetris
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

N. Cochlearis
Suara bisikan

Kanan

Kiri
Tidak ada kelainan

Detik arloji

Tes Weber

Tes Rinne

N. Vestibularis
Nistagmus
Vertigo

Kanan
-

Kiri
-

N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Arcus pharingeus

Kanan
Kiri
Belum dapat dinilai

Uvula

Belum dapat dinilai

Gangguan menelan

(+) Disfagia

Suara serak/sengau

Denyut jantung

Tidak ada kelainan

Refleks
-

Muntah
Batuk
Okulokardiak
Sinus karotikus

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Sensorik
-

Tidak ada kelainan

1/3 belakang lidah


Tidak ada kelainan

N. Accessorius
Mengangkat bahu

Kanan

Memutar kepala
N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah

Kiri
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan

Kanan

Kiri
Simetris

Fasikulasi

Atrofi papil

Disatria
MOTORIK
5

LENGAN
Gerakan

Kanan
Cukup

Kiri
Cukup

Kekuatan

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Kanan
Cukup

Kiri
Cukup

Menigkat

Meningkat

(-)

(-)

(-)

(-)

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Tonus
Refleks fisiologis
-

Biceps
Triceps
Radius
Ulna

Refleks patologis
-

Hoffman Tromner
Leri
Meyer

TUNGKAI
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
-

Paha
Kaki

Refleks fisiologis
-

KPR
APR

Refleks patologis
-

Babinsky

Chaddock

Oppenheim

Gordon

Schaeffer

Rossolimo

Refleks kulit perut


- Atas

(+)

- Tengah

(+)
6

- Bawah

(+)

Refleks cremaster
Trofik

tidak ada kelainan

SENSORIK

tidak ada kelainan

Miksi

tidak ada kelainan

Defekasi

tidak ada kelainan

FUNGSIVEGETATIF

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis

: tidak ada

Lordosis

: tidak ada

Gibbus

: tidak ada

Deformitas

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Meningocele

: tidak ada

Hematoma

: tidak ada

Nyeri ketok

: tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk

: ada

Kerniq

: ada

Lasseque

: ada

Brudzinsky
-

Neck

: tidak ada

Cheek

: tidak ada

Symphisis

: tidak ada

Leg I

Leg II

: tidak ada
: tidak ada

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait

Keseimbangan dan Koordinasi


7

Ataxia

: b.d.d

Romberg

: b.d.d

Hemiplegic

: b.d.d

Dysmetri

: tidak ada kelainan

Scissor

: b.d.d

- jari-jari

: tidak ada kelainan

Propulsion

: b.d.d

- jari hidung

: tidak ada kelainan

Histeric

: b.d.d

- tumit-tumit

: tidak ada kelainan

Limping

: b.d.d

Rebound phenomen : tidak ada kelainan

Steppage

: b.d.d

Dysdiadochokinesis : tidak ada kelainan

Astasia-Abasia: b.d.d

Trunk Ataxia

: tidak ada kelainan

Limb Ataxia

: tidak ada kelainan

GERAKAN ABNORMAL
Tremor

: tidak ada

Chorea

: tidak ada

Athetosis

: tidak ada

Ballismus

: tidak ada

Dystoni

: tidak ada

Myocloni

: tidak ada

FUNGSI LUHUR
Afasia motorik

: tidak ada

Afasia sensorik

: tidak ada

Apraksia

: tidak ada

Agrafia

: tidak ada

Alexia

: tidak ada

Afasia nominal

: tidak ada

LABORATORIUM
DARAH
Hb

: 12,4 g/dl

Kalsium (Ca)

: 9,5 mg/dL

Eritrosit

: 3,9x106/mm3

Magnesium (Mg)

: 2,06 mEq/L

Leukosit

: 12,3x103 /mm3

Natrium (Na)

: 145 mEq/L

Diff Count

: 0/0/80/12/8

Kalium (K)

: 5,1 mEq/L

Trombosit

: 358x103/mm3

Hematokrit

: 38 vol%

Klorida (Cl)
SGOT
8

: 110 mEq/L
: 252 U/L

Ureum

: 42 mg/dl

Kreatinin

: 0,91 mg/dl

SGPT

: 70 U/L

URINE
Tidak diperiksa
FESES
Tidak diperiksa
LIQUOR CEREBROSPINALIS
Tidak diperiksa
PEMERIKSAAN KHUSUS
Rontgen Thoraks PA

: tidak diperiksa

Rontgen Columna Vertebralis

: tidak diperiksa

CT Scan Kepala

: tidak diperiksa

Elektroencephalografi

: tidak diperiksa

Electroneuromyografy

: tidak diperiksa

Arteriografi

: tidak diperiksa

Pneumografi

: tidak diperiksa

Rencana Elektrokardiografi.

Tabel 1.1 Phillip Score


Faktor Risiko

Skor

Masa Inkubasi
- <48 jam
- 2-5 hari
- 5-10 hari
- 10-14 hari
- >14 hari
Lokasi Infeksi
- Umbilikus dan internal
- Kepala, leher, dinding tubuh
- Perifer proksimal
- Perifer distal
- Tidak diketahui

5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
9

Status proteksi
- Tidak ada
- Sebagian imunisasi waktu kehamilan
- >10 tahun
- <10 tahun
- Lengkap
Komplikasi
- Luka atau kondisi mengancam kehidupan
- Luka berat atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka sedang atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka kecil
- ASA grade 1
Total
Keterangan : Skor 16 Tetanus berat
IV.

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik

Diagnosis Topik

10
8
4
2
0
10
8
4
2
0
17

: 1. Trismus
2. Opistotonus
3. General Muscle Spasm
4. Risus sardonicus
: Neuromuscular junction

Diagnosis Etiologi : Infeksi Clostridium tetani


V. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
- Edukasi
1. Isolasi, menghindari rangsangan cahaya dan suara.
2. Menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit yang
diderita.
3. Menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien tentang keteraturan
-

minum obat.
O2 3-5 liter/menit via nasal kanul
Diet cair 1800 kkal TKTP via NGT

B. Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
- Diazepam 20 x 10 mg (drip) 2cc/jam
- Metronidazol 4 x 500 mg i.v
- Ceftriaxone 2 x 1 gram i.v
- Neurobion 1 x1 i.m
- Paracetamol 3 x 1 gram i.v
- Omeprazole 1 x 40 mg i.v
- Injeksi Anti Tetanus Serum (ATS) 20.000 IU/hari/i.m (selama 5 hari)
- Perawatan luka dengan povidone iodine
VI.

PROGNOSIS
10

Quo ad Vitam

: dubia ad malam

Quo ad Functionam

: dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus berasal dari kata Yunani yaitu tetanos dari teinein yang artinya regangan,
kekakuan, atau kontraksi (stretch atau rigidity)1, tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw
atau Seven Day Disease yang merupakan suatu penyakit neurologi, dicirikan dengan
peningkatan tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus
termasuk didalamnya adalah tetanus neonatorum, tetanus generalisata, dan gangguan
neurologis lokal.2
2.2 Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu menimpa individu non-imun, individu
dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi
di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara lain di benua Asia.2 Karena meluasnya
penggunaan imunisasi pada tetanus, kejadian tetanus dilaporkan di Amerika Serikat telah
11

menurun secara substansial sejak pertengahan tahun 1940-an. Dari tahun 2001-2008, total 233
kasus dan 26 kematian akibat tetanus yang telah dilaporkan di Amerika Serikat, yang berarti
telah terjadi pengurangan 95% sejak tahun 1947. Sedangkan angka kematian yang terjadi
pada tetanus neonatorum di negara non-industrial terdapat 59.000 bayi yang baru lahir di
seluruh dunia pada tahun 2008. Di Amerika Serikat, dari tahun 2007 rata-rata 31 kasus
dilaporkan per tahun dan semua kasus terjadi pada individu yang tidak di imunisasi atau pada
individu yang tidak mendapat vaksin ulangan. Selama periode 2001-2008 di Amerika Serikat,
dilaporkan 71 orang (30%) berusia 65 tahun atau lebih, 139 oang (60%) berusia 20 64
tahun, dan 23 orang (10%) berusia lebih muda dari 20 tahun, termasuk kasus tetanus neonatal
(Gambar 2.1). Risiko kematian pada kasus tetanus 5 kali lebih besar terjadi pada usia >65
tahun.3 Di Indonesia meskipun angka kejadian tetanus saat ini sudah menurun dengan
berjalannya program imunisasi pada anak, namun angka kematian masih mencapai 60%,
menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, terdapat 119 kasus tetanus neonatorum
dengan jumlah meninggal 59 kasus.4
2.3 Etiologi
Clostridium tetani adalah berbentuk batang yang pipih dengan ukuran panjang 25 um
dan lebar 0,30,5 um. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang bersifat anaerob,
terdapat di mana-mana dengan habitat alamnya di tanah, tetapi bisa juga diisolasi dari kotoran
hewan peliaharaan dan manusia. Clostridium tetani membentuk spora yang berbentuk lonjong
dengan ujung yang bulat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini bersifat
resisten terhadap disinfektan dan tahan dalam air mendidih selama 4 jam tetapi mati dalam
autoklaf bila dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak terkena cahaya,
maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai tahunan.5,8
Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam lingkungan anaerob dan kemudian
akan berkembang biak. Bentuk vegetatif ini tidak tahan terhadap panas. Clostridium tetani
tumbuh subur pada suhu 17C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Clostridium
tetani bukan merupakan bakteri yang invasif, akan tetapi bakteri ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan
berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan
enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga
neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang. Adapun
tetanolisin merupakan toksin yang menyebabkan lisis dari sel darah merah.5,8
12

Toksin tetanus diproduksi secara in vitro dengan jumlah 5 10 % dari beratnya bakteri.
Karena toksin memiliki afinitas yang khusus untuk jaringan saraf, maka disebut dengan
neurotoxin. Toksin akan hancur pada suhu 56oC selama 5 menit dan O2.5

Gambar 2.1 Clostridium tetani yang dicirikan dengan gambaran seperti stik drum.5

Port dentry tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui:
a.
b.
c.
d.
e.

Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.


Luka operasi yang tidak di rawat dan dibersikan dengan baik.
OMP, caries gigi.
Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Penjahitan luka robek yang tidak steril.

2.4 Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada
infeksi oleh mikroorganisme yang lain.2,6
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil
tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu
secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. 2,6
Tetanoplasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda dengan berat 150kDa yang semula bersifat inaktif. Rantai berat 100kDa (Hheavy) dan rantai ringan 50kDa ((L-light), dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive
terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan sulfide
yang menghubungan kedua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membrane
13

saraf dan ujung amino yang memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan
bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang
dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan
terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung saraf lokal. Jika toksin yang
dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat
pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan
ditransportasikan dalam akson dan secara retrogred kedalam badan sel di batang otak dan
saraf spinal. 2,6
Transport pertama kali pada saraf motorik, lalu saraf sensorik dan saraf otonom. Jika
toksin telah masuk kedalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi
ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus
akan muncul. Transport intraneural retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke
batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan
suatu mekanisme yang tidak jelas. 2,6
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfide yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin
dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein
membrane yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neurotransmitter. Rantai ringan tetanosplasmin merupakan metalloproteinase zink yang
membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan
neurotransmitter. 2,6
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik
juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah
neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang
mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron
motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat
medulla dan hypothalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
konvusan kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme
14

intermiten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung
neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada
paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah
pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis
flaksid. 2,6
Aliran eferen yang tidak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Reflex
inhibisi dari kelompok otot antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah
nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering
terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh
mengikuti, sedangkan otot perifer tangan dan kaki relative jarang terlibat. Aliran impuls
otonomik yang tidak terkendai akan berakibat terganggunya control otonomik dengan
aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya
toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang
baru yang menjelaskan kenapa tetanus berdurasi lama. 2,6
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal; sawar
darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transport intraneural sama pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang; hal ini mejelaskan urutan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata. 2,6

Gambar 2.2. Skema dari struktur dan aktivasi dari neurotoksin tetanus.7

Keterangan: Toksin dihasilkan sebagai rantai polipeptida tunggal yang tidak aktif. Toksin akan
diaktivasi selama pemecahan proteolitik selektif, sehingga akan menghasilkan dua rantai disulfide.
Tiga daerah ini akan memerankan fungsi yang berbeda dalam rantai L pada sitosol. L adalah sebuah
zinc-endopeptidase spesifik untuk komponen protein dari apparatus neuroeksitosis. 7

15

2.5 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya tetanus semakin besar terjadi pada individu yang:
a. Tidak mendapat vaksinasi lengkap atau tidak melakukan pengulangan. Usia tua juga
memperbesar risiko terserang tetanus karena imunitas terhadap tetanus sudah
b.
c.
d.
e.
f.
g.

menurun.
Mengalami luka bakar.
Bertato.
Frostbite yang sering ditemukan pada pendaki gunung.
Infeksi gigi seperti periodontal abses.
Mengalami luka tembus pada mata.
Komplikasi medis seperti; aborsi septik, infeksi pada luka pemotongan tali pusar,
persalinan, pembedahan, injeksi muskuler, diabetes mellitus (ulkus ganggren) yang
perawatannya tidak baik.

2.6 Manifestasi Klinis


Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai
komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, abosri septic, persalinan, injeksi muscular dan pembedahan. Trauma yang
menyebabkan tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi
dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan medis. Pada 1525 pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru. 2,6
Berdasarkan gejala klinis, tetanus dapat dibagi menjadi;
1. Tetanus Generalisata
2. Tetanus Neonatorum
3. Tetanus Lokal
4. Tetanus Sefalik
Tetanus Generalis
Tetanus generalis merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai
dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi,
tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma
adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari. 2,6
Terdapat trias klinis berupa; rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik.
Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan
gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci.
Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang
16

khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia.
Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa
menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi
dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Reflex tendon dalam meningkat. Pasien dapat
demam, walaupun banyak yang tidak sedangkan kedasaran tidak dipengaruhi. 2,6
Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan
antagonis secara bersamaan. Kontraksi dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus
berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat sangat
berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal
nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme
faringeal sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan
obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa. 2,6
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di
seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali
terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh.
Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia,
keracunan striknin, dan hysteria. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan,
tetanus lokal dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas
sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang
berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf cranial; paralisis lebih mendominasi
gambaran klinisnya, daripada spamse. 2,6
Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu
yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat
yang tidak steril. Risiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan,
dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilicus. Onset biasanya dalam 2 minggu
pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran
khas tetanus neonatorum. Diantara neonates yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi
mental terjadi pada yang bertahan hidup. 2,6

17

Tetanus Lokal
Tetanus local merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas
hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada
tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai
berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum
prognostiknya baik. 2,6
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah
trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi
satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot
ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 2,6
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang khas. Anamnesis
terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk mencurigai adanya port dentry dan
masa inkubasi, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor, luka bakar, infeksi gigi dan telinga,
dan riwayat operasi. Tabel 2.1. Menunjukkan kriteria jenis luka yang rentan dan tidak rentan
tetanus. Selain itu perlu ditanyakan riwayat imunisasi, persalinan dan perawatan tali pusat
pada bayi. Gejala klinis yang khas seperti trismus dan opistotonus menjadi dasar untuk
mendiagnosis tetanus.
Tabel 2.1 Kriteria Jenis Luka
Luka Rentan Tetanus
6-8 jam
Kedalaman luka >1cm
Terkontaminasi
Bentuk stelat, avulsi atau hancur (ireguler)
Denervasi, iskemik
Terinfeksi (purulent, jaringan nekrotik)

Luka Tidak Rentan Tetanus


< 6 jam
Superficial (<1cm)
Bersih
Bentuk linear, tepi tajam
Neuro/vaskuler intak
Tidak terinfeksi

Kriteria Diagnosis 7

Hipertoni dan spasme otot


- Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri, opistotonus, dinding
perut tegang, anggota gerak spastik.
18

Lain-lain : Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada otot-otot di

sekitar luka.
Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu.
Umumnya ada luka/ riwayat luka.
Retensi urine dan hiperpireksia.
Tetanus lokal

Derajat Tetanus
Derajat tetanus dapat ditentukan dengan menggunakan Philips Score atau Abletts.
Skor tersebut dapat memberikan rencana penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.
Tabel 2.2 Skor Philips 8
Faktor Risiko

Skor

Masa Inkubasi
- <48 jam
- 2-5 hari
- 5-10 hari
- 10-14 hari
- >14 hari
Lokasi Infeksi
- Umbilikus dan internal
- Kepala, leher, dinding tubuh
- Perifer proksimal
- Perifer distal
- Tidak diketahui
Status proteksi
- Tidak ada
- Sebagian imunisasi waktu kehamilan
- >10 tahun
- <10 tahun
- Lengkap
Komplikasi
- Luka atau kondisi mengancam kehidupan
- Luka berat atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka sedang atau kondisi tidak mengancam kehidupan
- Luka kecil
- ASA grade 1
Keterangan :
- Skor tetanus ringan : <9
- Skor tetanus sedang : 9-16
- Skor tetanus berat : >16
Tabel 2.3 Klasifikasi Ablet terhadap tingkat keparahan Tetanus.7
19

5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
10
8
4
2
0
10
8
4
2
0

Stadium

Gejala klinis

Ringan: Trismus ringan hingga sedang; spastisitas general; tidak ada


keterlibatan sistem respirasi; tidak ada spasme; tidak ada disfagia atau ringan
Sedang: Trismus ringan; rigiditas yang jelas; spasme ringan atau sedang tapi
sebentar; keterlibatan sistem respirasi yang sedang dengan peningkatan laju
nafas lebih dari 30 kali; disfagia ringan.
Berat: Trismus berat; spastisitas generalisata; refleks spasme yang lama; laju
nafas lebih dari 40 kali; apneic spells; disfagia berat; takikardi yang lebih dari
120.
Sangat berat: Stadium III dan gangguan otonom berat yang melibatkan sistem
kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardi bergantian dengan hipotensi
relatif dan beradikardi, yang mana akan menjadi persisten.

II
III
IV

Tabel 2.4 Skor Dakar.8


Faktor

Dakar Score
Score 0

Score 1
prognosis
Periode inkubasi <7 hari
Periode onset
<2 hari
Tempat masuk
Umbilikus, luka bakar, uterus, fraktur
Spasme
Demam
Takikardi

7 hari atau tidak diketahui


2 hari
Selain dari yang telah disebut,

terbuka, luka operasi, injeksi IM


Ada
>38,4oC
Dewasa > 120 kali/menit

atau tidak diketahui


Tidak ada
<38,4oC
Dewasa <120 kali/menit

Neonatus > 150 kali/menit

Neonatus < 150 kali/menit

Keterangan :
- Dakar score 0-1, ringan (mortalitas 10%)
- 2-3, sedang (mortalitas 10-20%)
- 4 berat (mortalitas 20-40%)
- 5-6 sangat berat (mortalitas >50%)
Adapun grading berdasarkan kriteria Pattel Joag, yaitu sebagai berikut:
Kriteria 1

: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang belakang

Kriteria 2

: spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3

: inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4

: waktu onset antara 48 jam atau kurang

Kriteria 5

: kenaikan suhu rektal 100o F atau aksila sampai 99o F (atau 37,6o C)

Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut:


Derajat 1

: kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%.

Derajat 2

: kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih


dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%.
20

Derajat 3

: kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari


7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.

Derajat 4

: kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

Derajat 5

: bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus puerpurium,


mortalitas 84%.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk mencurigai adanya
port dentry, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor, luka bakar, infeksi gigi dan telinga,
dan riwayat operasi. Gejala klinis yang khas menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus. Tidak
ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. Pemeriksaan EKG, darah rutin, fungsi faal ginjal,
elektrolit, analisa gas darah, kultur untuk infeksi dilakukan untuk membantu mengatasi
penyulit yang mungkin terjadi.1
Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan C.tetani. EKG bila ada
tanda-tanda gangguan jantung. Sedangkan foto toraks bila ada tanda komplikasi paru-paru.7
2.9 Diagnosis Banding
Menurut Perdossi 2013 dalam Standar Pelayanan Medik dan Taylor 2006 diagnosis banding
tetanus adalah;7,9
-

Keracunan Strychnine
Strychnine merupakan suatu bahan kimia yang bersifat alkaloid yang digunakan
sebagai pestisida. Strychnine jika terhisap, tertelan, atau terabsobsi melalui mata atau
mulut dapat menyebabkan keracunan, yang akan menyebabkan terjadinya kaku otot
muka dan leher, dan konvulsi tubuh menjadi lengkung pada hiperekstensi sehingga

memungkinkan hanya ubun-ubun kepala dan tumit yang menyentuh lantai


Rabies
Pada rabies ditemukan kejang pada orofaring. Khas dari rabies dalah hidrofobik yang
dialami pasien. Pada rabies tidak ditemukan trismus dan terdapat riwayat gigitan

binatang.
Meningitis
Pada meningitis dapat ditemukan disfagia dan kaku pada leher. Juga ditemukan
demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah dengan tidak adanya

trismus merupakan perbedaan dengan tetanus


Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandiula
Sindrom hiperventilasi/reaksi histeri
Epilepsi/kejang tonik klonik umum
21

Epilepsy dapat meyebabkan kejang, namun tidak ditemukan kekakuan otot diantara
kejang. Bisanya sudah ada riwayat seragam epilepsy sebelumnya.
2.10 Tatalaksana
Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan; organisme yang terdapat dalam tubuh
hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin berlanjut; toksin yang terdapat
dalam tubuh, diluar system saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang
telah terikat pada system saraf pusat diminimisasi.
Pasien hendaknya diletakkan diruangan yang tenang, dimana observasi dan pemanauan
kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sedangkan stimulasi di minimalisasi.
Perlindungan terhadap jalan nafas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan
secara hati-hati dan dilakukan debridement secara menyeluruh.2,6,10
Netralisasi dari Toksin yang Bebas
Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan
toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf
tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (HTIG) merupakan pilihan utama dan
hendaknya diberikan segera dengan dosis 3000-6000 unit intramuskuler, biasanya dengan
dosis terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian
beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unti sama efektifnya dengan dosis
yang lebih tinggi. Immunoglobulin intravena merupakan alternative lain daripada HTIG tapi
konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik
memberikan antitoksin sebelum manipulasi luka.2,6,10

Menyingkirkan Sumber Infeksi


Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotic diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi selsel vegetative, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena
setiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secara luas dipergunakan selama
bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi.

22

Metronidazole merupakan antibiotic pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1gr tiap
12 jam) dipergunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial.2,6,10
Pengendalian Rigiditas dan Spasme
Banyak obat yang dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk mengobati
spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena dapat
menyebabkan laringospasme atau kontaksi secara terus-menerus otot-otot pernafasan.
Regimen yang ideal adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodic tanpa
menyebabkan efek sedasi yang berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang
tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepine.
Benzodiazepine memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada
reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui berbagai rute yang bervariasi, murah dan
dipergunakan secara luas, tetapi kerja metabolit kerjanya panjang, dapat terakumulasi dan
berakibat koma berkepanjangan. Pilihan yang lain adalah lorazepam dan midazolam. Sebagai
sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh
memperkuat aktivitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Barbiturate dan
klorpomazin ini merupakan obat lini kedua. Propozol telah dipergunakan sebagai sedasi
dengan pemulihan yang cepat setelah infuse di stop.2,6,10
Penatalaksanaan Respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada
hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau
disfagia.2,6,10
Penatalaksanaan Intensif Suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang ikut terjadi penyebabnya
mencakup ketidakmampuan menelan, meningkatnya laju metabolism akibat pireksia dan
aktivitas muskuler dan masa kritis yang bekepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya
diberikan seawal mungkin. Nutrisi enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah
dan lebih murah daripada nutrisi parenteral.2,6,10
Penatalaksanaan Lain
23

Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak nampak
dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signfikan; kecukupan kebutuhan gizi yang
meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk mencegah
kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih, dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal
dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.2,6,10
Vaksinasi
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena imunitas tidak
diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.
Farmakologi Obat-obatan yang Biasa Dipakai pada Tetanus
Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi
semua tingkatan system saraf pusat, termasuk bentukan limbic dan reticular, mungkin dengan
meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotansmiter inhibitori utama.

Dosis Dewasa
Spasme ringan
Spasme sedang
Spasme berat
Dosis pediatric
Spasme ringan

: 5 10 mg oral tiap 4 6 jam apabila perlu.


: 5 10 mg i.v apabila perlu
: 50 100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam.
: 0,1 0,8 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat

kali sehari.
Spasme sedang sampai berat: 0,1 0,3 mg/kgBB/hari i.v tiap 4 sampai 8 jam.
Kontraindikasi
: Hipersensitiitas, glaucoma sudut sempit.
Interaksi
: Toksisitas benzodiazepine pada system saraf
pusat meningkat apabila dipergunakan bersamaan dengan
alcohol, fenothiazin,barbiturate, dn MAOI; cisapride dapat

Kehamilan

meningkatkan kadar diazepam secara berakna.


: Criteria D (tidak aman bagi kehamilan)
Perhatian
: Hati-hati pada pasien yang mendapatkan
depresan system saraf pusat yang lain, pasien dengan kadar
albumin rendah atau gagal hati karena, toksisitas diazepam
dapat meningkat.

24

Fenobarbital. Dosis baru harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk
mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.

Dosis Dewasa
Dosis pediatric

: 1 mg/kg i.m tiap 4 6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari.


: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
Kontraindikasi: Hipersensitifitas, gangguan fungsi

penyakit paru-paru berat, dan pasien nefritis.


Interaksi
:Dapat
menurunkan
efek

hati,

kloranfenikol,

digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin, teofilin, verapamil,

Kehamilan

metronidazol, dan antikoagulan.


: Criteria D (tidak aman bagi kehamilan)
Perhatian
: Pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati,
ginjal dan system hematopoitik. Hati-hati pada miastenia gravis
dan miksedema.

Baklofen. Baklofen intatekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infuse
diazepam. Baklofen intratekal 600 kali lebih poten daripada baklofen peroral. Keseluruhan
dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih
apabila spasme paroksismal kembali terjadi.

Dosis dewasa

: < 55 tahun = 100 mgc IT


> 55 tahun = 800 mgc IT

Dosis pediatrik

: < 16 tahun = 500 mgc IT


>16 tahun = seperti dosis dewasa
Kontraindikasi: Hipersensitifitas.
Interaksi
: analgesic opiate, benzodiazepine, alcohol,
guanabens, MAOI, klindamisin, dan obat antihipertensi dapat

Kehamilan

meningkatkan efek baklofen.


: Criteria C (keamanan bagi wanita hamil tidak diketahui)
Perhatian
: Hati-hati pada pasien dengan disrefleksia
otonomik.

Penisilin G. berperan dalam mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot


selamamultiplikasi aktif, menghasilkan aktifitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang
rentan. Diperlukan terapi selama 10 14 hari. Dosis besar penisilin i.v dapat menyebabkan
25

anemia hemolitik, dan neurotoksisitas. Henti jantung telah dilaporkan pada pasien yang
mendapatkan dosis massif penisilin G.

Dosis Dewasa
Dosis pediatric

: 10 24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis.


: 100.000 250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari.
Kontraindikasi: Hipersensitifitas.
Kehamilan
: Criteria B (biasanya aman, tetapi digunakan

apabila manfaatnya melebihi risiko yang mungkin terjadi).


Perhatian
: Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

Metronidazol. Aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsobsi kedalam sel dan
senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis
protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan selama 10-14 hari.

Dosis Dewasa : 500 mg peroral tiap 6 jam atau 1g i.v tiap 12

jam, tidak melebihi 4g/hari.


: 15-30 mg/kgBB/hari i.v tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2g/hari.
Kontraindikasi: Hipersensitifitas, trimester pertama kehamila.
Interaksi
:Dapat
menurunkan
efek
kloranfenikol,

Dosis pediatric

digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin, teofilin, verapamil,

metronidazol, dan antikoagulan.


Kehamilan
: Criteria B (biasanya aman, tetapi digunakan

apabila manfaatnya melebihi risiko yang mungkin terjadi).


Perhatian
: Penyesuaian dosis pada penyakit hati,
pemantauan kejang dan nuopati perifer.

2.11 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau sebagai
konsenkuensi dari terapi sederhana seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau
apnea, atau konsenkuesi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan
ventilator.6
Tabel 2.5 Komplikasi Tetanus
Sistem
Komplikasi
Jalan nafas
Aspirasi,
Laringospasme/obsturksi
Obstruksi berkaitan dengan sedative
Respirasi

Apnea
26

Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal

nafas

tipe

(spasme

laryngeal,

spasme

trunkal

berkepanjangan, sedasi berlebihan)


ARDS
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)
Kardivaskuler

Takikardia, hipertensi, iskemia


Hipotensi, bradikardia
Asistol
Gagal jantung.

Ginjal

Gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure)


Gagal ginjal oligouria,
statis urin dan infeksi.

Gastrointestinal

Stasis gaster, ileus, diare dan perdarahan.

Lain-lain

Penurunan berat badan,


tromboembolus,
Sepsis dengan gagal organ multipel,
Fraktur vertebra selama spasme,
Rupture tendon akibat spasme.

2.12 Prognosis
Angka kematian tetanus masih cukup tinggi. Prognosis kesembuhan dan kematian
berhubungan dengan derajat tetanus.1
Angka kematian tinggi bila
-

Usia tua
Masa inkubasi singkat
Onset periode yang singkat
Demam tinggi
Spasme yang tidak cepat diatasi

Sebelum pasien keluar rumah sakit, diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mg IM. TT2 dan TT3
diberikan masing-masing dengan interval waktu 4-6 minggu.7
2.13 Pencegahan
1. Imunisasi Aktif
27

Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan pencegahan


yang paling efektif dalam praktik. Angka kegagalan dari tindakan ini sangat rendah.
Titer protektif dari antibody tetanus adalah 0,01 U/ml. Walaupun demikian tetanus
dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi.
Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya
mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga
diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan
dapat diberikan pada usia decade pertengahan seperti 35 tahun, 45 tahun dan
seterusnya. Namun demikian pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan
untuk individu di atas 7 tahun toksoid kombinasi tetanus dan difteri (Td) yang
diabsopsi, lebih dipilih. Vaksin yang diabsorbsi lebih disukai karena menghasilkan
titer antibody yang lebih menetap daripada vaksin cair.6
Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus
Neonatorum (ETN) melalui imunisasi DPT, DT, atau TT. Adapun jadwal pemberian
imunisasi adalah sebagai berikut:

Imunisasi DPT pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan imunitas 1-3 tahun.
Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut setara dengan 2 dosis toksoid pada
anak yang lebih besar atau dewasa. Dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3
bulan berturut - turut. Booster diberikan dengan dosis 1 x 0,5 cc IM

Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang imunitas 5
tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara 3
dosis toksoid.

Dosis toksoid tetanus kelima (DPT/ DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah,
akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur 17-18 tahun;
pada umur dewasa dihitung setara 4 dosis toksoid.

Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun berikutnya di sekolah
(DT 6 atau dT) akan memperpanjang imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa
dihitung setara 5 dosis toksoid (Satgas Imunisasi IDAI, 2014).
Program Imunisasi merekomendasikan TT 5x untuk memberikan perlindungan

seumur hidup dan pada wanita usia subur (WUS) untuk memberikan perlindungan
terhadap bayi yang dilahirkan dari tetanus neonatorum.
28

Dosis TT 0,5 ml diberikan secara intramuskular.

Upaya mencapai target Eliminasi Tetanus Neonatorum dengan target sasaran TT

5x selain pada sasaran bayi, juga pada anak sekolah melalui kegiatan Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
2. Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya6;
a. Imunisasi pasif dengan TIG
b. Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk individu usia di atas 7 tahun.
Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat sedang adalah
250 unit intramuskular yang menghasilkan kadar antibodi serum protektif paling
sedikit 4 sampai 6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari
kuda adalah 3000 samapi 6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat
yang terpisah dengan spuit injeksi yang berbeda.
Prinsip penatalaksanaan luka adalah menghentikan perdarahan, mencegah
infeksi, menilai kerusakan yang terjadi pada struktur yang terkena dan untuk
menyembuhkan luka. Membersihkan luka merupakan faktor yang paling penting
dalam pencegahan infeksi luka. Sebagian besar luka terkontaminasi saat pertama
pasien datang. Luka tersebut dapat mengandung darah beku, kotoran, jaringan mati
atau rusak dan mungkin benda asing. Untuk itu,

Bersihkan kulit sekitar luka secara menyeluruh dengan sabun dan air atau larutan
antiseptik. Air dan larutan antiseptik harus dituangkan ke dalam luka.

Setelah memberikan anestesi lokal, periksa hati-hati apakah ada benda asing dan
bersihkan jaringan yang mati. Pastikan kerusakan apa yang terjadi. Luka besar
memerlukan anestesi umum.

Setelah itu, buat robekan luka secara teratur membentuk huruf X dengan titik
tengah persilangan adalah luka. Tujuan dibuat robekan luka adalah agar
mempermudah pembersihan kotoran didalam luka tusuk.

Setelah membuat robekan, siramlah dengan larutan H202, biasanya akan timbul
buih, gosoklah dengan kuat, sampai benar-benar bersih tak tertinggal bekas
kotoran yang menempel ataupun kotoran yang masih tersisa.

29

Bilas luka dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%, tekan sekitar luka hingga
berdarah,

tujuannya

adalah

untuk

menghilangkan

cairan

H2O2

serta

membersihkan luka. Lalu beri betadhine pada luka.12


Pada infeksi tetanus, luka tidak perlu ditutup, biarkan luka tetap terbuka, karena
hal tersebut akan menghambat pertumbuhan bakteri clostridium tetani. Perlu
dipertimbangkan pemberian imunisasi pasif, yaitu Anti Tetanus Serum (ATS) atau
Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Indikasi pemberian suntikan ATS, yaitu:

Luka cukup besar (dalam lebih dari 1 cm).

Luka berbentuk tidak teratur.

Luka berasal dari benda yang kotor dan berkarat.

Luka gigitan hewan dan manusia.

Luka tembak dan luka bakar

Luka terkontaminasi, yaitu: luka yang lebih dari 6 jam tidak ditangani, atau luka
kurang dari 6 jam namun terpapar banyak kontaminasi, atau luka kurang dari 6
jam namun timbul karena kekuatan yang cukup besar (misalnya luka tembak atau
terjepit mesin)

Penderita tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus yang jelas atau tidak mendapat
booster selama 5 tahun atau lebih. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.12
Imunisasi pasif dengan human immunoglobulin tidak diindikasikan jika pasien

tersebut sudah mendapat suntikan toksoid minimal 2 kali sebelumnya. Pasien dengan
imunisasi lengkap yaitu, pasien yang sudah mendapat booster dalam 10 tahun terakhir,
tidak memerlukan penatalaksanaan tambahan untuk luka-luka non tetanus biasa. Jika
luka dicurigai mengandung tetanus, injeksi 0,5 ml toksoid tetanus booster yang dapat
diabsorbsi harus diberikan jika pemberian terakhir telah lebih dari 5 tahun yang lalu.
Pasien dengan riwayat imunisasi lengkap tetapi booster yang didapat sudah melewati
masa 10 tahun harus mendapat toksoid tetanus untuk semua luka tembus. Dosis
human immunoglobulin yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM
(setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM.
Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan, namun
harganya lebih mahal dibandingkan ATS. Pasien dengan riwayat imunisasi pernah
mendapat sekali injeksi atau kurang, atau riwayat tidak diketahui harus mendapat
30

toksoid tetanus untuk luka nontetanus. Untuk luka yang dicurigai tetanus dapat
diberikan ATS.

Imunisasi tetanus toxoid (TT)


Jenis imunisasi ini minimal dilakukan lima kali seumur hidup untuk mendapatkan
kekebalan penuh. Diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut dengan dosis
0,5 cc IM. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga
imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster Imunisasi TT
yang pertama bisa dilakukan kapan saja, misalnya sewaktu remaja. Lalu TT2
dilakukan sebulan setelah TT1 (dengan perlindungan tiga tahun). Tahap berikutnya
adalah TT3, dilakukan enam bulan setelah TT2 (perlindungan enam tahun), kemudian
TT4 diberikan satu tahun setelah TT3 (perlindungan 10 tahun), dan TT5 diberikan
setahun setelah TT4 (perlindungan 25 tahun).
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir.
Tabel 2.6 Tindakan Profilaksis
Jenis Luka

Belum imunisasi aktif


atau sebagian

Ringan, bersih

Mulai atau melengkapi


imunisasi toks. 0,5 cc
hingga lengkap
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Hingga lengkap
antibiotika

Berat, bersih, atau


cenderung tetanus
Cenderung
tetanus, debrimen
terlambat atau
tidak bersih

Mendapat imunisasi aktif yang


lengkap
15
5 10
> 10 tahun
tahun
tahun

Toks.
Toks. 0,5 cc
0,5 cc
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5
cc

Toks.
0,5 cc
Toks.
0,5 cc
AB

ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
antiboitka

ATS 1500 IU setara dengan HTIG 250 IU.


3. Tetanus Neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup
vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan porposi
kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non medis.6
31

32

BAB III
ANALISIS KASUS

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Subandi & Danuaji R. 2014. Neurologi untuk dokter umum. Surakarta: UNS Press.
2. Fauci A.S., et all 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition.
3. Tejpratap S.P., 2011. Tetanus: Chapter 16. CDC. VPD Surveillance Manual, 5 th Edition;
2011. Diakses dari; http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt16-tetanus.pdf
4. Profil Kesehatan Indonesia 2012.
5. Todar, K. 2012. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. Diakses dari;
http://textbookofbacteriology.net/clostridia_3.html
6. Ismanoe, G. 2009. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. jilid III. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. Bab 445.
7. Perdossi. 2013. Standar Pelayanan

Medik:

Tetanus

[online].

Dari

URL:

http://kniperdossi.org/index.php/2013-10-21-11-57-48/download/doc_download/5-spmneurologi diakses tanggal 21 April 2015.


8. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2000. Tetanus.
Journal Neurology Neurosurgery Psychiatry, 69:292-301.
9. Taylor AM. 2006. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care & Pain, Vol
6(3):101-104. http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
10. Dire D.J. tetanus. Available at: www.eMedicine.com. April 20, 2005.
11. Satgas Imunisasi IDAI. 2000. Jadwal Imunisasi. Sari Pediatri, vol 2 (1): 43-7.
12. Brinker. 2001. General Principles of Trauma in Review of Orthopaedic Trauma. WB
Saunders

34

Das könnte Ihnen auch gefallen