Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Naskah Publikasi
Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat
Sarjana Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
DEWI CAESARIA FITRIANI
20100320118
Pembimbing:
Nurul Hidayah, S. Kep., Ns.
()
Penguji:
()
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Derajat Insomnia pada
Lansia di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul ini telah disetujui
untuk diseminarkan pada:
Hari
: Kamis
Tanggal
: 14 Agustus 2014
Jam
: 11.00 WIB
Tempat
Dosen Pembimbing
iii
iv
INTISARI
Latar Belakang:
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dialami oleh
lansia. Insomnia dapat memberikan dampak negatif pada kualitas hidup dan
kualitas tidur lansia. Penggunaan terapi farmakologi sebagai penanganan insomnia
memberikan efek samping obat jangka panjang yang merugikan bagi lansia,
padahal terdapat beberapa terapi nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk
menangani insomnia pada lansia. Salah satunya adalah terapi tertawa. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap derajat insomnia
pada lansia.
Metodologi Penelitian:
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
desain penelitian Quasy Experiment Design: Pretest-Posttest with Control Group
Design.Sampel pada penelitian ini sebanyak 32 orang lansia yang dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu 15 orang sebagai kelompok perlakuan dan 17 orang sebagai
kelompok kontrol di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria
inklusi dan eksklusi. Pembagian kelompok sampel yang memenuhi kriteria inklusi
akan dipilih secara simple random..
Hasil Penelitian:
Analisis data yang digunakan adalah Paired Samples t-test dan
Independent Sample t-test dengan tingkat signifikan p value <0,05. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terapi tertawa terhadap derajat
insomnia pada lansia dengan nilai p value 0,002 (p<0,05). Nilai p value pada
kelompok perlakuan adalah 0,000 dan kelompok kontrol adalah 0,136.
Kesimpulan:
Kesimpulan dari penilitian ini adalah terapi tertawa berpengaruh terhadap
penurunan derajat insomnia pada lansia.
Kata Kunci: Terapi Tertawa, Insomnia, Lansia
1
2
ABSTRACT
Background:
Insomnia is a sleep disorder that is commonly experienced by the elderly.
Insomnia can give negative effects to elderlys quality of life and quality of sleep.
The use of pharmacological therapy as a treatment of insomnia gives side effects
of long-term drug to the elderly which causes damage to the elderly, whereas
there are some nonpharmacological therapies which can be used as a treatment
of insomnia among the elderly. One of them is laughter therapy. This study aimed
to know the effect of laughter therapy to insomnia degree among the elderly.
Methodology of Research:
The study was a quantitative research that used Quasy Experiment
Design: Pretest-Posttest with Control Group Design. The sample of this study was
32 elderly people who were divided into two groups, i.e. 15 people as the
intervention group and 17 people as control group in Jomegatan Village,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. The sampling technique used purposive sampling
with inclusion and exclusion criteria. The sample distribution of group was done
by simple random.
Results:
Analysis of the data used the Paired Samples t-test and Independent
Sample t-test with p value <0,05. The study showed that there was influence of
laughter therapy to insomnia degree among elderly with p value 0,006 (p < 0,05).
The p value of the intervention group was 0,002 and the control group was 0,136.
Conclusion:
The conclusion of this study is laughter therapy affects the decreased of
insomnia degree among elderly.
Keywords: Laughter Therapy, Insomnia, Elderly
1
2
PENDAHULUAN
Proses menua adalah suatu proses dimana menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mempertahankan struktur
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita oleh individu tersebut1 . Mubarak et al.2
menyebutkan pertambahan usia atau menua dapat menimbulkan perubahanperubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sel, organ maupun sistem
yang ada pada tubuh manusia. Menurut World Health Organization (WHO)
dalam Ismayadi3 , lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang berusia di atas 60
tahun.
Indonesia termasuk negara berstruktur tua, hal ini dapat dilihat dari
presentase penduduk lansia pada tahun 2012 yang telah mencapai di atas 7% dari
keseluruhan penduduk seperti laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
(2011) dalam Kementrian Kesehatan RI4 . Menurut data Badan Pusat Statistik
(BPS)5 , jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 7,59%
dari jumlah seluruh penduduk di dunia.Jumlah penduduk lansia di Indonesia yang
berusia 60 tahun atau lebih diperkirakan akan terus meningkat dari 18,1 juta pada
tahun 2010 menjadi 29,1 juta pada tahun 2020, kemudian menjadi 36 juta pada
tahun 20256 .
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang
memiliki jumlah lansia tertinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan DIY memiliki
angka harapan hidup tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, yaitu 76
tahun untuk perempuan dan 72 tahun untuk laki-laki7 . Berdasarkan Profil
Kesehatan Penduduk di Indonesia8 , jika dilihat sebaran penduduk lansia menurut
provinsi, presentase penduduk lansia di atas 10% ada di provinsi DIY (14,02%),
Jawa Tengah (10,99%), Jawa Timur (10,92%), dan Bali (10,79%). Sedangkan,
presentase penyebaran penduduk lansia di DIY menurut kabupaten maupun kota
yang tertinggi ada di kabupaten Bantul (35,52%)7 .
Pertambahan usia pada individu merupakan suatu proses yang akan terjadi
pada setiap manusia. Pada proses penuaan, seseorang akan mengalami berbagai
masalah tersendiri baik secara fisik, mental, maupun sosioekonomi9 . Salah satu
masalah yang sering terjadi pada lansia adalah gangguan tidur atau insomnia 9 .Para
lansia beresiko mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh banyak faktor,
misalnya pensiun dan perubahan pola sosial, kematian pasangan hidup atau teman
dekat, peningkatan penggunaan obat-obatan, penyakit yang dialami, dan
perubahan irama sirkadian pada lansia9 .Gangguan mood, kecemasan, kepercayaan
terhadap tidur, dan perasaan negatif merupakan indikator terjadinya insomnia
pada lansia10 .
Menurut Zorick dalam Potter & Perry11 , insomnia adalah gejala pada
seseorang yang mengalami kesulitan untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan
tidur singkat atau tidur nonrestoratif, serta dapat menandakan adanya gangguan
fisik dan fisiologis. Menurut National Institute of Health America yang dikutip
dari Suryadi12 , jumlah penderita insomnia lebih tinggi dialami oleh lansia, dimana
satu dari empat pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius
dengan lama waktu tidur kurang dari empat jam. Gangguan tidur menyerang 50%
lansia yang tinggal di rumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka
panjang, misalnya panti sosial9 . Busko dan Vega13 dalam penelitiannya juga
menyebutkan bahwa prevalensi insomnia sekitar 10-17% terjadi pada lansia yang
tinggal di komunitas.
Pola tidur pada lansia dapat berubah dan akan mengganggu lansia 11 .
Dampak yang muncul jika lansia kurang tidur yaitu perasaan bingung, curiga,
hilangnya produktivitas kerja, serta menurunkan imunitas 11 . Melillo dan Houde14
menyatakan kurang tidur menyebabkan masalah pada kualitas hidup lansia,
memperburuk penyakit yang mendasarinya, mengubah perilaku, suasana hati
menjadi negatif, mengakibatkan kecelakaan, seperti terjatuh, serta kecelakaan
dalam rumah tangga.Insomnia juga dapat menyebabkan kematian pada lansia15 .
Banyaknya permasalahan kesehatan pada lansia, membuat lansia
mengkonsumsi obat dua kali lebih banyak11 . Pengobatan insomnia dengan
menggunakan farmakologi atau obat-obatan antidepresan, benzodiazepine short
acting, golongan imidazopyridine, dan golongan fenobarbital atau benzodiazepine
long acting, memiliki efek samping obat sebesar 10,5% pada lansia 11 . Obat-obat
tersebut bila dikonsumsi jangka panjang oleh lansia dapatmenyebabkan perubahan
pola tidur, ketergantungan, menurunkan kewaspadaan, mengantuk berlebih pada
siang hari, kebingungan, penurunan energi, ataksia serta gangguan motor yang
akan meningkatkan resiko kecelakaan11 .
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam hal penanganan insomnia bagi
lansia selain dengan terapi farmakologi, yaitu dengan terapi nonfarmakologi.
Nabil et al.16 menyebutkan lebih dari 50% lansia dengan insomnia biasanya tidak
dikelola dan intervensi nonfarmakologi kurang dimanfaatkan oleh tenaga
kesehatan, padahal ada beberapa terapi nonfarmakologi untuk mengurangi
insomnia. Salah satunya adalah terapi tertawa yang dinyatakan oleh Hae-Jin &
Chang Ho17 .
Terapi tertawa merupakan salah satu terapi relaksasi yang ekonomis, tidak
membutuhkan tempat dan persiapan khusus serta mudah untuk dilakukan
sendiri17 . Menurut Subandi18 , penggunaan relaksasi mempunyai sejarah yang luas
dalam bidang psikologi, klinis, dan psikiatri. Denyut nadi dan tekanan darah dapat
dikurangi dengan relaksasi otot dan daya tahan kulit meningkat dengan
pernapasan menjadi lebih pelan dan teratur selama relaksasi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Fauzan19 yang menyebutkan bahwa relaksasi adalah teknik untuk
mengatasi kekhawatiran atau kecemasan melalui pengendoran otot-otot dan syaraf
yang bersumber pada suatu obyek tertentu.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit
kepala, insomnia, dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi. Kelelahan,
aktivitas mental, dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi dengan teknik
relaksasi.Konsekuensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat
harga diri seseorang dapat meningkat seperti pendapat Beech (1982) dalam
Subandi18 . Melalui terapi tertawa, lansia dilatih untuk memunculkan respon
relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang17 . Hal ini dikarenakan latihan
relaksasi dapat memberikan pemijatan halus di kelenjar-kelenjar dalam tubuh,
menurunkan produksi kortisol dalam darah serta mengembalikan pengeluaran
hormon secukupnya sehingga dapat memberikan keseimbangan emosi dan
ketenangan pikiran serta meningkatkan angka kesehatan pada lansia20, 21 .
Ginjal
1
6,7
1
3,1
Asma
1
5,9
1
3,1
Rematik
1
5,9
1
3,1
Status
Tinggal
Bersama
Sendiri
2
11,8
2
6,2
Keluarga
15
100,0
15
88,2
30
93,8
Sumber: Data Primer, 2014
Lansia mengalami perubahan pola tidur dibandingkan dengan orang
yang lebih muda, dimana mencakup kelatenan tidur, terbangun di malam hari,
dan peningkatan jumlah tidur siang yang lebih lama juga menurun9 .Usia yang
lanjut merupakan faktor utama yang paling berhubungan dengan peningkatan
prevalensi gangguan tidur9 .
Jumlah responden pada penelitian ini adalah 32 responden yang dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
dengan masing-masing sebanyak 17 responden sesuai dengan kriteria inklusi
penelitian. Pada saat penelitian, terdapat dua responden pada kelompok
perlakuan yang tidak mengikuti terapi tertawa dengan rutin sehingga peneliti
melakukan drop out. Jumlah akhir responden pada penelitian ini adalah 15
orang sebagai kelompok perlakuan dan 17 orang sebagai kelompok kontrol.
Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa usia responden
berkisar antara 60 74 tahun dengan usia paling banyak adalah 70 tahun yaitu
9 orang (28,1%). Berdasarkan Sensus Penduduk 20106 , Indonesia memiliki
jumlah lansia dengan usia lebih dari 60 tahun sebanyak 18,1 juta jiwa atau
9,6%. Menurut Nurmiati, proses penuaan atau pertambahan usia akan
mempengaruhi penurunan produksi hormon melatonin oleh kelenjar pineal di
otak sehingga menyebabkan lansia cenderung mengalami gangguan tidur
berupa insomnia.
Sebagian besar dari responden berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 22 orang (68,8%). Menurut Profil Kesehatan8 , jumlah lansia paling
banyak berdasarkan jenis kelamin di Yogyakarta adalah perempuan yaitu
226.168 jiwa dan laki-laki berjumlah 184.999 jiwa. Berdasarkan angka
harapan hidup (AHH)5 penduduk lansia yang paling banyak adalah perempuan
yaitu 8,2 % dan laki-laki sebanyak 6,9 %. Lansia berjenis kelamin perempuan
lebih berpotensi mengalami insomnia dengan perbandingan 40% untuk lansia
perempuan dan 30% untuk lansia laki-laki.
Sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah tidak sekolah
yaitu sebanyak 17 orang (53,1%). Menurut hasil Susenas tahun 2012
memperlihatkan pendidikan lansia relatif rendah karena tidak atau belum
pernah sekolah yaitu 26,84% dan tidak tamat SD sebanyak 32,32%, serta
lulusan SD sebanyak 23,49%5 . Tamher dan Noorkasiani mengatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah
menghadapi masalah yang terjadi, baik masalah sosial, kesehatan, maupun
lainnya. Salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah
gangguan tidur atau insomnia9 .
sebelum diberikan terapi tertawa diperoleh data bahwa derajat insomnia paling
banyak adalah insomnia ringan (tabel 2) sebanyak 8 orang (53,3%) dan setelah
diberikan perlakuan mengalami perubahan menjadi 10 orang (66,7%). Selain
itu, terdapat 4 orang (26,7%) yang mengalami insomnia sedang dan 3 orang
(20,0%) yang mengalami insomnia berat (tabel 2) juga mengalami perubahan
menjadi 5 orang (33,3%) dan tidak ada (0%). Hal ini menunjukkan adanya
perubahan derajat insomnia yang signifikan dari derajat yang berat menjadi
lebih ringan.
Tabel 3. Distribusi frekuensi derajat insomnia IK1 dan IK 2 di Dusun
Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=17, Juni 2014)
IK1
IK2
Derajat Insomnia
n
%
n
%
Ringan
6
35,3
5
29,4
Sedang
6
35,3
7
41,2
Berat
5
29,4
5
29,4
Total
17
100
17
100
Sumber: Data Primer, 2014
Sedangkan, pada kelompok kontrol diperoleh data bahwa responden
mengalami peningkatan derajat insomnia (tabel 3) dari insomnia ringan
sebanyak 6 orang (35,3%) menjadi insomnia sedang yaitu sebanyak 7 orang
(47,1%) dan insomnia berat yang hanya mengalami perubahan sedikit atau
tidak sama sekali sebanyak 5 orang (29,4%). Hal ini menunjukkan tidak
terjadi perubahan derajat insomnia yang signifikan pada kelompok kontrol.
Menurut peneliti, adanya perubahan derajat insomnia terjadi setelah
responden mendapatkan terapi tertawa dimana terapi ini akan membuat
responden merasa tenang dan rileks sehingga dapat meningkatkan kualitas
tidur dari responden. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hae-jin &
Chang-ho17 diketahui bahwa terapi tertawa dapat digunakan sebagai intervensi
pada lansia untuk menurunkan derajat insomnia dan gangguan tidur lainnya.
Tertawa akan merangsang pelepasan hormon endorfin, yang disebut juga
sebagai morfin tubuh, untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga membuat
tubuh menjadi lebih nyaman dan rileks11 .
Kemudian kelompok kontrol yang tidak mengalami perubahan yang
signifikan bisa dikarenakan oleh responden yang tidak mendapatkan terapi
tertawa sehingga responden masih merasa tidak tenang dan mempengaruhi
kualitas tidur responden. Hal ini didukung dengan pernyataan Amirta 24
mengenai beberapa faktor penyebab insomnia pada lansia antara lain adalah
stress atau kecemasan yang berlebihan, depresi, penyakit yang diderita, kurang
olahraga, nutrisi yang kurang, lingkungan, serta obat yang dikonsumsi.
Adanya masalah gangguan tidur pada lansia akan menyebabkan perasaan
bingung dan curiga serta perubahan fungsi tubuh seperti perubahan suasana
hati, performa motorik, memori, keseimbangan, dan fungsi imun11 .
3. Pengaruh Terapi Tertawa terhadap Derajat Insomnia di Dusun
Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul
Hasil uji normalitas pada derajat insomnia responden berdasarkan nilai
pretest dan posttest dari kedua kelompok adalah sebagai berikut:
diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur akan menurun
sehingga membuat lansia cenderung mengalami insomnia 26 .
Tertawa adalah proses fisik yang berguna untuk mengurangi nyeri,
kecemasan, stress, kemarahan, dan ketakutan. Terapi ini dapat dilakukan oleh
semua orang dengan mengeluarkan suara tawa dari mulut yang akan
melibatkan otot-otot wajah, perut, dan diafragma yang akan memperlancar
peredaran darah sehingga membuat tubuh lebih bugar dan ceria27 . Salah satu
faktor penyebab insomnia pada lansia adalah stress atau kecemasan yang
berlebihan24 . Dengan tertawa, tubuh akan merangsang pelepasan hormon
endorfin untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga membuat tubuh
menjadi lebih nyaman dan rileks11 .
Tabel 6. Hasil uji Independent Samples t-test pada nilai posttest K-P dan K-K
di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (n=32, Juni 2014)
Kasihan, Bantul (n=32, Juni 2014)
Kelompok
Mean
Std. Deviation Sig. (2-tailed)
2
IP
7,13
2,588
0,002
IK2
10,29
2,779
Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 6 menunjukkan bahwa uji Independent Samples t-test pada nilai
posttest kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan selisih mean
sebesar 3,16 dengan nilai signifikan sebesar 0,002. Nilai ini lebih kecil
daripada 0,05 sehingga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara nilai posttest derajat insomnia kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.
Hasil uji Independent Samples t-test pada nilai posttest kelompok
perlakuan dan kelompok kontroldiperoleh nilai signifikan sebesar 0,002
(p<0,05). Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara nilai posttest derajat insomnia kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada saat posttest
berdasarkan hasil uji memiliki perbedaan yang bermakna karena kelompok
perlakuan telah diberikan terapi tertawa selama satu bulan, sedangkan
kelompok kontrol tidak diberikan. Kelompok kontrol diberikan terapi tertawa
yang sama dengan kelompok perlakuan setelah didapatkan data posttest yang
diperlukan. Hal ini membuat hipotesis penelitian dapat diterima, yaitu terdapat
pengaruh yang signifikan antara pemberian terapi tertawa terhadap penurunan
derajat insomnia pada lansia di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan,
Bantul.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa terapi tertawa dapat digunakan
sebagai suatu terapi yang dapat menurunkan derajat insomnia, terutama pada
lansia. Hal ini dapat terjadi karena responden mengikuti terapi yang diberikan
peneliti dengan baik dan benar. Responden sangat antusias dengan terapi yang
diberikan dan merasa ada perbedaan yang berhubungan dengan derajat
insomnianya setelah mengikuti terapi tertawa selama satu bulan.
Hasil tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hae-jin &
Chang-ho17 bahwa terapi tertawa dapat digunakan sebagai intervensi pada
lansia untuk menurunkan derajat insomnia dan gangguan tidur lainnya. Terapi
10
ini akan merangsang pelepasan hormon endorfin, yang disebut juga sebagai
morfin tubuh, untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga membuat tubuh
menjadi lebih nyaman dan rileks11 . Masalah-masalah kesehatan yang
berhubungan dengan insomnia, seperti stress, cemas, penurunan kognitif, dan
lainnya, juga dapat dikurangi dengan terapi tertawa17 .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat pengaruh yang signifikan pada pemberian terapi tertawa terhadap
derajat insomnia pada lansia di Dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
Saran
Perlu adanya program yang melatih terapi tertawa pada lansia sehingga
dapat dijadikan salah satu cara alternatif untuk menurunkan derajat insomnia pada
lansia. Lansia juga harus berperan aktif dan mandiri dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
Nuha Medika.
2. Mubarak, W. I., Chayatin, N., & Santoso, B. A. (2009). Ilmu Keperawatan
Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
3. Ismayadi. (2004). Proses Menua. Artikel. USU Digital Library. Diakses
tanggal
14
November
2013,
dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3595/1/keperawatanismayadi.pdf
4. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia. Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Diakses
tanggal
29
Januari
2014,
dari
http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf
5. Badan Pusat Statistik. (2012). Penduduk Menurut Umur Dan Jenis Kelamin
dalam Angka Yogyakarta. Yogyakarta.Diakses tanggal 30 Oktober
2013,
dari
http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_
INDONESIA_TAHUN_2011.pdf
6. Departemen Kesehatan RI. (2012). Sehat Dan Aktif Di Usia Lanjut.
Departemen Kesehatan RI. Diakses tanggal 13 Januari 2014, dari
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2143
----------. (2013). Buletin Lansia- Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia.
Diakses
tanggal
4
Januari
2014,
darihttp://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf
----------. (2013). Buletin Lansia- Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia semserter I. Diakses tanggal 20 Juni 2014, dari
http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf
7. Dinas Kesehatan DIY. (2012). Profil Kesehatan Penduduk Indonesia.
Departemen Kesehatan Provinsi DIY.
11
12