Sie sind auf Seite 1von 2

Mengapa DPR kalau bisa jadi Dewan Rakyat?

Onno W. Purbo
Kekuasaan harusnya ada di tangan rakyat kira-kira demikian katanya dalil sebuah negara.
Kalau saya jadi rakyat barangkali idealnya semua orang dapat menyuarakan pendapat
dan aspirasinya ke rekan senegaranya tanpa perlu bersusah payah, tanpa perlu berjemur
di panas terik matahari, tanpa perlu berhadapan dengan PHH. Mungkin terlalu ideal?
Rasanya engga juga karena harusnya sangat tergantung platform tempat kita berpijak dan
menyuarakan pendapat-nya.
Memang platform yang sekarang kita injak di Indonesia di pagari oleh pagar, tembok,
beton dengan jalan raya beraspal. Barang, rakyat, kertas, koran, majalah, informasi,
pengetahuan lebih banyak di kirim dari satu tempat ke tempat lain menggunakan
kendaraan, mobil, motor, sepeda dengan kecepatan 50-100 km / jam. Dimensi waktu
menjadi pembatas untuk menjangkau wilayah dan ruang. Proses berjalan lambat melalui
birokrasi yang mengenal cap dan tanda tangan secara fisik di atas kertas-kertas yang
berjalan dari satu meja ke meja yang lain. Memang bisa agak di percepat dengan uang
pelicin. Platform tempat kita berpijak memang tidak memungkinkan membangun sebuah
gedung Dewan Rakyat, Majelis Rakyat yang bisa menampung 200 juta bangsa ini untuk
berkumpul dan berdiskusi secara bersamaan.
Platform fisik dengan keterbatasan dimensi ruang dan dimensi waktu akhirnya memaksa
proses intermediasi, proses perwakilan, middle man. Sebuah kenyataan bahwa anggota
DPR / MPR sekarang tidak lain, tidak bukan adalah perantara, middle man suara
rakyat. Yang namanya perantara tidak ada yang bisa 100% menyuarakan pendapat rakyat,
sesuatu yang normal dalam proses intermediasi di platform fisik.
Apa tidak mungkin paradigma perantara, intermediasi ini diminimalkan? Sukur-sukur
dibuang? Mengapa rakyat tidak dimungkinkan berbicara langsung? Semuanya kan terjadi
karena keterbatasan, keterbatasan manusia dalam dimensi ruang dan waktu akhirnya
membuat proses birokrasi berbelit memperlambat proses keseluruhan. Jika pendapat,
suara rakyat, informasi, pengetahuan tidak batasi dimensi ruang dan waktu tentu urusan
jadi lebih mudah, tidak perlu perwakilan, intermediasi dewan rakyat menjadi mungkin.
Barangkali membuang birokrasi DEPPEN menghilangkan salah penghalang, tapi
mekanisme rakyat untuk bersuara dan didengar rekan senegaranya perlu dibangun
jangan terus terlena dan tidur. Media alat strategis penembus dimensi ruang dan waktu,
media elektronik memungkinkan proses berjalan lebih cepat. Konsep koran masyarakat,
community radio akan memungkinkan rakyat bersuara secara langsung. Community
radio & radio kampus dengan daya rendah menservis komunitas lokal dengan biaya tidak
sampai satu juta sangat mungkin dibangun sendiri dan memungkinkan proses
demokratisasi arus bawah secara swadana. Jaringan antar radio komunitas menjadi sangat
strategis yang mengkaitkan potensi lokal menjadi sebuah kekuatan nasional - bhineka
tunggal ika demikian pepatah mengatakan. Efisiensi jaringan dapat berbasiskan Internet
agar dapat mengcover wilayah luas dengan biaya murah, keaneka ragaman media

menjadi lebih terjaga tidak terjadi lagi homogenisasi seperti dimana lalu. Interaksi
berjalan dua arah bukan satu arah, mailing list, news group, chat group menjadi basis
dewan virtual berbasis informasi.
Keaneka ragaman media, informasi, pengetahuan interaktif dua arah memungkinkan
potensi lokal untuk berbicara, bersuara, berpendapat tanpa intermediasi bukan mustahil
merupakan dasar terbentuknya dewan rakyat. Distorsi perwakilan menjadi diminimalkan,
rakyat tidak perlu berhadapan dengan PHH dan birokrasi dalam penyampaian aspirasi
dan pendapatnya. Tidak perlu ada korban mahasiswa sebagai intermediasi suara rakyat
ditelan peluru PHH.

Das könnte Ihnen auch gefallen