Sie sind auf Seite 1von 10

REFERAT

PEMBENTUKAN BATU EMPEDU

Disusun oleh:
Yehiel 11 2014

Pembimbing: dr. Gunadi Petrus, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK
RUMAH SAKIT BAYUKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon jeruk Jakarta Barat
LATAR BELAKANG
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan Kristal di dalam kandung empedu atau
di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan
beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu material mirip batu
di dalam kandung empedu atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah
bilirubin, garam empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung

empedu bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu
campuran1
Lokasi batu empedu bisa bermacam macam yakni di kandung empedu, duktus sistikus,
duktus koledokus, ampula vateri, di dalam hati. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk
seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara
terus menerus oleh hati masuk kesaluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan
bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang akan bersatu membentuk duktus
hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk
duktus koledokus. Pada banyak orang,duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
membentuk ampula vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran
dan ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter oddi.16
ANAMNESIS
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium yang mungkin berlangsung
lebih dari 15 menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien dengan mata dan tubuh menjadi kuning,
badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul dan penyebaran
nyeri pada punggung bagian tengah, scapula, atau kepuncak bahu, disertai mual dan muntah.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik
nafas dalam.
PEMERIKSAAN FISIK
Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam
pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat kolelitiasis akut, pasien akan
mengalami nyeri palpasi/nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh
2

ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Riwayat ikterik maupun ikterik
cutaneous dan sclera dan bisa teraba hepar.16
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositosis. Apabila
terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
didalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amylase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.16
PENCITRAAN
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan 16kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatic maupun
ekstra hepatic. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa. 1
Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relative murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu. 1,16
Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi
di duktus sistikus misalnya karena batu. Juga dapat berguna untuk membedakan batu empedu
dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian
3

akan di sekresi ke kantong empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam
mengisi kantong empedu menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam
duodenum.1,17
Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal disbanding USG.
Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic Retrograde
Cholangio-pancreatography (ERCP) merupakan metode kolangiografi direk yang amat
bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya seperti
koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis ERCP juga dapat digunakan untuk terapi dengan
melakukan sfingterotomi ampula vateri diikuti ekstraksi batu. Tes invasive ini melibatkan
opasifikasi lansung batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampula vateri dan
suntikan retrograde zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mecakup
sedikit penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, sekitar 10-15 % penduduk dewasa mendertia batu empedu, dengan
angka kejadian pada pasien wanita tiga kali lebih banyak dari pada pria. Setiap tahun, sekitar 1
juta pasien batu empedu ditemukan dan 500.000 600.000 pasien kolesistektomi, dengan total
biaya sekitar US$4 trilyun.19
Balzer dkk melakukan penelitian epdiemiologi untuk mengetahui seberapa banyak
populasi penderita batu empedu di Jerman. Dilaporkan bahwa dari 11.840 otopsi ditemukan
13,1% pria dan 33,7% wanita menderita batu empedu. Faktor etnis dan genetic berperan penting
dalam pembentukan batu empedu. Selain itu, penyakit batu empedu juga relative rendah di
Okinawa Jepang. Sementara itu, 89 % wanita suku Indian Pima di Arizona Selatan yang berusia
diatas 65 tahun mempunyai batu empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa factor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin
besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen juga
4

meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitis
pengosongan kandung empedu.
Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan orang
usia yang lebih muda.
Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar dibandingkan
dengan tanpa riwayat keluarga
Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi batu empedu.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik
Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
PATOFISIOLOGI

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90 % batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran ( batu
yang mengandung 20-50% kolesterol). 10 % sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
kosentrasi kalsium dalam kandung empedu. 10
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh
substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus
untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama
kelamaan tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor
motilitas kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu
campuran.16,21
Fisiologi Pembentukan Bilirubin
Eritrosit secara fisiologis dapat bertahan berumur sekitar 120 hari, eritrosit mengalami
lisis 1-2 x 108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana
diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gram per hari. Sel-sel eritrosit tua
dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari haemoglobin dihidrolisis
menjadi komponen asam-asam aminonya.
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel
retikuloendotel oleh sistem enzim yang kompleks yaitu heme iksigenase yang merupakan enzim
yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan enzim dari keluarga besar sitokrom
P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah pemutusan jembatan metena membentuk
biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi,
reaksi-reaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe3+ yang
dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom karbon jembatan metana
dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau akan direduksi oleh biliverdin reduktase
yang menggunakan NADPH sehingga rantai mentenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol
6

III-IV dan membentuk pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar
merupakan petunjuk reaksi degradasi ini.
Dalam setiap 1 gram hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Pada orang
dewasa dibentuk sekitar 250-350 mg bilirubin per hari, yang dapat berasal dari pemecahan
hemoglobin, proses erytopoetik yang tidak efektif dan pemecahan heprotein lainnya. Bilirubin
dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini
akan diikat non kovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya
kurang lebih 25 mg bilirubin yang dapar diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi
jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi ke jaringan.
Bilirubin I (indirek) bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin.
Bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak.
Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat
dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin
merupakan anti oksidan yang kuat dalam membrane, bersaing dengan vitamin E.
Di hati, bilirubin I (indirek) yang terikat pada albumin diambil pada permukaan sinusoid
hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini mempunyai
kapasitas yang sangat besar tetapu pengambilan bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses
yang akan dilewati bilirubin berikutnya.
Bilirubin non polar (1/indirek) akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk
larut (II/direk). Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut (II/direk) yang dapat
diekskresikan dengan mudah ke dalam kandung empedu, proses perubahan tersebut melibatkan
asam

glukuronat

yang

dikonjugasikan

dengan

bilirubin,

dikatilisis

oleh

enzim

glukoroniltransferase. Hati mengandung sedikit dua isoform enzim glukoroniltransferase yang


terdapar terutama pada reticulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap,
memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan membentuk
bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi bilirubin
diglukoronida yang larut pada tahp kedua.
Eksresi bilirubin larut ke dalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan
meknaisme transport aktif yang melawan gradient konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis, seluruh
bilirubin yang dieksresikan ke kandung empedu beada dalam bentuk terkonjugasi (bilirubin II).
Pembentukan urobilin

Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzim
bakteri glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus
menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna.
Sejumlah urobilinogen diabsorbi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa ke
ginjal kemudian di oksidasi menjadi urobilun yang member warna kuning pada urine. Sebagian
besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin
yang berwarna kuning kecoklatan.
Pemeriksaan Laboratorium
Klinis

Tiga hal
kolesterol
kolesterol,

di

Normal
Hepatitis
Obstruksi
Hemolitik

Bikirubin
Urobilinogen
Plasma (mg/hari)
Urin
Feces
Indirek
Direk
(mg/hari) (mg/hari)
0-4
40-280

PATOFISIOLOGI

BATU

KOLESTEROL
yang memudahkan terjadinya batu
kandung empedu yaitu supersaturasi

pembetukan inti kolesterol dan


Klinis
disfungsi
kandung empedu
Normal
0.2-0.7
0.1-9.4
Hepatitis

Supersaturasi
batu kolestrol
Obstruksi

Secara
normal, komposisi empedu terdiri
Hemolitik

atas 70 % garam empedu, 22% fosfolipid (terutama lesitin), 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3%
bilirubin.18 Terbentuknya batu empedu tergantung dari keseimbangan kadar garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam
empedu, akan membuat kondisi di dalam kandung empedu jenuh akan kolesterol (supersaturasi
kolesterol). Kolesterol disintesis dihati dan diekskresikan dalam bentuk garam empedu. Dengan
meningkatnya sintesis dan sekresi kolesterol, resiko terbentuknya empedu juga meningkat.
Penurunan berat badan yang terlalu cepat (karena hati mensintesis kolesterol lebih banyak),
maka esterogen dan kontrasepsi (menurunkan sintesis garam empedu) menyebabkan
supersaturasi kolesterol.
Pembentukan inti kolesterol
Nampaknya faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih besar dalam
proses pembentukan dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol baru dapat dimetabolisme di
dalam usus dalam bentuk terlarut air. Dan empedu memainkan peran tersebut. Kolesterol
diangkut dalam bentuk misel dan vesikel. Misel merupakan agregat yang berisi fosfolipid
8

(terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol lebih tinggi, maka
akan diangkut dalam bentuk vesikel. Vesikel ibarat sebuah lingkaran dua lapis. Apabila
kosentrasi kolesterol sangat banyak, dan supaya kolesterol dapat terangkut, maka vesikel akan
memperbanyak lapisan lingkarannya, sehingga disebut sebagai vesikel berlapis-lapis (vesicles
multilamellar). Pada akhirnya, di dalam kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik misel dan
vesikel, akan bergabung menjadi vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin
akan membentuk Kristal kolesterol. Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan di
lem (disatukan) oleh protein empedu membentuk batu kolesterol.
Penurunan Fungsi Kandung Empedu
Menurunnya kemampuan kontraksi dan kerusakan dinding kandung empedu,
memudahkan seseorang menderita batu empedu. Kontraksi kandung empedu yang melemah
akan menyebabkan stasis empedu. Stasis empedu akan membuat musin yang di produksi di
kandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam
kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin
menyulitkan proses pengosongan cairan empedu. Bila daya kontraksi kandung empedu menurun
dan di dalam kandung empedu tersebut sudah ada Kristal, maka Kristal tersebut tidak akan dapat
dibuang keluar ke duodenum. Beberapa kondisi yang dapat menganggu daya kontraksi kandung
empedu, yaitu hipomotilitas, parenteral total (menyebabkan aliran empedu menjadi lambat),
kehamilan, cedera medulla spinalis dan diabetes melitus
Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu
berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
Patofisiologi batu berpigmen hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat
(khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu.1 Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi
bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal.2,4 Bilirubin
terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik membentuk bilirubin tak
terkonjugat.
Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan
komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat
9

yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah.
Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan
bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan
berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.1,3
Patofisiologi batu berpigmen coklat
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan
penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu.1,4 Infeksi traktus bilier oleh
bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti
Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung
pembentukan batu berpigmen.2,3,4,8
Sebagaimana yang ditampilkan pada diagram patofisiologi batu diawali oleh infeksi
bakteri/parasit di empedu.1,2,8 Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim
glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim
tersebut didapatkan seperti berikut:1,3
a. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan
bilirubin tak terkonjugat
b. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
palmitik)
c. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan
membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga
terbentuk batu empedu.1,3 Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan
konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga
dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu,
seperti fungsi pada musin endogenik.

10

Das könnte Ihnen auch gefallen