Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
beberapa instrumen.
Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa
Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung oleh sebuah instrumen perkusi sejenis
Angklung Bambu berlaras slendro.
Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkannya dengan cara
digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan
jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel
terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk
jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya alat musik tradisional yang sejenis yaitu Angklung,
Krumpyung dan Calung.
Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada
di ladang. Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik
jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal, bongkel memiliki teknik
permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah
Indonesia.
Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk
musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang, genre musik ini
diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelan kecil yang
biasa digunakan untuk mengiringi Lengger dan Ebeg.
Dari bongkel berkembanglah menjadi Buncis, kemudian dari buncis berkembang menjadi
Krumpyung, dan dari krumpyung menjadi Calung.
Calung merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan yang terbuat dari bambu
wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya
Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata calung merupakan jarwo dhosok (dua kata
yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu
wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara nyaring). Spesifikasi musik calung
adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu
menghasilkan aransemen musikal yang lengkap.
Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong,
gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu),
5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah
budaya Banyumas.
2. Fungsi dan Peran
Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdapat di dalam suatu budaya
masyarakat Banyumas yang lebih disebut dengan nama Gamelan Calung. Calung ini mempunyai
sistem pelarasan yang relatif sama dengan pelarasan gamelan yang ada di wilayah Indonesia
seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Sunda. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang
diletakkan secara melintang dan dimainkan dengan cara dipukul.
Calung biasa difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukkan seperti Lengger (seni tari)
dan Ebeg (kuda lumping khas Banyumas).
Pada era tahun 1970-an kehidupan calung sangat popular. Disamping berperan penting dalam
kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas, Calung juga memiliki satu bentuk spirit
musikal yang sangat kuat sebagai daya ungkap seniman Banyumas.
Kesenian Lengger Calung ini pun semakin berkembang dan mampu menempatkan posisinya
sebagai seni pertunjukkan terdepan dari sederetan jenis pertunjukkan seni lainnya yang terdapat
di Banyumas.
Hal ini didukung dengan difungsikannya kesenian Lengger Calung sebagai kebutuhan sosial
seperti acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran
(nadhar), sedekah bumi, dan sedekah laut.
3. Perkembangan Kesenian Calung
Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka
sifat kesenian Calung ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan kesenian Calung
tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya.
Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing-gendhing Banyumasan gamelan
Calung telah tergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar.
Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun
bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukkan Lengger tidak lagi
didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan dengan Gamelan Calung melainkan lebih
mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut).
Masuknya alat musik seperti gitar, keybord, seruling, drum, dan kendang dangdut ke dalam
Lengger Calung merupakan awal bergesernya eksistensi musik Calung dan merosotnya kualitas
penggarapan musiknya. Calung pun sudah tidak dianggap lagi sebagai medium ungkap yang
cerdas melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati yang tidak berarti apa-apa.
4. Isi Kandungan Musik Calung
Didalam musik Calung terkandung nilai-nilai kehidupan masyarakat Banyumas diantaranya :
1. Semua yang terjadi didalam sajian musik calung merupakan semacam luapan emosi dari
alam pikir dan alam rasa masyarakat Banyumas yang tidak dapat diungkapkan di dalam
pergaulan sosial.
2. Didalam sajian calung juga tertuang sikap-sikap kritis masyarakat Banyumas tentang
falsafah hidup, tentang penderitaan, alam lingkungan, tentang kebahagiaan dan atau
tentang segala sesuatu yang bersifat utopia.
3. Banyak gendhing yang disajikan pada pertunjukan calung yang menggambarkan negeri
impian, kebahagiaan ideal atau perasaan kesejatian yang hanya dapat diperoleh didalam
impian. Sebagai contoh gendhing Gunungsari dan Eling-eling. Kata gunungsari berasal
dari kata gunung dan sari (bunga) yang berarti kebahagiaan puncak setinggi gunung.
4. Sajian calung juga menuangkan ajaran dan atau ajakan untuk berbuat kebaikan,
pernyataan sikap, larangan terhadap perbuatan menyimpang, kritik, sindiran atau bahkan
sarkasme terhadap kejadian-kejadian umum sehari-hari di lingkungan pergaulan sosial.
Kritik, sindiran atau sarkasme ini umumnya dilakukan melalui teks-teks syair (cakepan)
yang diucapkan oleh sindhen atau senggak. Teks syair itu umumnya berbentuk parikan
atau wangsalan yang disajikan dengan alur lagu tertentu sesuai dengan sajian gendhing
yang sedang berlangsung.
5. Melalui aktivitas musik calung, masyarakat Banyumas malakukan penuangan nilai-nilai
ideal tentang hidup, sekalipun hal itu tidak selamanya berlangsung dalam realita
kehidupan sosial. Penuangan nilai-nilai ideal itu dilakukan melalui proses pembayangan
dan penjadian bentuk.
Calung; musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan terbuat dari bambu wulung.
Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya
Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata calung merupakan jarwo dhosok
(dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring
wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara
nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan
perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal
yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan
nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih
berkembang di hampir seluruh wilayah kultur Banyumas.
Calung; musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan terbuat dari bambu wulung.
Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya
Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata calung merupakan jarwo dhosok
(dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring
wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara
nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan
perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal
yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan
nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih
berkembang di hampir seluruh wilayah kultur Banyumas.
sekitarnya seperti Jogjakarta, Surakarta dan Sunda, yakni sistem pentatonik slendro.
lazim difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada
masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan gamelan
Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan penting dalam
kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping kedudukan gamelan
Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian pertunjukan kesenian
rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu bentuk kekuatan spirit musikal
yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai daya ungkap seniman Banyumas,
karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas dan unik jika dibandingkan dengan
jenis kesenian manapun.
Melalui proses perjalanan yang cukup panjang kesenian lengger-calung telah mampu
menempatkan posisinya yang terdepan dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di
karesidenan Banyumas. Hal yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung
bagi masyarakat Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial
seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual seperti syukuran
(nadar), sedekah bumi dan sedekah laut. Melihat betapa kompleksnya fungsi dan peran Calung
pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka beban profesi seniman Lengger Calungpun
menjadi sangat berat. Apalagi jika harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada
kejayaan di masa lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang
selalu berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi
tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor zaman adalah
bentuk dan garap. Perubahan garap calung apabila dilihat secara historis dalam konteks
budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi zamannya. Arah perubahan garap yang
kurang ditangani secara serius dan profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal
bagi kehidupan kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa
yang akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk
meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya, karena garap
adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman terhadap nilai-nilai estetik
yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang semakin dinamis. Kerangka kehidupan
kesenian yang dinamis tersebut mempunyai konsekuensi dan jelas merupakan faktor
perubahan secara konseptual maupun ujud penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada
sajian gending-gending Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan
jaman yang berorentasi pada selera pasar.
Peristiwa yang terjadi setiap kurun waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan
garap secara musikal maupun bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap
yang terjadi pada sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger
mengarah pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak bisa
dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan lengger tidak lagi
didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan dengan gamelan Calung,
melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu pop (dangdut) yang bernuansa kekinian.
Masuknya alat musik seperti gitar, seruling, keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam
sajian lengger-calung yang telah terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya
eksistensi musik calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini
adalah fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten yang
ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an. Menurut Kasbi (seniman/pimpinan
lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian lagu-lagu pop (musik campursari)
adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai faktor mendangkalnya garap gamelan Calung,
karena Calung sudah tidak lagi dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan
telah diperlakukan sebagai barang mati seperti balung ( tulang). Dalam kenyataannya calung
hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam sajian lagu-lagu
campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap yang disajikan
hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung (Wawancara: 29 Desember 2000).
mengungkapkan
bahwa
bentuk
adalah
unsur
dari
semua
perwujudan. Bentuk-bentuk lahiriah tidak lebih dari suatu medium, yaitu alat untuk
mengungkapkan (to express) dan menyatakan (to state atau to communicate) isi
(SD. Humardani, 1959:1). Pandangan Humardani menunjukkan berbagai ragam
kesenian merupakan wujud dari ungkapan isi pandangan dan tanggapan seniman
ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap indra. Yang dimaksud dengan isi di sini
adalah nilai-nilai, pandangan hidup dan pengalaman empirik seniman yang terekam
dalam memori otak dan perasaan yang kemudian hadir ide-ide atau gagasangagasan estetik. Dengan kata lain, bentuk adalah wadah yang dipergunakan untuk
mengungkapkan isi yang berupa nilai-nilai. Keduanya, wadah dan isi, merupakan
satu-kesatuan wujud kesenian tradisional yang mencerminkan sistem nilai, pola
pikir dan pandangan hidup masyarakat pendukungnya.
Sajian calung tidak lain merupakan wadah yang memuat cita rasa dan hadir
sebagai hasil budidaya masyarakat Banyumas yang menjalankan kodratnya yang
hidup dengan selalu mengenal keindahan. Ia tumbuh mengakar pada kehidupan
masyarakat setempat dengan kerangka, pola-pola dan bentuk yang mengikat serta
penerapan yang berulang-ulang. Inilah yang membuatnya hidup kontinyu, menjadi
tradisi dan mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Banyumas.
Dilihat dari sisi bentuk, calung memiliki wujud yang kasar. Ini merupakan salah
satu ciri kesenian rakyat. Dalam hal ini Edi Sedyawati mengemukakan bahwa seni
pertunjukan rakyat biasanya tumbuh liar, kasar, bebas dari kaidah kraton dan tidak
terawat sehingga tidak mewujudkan keutamaan (Edi Sedyawati, 1984:110).
Pendapat tersebut merupakan hasil tinjauan dua jenis kesenian; seni rakyat dan
seni kraton. Seni rakyat identik dengan seni kasar, sedangkan seni kraton identik
dengan kehalusan rasa. Dalam tulisan ini mencoba menerjemahkan pengertian
kasar yang dimaksudkan oleh Edi Sedyawati. Dengan demikian di mana letak
kekasaran di dalam calung dapat segera dilihat dengan jelas sebagai sebuah fakta
empirik.
Dalam tradisi calung di Banyumas dapat dilihat beberapa elemen yang terkait
dengan tampilan fisik maupun sajian musikalnya. Beberapa elemen penting
tersebut
antara
lain
wujud
fisik,
garap
instrumen,
tempat
sajian,
dan
sajian
musik.
Dengan
demikian
pembuatan
alat
musik
lebih
mengutamakan aspek fungsional, dibanding aspek estetika bentuk. Dari sisi wujud
alat musik, memang calung terkesan memiliki garapan yang kasar, asal jadi dan
dengan teknologi yang sangat sederhana.
Dilihat dari sisi garap instrumen, pada dasarnya di dalam sajian calung sudah
terdapat variasi garap yang diperumit. Para pengrawit calung umumnya
menciptakan garap ricikan dengan mengacu pada sajian gamelan gedhe. Misalnya:
garap imbal padagambang
penerus sangat
mirip
dengan
penerus.
Garapnggambang pada ricikan gambang barung, mirip dengan teknik garap yang
digunakan
pada ricikan
gambang pada
sajian gamelan
gedhe.
penerus.
penerus mengacu
Demikian
pula
pada
teknik
garap
garap dhendhemmirip
dengan
garap saron penerus dan garap kenong mirip dengan tabuhan ricikan
kethuk-
kenong. Sementara itu, instrumen gongyang teknik tabuhannya dengan cara ditiup,
diusahakan semirip mungkin dengan suara tabuhan ricikan gong pada gamelan
gedhe, baik pada besarnya frekuensi suara maupun pada jenis suara yang
bergelombang.
Pada
saat
yang
lain,
peran
sebagai ricikan kempul dengan cara ditiup bunyi yang relatif lebih kecil dibanding
bunyi gong dengan teknik bunyi yang pendek-pendek. Bunyi demikian mirip dengan
bunyi tabuhan kempul padakarawitan Sunda yang cara menabuhnya dilakukan
dengan teknikpethetan agar gaungnya tidak panjang.
Musik calung dalam sajiannya juga menggunakan teknik garap instrumen yang
cenderung menghentak-hentak dan adanya improvisasi-improvisasi tertentu yang
melibatkan satu atau lebih instrumen. Hal ini terjadi karena ragam instrumen pada
perangkat calung terbuat dari bambu yang memiliki volume bunyi yang tidak
memungkinkan sangat keras serta resonansi bunyi yang diakibatkan oleh tabuhan
instrumen tidak memungkinkan untuk menciptakan gaung yang panjang. Keadaan
demikian menyebabkan para penabuh calung cenderung membunyikan instrumen
dengan volume dalam batas maksimal yang memungkinkan dilakukan. Untuk
mengatasi resonansi pendek disiasati dengan teknik tabuhan yang se-nrecel (kerap)
mungkin dalam tempo yang cenderung cepat. Selain itu, untuk membesut
keseluruhan sajian agar menjadi satu-kesatuan bunyi musikal yang utuh, pada
hampir setiap sajiangendhing selalu sebanyak mungkin dilakukan penyuaraan
vokal,
baik
dalam
bentuk
Semua
itu
merupakan pola kerja mengorganisir bunyi dan suara guna mensiasati keadaan.
Dengan alat yang relatif terbatas ternyata dapat dihasilkan sebuah jalinan musik
yang rancak.
Pada
elemen
dilihat
usaha
memposisikan
calung
untuk
mampu
mendapati gamelan.
Hal
memainkan
ini
sangat
terjadi
karena
ia
kondisi
tidak
hidup
masyarakat
Banyumas
yang
tidak
memungkinkan
membeli
atau
membuat gamelan sendiri. Dalam ketiadaan justru kemudian lahir kreativitas dalam
diri mereka dengan menciptakan alat musik yang dapat dijadikan sebagai media
ekspresi musikal guna menyajikan gendhing.
Calung diciptakan sebagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat kecil dan
melarat, tetapi memiliki kemauan estetik yang tinggi. Pengalaman musikal mereka
adalah gamelan dan gendhing. Maka diciptakan perangkat musik yang dapat
mewakili pengungkapan ide-ide musikal pada gamelan untuk menyajikangendhing.
Mungkin pada awalnya mereka mencoba dan salah (trial and error), membuat alat
musik
dari
kayu,
besi,
batu
atau
berbagai
tutul dan
lain-lain
jenis
bambu
termasuk
di
seperti
antaranya
kesulitan
cara
pembuatan,
kualitas
bunyi
yang
dihasilkan
hingga
calung
sangat erat
kaitannya dengan
kebiasaan
hidup
Rockman, Deborah, 2003, Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?, First
presented at the 2001 Fifth Congress of the Americas in Puebla,
Mexico, http://debrockman.com/.
Humardani
mengungkapkan
bahwa
bentuk
adalah
unsur
dari
semua
perwujudan. Bentuk-bentuk lahiriah tidak lebih dari suatu medium, yaitu alat untuk
mengungkapkan (to express) dan menyatakan (to state atau to communicate) isi
(SD. Humardani, 1959:1). Pandangan Humardani menunjukkan berbagai ragam
kesenian merupakan wujud dari ungkapan isi pandangan dan tanggapan seniman
ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap indra. Yang dimaksud dengan isi di sini
adalah nilai-nilai, pandangan hidup dan pengalaman empirik seniman yang terekam
dalam memori otak dan perasaan yang kemudian hadir ide-ide atau gagasangagasan estetik. Dengan kata lain, bentuk adalah wadah yang dipergunakan untuk
mengungkapkan isi yang berupa nilai-nilai. Keduanya, wadah dan isi, merupakan
satu-kesatuan wujud kesenian tradisional yang mencerminkan sistem nilai, pola
pikir dan pandangan hidup masyarakat pendukungnya.
Sajian calung tidak lain merupakan wadah yang memuat cita rasa dan hadir
sebagai hasil budidaya masyarakat Banyumas yang menjalankan kodratnya yang
hidup dengan selalu mengenal keindahan. Ia tumbuh mengakar pada kehidupan
masyarakat setempat dengan kerangka, pola-pola dan bentuk yang mengikat serta
penerapan yang berulang-ulang. Inilah yang membuatnya hidup kontinyu, menjadi
tradisi dan mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Banyumas.
Dilihat dari sisi bentuk, calung memiliki wujud yang kasar. Ini merupakan salah
satu ciri kesenian rakyat. Dalam hal ini Edi Sedyawati mengemukakan bahwa seni
pertunjukan rakyat biasanya tumbuh liar, kasar, bebas dari kaidah kraton dan tidak
terawat sehingga tidak mewujudkan keutamaan (Edi Sedyawati, 1984:110).
Pendapat tersebut merupakan hasil tinjauan dua jenis kesenian; seni rakyat dan
seni kraton. Seni rakyat identik dengan seni kasar, sedangkan seni kraton identik
dengan kehalusan rasa. Dalam tulisan ini mencoba menerjemahkan pengertian
kasar yang dimaksudkan oleh Edi Sedyawati. Dengan demikian di mana letak
kekasaran di dalam calung dapat segera dilihat dengan jelas sebagai sebuah fakta
empirik.
Dalam tradisi calung di Banyumas dapat dilihat beberapa elemen yang terkait
dengan tampilan fisik maupun sajian musikalnya. Beberapa elemen penting
tersebut
antara
lain
wujud
fisik,
garap
instrumen,
tempat
sajian,
dan
sajian
musik.
Dengan
demikian
pembuatan
alat
musik
lebih
mengutamakan aspek fungsional, dibanding aspek estetika bentuk. Dari sisi wujud
alat musik, memang calung terkesan memiliki garapan yang kasar, asal jadi dan
dengan teknologi yang sangat sederhana.
Dilihat dari sisi garap instrumen, pada dasarnya di dalam sajian calung sudah
terdapat variasi garap yang diperumit. Para pengrawit calung umumnya
menciptakan garap ricikan dengan mengacu pada sajian gamelan gedhe. Misalnya:
garap imbal padagambang
penerus sangat
mirip
dengan
penerus.
Garapnggambang pada ricikan gambang barung, mirip dengan teknik garap yang
digunakan
pada ricikan
penerus.
gambang pada
sajian gamelan
penerus mengacu
Demikian
pula
pada
gedhe.
teknik
garap
garap dhendhemmirip
dengan
garap saron penerus dan garap kenong mirip dengan tabuhan ricikan
kethuk-
kenong. Sementara itu, instrumen gongyang teknik tabuhannya dengan cara ditiup,
diusahakan semirip mungkin dengan suara tabuhan ricikan gong pada gamelan
gedhe, baik pada besarnya frekuensi suara maupun pada jenis suara yang
bergelombang.
Pada
saat
yang
lain,
peran
sebagai ricikan kempul dengan cara ditiup bunyi yang relatif lebih kecil dibanding
bunyi gong dengan teknik bunyi yang pendek-pendek. Bunyi demikian mirip dengan
bunyi tabuhan kempul padakarawitan Sunda yang cara menabuhnya dilakukan
dengan teknikpethetan agar gaungnya tidak panjang.
Musik calung dalam sajiannya juga menggunakan teknik garap instrumen yang
cenderung menghentak-hentak dan adanya improvisasi-improvisasi tertentu yang
melibatkan satu atau lebih instrumen. Hal ini terjadi karena ragam instrumen pada
perangkat calung terbuat dari bambu yang memiliki volume bunyi yang tidak
memungkinkan sangat keras serta resonansi bunyi yang diakibatkan oleh tabuhan
instrumen tidak memungkinkan untuk menciptakan gaung yang panjang. Keadaan
demikian menyebabkan para penabuh calung cenderung membunyikan instrumen
dengan volume dalam batas maksimal yang memungkinkan dilakukan. Untuk
mengatasi resonansi pendek disiasati dengan teknik tabuhan yang se-nrecel (kerap)
mungkin dalam tempo yang cenderung cepat. Selain itu, untuk membesut
keseluruhan sajian agar menjadi satu-kesatuan bunyi musikal yang utuh, pada
hampir setiap sajiangendhing selalu sebanyak mungkin dilakukan penyuaraan
vokal,
baik
dalam
bentuk
Semua
itu
merupakan pola kerja mengorganisir bunyi dan suara guna mensiasati keadaan.
Dengan alat yang relatif terbatas ternyata dapat dihasilkan sebuah jalinan musik
yang rancak.
Pada
elemen
dilihat
usaha
memposisikan
calung
untuk
mampu
mendapati gamelan.
masyarakat
Hal
Banyumas
memainkan
ini
sangat
yang
tidak
terjadi
karena
memungkinkan
ia
kondisi
membeli
tidak
hidup
atau
membuat gamelan sendiri. Dalam ketiadaan justru kemudian lahir kreativitas dalam
diri mereka dengan menciptakan alat musik yang dapat dijadikan sebagai media
ekspresi musikal guna menyajikan gendhing.
Calung diciptakan sebagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat kecil dan
melarat, tetapi memiliki kemauan estetik yang tinggi. Pengalaman musikal mereka
adalah gamelan dan gendhing. Maka diciptakan perangkat musik yang dapat
mewakili pengungkapan ide-ide musikal pada gamelan untuk menyajikangendhing.
Mungkin pada awalnya mereka mencoba dan salah (trial and error), membuat alat
musik
dari
kayu,
besi,
batu
atau
berbagai
tutul dan
lain-lain
jenis
bambu
termasuk
di
seperti
antaranya
kesulitan
cara
pembuatan,
kualitas
bunyi
yang
dihasilkan
hingga
calung
sangat erat
kaitannya dengan
kebiasaan
hidup
dari sisi tampilan fisik dan teknik sajian musikal diperoleh fakta bahwa musik calung
cenderung hadir sebagai musik yang kasar, pada level tertentu dapat dibenarkan.
Namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang nilai-nilai di balik tampilan fisik
tersebut, yang terjadi justru sebaliknya. Nilai estetik ibarat software dalam sebuah
komputer. Ia hadir dari otak pada kepala manusia dan nurani terdalam yang hadir
dalam wujud kearifan (kawicaksanan). Calung adalah wujud kearifan lokal
masyarakat Banyumas yang perlu dimaknai tidak sekedar pada penampilan fisik
sebuah ragam kesenian.