Sie sind auf Seite 1von 26

CALUNG BANYUMAS

1. Asal usul Musik Calung Banyumas


Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal Angklung
dan Calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab antara keduanya sebagian besar
mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses
pembuatan, sistem pelarasan, struktur komposisi, dan teknik permainan dari

beberapa instrumen.
Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa
Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung oleh sebuah instrumen perkusi sejenis
Angklung Bambu berlaras slendro.
Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkannya dengan cara
digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan
jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel
terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk
jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya alat musik tradisional yang sejenis yaitu Angklung,
Krumpyung dan Calung.
Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada
di ladang. Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik
jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal, bongkel memiliki teknik
permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah
Indonesia.
Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk
musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang, genre musik ini
diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelan kecil yang
biasa digunakan untuk mengiringi Lengger dan Ebeg.

Dari bongkel berkembanglah menjadi Buncis, kemudian dari buncis berkembang menjadi
Krumpyung, dan dari krumpyung menjadi Calung.
Calung merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan yang terbuat dari bambu
wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya
Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata calung merupakan jarwo dhosok (dua kata
yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu
wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara nyaring). Spesifikasi musik calung
adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu
menghasilkan aransemen musikal yang lengkap.
Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong,
gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu),
5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah
budaya Banyumas.
2. Fungsi dan Peran
Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdapat di dalam suatu budaya
masyarakat Banyumas yang lebih disebut dengan nama Gamelan Calung. Calung ini mempunyai
sistem pelarasan yang relatif sama dengan pelarasan gamelan yang ada di wilayah Indonesia
seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Sunda. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang
diletakkan secara melintang dan dimainkan dengan cara dipukul.
Calung biasa difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukkan seperti Lengger (seni tari)
dan Ebeg (kuda lumping khas Banyumas).
Pada era tahun 1970-an kehidupan calung sangat popular. Disamping berperan penting dalam
kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas, Calung juga memiliki satu bentuk spirit
musikal yang sangat kuat sebagai daya ungkap seniman Banyumas.
Kesenian Lengger Calung ini pun semakin berkembang dan mampu menempatkan posisinya
sebagai seni pertunjukkan terdepan dari sederetan jenis pertunjukkan seni lainnya yang terdapat
di Banyumas.
Hal ini didukung dengan difungsikannya kesenian Lengger Calung sebagai kebutuhan sosial
seperti acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran
(nadhar), sedekah bumi, dan sedekah laut.
3. Perkembangan Kesenian Calung

Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka
sifat kesenian Calung ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan kesenian Calung
tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya.
Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing-gendhing Banyumasan gamelan
Calung telah tergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar.
Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun
bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukkan Lengger tidak lagi
didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan dengan Gamelan Calung melainkan lebih
mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut).
Masuknya alat musik seperti gitar, keybord, seruling, drum, dan kendang dangdut ke dalam
Lengger Calung merupakan awal bergesernya eksistensi musik Calung dan merosotnya kualitas
penggarapan musiknya. Calung pun sudah tidak dianggap lagi sebagai medium ungkap yang
cerdas melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati yang tidak berarti apa-apa.
4. Isi Kandungan Musik Calung
Didalam musik Calung terkandung nilai-nilai kehidupan masyarakat Banyumas diantaranya :
1. Semua yang terjadi didalam sajian musik calung merupakan semacam luapan emosi dari
alam pikir dan alam rasa masyarakat Banyumas yang tidak dapat diungkapkan di dalam
pergaulan sosial.
2. Didalam sajian calung juga tertuang sikap-sikap kritis masyarakat Banyumas tentang
falsafah hidup, tentang penderitaan, alam lingkungan, tentang kebahagiaan dan atau
tentang segala sesuatu yang bersifat utopia.
3. Banyak gendhing yang disajikan pada pertunjukan calung yang menggambarkan negeri
impian, kebahagiaan ideal atau perasaan kesejatian yang hanya dapat diperoleh didalam
impian. Sebagai contoh gendhing Gunungsari dan Eling-eling. Kata gunungsari berasal
dari kata gunung dan sari (bunga) yang berarti kebahagiaan puncak setinggi gunung.
4. Sajian calung juga menuangkan ajaran dan atau ajakan untuk berbuat kebaikan,
pernyataan sikap, larangan terhadap perbuatan menyimpang, kritik, sindiran atau bahkan
sarkasme terhadap kejadian-kejadian umum sehari-hari di lingkungan pergaulan sosial.
Kritik, sindiran atau sarkasme ini umumnya dilakukan melalui teks-teks syair (cakepan)
yang diucapkan oleh sindhen atau senggak. Teks syair itu umumnya berbentuk parikan
atau wangsalan yang disajikan dengan alur lagu tertentu sesuai dengan sajian gendhing
yang sedang berlangsung.
5. Melalui aktivitas musik calung, masyarakat Banyumas malakukan penuangan nilai-nilai
ideal tentang hidup, sekalipun hal itu tidak selamanya berlangsung dalam realita

kehidupan sosial. Penuangan nilai-nilai ideal itu dilakukan melalui proses pembayangan
dan penjadian bentuk.

Calung; musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan terbuat dari bambu wulung.
Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya
Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata calung merupakan jarwo dhosok
(dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring
wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara
nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan
perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal
yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan
nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih
berkembang di hampir seluruh wilayah kultur Banyumas.
Calung; musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan terbuat dari bambu wulung.
Musik calung hidup di komunitas masyarakat pedesaan di wilayah sebaran budaya
Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata calung merupakan jarwo dhosok
(dua kata yang digabung menjadi kata bentukan baru) yang berarti carang pring
wulung (pucuk bambu wulung) atau dicacah melung-melung (dipukul bersuara
nyaring). Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal, yaitu dengan
perangkat yang sederhana (minimal) namun mampu menghasilkan aransemen musikal
yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan
nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Hingga sekarang calung masih
berkembang di hampir seluruh wilayah kultur Banyumas.

2.1 Pengertian Calung Banyumasan

Calung Banyumasan ada di kawasan Jawa Tengah tepatnya di kawasan


BANYUMAS seni calung merupakan salah satu bentuk budaya khas Banyumasan.
Seni ini berbentuk alat musik tradisional pentatonik terbuat dari bilah-bilah bambu
wulung yang berangkai dalam 3 oktaf, yaitu bilahan oktaf rendah (gedhe), sedang , dan
tinggi (kecil). Nada-nada calung biasanya diawali dari nada 5 (ma) rendah sampai
dengan 3 (lu) tinggi. Menurut sumber-sumber lisan, calung berasal dari alat musik
cengklung yaitu tiga bilah bambu dengan nada berbeda dipadu menjadi satu. Kemudian
berubah menjadi angklung. Secara fisik hampir sama, yang berbeda cara merangkai
satu nada terdiri dari 3 bilah, cara membunyikannya dengan dikorog. Karena dirasa
kurang praktis, maka kemudian berubah lagi menjadi calung. Dalam bahasa
Banyumasan Arti kata Calung ialah: carang pring wulung utawa dicacah melung-

melung yang artinya batang bamboo wulung atau bilah-bilah teriak-teriak


(mengeluarkan suara).
2.2 Asal-Usul Musik Calung Banyumas
Pada masa awal penyebaran Islam, seni calung sering dipadu dengan lengger
(le = thole = sebutan untuk anak laki-laki, dan ngger = angger = sebutan untuk anak
perempuan) Seni calung digunakan sebagai alat untuk memanggil atau mengumpulkan
anak-anak untuk diberikan pengetahuan baru yaitu tentang ajaran Islam. Seni calung
berkembang di wilayah Banyumas. Wilayah Banyumas adalah wilayah budaya kulonan
yang memilki karaketistik cenderung apa adanya (blaka suta), lugu dan aksen ngapak.
Ciri khas ini tercermin pada syair-syair lagu yang dipadu dengan irama musik calung
serta senggakan-senggakan yang terkesan vulgar.
Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal angklung
dan calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab bila dimati secara cermat,
antara keduanya sebagaian besar mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada
bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, system pelarasan, struktur
komposisi,dan teknik permainan dari beberapa instrumen. Bongkel adalah salah satu
bentuk musik rakyat yang terdapat di desa Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik
ini didukung sebuah instrument perkusi (sejenis angklung bambu), berlaras slendro.
Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkan digoyang
dan digatarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan jari-jari tertentu untuk
menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel terletak pada jalinan ritmis antara
keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami
lahirnya lain yang sejenis yaitu angklung, krumpyung dan calung. Bongkel pada
awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada di ladang, dan dalam
perkembangannya kini bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda
(jaga malam). Secara musikal bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan
tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia. Berdasarkan analisis
fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu
tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang genre musik ini diduga
mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelam kecil
yang biasa digunakan untuk mengiringi lengger dan ebeg. Dari bongkel berkembang
menjadi buncis, dari buncis berkembang menjadi krumpyung, dan dari krumpyung
menjadi calung. Masyarakat banyumas mengenal musik calung sampai dengan
sekarang.
2.3 Perkembangan Calung Banyumasan
Calung atau sering juga disebut dengan istilah gamelan Calung adalah nama
dari seperangkat alat musik tradisional yang ada di sebaran budaya masyarakat
Banyumas. Gamelan Calung yang ada di daerah Banyumas memiliki sistem pelarasan
yang relatif sama dengan sistem pelarasan gamelan yang ada di wilayah-wilayah

sekitarnya seperti Jogjakarta, Surakarta dan Sunda, yakni sistem pentatonik slendro.
lazim difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada
masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan gamelan
Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan penting dalam
kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping kedudukan gamelan
Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian pertunjukan kesenian
rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu bentuk kekuatan spirit musikal
yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai daya ungkap seniman Banyumas,
karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas dan unik jika dibandingkan dengan
jenis kesenian manapun.
Melalui proses perjalanan yang cukup panjang kesenian lengger-calung telah mampu
menempatkan posisinya yang terdepan dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di
karesidenan Banyumas. Hal yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung
bagi masyarakat Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial
seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual seperti syukuran
(nadar), sedekah bumi dan sedekah laut. Melihat betapa kompleksnya fungsi dan peran Calung
pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka beban profesi seniman Lengger Calungpun
menjadi sangat berat. Apalagi jika harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada
kejayaan di masa lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang
selalu berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi
tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor zaman adalah
bentuk dan garap. Perubahan garap calung apabila dilihat secara historis dalam konteks
budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi zamannya. Arah perubahan garap yang
kurang ditangani secara serius dan profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal
bagi kehidupan kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa
yang akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk
meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya, karena garap
adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman terhadap nilai-nilai estetik
yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang semakin dinamis. Kerangka kehidupan
kesenian yang dinamis tersebut mempunyai konsekuensi dan jelas merupakan faktor
perubahan secara konseptual maupun ujud penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada
sajian gending-gending Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan
jaman yang berorentasi pada selera pasar.
Peristiwa yang terjadi setiap kurun waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan
garap secara musikal maupun bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap
yang terjadi pada sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger
mengarah pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak bisa
dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan lengger tidak lagi
didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan dengan gamelan Calung,

melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu pop (dangdut) yang bernuansa kekinian.
Masuknya alat musik seperti gitar, seruling, keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam
sajian lengger-calung yang telah terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya
eksistensi musik calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini
adalah fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten yang
ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an. Menurut Kasbi (seniman/pimpinan
lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian lagu-lagu pop (musik campursari)
adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai faktor mendangkalnya garap gamelan Calung,
karena Calung sudah tidak lagi dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan
telah diperlakukan sebagai barang mati seperti balung ( tulang). Dalam kenyataannya calung
hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam sajian lagu-lagu
campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap yang disajikan
hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung (Wawancara: 29 Desember 2000).

MENIMBANG SAJIAN CALUNG BANYUMASAN: ANTARA WADAH DAN ISI


Humardani

mengungkapkan

bahwa

bentuk

adalah

unsur

dari

semua

perwujudan. Bentuk-bentuk lahiriah tidak lebih dari suatu medium, yaitu alat untuk
mengungkapkan (to express) dan menyatakan (to state atau to communicate) isi
(SD. Humardani, 1959:1). Pandangan Humardani menunjukkan berbagai ragam
kesenian merupakan wujud dari ungkapan isi pandangan dan tanggapan seniman
ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap indra. Yang dimaksud dengan isi di sini
adalah nilai-nilai, pandangan hidup dan pengalaman empirik seniman yang terekam
dalam memori otak dan perasaan yang kemudian hadir ide-ide atau gagasangagasan estetik. Dengan kata lain, bentuk adalah wadah yang dipergunakan untuk
mengungkapkan isi yang berupa nilai-nilai. Keduanya, wadah dan isi, merupakan
satu-kesatuan wujud kesenian tradisional yang mencerminkan sistem nilai, pola
pikir dan pandangan hidup masyarakat pendukungnya.
Sajian calung tidak lain merupakan wadah yang memuat cita rasa dan hadir
sebagai hasil budidaya masyarakat Banyumas yang menjalankan kodratnya yang
hidup dengan selalu mengenal keindahan. Ia tumbuh mengakar pada kehidupan
masyarakat setempat dengan kerangka, pola-pola dan bentuk yang mengikat serta
penerapan yang berulang-ulang. Inilah yang membuatnya hidup kontinyu, menjadi
tradisi dan mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Banyumas.

Dilihat dari sisi bentuk, calung memiliki wujud yang kasar. Ini merupakan salah
satu ciri kesenian rakyat. Dalam hal ini Edi Sedyawati mengemukakan bahwa seni
pertunjukan rakyat biasanya tumbuh liar, kasar, bebas dari kaidah kraton dan tidak
terawat sehingga tidak mewujudkan keutamaan (Edi Sedyawati, 1984:110).
Pendapat tersebut merupakan hasil tinjauan dua jenis kesenian; seni rakyat dan
seni kraton. Seni rakyat identik dengan seni kasar, sedangkan seni kraton identik
dengan kehalusan rasa. Dalam tulisan ini mencoba menerjemahkan pengertian
kasar yang dimaksudkan oleh Edi Sedyawati. Dengan demikian di mana letak
kekasaran di dalam calung dapat segera dilihat dengan jelas sebagai sebuah fakta
empirik.
Dalam tradisi calung di Banyumas dapat dilihat beberapa elemen yang terkait
dengan tampilan fisik maupun sajian musikalnya. Beberapa elemen penting
tersebut

antara

lain

wujud

fisik,

garap

instrumen,

tempat

sajian,

dan

garap gendhing. Setiap elemen secara bersama-sama berperan dalam membangun


wujud kesenian, dalam arti sebagai sarana ekspresi estetik maupun sebagai bagian
dari perjalanan panjang sebuah ragam kebudayaan.
Wujud fisik calung berupa perangkat musik terbuat dari bambu yang dibuat
secara manual dengan menggunakan kemampuan teknologi tradisional ala
pedesaan. Beberapa ragam alat musik seperti gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong,dan gong, dirakit secara sederhana menjadi bentuk yang
sederhana pula. Beberapa ragam alat musik itu dibuat lebih sekedar menjadi
sebuah instrumen yang memungkinkan dengan mudah dipergunakan untuk
membangun

sajian

musik.

Dengan

demikian

pembuatan

alat

musik

lebih

mengutamakan aspek fungsional, dibanding aspek estetika bentuk. Dari sisi wujud
alat musik, memang calung terkesan memiliki garapan yang kasar, asal jadi dan
dengan teknologi yang sangat sederhana.
Dilihat dari sisi garap instrumen, pada dasarnya di dalam sajian calung sudah
terdapat variasi garap yang diperumit. Para pengrawit calung umumnya
menciptakan garap ricikan dengan mengacu pada sajian gamelan gedhe. Misalnya:
garap imbal padagambang

barung dan gambang

garapimbal pada ricikan bonang

penerus sangat

mirip

barung dan bonang

dengan
penerus.

Garapnggambang pada ricikan gambang barung, mirip dengan teknik garap yang
digunakan

pada ricikan

gambang pada

sajian gamelan

gedhe.

Garap onelan pada gambang


instrumen gender

penerus.

penerus mengacu
Demikian

pula

pada

teknik

garap

garap dhendhemmirip

dengan

garap saron penerus dan garap kenong mirip dengan tabuhan ricikan

kethuk-

kenong. Sementara itu, instrumen gongyang teknik tabuhannya dengan cara ditiup,
diusahakan semirip mungkin dengan suara tabuhan ricikan gong pada gamelan
gedhe, baik pada besarnya frekuensi suara maupun pada jenis suara yang
bergelombang.

Pada

saat

yang

lain,

instrumen gong memainkan

peran

sebagai ricikan kempul dengan cara ditiup bunyi yang relatif lebih kecil dibanding
bunyi gong dengan teknik bunyi yang pendek-pendek. Bunyi demikian mirip dengan
bunyi tabuhan kempul padakarawitan Sunda yang cara menabuhnya dilakukan
dengan teknikpethetan agar gaungnya tidak panjang.
Musik calung dalam sajiannya juga menggunakan teknik garap instrumen yang
cenderung menghentak-hentak dan adanya improvisasi-improvisasi tertentu yang
melibatkan satu atau lebih instrumen. Hal ini terjadi karena ragam instrumen pada
perangkat calung terbuat dari bambu yang memiliki volume bunyi yang tidak
memungkinkan sangat keras serta resonansi bunyi yang diakibatkan oleh tabuhan
instrumen tidak memungkinkan untuk menciptakan gaung yang panjang. Keadaan
demikian menyebabkan para penabuh calung cenderung membunyikan instrumen
dengan volume dalam batas maksimal yang memungkinkan dilakukan. Untuk
mengatasi resonansi pendek disiasati dengan teknik tabuhan yang se-nrecel (kerap)
mungkin dalam tempo yang cenderung cepat. Selain itu, untuk membesut
keseluruhan sajian agar menjadi satu-kesatuan bunyi musikal yang utuh, pada
hampir setiap sajiangendhing selalu sebanyak mungkin dilakukan penyuaraan
vokal,

baik

dalam

bentuk

vokal sindhenan maupun senggakan.

Semua

itu

merupakan pola kerja mengorganisir bunyi dan suara guna mensiasati keadaan.
Dengan alat yang relatif terbatas ternyata dapat dihasilkan sebuah jalinan musik
yang rancak.
Pada

elemen

garap gendhing dapat

dilihat

usaha

memposisikan

calung

sebagai gamelan gedhe. Semua unsur garapgendhing yang lazim dilakukan di


dalam gamelan gedhe begitu saja ditransfer ke dalam sajian calung, mulai dari
ragam gendhing, irama,laya, pathet hingga vokal sindhenan dan senggakan. Pada
sisi ini dapat dilihat konsep pikir kreator calung yang telah menggunakan segala
cara

untuk

mampu

mendapati gamelan.

Hal

memainkan
ini

sangat

sajian gendhing sekalipun


mungkin

terjadi

karena

ia

kondisi

tidak
hidup

masyarakat

Banyumas

yang

tidak

memungkinkan

membeli

atau

membuat gamelan sendiri. Dalam ketiadaan justru kemudian lahir kreativitas dalam
diri mereka dengan menciptakan alat musik yang dapat dijadikan sebagai media
ekspresi musikal guna menyajikan gendhing.
Calung diciptakan sebagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat kecil dan
melarat, tetapi memiliki kemauan estetik yang tinggi. Pengalaman musikal mereka
adalah gamelan dan gendhing. Maka diciptakan perangkat musik yang dapat
mewakili pengungkapan ide-ide musikal pada gamelan untuk menyajikangendhing.
Mungkin pada awalnya mereka mencoba dan salah (trial and error), membuat alat
musik

dari

kayu,

besi,

batu

bambu tali (apus), petung, gendani,

atau

berbagai

tutul dan

lain-lain

jenis

bambu

termasuk

di

seperti

antaranya

bambu wulung. Dengan berbagai pertimbangan seperti pengadaan bahan baku,


tingkat

kesulitan

cara

pembuatan,

kualitas

bunyi

yang

dihasilkan

hingga

kemungkinan cara penyajiannya, akhirnya bambu wulung-lah yang menjadi pilihan


utama sebagai bahan baku pembuatan alat musik yang mereka inginkan.
Alur logika yang demikian dapat dibuktikan pola dan teknik tabuhan instrumen
pada calung yang ternyata juga merupakan proses imitasi (Ernst Cassirer,
1987:241) pola dan teknik tabuhan instrumen pada gamelan gedhe. Alat musik
calung diusahakan sedekat mungkin mirip dengan suara gamelan gedhe. Demikian
pula pada tataran warna bunyi, pola dan teknik tabuhan hingga teknik sajian
aransemen musikal (gendhing)-nya juga diusahakan untuk tidak berbeda jauh
dengan apa yang dijumpai pada sajian gamelan gedhe.
Tempat sajian

calung

sangat erat

kaitannya dengan

kebiasaan

hidup

masyarakat Banyumas. Bagi orang Banyumas, sajian kesenian adalah bagian


prosesi hidup, dan calung ada di dalam koridor tersebut. Calung memungkinkan
dipentaskan di sembarang tempat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Dalam
sajiannya, musik ini lazim ditempatkan di panggung arena sehingga dapat
disaksikan oleh penonton dari semua penjuru. Namun pada saat yang lain, calung
dapat pula disajikan di tempat yang relatif sempit seperti di emper (teras) rumah, di
bawah pohon yang rindang atau di jogan (balai-balai rumah). Semua itu dilakukan
mengingat tempat yang tersedia serta usaha memenuhi kebutuhan si penanggap.
Namun demikian sesungguhnya yang lebih penting di sini adalah usaha agar sajian

calung dapat disaksikan oleh sebanyak-banyaknya penonton. Dengan demikian


aspek kedekatan dengan penonton menjadi ciri utama sajian calung.
Di luar hal-hal yang berkaitan dengan tampilan fisik maupun sajian musikal
tersebut di atas, masih terdapat satu hal prinsip yakni tentang nilai-nilai dan cita
rasa yang merupakan kandungan isi dari setiap sajian musik calung. Bahwa dilihat
dari sisi tampilan fisik dan teknik sajian musikal diperoleh fakta bahwa musik calung
cenderung hadir sebagai musik yang kasar, pada level tertentu dapat dibenarkan.
Namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang nilai-nilai di balik tampilan fisik
tersebut, yang terjadi justru sebaliknya. Nilai estetik ibarat software dalam sebuah
komputer. Ia hadir dari otak pada kepala manusia dan nurani terdalam yang hadir
dalam wujud kearifan (kawicaksanan). Calung adalah wujud kearifan lokal
masyarakat Banyumas yang perlu dimaknai tidak sekedar pada penampilan fisik
sebuah ragam kesenian.

Calung memuat kedalamanmeminjam


istilah Humardaninilai rokhani
yang wigati, yang diyakini kebenarannya
dan dijadikan sebagai pedoman dalam
proses kehidupan. Nilai-nilai
rokhani wigati yang dimaksud di sini
berupa nilai tentang hidup, meliputi harkat
dan martabat kemanusiaan, etika-moral,
adat-istiadat serta estetika yang
sesungguhnya semua itu berlaku secara
universal. Di sisi lain, calung adalah juga
sebuah fenomena estetik yang
mengungkap keseluruhan pengalaman,
menyangkut totalitas hidup masyarakat
Banyumas (Arnold Hauser, 1974). Dengan
bahasa yang lebih sederhana, fenomena
estetik yang dijumpai di dalam calung
bukanlah sesuatu yang instan. Kehadiran
calung mencerminkan keseluruhan
pengalaman empirik kreator yang
dituangkan kembali melalui media estetis
alat musik bambu. Nuansa atau rasa keBanyumas-an di dalam calung hadir
karena musik ini merupakan suatu proses

dinamis yang mewadahi totalitas


pengalaman hidup manusia masyarakat
pendukungnya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka


sesungguhnya pengertian kasar dan
halus di dalam sajian kesenian rakyat
termasuk di dalamnya musik calungperlu
dikaji kembali. Nuansa kasar
sesungguhnya lebih pada cara pandang
terhadap tampilan fisik. Pada ragam
kesenian kraton pun banyak dijumpai
tampilan kesenian yang relatif kasar
seperti yang dijumpai pada
sajian gamelan sekaten, gendhinggendhing soranataupun tari gagahan. Dan,
pada calung Banyumasan nuansa kasar
tersebut lebih diakibatkan olah bahan
baku alat musik, teknik tabuhan dan
kepentingan penggunaan. Semua itu telah
bermuara pada hasil seni yang cenderung
memiliki citarasa estetik yang kasar.
Pada tataran nilai, sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan konsep-konsep nilai
pada ragam kesenian yang dikembangkan
oleh kebudayaan tinggi.

Digambarkan Malinowski bahwa segala


aktivitas kebudayaan sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian
dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk
manusia yang berhubungan dengan
seluruh kehidupannya (Koentjaraningrat,
1987:171). Keberadaan calung di
Banyumas pun diperuntukkan bagi
tercapainya maksud tersebut. Oleh karena
itu bukan hal yang mustakhil apabila
calung dalam kehidupan masyarakat
Banyumas mampu menjadi penanda
identitas mereka. Hal ini seperti
dikemukakan Deborah Rockman bahwa
seni memiliki pengaruh terhadap formasi
identitas melalui model ekspresi (Deborah
Rockman (2003). Gaya, pola dan atau
model pengungkapan gagasan estetik di
dalam calung sesungguhnya merupakan
bagian dari rangkaian pemenuhan
kebutuhan masyarakat Banyumas dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
musik yang satu ini memungkinkan
menjadi media ungkap sekaligus penanda

identitas kebudayaan yang menjadi


gantungan hidup masyarakat setempat.
Analisis kultural didasarkan pada
pemikiran bahwa kehidupan sehari-hari
membentangkan dirinya dalam susunan
yang berarti (Neils Mulder, 1996:11).
Konsep ini memberikan pengertian bahwa
aktivitas estetik melalui musik calung yang
dilakukan masyarakat Banyumas adalah
sesuatu yang benar dan bermakna penting
bagi kehidupan mereka. Pembenaran dan
pemaknaan itu berlangsung di dalam
suatu dunia pengetahuan yang dimiliki
bersama, yaitu kebudayaan Banyumas,
yang dapat dianalisis sebagai sistem
persepsi, klasifikasi dan penafsiran lain
yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Cassirer, Ernst, 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia, Jakarta:
Gramedia.Edi Sedyawati, 1984,Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar
Harapan.
Hauser, Arnold, 1974, The Sociology of Art, Translated by Kenneth J. Northcott, Chicago
and London: The University of Chicago Press.

Humardani, SD, 1959, Menari Sukarena dan Retna Pamudya,Yogyakarta (Naskah


ketikan).
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI Press.
Mulder, Neils, 1996, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Seri Budi No. 3., Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Rockman, Deborah, 2003, Culture, Identity & the Visual Arts: Who Am I?, First
presented at the 2001 Fifth Congress of the Americas in Puebla,
Mexico, http://debrockman.com/.

Humardani

mengungkapkan

bahwa

bentuk

adalah

unsur

dari

semua

perwujudan. Bentuk-bentuk lahiriah tidak lebih dari suatu medium, yaitu alat untuk
mengungkapkan (to express) dan menyatakan (to state atau to communicate) isi
(SD. Humardani, 1959:1). Pandangan Humardani menunjukkan berbagai ragam
kesenian merupakan wujud dari ungkapan isi pandangan dan tanggapan seniman
ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap indra. Yang dimaksud dengan isi di sini
adalah nilai-nilai, pandangan hidup dan pengalaman empirik seniman yang terekam
dalam memori otak dan perasaan yang kemudian hadir ide-ide atau gagasangagasan estetik. Dengan kata lain, bentuk adalah wadah yang dipergunakan untuk
mengungkapkan isi yang berupa nilai-nilai. Keduanya, wadah dan isi, merupakan
satu-kesatuan wujud kesenian tradisional yang mencerminkan sistem nilai, pola
pikir dan pandangan hidup masyarakat pendukungnya.
Sajian calung tidak lain merupakan wadah yang memuat cita rasa dan hadir
sebagai hasil budidaya masyarakat Banyumas yang menjalankan kodratnya yang
hidup dengan selalu mengenal keindahan. Ia tumbuh mengakar pada kehidupan
masyarakat setempat dengan kerangka, pola-pola dan bentuk yang mengikat serta
penerapan yang berulang-ulang. Inilah yang membuatnya hidup kontinyu, menjadi
tradisi dan mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Banyumas.
Dilihat dari sisi bentuk, calung memiliki wujud yang kasar. Ini merupakan salah
satu ciri kesenian rakyat. Dalam hal ini Edi Sedyawati mengemukakan bahwa seni
pertunjukan rakyat biasanya tumbuh liar, kasar, bebas dari kaidah kraton dan tidak
terawat sehingga tidak mewujudkan keutamaan (Edi Sedyawati, 1984:110).

Pendapat tersebut merupakan hasil tinjauan dua jenis kesenian; seni rakyat dan
seni kraton. Seni rakyat identik dengan seni kasar, sedangkan seni kraton identik
dengan kehalusan rasa. Dalam tulisan ini mencoba menerjemahkan pengertian
kasar yang dimaksudkan oleh Edi Sedyawati. Dengan demikian di mana letak
kekasaran di dalam calung dapat segera dilihat dengan jelas sebagai sebuah fakta
empirik.
Dalam tradisi calung di Banyumas dapat dilihat beberapa elemen yang terkait
dengan tampilan fisik maupun sajian musikalnya. Beberapa elemen penting
tersebut

antara

lain

wujud

fisik,

garap

instrumen,

tempat

sajian,

dan

garap gendhing. Setiap elemen secara bersama-sama berperan dalam membangun


wujud kesenian, dalam arti sebagai sarana ekspresi estetik maupun sebagai bagian
dari perjalanan panjang sebuah ragam kebudayaan.
Wujud fisik calung berupa perangkat musik terbuat dari bambu yang dibuat
secara manual dengan menggunakan kemampuan teknologi tradisional ala
pedesaan. Beberapa ragam alat musik seperti gambang barung, gambang penerus,
dhendhem, kenong,dan gong, dirakit secara sederhana menjadi bentuk yang
sederhana pula. Beberapa ragam alat musik itu dibuat lebih sekedar menjadi
sebuah instrumen yang memungkinkan dengan mudah dipergunakan untuk
membangun

sajian

musik.

Dengan

demikian

pembuatan

alat

musik

lebih

mengutamakan aspek fungsional, dibanding aspek estetika bentuk. Dari sisi wujud
alat musik, memang calung terkesan memiliki garapan yang kasar, asal jadi dan
dengan teknologi yang sangat sederhana.
Dilihat dari sisi garap instrumen, pada dasarnya di dalam sajian calung sudah
terdapat variasi garap yang diperumit. Para pengrawit calung umumnya
menciptakan garap ricikan dengan mengacu pada sajian gamelan gedhe. Misalnya:
garap imbal padagambang

barung dan gambang

garapimbal pada ricikan bonang

penerus sangat

mirip

barung dan bonang

dengan
penerus.

Garapnggambang pada ricikan gambang barung, mirip dengan teknik garap yang
digunakan

pada ricikan

Garap onelan pada gambang


instrumen gender

penerus.

gambang pada

sajian gamelan

penerus mengacu
Demikian

pula

pada

gedhe.

teknik

garap

garap dhendhemmirip

dengan

garap saron penerus dan garap kenong mirip dengan tabuhan ricikan

kethuk-

kenong. Sementara itu, instrumen gongyang teknik tabuhannya dengan cara ditiup,

diusahakan semirip mungkin dengan suara tabuhan ricikan gong pada gamelan
gedhe, baik pada besarnya frekuensi suara maupun pada jenis suara yang
bergelombang.

Pada

saat

yang

lain,

instrumen gong memainkan

peran

sebagai ricikan kempul dengan cara ditiup bunyi yang relatif lebih kecil dibanding
bunyi gong dengan teknik bunyi yang pendek-pendek. Bunyi demikian mirip dengan
bunyi tabuhan kempul padakarawitan Sunda yang cara menabuhnya dilakukan
dengan teknikpethetan agar gaungnya tidak panjang.
Musik calung dalam sajiannya juga menggunakan teknik garap instrumen yang
cenderung menghentak-hentak dan adanya improvisasi-improvisasi tertentu yang
melibatkan satu atau lebih instrumen. Hal ini terjadi karena ragam instrumen pada
perangkat calung terbuat dari bambu yang memiliki volume bunyi yang tidak
memungkinkan sangat keras serta resonansi bunyi yang diakibatkan oleh tabuhan
instrumen tidak memungkinkan untuk menciptakan gaung yang panjang. Keadaan
demikian menyebabkan para penabuh calung cenderung membunyikan instrumen
dengan volume dalam batas maksimal yang memungkinkan dilakukan. Untuk
mengatasi resonansi pendek disiasati dengan teknik tabuhan yang se-nrecel (kerap)
mungkin dalam tempo yang cenderung cepat. Selain itu, untuk membesut
keseluruhan sajian agar menjadi satu-kesatuan bunyi musikal yang utuh, pada
hampir setiap sajiangendhing selalu sebanyak mungkin dilakukan penyuaraan
vokal,

baik

dalam

bentuk

vokal sindhenan maupun senggakan.

Semua

itu

merupakan pola kerja mengorganisir bunyi dan suara guna mensiasati keadaan.
Dengan alat yang relatif terbatas ternyata dapat dihasilkan sebuah jalinan musik
yang rancak.
Pada

elemen

garap gendhing dapat

dilihat

usaha

memposisikan

calung

sebagai gamelan gedhe. Semua unsur garapgendhing yang lazim dilakukan di


dalam gamelan gedhe begitu saja ditransfer ke dalam sajian calung, mulai dari
ragam gendhing, irama,laya, pathet hingga vokal sindhenan dan senggakan. Pada
sisi ini dapat dilihat konsep pikir kreator calung yang telah menggunakan segala
cara

untuk

mampu

mendapati gamelan.
masyarakat

Hal

Banyumas

memainkan
ini

sangat

yang

sajian gendhing sekalipun


mungkin

tidak

terjadi

karena

memungkinkan

ia

kondisi

membeli

tidak
hidup
atau

membuat gamelan sendiri. Dalam ketiadaan justru kemudian lahir kreativitas dalam
diri mereka dengan menciptakan alat musik yang dapat dijadikan sebagai media
ekspresi musikal guna menyajikan gendhing.

Calung diciptakan sebagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat kecil dan
melarat, tetapi memiliki kemauan estetik yang tinggi. Pengalaman musikal mereka
adalah gamelan dan gendhing. Maka diciptakan perangkat musik yang dapat
mewakili pengungkapan ide-ide musikal pada gamelan untuk menyajikangendhing.
Mungkin pada awalnya mereka mencoba dan salah (trial and error), membuat alat
musik

dari

kayu,

besi,

batu

bambu tali (apus), petung, gendani,

atau

berbagai

tutul dan

lain-lain

jenis

bambu

termasuk

di

seperti

antaranya

bambu wulung. Dengan berbagai pertimbangan seperti pengadaan bahan baku,


tingkat

kesulitan

cara

pembuatan,

kualitas

bunyi

yang

dihasilkan

hingga

kemungkinan cara penyajiannya, akhirnya bambu wulung-lah yang menjadi pilihan


utama sebagai bahan baku pembuatan alat musik yang mereka inginkan.
Alur logika yang demikian dapat dibuktikan pola dan teknik tabuhan instrumen
pada calung yang ternyata juga merupakan proses imitasi (Ernst Cassirer,
1987:241) pola dan teknik tabuhan instrumen pada gamelan gedhe. Alat musik
calung diusahakan sedekat mungkin mirip dengan suara gamelan gedhe. Demikian
pula pada tataran warna bunyi, pola dan teknik tabuhan hingga teknik sajian
aransemen musikal (gendhing)-nya juga diusahakan untuk tidak berbeda jauh
dengan apa yang dijumpai pada sajian gamelan gedhe.
Tempat sajian

calung

sangat erat

kaitannya dengan

kebiasaan

hidup

masyarakat Banyumas. Bagi orang Banyumas, sajian kesenian adalah bagian


prosesi hidup, dan calung ada di dalam koridor tersebut. Calung memungkinkan
dipentaskan di sembarang tempat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Dalam
sajiannya, musik ini lazim ditempatkan di panggung arena sehingga dapat
disaksikan oleh penonton dari semua penjuru. Namun pada saat yang lain, calung
dapat pula disajikan di tempat yang relatif sempit seperti di emper (teras) rumah, di
bawah pohon yang rindang atau di jogan (balai-balai rumah). Semua itu dilakukan
mengingat tempat yang tersedia serta usaha memenuhi kebutuhan si penanggap.
Namun demikian sesungguhnya yang lebih penting di sini adalah usaha agar sajian
calung dapat disaksikan oleh sebanyak-banyaknya penonton. Dengan demikian
aspek kedekatan dengan penonton menjadi ciri utama sajian calung.
Di luar hal-hal yang berkaitan dengan tampilan fisik maupun sajian musikal
tersebut di atas, masih terdapat satu hal prinsip yakni tentang nilai-nilai dan cita
rasa yang merupakan kandungan isi dari setiap sajian musik calung. Bahwa dilihat

dari sisi tampilan fisik dan teknik sajian musikal diperoleh fakta bahwa musik calung
cenderung hadir sebagai musik yang kasar, pada level tertentu dapat dibenarkan.
Namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang nilai-nilai di balik tampilan fisik
tersebut, yang terjadi justru sebaliknya. Nilai estetik ibarat software dalam sebuah
komputer. Ia hadir dari otak pada kepala manusia dan nurani terdalam yang hadir
dalam wujud kearifan (kawicaksanan). Calung adalah wujud kearifan lokal
masyarakat Banyumas yang perlu dimaknai tidak sekedar pada penampilan fisik
sebuah ragam kesenian.

Calung memuat kedalamanmeminjam


istilah Humardaninilai rokhani
yang wigati, yang diyakini kebenarannya
dan dijadikan sebagai pedoman dalam
proses kehidupan. Nilai-nilai
rokhani wigati yang dimaksud di sini
berupa nilai tentang hidup, meliputi harkat
dan martabat kemanusiaan, etika-moral,
adat-istiadat serta estetika yang
sesungguhnya semua itu berlaku secara
universal. Di sisi lain, calung adalah juga
sebuah fenomena estetik yang
mengungkap keseluruhan pengalaman,
menyangkut totalitas hidup masyarakat
Banyumas (Arnold Hauser, 1974). Dengan
bahasa yang lebih sederhana, fenomena
estetik yang dijumpai di dalam calung
bukanlah sesuatu yang instan. Kehadiran
calung mencerminkan keseluruhan
pengalaman empirik kreator yang
dituangkan kembali melalui media estetis
alat musik bambu. Nuansa atau rasa keBanyumas-an di dalam calung hadir
karena musik ini merupakan suatu proses

dinamis yang mewadahi totalitas


pengalaman hidup manusia masyarakat
pendukungnya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka


sesungguhnya pengertian kasar dan
halus di dalam sajian kesenian rakyat
termasuk di dalamnya musik calungperlu
dikaji kembali. Nuansa kasar
sesungguhnya lebih pada cara pandang
terhadap tampilan fisik. Pada ragam
kesenian kraton pun banyak dijumpai
tampilan kesenian yang relatif kasar
seperti yang dijumpai pada
sajian gamelan sekaten, gendhinggendhing soranataupun tari gagahan. Dan,
pada calung Banyumasan nuansa kasar
tersebut lebih diakibatkan olah bahan
baku alat musik, teknik tabuhan dan
kepentingan penggunaan. Semua itu telah
bermuara pada hasil seni yang cenderung
memiliki citarasa estetik yang kasar.
Pada tataran nilai, sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan konsep-konsep nilai
pada ragam kesenian yang dikembangkan
oleh kebudayaan tinggi.

Digambarkan Malinowski bahwa segala


aktivitas kebudayaan sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian
dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk
manusia yang berhubungan dengan
seluruh kehidupannya (Koentjaraningrat,
1987:171). Keberadaan calung di
Banyumas pun diperuntukkan bagi
tercapainya maksud tersebut. Oleh karena
itu bukan hal yang mustakhil apabila
calung dalam kehidupan masyarakat
Banyumas mampu menjadi penanda
identitas mereka. Hal ini seperti
dikemukakan Deborah Rockman bahwa
seni memiliki pengaruh terhadap formasi
identitas melalui model ekspresi (Deborah
Rockman (2003). Gaya, pola dan atau
model pengungkapan gagasan estetik di
dalam calung sesungguhnya merupakan
bagian dari rangkaian pemenuhan
kebutuhan masyarakat Banyumas dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
musik yang satu ini memungkinkan
menjadi media ungkap sekaligus penanda

identitas kebudayaan yang menjadi


gantungan hidup masyarakat setempat.
Analisis kultural didasarkan pada
pemikiran bahwa kehidupan sehari-hari
membentangkan dirinya dalam susunan
yang berarti (Neils Mulder, 1996:11).
Konsep ini memberikan pengertian bahwa
aktivitas estetik melalui musik calung yang
dilakukan masyarakat Banyumas adalah
sesuatu yang benar dan bermakna penting
bagi kehidupan mereka. Pembenaran dan
pemaknaan itu berlangsung di dalam
suatu dunia pengetahuan yang dimiliki
bersama, yaitu kebudayaan Banyumas,
yang dapat dianalisis sebagai sistem
persepsi, klasifikasi dan penafsiran lain
yang mereka miliki.
Hit Counters

Das könnte Ihnen auch gefallen