Sie sind auf Seite 1von 52

BAB 2

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Dasar Mola Hidatidosa
1. Pengertian
Hamil mola adalah suatu kehamilan dimana setelah fertilisasi hasil konsepsi
tidak berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari vili koriales
disertai dengan degenerasi hidropik (Hamilton, 1995).
Mola hidatidosa adalah kehamilan dini akan berkembang secara abnormal
dan uterus terisi oleh gelembung-gelembung mirip buah anggur yang
menghasilkan hormon korionik gonadotropin dalam jumlah yang sangat besar
(Farrer, 1999).
Hamil mola adalah suatu kehamilan dimana setelah fertilisasi hasil konsepsi
tidak berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari vili koriales
disertai dengan degenerasi hidropik (Heller, 1986).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh vili
korialisnya mengalami perubahan hidrofik (Mansjoer, 1999).
Mola hidatidosa adalah penyakit yang berasal dari kelainan pertumbuhan
trofoblas plasenta atau calon plasenta dan disertai dengan degenerasi kistik villi
dan perubahan hidropik.
2. Etiologi
Belum diketahui pasti, ada yang menyatakan akibat infeksi, defisiensi
makanan, dan genetik. Yang paling cocok ialah teori Acosta sison, yaitu defisiensi
protein. Faktor resiko terdapat pada golongan sosioekonomi rendah, usia < 20
tahun dan paritas tinggi.
Menurut Heller (1986), penyebab dari mola hidatidosa adalah anomali yaitu
karena pembengkakan edematosa pada villi (degenerasi hidrofik) dan proliferasi
trofoblast.
3. Patofisiologi
Faktor ovum, imunoselektif dari tropoblas, sosial-ekonomi yang rendah,
paritas tinggi, keurangan protein, infeksi virus, faktor kromosom yang belum jelas
menyebabkan chorionic vili berganda.

Sebagian dari vili berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan


jernih. Biasanya tidak ada janin. Secara histopatologik kadang-kadang ditemukan
jaringan mola pada plasenta dengan bayi normal. Suatu agonesis yang
lengkap/degenerasi dini dari sistem vaskularisasi buah kehamilan pada kehamilan
minggu ke III V.
Sirkulasi yang terus menerus tanpa adanya fetus menyebabkan sel trofoblas
memproduksi hormon. Cairan ini dapat berupa gelembung yang dapat sebesar
butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat mengisi
kavum uteri.
Stroma vili dan kelembaban, terlambat atau hilangnya pembuluh darah dan
stroma, adanya proliferasi dari trofoblast. Pada pemeriksaan kromosom poliploidi
dan hampir pada semua kasus mola susunan sex kromatin adalah wanita.
Pada mola hidatidosa ovarium dapat mengandung kista lutein kadang-kadang
hanya ada satu ovarium, kadang-kadang pada keduanya. Kista ini berdinding tipis
dan berisikan cairan kekuning-kuningan dan dapat mencapai ukuran tinju/kepala
bayi. Kista lutein terjadi karena perangsangan ovarium oleh kadar gonadotropin
chorion yang tinggi. Kista akan menghilang dengan sendirinya setelah mola
dilahirkan. (Mansjoer, 2002 : 266 dan Mochtar, 2002 : 239).
4. Manifestasi Klinik
Menurut Farrer (2002) dan Mansjoer (2002) :
a.Amenore dan tanda-tanda kehamilan.
b.

Uterus berukuran lebih besar daripada ukuran untuk


kehamilan yang normal dan teraba lunak serta bundar.

c.Jantung janin tidak terdengar.


d.

Bagian tubuh janin tidak teraba.

e.Hiperemesis karena peningkatan HCl melampaui nilai


normal dan preeklamsia timbul secara dini dan pada
keadaan ini bila ditemukan perdarahan pervaginam
mendekati akhir bulan ketiga yang sedikit dan berwarna
gelap.
f. Kadang-kadang gelembung seperti buah anggur tampak
keluar dari dalam vagina.

g.

Tes urine untuk kehamilan menunjukkan hasil


positif.

5. Komplikasi
Menurut Mansjoer (2002)
a.Anemia.
b.

Syok.

c.Infeksi.
d.

Eklamsia.

e.Tirotoksikosis.
f. Perdarahan hebat.
g.

Anemis.

h.

Syok.

i. Perforasi usus.
j. Keganasan.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji sonde uterus (Hanifa).
Tandanya yaitu sonde yang dimasukkan tanpa tahanan dan dapat diputar
3600 dengan deviasi sonde kurang dari 100.
b. Peningkatan kadar beta HCG darah atau urin.
c. USG menunjukkan gambaran badai salju (snow flake pattern).
d. Foto thoraks ada gambaran emboli udara.
e. Pemeriksaan T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis.
f. Hitung darah lengkap dengan apusan darah : lazimnya ditemukan anemia
defisiensi besi, eritropoesis megaloblastik jarang.
g. Urinalisis : biasanya normal proteinuria memberi kesan adanya kaitan
dengan kaitan pre eklamsia.
7. Penatalaksanaan
Terapi mola hidatidosa ada 3 tahapan, yaitu :
a. Perbaikan keadaan umum.
a) Koreksi dehidrasi.
b) Transfusi darah bila ada anemia (Hb 8 gr%
atau kurang).

c) Bila ada gejala pre eklamsia dan hiperemesis


gravidarum, diobati sesuai dengan protokol
penanganan dibagian obstetri.
d) Bila

ada

gejala-gejala

tirotoksikosis,

dikonsul ke bagian penyakit dalam.


b. Pengeluaran jaringan mola dengan cara kuretase dan
histerektomi.
Kuretase pada pasien mola hidatidosa :
a) Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan
selesai (pemeriksaan darah rutin dan kadar
beta HCG dan foto toraks), kecuali bila
jaringan mola telah keuar spontan.
b) Bila kanalis servikalis belum terbuka maka
dilakukan

pemasangan

laminaria

dan

kuretase dilakukan 24 jam kemudian.


c) Sebelum

melakukan

kuretase,

sediakan

darah 500 cc dan pasang infus dengan


tetesan oxytosin 10 IU dalam 500 cc D5%.
d) Kuretase dilakukan 2x dengan interval
minimal 1 minggu.
Histerektomi.
Syarat melakukan histerektomi :
a. Umur ibu 35 tahun atau lebih.
b. Sudah memiliki anak hidup 3 orang atau
lebih.
c. Pemeriksaan tindak lanjut.
Meliputi :
a) Lama pengawasan 1-2 tahun.
b) Selama

pengawasan,

pasien

dianjurkan

untuk memakai alat kontrasepsi kondom, pil


kombinasi atau diafragma. Pemeriksaan fisik

dilakukan setiap kali pasien datang untuk


kontrol.
c) Pemeriksaan kadar beta HCG dilakukan
setiap 1 minggu sampai ditemukan kadarnya
yang normal 3 x berturut-turut.
d) Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap
bulan sampai ditemukan kadarnya normal 6
x berturut-turut.
e) Bila telah terjadi remisi spontan (kadar beta
HCG, pemeriksaan fisik dan foto thorax
semuanya normal) setelah 1 tahun maka
pasien

tersebut

berhenti

menggunakan

kontrasepsi dan dapat hamil kembali.


f)

Bila selama masa observasi, kadar beta


HCG tetap atau meningkat dan pada
pemeriksaan foto thorax ditemukan adanya
tanda-tanda metastasis maka pasien harus
dievaluasi dimulai pemberian kemoterapi.

B. Asuhan Keperawatan Mola Hidatidosa


1. Pengkajian
Menurut Doengoes, 2000 :
1) Aktivitas/istirahat.
Gejala : insomnia, sensitifitas , otot lemah, gangguan koordinasi,
kelelahan berat.
Tanda : atrofi otot, tremor.
2) Sirkulasi.
Gejala : perdarahan pervaginam.
Tanda : tekanan darah, takikardi saat istirahat.
3) Eliminasi.
Gejala : urin dalam jumlah banyak, perubahan dalam feses.
4) Intergritas ego.

Gejala : mengalami stress yang berat baik emosional maupun fisik.


Tanda : emosi labil (euphoria sedang sampai delirium), depresi.
5) Makanan/cairan.
Gejala : kehilangan BB mendadak, nafsu makan , mual dan
muntah.
Tanda : distensi vena jugularis, edema, turgor kulit dapat dilihat
dari kelembaban/kering; membran mukosa.
6) Neurosensori.
Gejala : rasa ingin pingsan/pusing, tremor halus, kesemutan.
Tanda : gangguan status mental, bicara cepat/parau, perilaku
seperti bingung, gelisah, disorientasi, peka rangsang,
delirium, psikosis, struktur koma.
7) Nyeri.
Gejala : nyeri abdomen.
Tanda : mengkerutkan muka, menjaga area yang sakit, respon
emosional terhadap nyeri.
8) Pernafasan.
Gejala : frekuensi pernafasan , takipneu, dispneu, edema paru
(pada krisis tiroksikosis).
Tanda : fungsi mental/kegelisahan, kesadaran/rileks.
9) Keamanan.
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat berlebihan.
Tanda : suhu diatas 37,40C, diaporesis, kulit halus, hangat dan
kemerahan, rambut tipis, mengkilap dan lurus.
10) Seksualitas.
Tanda : penurunan libido, hipomenorhea.
11) Integumen.
Tanda : adanya luka bekas operasi.
12) Verbal.
Gejala : pernyataan tidak mengerti/salah mengerti.
Tanda : kerusakan kemampuan untuk bicara, gagap, disastria,
afasia, suara lemah/tidak mendengar.

13) Penyuluhan/pembelajaran.
Gejala : adanya riwayat keluarga yang mengalami masalah,
masalah penyakit trofoblast, terutama mola hidatidosa.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan
kerusakan jaringan intrauteri.
2) Resiko tinggi terhadap devisit volume cairan
berhubungan dnegan perdarahan.
3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
tidak adekuat pertahanan sekunder.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan masukan yang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme (mual,
anoreksia, pembatasan medis).
5) Gangguan

aktivitas

berhubungan

dengan

kelemahan, penurunan sirkulasi.


6) Kurang

perawatan

diri

berhubungan

dengan

kelelahan nyeri atau ketidaknyamanan.

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan I : Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan
kerusakan jaringan intrauteri.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat


beradaptasi dengan nyeri yang dialami.

Intervensi :
1) Kaji kondisi nyeri yang dialami klien.
Rasional : Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala
maupun diskripsi.
2) Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya.

Rasional : Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance


mengatasi nyeri.
3) Kolaborasi pemberian analgetika.
Rasional : Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan
pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum
luas/spesifik.
Diagnosa Keperawatan II : Resiko tinggi terhadap devisit volume cairan
berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan

: Tidak terjadi devisit volume cairan, seimbang antara intake dan


output baik jumlah maupun kualitas.

Intervensi :
1) Kaji kondisi status hemodinamika.
Rasional : Pengeluaran cairan pervasinal sebagai akibat abortus memiliki
karakteristik bervariasi.
2) Ukur pengeluaran harian.
Rasional : Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian
ditambah dengan jumlah cairan yang hilang pervaginal.
3) Catat haluaran dan pemasukan.
Rasional : Mengetahui penurunan sirkulasi terhadap destruksi sel darah
merah.
4) Observasi nadi dan tensi.
Rasional : Mengetahui tanda hipovolume (perdarahan).
5) Berikan diet halus.
Rasional : Memudahkan penyerapan diet.
6) Nilai hasil lab.HB/HT.
Rasional : Menghindari peradarahan spontan karena proliferasi sel darah
merah.
7) Berikan sejumlah cairan IV sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan
transfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan masif.
8) Evaluasi status hemodinamika.

Rasional : Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan


fisik.
Diagnosa Keperawatan III : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
tidak adekuat pertahanan sekunder.
Tujuan

: Tidak terjadi infeksi selama perawatan perdarahan.

Intervensi :
1) Kaji kondisi keluaran/dischart yang keluar; jumlah, warna, dan bau.
Rasional : Perubahan yang terjadi pada dischart dikaji setiap saat dischart
keluar. Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak
mungkin merupakan tanda infeksi.
2) Terangkan pada klien pentingnya perawatan vulva selama masa
perdarahan.
Rasional : Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan genital yang
lebih luar.
3) Lakukan pemeriksaan biakan pada dischart.
Rasional : Berbagai kuman dapat teridentifikasi melalui dischart.
4) Lakukan perawatan vulva.
Rasional : Inkubasi kuman pada area genital yang relatif cepat dapat
menyebabkan infeksi.
5) Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda infeksi.
Rasional : Berbagai manifestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik
infeksi; demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin
merupakan gejala infeksi.
6) Anjurkan pada suami untuk tidak melakukan hubungan senggama selama
masa perdarahan.
Rasional : Pengertian pada keluarga sangat penting artinya untuk
kebaikan ibu; senggama dalam kondisi perdarahan dapat
memperburuk kondisi sistem reproduksi ibu sekaligus
meningkatkan resiko infeksi pada pasangan.
7) Batasi pengunjung dan ajari pengunjung untuk mencuci tangan yang baik.
Rasional : Mencegah cross infeksi.
8) Observasi suhu tubuh.

Rasional : Mengetahui infeksi lanjut.


9) Nilai hasil lab.Leukosit, darah lengkap.
Rasional : Penurunan sel darah putih akibat dari proses penyakit.
10) Berikan obat sesuai terapi.
Rasional : Antibiotika profilaktik atau pengobatan.
Diagnosa Keperawatan IV : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan masukan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme (mual, anoreksia, pembatasan medis).
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi dapat


tercukupi dengan kriteria hasil :
b. Klien memenuhi kebutuhan nutrisi.

Intervensi :
1) Sajikan makanan yang hangat.
Rasional : Untuk mengkaji mual/muntah/nek.
2) Kaji/catat pemasukan diet atau kemampuan pasien
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi definisi dan kebutuhan
diet.
3) Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering.
Rasional : Meminimalkan anorexia/mual.
4) Kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional : Menambahkan dalam menetapkan program nutrisi spesifik
untuk memenuhi kebutuhan individu pasien.
Diagnosa Keperawatan V : Gangguan aktivitas berhubungan dengan kelemahan,
penurunan sirkulasi.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat


melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi.

Intervensi :
1) Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas.
Rasional : Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi
perdarahan masif perlu diwaspadai untuk mencegah kondisi
klien lebih buruk.

2) Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi uterus/kandungan.


Rasional : Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi
organ reproduksi.
3) Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
Rasional : Mengistirahatkan klien secara optimal.
4) Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi
klien.
Rasional : Mengoptimalkan kondisi klien, pada Mola Hidatidosa,
istirahat mutlak sangat diperlukan.
5) Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas.
Rasional : Menilai kondisi umum klien.
Diagnosa Keperawatan VI : Kurang perawatan diri berhubungan dengan
kelelahan nyeri atau ketidaknyamanan.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perawatan diri


pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : Mendemonstrasikan diri dan
melaksanakan peningkatan tanggung jawab untuk perawatan diri.

Intervensi :
1) Dekatkan barang-barang milik pasien.
Rasional : Untuk memudahkan pasien.
2) Kaji tingkat keterbatasan pasien dalam perawatan
diri.
Rasional : Membantu dalam mengkaji keterbatasan pasien.
3) Bantu keperluan pasien dalam perawatan diri
pasien.
Rasional : Untuk memudahkan pasien.
4) Tentukan kemampuan saat ini (skala 0-4).
Rasional : Mengidentifikasi kebutuhan intervensi yang dibutuhkan.
5) Koordinasi dengan ahli terapi fisik/rehabilitasi.
Rasional : Berguna dalam menetapkan program latihan/aktivitas dan
dalam mengidentifikasi alat bantu untuk memenuhi kebutuhan
individu.

A. Konsep Dasar Anemia


1

Pengertian

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah,
kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml
darah (Price, 2010:256).
Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar HB
atau hematokrit dibawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan sutu penyakit atau gangguan fungsi tubuh.
Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin
yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh. (Bakta, 2013:12)
2

Penyebab

Penyebab dari anemia antara lain :


a

Gangguan produksi sel darah merah, yang dapat terjadi karena;

Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemia


Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrient
Fungsi sel induk (stem sel ) terganggu
Inflitrasi sum-sum tulang
b

Kehilangan darah
Akut karena perdarahan
Kronis karena perdarahan
Hemofilia (defisiensi faktor pembekuan darah)

Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis) yang dapat terjadi


karena;
Faktor bawaan misalnya kekurangan enzim G6PD
Faktor yang didapat, yaitu bahan yang dapat merusak eritrosit

Bahan baku untuk membentuk eritrosit tidak ada

Ini merupakan penyebab tersering dari anemia dimana terjadi kekurangan zat
gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan
asam folat.
3

Manifestasi Klinis

Tanda dan Gejala yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai
sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik
(syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus),
pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi
abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman
lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu,
lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia.
Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata
bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala
terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau
serangan jantung.(Price ,2000:256-264)
Area
Keadaan umum

Manifestasi klinis
Pucat , penurunan kesadaran, keletihan
berat , kelemahan, nyeri kepala, demam,
dipsnea,

Kulit

vertigo,

sensitive

terhadap

dingin, BB turun.
Jaundice (anemia hemolitik), warna kulit
pucat, sianosis, kulit kering, kuku rapuh,
koylonychia, clubbing finger, CRT > 2
detik,

elastisitas

kulit

munurun,

perdarahan kulit atau mukosa (anemia


Mata

aplastik)
Penglihatan

Telinga
Mulut

konjungtiva pucat.
Vertigo, tinnitus
Mukosa licin dan mengkilat, stomatitis,

kabur,

jaundice

sclera,

perdarahan gusi, atrofi papil lidah,


glossitis, lidah merah (anemia deficiency
Paru paru
Kardiovaskuler

asam folat)
Dipsneu, takipnea, dan orthopnea
Takikardia, lesu, cepat lelah, palpitasi,
sesak waktu kerja, angina pectoris dan

bunyi
Gastrointestinal

jantung

murmur,

kardiomegali, gagal jantung


Anoreksia,
mual-muntah,
hepatospleenomegali

Muskuloskletal
System persyarafan

hipotensi,

(pada

anemia

hemolitik)
Nyeri pinggang, sendi
Sakit kepala, pusing, tinnitus, mata
berkunang-kunang,

kelemahan

otot,

irritable, lesu perasaan dingin pada


ekstremitas.
(Bakta, 2013:15)
4

Patofisiologi

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau


kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang
dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau
kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang
melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir,
masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel
darah merah normal atau akibat beberapa faktor diluar sel darah merah yang
menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sistem fagositik atau
dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil
samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk
dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera
direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1
mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.(Smeltzer
& Bare. 2002 : 935 ).

Klasifikasi

Klasifikasi anemia menurut faktor morfologi :

Anemia hipokromik mikrositer : MCV < 80 fl dan MCH < 27


pg

Sel darah merah memiliki ukuran sel yang kecil dan pewarnaan yang
berkurang atau kadar hemoglobin yang kurang (penurunan MCV dan penurunan
MCH)

1 Anemia defisiensi besi


2 Thalasemia major
3 Anemia akibat penyakit kronik
4 Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer : MCV 80-95 fl dan MCH 2734 pg

Sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung
jumlah hemoglobin dalam batas normal.

1 Anemia pasca perdarahan akut


2 Anemia aplastik
3 Anemia hemolitik didapat
4 Anemia akibat penyakit kronik
5 Anemia pada gagal ginjal kronik
6 Anemia pada sindrom mielodisplastik
7 Anemia leukemia akut
Anemia normokromik makrositer : MCV > 95 fl

Sel darah merah memiliki ukuran yang ukuran yang lebih besar dari pada
normal tetapi tetapi kandungan hemoglobin dalam batas normal (MCH meningkat
dan MCV normal).
1
2

Bentuk megaloblastik
1 Anemia defisiensi asam folat
2 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
Bentuk non-megaloblastik
1 Anemia pada penyakit hati kronik
2 Anemia pada hipotiroidisme
3 Anemia pada sindrom mielodisplastik

Klasifikasi anemia menurut faktor etiologi :


a
1

Anemia karena produksi eritrosit menurun

kekurangan bahan unuk eritrosit (anemia defisiensi besi, dan anemia


deisiensi asam folat/ anemia megaloblastik)

gangguan utilisasi besi (anemia akibat penyakit kronik, anemia


sideroblastik)

Kerusakan jaringan sumsum tulang (atrofi dengan penggantian oleh


jaringan lemak:anemia aplastik/hiplastik, penggantian oleh jaringan
fibrotic/tumor:anemia leukoeritoblastik/mielopstik)

Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui. (anemia


diserotropoetik, anemia pada sindrom mielodiplastik)
b

Kehilangan eritrosit dari tubuh.


1

Anemia pasca perdarahan akut.

Anemia pasca perdarahan kronik

Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)


1

Faktor ekstrakorpuskuler

Antibody terhadap eritrosit: (Autoantibodi-AIHA, isoantibodiHDN)

Hipersplenisme

Pemaparan terhadap bahan kimia

Akibat infeksi

Kerusakan mekanik
2

Factor intrakorpuskuler

Gangguan membrane (hereditary spherocytosis, hereditary


elliptocytosis)

Gangguan enzim (defisiensi piruvat kinase, defisiensi G6PD)

Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati structural, thalasemia)

(Bakta, 2013:15,16)
Anemia yang terjadi akibat menurunnya produksi SDM antara lain :
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi merupakan gejala kronis dengan keadaan
hipokromik (konsentrasi Hb kurang), mikrositik yang disebabkan oleh suplai besi
kurang dalam tubuh. kurangnya besi berpengaruh dalam pembentukan Hb
sehingga konsentrasinya dalam SDM berkurang, hal ini akan mengakibatkan tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen keseluruh jaringan tubuh. Pada keadaan normal
kebutuhan besi orang dewasa adalah 2- 4 gm. Pada laki-laki kebutuhan besi

adalah 50 mg/kgBB dan pada wanita 35 mg/kgBB ( Lawrence M Tierney, 2003)


dan hamper 2/3 terdapat dalam Hb. Absorbsi besi terjadi dilambung, duodenum
dan jejunum bagian atas adanya erosi esofagitis, gaster, ulser duodenum, kanker
dan adenoma kolon akan mempengaruhi absobsi besi.
Anemia megaloblastik
Anemia yang disebabkan karena rusaknya sintesis DNA yang
mengakibatkan tidak sempurnanya SDM. Keadaan ini disebabkan karena
defisiensi vitamin B12 dan asam folat.karakteristik SDM ini adalah adanya
megaloblas abnormal, Prematur dengan fungsi yang tidak normal dan dihancurkan
semasa dalam sumsum tulang sehingga terjadinya eritropoeisis dengan masa
hidup eritrosit yang lebih pendek.yang akan mengakibatkan leucopenia,
trombositopenia .
Anemia defisiensi vitamin B12
Merupakan gangguan autoimun karena tidak adanya faktor intrinsik yang
diproduksi di sel parietal lambung sehingga terjadi gangguan absobsi vitamin B12
Anemia defisiesi asam folat
Kebutuhan folat sangat kecil biasanya terjadi pada orang yang kurang
makan sayuran dan buah-buahan, gangguan pada pencernaan, alkolik dapat
meningkatkan kebutuhan folat, wanita hamil, masa pertumbuhan. Defisiensi asam
folat juga dapat mengakibatkan sindrom malabsobsi
Anemia aplastik
Terjadi akibat ketidak sanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel sel
darah. Kegagalan tersebut disebabkan oleh kerusakan primer atau zat yang dapat
merusak sumsum tulang (Mielotoksin).
Anemia karena meningkatnya destruksi atau kerusakan SDM dapat terjadi
karena hiperaktifnya RES.
Meningkatnya destruksi SDM dan tidak adekuatnya produksi SDM
biasanya karena faktor-faktor :
Kemampuan respon sumsum tulang terhadap penurunan SDM
kurang karena meningkatnya jumlah retikulosit dalam sirkulasi
darah

Meningkatnya SDM yang masih muda dalam sumsum tulang


dibandingkan yang matur atau matang .
Ada atau tidaknya hasil destruksi SDM dalam sirkulasi
(peningkatan kadar bilirubin)
Anemia yang terjadi akibat meningkatnya destruksi/kerusakan SDM antara
lain:
Anemia hemolitik
Anemia hemolitik terjadi akibat peningkatan hemolisis dari eritrosit sehingga
usia SDM lebih pendek yang disebabkan oleh : 5% dari jenis anemia, herediter,
Hb abnormal, membran eritrosit rusak, thalasemia, anemia sel sabit, reaksi
autoimun, toksik, kimia, pengobatan, infeksi, kerusakan fisik .
Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitk berat yang ditandai dengan SDM
kecil sabit, dan pembesaran limfa akibat kerusakan molekul Hb.
6

Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

Pemeriksaan laboratorium pada pasien anemia


Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV
(volume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular
rerata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB),
peningkatan (AP). Pansitopenia (aplastik).
Nilai normal eritrosit (juta/mikro lt) : 3,9 juta per mikro liter pada wanita dan
4,1 -6 juta per mikro liter pada pria:
Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.
Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat
(respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).
Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk
(dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).
LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal :
peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa
anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah
mempunyai waktu hidup lebih pendek.

Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).


SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial)
mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik)
Nilai normal Leokosit (per mikro lt) : 6000 10.000 permokro liter
Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau
tinggi (hemolitik)
Nilai normal Trombosit (per mikro lt) : 200.000 400.000 per mikro liter
darah. Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin..
Nilai normal Hb (gr/dl) : Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP,
hemolitik).
Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia

sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi


Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
TBC serum : meningkat (DB)
Feritin serum : meningkat (DB)
Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
LDH serum : menurun (DB)
Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi

gaster, menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).


Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi
perdarahan : perdarahan GI
Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak
adanya asam hidroklorik bebas (AP).
Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak
berubah

dalam

jumlah,

ukuran,

dan

bentuk,

membentuk,

membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP),


lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).
7

Komplikasi
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya,

penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang


flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang
lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan
anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian,

dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa
juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak. Anemia
berat, gagal jantung kongesti dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik tidak
dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Selain itu
dispnea, nafas pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani
merupakan manifestasi berkurangnya pengurangan oksigen (Price &Wilson,
2006)
8

Penatalaksanaan

Tujuan utama dari terapi anemia adalah untuk identifikasi dan perawatan
karena penyebab kehilangan darah,dekstruksi sel darah atau penurunan produksi
sel darah merah.pada pasien yang hipovelemik:
Pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena,
Resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin.
Tranfusi kompenen darah sesuai indikasi
(Catherino,2013:416)
Evaluasi Airway, Breathing, Circulation dan segera perlakukan setiap kondisi
yang mengancam jiwa. Kristaloid adalah cairan awal pilihan (Daniel, direvisi
tanggal 22 Oktober 2010)
Acute anemia akibat kehilangan darah:
1 Pantau pulse oksimetri, pemantau jantung, dan Sphygmomanometer.
2 Berikan glukokortikoid serta agen antiplatelet (aspirin) sesuai indikasi.
3 Berikan 2 botol besar cairan intravena dan berikan 1-2 liter cairan
kristaloid dan juga pantau tanda-tanda dan gejala gagal jantung kongestif
4

iatrogenik pada pasien..


Berikan plasma beku segar (FFP), faktor-faktor koagulasi dan platelet, jika

diindikasikan.
Pasien dengan hemofilia harus memiliki sampel terhadap faktor deficiency

yang dikirim untuk pengukuran.


Pasien hamil dengan trauma yang ada kecurigaan terhadap adanya Fetotransfer darah ibu harus diberikan imunoglobulin Rh-(Rhogam) jika

mereka Rh negatif.
Setelah pasien stabil, mulailah langkah-langkah spesifik untuk mengobati
penyebab pendarahan. (Daniel, direvisi tanggal 22 Oktober 2010)

Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia dapat berbeda-beda


tergantung dari jenis anemia yang diderita oleh pasien. Berikut ini beberapa terapi
yang diberikan pada pasien sesuai dengan jenis anemia yang diderita:
a

Anemia Deficiensi Besi

Setelah diagnosa ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi berupa:


Terapi kausal: tergantung pada penyebab anemia itu
sendiri, misalnya pengobatan menoragi, pengobatan
hemoroid bila tidak dilakukan terapi kausal anemia akan
kambuh kembali.
Pemberiian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi
di dalam tubuh. Besi per oral (ferrous sulphat dosis 3x200
mg, ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate,
ferrous suuccinate). Besi parentral, efek sampingnya lebih
berbahaya besi parentral diindikasikan untuk intoleransi
oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, dan
perlu peningkatan Hb secara cepat seperti pada ibu hamil
dan preoperasi. (preparat yang tersedia antara iron dextran
complex, iron sorbitol citric acid complex)Pengobatan
diberikan sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal
untuk cadangan besi tubuh.
Pengobatan lain misalnya: diet, vitamin C dan transfusi
darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia
kekurangan besi adalah pada pasien penyakit jantung
anermik dengan ancaman payah jantung, anemia yang
sangat simtomatik, dan pada penderita yang memerlukan
peningkatan kadar hemoglobin yang cepat.dan jenis darah
yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya
overload. Sebagai premediasi dapat

dipertimbangkan

pemberian furosemid intravena. (Bakta, 2003:36)


b

Anemia Akibat Penyakit Kronis

Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik, beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian adalah:
Jika penyakit dasar daat diobati dengan baik, anemia akan
sembuh dengan sendirinya.
Anemia tidak memberi respon pada pemberian besi, asam
folat, atau vitamin B12.
Transfusi jarang diperlukan karena derajaat anemia ringan.
Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiiensi besi
pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin,
tetapi

kenaikan

akan

berhenti

setelah

hemoglobin

mencapai kadar 9-10 g/dl. (Bakta, 2013:41).


c

Anemia Sideroblastik

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik


adalah:
Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat
simtomatik dengan transfusi darah.
Pemberian vittamin B6 dapat dicoba karena sebagian kecil
penderita responsif terhadap piridoxin. (Bakta, 2003:44)
d

Anemia Megaloblastik

Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan deficiensi asam folat adalah
terapi ganti dengan vitamin B12 atau asam folat meskipun demikian terapi kausal
dengan perbaikan gizi dan lain-lain tetap harus dilakukan:
Respon terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2-3
dengan puncak pada hari 7-8. Hb harus naik 2-3 g/dl tiap 2
minggu. Neuropati biasanya dapat membaik tetapi
kerusakan medula spinalis biasanya irreverrsible. (Bakta,
2003:48)
Untuk deficiensi asam folat, berikan asam folat 5 mg/hari
selama 4 bulan.

Untuk deficiensi vitamin B12: hydroxycobalamin


intramuskuler 200 mg/hari, atau 1000 mg diberikan tiap
minggu selama 7 minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg tiap
bulan atau 1000 mg tiap 3 bulan.
e

Anemia Perniciosa

Sama dengan terapi anemia megaloblastik pada umumnya maka terapi


utama untuk anemia pernisiosa adalah:
Terapi ganti (replacement) dengan vitamin B12
Terapi pemeliharaan
Monitor kemungkinan karsinoma gaster. (Bakta, 2003: 49)
f

Anemia Hemolitik

Pengibatan anemia hemolitik sangat tergantung keadaan klinik kasus tersebut


serta penyebab hemolisisnya karena itu sangat bervariasi dari kasus per kasus.
Akan tetapi pada dasarnya terapi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 3
golongan besar, yaitu:
-

Terapi gawat darurat

Pada hemolisis intravaskuler, dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut
maka harus diambil tindakan darurat untuk mengatasi syok, mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit, sertaa memperbaiki fungsi ginjal. Jika
terjadi anemia berat, pertimbangan transfusi darah harus dilakukan secara sangat
hati-hati, meskipun dilakukan cross matchng, hemolisis tetap dapat terjadi
sehingga memberatkan fungsi organ lebih lanjut. Akan tetapi jika syok berat
telah teerjadi maka tidak ada pilihan lain selain transfusi.
Terapi Kausal
Terapi kausal tentunya menjadi harapan untuk dapat memberikan
kesembuhan total. Tetapi sebagian kasus bersifat idiopatik, atau disebabkan oleh
penyebab herediter-familier yang belum dapat dikoreksi. Tetapi bagi kasus yang
penyebabnya telah jelas maka terapi kausal dapt dilaksanakan. (Bakta, 2003:69)
Terapi Suportif-Simtomatik
Terapi ini diberikan untuk menek proses hemolisis terutama di limpa. Pada
anemia hemolitik kronik familier-herediter sering diperlukan transfusi darah
teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Bahkan pada thalasemia

mayor dipakai teknik supertransfusi atau hipertransfusi untuk mempertahankan


keadaan umum dan pertumbuhan pasien. Pada anemia hemolitik kronik
dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah krisis
megaloblastik.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1

Pengkajian

a. Aktivitas dan Istirahat :


Adanya keletihan, kelemahan, kehilangan produktivitas kerja, peningkatan
kebutuhan untuk istirahat dan tidur.
b. Sirkulasi
Adanya riwayat kehilangan darah kronis. Misalnya adanya hematemesis,
dismenorea, angina , CHF, palpitasi, takikardia, hiupotensi postural.
c. Nutrisi/Cairan
Adanya penurunan intake makanan. Kesulitan menelan, mual, muntah,
anoreksia, penurunan BB, lidah tampak merah, daging/halus spesifik untuk
difesiensi asam folat dan vitamin B 12 , torgur kulit menurun, membran mukosa
pucat, kering, pika bahan-bahan seperti tanah liat, cat, es, tepung dll.
d. Eliminasi
Adanya
riwayat

penurunan

urin

output,

nefpritis,

gagal

ginjal,diare/konstipasi. Pemeriksaan neurologis juga penting kerena efek anemia


pernisiosa pada sistem saraf pusat dan perifer. Pasien dikaji mengenai adanya baal
dan parastesia perifer, ataksia, gangguan koordinasi dan kejang.
2

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia (Doenges,


1999) meliputi :
1) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan
leucopenia,

atau

sekunder (penurunan hemoglobin

penurunan

granulosit

(respons

inflamasi

tertekan)).
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan
mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah.

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan


antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.

3. Intervensi Keperawatan
1 Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin
leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi
tertekan)
Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan
risiko infeksi.
Meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen
atau eritema, dan demam.
INTERVENSI
a. Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan
dan pasien.
Rasional : mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bacterial. Catatan : pasien
dengan anemia berat/aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
b. Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan
luka.
Rasional : menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.
c. Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi.
d. Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan
batuk dan napas dalam.

Rasional : meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu


memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.
e.

Tingkatkan masukkan cairan adekuat.

Rasional : membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk


mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh misalnya
pernapasan dan ginjal.
f. Pantau/batasi

pengunjung.

Berikan

isolasi

bila

memungkinkan.
Rasional : membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi
dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat terganggu.
g. Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia
dengan atau tanpa demam
Rasional

adanya

proses

inflamasi/infeksi

membutuhkan

evaluasi/pengobatan.
h. Amati eritema/cairan luka.
Rasional : indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin tidak
ada bila granulosit tertekan.
i. Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi
(kolaborasi)
Rasional : membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen khusus
dan mempengaruhi pilihan pengobatan.
j. Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).
Rasional : mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan
kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan

/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah


Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
Menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan
dengan nilai laboratorium normal.

tidak mengalami tanda mal nutrisi.

menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk


meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang
sesuai.

INTERVENSI
a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi.
b. Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
Rasional : mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi
makanan.
c. Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi
nutrisi.
d. Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau
makan diantara waktu makan.
Rasional : menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan
mencegah distensi gaster.
e. Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan
gejala lain yang berhubungan.
Rasional : gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.

f. Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan


sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan
yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila
mukosa oral luka.
Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Menurunkan
pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan
mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan
nyeri berat.
g. Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
Rasional : membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan
individual.
h.

Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.

Rasional : meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber


diet nutrisi yang dibutuhkan.
i.

Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.

Rasional : kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau


adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.


Tujuan : dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
Kriteria hasil :
Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk
aktivitas sehari-hari)

menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis,


misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam
rentang normal.

INTERVENSI
a. Kaji kemampuan ADL pasien.

Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.


b.

Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan


dan kelemahan otot.

Rasional : menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi vitamin B12


mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.
c.

Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.

Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk


membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
d.

Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan


kurangi suara bising, pertahankan tirah baring bila di
indikasikan.

Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen


tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.
e. Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien
istirahat bila terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan
pasien

melakukan

aktivitas

semampunya

(tanpa

memaksakan diri).
Rasional : meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan
memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meingkatkan harga diri
dan rasa terkontrol.

4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan
pasien

dengan

tujuan

yang

telah

ditetapkan,

dilakukan

dengan

cara

berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan


lainnya. (Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
1) Infeksi tidak terjadi.
2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
3) Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.

A. Konsep Dasar Sepsis


1

Definisi
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui
(ditentukan dengan biakan positif terhadap organism dari tempat
tersebut). SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
adalah pasien yang memiliki kriteria dua atau lebih sebagai
berikut:

1) Demam (Suhu >38 C) atau hipotermi (<36C)


2) Takikardi / frekuensi denyut jantung > 90x/menit
3) Takipnea / frekuensi nafas lebih > 24/menit atau PaCO2<32 mmHg
4) Leukositosis (hitung leukosit > 12.000 /mm3) atau leukopeni (< 4000
sel/ul) atau > 10 % sel imatur)
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisikan sebagai infeksi
bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan (Bobak,
2004). Sepsis neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan
ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, sumsum
tulang atau air kemih.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas)
pada asidosis laktat, oliguria, atau perubahan akut pada status mental (Sudoyo
Aru, dkk. 2009). Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotermi
walaupun telah mendapatkan cairan adekuat. Sindroma disfungsi multi organ
terjadi apabila bayi tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis tubuh
sehingga terjadi perubahan fungsi dua atau lebih organ tubuh.
2

Klasifikasi

Dari waktu terjadinya, sepsis dibagi menjadi sepsis awitan dini dan lanjut.
Awitan Dini

Usia bayi < 72 jam

Didapat saat persalinan

Penularan vertikal dari ibu ke bayi

Jenis bakteri:

Basil gram negatif


E.coli
Klebsiella
Enterococcus
Group B streptococcus
Coagulase negative staphylococci
Awitan Lanjut

Usia bayi > 72 jam

Didapat dari lingkungan

Didapatkan secara nosokomial atau dari rumah sakit

Jenis Bakteri:
Basil gram negatif
Pseudomonas
Klebsiella
Staph. aureus(MRSA)
Coagulase negative staphylococci
Coagulase negative

Selain perbedaan waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi juga berbeda
dalam macam kuman penyebab infeksi. Selanjutnya baik patogenesis, gambaran
klinis ataupun penatalaksanaan penderita tidak banyak berbeda dan sesuai dengan
perjalanan sepsisnya yang dikenal dengan cascade sepsis.
Berdasarkan waktu timbulnya:
1

Early Onset (dini) : terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan
manifestasi klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang

berat, terutama mengenai system saluran pernafasan, progresif dan


akhirnya syok.
2

Late Onset (lambat) : timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis
sering disertai adanya kelainan system susunan saraf pusat.

Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko
infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.

Patofisiologi dan web of caution

Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman


karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:6
1)

Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai
janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk
sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH,
Triponema pallidum atau Listeria dll.

2)

Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor asepsis dan


antisepsis misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi
khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat
prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya
terjadi kontaminasi kuman pada janin.

3)

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina
akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman
vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi
kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator,
kurang memperhatikan tindakan asepsis dan antisepsis, rawat inap yang terlalu
lama dan hunian terlalu padat, dll. Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini
berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya
untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan
memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung
dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena
itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula
gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
4

Etiologi

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Penyebab dari
sepsis adalah bakteri gram (-) dan focus primernya dapat berasal dari saluran
genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum, sedangkan gram
(+) timbul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka
terbuka, sperti luka bakar. Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara.

Melalui

s (1961) membaginya menjadi 3 golongan, yaitu:


Blanc
ir

Infeksi antenatal

Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui
sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin.
2

Infeksi intranatal

Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan
lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya
plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh
(misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina).
3

Infeksi pascanatal

Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat
fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat
atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di
bagi menjadi tiga kategori :
a

1 Faktor Maternal
Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui
sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya
buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi kulit hitam

b
c
d
e

lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.


Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu
(kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
Kurangnya perawatan prenatal.
Ketuban pecah dini (KPD)
Prosedur selama persalinan.
2 Faktor Neonatatal
a Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan
faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi
kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor
imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir
trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus
menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit
b

juga melemahkan pertahanan kulit.


Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik,
khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan
IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah
tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen
terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon
terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan
penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan
fibronektin,

menyebabkan

sebagian

besar

penurunan

aktivitas

opsonisasi.
Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki
empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.

3. Faktor diluar ibu dan neonatal


a

Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral


merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang
luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis

menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko


penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan
kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran

mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial),


paling sering akibat kontak tangan.
Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli

ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu


formula hanya didominasi oleh E.colli.
5

Tanda dan gejala

Menurut buku pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun


2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila
ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:
Variabel Klinis
- Suhu tubuh yang tidak stabil
- Laju nadi > 180 x/mnt atau < 100 x/mnt
- Laju nafas > 60 x/mnt dengan retraksi/desaturasi oksigen
- Letargi
- Intoleransi glukosa (plama glukosa > 10 mmd/L)
- Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
- Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi
- Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)
- Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)
Variabel perfusi jaringan
- Pengisian kembali kapiler/capilary refill > 3 detik
- Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel inflamasi
- Leukositosis (> 34.000 /ml)
- Leukopenia (< 5000/ml)
- Imatur neotrofil : total neutrofil (IT) ratio > 0,2
- Trombositopenia < 100.000/ml
- CRP > 10/dl atau > 2 SD atas nilai normal
- IL -6 atau IL -8 > 70 mg/ml
- 16 sPCR positif
Manifestasi klinis menurut sistem organ adalah seperti berikut:
1. Keadaan umum : kesadaran menurun, malas minum (poor feeding),
hipo/hipertermia, edema, sklerema.
2. Sistem susunan saraf pusat : hipotonia, irritable, high pitch cry, kejang,
letargi, tremor, fontanella cembung.
3. Sistem saluran pernafasan : pernafasan tidak teratur, napas cepat (>60
x/menit), apnea, dispnea, sianosis.
4. Sistem kardiovaskuler : takikardia (>160 x/menit), bradikardia (<100
x/menit), akral dingin, syok.
5. Sistem saluran cerna : retensi lambung, hepatomegali, mencret, muntah,
kembung.
6. Sistem hematology : kuning, pucat, splenomegali, ptekie, purpura,
perdarahan.
Adapun manifestasi klinis berdasarkan timbulnya sepsis
adalah sebagai berikut:
1. Early onset: terjadi 3 hari pertama paska lahir, dengan gejala klinis yang
timbulnya mendadak, serta gejala sistemik yang berat. Terutama
mengenai system saluran nafas, sifatnya progresif dan akhirnya syok
2. Late onset: timbul setelah umur 3 hari, sering disertai manifestasi klinis
adanya gangguan sistem susunan saraf pusat.
Manifestasi klinis juga selalunya tergantung kepada sumber infeksi dan
penyebarannya:

Infeksi pada tali pusar (omfalitis) bisa menyebabkan keluarnya nanah atau
darah dari pusar

Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak bisa menyebabkan
koma, kejang, opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau
penonjolan pada ubun-ubun

Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan


pada lengan atau tungkai yang terkena

Infeksi pada persendian bisa menyebabkan pembengkakan, kemerahan,


nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat

Infeksi pada selaput perut (peritonitis) bisa menyebabkan pembengkakan


perut dan diare berdarah.

Tabel Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis


Kategori A
-

Kategori B

Gangguan napas (misalnya:

Tremor

apnea, frekuensi napas > 60

Letargi atau lunglai/layuh

atau <30 kali/menit, retraksi

Mengantuk atau kurang aktif

dinding dada, merintih pada

Iritabel atau rewel

waktu

Muntah (menyokong ke arah

ekspirasi,

sianosis

sentral)

sepsis)

Kejang

Tidak sadar

Suhu tubuh tidak normal

Tanda mulai muncul sesudah

(tidak normal sejak lahir dan

hari ke 4 (menyokong ke arah

tidak

sepsis)

tidak

memberi
stabil

pengukuran

respons

suhu

sesudah
normal

Air

ketuban

bercampur

mekonium
-

Malas minum, sebelumnya

selama tiga kali atau lebih,

minum

menyokong ke arah sepsis)

(menyokong ke arah sepsis)

Persalinan di lingkungan yang


kurang higienis (menyokong
ke arah sepsis)

abdomen

(menyokong ke arah sepsis)

terhadap terapi atau suhu

Distensi

Kondisi

memburuk

secara

dengan

baik

cepat

dan

dramatis

(menyokong ke arah sepsis)

Pemeriksaan penunjang

1)

DPL dengan hitung jenis ( atau leukosit)

2)

Kimia serum, bilirubin, laktat serum (meningkat), pemeriksaan


fungsi hati (abnormal) dan protein C (menurun)

3)

Resistensi insulin dengan peningkatan glukosa darah

4)

AGD (hipoksemia, asidosis laktat)

5)

Kultur urin, sputum, luka, darah

6)

Waktu

tromboplastin

parsial

teraktivasi

(meningkat),

rasio

normalisasi internasional (meningkat) dan D-dimer (meningkat)

Penatalaksanaan medis

Berdasarkan

Surviving

Sepsis

Campaigne

pada

tahun

2004,

merekomendasikan penatalaksanaan sepsis berat dan syok septic sebagai berikut:


1) Early Goal Directed Therapy (EGDT)
Resusitasi cairan agresif dengan koloid dan atau kristaloid, pemberian obatobatan inotropik, atau vasopresor dalam waktu 6 jam sesudah diagnosis
ditegakkan di unit gawat darurat sebelum masuk ke PICU. Resusitasi awal 20
ml/kgBB 5-10 menit dan dapat diulang beberapa kali sampai lebih dari 60
ml/kgBB cairan dalam waktu 6 jam. Pada syok septic dengan tekanan nadi sangat
sempit, koloid lebih efektif daripada kristaloid

2) Inotropik/vasopresor/vasodilator
Apabila terjadi refrakter terhadap resusitasi volume, dan MAP kurang dari
normal, diberikan vasopresor; Dopamine merupakan pilihan pertama. Apabila
refrakter terhadap pemberian Dopamine, maka dapat diberikan epinephrine atau
norepinephrine. Dobutamin dapat diberikan pada keadan curah jantung yang
rendah. Vasodilator diberikan pada keadaan tahanan pembuluh darah perifer yang
meningkat dengan MAP tinggi sesudah resusitasi volume dan pemberian
inotropik. Nitrovasodilator (nitrogliserin, atau nitropusid) diberikan apabila terjadi
curah jantung yang rendah dan tahanan pembuluh darah sistemik yang meningkat
disertai syok
Apabila curah jantung masih rendah, akan tetapi normotensi dan tahanan
pembuluh

darah

phosphodiesterase

sistemik

meningkat,

inhibitor. Vasopresin

maka

dipikirkan

yaitu ADH,

pemberian

adrenocorticotrophic

hormone yang dikeluarkan oleh hipotalamus, sebagai vasokonstriktor pada otot


polos pembuluh darah dosis 0,01-0,04 u/menit diberikan pada penderita yang
refrakter terhadap vasopresor konvensional dosis tinggi

3) Extra Corporeal Membrane Oxygenation


ECMO dilakukan pada syok septic pediatric yang refrakter terhadap terapi
cairan, inotropik, vasopressor, vasodilator dan terapi hormone. Terdapat 1
penelitian yang menganalisis 12 penderita sepsis meningococcus dengan ECMO,
8 hidup dimana 6 dapat hidup normal sampai 1 tahun pemantauan.
4) Oksigen
Intubasi endotrakheal dini dengan atau tanpa ventilator mekanik sangat
bermanfaat pada bayi dan anak dengan sepsis berat/syok septic, karena kapasitas
residual fungsional yang rendah. Volume tidal 6 ml/kgBB dengan permissive
hypercapnea dan posisi tengkurap dapat memberikan oksigenasi jaringan yang
baik
5) Koreksi Asidosis
Terapi bikarbonat untuk memperbaiki hemodinamik atau mengurangi
kebutuhan akan vasopressor, tidak dianjurkan pada keadaan asidosis laktat dan

pH&lt; 7,15 dengan hemodinamik dan kebutuhan akan vasopressor, dan


pengaruhnya terhadap keluaran pada pH rendah.
6) Terapi Antibiotika
Pemberian antibiotika segera setelah satu jam ditegakkan diagnosis sepsis dan
pengambilan kultur darah. Terapi antibiotika empiris spectrum luas dosis inisial
penuh, satu atau beberapa obat berdasarkan dugaan kuman penyebab dan dapat
berpenetrasi ke dalam sumber infeksi. Terdapat hubungan antara pemberian
antibiotika yang inadekuat dengan tingginya mortalitas.
Pada keadaan dimana fokus infeksi tidak jelas, maka antibiotika harus
diberikan pada keadaan penderita mengalami perburukan, status imunologik yang
buruk, adanya kateter intravena berdasarkan dugaan kuman penyebab dan tes
kepekaan. Antibiotika golongan beta-lactams seperti penicillin, carbapenem
seperti meropenem, imipenem, cephalosporin dan aminoglikosida. Extended
spectrum Penicillin yaitu carboxy penicillins dan ureido-penicillins diberikan
untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa atau bakteri gram negative lain. Carboxy
penicillins termasuk carbenicillin dan ticarcilin dapat diberikan pada infeksi
MRSA dan spesies Klebsiella.5
Evaluasi pemberian antibiotika dilakukan sesudah 48-72 jam berdasarkan
data klinis dan mikrobiologi dengan mempergunakan antibiotika spectrum sempit
untuk mengurangi resistensi bakteri, menurunkan toksisitas dan biaya. Lama
pemberian antibiotika 7-10 hari dipandu oleh respon manifestasi klinis. Antibiotik
diberikan sebelum kuman penyebab diketahui.
Waktu/durasi pemberian antibiotik pada sepsis neonatal.
Diagnosis
Meningitis
Kultur darah (+), tanda-tanda sepsis (+)
Kultur darah (-), komponen skrining sepsis (+)
Kultur darah (-), komponen skrining sepsis (-)

Durasi
21 hari
10 14 hari
7 10 hari
5 7 hari

7) Terapi kortikosteroid
Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara konsisten bahwa
pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg equivalen
hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan. Pada saat ini
pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi

kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid dosis rendah


bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status
hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respon terhadap
katekolamin dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan
hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,114 Sebuah meta-analisis
memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari
secara signifikan.
8) Anti-inflamasi
Penelitian mengenai terapi anti-inflamasi pada pediatrik masih sangat
sedikit, dan dengan sampel yang kecil.
9) Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF)
Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan
masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien
sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GMCSF. Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia. G-CSF
merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya
adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan
aktivitas kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida.
Berdasarkan fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada
sepsis neonatorum. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF
dan GM-CSF dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta
mencegah infeksi nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam
penelitian lebih lanjut dan membutuhkan biaya yang mahal.
10) Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan
plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor. Tujuan TT pada sepsis
adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki keadaan
umum pasien. Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang
pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar
IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit;
meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta jumlah neutrofil;

mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying


capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan konsentrasi
oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distres pernapasan.
Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah yang
diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan atau
100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming
the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric
exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersamasama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien)
dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor).
Kontraindikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau
vena

dengan

tepat,

omphalitis,

omphalocele/gastroschisis,

necrotizing

enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya
aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.TT
cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional.

B. Asuhan Keperawatan Sepsis


1. Pengkajian
1) Biodata / identitas
Nama

: Diisi sesuai nama pasien

Umur

: Biasanya menyerang pada usia neonatal 0 hari 28 hari Infeksi


nasokomial pada bayi berat badan lahir sangat rendah (<1500gr)
rentan sekali menderita sepsis neonatal.

Alamat : tempat tinggal keluarga tempat tinggalnya padat dan tidak


higienis
2) Riwayat Kesehatan
a Keluhan utama : Klien datang dengan tubuh berwarna kuning,
b

letargi, kejang, tak mau menghisap, lemah


Riwayat penyakit sekarang: cara lahir (normal), hilangnya reflek
rooting, kekakuan pada leher, tonus otot meningkat serta asfiksia
atau hipoksia.apgar score, jam lahir, kesadaran

Riwayat penyakit dahulu : Ibu klien mempunyai kelainan hepar

atau kerusakan hepar karena obstruksi.


Riwayat kehamilan: demam pada ibu (<37,9c), riwayat sepsis

GBS pada bayi sebelumnya, infeksi pada masa kehamilan


Riwayat prenatal: Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas
darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya, kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikanpd
ibu selama hamil / persalinan, persalinan dgntindakan /
komplikasi, rupture selaput ketuban yang lama (>18 jam),

persalinan premature(<37 minggu.


Riwayat neonatal : Secara klinis ikterus pada neonatal dapat
dilihatsegera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus
yang tampakpun ssngat tergantung kepada penyebeb ikterus itu
sendiri. Bayi menderita sindrom gawat nafas, sindrom criglernajjar, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hiperparatiroidisme,

infeksi pasca natal dan lain-lain.


Riwayat penyakit keluarga: Orang tua atau keluarga mempunyai
riwayat penyakit yang berhubungan dengan hepar atau dengan

darah.
Riwayat imunisasi : Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi

DPT / DT atau TT dan kapan terakhir


3) Activity daily living
a Nutrisi : Bayi tidak mau menetek
b Eliminasi : BAB 1x/hari
c Aktifitas latihan : Kekauan otot, lemah, sering menangis
d Istirahat tidur : Pola tidur bayi yang normalnya 18 20 jam/hari,
e

saat sakit berkurang


Personal hygiene : Biasanya pada bayi yang terkena Infeksi
neonatorum, melalui plasenta dari aliran darah maternal atau
selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan amnion yang

terinfeksi.
f Psikososial : Bayi rewel
4) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: lemah, sulit menelan, kejang;
Kesadaran: normal
Vital sign: TD
Nadi

: normal (110-120 x/menit)

Suhu

: Demam (Suhu >38 C) atau hipotermi (<36C)

Pernafasan : meningkat > 40 x/menit (bayi) normal 30-60x/menit)


b. Kepala dan leher:
Inspeksi: Simetris, dahi mengkerut
Kepala: Bentuk kepala mikro atau makrosepali, trauma persalinan, adanya
caput, kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar
cembung.
Rambut : Lurus/keriting, distribusi merata/tidak, warna
Mata

: Agak tertutup / tertutup,

Mulut : Mecucu seperti mulut ikan


Hidung : Pernafasan cuping hidung, sianosis
Telinga : Kebersihan
Palpasi: Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe
Terdapat kaku kuduk pada leher
c. Dada
Inspeksi

: Simetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan

Palpasi

: Denyutan jantung teraba cepat, badan terasa panas

Perkusi

: Jantung : Dullness

Paru

: Sonor

Auskultasi : terdengar suara wheezing


d. Abdomen
Inspeksi

: Flat / datar, terdapat tanda tanda infeksi pada tali pusat


(jika infeksi melalui tali pusat), keadaan tali pusat dan
jumlah pembuluh darah (2 arteri dan 1 vena)

Palpasi

: Teraba keras, kaku seperti papan

Perkusi

: Pekak

Auskultasi : Terdengar bising usus


e. Kulit
Turgor kurang, pucat, kebiruan
f. Genetalia
Tidak kelainan bentuk dan oedema, Apakah terdapat hipospandia,
epispadia, testis BAK pertama kali.

g. Ekstremitas
Suhu pada daerah akral panas, Apakah ada cacat bawaan, kelainan
bentuk, Fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga
bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
5)

Pemeriksaan Spefisik
a Apgar score
b Frekuensi kardiovaskuler: apakah ada takikardi, brakikardi, normal
c Sistem neurologis
d Reflek moro: tidak ada, asimetris/hiperaktif
e Reflek menghisap: kuat, lemah
f Reflek menjejak: baik, buruk
g koordinasi reflek menghisap dan menelan

6) Pemeriksaan laboatorium
a sampel darah tali pusat
b fenil ketonuria
c hematokrit
d Bilirubin
e Kadar gular darah serum
f Protein aktif C
g Imunogloblin IgM
h Hasil kultur cairan serebrospinal, darah asupan hidung,
i

umbilikus, telinga, pus dari lesi, feces dan urine.


Juga dilakukan analisis cairan serebrospinal dan pemeriksaan
darah tepi dan jumlah leukosit.

2
a

Diagnosa keperawatan

Risiko infeksi b.d penularan infeksi pada bayi sebelum, selama dan
sesudah kelahiran
b Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebuituhan tubuh b.d minum
sedikit atau intoleran terhadap minuman
c Ketidakefektifan pola nafas b.d apnea
d Resiko syok, factor resiko sepsis
e Hipertermi b.d

Rencana tindakan keperawatan yang lazim terjadi

a Resiko infeksi b.d penularan infeksi pada bayi sebelum, selama dan
sesudah kelahiran
NOC
- Status imun
- kontrol risiko
Kriteria Hasil:
-

klien bebas dari tanda dan gejala infeksi


Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal

NIC
Kontrol infeksi
a) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakukan tindakan
keperawatan
Rasional: menghindari terjadinya infeksi dari petugas kesehatan
kepada pasien.
b) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
Rasional: pasien dengan malnutrisi rentan terhadap kuman karena
sistem imun yang menurun.
c) Gunakan masker dan sarung tangan sebagai alat pelindung
Rasional: menghindari terjadinya infeksi dari petugas kesehatan
kepada pasien dan sebagai alat pelindung diri bagi petugas kesehatan
d) Berikan terapi antibiotik bila perlu
Rasional : proteksi terhadap infeksi
e) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
Rasional: untuk menghindari terjadinya infeksi yang dapat
memperparah keadaan pasien
f) Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
Rasional: kemerahan, panas, drainase merupakan tanda-tanda infeksi
yang perlu dipantau secara berkala.
g) Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko
Rasional: mencegah terjadinya infeksi

b Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebuituhan tubuh b.d minum


sedikit atau intoleran terhadap minuman
NOC
-

Status nutrisi
Status nutrisi : masukan makanan dan cairan
Status nutrisi : masukan gizi
Kontrol berat badan

Kriteria hasil:
-

Adanya peningkatan berat badan sesuai tujuan


Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi atau berkurang

NIC:
Manajemen nutrisi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien.
Rasional: Penentuan jumlah kalori dan nutrisi penting untuk
menentukan bentuk dan jenis makanan sesuai dengan kebutuhan
pasien
b) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Rasional : Untuk mengetahui masukan dan keluaran dari nutrisi dari
kebutuhan pasien sesuai.
c) Anjurkan pasein atau keluarganya untuk meningkatkan protein dan
vitamin C
Rasional: Protein dan vitamin penting bagi metbolisme tubuh dan
perkembangan dan pertumbuhan
Monitoring nutrisi
a) Kaji adanya alergi
Rasional: mencegah terjadinya alergi terhadap makanan dan terapi
diet yang diberikan
b) Monitor dan catat respon terhadap pemberian makan, nafsu makan klien
Rasional: respon pasien saat makan dapat mempegaruhi jumlah intake
nutrisi
c) Monitor dan catat intake per oral
Rasional: penting untuk pemberian nutrisi sesuai dengan kebutuhan
anak
d) Monitor adanya penurunan berat badan
Rasional : untuk mengetahui status nutrisi anak
e) Kolaborasi diet dan pemberian vitamin

Rasional : memberikan nutrisi dan asupan gizi yang tepat bagi klien
sesuai kebutuhan
f) Monitor mual dan muntah
Rasional : mencegah kekurangan volume cairan
g) Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan konjungtiva
Rasional: mengetahui status nutrisin dan hidrasi klien/
c

Ketidakefektifan pola nafas b.d apnea

Status respirasi: ventilasi

Status respirasi: kepatenan jalan nafas

Status tanda-tanda vital

NOC

Kriteria Hasil:
-

Menunjukkan jalan nafas paten

Tanda-tanda vital dalam rentang normal

NIC
Airway management
a) Buka jalan nafas, gunakan chin lift atau jaw thrust jika perlu
Rasional: menjaga agar klien dapat bernafas dengan nyaman
b) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Rasional: Agar ventilasi adekuat
c) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Rasional: Suara tambahan nafas mengindikasikan keadaan patologis klien
d) Keluarkan secret dengan batuk atau suction
Rasional : Membantu membersihkan jalan nafas
e) Monitor respirasi dan status O2
Rasional: agar status respirasi terpantau dalam batas normal dan mencegah
distress pernapasan
Vital sign monitoring
a) Monitor TD, nadi, suhu dan RR
Rasional : agar tanda vital terpantau dalam batas normal
b) Monitor kualitas nadi
Rasional : kualitas nadi mengindikasikan ada atau tidaknya gangguan
pada system kardiovaskuler
c) Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Rasional: mencegah terjadinya distress pernapasan dan syok
d) Monitor suhu, warna dan kelembababn kulit
Rasional: mencegah pada keadaan distress pernnapasan

d Resiko syok, factor resiko sepsis


NOC
-

Pencegahan syok
Manajemen stok

Kriteria Hasil;
-

Nadi dalam batas yang diharapkan


Irama jantung dalam batas yang diharapkan
Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan
Irama pernasan dalambatas yang diharapkan

Hidrasi
Indikator:
-

Mata cekung tidak ditemukan


Demam tidak ditemukan
TD dbn
Hematokrit dbn

NIC
Syok prevention
a) Monitor status sirkulasi, TD, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR
dan ritme, nadi perifer dan kapiler refill
Rasional: memantau agar dalam batas normal dan mencegah
terjadinya syok
b) Monitor inadekuat oksigenasi jaringan
Rasional: mencegah terjadinya syok
c) Monitor tanda awal syok
Rasional: mencegah syok berlanjut
d) Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas
Rasional : kepatenan jalan nafas penting untuk status
okseigenasi
Syok management
a) Monitor status cairan, input output
Rasional: mengetahui status hidrasi pasien
b) Memonitor gejala gagal pernafasan
Rasional: menghindari terjadinya gagal nafas dan syok
c) Monitor nilai laboratorium
Rasional: nilai laboratorium menunjukkan keasaan klinis pasien
dan untuk menegakkan diagnose serta terapi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made.2003.Hematologi Klinik Dasar.Jakarta:EGC
Catherino jeffrey M.2003.Emergency medicine handbook USA:Lipipincott
Williams
Doenges, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Ed. 3, EGC:
Jakarta.
Nanda.2005.Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda definisi dan Klasifikasi
2005-2006.Editor : Budi Sentosa.Jakarta:Prima Medika
Price, S.A, 2000, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta :
EGC
Smeltzer, C.S.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC
Ackley, Betty. J, Ladwig, Gail. B, Nursing Diagnosis Hand Book, A Guide to
Planning Care, Masby-year Book, Inc, Missouri, 1997.

Bongard, Frederic, S, Sue, Darryl. Y, Current Critical Care Diagnosis and


Treatment, frst ed, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los
Anggles, 1994.
Doenges, Marilyn. E, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencana
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, alih bahasa I Made Kariasa,
EGC, Jakarta, 1993
Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad. (2000). Obstetri patologi. Jakarta :
Elstar Offset.
JNPKKR-POGI. (2000). Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Mansjoer, A., et.al. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Cetakan 2. Jakarta
: Media Aesculapius.
Marilynn E.Doengoes. (2002). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 2. Jakarta :
EGC.

Das könnte Ihnen auch gefallen