Sie sind auf Seite 1von 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Soft Tissue Infections (STI) Adalah infeksi pada jaringan lunak yang meliputi
kulit, jaringan subkutan, fasia, dan otot. STI mencakup beberapa presentasi klinis,
mulai dari selulitis sederhana sampai ke necrotizing fasciitis yang sangat progresif.
Penegakan diagnosis STI yang tepat sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.
(Herman, 2016/Medscape)

2.2 EPIDEMIOLOGY

Prevalensi dari STI tidak diketahui secara pasti karena infeksi ringan biasanya
pasien tidak mencari perhatian medis.Meskipun demikian, STI sering ditemui baik di
rawat jalan dan di rawat inap. Menurut American National Statistics of the Healthcare
Cost and Utilization Project, STI menyumbang 3,4 juta kunjungan gawat darurat, atau
2,6% dari seluruh kunjungan di instalasi gawat darurat, dengan 13,9% dari kunjungan
mengakibatkan rawat inap.

2.3 PATOFISIOLOGI

Kulit yang utuh memberikan perlindungan dari lingkungan eksternal dengan


berfungsi sebagai barrier dan menjaga pertumbuhan flora normal yang berfungsi
menekan pertumbuhan organisme yang patogen.

STI primer terjadi ketika mikroorganisme menginfeksi kulit yang sehat, sedangkan
STIsekunder terjadi ketika, terdapat penyakit yang mendasari seperti trauma, atau
adanya luka yang menjadi jalan masuknya mikroorganisme pathogen.

Pada kasus STI mikroorganisme yang patogen menyebabkan kerusakan jaringan kulit
dan sekitarnya, yang kemudian mengarah kepada respon inflamasi yang ditandai
dengan, rubor, calor, dolor dan fungsio leisa.
kerusakan tersebut diperparah pada pasien yang menderita diabetes karena
hiperglikemia jangka panjang mengarah ke motor dan otonom neuropati,
immunopathy, dan angiopathy.

Gambar 1.Struktur anatomi kulit.

2.4 PEMBAGIAN STI

Pada umumnya Soft Tissue Infection diklasifikasikan ke dalam dua kategori: infeksi
purulen (misalnya, furunkel, carbuncle, abses) infeksi bernanah (misalnya, erysipelas,
selulitis, limfangitis, necrotizing fasciitis).

Klasifikasi dan Definisi


1. Folikulitis
Folikulitis adalah infeksi dari satu atau lebih folikel rambut yang dapat
mempengaruhi setiap area tubuh (kecuali telapak tangan dan kaki, di mana
tidak ada rambut).Penyakit ini terlihat sebagai bintik merah, dan itu mungkin
dikaitkan dengan ruam atau pruritus.
2. Furunkel
Furunkel lebih dalam dari folikulitis dan tampak bengkak yang menyakitkan
atau seperti bisul padakulit.
3. Carbuncle dan abses
Carbunkel dan abses penampakannya lebih besar dari furunkel dan memiliki
luka yang mengalirkan nanah; mereka seringdisertai dengan demam,
pembengkakan kelenjar getah bening, dan kelemahan pada tubuh penderita.
4. Erisipelas
Merupakan selulitis yang mengenai permukaan kulit, ditandai dengan
terlibatnya pembuluh limfatik kulit. Gejala yang ditimbulkan antara lain,
adanya rasa nyeri, berwarna merah terang, menonjol, bengkak, plak
berindurasi dengan tepi lebih tinggi, bebrbatas tegas dari kulit sehat
disekitarnya. Biasanya disebabkan oleh group A beta-hemolytic streptococcus
(GAS) dan jarang disebabkan oleh S.aureus.
5. Selulitis
Merupakan kelainan kulit berupa infiltrat yang difus di subktan dengan tanda-
tanda radang akut.Memiliki gejala serupa dengan erisipelas, namun hingga
mengenai jaringan subkutan. Selulitis dapat dibedakan dari erysipelas dalam 2
hal, yaitu : lesi selulitis biasanya tidak menonjol dan berbatas tidak tegas dari
jaringan kulit sehat disekitarnya. Jaringannya pun teraba keras dan sangat
nyeri.Dalam sebagian kasus, dapat terbentuk bulla atau nekrosis.Infeksi dapat
terlokalisasi di jaringan lunak, dengan pembentukan abses dermis dan
subkutan atau nekrosis fasciitis.S.aureus dan GAS sejauh ini adalah penyebab
selulitis tersering, namun bakteri lain juga dapat menyebabkan selulitis.
6. Limfangitis
Inflamasi pembuluh limfatik, biasanya bermula pada akral, seperti pada
tangan dan kaki.Limfangitis timbul berupa kemerahan pada telapak atau
punggung tangan pada proksimal jari.
7. Infeksi Jaringan Lunak Nekrosis
Dapat dibedakan dari jenis lain karena memiliki nekrosis jaringan yang berat,
sedikit respon terhadap pemberian antibiotik, dan memerlukan debridement
dari jaringan mati. Diawali dengan eritema dan nyeri indurasi pada jaringan
lunak, kemudian dengan cepat berkembang menjadi black eschar, yang
kemudian menjadi jaringan berwarna hitam dan lunak, disertai massa nekrotik
dengan bau tidak sedap. Infeksi jaringan lunak nekrosis dibagi menjadi 3
kategori, yaitu :necrotizing cellulitis, necrotizing fasciitis, myonecrosis.
Infeksi jaringan lunak pada daerah genital disebut Fournier gangrene.
Klasifikasi lain dari Soft tissue infection (STI) :

Uncomplicated STI
Non necrotizing complicated STI
Necrotizing fasciitis

Uncomplicated STI termasuk selulitis superfisial, folikulitis, furunkulosis, abses


sederhana, dan infeksi luka ringan.Infeksi ini merespon dengan baik dengan
manajemen kontrol sumber infeksi yaitu dengan drainase, debridement, atau
pemberian antibiotik.Infeksi ini memiliki ancaman risiko kecil bagi kehidupan dan
anggota tubuh.

Complicated STI melibatkan invasi jaringan yang lebih dalam dan biasanya
memerlukan intervensi bedah.Respon terhadap terapi sering dipersulit oleh penyakit
yang mendasarinya.Complicated STI termasuk abses yang rumit, luka bakar yang
terinfeksi, bisul yang terinfeksi, infeksi pada penderita diabetes, dan infeksi dalam
rongga tubuh bagian dalam.Infeksi ini sering mengancam jiwa.

Necrotizing fasciitis dapat menyebar dengan cepat dan progresif, infeksi ini
terletak di fasia dan berhubungan dengan nekrosis sekunder dari jaringan subkutan di
atasnya.Peradangan pada fascia menyebabkan trombosis dari pembuluh dermal, dan
trombosis ini yang bertanggung jawab untuk nekrosis sekunder dari jaringan
subkutan diatasnya termasuk kulit.

Sangat penting untuk membedakan infeksi necrotizing dan infeksi


nonnecrotizing.Diagnosis dini dan intervensi bedah dapat menyelamatkan
kehidupan.Diagnosis dan pengobatan yang tertunda dapat menyebabkan hilangnya
anggota tubuh dan mengancam kehidupan.

Faktor predisposisi terjadinya STI :

Tertembusnya barrier epidermis (karena luka).


Kulit yang kering dan teriritasi.
Status immunocompromised termasuk malnutrisi, hypoproteinemia, luka
bakar, diabetes mellitus dan AIDS.
Chronic venous insufficiency.
Chronic lymphatic insufficiency.
Chronic neuropathy.

2.5 MICROORGANISME PHATOGEN

Soft Tissue infection (STI) disebabkan oleh beberapa microorganism


pathogen, dan mereka bisa disebabkan oleh monomicrobial atau polymicrobial.
Berikut ini adalah microorganism yang sangat pathogen :

Staphylococcus aureus (kuman pathogen paling sering).


Streptococcus pyogenes
Lokasi infeksi spesifik microorganisme asli (contoh : bacilli gram negarif
pada perianal abses).
Pasien immunocompromised multiple organisme atau organisme yang
jarang (contoh : pseudomonas aeruginosa, beta-hemolytic streptococci,
Enterococcus)
Polymicrobial necrotizing fasciitis infeksi campuran antara kuman aerobe
(eg, streptococci, staphylococci, or aerobic gram-negative bacilli) dan
anaerobe (eg, Peptostreptococcus, Bacteroides, or Clostridium)
Monomicrobial necrotizing fasciitis: S pyogenes.

2.6 TERAPI

Tujuan terapi STI secara garis besar adalah untuk mengeradikasi organisme
penyebab, meringankan gejala, mencegah komplikasi dan rekurensi. Terapi dapat
dilakukan dengan pemberian antibiotik dan pembedahan. Terapi antibiotik dapat
diberikan melalui oral dan intravena dari infeksi ringan hingga berat, dengan atau
tanpa pembedahan berdasarkan tingkat keparahan. Tehnik pembedahan sendiri
merupakan terapi utama untuk STI purulen.

Infeksi purulen ringan diterapi dengan insisi, drainase dan tidak memerlukan
terapi antibiotik sistemik.infeksi purulen sedang diperlakukan incise, drainase dan
antibiotik oral. Infeksi purulen berat memerlukan insisi, drainase dan tentu saja
antibiotik intravena diikuti oleh oral antibiotik yang tepat.

Infeksi nonpurulent ringan diterapi dengan antibiotik oral.infeksi nonpurulent


sedang diperlakukan dengan awal antibiotik intravena diikuti oleh antibiotik oral saat
yang tepat. Infeksi nonpurulent berat diterapi dengan debridement dan antibiotik
intravena. (1)

A. TERAPI ANTIBIOTIK

Pemberian antibiotik pada STI diberikan berdasarkan etiologi bakteri


penyebab STI. Namun sering kali bakteri penyebab STI tidak diketahui secara pasti.
Sehingga, terapi antibiotik diberikan berdasarkan terapi empiris. Etiologi yang paling
umum dari STI adalah bakteri flora normal. STI yang terletak di atas pinggang, dapat
dipertimbangkan kemungkinan disebabkan oleh spesies staphylococcal dan
streptokokokus. Untuk STI yang terletak di bawah pinggang, dapat dipertimbangkan
kemungkinan disebabkan oleh bakteri oleh flora normal yang telah berubah seperti
spesies Gram-positif yang khas, dan spesies enterik.
Untuk anak-anak,terutama yang melibatkan wajah dapat mempertimbangkan
kemungkinan infeksi spesies Haemophilus yang mungkin melibatkan wajah. Selain
itu, pertimbangan pemberian antibiotik dapat dilakukan dengan melihat kondisi
khusus pada penderita. Seperti infeksi pada penderita diabetes mellitus, infeksi
nosokomial, infeksi sekunder paparan lingkungan tertentu, infeksi necrotizing dan
kolonisasi organisme yang resisten. (2)
Algoritma terapi dan tabel rekomendasi antibiotik STI dapat dilihat pada
gambar XX dan gambar XX.
Gambar X.X Algoritma Terapi Antibiotik dan Pembedahan Pada STI (1)
Gambar X.X Tabel Rekomendasi Antibiotik pada STI (2)

B. TERAPI PEMBEDAHAN

TEKNIK INSISI DAN DRAINASE

Setelah posisi yang tepat dan pemberian anestesi, insisi dan drainase
dilakukan dengan cara berikut :

1) Sebuah sayatan kulit dibuat dengan pisau No 11 atau 15 di bagian yang paling
menonjol dan berfluktuasi dari abses.Arah sayatan harus sejajar dengan lipatan
kulit alami sehingga mencegah bekas luka yang tidak enak dipandang.Jika tidak
ada yang jelas nanah yang tampak atau daerah berfluktuasi dari abses, sayatan
tetap dibuat di daerah abses.
2) Di daerah di mana tidak ada struktur saraf atau pembuluh darah penting yang
terlihat, maka sayatan dalam yang menembus kulit, jaringan subkutan, dan fasia
dapat dilakukan untuk masuk ke dalam rongga abses.Namun, di daerah di mana
terdapat struktur neurovaskular penting, hanya kulit dan jaringan subkutan yang
boleh di insisi.Rongga abses dapat dicapai dengan memisahkan jaringan subcutan
secara tumpul melalui lubang kecil sampai pada permukaan fascia, kemudian
dibuka dengan pisau.
3) Setelah masuk kedalam rongga nanah, maka akan terlihat nanah yang keluar
melaluiinsisi. Pada titik ini, nanah dapat di swab dan dikirim untuk analisis
mikrobiologis.Rongga abses dieksplorasi, dengan klem tumpulyang digunakan
untuk memecah semua loculi dan menguras semua kantong nanah. Hasil yang
sama dapat dicapai dengan jari. Rongga abses di irigasi dengan NaCl 0,9% untuk
menyiram keluar semua nanah dan darah, kemudian rongga abses dimasukkan
dengan kain kasa.Setelah beberapa menit, kassa diambil, tujuan kassa di masukkan
ke dalam rongga abses yaitu untuk menghentikan perdarahan yang terjadi.
4) Luka kemudian ditutup dengan dressing penyerap yang dapat menyerap eksudat
dan darah.Dressingdiganti setiap 24 jam sampai luka kering.Ketika jaringan
granulasi yang sehat terlihat di dalam rongga dan tidak ada lagi eksudat atau nanah
yang terlihat, dapat diberikan dressing dengan kassa biasa.

TEKNIK DEBRIDEMENT PADA ULKUS TERINFEKSI DAN GANGRENE

Metode yang paling efektif adalah surgical debridement.Debridement


biasanya dilakukan dengan anestesi umum, tapi anestesi lokal atau regional dapat
digunakan jika lesi tidak luas.Jika debridement yang dilakukan pada tungkai,
tourniquet dapat digunakan untuk meminimalkan kehilangan darah.

Luka dibersihkan dan ditutup. Slough yang ada pada luka secara perlahan-
lahan dipotong atau dipisahkan dari jaringan yang sehat dengan pisau bedah atau
gunting.Slough dibersihkan sampai luka mulai terjadi perdarahan, tapi ini harus
dilakukan tanpa merusak jaringan sehat dibawahnya. Pinggiran luka juga dilakukan
freshening supaya jaringan yang mati dapat hilang dan memberi kesempatan jaringan
baru untuk tumbuh.
Gambar 2.Venous ulcer pada kaki

Gambar 3. Luka ulkus post debridement.

Daerah luka yang telah di debridement ditutup dengan nonadherent dressing


(misalnya, tulle).dressing pertama diganti setelah 24 jam. Penggantian dressing pada
luka biasanya diganti tiap 24 jam.Setiap ganti dressing, luka diperiksa dan
dibersihkan apabila ada pus atau slough baru yang terbentuk.debridements berulang
mungkin diperlukan sampai luka menjadi bersih dan infeksi dapat dikendalikan oleh
antibiotik yang tepat. Setelah luka bersih dari infeksi, dressing dapat diganti tiap 36
jam.
Metode debridement lain yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :

Mechanical
Kimiawi
Biological
Autolytic
Ultrasonic

Metode debridement mekanikal yang paling sederhana adalah balutan basah


ke kering, yang sudah umum digunakan. Proses pelaksanaannya adalah dengan
menggunakan balutan kasa yang basah menutupi seluruh luka kemudian dibiarkan
hingga kering. Jaringan nekrotik tersebut akan dengan sendirinya lepas dengan
lengket ke kasa, maka jaringan nekrotik secara mekanik terlepas dari luka. Metode ini
kemungkinan akan menyebabkan trauma pada jaringan yang sehat dan prosesnya
juga dapat menimbulkan nyeri terutama bila lukannya bukan karena neuropati.

Kolagenase dapat digunakan dalam tindakan ezimatic debridement.Secara


alamiah hadirnya enzim dapat menonaktifkan kolagen.Enzim ini diperoleh dari
fermentasi Clostridium bistolytieum dan diaplikasikan ke jaringan yang ada di
luka.Penggantian balutan mudah untuk dilakukan dan minimal nyeri.Biaya untuk
debridemen enzim ini cukup mahal.

Gambar 4.Contoh produk enzymatic debridement.


Larva Lucillia sericata adalah larva yang umum digunakan sebagai
biological debridement. Larva ini secara alami akan memakan jaringan nekrotik yang
ada pada luka tanpa memakanjaringan yang sehat. Selain itu sekresi dari larva ini
memiliki efek proteolitik dan pergerakan fisik dari larva menstimulasi terbentuknya
granulasi pada luka.Larva ini diindikasikan untuk debridement luka yang ada slough
atau jaringan nekrotik baik itu luka akut atau kronik. Kontraindikasi yang sering
terjadi pada metode ini adalah penolakan dari pasien walaupun fenomena pasien
semakin terbuka kepada metode ini.

Gambar 5.Biological debridement dengan menggunakan larva.

Autolytic debridement adalah kemampuan tubuh itu sendiri untuk melisiskan


atau memecah jaringan nekrotik dengan menggunakan enzim dan makrofag serta
aktifitas dari sel darah putih .Autolytic debridement ini terjadi dimana tubuh
memanfaatkan kelembaban untuk melepaskan jaringan mati.Autolisis ini dapat
diperoleh melalui balutan yang dapat meretensi kelembaban. Permukaan luka yang
lembab ini mendukung rehidrasi jaringan mati dan cairan luka yang terdiri dari sel
darah putih serta enzim ini akan memecahkan jaringan nekrotik.

Ultrasonic debridement adalah mengaplikasikan getaran ultrasonik pada


dasar luka melalui media cair.Debridement ultrasonik menyebabkan hancurnya
jaringan nekrotik, terjadi fragmentasi dan emulsifikasi.

Gambar 6.Contoh hasil perawatan luka dengan ultrasonic debridement.

Gambar 7.Ultrasonic debridement.

Das könnte Ihnen auch gefallen