Sie sind auf Seite 1von 2

Apalah arti kehilangan, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang

seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu
yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tak
terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan
melupakan jaraknya setipis benang saja.

Novel ini bercerita tentang perjalanan panjang sebuah kerinduan. Perjalanan


kerinduan yang membawa banyak hal yang terbeban di hati. Mulai dari
bagaimana ia menghadapi perjalanan dengan penuh dosa di masa lalu. Lalu
seseorang yang melakukan perjalanannya dengan penuh kebencian. Ada punya
dia yang kehilangan cintanya menjadi sebab mengapa ia melakukan perjalanan
ini.

Cerita berlatar waktu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Yakni pada masa
ketika Belanda masih menduduki Indonesia. Pada masa itu, pemerintah Hindia
Belanda memberikan layanan perjalanan haji untuk rakyat pribumi yang memiliki
cukup uang. Perjalanan dilakukan lewat laut yakni menggunakan kapal uap besar
yang merupakan perkembangan teknologi transportasi tercanggih pada masa itu.
Salah satu kapal yang beroperasi untuk melakukan perjalanan haji ini adalah
Blitar Holland. Di kapal besar inilah segala kisahnya dimulai.

Tere Leye meracik cerita dengan begitu menarik. Belum lagi dengan nuansa latar
yang berbeda seperti kehidupan di atas kapal uap besar. Di atas kapal juga terjadi
interaksi sosial antar penumpang kapal. Juga terdapat fasilitas-fasilitas umum
seperti kantin, masjid, dan tukang jahit kapal.

Diceritakan mengenai keluarga Daeng Andipati yang terdiri orang tua, seorang
pembantu rumah tangga, serta dua anak yang mengikut perjalanan haji ini, yakni
Anna dan Elisa. Mereka menjalani lamanya waktu perjalanan haji dengan riang
gembira. Seakan tidak pernah mengerti tentang apa yang terpendam di hati
Daeng, ayah mereka.

Ada pula tokoh yang bernama Ambo Uleng. Dia adalah seorang pelaut. Hampir
seluruh hidupnya dihabiskan di atas lautan. Ambo Uleng rupanya menuruni sifat
ayahnya yang seorang pelaut juga. Ia menaiki kapal Blitar Holland tidak dengan
tujuan apapun. Tidak untuk bekerja, mengumpulkan uang, atau apapun. Ia hanya
ingin pergi sejauh-jauhnya meninggalkan tanah Makassar yang ia jalani melalui
kisah pilunya.
Di sisi lain, ada seorang keturunan Cina. Ia sering mengajari ngaji anak-anak di
mushola kapal sepanjang perjalanan haji. Anak-anak biasa memanggilnya Bonda
Upe. Bonda Upe ini rupanya sedang memendam masa lalunya sebelum memeluk
Islam. Hingga tiap malam ia selalu menangisi dosa-dosanya yang dulu.

Dari sini pula diceritakan Gurutta Ahmad Karaeng, ulama tersohor asal Makassar
yang mengikuti perjalanan haji. Beliau rutin melaksanakan solat

Das könnte Ihnen auch gefallen