Sie sind auf Seite 1von 28

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di


Indonesia. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk
sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus
dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah di Indonesia (Depkes, 2005).
World Health Organization - South-East Asia Regional Office (WHO-SEARO)
melaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 156052 kasus dengue dengan 1396
jumlah kasus kematian di Indonesia dan case-fatality rates (CFR)0.79%.
Syok pada pasien DBD dikenal dengan istilah Dengue Syok Sindrom (DSS)
yaitu terjadinya kegagalan peredaran darah karena kehilangan plasma dalam darah
akibat peningkatan permeabilitas kapiler darah. Syok terjadi apabila darah semakin
mengental karena plasma darah merembes keluar dari pembuluh darah (Nadesul,
2007). DSS terjadi pada tingkatan DBD derajat III dan DBD derajat IV. Pada DBD
derajat III telah terdapat tanda-tanda syok, nadi teraba cepat dan lemah, tekanan darah
menurun, pasien mengalami gelisah, terjadi sianosis di sekitar mulut, kulit teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki. Pada DBD
derajat III terjadi hemokonsentrasi dan trombositopenia (Depkes, 2005).
Kewaspadaan terhadap tanda awal syok pada pasien DBD sangat penting,
karena angka kematian pada DSS sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan pasien DBD
tanpa terjadi syok. DSS dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda awal syok dan pengobatan DSS yang tidak
adekuat (Depkes, 2005). Pasien yang mengalami DSS akan menghadapi risiko
kematian apabila tidak cepat ditangani dan mendapatkan pengobatan. Sampai saat ini
DSS masih merupakan penyebab utama kematian pada penderita DBD dan 30%
kasus DBD berkembang menjadi DSS (Subahagio, 2009).

1
BAB II
ISI

2.1. Anak dengan Syok


Syok adalah suatu keadaan yang gawat, dimana sistem peredaran darah
(sirkulasi) gagal menyalurkan darah yang mengandung oksigen dan nutrisi ke organ
vital (otak, jantung dan paru-paru). Berdasarkan etiologinya, syok dibagi menjadi
(Arikan, 2008):
1. Syok hipovolemik.
Syok hipovolemik adalah syok yang diakibatkan oleh kehilangan volume
intravaskuler secara akut dan massif. Hal ini bisa diakibatkan oleh kehilangan
darah, plasma, cairan tubuh ataupun elektrolit. Keadaan ini biasa terjadi pada
luka bakar, perdarahan dalam ataupun luar, diare berat dan lain-lain.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah syok yang diakibatkan oleh kelainan pada jantung,
misalnya pada aritmia, infark miokardium, kelainan katup ataupun akibat obat-
obat myocardial depressant.
3. Syok Obstruktif
Syok obstruktif adalah syok yang diakibatkan oleh gangguan pengisian pada
ventrikel kanan maupun kiri yang dalam keadaan berat bisa menyebabkan
penurunan Cardiaac Output. Hal ini biasa terjadi pada obstruksi vena cava,
emboli pulmonal, pneumotoraks, gangguan pada pericardium (misalnya :
tamponade jantung) ataupun berupa atrial myxoma.
4. Syok Distributif
Syok distributive adalah syok yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada
distribusi volume sirkulasi, baik karena perubahan resistensi pembuluh darah
ataupun akibat perubahan permeabilitasnya. Hal ini biasa terjadi pada keadaan
sepsis, anafilaktik ataupun neurogenik.

Riwayat anak dengan syok pada anamnesis yang dapat ditemukan adalah sebagai
berikut (WHO, 2005).
Kejadian akut atau tiba-tiba

2
Trauma
Perdarahan
Riwayat penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung rematik
Riwayat diare
Beberapa penyakit yang disertai demam
Demam Berdarah Dengue
Demam
Keterbatasan makan/minum.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik syok pada anak dapat ditemukan tanda berikut
ini (WHO, 2005).
Kesadaran menurun
Kemungkinan perdarahan
Vena leher (vena jugularis)
Pembesaran hati
Petekie
Purpura.
Sebelum ditemukan diagnosis kerja, diagnosis banding yang dapat
dipertimbangkan pada syok dapat dilihat pada tabel berikut ini (WHO, 2005) :

Tabel 1. Diagnosis atau penyebab yang mendasari Syok pada anak

2.2. Demam Berdarah Dengue

2.2.1. Pengertian

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan


oleh virus dengue yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
(WHO,2009). Penyakit DBD adalah penyakit yang ditandai dengan : (1) demam
tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari;

3
(2) perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis,
perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuria) termasuk uji
tourniquet positif; (3) trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/l); (4)
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%); dan (5) disertai dengan atau tanpa
pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes, 2005).

Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh 4 serotipe
virus dengue (dengue-1, dengue-2, dengue-3 dan dengue-4) dengan daya infeksi
tinggi pada manusia (subawa & Yasa, 2007). Penyakit DBD merupakan penyakit
infeksi yang dapat berakibat fatal dalam waktu yang relative singkat (Anggraeni,
2010).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit DBD adalah


penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh 4 serotipe virus dengue yang masuk ke
dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti ditandai dengan demam tinggi
selama 2 sampai 7 hari ada, adanya manifestasi perdarahan, trombositopenia, disertai
dengan atau tanpa pembesaran hati yang dapat berakibat fatal dalam waktu yang
relative singkat.

2.2.2. Etiologi

Penyebab DBD adalah virus dengue, memiliki 4 serotipe (dengue-1, dengue-


2, dengue-3, dan dengue-4), yang telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia,
termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Hasil penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat
dan merupakan serotype yang paling luas distribusinya kemudian dengue-2, dengue-
1, dan dengue-4 (Depkes, 2005). Arbovirus adalah virus yang ditularkan melalui
artropoda yaitu nyamuk. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti betina, karena hanya nyamuk betina yang menggigit
darah manusia yang dibutuhkan untuk bertelur. Secara umum nyamuk aedes aegypti
menggigit pada siang hari (pukul 09.00 sampai 10.00) dan sore hari (pukul 16.00
sampai 17.00). Virus dengue merupakan virus dari genus Flavivirus, famili

4
Flaviviridae. Nyamuk aedes aegypti hidup di dataran rendah beriklim tropis sampai
subtropis. Nyamuk aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang, tubuhnya
berwarna hitam kecoklatan, dan pada tubuh serta tungkainya ditutupi sisik dengan
garis-garis putih keperakan (Anggraeni, 2010). Nyamuk aedes aegypti mengalami
metamorfosis sempurna dari mulai telur-jentik-kepompong-nyamuk. Metamorfosis
telur sampai kepompong terjadi di dalam air. Telur akan menetas menjadi jentik
sekitar 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik sekitar 6 sampai 8 hari dan
stadium kepompong sekitar 2 sampai 4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk
dewasa sekitar 9 sampai 10 hari (Depkes, 2005).
Nyamuk aedes aegypti menyukai rumah yang sejuk, lembab, gelap, dan
hinggap di pakaian atau barang-barang yang bergelantungan. Tempat hidupnya di air
jernih yang tergenang seperti pada bak air di kamar mandi dan tempat penampung air
minum. Di luar rumah sering terdapat pada genangan air dalam ban mobil bekas,
kaleng bekas, tempat air minum burung, dan pot bunga yang mengandung air. Umur
nyamuk aedes aegypti sekitar 2 sampai 3 minggu, bertelur sekitar 200 sampai 400
butir, dan jarak terbang sekitar 100 meter (Nadesul, 2007). Oleh karena itu perlu
diwaspadai bila ada penderita DBD dengan radius 100 meter dari tempat tinggal kita
dan bila musim penghujan datang karena dapat menyebabkan genangan air pada
tempat-tempat yang telah disebutkan diatas.

2.2.3. Patofisiologi

Setelah serangan virus dengue untuk pertama kali tubuh akan membentuk
kekebalan spesifik untuk dengue, namun masih memungkinkan diserang untuk kedua
kalinya atau lebih karena ada lebih dari satu tipe virus dengue (Nadesul, 2007). Orang
yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita demam
dengue atau demam ringan dan biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari

5
pengobatan (Depkes, 2005). Infeksi virus dengue selanjutnya dengan tipe virus yang
berbeda akan menyebabkan penyakit DBD (Nadesul, 2007).
Setelah virus masuk ke dalam tubuh, virus berkembang biak dalam
retikuloendotel sel (sel-sel mesenkim dengan daya fagosit) sehingga tubuh
mengalami viremia (darah mengandung virus) yang menyebabkan terbentuknya
komplek virus antibodi. Terbentuknya komplek virus antibodi menyebabkan agregasi
trombosit yang berdampak terjadinya trombositopenia, aktivitas koagulasi yang
berdampak meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran plasma,
aktivasi komplemen yang berdampak meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga
dapat terjadi kebocoran plasma dan timbul syok. Syok yang tidak tertangani dapat
menyebabkan terjadinya DSS dan dapat menyebabkan kematian (WHO, 2009).
Terdapat tiga fase perjalanan penyakit DBD yang akan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Fase Demam
Fase demam berlangsung 2 sampai 7 hari. Suhu tubuh saat demam berkisar
39C sampai 40C. Pada fase demam akut biasanya disertai dengan warna
kemerahan pada wajah, eritema pada kulit, rasa nyeri pada seluruh tubuh dan
sakit kepala. Beberapa pasien juga mengeluhkan kesulitan menelan, nyeri faring,
dan nyeri konjungtiva. Pasien sering mengeluh tidak nafsu makan, mual, dan
muntah. Pada fase demam diperlukan pengobatan untuk menghilangkan gejala
yang ditimbulkan. Selama fase awal demam sulit dibedakan antara demam
dengue dengan DBD. Pada pasien demam dengue setelah terbebas dari demam
selama 24 jam tanpa penurun panas, pasien akan memasuki fase penyembuhan.
Namun pada pasien DBD setelah fase demam selesai, akan memasuki fase kritis
(WHO, 2009).
Pada fase demam pasien masih memungkinkan untuk di rawat di rumah,
namun dengan pengawasan khusus. Pengawasan khusus yang diperlukan pada
fase demam meliputi pengawasan tanda-tanda vital, keluhan mual dan muntah,
nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya pelebaran
hati > 2 cm, dan perdarahan yang timbul. Pemberian cairan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kekurangan

6
cairan. Pemeriksaan laboratorium darah terutama pemeriksaan trombosit dan
hematokrit diperlukan untuk mengontrol kondisi kesehatan penderita (Anggraeni,
2010).
2. Fase Kritis
Suhu tubuh pada fase kritis menurun sekitar 37,5 C sampai 38C atau justru
berada dibawahnya, umumnya terjadi pada hari ketiga sampai kelima demam.
Pada fase kritis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
kebocoran plasma. Fase kritis berlangsung antara 24 sampai 48 jam, apabila tidak
terjadi kebocoran plasma, maka kondisi pasien akan membaik, namun jika terjadi
kebocoran plasma maka kondisi pasien akan memburuk.
Kondisi kebocoran plasma yang berkepanjangan dan keterlambatan
penanganan dapat menyebabkan pasien mengalami syok (WHO, 2009). Pasien
harus dirawat di rumah sakit pada saat fase kritis karena memerlukan pengawasan
khusus yang lebih intensif. Pengawasan khusus yang diperlukan pada fase kritis
meliputi pengawasan tingkat kesadaran, tanda-tanda vital, intake dan output
cairan, nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya
pelebaran hati > 2 cm, dan perdarahan yang timbul. Pada fase ini dapat terjadi
efusi pleura dan asites. Pemeriksaan darah dilakukan secara berkala meliputi
hematokrit, trombosit, hemoglobin, dan leukosit. Pemeriksaan rontgen dan
pemeriksaan Ultra Sonografi (USG) dapat dilakukan pada fase kritis (WHO,
2009).
Pasien yang mengalami DSS harus segera mendapatkan terapi oksigen serta
infus untuk mengganti kekurangan cairan yang disebabkan oleh kebocoran
plasma darah. Pada pemeriksaan darah terjadi penurunan kadar trombosit yang
memungkinkan penderita mengalami perdarahan yang hebat sehingga
memerlukan transfuse darah (Depkes, 2005).
3. Fase Penyembuhan
Pasien yang telah melewati fase kritis, terjadi proses penyerapan kembali
cairan yang berlebih pada rongga tubuh dalam waktu 2 sampai 3 hari dan secara
bertahap kondisi pasien secara keseluruhan akan membaik (WHO, 2009). Fase
penyembuhan berlangsung antara 2 sampai 7 hari. Umumnya penderita DBD
yang telah berhasil melewati fase kritis akan sembuh tanpa komplikasi dalam

7
waktu kurang lebih 24 sampai 48 jam setelah syok. Fase penyembuhan ditandai
dengan kondisi umum penderita yang mulai membaik, nafsu makan yang mulai
meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil. Pada fase ini pemberian cairan infus
biasanya mulai dihentikan, diganti dengan pemberian nutrisi secara oral
(Anggraeni, 2010).

Perjalanan penyakit pada inveksi virus dengue dapat ditunjukkan pada gambar di
bawah ini (CDC, 2011).

Gambar 1. Perjalanan penyakit infeksi dengue


(Sumber: Center for Disease Control and Prevention. Clinicians case management.
Dengue Clinical Guidance. Updated 2010.)
2.2.4 Tanda dan Gejala DBD/DSS
Penyakit DBD ditegakkan berdasarkan minimal dua kriteria klinis dan satu
kriteria laboratorium (WHO, 2009). Di bawah ini dijelaskan kriteria klinis DBD
yaitu:
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsungterusmenerus
selama 2 sampai 7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan: uji tourniquet positif,
petekie (bintik merah akibat perdarahan dalam kulit), ekimosis (perubahan warna
kulit menjadi merah lembayung karena perdarahan), purpura (bercak-bercak
perdarahan dalam kulit atau selaput lendir), perdarahan mukosa, epistaksis

8
(mimisan/perdarahan dari hidung), perdarahan gusi, hematemesis (muntah darah),
dan melena (tinja berwarna hitam karena perdarahan).
3. Terjadi pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (> 2 detik), dan
tampak gelisah.

Selanjutnya hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien DBD yaitu:


1. Trombositopenia (kadar trombosit dalam darah 100.000/l atau kurang).
2. Terjadi kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai
dengan peningkatan Ht 20% dari standar, penurunan Ht 20% setelah
mendapat terapi cairan, terjadi efusi pleura/pericardial, asites, dan
hipoproteinemia.
Sedangkan gambaran klinis berdasarkan perjalan penyakitnya adalah sebagai
berikut (WHO, 2011).
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus). Pada undifferentiated fever,
demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab virus lain.
Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda.
Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial
flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan
depresi umum.
Pemeriksaan fisik
Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari

Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher,
dan dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform

9
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
- Uji bendung positif dan/atau petekie
- Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna
(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue. Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi
fase demam, kritis, dan masa penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam
Anamnesis : Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi
kejang demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung
iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
- Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
- Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan
fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

10
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan
plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal terjadi selama 24-48 jam.

Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence)
ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis,
nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20
mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time
memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai
anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera
diatasi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)


Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat

11
ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti
pada DD.

d. Expanded dengue syndrome


Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal,
otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta,
komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan. Diagnosis
DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).
Kriteria klinis :
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus
selama 2-7 hari
Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria laboratorium :
Trombositopenia (100.000/mikroliter)

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar /


menurut standar umur dan jenis kelamin

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan:


Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan hematokrit20%.
Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

Dijumpai tanda perembesan plasma


- Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
- Hipoalbuminemia

12
Perhatian:
- Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS.
- Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis

2.2.5. Klasifikasi DBD dan DSS


Klasifikasi penyakit DBD/DSS dibagi menjadi 4 derajat dan pada tiap derajat
telah terjadi trombositopenia dan hemokonsentrasi. Klasifikasi penyakit DBD/DSS
menurut Nadesul (2007) dan WHO (2009) adalah sebagai berikut:
1. Derajat I: demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji tourniquet positif.
2. Derajat II: seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
3. Derajat III: didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, serta anak gelisah.
4. Derajat IV: syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Berikut ini merupakan criteria diagnosis Demam Dengue dab DBD


berdasarkan spectrum klinisnya (WHO, 2011):

13
Gambar 2. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India:
WHO; 2011dengan modifikasi.

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat
terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi
undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai
infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah
dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda patognomonik
DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat
disertai syok atau tidak.
Klasifikasi Derajat infeksi virus dengue secara singkaat dapat dijelaskan pada
tabel berikut ini.

Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011

14
2.2.6. Penatalaksanaan DBD dan DSS
Menurut WHO dan modifikasi (2011), alur triase pada anak dengan infeksi
virus dengue dapat dijelaskan pada bagan berikut ini.

Sedangkan berdasarkan perjalanan penyakitnya, penatalaksanaan penyakit


DBD pada anak menurut Depkes (2005) yang dirawat di rumah sakit terbagi
menjadi 3 yaitu tata laksana tersangka DBD, tata laksana penderita DBD derajat I dan
II, tata laksana penderita DBD derajat III dan IV seperti terlihat pada skema dibawah
ini.
a. DBD tanpa Syok (derajat I dan II)
1. Medikamentosa
- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin.

15
- Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
2. Suportif
- Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
- Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence
dengan baik.
- Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya
syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

Alur tatalaksana DBD derajat I dan II, secara ringkas dapat dilihat pada bagan
berikut:

16
b. DBD disertai Syok (DSS, derajat III dan IV)
Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-
20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum
teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30
ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume
cairan diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila
tanda vital dan diuresis baik.
Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
Oksigen 2-4 l/menit pada DBD syok.
Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
Indikasi pemberian darah:
Terdapat perdarahan secara klinis
o Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit
turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb
o Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam
volume kecil
o Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi
gangguan koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada
syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.

17
o Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat.

Secara ringkas tatalaksana DBD derajat III dan IV atau DSS, dapat megikuti
bagan berikut ini.

Sedangkan dalam WHO (2011) dengan modifikasi, tatalaksana pada


DSS dapat mengikuti bagan berikut ini.

18
1. DBD dengan syok berkepanjangan :
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah
didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat
diberikan bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi
hasil laboratorium yang tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah
review hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat
atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal
pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat
dalam 2-5 menit.
2. Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah
segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah.
Bila darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur,
10 ml/kg darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton
dapat digunakan.

19
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini
dapat menyebabkan kelebihan cairan.

c. DBD Ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3- dan
jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan larutan
NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1 (PPM, 2005).
Sedangkan menurut WHO (2011) dalam Karyanti (2011) adalah sebagai berikut.
DBD ditentukan terlebih dahulu, apakah ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan
syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka
penilaian ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
- Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran
menurun atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
- Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati
maka,
Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
- Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan
volume intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan
rumatan
- Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit
terus meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus
dengan perembesan plasma yang hebat.
- Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan
cairan
- Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
- Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan
napas.
- Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial,
dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis
intravena setiap 6-8 jam.

20
Menurunkan produksi amonia
- Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare
osmotik.
- Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan
pemberian
Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang
dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
- Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
- Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5
tahun:10mg.
- Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
- Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen
darah lain seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak
diberikan karena kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
- Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
- Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk
mencegah perdarahan saluran cerna.
- Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat
dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.

d. Indikasi Rawat Inap


Indikasi rawat inap pasieb Tersangka DBD dapat mengikuti bagan berikut ini

21
e. Pemantauan
Pemantauan selama perawatan (Tanda klinis, apakah syok telah teratasi
dengan baik, adakah pembesaran hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda
ensefalopati, harus dimonitor dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan).
Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal tiap 12 jam.
Balans cairan, catat jumlah cairan yang masuk, diuresis ditampung, dan
jumlah perdarahan.
Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfusi darah
apabila diperlukan.
Faktor risiko terjadinya komplikasi:
o Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok atupun
tanpa syok.
o Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut.
o Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
Kriteria memulangkan pasien
o Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
o Nafsu makan membaik
o Secara klinis tampak perbaikan
o Hematokrit stabil
o Tiga hari setelah syok teratasi
o Jumlah trombosit > 50.000/ml

22
o Tidak dijumpai distres pernapasan
Sedangkan WHO dalam Karyanti (2011), monitor perjalanan penyakit
DD/DBD meliputi beberapa parameter yang harus dimonitor mencakup:
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,
serta mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap
2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih
sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
Indikasi pemberian cairan intravena :
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
Prinsip umum terapi cairan pada DBD :
Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan
tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga
volume dan cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
Tabel 5. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan

23
Tabel 6. Kecepatan cairan intravena

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.


Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak
dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak
ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka
perhatikan ABCS yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding:
hematokrit, C Calsium: elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah
(dekstrostik)

2.2.7. Komplikasi
a. Demam Dengue : Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik,
trombositopenia hebat, dan trauma.
b. Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal


ginjal akut.
Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan pada masa perembesan plasma
Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik &
perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multipel)
Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai

2.2.8. Diagnosis Banding

24
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue
dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk
membedakan dengan campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis,
malaria, demam tifoid, perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi
bersama demam. Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia,
atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah
tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila
anak mengalami demam disertai syok.

2.2.9. Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah
demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6.
Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan
adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/
menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari
sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan
pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-
2.
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.

25
Tabel 3. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue

b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan
atas indikasi,
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai
20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea dan dinding buli-buli.

26
DAFTAR PUSTAKA
Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3:13-23.
Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated
2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis
Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD.
Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi
kedua. WHO, Geneva, 1997.
Depkes RI. Pedoman Pelayanan Medis. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi
S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam berdarah dengue pada
anak. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI, penyunting. Demam berdarah
dengue. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002, h. 80-132.
Halstead, SB. Dengue fever and dengue haemorrhagic fever. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia; 2004, h. 1092-4.
Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823
Kanesa-Thassan N, Vaughn DW, Shope RE. Dengue and dengue haemorrhagic
fever. Dalam: Anne AG,
Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugmans infectious diseases of children. Edisi
ke-11. Philadelphia; 2004. h. 73-81.
Pudjiadi, Antonius, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,
Ellen P. Gandaputra Eva Devita Harmoniati. 2009. Pedoman pelayanan
Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Thongcharoen P, Jatanasen S. Epidemiology of dengue and dengue haemmorhagic
fever. Dalam: Monograph on dengue/dengue haemmorhagic fever. World
Health Organization, SEARO, New Delhi; 1993. h.1-8.
Tsai TF, Khan AS, McJunkin JE. Togaviridae, flaviviridae, and bunyaviridae.
Dalam: Long SS Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and

27
practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA:
Elsevier Science; 2003, h.1109-16.
Wills B. Management of dengue. Dalam: Halstead SB, penyunting. Dengue:
tropical medicine science and practice. Selton Street, London: Imperial
College Press; 2008, h.193-217.
World Health Organization (WHO). 2005. Buku Saku Pelayanan Medis Anak di
Rumah Sakit. IDAI.
World Health Organization (WHO). Dengue for Diagnosis, treatment, prevention
and control. 2009:1-146
World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever. Diagnosis, treatment,
prevention, and control. Edisi ke-2. WHO; 1997.
World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.

28

Das könnte Ihnen auch gefallen