Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
1
BAB II
ISI
Riwayat anak dengan syok pada anamnesis yang dapat ditemukan adalah sebagai
berikut (WHO, 2005).
Kejadian akut atau tiba-tiba
2
Trauma
Perdarahan
Riwayat penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung rematik
Riwayat diare
Beberapa penyakit yang disertai demam
Demam Berdarah Dengue
Demam
Keterbatasan makan/minum.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik syok pada anak dapat ditemukan tanda berikut
ini (WHO, 2005).
Kesadaran menurun
Kemungkinan perdarahan
Vena leher (vena jugularis)
Pembesaran hati
Petekie
Purpura.
Sebelum ditemukan diagnosis kerja, diagnosis banding yang dapat
dipertimbangkan pada syok dapat dilihat pada tabel berikut ini (WHO, 2005) :
2.2.1. Pengertian
3
(2) perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis,
perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuria) termasuk uji
tourniquet positif; (3) trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/l); (4)
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%); dan (5) disertai dengan atau tanpa
pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes, 2005).
Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh 4 serotipe
virus dengue (dengue-1, dengue-2, dengue-3 dan dengue-4) dengan daya infeksi
tinggi pada manusia (subawa & Yasa, 2007). Penyakit DBD merupakan penyakit
infeksi yang dapat berakibat fatal dalam waktu yang relative singkat (Anggraeni,
2010).
2.2.2. Etiologi
4
Flaviviridae. Nyamuk aedes aegypti hidup di dataran rendah beriklim tropis sampai
subtropis. Nyamuk aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang, tubuhnya
berwarna hitam kecoklatan, dan pada tubuh serta tungkainya ditutupi sisik dengan
garis-garis putih keperakan (Anggraeni, 2010). Nyamuk aedes aegypti mengalami
metamorfosis sempurna dari mulai telur-jentik-kepompong-nyamuk. Metamorfosis
telur sampai kepompong terjadi di dalam air. Telur akan menetas menjadi jentik
sekitar 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik sekitar 6 sampai 8 hari dan
stadium kepompong sekitar 2 sampai 4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk
dewasa sekitar 9 sampai 10 hari (Depkes, 2005).
Nyamuk aedes aegypti menyukai rumah yang sejuk, lembab, gelap, dan
hinggap di pakaian atau barang-barang yang bergelantungan. Tempat hidupnya di air
jernih yang tergenang seperti pada bak air di kamar mandi dan tempat penampung air
minum. Di luar rumah sering terdapat pada genangan air dalam ban mobil bekas,
kaleng bekas, tempat air minum burung, dan pot bunga yang mengandung air. Umur
nyamuk aedes aegypti sekitar 2 sampai 3 minggu, bertelur sekitar 200 sampai 400
butir, dan jarak terbang sekitar 100 meter (Nadesul, 2007). Oleh karena itu perlu
diwaspadai bila ada penderita DBD dengan radius 100 meter dari tempat tinggal kita
dan bila musim penghujan datang karena dapat menyebabkan genangan air pada
tempat-tempat yang telah disebutkan diatas.
2.2.3. Patofisiologi
Setelah serangan virus dengue untuk pertama kali tubuh akan membentuk
kekebalan spesifik untuk dengue, namun masih memungkinkan diserang untuk kedua
kalinya atau lebih karena ada lebih dari satu tipe virus dengue (Nadesul, 2007). Orang
yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita demam
dengue atau demam ringan dan biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari
5
pengobatan (Depkes, 2005). Infeksi virus dengue selanjutnya dengan tipe virus yang
berbeda akan menyebabkan penyakit DBD (Nadesul, 2007).
Setelah virus masuk ke dalam tubuh, virus berkembang biak dalam
retikuloendotel sel (sel-sel mesenkim dengan daya fagosit) sehingga tubuh
mengalami viremia (darah mengandung virus) yang menyebabkan terbentuknya
komplek virus antibodi. Terbentuknya komplek virus antibodi menyebabkan agregasi
trombosit yang berdampak terjadinya trombositopenia, aktivitas koagulasi yang
berdampak meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran plasma,
aktivasi komplemen yang berdampak meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga
dapat terjadi kebocoran plasma dan timbul syok. Syok yang tidak tertangani dapat
menyebabkan terjadinya DSS dan dapat menyebabkan kematian (WHO, 2009).
Terdapat tiga fase perjalanan penyakit DBD yang akan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Fase Demam
Fase demam berlangsung 2 sampai 7 hari. Suhu tubuh saat demam berkisar
39C sampai 40C. Pada fase demam akut biasanya disertai dengan warna
kemerahan pada wajah, eritema pada kulit, rasa nyeri pada seluruh tubuh dan
sakit kepala. Beberapa pasien juga mengeluhkan kesulitan menelan, nyeri faring,
dan nyeri konjungtiva. Pasien sering mengeluh tidak nafsu makan, mual, dan
muntah. Pada fase demam diperlukan pengobatan untuk menghilangkan gejala
yang ditimbulkan. Selama fase awal demam sulit dibedakan antara demam
dengue dengan DBD. Pada pasien demam dengue setelah terbebas dari demam
selama 24 jam tanpa penurun panas, pasien akan memasuki fase penyembuhan.
Namun pada pasien DBD setelah fase demam selesai, akan memasuki fase kritis
(WHO, 2009).
Pada fase demam pasien masih memungkinkan untuk di rawat di rumah,
namun dengan pengawasan khusus. Pengawasan khusus yang diperlukan pada
fase demam meliputi pengawasan tanda-tanda vital, keluhan mual dan muntah,
nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya pelebaran
hati > 2 cm, dan perdarahan yang timbul. Pemberian cairan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kekurangan
6
cairan. Pemeriksaan laboratorium darah terutama pemeriksaan trombosit dan
hematokrit diperlukan untuk mengontrol kondisi kesehatan penderita (Anggraeni,
2010).
2. Fase Kritis
Suhu tubuh pada fase kritis menurun sekitar 37,5 C sampai 38C atau justru
berada dibawahnya, umumnya terjadi pada hari ketiga sampai kelima demam.
Pada fase kritis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
kebocoran plasma. Fase kritis berlangsung antara 24 sampai 48 jam, apabila tidak
terjadi kebocoran plasma, maka kondisi pasien akan membaik, namun jika terjadi
kebocoran plasma maka kondisi pasien akan memburuk.
Kondisi kebocoran plasma yang berkepanjangan dan keterlambatan
penanganan dapat menyebabkan pasien mengalami syok (WHO, 2009). Pasien
harus dirawat di rumah sakit pada saat fase kritis karena memerlukan pengawasan
khusus yang lebih intensif. Pengawasan khusus yang diperlukan pada fase kritis
meliputi pengawasan tingkat kesadaran, tanda-tanda vital, intake dan output
cairan, nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya
pelebaran hati > 2 cm, dan perdarahan yang timbul. Pada fase ini dapat terjadi
efusi pleura dan asites. Pemeriksaan darah dilakukan secara berkala meliputi
hematokrit, trombosit, hemoglobin, dan leukosit. Pemeriksaan rontgen dan
pemeriksaan Ultra Sonografi (USG) dapat dilakukan pada fase kritis (WHO,
2009).
Pasien yang mengalami DSS harus segera mendapatkan terapi oksigen serta
infus untuk mengganti kekurangan cairan yang disebabkan oleh kebocoran
plasma darah. Pada pemeriksaan darah terjadi penurunan kadar trombosit yang
memungkinkan penderita mengalami perdarahan yang hebat sehingga
memerlukan transfuse darah (Depkes, 2005).
3. Fase Penyembuhan
Pasien yang telah melewati fase kritis, terjadi proses penyerapan kembali
cairan yang berlebih pada rongga tubuh dalam waktu 2 sampai 3 hari dan secara
bertahap kondisi pasien secara keseluruhan akan membaik (WHO, 2009). Fase
penyembuhan berlangsung antara 2 sampai 7 hari. Umumnya penderita DBD
yang telah berhasil melewati fase kritis akan sembuh tanpa komplikasi dalam
7
waktu kurang lebih 24 sampai 48 jam setelah syok. Fase penyembuhan ditandai
dengan kondisi umum penderita yang mulai membaik, nafsu makan yang mulai
meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil. Pada fase ini pemberian cairan infus
biasanya mulai dihentikan, diganti dengan pemberian nutrisi secara oral
(Anggraeni, 2010).
Perjalanan penyakit pada inveksi virus dengue dapat ditunjukkan pada gambar di
bawah ini (CDC, 2011).
8
(mimisan/perdarahan dari hidung), perdarahan gusi, hematemesis (muntah darah),
dan melena (tinja berwarna hitam karena perdarahan).
3. Terjadi pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (> 2 detik), dan
tampak gelisah.
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher,
dan dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
9
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
- Uji bendung positif dan/atau petekie
- Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna
(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue. Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi
fase demam, kritis, dan masa penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam
Anamnesis : Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi
kejang demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung
iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
- Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
- Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan
fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
10
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan
plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence)
ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis,
nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20
mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time
memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai
anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera
diatasi.
11
ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti
pada DD.
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria laboratorium :
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
12
Perhatian:
- Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS.
- Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis
13
Gambar 2. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India:
WHO; 2011dengan modifikasi.
Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat
terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi
undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai
infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah
dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda patognomonik
DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat
disertai syok atau tidak.
Klasifikasi Derajat infeksi virus dengue secara singkaat dapat dijelaskan pada
tabel berikut ini.
14
2.2.6. Penatalaksanaan DBD dan DSS
Menurut WHO dan modifikasi (2011), alur triase pada anak dengan infeksi
virus dengue dapat dijelaskan pada bagan berikut ini.
15
- Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
2. Suportif
- Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
- Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence
dengan baik.
- Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya
syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Alur tatalaksana DBD derajat I dan II, secara ringkas dapat dilihat pada bagan
berikut:
16
b. DBD disertai Syok (DSS, derajat III dan IV)
Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-
20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum
teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30
ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume
cairan diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila
tanda vital dan diuresis baik.
Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
Oksigen 2-4 l/menit pada DBD syok.
Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
Indikasi pemberian darah:
Terdapat perdarahan secara klinis
o Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit
turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb
o Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam
volume kecil
o Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi
gangguan koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada
syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.
17
o Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat.
Secara ringkas tatalaksana DBD derajat III dan IV atau DSS, dapat megikuti
bagan berikut ini.
18
1. DBD dengan syok berkepanjangan :
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah
didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat
diberikan bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi
hasil laboratorium yang tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah
review hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat
atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal
pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat
dalam 2-5 menit.
2. Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah
segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah.
Bila darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur,
10 ml/kg darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton
dapat digunakan.
19
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini
dapat menyebabkan kelebihan cairan.
c. DBD Ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3- dan
jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan larutan
NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1 (PPM, 2005).
Sedangkan menurut WHO (2011) dalam Karyanti (2011) adalah sebagai berikut.
DBD ditentukan terlebih dahulu, apakah ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan
syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka
penilaian ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
- Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran
menurun atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
- Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati
maka,
Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
- Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan
volume intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan
rumatan
- Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit
terus meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus
dengan perembesan plasma yang hebat.
- Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan
cairan
- Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
- Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan
napas.
- Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial,
dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis
intravena setiap 6-8 jam.
20
Menurunkan produksi amonia
- Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare
osmotik.
- Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan
pemberian
Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang
dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
- Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
- Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5
tahun:10mg.
- Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
- Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen
darah lain seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak
diberikan karena kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
- Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
- Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk
mencegah perdarahan saluran cerna.
- Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat
dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
21
e. Pemantauan
Pemantauan selama perawatan (Tanda klinis, apakah syok telah teratasi
dengan baik, adakah pembesaran hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda
ensefalopati, harus dimonitor dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan).
Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal tiap 12 jam.
Balans cairan, catat jumlah cairan yang masuk, diuresis ditampung, dan
jumlah perdarahan.
Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfusi darah
apabila diperlukan.
Faktor risiko terjadinya komplikasi:
o Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok atupun
tanpa syok.
o Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut.
o Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
Kriteria memulangkan pasien
o Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
o Nafsu makan membaik
o Secara klinis tampak perbaikan
o Hematokrit stabil
o Tiga hari setelah syok teratasi
o Jumlah trombosit > 50.000/ml
22
o Tidak dijumpai distres pernapasan
Sedangkan WHO dalam Karyanti (2011), monitor perjalanan penyakit
DD/DBD meliputi beberapa parameter yang harus dimonitor mencakup:
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,
serta mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap
2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih
sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
Indikasi pemberian cairan intravena :
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
Prinsip umum terapi cairan pada DBD :
Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan
tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga
volume dan cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
Tabel 5. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan
23
Tabel 6. Kecepatan cairan intravena
2.2.7. Komplikasi
a. Demam Dengue : Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik,
trombositopenia hebat, dan trauma.
b. Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
24
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue
dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk
membedakan dengan campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis,
malaria, demam tifoid, perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi
bersama demam. Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia,
atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah
tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila
anak mengalami demam disertai syok.
25
Tabel 3. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan
atas indikasi,
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai
20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea dan dinding buli-buli.
26
DAFTAR PUSTAKA
Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3:13-23.
Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated
2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis
Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD.
Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi
kedua. WHO, Geneva, 1997.
Depkes RI. Pedoman Pelayanan Medis. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi
S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam berdarah dengue pada
anak. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI, penyunting. Demam berdarah
dengue. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002, h. 80-132.
Halstead, SB. Dengue fever and dengue haemorrhagic fever. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia; 2004, h. 1092-4.
Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823
Kanesa-Thassan N, Vaughn DW, Shope RE. Dengue and dengue haemorrhagic
fever. Dalam: Anne AG,
Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugmans infectious diseases of children. Edisi
ke-11. Philadelphia; 2004. h. 73-81.
Pudjiadi, Antonius, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,
Ellen P. Gandaputra Eva Devita Harmoniati. 2009. Pedoman pelayanan
Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Thongcharoen P, Jatanasen S. Epidemiology of dengue and dengue haemmorhagic
fever. Dalam: Monograph on dengue/dengue haemmorhagic fever. World
Health Organization, SEARO, New Delhi; 1993. h.1-8.
Tsai TF, Khan AS, McJunkin JE. Togaviridae, flaviviridae, and bunyaviridae.
Dalam: Long SS Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and
27
practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA:
Elsevier Science; 2003, h.1109-16.
Wills B. Management of dengue. Dalam: Halstead SB, penyunting. Dengue:
tropical medicine science and practice. Selton Street, London: Imperial
College Press; 2008, h.193-217.
World Health Organization (WHO). 2005. Buku Saku Pelayanan Medis Anak di
Rumah Sakit. IDAI.
World Health Organization (WHO). Dengue for Diagnosis, treatment, prevention
and control. 2009:1-146
World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever. Diagnosis, treatment,
prevention, and control. Edisi ke-2. WHO; 1997.
World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
28