Sie sind auf Seite 1von 10

KWASHIORKOR

Pengertian
1. Kwashiorkor adalah sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan masukan
kalori tidak cukup. Akibat defisiensi protein dan mineral dapat menimbulkan tanda
dan gejala seperti tinggi dan berat badan tidak sesuai dengan anak seusianya dari
kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka
metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik. Walaupun penambahan tinggi dan
berat dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak akan pernah sama dengan tinggi
dan berat badan anak yang secara tetap bergizi baik (Behrman et all, 2000)
2. Kwashiorkor juga di sebut sebagai defisiensi protein yang disertai defisiensi nutrien
lainnya yang biasa dijumpai pada bayi masa disapih dan anak prasekolah (balita)
(Ngastiyah, 1997)

Epidemiologi
Kwashiorkor paling sering terjadi di negara yang belum berkembang atau masih dalam
garis kemiskinan. Negara-negara yang paling sering terdeteksi penyakit ini adalah negara-
negara di benua Afrika. Kwashiorkor cenderung terjadi di negara-negara dimana serat dan
makanan digunakan untuk menyapih bayi (misalnya umbi jalar, singkong, beras, kentang, dan
pisang) sedikit mengandung protein dan sangat banyak mengandung zat tepung, misalnya di
pedesaan Afrika, kepulauan Karibia, kepulauan Pasifik, Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Biasanya, kwashiorkor lebih banyak menyerang bayi dan balita pada usia enam bulan
sampai tiga tahun. Usia paling rawan terkena defisiensi ini adalah dua tahun. Pada usia itu
berlangsung masa peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau makanan sapihan.

Klasifikasi
Klasifikasi MEP ditetapkan dengan perbandingan berat badan terhadap umur anak sebagai
berikut:
a. Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan)
b. Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat)
c. Berat badan <60% standar tanpa edema : marasmus (MEP berat)
d. Berat badan <60% standar dengan edema : marasmik kwashiorkor

Etiologi
Kwashiorkor terjadi karena adanya defisiensi protein pada anak karena kandungan
karbohidrat makanan tersebut tinggi, tapi mutu dan kandungan proteinnya sangat rendah.
Faktor yang paling mungkin adalah menyusui, ketika ASI digantikan oleh asupan yang tidak
adekuat atau tidak seimbang. Selain makanan yang tidak mengandung protein, penyakit
kwahiorkor juga dapat ditimbulkan karena gangguan penyerapan protein, misalnyapada
keadaan diare kronik, kehilangan protein secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis),
infeksi, pendarahan atau luka-luka bakar serta kegagalan melakukan sintesis protein pada
penyakit hati yang kronis. Kompertemen protein visceral akan mengalami deplesi yang lebih
parah pada kwashiorkor. Kompartemen protein visceral yang nyata pada kwashiorkor akan
menimbulkan hipoalbuminemia sehingga terjadi edema yang menyeluruh atau edema
dependen.
Faktor yang dapat menyebabkan inadekuatnya intake protein antara lain sebagai berikut:
a. Pola makan
Protein (asam amino) sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak akan berperan
penting terhadap terjadinya Kwashiorkor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.
b. Faktor sosial
Negara dengan tingkat penduduk tinggi, keadaan sosial dan politik yang tidak
stabil, atau adanya pantangan untuk makan-makanan tertentu dapat menyebabkan
terjadinya Kwashiorkor.
c. Faktor ekonomi
Penghasilan yang rendah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan berakibat pada
keseimbangan nutrisi anak yang tidak terpenuhi.
d. Faktor infeksi dan penyakit lain
Infeksi dan MEP saling berhubungan. Infeksi dapat memperburuk keadaan gizi
MEP akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Misalnya gangguan
penyerapan protein karena diare.

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang terjadi pada anak dengan Kwashiorkor antara lain sebagai berikut:
a. Edema, umumnya seluruh tubuh terutama pada punggung kaki (dosum pedis).
b. Wajah membulat dan sembab
c. Pandangan mata sayu
d. Rambut tipis kemerahan seperti warna jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakitdan
rontok. Anak yang rambutnya keriting dapat menjadi lurus.
e. Perubahan status mental, apatis, dan rewel.
f. Tidak nafsu makan
g. Pembesaran hati
h. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata diperiksa pada posisi berdiri atau duduk.
i. Warna kulit pucat.
j. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis).
k. Sering disertai: penyakit infeksi, umumnya akut; anemia dan diare.

Manifestasi Klinik
Pada awalnya, bukti klinis awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis,
atau iritabilitas. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina,
kehilangan jaringan muskular, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi dan udem. Salah
satu manifestasi yang paling serius dan konstan adalah imunodefisiensi sekunder. Misalnya,
campak dapat memperburuk dan mematikan pada anak malnutrisi. Pada anak dapat terjadi
anoreksia, kekenduran jaringan subkutan, dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat
terjadi awal atau lambat serta sering terjadi infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi di awal,
penurunan berat badan yang dapat dilihat pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, angka
filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun.
Manifestasi klinis yang lain adalah dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang
teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari.penyebaran rambut jarang
dan tipis serta kehilangan sifat elastisitasnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi
menyebabkan warna merah atau abu-abu seperti coretan pada rambut (hipokromtrichia).
Rambut menjadi kasar pada fase kronik. Anak juga mengalami anoreksi, muntah, dan diare
terus menerus. Otot menjadi lemah, tipis dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin ada
kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental terutama iritabilitas dan apati sering terjadi.

Patofisiologi
Pada defisiensi protein murnitidak terjadi katabolisme jaringan yang sangan berlebihan
karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya. Kelainan yang
mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang menyebabkan edema dan
lemak dalam hati. Kekurangan protein dalam diet akan terjadi karena kekurangan berbagai
asam amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk sintesis dang metabolisme yang
akan disalurkan ke jaringan otot. Semakin asam amino berkurang dalam serum ini akan
menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian berakibat edema.
Lemak dalam hati terjadi karena gangguan pembentukan beta-lipoprotein sehingga transport
lemak dari hati terganggu dan berakibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.

Komplikasi dan Prognosis


Kwashiorkor yang tidak cepat diatasi dapat mengakibatkan marasmus bahkan marasmus-
kwashiorkor. Anak akan mudah terserang infeksi seperti diare, ISPA (infeksi saluran
pernapasan atas), TBC, polio, dan lain-lain. Lebih dari 40% anak-anak yang menderita
Kwashiorkor meninggal karena gangguan elektrolit, infeksi, hipotemia, dan kegagalan
jantung. Keterbelakangan mental yang bersifat ringan bisa menetap sampai anak usia sekolah
dan mungkin lebih. Anak dengan Kwashiorkor dapat terjadi penurunan IQ secara permanen.
Diperlukan waktu sekitar 2-3 bulan agar berat badan anak dapat kembali ke berat badan ideal.
Komplikasi jangka pendek yang akan terjadi bagi penderita kwashiorkor adalah diare,
hipoglikemia, anemia, hipokalemia, shock, hipotemi, dehidrasi, gangguan fungsi vital,
gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa, infeksi berat, serta hambatan penyembuhan
penyakit penyerta. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah tubuh pendek dan
berkurangnya potensi tumbuh kembang.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada anak dengan Kwashiorkor yaitu:
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Pemeriksaan air kemih menunjukan peningkatan ekresi hidroksiprolin dan adanya
amino asidulla.
3. Pada biopsi hati ditemukan perlemakan ringan sampai berat, fibrosis, nekrosis, dan
infiltrasi sel mononuklear. Pada perlemakan berat hampir semua sel hati
mengandung vakoul lemak yang besar.
4. Pemeriksaan autopsi penderita Kwashiorkor menunjukan kelainan pada hampir
semua organ tubuh, seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, atrofi
vilus usus, atrofi sitem limfoid, dan atrofi kelenjar timus.

Penatalaksanaan
Dalam mengatasi kwashiorkor adalah dengan memberikan makanan bergizi secara
bertahap. Bila bayi menderita kwashiorkor, maka bayi tersebut diberi susu yang diencerkan.
Secara bertahap keenceran susu dikurangi, sehingga suatu saat mencapai konsistensi normal
seperti susu biasanya. Jika anak sudah besar, bisa mulai dengan makanan encer, kemudian
makanan lunak (bubur) dan bila keadaan membaik, maka baru diberikan makanan padat
biasa. Dalam melaksanakan hal ini selalu diberikan pengobatan sesuai dengan penyakit yang
diderita. Bila keadaan kesehatan dan gizi sudah mencapai normal, perlu diteruskan dengan
imunisasi. Makanan yang dihidangkan diet tinggi kalori, protein, cairan, vitamin, dan
mineral. Bila diperlukan dilakukan pemberian cairan dan elektrolit.

Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah anak terkena Kwashiorkor adalah
mencukupi kebutuhan protein yang lengkap dengan mengkonsumsi sumber protein yang
dikombinasikan antara sumber protein hewani dan sumber protein nabati sehingga saling
melengkapi jumlah protein yang harus dikonsumsi bayi setiap hari. Hal ini bergantung pada
umur, berat badan, jenis kelamin, mutu protein yang dikonsumsi serta keadaan tertentu.
Umumnya tingkat kebutuhan protein anak dalam keadaan sehat normal membutuhkan
sekitar 40-60 gram protein tiap hari. Ada pula ahli yang menyebutkan konsumsi protein
1gr/kgBB perhari. Anak diterapkan diet yang seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup
lemak, dan protein untuk mencegah terjadinya Kwashiorkor.
ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
1. Identitas Pasien.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan; keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat peri
natal (tahap prenatal, tahap intranatal, tahap post natal), riwayat penyakit keluarga,
pengkajian psikososial, pengkajian lingkungan rumah dan komunitas, riwayat nutrisi,
dan riwayat pertumbuhan perkembangan.
3. Pemeriksaan Fisik; penampilan umum, pengukuran antopometri, otot, kontrol sistem
saraf, sistem gastrointestinal, sistem kardiovaskular, kelainan darah dan sumsum
tulang, pankreas dan kelenjar lain.
4. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis dan Intervensi Keperawatan


1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan asupan kalori dan
protein yang tidak adekuat.
Kriteria Hasil: Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai usianya.
Intervensi :
a. Ajarkan kepada orang tua tentang standar pertubuhan fisik dan tugas-tugas
perkembangan sesuai usia anak.
b. Kaji keadaan fisik kemampuan anak.
c. Lakukan pemberian makanan/minuman sesuai terapi diit pemulihan.
d. Lakukan program antropometrik secara berkala.
e. Lakukan stimulasi tingkat perkembangan sesuai dengan usia klien.
f. Lakukan rujukan ke lembaga pendukung stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan (puskesmas/posyandu).
Rasional:
a. Untuk meningkatkanpengetahuan keluarga tentang keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Untuk mengetahui pertumbuhan fisik dan tugas perkembangan anak yang
belum tercapai sesuai umur.
c. Diit khusus untuk pemulihan nutrisi sipogramkan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan anak dan kemampuan toleransi system pencernaan.
d. Untuk menilai perkembangan masalah klien.
e. Stimulasi diperlukan untuk mengejar keterlambatan perkembangan anak
dalam aspek motorik, bahasa, dan personal/sosial.
f. Mempertahankan kesinambungan program stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan memberdayakan sistem pendukung yang ada.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan yang
tidak adekuat, anoreksia, dan diare.
Kriteria Hasil: kebutuhan nutrisi klien adekuat.
Intervensi:
a. Kaji antropometri
b. Kaji pola makan klien.
c. Berikan intake makanan tinggi protein, kalori, mineral, dan vitamin.
d. Timbang berat badan.
e. Tingkat pemberian ASI dengan pemasukan nutrisi yang adekuat pada ibu.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional:
a. Untuk menentukan berat badan. Osteometri dan resiko berat berlemak, kurus.
b. Untuk mengetahui kebiasaan makan klien.
c. Untuk mempertahankan berat badan, kebutuhan memenuhi metabolik dan
meningkatkan penyembuhan.
d. Untuk menentukan diet dan mengetahui keefektifan terapi.
e. Pemberian ASI yang adekuat mempengaruhi kebutuhan nutrisi anak dan
pemasukan nutrisi pada ibu dapat meningkatkan produksi ASI ibu.
f. Untuk merencanakan masukan nutrisi dan cairan.

3. Gangguan kekurangan cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.


Kriteria Hasil: kebutuhan cairan pasien terpenuhi.
Intervensi:
a. Pantau tanda-tanda vital.
b. Ukur intake dan output.
c. Kaji terjadinya kulit kering, membran mukosa kering dan pengisian kapiler.
d. Pantau adanya edema.
e. Berikan cairan yang adekuat sesuai dengan kondisi.
f. Kolaborasikan untuk adanya pemberian cairan parenteral.
Rasional:
a. Untuk mengetahui keadaan umum klien.
b. Untuk mengetahui status keseimbangan cairan.
c. Menunjukan kehilangan cairan berlebih.
d. Edema dapat terjadi karena perpindahan cairan dan berkenaan dengan
penurunan kadar albumin serum/protein.
e. Untuk meminimalkan terjadinya dehidrasi.
f. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan elektrolit.

4. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan defisiensi vitamin A.


Kriteria hasil: tidak terjadi gangguan persepsi sensori (penglihatan).
Intervensi:
a. Kaji ketajaman penglihatan.
b. Dorong agar klien mengekspresikan perasaan tentang kehilangan atau
kemungkinan kehilangan penglihatan.
c. Lakukan tindakan untuk membantu klien menangani keterbatasan penglihatan.
Contoh: kurangi kekacauan, atur prabot, perbaiki sinar yang suram dan
masalah penglihatan malam.
d. Kolaborasikan untuk dilakukan Test adaptasi gelap.
e. Lakukan kolaborasi untuk pemberian obat sesuai indikasi, pemberian vitamin
Adalam dosis terapeutik yaitu vitamin A oral 50.000-75.000 IU/kgBB tidak
lebih dari 400.000-500.000 IU.
f. Lakukan kolaborasi untuk pengobatan kelainan pada mata.
Rasional:
a. Untuk mengetahui ketajaman penglihatan klien dan sumber penglihatan
menurut ukuran yang baku.
b. Pada saat intervensi dini mencegah kebutaan, klien menghadapi kemungkinan
kehilangan penglihatan sebagian atau total, meskipun kehilangan penglihatan
terlah terjadi tidak dapat diperbaiki meskipun dengan pengobatan kehilangan
lanjut dapat dicegah.
c. Untuk menurunkan bahaya keamanan sehubungan dengan perubahan lapang
pandang atau kehilangan penglihatan dan akomodasi pupil terhadap sinar
lingkungan.
d. Untuk mengetahui adanya kelainan atau abnormalitas dari fungsi penglihatan
klien.
e. Pemberian vitamin A dosis terapeutik dapat mengatasi gangguan penglihatan
secara teratur dapat mengembalikan penglihatan mata.
f. Untuk mengembalikan ke fungsi penglihatan yang baik dan mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut.

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi atau status


metabolik.
Kriteria Hasil: tidak terjadi gangguan integritas kulit pada klien.
Intervensi :
a. Observasi adanya kemerahan, pucat, dan ekskoriasi.
b. Gunakan krim kulit 2 kali sehari setelah mandi, pijat kulit, khususnya di
daerah diatas penonjolan tulang.
c. Lakukan perubahan posisi sering.
d. Tekankan pentingnya masukan nutrisi/cairan adekuat.
Rasional:
a. Area ini meningkat resikonya untuk kerusakan dan memerlukan pengobatan
dan perawatan lebih intensif.
b. Melicinkan kulit dan menurunkan gatal. Pemijatan sirkulasi pada kulit, dapat
meningkatkan tonus kulit.
c. Meningkatkan sirkulasi dan perfusi kulit dengan mencegah tekanan lamapada
jaringan.
d. Perbaikan nutrisi dan hidrasi akan memperbaiki kondisi kulit.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan faktor sekunder akibat malnutrisi


Kriteria Hasil: terjadi peningkatan toleransi pada klien serta klien dapat
berpartisipasi dalam aktifitas sesuai kemampuan klien.
Intervensi:
a. Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD selama dan sesudah
aktifitas.
b. Tingkatkan istirahat (ditempat tidur) dan batasi aktifitas pada dasar nyeri dan
berikan aktifitas sensori yang tidak berat.
c. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas.
d. Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak toleran terhadap aktifitas.
e. Fasilitasi klien memilih aktivitas yang mampu dilakukan secara mandiri dan
aktivitas yang memerlukan bantuan dari orang lain.
Rasional:
a. Mengetahui kondisi terkini klien sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
b. Menurunkan kinerja metabolisme tubuh dan mengurangi penggunaan energi.
c. Meningkatkan pengetahuan klien dalam perubahan bertahap pada tingkatan
aktifitas.
d. Mengetahui gangguan yang terjadi akibat klien tidak toleran pada suatu
aktivitas.
e. Meningkatkan kemampuan klien dalam beraktifitas secara bertahap dan
mengurangi resiko kecelakaan dari intoleransi aktivitas.

7. Kerusakan gigi berhubungan dengan penurunan asupan kalsium


Kriteria Hasil: kondisi gigi klien mulai membaik dan caries gigi berkurang.
Intervensi:
a. Kaji kondisi umum gigi klien.
b. Anjurkan klien gosok gigi 2x sehari.
c. Meningkatkan asupan kalsium klien untuk mengurangi karies gigi.
d. Informasikan kepada klien pentingnya asupan kalsium bagi tulang dan gigi.
Rasional:
a. Mengetahui kondisi umum gigi klien yang mengalami caries gigi.
b. Menjaga kebersihan mulut dan gigi untuk mengurangi pengeroposan gigi.
c. Kalsium merupakan bagain penting yang ada di gigi dan jika tubuh
kekurangan kalsium maka tubuh akan mengambil kalsium dari gigi.
d. Meningkatkan pengetahuan klien mengenai pentingnya kalsium.

8. Diare berhubungan dengan inflamasi GI, malabsorbsi lemak.


Kriteria Hasil: fungsi usus stabil, BAB anak berkurang dan konsistensi normal,
tanda-tanda dalam keadaan normal.
Intervensi:
a. Observasi tanda-tanda vital.
b. Observasi adanya demam, takikardi, ansietas dan kelemahan.
c. Observasi dan catat frekuensi BAB, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus.
d. Berikan masukan makanan dan cairan per oral secara bertahap.
e. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain terkait pemberian antibiotik (sesuai
indikasi).
Rasional:
a. Mengetahui keadaan umum klien.
b. Tanda terjadinya perforasi atau toksik megakolon.
c. Mengetahui keadaan klien dan membantu membedakan kondisi dan keparahan
penyakit.
d. Bertahap dapat memberikan periode istirahat pada kolon, sedangkan
pemasukan kembali mencegah kram dan diare.
e. Mengobati infeksi supuratif lokal.

9. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai penyakit.


Kriteria Hasil: menyatakan pemahamannya tentang proses penyakit, pengobatan,
dan dapat berpartisipasi dalam program perawatan.
Intervensi:
a. Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi.
b. Ajarkan teknik relaksasi: napas dalam untuk mengurangi kecemasan klien.
c. Informasikan kondisi klien dan kondisi penyakit yang dialami.
d. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh peningkatan
nyeri, edema/eritema luka, adanya drainase.
Rasional:
a. Memberikan informasi pada klien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa
tanpa menimbulkan masalah.
b. Untuk membantu klien memperoleh kenyamanan.
c. Pemahaman meningkatkan kerjasama dengan program terapi, meningkatkan
penyembuhan dan mengurangi tingkat kecemasan klien.
d. Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius dan mengurangi
kecemasan klien.

10. Resiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh rendah.


Kriteria Hasil: klien menunjukan bebas tanda infeksi/inflamasi, drainase purulen,
eritema, dan edema.
Intervensi:
a. Awasi TTV. Perhatikan demam, menggigil,berkeringat, perubahan mental,
meningkatkan nyeri abdomen.
b. Lakukan pencucian tangan yang benar dalam perawatan klien.
c. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien atau orang terdekat.
d. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Rasional:
a. Dugaan adanya infeksi.
b. Menurunkan resiko penyebaran bakteri.
c. Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosional,
membantu menurunkan ansietas.
d. Mencegah dan menurunkan penyebaran bakteri di rongga abdomen.

11. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan nutrisi.


Kriteria Hasil: klien memahami informasi terkait penyakit kwashiorkor adanya
perubahan prilaku dan berpartisipasi pada program perawatan.
Intervensi:
a. Memvalidasi tingkat pemahaman saat ini, mengidentifikasi pembelajaran
kebutuhan, dan menyediakan basis pengetahuan dari mana klien dapat
membuat keputusan.
b. Membantu identifikasi ide, sikap, rasa takut, kesalahpahaman, dan
kesenjangandalam pengetahuan tentang kwashiorkor.
c. Tentukan persepsi klien tentang perawatan kwashiorkor.
Rasional:
a. Mengidentifikasi pengetahuan klien, sehingga dapat memberikan pendidikan
kesehatan yang tepat.
b. Memudahkan pendidikan yang diberikan oleh perawat.
c. Persepsi klien mempengaruhi proses perawatan.

Das könnte Ihnen auch gefallen