Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
1
1.3 Manfaat Laporan Kasus
Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hematopneumotorak.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Luka robek pada punggung kanan atas.
2.2.2 Riwayat perjalanan penyakit
2
Pasien datang ke IGD dengan keluhan luka robek pada punggung kanan 4 jam
sebelum masuk ke rumah sakit. Luka robek terjadi karena terkena egrek yang jatuh dari
atas pelepah sawit yang tingginya 1 meter di atas kepala. Pasien mengeluh sesak napas
sejak sesaat setelah kejadian. Pasien tidak ada pingsan. Pasien kemudian langsung dibawa
ke puskesmas. Penanganan di puskesmas berupa pemasangan infus, melakukan
pemasangan tampon pada luka robek dan bebat tekan dengan menggunakan kassa.
Saat tiba di IGD pasien dalam keadaan sadar dan mengeluhkan sesak napas yang
tidak semakin memberat, nyeri pada dada kanan dan punggung kanan. Perdarahan pada
luka robek aktif.
Secondary Survey
Tekanan darah: 130/90 mmHg
Nadi : 93 x/menit, reguler
3
Pernapasan : 45 x/menit
Suhu : afebris
Kepala
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik-/-, reflek cahaya +/+, isokor, diameter 3
mm/3mm.
- Leher : jejas (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), deviasi trakea (-), distensi vena
jugularis (-)
Toraks
Paru :
- Inspeksi :
o Jejas pada thorak anterior (-). Jejas pada thoraks posterior (+)
o Pergerakan dinding dada asimetris, dada kanan tertinggal.
- Palpasi : Vokal fremitus kanan melemah, krepitasi (-).
- Perkusi : Redup di hemitoraks kanan, sonor di hemitoraks kiri.
- Auskultasi : Vesikuler menurun di lapangan paru kanan/+, Rh -/-, Wz -/-
Jantung :
- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung kanan : Linea sternalis dekstra.
Batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS
- Auskultasi : Suara jantung normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : perut datar, venektasi (-), penonjolan massa (-), ascites (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani
- Palpasi : perut supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Pitting Edema (-), clubbing finger (-), akral teraba hangat, CRT <2 detik, sianosis (-)
Status lokalis:
Regio thorakalis posterior dekstra:
Look : Tampak luka robek tepi tajam, ukuran 10 x 8 cm.
Feel : Dasar luka jaringan, krepitasi (-).
4
Lab. Darah rutin
15/10/2016
Hb 13,1 g/dl
Ht 38,7 %
MCV 92,4 fl
MCH 31,3 pg
MCHC 33,9 g/dl
Leukosit 13.800
Trombosit 236.000
BT 01.00
CT 01.30
Gol. darah O+
Rontgen Thoraks AP
Kesan : Tampak perselubungan homogen pada hemitoraks dekstra, pleural line (+), sudut
costo pherinus dekstra tumpul, deviasi trakea (-).
Kesimpulan: Hematopneumothorak dekstra
2.7 Penatalaksanaan
- Oksigen 8-10 L/menit (NRM)
- IVFD RL 15 tpm
- Lapixime 2x2gr IV
- Paramol 3x1gr drip IV
- Pasang kateter urin
- Cek lab. Darah rutin
- Rontgen thoraks AP
- Pro WSD
5
- Telah dilakukan pemasangan chest tube no 28 F pada sela iga ke 6 garis mid aksilaris
anterior dekstra dan dilakukan eksplorasi luka, tampak luka menembus rongga thoraks
dekstra. Luka telah dijahit dan dipasang drain.
- Inisial produk: keluar darah 100 cc, expiratory bubble (+), inspiratory bubble (+),
undulasi (+).
- Instruksi post op WSD:
- Oksigen 8-10 liter/menit NRM
- Head on bed 45-60
- IVFD RL 28 tetes/menit
- Lapixime 2x2gr IV
- Paramol 3 x 1gr IV
- Anitid 2x1 amp IV
- Vit K 2x1 amp IV
- Asam traneksamat 3x500mg IV
- Trolak 2x1 amp IV
- Rawat ruang ICU.
- Awasi keadaan umum dan tanda vital secara ketat.
- Awasi luka dan perdarahan drain.
- Awasi WSD.
- Cek Hb Transfusi PRC 1 labu jika Hb < 10 g/dl
- Anjuran Rontgen thoraks post WSD.
6
2.8 Follow Up
7
- Nadi 82 x/menit
- Pernapasan 15x/menit
- Temperatur 36,8 C
- Saturasi O2 100%
- Thoraks Dinding thoraks simetris, vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh
(-/-). Kassa kering. Pus (-)
- Drain
Produksi < 10 cc/ 24 jam
- WSD
Produksi 200cc / 24 jam
Bubble (-)
Undulasi (+) > 5 cm
A Post debridemant + WSD a/i hematopneumothoraks
dekstra hari 2
P - O2 2-4 liter/menit
- Head on bed 30-45
- IVFD RL 28 tetes/menit
- Cefotaxim 2x2gr IV
- Omeprazol 1x1 amp IV
- Tramadol 3x1 amp IV
- Metronidazol 3x1 Po
- Mobilisasi
- Diet ML
8
dekstra hari 3
P - O2 2-4 liter/menit (kp)
- Head on bed 30-45
- IVFD RL 28 tetes/menit
- Cefotaxim 2x2gr IV
- Omeprazol 1x1 amp IV
- Tramadol 3x1 amp IV
- Metronidazol 3x1 Po
- Mobilisasi
- Diet MB
- Aff kateter dan drain
- Pindah ke ruangan rawat bedah
9
- Nadi 80x/menit
- Pernapasan 20x/menit
- Temperatur 36,7 C
- Thoraks Dinding thoraks simetris, vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh
(-/-), kassa kering (+), pus (-).
- WSD
Produksi (-)
Bubble (-)
Undulasi (-)
A Post debridemant + WSD a/i hematopneumothoraks
dekstra hari 5
P - Head on bed 30-45
- IVFD RL 28 tetes/menit
- Cefotaxim 2x2gr IV
- Omeprazol 1x1 amp IV
- Tramadol 3x1 amp IV
- Metronidazol 3x1 Po
- Mobilisasi
- Diet MB
- Aff WSD
10
O
- Ku Tampak sakit sedang
- Kesadaran CM
- Tekanan Darah 120/ 80 mmHg
- Nadi 80x/menit
- Pernapasan 20x/menit
- Temperatur 36,7 C
- Thoraks Dinding thoraks simetris, vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh
(-/-), kassa kering (+), pus (-).
A Post debridemant + WSD a/i hematopneumothoraks
dekstra hari 7
P - Head on bed 30-45
- IVFD RL 28 tetes/menit
- Cefotaxim 2x2gr IV
- Omeprazol 1x1 amp IV
- Tramadol 3x1 amp IV
- Metronidazol 3x1 Po
- Mobilisasi
- Diet MB
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hematotoraks
3.1.1 Definisi Hematotoraks
Hemotoraks atau hematotoraks adalah terakumulasinya darah dalam rongga pleura.
Darah berasal dari pembuluh darah yang berada pada dinding dada, parenkim paru, jantung
atau pembuluh darah besar. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau
tembus pada dinding dada. Hal ini juga dapat merupakan komplikasi dari beberapa
penyakit.1
11
3. Laserasi jaringan paru
4. Laserasi otot dan pembuluh darah intercostal
5. Laserasi arteri mammaria interna
12
dapat mengalami syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang
nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.2
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan
dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis yang
muncul dapat dibagi menjadi respon hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon
hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah, sedangkan respon
respiratorik dapat berupa sesak napas dan takipnea.2
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdarahan dan
kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70-kg
seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-
1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal syok (yaitu, takikardia,
takipnea, dan penurunan tekanandarah).Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-
tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-
2000 mL).1
Efek pendesakan dari akumulasi darah dalam rongga pleura dapat menghambat
gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi dan oksigenasi bisa
terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada sehingga menyebabkan
pasien sesak dan takipnea. 4
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk penyakit
metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan respon
hemodinamik yang jelas, dan dispnea sering menjadi keluhan utama.4
Darah yang terakumulasi dalam rongga pleura akan mengalami lisis. Lisis sel darah
merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura dan peningkatan
tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik tinggi intrapleural menghasilkan
gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi
cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala
dapat berkembang menjadi besar dan bergejala.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari
hemothorax adalah empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada
hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat
mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.4
13
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemothorax yang
terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura viseral. Proses adhesive
ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya dan mencegah dari berkembang
sepenuhnya.2,5
14
- Akumulasi darah pada rongga pleura suara pekak saat diperkusi (Suara pekak
timbul akibat carian atau massa padat).
k. Adanya krepitasi saat palpasi jika terjadi fraktur iga.
3.1.6 Diagnosis
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Juga bisa didapatkan
keterangan bahwa penderita sebelumnya mengalami cedera pada dada. Pada pemeriksaan
fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin didapatkan gerakan napas
tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan. Pada perkusi didapatkan pekak dengan
batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan
menghilang.3
15
Gambar 2. CT-scan Hematotoraks
c. USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien yang
tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
3.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan hemodinamik
pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga pleura.
Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik adalah dengan resusitasi seperti
diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan
antibiotik.1,2
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks adalah
mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan cara:1,2,4
16
a. Chest tube (Tube thoracostomy drainage)
Tube thoracostomy drainage merupakan terapi utama untuk pasien dengan
hemothoraks. Insersi chest tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan udara.
Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran normal.
Indikasi untuk pemasangan thoraks tube antara lain:
1. Adanya udara pada rongga dada (pneumothoraks).
2. Perdarahan di rongga dada (hemothoraks).
3. Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax or hemothoraks)
4. Abses paru atau pus di rongga dada (empyema).
Langkah-langkah dalam pemasangan chest tube thoracostomy adalah sebagai
berikut:
1. Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
2. Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan menggunakan alkohol atau
povidin iodine pada ICS V atau VI linea midaksilaris anterior.
3. Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakn lidokain.
4. Selanjutnya insisi tranversal (horizontal) sekitar 2-3 cm pada tempat yg sudah di
tentukan.
5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat insisi
untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlengketan, bekuan
darah, dll.
6. Klem ujung proksimal tube torakostomidan dorong tube ke dalam rongga pleura
sesuai panjang yang diinginkan. Tube diarahkan ke sisi posterior toraks.
7. Sambung ujung tube torakostomi ke WSD (Water Sealed Drainage).
8. Jahit tube di tempatnya.
9. Tutup dengan kain/ kassa, plester.
10. Foto rontgen thoraks.
17
Gambar 4. Pemasangan Chest Tube
b. Thoracotomy.
Torakotomi merupakan prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi rongga dada ketika
hemothoraks massif atau terjadi perdarahan persisten. Thoracotomy juga dilakukan
ketika hemothoraks parah dan chest tube sendiri tidak dapat mengontrol perdarahan
sehingga operasi (thoracotomy) diperlukan untuk menghentikan perdarahan.
Perdarahan persisten atau berkelanjutan yang segera memerlukan tindakan operasi
untuk menghentikan sumber perdarahan di antaranya seperti ruptur aorta pada trauma
berat.
Operasi (Thoracotomy) diindikasikan apabila:
1. 1 liter atau lebih dievakuasi segera dengan chest tube.
2. Perdarahan persisten, sebanyak 150-200cc/jam selama 2-4 jam
3. Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik
4. Adanya sisa clot sebanyak 500cc atau lebih.
18
Gambar 5 . Prosedur torakotomi
c. Trombolitik agent.
Trombolitik agent digunakan untuk memecahkan bekuan darah pada chest tube atau
ketika bekuan telah membentuk massa di rongga pleura, tetapi hal ini sangat berisiko
karena dapat memicu terjadinya perdarahan dan perlu tindakan operasi segera.
3.2 Pneumothorak
3.2.1 Definisi Pneumothorak
Pneumothoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Pada keadaan normal rongga pleura tidak terisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Pneumothoraks yang terjadi pada orang sehat tanpa
adanya penyakit paru disebut sebagai pneumothoraks primer. Sedangkan pneumothoraks
yang disebabkan oleh penyakit paru disebut sebagai pneumothoraks sekunder.1,6
3.2.2 Klasifikasi Pneumothorak
a. Pneumotoraks spontan
1. Pneumotoraks Spontan Primer / PSP
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang sehat
dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Mekanisme yang diduga mendasari
terjadinya PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru. Udara yang terdapat di
ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis.
Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalami PSP mempunyai penyakit paru-paru
subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan
19
resiko terjadinya pneumotoraks ini.7
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak adanya
penyakit paru-paru yang mendasari Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang
atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga
pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen
sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat.7,8
b. Pneumotoraks Traumatik
1. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Suatu pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumothoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu : a) Pneumothoraks
Traumatik Iatrogenik Aksidental yaitu penumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan/komplikasi tindakan medis tersebut, b) Pneumothoraks Traumatik
Iatrogenik Artifisial yaitu penumothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi
udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.9
20
alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk
ke rongga intersisial dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum.
Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara
masuk ke rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung
sign di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks
persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik. 9
Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik juga dapat terjadi akibat barotrauma. Pada
suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga
apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang tersaturasi pada tubuh
meningkat 1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan
tekanan tersebut, udara yang terjebak dapat mengalami ruptur dan menyebabkan
pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada
penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan
sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan
secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat menyebabkan
pneumotoraks.9
21
Gambar 6. Open Pneumothoraks
22
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50%
volume paru).
23
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan7,9:
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dinding dada).
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal.
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar.
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat.
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit.
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit ditemukan hipersonor.
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi.
4. Auskultasi :
a. Pada sisi yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Thoraks
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat ditegakkan
24
pleura tersebut tampak lusen karena berisi kumpulan udara dan tidak
didapatkan corakan vaskuler pada daerah tersebut.
c. Bila pneumotoraks berat dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari paru-
paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih
padat dengan densitas seperti bayangan tumor.
d. Biasanya arah kolaps ke medial.
e. Perdorongan pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil.
f. Mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
g.
2. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
25
jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set.
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian
infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar
dari ujung infus set yang berada di dalam botol .
2) Jarum abbocath.
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula.
Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus
ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian
dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke
botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol.
26
Saat inspirasi, penutupan ini akan menyumbat luka dan mencegah udara masuk.
Saat ekspirasi, sisi yang terbuka dari penutup akan memungkinkan udara untuk keluar dari
rongga pleura. Chest tube sebaiknya dipasang sesegera mungkin.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUD INDRASARI dengan keluhan luka robek pada
punggung kanan atas akibat terkena egrek. Berdasarkan anamnesis, pasien telah
mengalami trauma tajam pada toraks posterior. Trauma tajam toraks yang menembus
dinding pleura dapat menyebabkan gangguan pada rongga pleura. Kondisi yang harus
dipikirkan adalah pneumotoraks (simple atau tension), hemotoraks, dan
hematopneumotoraks.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas sesaat setelah kejadian,
hal ini mendukung kecurigaan terjadinya pneumotoraks. Kemungkinan tension
pneumothorax pada pasien ini disingkirkan karena sesak napas pada pasien tidak bersifat
27
progresif, sebenarnya diperlukan pengukuran tekanan vena jugularis untuk lebih
menyingkirkan diagnosis banding tension pneumothorax, namun hal ini tidak dilakukan
saat pasien pertama kali masuk rumah sakit.
Pada primary survey dan secondary survey terdapat takipnea, hemitoraks dekstra
tertinggal, bunyi napas paru kanan menurun dan didapatkan perkusi redup pada hemitorak
dekstra pada posisi berbaring. Hal ini kurang mendukung untuk diagnosis pneumotoraks
dimana biasanya didapatkan bunyi hipersonor, temuan awal pada pasien lebih mendukung
kecurigaan terjadinya hemotoraks karena didapatkan bunyi pekak di bagian paru yang
terkena. Tanda vital pada pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi,
kemudian dilakukan tatalaksana kegawatdaruratan berupa pemberian bantuan oksigenasi
dan cairan intravena untuk memperbaiki fungsi respirasi dan mencegah terjadinya
gangguan sirkulasi.
Pada pasien trauma tembus toraks dengan hemodinamik stabil, pemeriksaan
radiologis sangat berguna untuk menentukan adanya hematotoraks atau pneumotoraks.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen toraks AP didapatkan
gambaran perselubungan homogen pada hemitoraks dekstra dan sudut costophrenikus yang
tumpul, hal ini mendukung adanya hemotoraks dekstra pada pasien. Selain itu juga
didapatkan adanya kesan pneumotoraks pada pasien karena terdapat gambaran pleural line
pada lobus superior hemitoraks dekstra. Hematopneumothorak yang terjadi pada pasien
tidak masif hal ini dilihat dari keadaan klinis pasien dimana sesak tidak bersifat progresif,
dari tanda vital hanya terjadi peningkatan pada laju pernapasan sedangkan status
hemodinamik masih stabil, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya deviasi trakea
dan pasien tidak tampak sianosis, hal ini didukung dengan gambaran radiologis yang tidak
memperlihatkan adanya deviasi trakea dan pendorongan mediatinum ke arah yang sehat.
Pemeriksaan penunjang yang belum dilakukan pada pasien ini adalah analisa gas
darah. Pemeriksaan ini seharusnya dilakukan karena keadaan pasien yang mengalami
gangguan fungsi pada parunya, sehingga perlu pemantauan keadaan oksigenasi pasien.
Prinsip penatalaksanaan hemotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga pleura.
Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan resusitasi yaitu
dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, transfusi darah serta dapat dilanjutkan
dengan pemberian analgesik serta antibiotik. Pada pasien ini hemodinamik stabil, tidak
28
ditemukan adanya tanda-tanda syok. Sehingga, stabilisasi dilanjutkan dengan pemberian
oksigenasi via NRM 10 liter/menit, pemberian cairan RL 20 tetes/menit, pemberian
analgesik berupa parasetamol infus dan antibiotik spektrum luas ceftriaxone 2 gram untuk
mencegah terjadinya infeksi. Selain itu juga diberikan anti tetanus karena luka yang terjadi
pada pasien termasuk luka kotor akibat terkena egrek.
Tindakan tatalaksana selanjutnya adalah pengeluaran cairan (darah) dari rongga
pleura dengan pemasangan WSD. Menurut referensi, hematopneumotoraks sebaiknya
ditangani dengan pemasangan WSD yang berfungsi sebagai terapi, diagnostik, dan
monitoring.
Sebagai terapi, pemasangan WSD bertujuan untuk re-ekspansi paru dan
mengeluarkan cairan dan udara dari rongga pleura. Dilakukan pemasangan WSD dengan
selang berukuran 28 F, dimana sebaiknya pemasangan WSD dilakukan dengan
menggunakan selang yang berukurang lebih besar 34 F sehingga darah serta bekuan darah
dapat dengan mudah dievakuasi pada hemitoraks kanan pasien. Setelah pemasangan WSD,
didapatkan produk inisial berupa darah sebanyak kurang lebih 100 cc. Adanya bubble pada
WSD memastikan diagnosis pneumotoraks pada pasien ini.
Pada rontgen toraks setelah pemasangan WSD, masih ditemukan cairan dalam
rongga pleura yang menandakan hemotoraks belum tertangani seluruhnya. Pada pasien ini
tidak dilakukan torakotomi karena hemotoraks yang terjadi tidak masif (kurang dari 1500
cc dalam waktu lebih dari satu jam atau 200cc/jam dalam 2-4 jam) maka dilakukan
observasi perdarahan setelah pemasangan WSD dan observasi tanda vital. Setelah
pemasangan WSD, kemudian pasien dapat dipindahkan keruang intensif untuk dilakukan
observasi.
29