Sie sind auf Seite 1von 5

KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG ASASI (AL-QAWAID AL-ASASIYAH)

A. PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYYAH


Materi fiqh itu banyak sekali, dan materi-materi yang banyak itu ada hal-hal yang serupa,
kemudian diikat dalam suatu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi kaidah fiqh. Oleh karena itu Abu
Zahrah mentarifkan kaidah fiqh dengan, Kumpulan hukum hukum yang serupa yang kembali
kepada suatu qiyas yang mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang
mengikatnya.(1)

T. H. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah fiqhiyyah dengan; Kaidah-


kaidah kulliyah itu tiada lain daripadam prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan
juziyyah-nya.(2)

Kaidah fiqhiyyah itu mencakup rahasia rahasia syara dan hikmah-hikmahnya yang
dengannya seluruh furu dapat diikat, dan dapat diketahui hukum-hukumnya serta dapat diselami
maksudnya.(3)

Jadi, kaidah kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masaalah masaalah furu (fiqh) menjadi
beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan kumpulan dari masaalah
masaalah yang serupa.

Sebagai contoh, ada kaidah fiqh yang berbunyi,

Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (dengan sampurna) jangan ditinggalkan
seluruhnya.

Maksudnya apabila kita melaksanakan sesuatu yang baik dan tidak sanggup melaksanakannya
secara keseluruhan dengan sempurna, maka sesuatu yang baik itu harus tetap dilaksanakan sesuai
dengan kemampuan yang ada.(4)

B. AL-QAWAID AL-KHAMSAH (LIMA KAIDAH ASASI)


1. Setiap perkara terngantung pada niatnya.
2. Keyakinan tidak bias dihilangkan karena adanya keraguan.
3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.
4. Kemudaratan (harus) dihilangkan.
5. Adat (dipertimbangkang di dalam) menetapkan hukum.

Kelima kaidah tersebut di bawah ini sangat masyhur di kalangan mazhab al-SyafiI khususnya
dan di kalangan mazhab-mazhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.(5)
Dalam tulisan ini, kami menguraikan kaidah yang kedua dari lima kaidah tersebut :

2. KAIDAH ASASI KEDUA


Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.

Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan
dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah
sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk
ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya (tajdid al-wudhu).

Kaedah kedua ini bersumber dari sabda Rasulullah saw.

Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul
kemusykilan apakah sesuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka janganlah keluar dari mesjid,
sehingga ia mendengar suara atau mendapatkan baunya. (Rw. Muslim).(6)

Di bidang muamalah :
Apabila ada bukti kuintansi seseorang berutang, kemudian timbul perselisihan tentang sudah
bayar menurut yang berutang dan belum bayar menurut yang mengutangkan, maka yang
dipegang perkataan yang mengutangkan, sebab yang meyakinkan adanya utang dengan bukti
tadi.

Dibidang Jinayah :
Apabila dihadapkan seorang tersangka ke hadapan hakim, maka bukti-bukti tidak cukup
sehingga meragukan apakah orang itu melakukan tindak pidana atau tidak, maka yang dipegang
adalah orang itu tidak melakukan tindakan pidana. Sebab yang meyakinkan adalah manusia itu
tidak salah. Akan tetapi, apabila terhadap yang meyakinkan tadi dating bukti-bukti lain yang
meyakinkan pula, maka kaidah tersebut tidak berlaku lagi. Yang digunakan adalah kaidah yang
merupakan cabang dari kaidah tersebut diatas yaitu:

keyakinan bisa dihilangkan dengan keyakinan lain yang tingkatnya sama

Dalam contoh diatas: Yakin sudah berwudhu, tapi juga kemudian yakin sudah batal, maka dia
dalam keadaan berhadats. Yakin berhadats tapi kemudian karena yakin sudah wudhu, maka
orang tadi dalam keadaan suci. Yakin punya utang tapi kemudian yakin pula utang sudah dibayar
(lunas) karena ada bukti pembayaran, maka dia bebas dari utangnya dan seterusnya.

Kaidah tersebut di atas antara lain didasarkan kepada Hadits Abdullah bin Zaid.

Dikemukakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang selalu merasa berhadats dalam
shalatnya Nabi menerangkan: Janganlah orang tersebut keluar dari shalatnya sampai dia
mendengar suara kentutnya atau mencium baunya. (Rw. Bukhari Muslim).(7)

Contoh : Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka
wudhu kita menjadi batal.
Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut
tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus
dihukum.
Ada bukti yang meyakinkan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan, oleh karenanya harus
dihukum tetapi, bila ada bbukti lain yang meyakinkan pula bahwa orang tersebut tidak ada di
tempat kejahatan waktu terjadinya kejahatan tersebut, melainkan sedang di luar negeri misalnya,
maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan. Karena keyakinan pertama
menjadi hilang dengan keyakinan kedua. Inilah yang disebut alibi di dunia hukum.

Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bias hilang kecuali dengan keyakinan lagi
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dirinya.(8)

Contoh :
KAIDAH ASASI KEDUA

Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.


Wanita yang sedang mensttruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia
wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain: apakah apabila orang ragu, apakah yang keluar itu
mani atau mazhi. Maka ia wajib mandi besar. Padahal ia ragu, yang keluar itu mani yang
mewajibkan mandi atau madhi yang tidak mewajibkan mandi. Contoh lain : baju seseorang
terkenak najis, tetapi ia tidak tau bagian mana yang terkenak najis. Maka ia wajib mencuci baju
seluruhnya atau sebagian yang diyakininya.

KAIDAH GHAIRU ASASIAH


Kaedah ghairu sasiah ada dua macam, yaitu kaidah ghairu asasiah al
muttafaqah ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah al
Mukhtalafah ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang
tidak dipertentangkan banyaknya ada empatpuluh kaidah. Kaidah ini tidak
asasi, tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting
dalam hukum islam, karena itu dalam kalangan fuqaha sepakat kehujjahan
kaidah ini. Dengan berpijak pada kaidah 40 ini akan dapat menentukan
berbagai macam hukum fara ( fiqh ) yang tak terhingga.
Tentu saja kaidah ini tidak terlepas dari sumber hukum , baik alquran
maupun al sunnah. Karena itulah kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah
( kaidah universal ).
Sedangkan kaidah yang muhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah.
Kaidah ini tidak diasumsikan dari dalil yang kuat, atau berdasarkan alternatif-
lternatif dalil saja, maka keberlakuan kaidah tersebut diperselisihkan, sebab
dengan begitu, seorang Mujtahid tidak selalu merujuk pada kaidah ushuliah
yang sebenarnya rumusan-rumusan ulama terdahulu, tetapi kadangkala
langsung merujuk pada aslinya. Kaidah yang diperselisihkan tidak dapat
dikuatkan satu terhadap yang lain, masing masing mempunyai peluang yang
sama dalam kebenarannya.
Kaidah al Muttafaqah
5. ???????? ?? ???? ?????????
ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad
maksud kaidah ini adalah ijtihad yang telah disepakati sebelumnya tidak
dapat diganggu gugat atas ijtihad yang baru, karena kedudukan masing-
masing hasil ijtihad sama, karena itu masing-masing ujtihad tidak ada
yang lebih istimewa, dan masing-masing tidak bisa saling membatalkan.
Namun demikin sifatnya tidak abadi, yakni hasil ijtihad dapat dibatalkan
dengan ijtihad yang lain dengan ketentun sebagai berikut :

a. ijtihad yang kedua lebih kuat daripada ijtihad pertama, misalnya qaul
jadid imam syafiI dapat mengubah qaul kadimnya.

b. Ijtihad terdahulu tidak relevan dengan kondisi atau keadaan yang


dihadapi dewasa ini, sehingga hasil ijtihad tersebut perlu direvisi,
sebagaimana kaidah fiqh nyatakan :

???????? ???????? ??????? ????? ??????? ????


Kerusakan keputusan ijtihad dapat diterima jika ternyata keputusan itu
bertentangan dengan nash atau ijma atau qiyas jaley. Menurut al Iraqy
pengguguran itu manakala bertentangan dengan kaidah kaidah kulli,
sedagkan menurut ulama Hanafi menggantungkan dengan tidak
berdasarkan dalil
Contoh : bila seseorang ingin shalat tetapi tidak menemukan air, maka ia
berijtihad untuk bertayammum, seusai shalat ia menemukan air, maka ia
tidak diwajibkan mengulang shalatnya
6. ??? ????? ?????? ??????? ??? ??????
Apabila terjdi suatu pertentangan terhadap hukum suatu masalah, satu
menghalalkan, dan yang lain mengharamkannya, maka yang dipilih dalah
hukum yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat
Contoh : menikahi dua bersaudara, yang satu merdeka dan yang lain
budak adalah dilarang berdasarkan surat al nisa ayat 22, dan berdasar
surat al nisa ayat 23 membolehkannya, maka menurut khalifah utsman
melarang menikahinya sesuai dengan kaidah diatas.
Demikian juga pertentangn hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud dari
Huzaim bin hakim dengan hadits riayat imam Muslim tentang bersenang
senang dengan istri yang menstruasi selain diantara pusar dan lutut ,
sedangkan imam Muslim hanya melarang bersetubuh saja maka
dimenangkan dalil yang pertama untuk berikhtiat berdasarkan kaidah
diatas. Termasuk dri bagian kaidah ini dalah :
????? ???? ??? ????? ????? ????? ???? ??????? ?? ????? ???
apabila aspek di rumah dengan aspek bepergian berkumpul dalam suatu
ibadah, maka dimenangkan yang aspek bepergin
misal : seorang yang telah berpuasa di rumah, kemudian di tengah
tengah siang ia bepergian, maka diharamkan berbuka puasa. Demikian
jug mengkodho shalat bepergian dilaksanakan dirumah atau sebaliknya,
maka tidak boleh diqoshor.
Kaidah lain nya :
?????? ??? ???????? ?????? ????? ???
apabila antara yang mencegah dan yang mengharuskan berlawanan
maka didahulukan yang mencegah
misal : ada orang mati sahid dalam keadaan junub yang harus mandi
janabat, sedangkan mati sahid dilarang dimandikan, maka berdasar
kaidah ini mayid tidak perlu dimandikan.
7. ???? ?????? ??? ?????? ???? ????????
tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan
kaidah ini bersumber dari perkataan Imam SyafiI bahwa kedudukan imam
( pemimpin ) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan
seorang wali terhadap anak yatim. Pernyataan ini bermuara pada
pernyataan Umar bin al Hattab sungguh aku menempatkan diriku
terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika
aku membutuhkan maka aku mengambil dari padanya, dan apabila ada
sisa akan aku kembalikan, dan ketika aku tidak membutuhkan niscaya
aku menjauhinya
Kaidah ini bertepatan dengan sabda Nabi :
( ??? ??? ?? ??????? ???? ) ????? ?? ????? ????? ??? ????
Aplikasi kaidah diatas husus dalam bidang pemerintahan, yang menyangkut
kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, karena itu setiap tindakan
pemimpin harus bertujuan memberi maslahah manusia, baik menarik
ebaikan maupun menolak kemadlaratan. Jika tindakan kebaikan pemimpin
ditafsirkan buruk oleh rakyatnya, maka kondisi demikian itu diperlukan
memperbanyak musyawarah, karena bagaimanapun keadaannya
pemerintah merupakan kristalisasi dari kehendak rakyatnya.
Kemaslahatan yang ditempuh oleh pemimpin harus mempertimbangkan
kemaslahatan yang lebih universal mencakup totalitas masyarakat , tidak
mementingkan kemaslahatan golongan atau individu.
8. ?????? ?? ?????? ?????
keluar dari pertentangan itu diutamakan
Untuk merealisasikan kaidah ini harus berpegang pada ketentuan
pemeliharaan pertentangan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
Tidak boleh mendatangkan pertentangan yang lain, karena itu
menghentikan shalat witir ( dengan 2 rakaat ) lebih utama dari pada
meneruskannya ( dengan 3 rakaat). Ketentuan ini ditolak oleh imam
Abu Hanifah

Das könnte Ihnen auch gefallen