Sie sind auf Seite 1von 8

ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN SPINA BIFIDA

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Defenisi

Spina Bifida (Sumbing Tulang


Belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari
satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Keadaan ini
biasanya terjadi pada minggu ke empat masa embrio.
Spina bifida adalah gagal menutupnya columna vertebralis pada masa perkembangan
fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan gangguan fusi tuba neural. Gangguan
fusi tuba neural terjadi sekitar minggu ketiga setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum
diketahui dengan jelas
Beberapa hipotesis terjadinya spina bifida antara lain adalah :
1) Terhentinya proses pembentukan tuba neural karena penyebab tertentu
2) Adanya tekanan yang berlebih dikanalis sentralis yang baru terbentuk sehingga menyebabkan
ruptur permukaan tuba neural
3) Adanya kerusakan pada dinding tuba neural yang baru terbentuk karena suatu penyebab.
( Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak, A.H. Markum:2002)

2. Etiologi
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi diduga akibat :
2.1 Genetik
2.2 Kekurangan asam folat dalam masa kehamilan.
2.3 Ibu dengan epilepsi yang menderita panas tinggi dalam kehamilannya dan mengkonsumsi obat
asam valproic

4. Manifestasi Klinik
Terdapat beberapa jenis spina bifida :
Spina bifida okulta (tersembunyi) : bila kelainan hanya sedikit, hanya ditandai oleh bintik,
tanda lahir merah anggur, atau ditumbuhi rambut dan bila medula spinalis dan meningens
normal.
Meningokel : bila kelainan tersebut besar, meningen mungkin keluar melalui medula
spinalis, membentuk kantung yang dipenuhi dengan CSF. Anak tidak mengalami paralise dan
mampu untuk mengembangkan kontrol kandung kemih dan usus. Terdapat kemungkinan
terjadinya infeksi bila kantung tersebut robek dan kelainan ini adalah masalah kosmetik sehingga
harus dioperasi.
Mielomeningokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana sebagian dari medula spinalis
turun ke dalam meningokel. Gejalanya berupa:
1) Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir.
2) Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.
3) Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki.
4) Penurunan sensasi.
5) Inkontinensia urin maupun inkontinensia tinja.
6) Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis)
5. Pencegahan
5.1 Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam folat.
5.2 Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus ditangani sebelum wanita tersebut hamil,
karena kelainan ini terjadi sangat dini.
5.3 Pada wanita hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4 mg/hari.
Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.

6. Pemeriksaan Diagnostik
6.1 USG
Untuk menetahui apakah ada kelainan spina bifida pada bayi yang dikandung adalah
melalui pemeriksaan USG. Hal itu dapat diketahui ketika usia bayi 20 minggu.
6.2 Pemeriksaan darah pada ibu
Dengan teknik AFP : hanya membutuhkan sedikit sampel darah dari lengan ibu dan tidak
beresiko terhadap janin. Bila hasil skrining positif biasanya diperlukan test lanjutan untuk
memastikan adanya kelainan genetik pada janin yang lahir kelak menderita cacat.
63 Pemeriksaan air ketuban ibu.

7. Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal adalah : Mengurangi kerusakan saraf akibat spina bifida
dan meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi).
7.1 Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk dan untuk mengobati
hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering
menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan
infeksi lainnya, diberikan antibiotik.
7.2 Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot.
7.3 Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya,
diberikan antibiotik.
7.4 Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan penekanan lembut diatas
kandung kemih.
7.5 Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki fungsi
saluran pencernaan
7.6 Untuk mengatasi gejala muskuloskeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur tangan dari
ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis
dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi.
7.7 Kadang pembedahan shunting untuk memperbaiki hidrosefalus akan menyebabkan
berkurangnya mielomeningokel secara spontan

8. Komplikasi
Terjadi pada salah satu syaraf yang terkena dengan menimbulkan suatu kerusakan pada
syaraf spinal cord, dengan itu dapat menimbulkan suatu komplikasi tergantung pada syaraf yang
rusak.

KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1.1 Pengumpulan Data
1) Orang tua klien mengungkapkan cemas
Orang tua klien meminta informasi tentang tindakan yang dilakukan
Orang tua klien sering bertanya tentang penyakit anaknya
Orang tua tampak gelisah
Klien tidak dapat mengerakkan kakinya
Tampak penonjolan seperti kantung di punggung tengah klien
Orang tua klien mengeluh anaknya terus berkemih dalam jumlah besar
Enuresis
Diurnal
Nokturnal

1.2 Klasifikasi Data


Data Subyektif Data Obyektif
Orang tua klien mengungkapkan cemas Enuresis
Orang tua klien mengeluh anaknya terus Diurnal
berkemih dalam jumlah besar Nokturnal
Orang tua klien meminta informasi tentang
tindakan yang dilakukan
Orang tua klien sering bertanya tentang
penyakit anaknya
Orang tua tampak gelisah
Klien tidak dapat mengerakkan kakinya
Tampak penonjolan seperti kantung di
punggung tengah klien

1.3 Analisa Data


No Symptom Etiologi Problem
1 DS : Penonjolan dari korda Inkontinensia Urin
Orang tua klien mengeluh spinalis dan akar saraf
anaknya terus berkemih Penurunan/gangguan fungsi
dalam jumlah besar pada bagian tubuh yang
DO : dipersarafi
Enuresis Ketidakmampuan mengontrol
pola berkemih
Diurnal
Inkontinensia Urin
Nokturnal
2 DS : Penurunan/gangguan fungsi Kurang
Klien mengungkapkan cemas pada bagian tubuh yang Pengetahuan
dipersarafi
DO :
Orangtua cemas
Orang tua klien meminta Kurang terpajan informasi
informasi tentang tindakan
yang dilakukan Kurang Pengetahuan
Orang tua klien sering
bertanya tentang penyakit
anaknya
Orang tua tampak gelisah
3 DS : - Penurunan/gangguan fungsi Resiko Kerusakan
DO : - pada bagian tubuh yang Integritas Kulit
dipersarafi
Kelumpuhan/kelemahan pada
ekstremitas bawah
Immobilisasi
Resiko Kerusakan
Integritas Kulit

2. Diagnosa Keperawatan
2.1 Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol keinginan berkemih.
2.2 Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan penanganan penyakit anaknya
berhubungan dengan kurang terpajan informasi.
2.3 Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

3. Intervensi Keperawatan
3.1 Dx 1 : Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol keinginan
berkemih
Tujuan : Inkontinensia urin dapat berkurang/teratasi
Kriteria hasil :
1) Enuresis, diurnal dan nokturnal berkurang/tidak ada
2) Klien berkemih dalam jumlah dan frekuensi yang normal
Intervensi:
1) Kaji pola berkemih dan tingkat inkontinensia klien
Rasional : Sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya
2) Berikan perawatan pada kulit klien yang basah karena urin (dilap dengan air hangat kemudian
dilap kering dan diberi bedak)
Rasional : Perawatan yang baik dapat mencegah iritasi pada kulit klien
3) Anjurkan ibu klien untuk sering memeriksa popok klien, jika basah segera diganti
Rasional : Popok yang selalu basah dapat menimbulkan iritasi dan lecet pada kulit
4) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat (misalnya: Antikolinergik)
Rasional : Obat antikolinergik diperlukan untuk menghilangkan kontraksi kandung kemih tak
terhambat
3.2 Dx 2 : Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan penanganan penyakit
anaknya berhubungan dengan kurang terpajan informasi
Tujuan: Orang tua klien dapat memahami proses penyakit dan prosedur penanganan penyakit anaknya
Kriteria hasil :
1) Orang tua klien tampak tenang
2) Orang tua klien dapat menjelaskan proses penyakit dan prosedur penanganan penyakit anaknya
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit dan penanganan penyakit
anaknya
Rasional : Sebagai data dasar dalam emnentukan intervensi selanjutnya
2) Berikan kesempatan kepada orang tua klien untuk bertanya
Rasional : Memberikan jalan untuk mengekspresikan perasaannya dan mengetahui pemahaman
orang tua klien tentang penyakit anaknya
3) Jelaskan dengan baik kepada orang tua tentang proses penyakit dan prosedur penanganannya
Rasional : Menigkatkan pemahaman orang tua klien tentang penyakitnya anaknya
4) Berikan dukungan positif kepada orang tua klien
Rasional : Dukungan yang positif dapat memberikan semangat kepada orang tua untuk menerima
penyakit anaknya dan membantu proses perawatan.

3.3 Dx 3 : Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi


Tujuan: Kerusakan integritas kulit tidak terjadi
Kriteri hasil :
1) Kulit tampak halus dan lembut
2) Tidak ada iritasi/lecet, dekubitus
Intervensi:
1) Kaji tingkat keterbatasan gerak (immobilisasi) klien
Rasional : Sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya

2) Rubah posisi klien setiap dua jam


Rasional : Penekanan yang lama pada salah satu bagian tubuh dapat menyebabkan terjadinya
dekubitus
3) Jaga pakaian dan linen tetap kering
Rasional : Pakaian dan linen yang basah dapat mengiritasi kulit
4) Ajarkan pada orang tua klien untuk memassage daerah yang tertekan, gunakan lotion
Rasional : Memperlancar peredaran darah, meningkatkan relaksasi dan mencegah iritasi

DAFTAR PUSTAKA
Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : EGC, 2002.Media Aesculapius. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. Jakarta: MA, 2000.Whaleys and Wong. Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik. Edisi 4.Jakarta : EGC, 2003.

Das könnte Ihnen auch gefallen