Sie sind auf Seite 1von 62

FERMENTASI BIJI KOPI MENGGUNAKAN BAKTERI

SELULOLITIK, XILANOLITIK DAN PROTEOLITIK ASAL


LUWAK

SKRIPSI

SITI ZAHIROH
F34080074

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
BEANS COFFEE FERMENTATION USING CELLULOLYTIC, XYLANOLYTIC
AND PROTEOLYTIC BACTERIA FROM CIVET

Siti Zahiroh, Erliza Noor and Anja Meryandini


Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering
Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, P.O. Box 220 Bogor 16002
West Java, Indonesia
e-mail: siti.zahiroh@yahoo.com

ABSTRACT

Civet coffee is fermented coffee which is produced naturally in the digestive tract of mongoose.
The production of civet coffee is relied on the availability of the civet, therefore the production is
costly. This research aim was to produce synthetic civet coffee by enzymatic fermentation.The
enzymes were produced by cellulolytic, xylanolytic, and proteolytic bacteria that were isolated from
civet feces. The combination treatment was examined the highest enzymatic production from different
bacteriawiththe variation oftemperature during four days. During the fermentation, the produced
enzymes were used for hidrolize the substrate. Enzymatic process was determined by changing the
total and reducing of sugar, weight losses, protein content and the enzyme activity produced in the
substrate. The fermentation was done by cellulolytic bacteria and combination of threebacteria.
Alltreatment were resulledan approximate similarcaffein reduction (48%), however the nutrition
content indicated by organic acid were shown that thecoffee fermentation has a low oxalic acid and
higher butyric, lactic and ascorbic acid.

Keywords :cellulolytic bacteria, proteolticybacteria,xylanolytic bacteria, civet feces, coffee pulp,


fermentation
Siti Zahiroh. F34080074. Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan
Proteolitik Asal Luwak.Dibawah bimbingan Erliza Noor dan Anja Meryandini. 2013.

RINGKASAN

Kopi merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang potensial di Indonesia. Jenis kopi
yang tumbuh di Indonesia ada dua, yaitu kopi Robusta dan Arabika. Selain kedua jenis kopi tersebut,
di Indonesia juga terdapat jenis kopi olahan lain yang mempunyai karakteristik berbeda yaitu kopi
luwak. Kopi luwak diproduksi dari biji kopi yang difermentasi secara alami di dalam saluran
pencernaan luwak dan dikeluarkan kembali sebagai biji kopi yang diselimuti kulit tanduk yang masih
utuh tidak tercerna di dalam feses hewan luwak. Harga jual kopi luwak cukup tinggi sehingga sangat
menguntungkan bagi para pegolah kopi tersebut. Penyebab mahalnya kopi luwak adalah rasa khas
yang disebabkan oleh pengaruh enzim-enzim dari perut luwak tersebut. Oleh karena itu, diperlukan
suatu teknologi alternatif berupa metode fermentasi kopi luwak secara enzimatis menggunakan bakteri
yang berasal dari feses luwak.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kombinasi perlakuan terbaik dari isolat bakteri
dalam kemampuannya menghidrolisis substrat berupa kulit kopi pada proses fermentasi dengan waktu
dan suhu optimal, dan mengetahui perubahan asam organik serta kadar kafein. Bakteri yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu selulolitik, proteolitik dan xilanolitik yang telah diisolasi dari
feses luwak.
Penelitian ini dilakukan menjadi dua tahap, yaitu seleksi terhadap bakteri proteolitik dengan
beberapa parameter yang diamati yaitu zona bening, kurva tumbuh, aktivitas enzim, total plate count
(TPC), kadar protein dan aktivitas spesifik yang diperoleh dari hasil pembagian kadar protein dengan
aktivitas enzimnya. Fermentasi padat secara enzimatis menggunakan bakteri terbaik (FLs1, FLp1 dan
FLx3) dan dilakukan kombinasi bakteri.Pada perlakuan bakteri tunggal yaitu dengan selulolitik
(FLs1), kombinasi dua bakteri yaitu selulolitik (FLs1) dan proteolitik (FLp1), dan kombinasi tiga
bakteri yaitu selulolitik (FLs1), xilanolitik (FLx3) dan proteolitik (FLp1). Fermentasi dilakukan
selama 4 hari pada suhu 30oC dan 37oC. Setiap 24 jam dilakukan pengujian pada cairan hasil
fermentasi yaitu aktivitas enzim, gula pereduksi, gula total, kadar protein, dan aktivitas spesifik enzim
serta susut bobot pada kulit kopi. Biji kopinya diamati perubahan asam-asam organik dan kadar kafein
menggunakan High Performance Liquid Chromatography HPLC.
Bakteri proteolitik pada isolat FLp1 dan FLp2 dapat tumbuh dengan baik dan memiliki
kemampuan untuk mendegradasi media pertumbuhannya. Isolat FLp1 merupakan isolat yang terbaik
pada seleksi bakteri proteolitik dengan nilai aktivitas enzim tertinggi yaitu sebesar 1.4 unit/ml,
sehingga dapat digunakan sebagai starter untuk mendegradasi substrat kulit kopi pada proses
fermentasi.
Fermentasi dengan perlakuan bakteri tunggal yaitu dengan selulolitik menunjukkan aktivitas
enzim lebih tinggi pada suhu 30oC sebesar 78 mU/ml selama dua hari fermentasi dibandingkan
dengan perlakuan pada suhu 37oC. Gula pereduksi yang diperoleh sebesar 27.831 mg/ml dan gula
total sebesar 1512.717 mg/ml, serta penurunan bobot sebesar 28.386%.
Fermentasi dengan perlakuan kombinasi dua bakteri yaitu dengan selulolitik dan proteolitik
menunjukkan aktivitas enzim selulolitik lebih tinggi pada suhu 30oC sebesar 87 mU/ml selama dua
hari fermentasi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 37oC, dan aktivitas enzim proteolitik
tertinggi sebesar 1.822 unit/ml selama 24 jam.Gula pereduksi yang diperoleh sebesar 27.803 mg/ml
dan gula total sebesar 1459.865 mg/ml, serta penurunan bobot sebesar 31.388%.
Fermentasi dengan perlakuan kombinasi tiga bakteri yaitu dengan selulolitik, xilanolitik dan
proteolitik menunjukkan aktivitas enzim selulolitik dan xilanolitik lebih tinggi pada suhu 30oC sebesar
113 mU/ml selama tiga hari fermentasi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 37oC, dan aktivitas
enzim proteolitik tertinggi sebesar 1.509 unit/ml selama 24 jam. Gula pereduksi yang diperoleh
sebesar 55.986 mg/ml dan gula total sebesar 1623.753 mg/ml, serta penurunan bobot sebesar
43.462%.
Hasil analisa pada biji kopi terbaik hasil fermentasi menunjukkan perubahan pada asam
organik dan kafein. Hal ini dibuktikan dengan hasil asam oksalat dan kadar kafein yang lebih rendah
dibandingkan kopi luwak, serta tingginya asam butirat, asam laktat dan asam askorbat. Berdasarkan
kandungan nutrisinya, kopi luwak enzimatis ini lebih baik dari kopi luwak. Perlu dikaji analisa dengan
pengujian organoleptik, sehingga dapat mengetahui aroma dan rasa terhadap kopi hasil fermentasi
secara enzimatis.
FERMENTASI BIJI KOPI MENGGUNAKAN BAKTERI
SELULOLITIK, XILANOLITIK DAN PROTEOLITIK ASAL
LUWAK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SITI ZAHIROH
F34080074

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik
dan Proteolitik Asal Luwak
Nama : Siti Zahiroh
NRP : F34080074

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Ir. Erliza Noor) (Prof. Dr. Anja Meryandini, MS)NIP.
19600201198703 2 002 NIP. 19620327 198703 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)


NIP. 19621009 198903 2 001

Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Fermentasi Biji
Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan ProteolitikAsal Luwak adalah hasil karya
saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun
pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2013


Yang membuat pernyataan

Siti Zahiroh
F34080074
Hak cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, microfilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 16 September 1990. Penulis


merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sudarto
dan Ibu Nartiyah. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah
dasar di SD Negeri 6 PG Duren Sawit, Jakarta Timur kemudian melanjutkan
pendidikan di SMP Rimba Teruna, Bogor pada tahun yang sama. Pendidikan
selanjutnya ditempuh pada tahun 2005 di SMA Negeri 9 Bogor dan lulus pada
tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2008
melalui Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menuntut ilmu di IPB,
penulis aktif dalam berbagai kegiatan di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin).
Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Minyak Atsiri, mata kuliah Analisis Bahan
dan Produk Agroindustri (ABPA) (2012). Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2011 di
pabrik gula, PG. Ngadiredjo, Kediri, Jawa Timur dengan judul Mempelajari Aspek Proses Produksi
Gula dan Pengolahan Limbah di PG. Ngadiredjo PTPN X, Jawa Timur. Penulis melakukan
penelitian untuk memperoleh gelar sarjana dengan judul Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri
Selulolitik, Xilanolitik dan Proteolitik Asal Luwak di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor dan
Prof. Dr. Anja Meryandini, MS.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul
FermentasiBiji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan ProteolitikAsal Luwak.
Shalawat serta salam senantiasa teriring kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah mendidik generasi
terbaik menuju kehidupan mulia seluruh umat manusia.
Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis telah berhasil menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak membantu dalam
proses berlangsungnya penelitian ini serta membimbing dan mengarahkan penulis dalam berbagai
kegiatan akademik termasuk penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S selaku dosen pembimbing pendamping yang telah mengarahkan
dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen penguji atas kritik dan saran yang diberikan kepada
penulis.
4. Kedua orang tua tercinta yang dengan tulus dan tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang
dan memberikan nasihat dan semangat serta mendoakan penulis, serta kakak dan adikku tersayang
atas nasihat dan semangat yang diberikan.
5. Ibu Nelly Pohan, yang telah mengasuh penulis dan selalu memberikan doa dan semangat hingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Hazi, Kak Sri, Mbak Tiwik, Kak Pandu, Kak Ukit, Kak Eka, Kak Ike, Kak Janet, Kak Yesi, Bu
Dewi, Teh Ipit, Anton dan Pak Iswadi atas bantuan, nasihat dan dukungan semangat yang
diberikan selama penelitian berlangsung.
7. Seluruh teknisi dan laboran Lab. Bioteknologi Hewan, Lab. Instrumen 2, Lab Bioindustri dan Lab.
Mikrobiologi (SEAFAST) atas bantuan dan arahannya.
8. Arum Nur Fitrah dan Amina Kurniasi Alu, terima kasih atas persahabatan yang terjalin selama ini.
9. Teman-teman TIN 45 atas dukungan dan kebersamaannya yang telah diberikan selama ini serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi
yang nyata bagi pembaca.

Bogor, April 2013

Siti Zahiroh

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kopi ............................................................................................................................. 3
2.2Luwak ........................................................................................................................... 4
2.3 Fermentasi Media Padat ................................................................................................ 5
2.4 Enzim ........................................................................................................................... 6
2.5 Enzim Selulase ............................................................................................................. 7
2.6 Enzim Protease ............................................................................................................. 8
2.7 Enzim Xilanase............................................................................................................. 9
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 11
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................................. 11
3.3 Metode Penelitian ......................................................................................................... 11
3.3.1 Penelitian Pendahuluan ........................................................................................ 11
3.3.2 Penelitian Utama ................................................................................................. 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................................................. 14
4.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik .................................................................................... 14
4.1.2 Karakteisasi Biji dan Kulit Kopi ........................................................................... 18
4.2 Penelitian Utama .......................................................................................................... 18
4.2.1 Produksi Enzim Pada Kulit Kopi .......................................................................... 19
4.2.2 Kadar Protein dan Aktivitas Enzim Spesifik ......................................................... 22
4.2.3 Gula Total dan Gula Pereduksi ............................................................................. 23
4.2.4 Susut Bobot ......................................................................................................... 25
4.3 Kualitas Biji Kopi Hasil Fermentasi .............................................................................. 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 30
5.2 Saran ........................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 31
LAMPIRAN ........................................................................................................................... 36

ii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia pada pulp kopi ................................................................................ 4
Tabel 2. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat ...................................... 6
Tabel 3. Hasil analisa kimia biji dan kulit kopi ......................................................................... 18
Tabel 4. Aktivitas enzim protease selama fermentasi pada suhu 30oC dan 37oC......................... 19
Tabel 5. Aktivitas enzim selulase dan xilanase selama fermentasi ............................................. 21
Tabel 6. Perubahan kadar protein selama fermentasi ................................................................. 22
Tabel 7. Aktivitas enzim spesifik selama fermentasi ................................................................. 23
Tabel 8. Perubahan gula total selama fermentasi....................................................................... 24
Tabel 9. Perubahan gula pereduksi selama fermentasi ............................................................... 25
Tabel 10. Perubahan susut bobot selama fermentasi.................................................................. 26
Tabel 11. Hasil analisa biji kopi menggunakan HPLC .............................................................. 27

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Bagian-bagian buah kopi ....................................................................................... 4
Gambar 2. Biji kopi hasil fermentasi luwak dalam penangkaran .............................................. 5
Gambar 3. Skema hidrolisis enzimatik selulosa oleh kompleks selulase .................................. 8
Gambar 4. Pembentukan zona bening di sekitar koloni bakteri (a) FLp1 dan (b) FLp2 pada
media NA dengan susu skim diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam ................ 14
Gambar 5. Kurva tumbuh bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim diinkubasi
dengan suhu 300 C selama 54 jam .......................................................................... 15
Gambar 6. Kurva aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media nutrient broth
skimdiinkubasidengan suhu 300 C selama 54 jam ................................................... 16
Gambar 7. Kurva kadar protein dan aktivitas enzim spesifikbakteri proteolitik pada media
nutrient broth skimdiinkubasidengan suhu 300 C selama 54 jam............................. 17
Gambar 8. Penurunan kadar kafein biji kopi setelah fermentasi dan kopi luwak....................... 28

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1Komposisi Media dan Pereaksi. .............................................................................. 37
Lampiran 2.Prosedur Analisis Proksimat Biji dan Kulit Kopi.................................................... 39
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi..................................................................... 41
Lampiran 4. Prosedur Uji Aktivitas EnzimProtease .................................................................. 45
Lampiran 5. Prosedur Uji Aktivitas EnzimSelulase dan Xilanase ................................................46
Lampiran 6. Pengukuran Kadar Protein dengan Metode Bradford ............................................. 47

v
I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kopi merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan di Indonesia yang penting untuk ekspor,
karenatelah memberikan sumbangan devisa bagi negara. Kopi bukan merupakan tanaman asli
Indonesia, namun berasal dari Afrika. Produksi kopi tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia
dan sebagian besar komoditas kopi dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Penduduk Indonesia banyak
menikmati kopi sebagai minuman penyegar dengan cita rasa sangat khas. Pengembangan produk kopi
dengan berbagai pengolahan memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia.
Jenis kopi yang tumbuh di Indonesia ada dua, yaitu kopi Robusta dan Arabika. Kopi Robusta
berasal dari tanaman Coffea canephora, sedangkan kopi Arabika berasal dari tanaman Coffea arabica.
Selain kedua jenis kopi tersebut, di Indonesia juga terdapat jenis kopi olahan lain yang mempunyai
karakteristik berbeda yaitu kopi luwak. Kopi luwak tidak berasal dari spesies kopi khusus, namun
berasal dari kotoran hewan luwak. Kopi yang dimakan luwak hanya mengalami pencernaan sebagian
dengan biji diselimuti kulit tanduk yang masih utuh, namun terjadi perubahan citarasa yang memiliki
nilai jual tinggi. Faktor kebersihan dan kesehatan belum terlalu meyakinkan bagi konsumen karena
kopi luwak dikeluarkan bersamaan dengan feses luwak.
Kopi luwak berasal dari buah kopi yang dimakan oleh luwak (Paradoxurus hermaphroditus),
sejenis mamalia kecil yang menyerupai musang dan merupakan hewan liar. Luwak melakukan seleksi
terhadap kopi yang akan dimakan yaitu hanya buah kopi yang telah benar-benar matang. Harga jual
kopi luwak cukup tinggi sehingga sangat menguntungkan bagi para pengolah kopi tersebut. Penyebab
mahalnya kopi luwak adalah karena jumlahnya yang sangat terbatas. Dalam keadaan sehat, luwak
mampu memakan sekitar 1 - 1,5 kg biji kopi gelondongan dan menghasilkan 2 ons biji kopi kering.
Proses fermentasi menjadikan kopi luwak rendah kafein, dengan aroma yang khas, lebih harum dan
dengan rasa yang lebih nikmat (Buldani 2011).
Produksi kopi luwak dalam skala besar memerlukan penanganan yang baik agar diperoleh biji
kopi dengan kualitas yang baik. Salah satu tahapan penting dalam penanganan pasca panen kopi
adalah proses fermentasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi alternatif berupa metode
fermentasi kopi luwak untuk proses produksi dalam jumlah yang besar. Pada fermentasi padat, media
merupakan faktor penting yang mendukung pertumbuhandan pembentukanenzimolehkultur. Enzim
merupakan molekul biopolimer yang tersusun atas serangkaian asam amino dalam komposisi dan
susunan rantai yang teratur dan tetap, dan enzim dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
industri.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Dewi (2012),yaitu isolasi dan seleksi bakteri
xilanolitik dan selulolitik dari feses luwak yang mampu mendegradasi kulit kopi. Untuk bakteri
xilanolitik menggunakan FLx3 dan FLs1 untuk bakteri selulolitik, sedangkan pada bakteri proteolitik
terdapat dua isolat yaitu FLp1 dan FLp2 yang belum dilakukan seleksi. Setelah fermentasi, maka kulit
kopi yang ditambahkan bakteri xilanolitik dan selulolitik mengalami penurunan bobot dan adanya
perubahan struktur pada serat. Pada penelitian ini, akan dilakukan pembuatan kopi luwak sintetis
secara enzimatis menggunakan 3 jenis bakteri terbaik dengan berbagai kombinasi menggunakan kopi
Arabika yang telah diseleksi yaitu buah kopi yang telah matang dan berwarna merah.

1
1.2 TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Memperoleh isolat terbaik dari bakteri proteolitik dengan indikator peningkatan aktivitas enzim
tertinggi.
2. Mendapatkan perlakuan terbaik dari isolat bakteri (FLs1, FLp1 dan FLx3) melalui proses
fermentasi pada kombinasi bakteri dengan suhu 300 C dan 370 C selama empat hari.
3. Mendapatkan kopi hasil fermentasi yang setara kopi luwak.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KOPI

Kopi termasuk dalam kelompok tanaman semak dengan genus Coffea dan termasuk dalamfamili
Rubiaceae. Beberapa jenis kopi yang banyak dijumpai yaitu Coffea Arabica (kopi Arabika), Coffea
Robusta (kopi Robusta)dan Coffea Liberica (kopi Liberika). Tanaman kopi berasal dari Abessinia
yang merupakan daerah tumbuh pada dataran tinggi. Di Indonesia, Robusta dan Arabika merupakan
jenis kopi yang paling banyak ditanam. Tanaman kopi Robusta tumbuh baik di dataran rendah pada
ketinggian sekitar 1000 m diatas permukaan laut dengan suhu sekitar 200C. Tanaman kopi Arabika
tumbuh pada daerah-daerah dengan ketinggian sekitar 1700 m diatas permukaan laut dengan suhu
sekitar 10-160C. Tanaman kopi Liberika dapat tumbuh di dataran rendah. Untuk tumbuh subur, kopi
memerlukan curah hujan sekitar 2000-3000 mm setiap tahunnya serta memerlukan waktu musim
kering sekurang-kurangnya 1-2 bulan pada waktu berbunga dan pada waktu musim pemetikan buah.
Setelah berumur 4-5 tahun akan mulai berbuah tergantung pada pemeliharaan dan iklim setempat
dengan hasil yang optimal mulai umur 8 tahun serta dapat berbuah selama 15-18 tahun, jika
pemeliharaan tanaman kopi dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan buah hingga umur
sekitar 30 tahun (Ridwansyah 2003).
Menurut Siswoputranto (1993), secara umum buah kopi Arabika akan matang setelah 8 bulan dari
saat pembuahan, sedangkan pada kopi Robusta akan matang setelah 10 bulan. Buah kopi yang telah
matang di pohon akan berwarna merah pada kulit buahnya dan matang tidak dalam waktu yang
serentak semua, walaupun berasal dari satu kumpulan buah maupun dari asal cabang yang sama. Oleh
karena itu, proses pemetikan buah kopi harus dilakukan secara manual dan selektif terhadap buah
yang telah matang saja untuk dapat menghasilkan kopi yang bermutu baik.Klasifikasi tanaman kopi
menurut Hasbi (2009) dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta (tanaman berbiji)
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dycotiledoneae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Coffea
Spesies : Coffea sp.

Buah kopi terdiri atas empat bagian, yaitu : biji kopi (endosperm), kulit biji (endokarp), lapisan
lendir (mucilage atau mesokarp) dan pulp (eksokarp). Pengolahan buah kopi sehingga menjadi kopi
beras menghasilkan empat macam hasil samping, yaitu: pulp kopi, lendir (mucilage), air bekas
pencucian dan kulit biji kopi. Pulp kopi merupakan limbah pertama yang diperoleh dalam pengolahan
buah kopi dan merupakan bagian terbesar dari hasil samping yang dihasilkan.Daging buah kopi merah
yang telah masak mengandung lendir dan senyawa gula yang rasanya manis. Lapisan lendir ini pada
buah muda sangat sedikit dan bertambah hingga buah masak kemudian berkurang apabila buah telah
lewat matang(Yusianto dan Mulato 2003). Bagian-bagian pada buah kopi disajikan pada Gambar 1
dan Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia pulp kopi.

3
Lapisan kulit luar
Lapisan daging buah
Lapisan kulit tanduk
Kulit ari

Biji

Gambar 1. Bagian-bagian buah kopi


Sumber : Najiyanti dan Danarti (2006)

Tabel 1. Komposisi kimia pada pulp kopi


Komponen Segar Kering Fermentasi alamiah dan kering
Air (%) 76,7 12,6 7,9
Bahan kering (%) 23,3 87,4 92,1
Lemak (%) 0,48 2,5 2,6
Serat (%) 3,4 21,0 20,8
Protein (N x 6,25) (%) 2,1 11,2 10,7
Abu (%) 1,5 8,3 8,8
Ekstrak bebas N (%) 15,8 44,4 49,2
Sumber : Elias (1979)

2.2 LUWAK

Kopi luwak merupakan biji kopi biasa yang dimakan oleh luwak (sejenis musang). Indonesia
merupakan negara pertama yang menghasilkan kopi luwak dan terkait erat dengan sejarah
pembudidayaan tanaman kopi di Indonesia pada awal abad ke-18. Luwak adalah salah satu
jenis mamalia liar yang dapat ditemui di sekitar pemukiman dan bahkan di perkotaan, dan berkeliaran
di atas pepohonan. Luwak bersifat nokturnal atau aktif di malam hari untuk mencari makanan dan
merupakan binatang omnivora meskipun paling banyak memakan buah-buahan. Menurut Panggabean
(2011a), buah yang biasa dimakan luwak adalah pepaya, nangka, kopi, dan beberapa jenis buah hutan.
Klasifikasi luwak menurut Corbet and Hill (1992) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Carnivora
Famili : Viverridae
Upafamili : Paradoxurinae
Genus : Paradoxurus
Spesies : P. hermaphroditus

4
Di tempat-tempat yang biasa dilalui oleh luwak yaitu di atas batu atau tanah yang keras,
seringkali ditemukan tumpukan kotorannya dengan aneka biji-bijian yang tidak tercerna di dalam
perutnya. Menurut Cranbrook (1987), pencernaan luwak terlihat begitu singkat dan sederhana,
sehingga biji-biji tersebut keluar lagi dengan kondisi utuh karena luwak memilih buah yang telah
masak untuk menjadi santapannya. Maka terkenal istilah kopi luwak dari Jawa, yang menurut petani
diperoleh dari biji kopi hasil pilihan luwak dan telah mengalami proses melalui pencernaannya.
Buah kopi yang dimakan oleh luwak hanya kopi yang telah benar-benar matang. Buah kopi
yang dimakan oleh luwak tidak mengalami pencernaan secara sempurna. Namun, bagian buah yang
dicerna hanya pada bagian kulit buah yang berwarna merah saja, kemudian meninggalkan biji yang
masih utuh terlapisi oleh kulit kerasnya (kulit tanduk). Kopi luwak sudah mengalami proses
fermentasi secara alami di dalam pencernaan hewan luwak. Proses fermentasi alami dalam perut
luwak memberikan perubahan komposisi kimia pada biji kopi dan dapat meningkatkan kualitas rasa
kopi, karena selain berada pada suhu fermentasi optimal, juga dibantu dengan enzim dan bakteri yang
ada pada pencernaan luwak. Mutu kopi hasil hewan luwak lebih baik dari pada kopi fermentasi
biasanya karena adanya enzim tripsin dibentuk dalam kelenjar ludah dan pepsin yang dihasilkan organ
pangkreas. Biji kopi hasil fermentasi oleh luwak dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Biji kopi hasil fermentasi luwak dalam penangkaran


Sumber : Buldani (2011)

2.3 FERMENTASI MEDIA PADAT

Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah pada limbah kulit
kopi adalah penggunaannya dalam pengolahan secara biologis dengan fermentasi. Menurut Winarno
et al. (1980), fermentasi adalah proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik)
untuk melakukan proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi
perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu yang diinginkan.
Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja
mungkin sudah dalam keadaan ter-isolasi yaitu dipisahkan dari selnya atau masih terikat di dalam sel
tersebut. Reaksi enzim dapat terjadi sepenuhnya di dalam sel karena enzim yang bekerja berada di
dalam sel (intraselular) dan dapat pula terjadi di luar sel (ekstraselular). Enzim pemecah
makromolekul pada umumnya bersifat ekstraselular, yaitu diproduksi di dalam sel kemudian
dikeluarkan ke substrat di sekeliling sel tersebut. Makromolekul yang menjadi substrat utama untuk
kebutuhan mikroba fermentasi perlu dipecah menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana, disinilah
peran enzim-enzim ekstraselular. Contohnya yaitu makromolekul pati dipecah oleh amilase sehingga
berubah menjadi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel untuk metabolisme sel (Fardiaz 1989).
Menurut medianya proses fermentasi dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi media padat dan
fermentasi media cair. Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang substratnya tidak

5
larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi kandungan airnya mencukupi kebutuhan mikroba
tersebut. Fermentasi media padat telah banyak diterapkan pada berbagai proses fermentasi karena
proses fermentasi media padat sudah lebih awal dikenal dibandingkan dengan fermentasi media cair.
Menurut Senez (1979), beberapa produk yang dihasilkan dari fermentasi medium padat antara lain
adalah glukosa, etanol, bioetanol dan asam sitrat serta produk tradisional seperti tempe yang banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pangan.
Menurut Satiawiharja (1984) fermentasi media padat biasanya menggunakan substrat tunggal,
seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan mineral.
Oleh sebab itu, penambahan zat lain yang diperlukan biasanya hanya air. Zat hara lainnya yang tidak
dikandung oleh substrat dapat ditambahkan bersama air yang digunakan untuk melembabkan substrat,
sehingga mempunyai kesederhanaan dalam persiapan medianya. Ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam melakukan persiapan proses fermentasi media padat, diantaranya sifat substrat
yaitu terutama derajat kristalisasi dan polimerisasinya, dan sifat mikroorganisme karena masing-
masing mikroorganisme mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memecah komponen substrat
untuk keperluan metabolisme. Perbedaan lebih spesifik antara fermentasi media padat dan media cair
menurut Rimbault (1998) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat


Faktor Fermentasi media cair Fermentasi media padat
Media cair dengan nutrisi Media padat dengan nutrisi
Substrat
larut air larut dan tidak larut air
Higienitas kondisi Harus steril dan aseptis Tidak harus steril
Konsumsi air Lebih tinggi Lebih rendah
Panas yang dihasilkan Lebih merata Kurang merata
Penggunaan aerasi
Mutlak Tidak mutlak
buatan
Pengendalian pH Lebih mudah Lebih sukar
Pengocokan Diperlukan Tidak diperlukan
Konsentrasi produk Lebih rendah Lebih tinggi
Homogenitas kultur Lebih baik Kurang baik
Sumber : Rimbault (1998)

2.4ENZIM

Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim bekerja dengan urutan yang
teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrien, yaitu reaksi yang
menyimpan dan mengubah energi kimiawi, serta membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana
(Lehninger 1988). Menurut Suhartono (1989), sumber enzim adalah organisme hidup yaitu pada
tanaman, hewan dan mikroba, karena fungsi alamiah enzim adalah sebagai katalisator di dalam reaksi
kehidupan. Walaupun demikian, enzim dari mikroba mempunyai kecenderungan lebih banyak dipakai
saat ini disebabkan beberapa alasan antara lain adalah kemudahan pertumbuhan, produktivitas yang
tinggi, sifat yang dapat diubah ke arah yang lebih menguntungkan dan berkembangnya pengetahuan
mengenai teknik fermentasi, mutasi dan rekayasa genetik.
Enzim adalah protein yang mengkatalisa berbagai reaksi kimia. Senyawa kompleks enzim
berasal dari sel hidup dan berfungsi sebagai katalis dalam reaksi-reaksi yang terlibat dalam

6
metabolisme makhluk hidup. Enzim relatif peka terhadap kondisi lingkungan seperti pH, suhu dan
adanya beberapa bahan organik dan anorganik (Considine 1983).
Berdasarkan tipe reaksi yang dikatalisanya, Winarno (1983) menyatakan bahwa semua enzim
dapat dibagi menjadi enam kelompok besar, yaitu kelompok enzim oksidoreduktase, transferase,
hidrolase, liase, isomerase dan ligasse. Enzim oksidoreduktase adalah enzim yang dapat mengkatalisa
reaksi oksidasi atau reduksi suatu bahan. Enzim transferase adalah enzim yang ikut serta dalam reaksi
pemindahan (transfer) suatu radikal atau gugus. Enzim hidrolase mengkatalisa hidrolisa suatu substrat
atau pemecahan substrat dengan pertolongan air. Enzim isomerase mengkatalisa reaksi-reaksi
isomerisasi. Enzim ligase bekerja mengkatalisa pembentukan ikatan-ikatan tertentu.
Menurut Webb (1979), ada dua tipe enzim berdasarkan tempat berlangsungnya reaksi, yaitu
enzim ekstraseluler dan enzim intraseluler. Enzim ekstraseluler melangsungkan reaksi di luar sel,
sedangkan enzim intraseluler melangsungkan reaksinya di dalam sel. Fungsi utama dari enzim
ekstraseluler yaitu mengubah senyawa-senyawa yang berada dalam media di sekitar sel, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh sel tersebut, contohnya adalah protease dan amilase yang menguraikan
protein dan pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Enzim intraseluler antara lain berperan
melakukan sintesis bahan seluler yang diperlukan oleh sel, contohnya adalah heksokinase
mengkatalisis fosforilasi glukosa dan heksosa (senyawa-senyawa gula sederhana) di dalam sel.
Aunstrup (1979) menyatakan bahwa enzim merupakan senyawa kimia yang kompleks, tetapi
metoda yang digunakan untuk memproduksi enzim ekstraseluler sangat sederhana yaitu
mikroorganisme dibiakkan pada media yang cocok dan selanjutnya diperoleh enzim. Metoda umum
untuk memproduksi enzim ekstraseluler terdiri atas tiga tahap, yaitu produksi strain, fermentasi dan
pemanenan. Faktor yang paling penting dalam memproduksi enzim ekstraseluler adalah kombinasi
yang optimum dari pada strain mikroorganisme terpilih, kondisi fermentasi yang cocok dan metoda
pemanenan yang tepat.Selain itu, enzim ekstraseluler berada dalam kondisi yang relatif murni dalam
biakan cair, sedangkan enzim intraseluler memerlukan cara pemisahan dan pemurnian yang lebih
rumit.

2.5ENZIM SELULASE

Menurut Mandels et al. (1976), selulase merupakan enzim yang sangat penting peranannya
dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa menjadi glukosa, makanan ternak dan
etanol. Prinsip utama produksi selulase yaitu dihasilkan oleh mikroorganisme yang diinkubasi dalam
substrat yang diperkaya dengan nutrien pendukung seperti nitrogen dan fosfat. Mikroorganisme
berperan sebagai pemecah glukosa yang terdapat dalam substrat. Aktivitas mikroorganisme sangat
dipengaruhi kondisi lingkungan pada saat inkubasi seperti kandungan nutrien, oksigen bagi organisme
aerob dan derajat keasaman (pH).
Selulosa (C 6 H10 O 5 )n adalah polisakarida karbohidrat yang terdiri atas monomer beta-glukosa.
Selulosa merupakan komponen struktural utama dari tumbuhan dan tidak dapat dicerna oleh manusia.
Hidrolisis selulosa oleh aktifitas tanaman sendiri sangat terbatas. Tetapi sejumlah kapang dan bakteri
yang hidup dari substrat hasil-hasil pertanian dapat menghasilkan sejenis enzim selulase yang dapat
menghidrolisis selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Enzim selulase merupakan
kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja bersama untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme
tertentu menghasilkan partikel yang dinamakan selulosom. Partikel inilah yang akan terdisintegrasi
menjadi enzim-enzim, yang secara sinergis mendegradasi selulosa (Belitz et al. 2008).

7
Selulase merupakan enzim kompleks yaitu bekerja secara sinergis satu sama lain. Menurut
Miyamoto (1997), selulase terdiri dari tiga komponen enzim yang penting yaitu endoglukanase,
selobiohidrolase dan -glukosidase, yaitu :
1. Endoglukanase
Enzim ini berfungsi memotong secara acak ikatan selulosa menjadi selooligosakarida.
Enzim ini aktif menyerang pada bagian selulosa yang tersubstitusi seperti CMC.
2. Selobiohidrolase/Eksoglukanase
Enzim ini menyerang ujung rantai selulosa non-pereduksi dan membebaskan selobiosa dari
rantai selulosa.
3. -glukosidase
Enzim ini menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Skema hidrolisis oleh selulase
disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema hidrolisis enzimatik selulosa oleh kompleks selulase (Enari 1983)

Gambar 3 menunjukkan hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase yang tahapannya adalah :

1. Endoglukanase menyerang daerah amorf pada selulosa dan membuka rantai selulosa sehingga
memberi jalan untuk selobiohidrolase.
2. Selobiohidrolase melepaskan selobiosa dari ujung rantai selulosa.
3. Endoglukanase menyerang lapisan kedua selulosa yang diikuti oleh kerja selobiohidrolase.
4. -glukosidase menghidrolisis selooligosakarida dan selobiosa menghasilkan glukosa.

2.6 ENZIM PROTEASE

Menurut Nomenclatur Committee of The International Union of Biochemistry and Molecular


Biology, protease diklasifikasikan ke dalam kelashidrolase yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi
hidrolisis dengan subkelompok 4 (khusus enzim yang bekerja pada ikatan peptida). Protease juga
digolongkan menjadi proteinase dan peptidase, peptidaseditujukan bagi protease pemecah peptida

8
sedangkan proteinase berfungsi untukmengkatalis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-
fragmen besar (Muchtadiet al. 1992 dan Suhartono 1989).
Protease dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, yaitu protease tanaman, hewan, dan
mikroba. Menurut Suhartono (1992), protease juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endoprotease
dan eksoprotease berdasarkan letak pemecahan ikatan peptidanya. Eksoprotease menguraikan protein
dari ujung rantai sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida, kemudian pada tingkat
berikutnya akan dihasilkan beberapa asam amino. Kelompok endoprotease hanya mengurai peptida
pada bagian dalam rantai protein, sehingga dihasilkan peptida dan polipeptida serta menghasilkan
asam amino dalam jumlah yang terbatas. Spesifitas beberapa endoprotease lebih komplek, misalnya
tripsin yang menghidrolisis ikatan peptida pada asam amino metionin, kemotripsin memecah ikatan
peptida pada sisi lisin dan arginin. Jika dilihat dari lingkungan kerja enzim protease maka protease
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu protease asam (seperti renin dan pepsin), protease netral (seperti
papain, bromelin dan tripsin pankreas), serta protease alkali (protease bakteri). Enzim protease
berdasarkan letak pengeluarannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu protease ekstraselular dan
protease intraselular. Protease ekstraselular diperlukan makhluk hidup untuk menghidrolisis nutrisi
protein menjadi peptida kecil dan asam amino, sehingga dapat diserap dan dimanfaatkan oleh sel.
Protease intraselular bertanggung jawab terhadap degradasi proteolitik secara cepat dan tidak dapat
kembali bagi protein sel yang fungsinya tidak diperlukan lagi, atau protein abnormal yang tidak
bermanfaat bahkan mengganggu metabolisme sel tersebut.
Produksi enzim protease dari mikroba dilakukan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi
yang digunakan dapat menggunakan kultur terendam maupun kultur permukaan. Media cair dapat
menggunakan kultur terendam maupun kultur permukaan, sedangkan media padat hanya dapat
menggunakan kultur permukaan. Kelebihan kultur permukaan adalah rendahnya masalah kontaminasi
dan cara pengoperasiannya lebih sederhana. Media yang digunakan dalam fermentasi harus memiliki
kriteria tertentu, antara lain dapat memproduksi produk atau biomassa dengan hasil maksimum untuk
setiap g substrat yang digunakan. Selain itu, media juga harus memungkinkan pembentukan produk
fermentasi dengan laju maksimum dan menekan pembentukan produk fermentasi yang tidak
diinginkan.

2.7ENZIM XILANASE

Hemiselulase adalah kelompok enzim yang mempunyai kemampuan menghidrolisis


hemiselulosa. Hidrolisis sempurna dari berbagai hemiselulosa dapat dipantau dari jumlah D xilosa, L-
arabinosa dan asam D-glikuronat yang dihasilkan. Karena kemampuannya dalam menghidrolisis
xilan, maka hemiselulase juga biasa disebut xilanase. Xilanase mendegradasi xilan yang merupakan
komponen utama hemiselulosa.Struktur kimia xilan, bila dibandingkan dengan pati dan selulosa, lebih
heterogen. Hal ini menyebabkan xilanase lebih banyak mengandung berbagai komponen enzim.
Menurut Reilly (1981) di dalam Irawadi (1991) xilanase dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu -
xilosidase, eksoxilanase dan endoxilanase. -xilosidase memiliki kemampuan untuk menghidrolisis
xilooligosakarida rantai pendek menjadi xilosa.
Xilosa, selain merupakan produk hidrolisis, juga merupakan inhibitor bagi -xilosidase.
Aktivitas -xilosidase akan menurun dengan meningkatnya rantai xilooligosakarida. Eksoxilanase
memutus rantai polimer pada ujung-ujung reduksi. Enzim eksoxilanase yang dihasilkan oleh Bacillus
pumilus dan Malbranca pulchella dapat menghidrolisis xilan, menghasilkan xilosa sebagai produk
utama dan sejumlah kecil oligosakarida rantai pendek. Adapun enzim-enzim yang termasuk dalam
kelompok endoxilanase adalah enzim yang memutus ikatan-ikatan -1-4 pada bagian dalam dari rantai

9
xilan secara teratur. Keheterogenan substrat menyebabkan terdapat berbagai macam enzim yang
dikelompokkan pada endoselulase. Kelompok enzim yang dapat memutus titik-titik cabang dapat
digunakan untuk menghasilkan xilosa. Secara umum xilanase menyerang rantai xilosidik bagian
dalam pada rangka dasar dan -xilosidase melepaskan residu xilosil dengan serangan arah ke ujung
dari xilooligosakarida (Cho et al. 1996).
Hemiselulosa merupakan komplek polimer karbohidrat yang menyusun sekitar 25 30% berat
kering total kayu. Hemiselulosa termasuk suatu polisakarida dengan berat molekul yang lebih rendah
dari selulosa. Hemiselulosa terdiri atas monomer-monomer gula, antara lain: D-xilosa, D-manosa, D-
galaktosa, D-glukosa, L-arabinosa, asam 4-O-metil glukuronat, aam D-galakturonat dan asam D-
glukuronat. Monomer-monomer gula tersebut dihubungkan melalui ikatan -1,4-glikosidik dan ikatan
-1,3-glikosidik. Perbedaan utama hemiselulosa dengan selulosa adalah hemiseluloa memiliki
percabangan dengan rantai lateral pendek yang terdiri atas gula yang berbeda. Berbeda dengan
selulosa, hemiselulosa merupakan polimer yang mudah dihidrolisis, tidak membentuk agregat
meskipun hemiselulosa diko-kristalisasi dengan rantai selulosa (Perez et al. 2002). Menurut
Subramaniyan dan Prema (2002), xilosa yang dibebaskan oleh endoxilanase selama hidrolisis xilan
tetapi tidak memiliki aktivitas untuk xilobiosa yang dengan mudah dihidrolisis oleh -xilosidase.
Endoxilanase terutama dihasilkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi.
Menurut Beg et al.(2001), saat ini enzim xilanolitik mendapat perhatian terutama karena
memiliki potensi yang besar untuk diaplikasikan pada berbagai industri. Beberapa aplikasi xilanase
diantaranaya adalah:
1. Xilanase digunakan untuk konversi xilan menjadi xilosa pada air limbah di industri makanan dan
hasil pertanian, serta memberikan prospek baru dalam penanganan limbah hemiselulosik.
2. Xilanase bersama dengan selulase dan pektinase dimanfaatkan untuk menjernihkan sari buah,
ekstraksi kopi, minyak nabati dan pati, likuifikasi buah dan sayuran.
3. Dalam memberikan aroma pada jus anggur yang belum difermentasi (must), minuman anggur
(wine) dan jus buah dapat menggunakan -L-Arabinosidase dan -D-glukopiranosidase.
4. Xilanase bersama dengan enzim lain, seperti mananase, ligninase, xilosidase, glukanase,
glukosidase dan lain-lain, dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bakar nabati (biofuel)
seperti etanol, serta xilitol dari bahan berlignoselulosa.

10
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2012 di Laboratorium
Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)
dan Laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan adalah buah kopi Arabika dan sumber isolat (selulolitik, xilanolitik dan
proteolitik) yang berasal dari feses luwak yang diperoleh dari perkebunan kopi di Desa Pangalengan,
Bandung. Mikroorganisme yang digunakan adalah proteolitik (FLp1), xilanolitik (FLx3) dan
selulolitik (FLs1). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, ketiga bakteri tersebut telah diidentifikasi
yaitu : FLs1 (Proteus penneri), FLp1 (Bacillus aerophillus) dan FL3 (Stenotrophomonas sp MH
34).Media yang digunakan meliputi media xilan (birchwood) untuk bakteri xilanolitik, media Carboxy
Methyl Cellulose (CMC) untuk bakteri selulolitik dan media NA dengan susu skim untuk bakteri
proteolitik. Komposisi media disajikan pada Lampiran 1. Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi
aquades, H2 SO 4 untuk pengukuran analisa total gula, NaCl fisiologis, Asam Dinitro Salisilat (DNS)
dan bufer fosfat untuk pengukuran aktivitas enzim, fenol 5%, BSA (Bovine Serum Albumin) untuk
pengukuran kadar protein, buffer tris HCl (0.2 M) pH 8, buffer kasein, tirosin standar, asam
trikloroasetat, Na 2 CO 3, pewarna folin,dan alkohol 70% .
Peralatan yang digunakan meliputi saringan 40 mesh, pisau, blender, spektrofotometer,
sentrifuse, Laminar Air Flow, shaker inkubator, vortex, timbangan analitik, pipet mikro, erlenmeyer,
pH meter, botol durham, cawan petri, jarum inokulasi, bunsen, oven, tabung reaksi, tabung eppendorf,
tabung sentrifuse, autoklaf, penangas air, alat-alat gelas dan berbagai peralatan laboratorium
mikrobiologi lainnya.

3.3 METODE PENELITIAN

3.3.1. Penelitian Pendahuluan

3.3.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik

a. Peremajaan Isolat Proteolitik


Kedua isolat proteolitik masing-masing FLp1 dan FLp2 diremajakan pada media padat susu
skim 1%, komposisi media disajikan pada Lampiran 2. Isolat diinkubasi pada suhu ruang
selama 24 jam.

b. Uji Kemampuan Proteolitik


Dua isolat (FLp1 dan FLp2) ditumbuhkan pada media padat susu skim dan diinkubasi
pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap adanya zona
bening yang terbentuk, yang mengindikasikan aktivitas protease.

11
c. Pembuatan Kurva Tumbuh, Pengukuran Aktivitas Enzim dan Aktivitas Spesifik
Inokulum dibuat dengan tiga corkborrer kultur bakteri hasil peremajaan yang telah
diinkubasi selama 24 jamdiinokulasikan ke dalam 100 ml media cair susu skim 1%
kemudian diinkubasi dalam shaker pada kecepatan 100 rpm dengan suhu 300 Cselama 24
jam.Volume inokulum yang dimasukkan ke dalam media kultur sebesar 1 ml (106 sel/ml)
dan diinkubasi dalam shaker pada suhu 300 C dengan kecepatan 100 rpm. Setiap 6 jam
sekali dilakukan pengukuran Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 620 nmdan pengukuran aktivitas enzim dengan menggunakan metode
Kunits (Walter 1984) (Lampiran 4).Kadar protein ditentukan dengan metode Bradford
(1976). Pengukuran absorbans dilakukan pada panjang gelombang 595 nm (Lampiran 6).
Aktivitas spesifik dapat dihitung berdasarkan nilai aktivitas enzim yang diperoleh dibagi
dengan kadar proteinnya.

d. Total Plate Count (TPC)


Pada isolat FLp1 dan FLp2 diambil sebanyak 0.1 ml dari masing-masing kultur
cairnya,selanjutnya dilakukan pengenceran berseri 10-1 sampai 10-8 dengan NaCl
fisiologis.Dari setiap pengencerandiambil 0.1 ml kemudian disebar ke dalam cawan petri
berisi media pada sususkim, diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Koloni yang
tumbuhkemudian dihitung.

3.3.1.2 Karakterisasi Bahan Baku

Analisis proksimat dilakukan pada buah kopi yaitu bagian kulit kopi dan biji kopi yang meliputi
kadar air, abu, lemak, protein dan serat kasar. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 2.

3.3.2. Penelitian Utama

3.3.2.1 Persiapan Substrat

Buah kopi yang sudah masak (berwarna merah) dipisahkan antara kulit dengan biji kopinya.
Kulit kopi dikeringkan di bawah sinar matahari selama + 24 jam hingga kadar air + 14%. Kemudian
kulit kopi dihaluskan menggunakanblender dan diayak dengan saringan 40 mesh.

3.3.2.2 Persiapan Inokulum

Isolat yang akan digunakan sebagai inokulum pada media fermentasi diremajakan terlebih
dahulu.Isolat terpilih diremajakan dengan menggores pada media padat di cawan petri yaitu media
xilan untuk bakteri xilanolitik (FLx3), media CMC untuk bakteri selulolitik (FLs1) dan media NA
dengan susu skim untuk bakteri proteolitik (FLp1) kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24
jam.
Sebanyak dua corkborrer kulturbakteri hasil peremajaan diinokulasikan ke dalam media cair,
kemudian diinkubasi dalam shaker pada kecepatan 100 rpm dengan suhu 300 C dan 370 C selama 18
jam untuk bakteri selulolitik (FLs1) dan bakteri proteolitik (FLp1), sedangkan untuk bakteri
xilanolitik (FLx3) selama 22 jam.

12
3.3.2.3Fermentasi

Biji kopi dan kulit kopi ditimbang sebanyak 30 g, kemudian ditambah dengan akuades steril
sebanyak 10 ml. Semua bahan tersebut berada dalam botol, kemudian disterilisasi dengan autoklaf
selama 20 menit dengan suhu 1210 C. Setelah itu, bahan kopi tersebut dibiarkan hingga dingin. Setiap
botol ditambah dengan starter sebanyak 10%. Starter dicampur secara merata, kemudian botol ditutup
kembali dan disimpan dalam inkubator pada suhu 300 C dan 370 C selama 4 hari. Terdapat tiga
perlakuan berbeda dalam penambahan inokulum, yaitu :

Jumlah inokulum
Perlakuan
FLs1 FLp1 FLx3
Tunggal 3 ml - -
Kombinasi 2 1.5 ml 1.5 ml -
Kombinasi 3 1 ml 1 ml 1 ml

3.3.2.4 Pengujian Cairan Hasil Fermentasi

Pengujian pada cairan hasil fermentasi bertujuan untuk mengetahui mekanisme kerja enzim
dalam menghidrolisis kulit kopi yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi karbohidrat yaitu
gula total dan gula pereduksi, kadar protein, pengukuran aktivitas enzim dan susut bobot.
Setiap 24 jam diambil sampel dari botol fermentasi untuk setiap suhu. Kemudian dilakukan
pengenceran dengan ditambahkan 100 ml akuades steril ke dalam masing-masing botol tersebut dan
diaduk agar merata. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk memisahkan
cairannya dengan (kulit kopi dan biji kopi).Kulit kopi yang telah terpisah dari cairan fermentasi
dikeringkan dalam oven dengan kertas saringnya selama 24 jam untuk mengamati perubahan bobot
kulit kopi (susut bobot). Biji kopinya disimpan dalam freezer untuk diamati perubahan asam-asam
organik menggunakan HPLC. Cairan hasil saringan tersebut di sentrifugasi dengan kecepatan 3000
rpm selama 15 menit pada suhu 40 C untuk memperoleh enzim ekstrak kasar. Kemudian dilakukan
analisa terhadap supernatantersebut yaitu pengukuran aktivitas enzim, kadar protein, gula total dan
gula pereduksi.

13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyeleksi bakteri proteolitik terbaik sebagai starter
proteolitik dalam fermentasi. Tahapan penelitian pendahuluan terdiri atas beberapa parameter yang
diamati yaitu zona bening, kurva tumbuh, aktivitas enzim,total plate count (TPC), kadar protein dan
aktivitas spesifik yang diperoleh dari hasil pembagian kadar protein dengan aktivitas enzimnya.
Parameter yang dijadikan dasar untuk penetapan bakteri terpilih adalah nilai aktivitas enzim tertinggi.

4.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik

Isolat bakteri protease diperoleh dari isolasi biji kopi hasil fermentasi yang ada pada feses
luwak dan diperoleh dua isolat dengan kode FLp1 dan FLp2. Isolat bakteri yang ditumbuhkan pada
mediaNA dengan susu skim membutuhkan waktu tumbuh sekitar 24 jam. Menurut Fardiaz (1992),
kemampuan tumbuh mikroorganisme bergantung pada kondisi pH, suhu, waktu inkubasi, dan
konsentrasi substrat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengamatan visual
berdasarkan difusi zona bening (halo) yang terbentuk di sekitar koloni yang mengandung susu skim
1% (Gambar 4).
Penambahan susu skim 1% ke dalam media NA berfungsi untuk menginduksi sel bakteri dalam
mensintesis protease. Menurut Suhartono (1989), beberapa senyawa karbon sumber energi
menimbulkan pengaruh induktif bagi sintesis enzim-enzim tertentu, dan biasanya substrat bagi enzim
berfungsi sebagai senyawa induksi.

a b

Gambar 4. Pembentukan zona bening di sekitar koloni bakteri (a) FLp1 dan (b) FLp2
pada media NA dengan susu skim diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam

Pembentukan zona bening di sekitar koloni menunjukkan adanya degradasi senyawa protein
oleh enzim-enzim ekstraseluler (proteolitik) yang dihasilkan bakteri. Menurut Suhartono (1991),
untuk beberapa produk ekstraseluler, dapat dihubungkan tingkat produktivitas galur dengan ukuran
radius daerah difusi produk yang dikeluarkan dari koloni mikroba yang ditumbuhkan pada media
padat. Media yang digunakan mengandung senyawa inducer bagi produk yang diinginkan dan
bebas dari senyawa-senyawa yang mungkin mengganggu sintesis enzim yang bersangkutan.
Tujuan penumbuhan pada media dengan penambahan susu skim ini adalah untuk menguji
kemampuan isolat FLp1 dan FLp2 dalam menghasilkan enzim protease. Zona bening yang terbentuk

14
setelah masa inkubasi bakteri selama 24 jam menunjukkan bahwa protein pada susu telah dipecah oleh
protease yang dihasilkan dari bakteri hasil isolasi menjadi asam amino. Diameter zona bening terbesar
dari kedua bakteri proteolitik tersebut dihasilkan oleh isolat FLp1 sedangkan pada isolat FLp2 zona
bening yang dihasilkan sangat kecil. Kedua isolat memiliki ciri dan warna yang berbeda, isolat FLp1
berwarna putih susu dan berbentuk bundar sedangkan isolat FLp2 berwarna kuning mentega dengan
tepian yang bercabang. Perbedaan tersebut dapat disebabkan perbedaan fisiologi dari kedua isolat
tersebut.
Pertumbuhan isolat FLp1 dan FLp2 pada media cair skim diamati melalui pengukuran
kekeruhan (Optical Density) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Menurut Fardiaz (1987), pertumbuhan mikroba terdiri atas empat fase yakni fase awal (fase lag), fase
eksponensial, fase stasioner dan fase penurunan (kematian). Fase awal merupakan tahapan awal dalam
pertumbuhan mikroorganisme, pada fase ini belum terjadinya perbanyakan sel namun hanya terjadi
peningkatan massa sel. Tahap ini seringkali disebut fase adaptasi mikroorganisme terhadap media
yang digunakan. Pada fase eksponensial pertumbuhan terjadi secara optimal, yaitu terjadi
perbanyakan sel karena mikroorganisme mulai banyak mengkonsumsi media yang digunakan. Jumlah
mikroorganisme yang hidup dan mati akan seimbang pada fase stasioner. Hal ini dikarenakan pada
fase ini sumber nutrien di dalam media mulai berkurang sehingga pertumbuhan akan berkurang. Fase
kematian merupakan fase terakhir dalam pertumbuhan mikroorganisme. Pada fase ini terjadi
penurunan jumlah mikroorganisme dimana sebagian mikroorganisme mati karena sumber nutrien di
dalam media sudah habis dikonsumsi pada fase sebelumnya.

0.8 5.5
0.7 5

Log [jumlah sel]


0.6 4.5
0.5 4
3.5
OD

0.4
3
0.3 2.5
0.2 2
0.1 1.5
0 1
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54
Waktu (Jam)

Kurva tumbuh FLp1 Kurva tumbuh FLp2


Log sel FLp1 Log sel FLp2

Gambar 5. Kurva tumbuh bakteri proteolitik pada media nutrient brothskim diinkubasi
dengan suhu 300 C selama 54 jam

Pertumbuhan bakteri proteolitik pada media cair dapat dilihat dari perubahan warna media
yang menjadi keruh.Gambar 5 menunjukkan bahwa fase awal dimulai sejak jam ke-0 kemudian pada
jam ke-12terjadi fase eksponensial dimana laju pertumbuhan mengalami peningkatan dengan OD
sebesar 0.423 pada isolat FLp1 dan pada isolat FLp2 dengan OD sebesar 0.382. Pada fase
eksponensial ini akan digunakan sebagai waktu panen sel(starter) untuk proses fermentasi karena
diharapkan fase adaptasi hanya terjadi sebentar atau tidak ada sama sekali. Pada fase eksponensial
terjadi pertambahan sel maksimal, dimana nutrien masih dapat mendukung pertumbuhan bakteri

15
sampai fase stasioner. Pada akhir fase ini kandungan nutrien berkurang yang menandakan proses
metabolisme menurun.Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial tersebut dan selanjutnya diikuti
oleh fase kematian yang terjadi pada jam ke-48.
Pengukuran pertumbuhan populasi dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel hidup atau
massa sel (berat kering sel). Jumlah sel hidup dapat ditetapkan dengan metode Total Plate Count
(TPC) yaitu dengan cara menyebar pada media padat sehingga satu sel hidup akan tumbuh
membentuk satu koloni, jumlah koloni dianggap setara dengan jumlah sel. Pertumbuhan sel pada
isolat FLp1 dan isolat FLp2 yang diamati melalui jumlah sel total selama masa kultivasi mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Pada akhir waktu inkubasi, jumlah sel
semakin sedikit yang dapat diakibatkan oleh terbatasnya nutrisi dalam media tumbuhnya. Berdasarkan
data tersebut dapat diketahui bahwa tertinggi pada isolat FLp2 diperoleh pada jam ke-36 dan isolat
FLp1 pada jam ke-42.
Pemilihan isolat yang menghasilkan enzim protease terbaik tidak hanya dilakukan
berdasarkan zona bening yang dihasilkan, tetapi juga ditentukan berdasarkan aktivitas enzim yang
dihasilkan setelah bakteri ditumbuhkan pada media cair yang mengandung susu skim 1%. Aktivitas
enzim yang dihasilkan pada kedua isolat disajikan pada Gambar 5.

1.60
Aktivitas enzim (unit/ml)

1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54
Waktu (Jam)
FLp1 FLp2

Gambar 6. Kurva aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim
diinkubasi dengan suhu 300 C selama 54 jam

Aktivitas enzim yang diperoleh pada kedua isolat tersebut memiliki perbedaan. Isolat yang
ditumbuhkan pada media cair susu skim memiliki waktu produksi tertinggi yang berbeda. Perbedaan
waktu optimum pada aktivitas enzim (Gambar 6) tersebut menunjukkan bahwa terdapat keberagaman
fisiologi diantara keduanya dalam memanfaatkan sumber protein. Aktivitas enzim pada isolat FLp1
tertinggi dicapai pada jam ke-24 dengan aktivitas sebesar 1.4 unit/ml, sedangkan aktivitas enzim pada
isolat FLp2 tertinggi dicapai pada waktu inkubasi jam ke-18 dengan aktivitas sebesar 0.5 unit/ml. Hal
ini menunjukkan bahwa bakteri FLp1 dapat bekerja secara optimal hingga waktu inkubasi jam ke-24
dan jam ke-18 untuk FLp2 karena sampai saat itu aktivitas enzim tersebut berada pada puncaknya.
Jika dihubungkan dengan fase pertumbuhan (gambar 5), maka aktivitas tertinggi tersebut terdapat
pada fase eksponensial. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ward (1983), bahwa
pembentukan enzim protease mulai mengalami peningkatan selama memasuki fase eksponensial,

16
kemudian meningkat dengan cepat ketika memasuki fase stasioner. Dalam keadaan normal sintesis
enzim ekstraseluler maksimum terjadi sebelum fase stasioner atau pada akhir fase eksponensial
menjelang fase stasioner (Schaefer 1969).
Menurut Suhartono (1988), pada umumnya setelah fase stasioner akan terjadi penurunan
aktivitas enzim. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya hasil-hasil metabolisme yang dapat
menghambat aktivitas enzim. Di samping itu, penurunan aktivitas enzim berkaitan dengan kegiatan
saling menghidrolisis di antara protease pada saat substrat sudah mulai berkurang karena protease juga
merupakan suatu protein.Namun, kedua isolat tersebut memiliki puncak aktivitas enzim lebih dari
satu. Adanya aktivitas enzim yang mengalami lebih dari satu puncak tersebut dapat disebabkan oleh
adanya isoenzim yang merupakan protein berbeda yang dapat mengkatalisis reaksi yang sama yang
menghambat kerja aktivitas enzim (Madigan dan Martinko 2006). Isolat FLp1 akan digunakan sebagai
starter untuk mendegradasi substrat kulit kopi pada proses fermentasi padat karena memiliki aktivitas
lebih tinggi dibandingkan dengan isolat FLp2.

12.00

Aktivitas Spesifik (unit/mg)


0.15
Kadar Protein (mg/ml)

10.00
0.12
8.00
0.09
6.00
0.06
4.00
0.03 2.00

0.00 0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54
Waktu (Jam)

Kadar Protein FLp1 Kadar Protein FLp2


Aktivitas spesifik FLp1 Aktivitas spesifik FLp2

Gambar 7. Kurva kadar protein dan aktivitas enzim spesifik bakteri proteolitik pada
media nutrient broth skim diinkubasi dengan suhu 300 C selama 54 jam

Kadar protein diperoleh dengan menggunakan metoda Bradford (1976) yaitu ditentukan
dengan menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai standar, dan pengukurannya dilakukan
dengan mengambil cairan supernatan atau enzim ekstrak kasar. Kadar protein terlarut hasil isolat
FLp1 berkisar antara 0.121-0.139 mg/ml, sedangkan pada isolat FLp2 berkisar antara 0.083-0.098
mg/ml (Gambar 7). Kadar protein yang diperoleh pada isolat FLp1 lebih besar jika dibandingkan
dengan isolat FLp2.
Berdasarkan data hasil perhitungan aktivitas enzim dan kadar protein terlarut pada kedua
isolat tersebut, maka dapat ditentukan aktivitas spesifik enzim protease. Aktivitas spesifik merupakan
perbandingan antara nilai aktivitas enzim yang diperoleh dengan nilai kadar protein dalam satuan
unit/mg. Nilai aktivitas spesifik hasil isolat FLp1 tertinggi dicapai pada waktu inkubasi jam ke-24
dengan aktivitas sebesar 10.817 unit/mg, sedangkan pada isolat FLp2 dicapai pada waktu inkubasi
jam ke-18 dengan aktivitas sebesar 5.436 unit/mg. Peningkatan nilai aktivitas spesifik yang diperoleh
sesuai dengan peningkatan aktivitas enzim protease.

17
4.1.2 Karakterisasi Biji dan Kulit Kopi

Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui karakteristik


bahan baku yang akan digunakan, yaitu kulit kopi dan biji kopi. Kulit kopi merupakan limbah pada
pengolahan buah kopi. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal untuk
kepentingan yang bernilai lebih tinggi. Bahan baku kopi merupakan bahan dengan karakteristik
tertentu seperti kadar air, abu, protein, lemak dan serat kasar.Hasil analisa proksimat biji dan kulit
kopi disajikan dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil analisa kimia biji dan kulit kopi


Komponen Kulit Kopi (% bk) Biji Kopi(% bk)
Air 18.83 31.54
Abu 6.12 2.44
Protein Kasar 9.55 10.34
Lemak Kasar 1.50 6.88
Serat kasar 12.78 22.67
Karbohidrat(by difference) 64 48,8

Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan bahan.
Kulit kopi mempunyai kadar air sebesar 18.83% sehingga diperlukan proses pengeringan untuk dapat
disimpan dalam waktu yang lama, sedangkan pada biji kopi lebih tinggi yaitu sebesar 31.54%. Oleh
karena itu, untuk keperluan pengawetan bahan penelitian, maka dilakukan usaha pengeringan bahan
baku. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan pengeringan panas matahari. Selama 24 jam kulit
kopi dikeringkan dengan panas matahari untuk dapat menurunkan kadar air hingga sekitar 14%.
Pengeringan dilakukan dengan membuka dengan lebar bagian kulit kopi tersebut agar semua
bagian dapat kering secara merata. Kondisi bahan yang telah kering, dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama. Kulit kopi yang telah kering dihaluskan dengan blender kemudian diayak dengan
ukuran 40 mesh, sehingga diperoleh ukuran kulit kopi dengan partikel yang halus. Hal ini akan
memudahkan dalam proses penyimpanan bahan baku sekaligus mencegah tumbuhnya mikroba jenis
tertentu sebelum kulit kopi dimanfaatkan untuk proses penelitian selanjutnya. Namun untuk keperluan
produksi skala industri, metode pengeringan dengan panas matahari tidak cocok dikarenakan akan
kebutuhan luas lahan dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Selain itu pengaruh mikroba di sekitar
bahan yang dapat merusak kondisi bahan.

4.2 PENELITIAN UTAMA

Fermentasi adalah proses yang melibatkan aktivitas mikroba untuk memperoleh energi
melalui pemecahan substrat yang berguna untuk metabolisme dan pertumbuhannya. Hasil fermentasi
tergantung pada substrat, jenis mikroba, dan kondisi sekelilingnya yang akan mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno et al. 1980).Untuk menghasilkan tiap-tiap
produk fermentasi dibutuhkan kondisi fermentasi yang berbeda-beda dan jenis mikroba yang
bervariasi juga karakteristiknya. Oleh karena itu, diperlukan keadaan lingkungan, substrat (media),
serta perlakuan (treatment) yang sesuai sehingga produk yang dihasilkan dapat optimal.Dalam reaksi

18
kimia fermentasi, glukosa (C 6 H12 O 6 ) menghasilkan CO 2 , H 2 O serta melepaskan sejumlah energi.
Sejumlah energi tersebut dibutuhkan oleh bakteridalam pertumbuhan dan perkembangbiakkannya.
Fermentasi fasa padatadalah suatu prosesdimanasuatusubstratlarutdifermentasidengan
kelembabanyang cukup, tapi tanpaair bebas(Lonsaneet al.1992). Menurut Pandey et al. (1999), sistem
inimemilikibanyak keuntungan dibandingkanfermentasi kultur
terendam, termasukvolumetrikproduktivitas yang tinggi, konsentrasi yang relatiflebih tinggidari
produk, mengurangilimbah dan persyaratan yang sederhana untuk peralatanfermentasi. Fermentasi
dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum)
yang ditambahkan berkisar antara 310 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum
yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah.
Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur
mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial (Rachman 1989).
Menurut Girindra (1993), suhu memiliki peranan yang sangat penting dalam reaksi enzimatik.
Ketika suhu bertambah sampai suhu optimum, kecepatan reaksi enzim naik karena energi kinetik
bertambah. Bertambahnya energi kinetik akan mempercepat gerak vibrasi, translasi, dan rotasi baik
enzim maupun substrat. Hal ini akan memperbesar peluang enzim dan substrat bereaksi. Ketika suhu
lebih tinggi dari suhu optimum, protein berubah konformasi sehingga gugus reaktif terhambat.
Perubahan konformasi ini dapat menyebabkan enzim terdenaturasi.Pada umumnya, enzim-enzim
bekerja sangat lambat pada suhu di bawah titik beku dan keaktifannya meningkat sampai 45oC.
Hampir semua enzim mempunyai aktivitas optimal pada suhu 30 oC sampai 40 oC dan denaturasi
mulai terjadi pada suhu 45 oC (Winarno 1992).

4.2.1Produksi Enzim PadaKulit Kopi

Aktivitas enzim protease diperoleh pada dua perlakuan yaitu kombinasi dua isolat dan
kombinasi tiga isolat. Kombinasi dua isolat menggunakan isolat FLp1 dan FLs1, dan pada kombinasi
tiga isolat menggunakan isolat FLp1, FLx3 dan FLs1. Nilai aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
protease menunjukkan bahwa isolat FLp1 mampu menghidrolisis substrat kulit kopi.

Tabel 4. Aktivitas enzim protease selama fermentasi pada suhu 30oC dan 37oC
Aktivitas Protease
(unit/ml)
Jenis Bakteri Hari ke
30oC 37oC
1 1.822 1.755
2 0.827 1.023
FLs1+FLp1
3 0.158 0.365
4 0 0.286
1 1.509 1.445
2 1.013 0.655
FLp1+FLs1+FLx3
3 0 0
4 0 0

Substrat akan terhidrolisis oleh enzim protease menjadi peptida dan asam amino. Laju
pembentukan peptida dan asam amino tersebut dapat dijadikan tolak ukur aktivitas katalisis protease.

19
Aktivitas enzim protease yang dihasilkan selama fermentasi disajikan pada Tabel 4. Aktivitas enzim
protease yang diperoleh selama fermentasi berkisar antara 0 1.822 unit/ml. Berdasarkan hasil
penelitian ini, aktivitas enzim protease yang dihasilkan paling tinggi dari semua perlakuan adalah
1.822 unit/ml yang diperoleh dari perlakuan kombinasi isolat FLp1 dan FLs1 dengan waktu
fermentasi selama 24 jam pada suhu 30 oC. Waktu optimal pada penelitian ini sama dengan penelitian
Sugiarto (2001) yang memproduksi enzim protease dengan Bacillus subtilis pada media tepung
kedelai memperoleh aktivitas protease tertinggi sebesar 0.551 unit/ml pada jam ke-24.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh El-Raheern et
al.(1994), produksimaksimumproteasedenganStreptomycescorchorusiiST36diperolehdenganpH
6pada suhu 30oC.Pada penelitian Muthulakshmiet al. (2011), produksienzimoleh
Aspergillusflavuspada media biji gandum yang dilakukan pada suhu 20-70Cdidapatkan bahwa
adapeningkatan dalamproduksi proteaseketikasuhuinkubasidinaikkandari 20Csampai 30C dan
produksienzimsedikitmenurunhingga 40C.Jadisuhu inkubasioptimumuntuk
produksiproteasediperoleh pada suhu 30C.
Menurut Secadeset al.(2001), yang mengamatibahwa
suhuoptimumuntukekstraselulerproteaseyang dihasilkan
olehFlavobacteriumpsychrophilumberadapada suhu antara25Cdan 40C.Selainitu,suhu
optimumuntuk produksiproteaseadalahantara30Cdan 45C (Wery et al.2003).
Suhu mempengaruhi laju reaksi katalisis enzim dengan dua cara. Pertama, kenaikan suhu
akan meningkatkan energi molekul substrat dan pada akhirnya meningkatkan laju reaksi enzim.
Peningkatan suhu juga berpengaruh terhadap perubahan konformasi substrat sehingga sisi reaktif
substrat mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim dan menyebabkan turunnya aktivitas
enzim.Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme baik secara tidak langsung dengan
mempengaruhi ketersediaan unsur hara atau langsung dengan tindakan pada sel permukaan. Faktor
lain yang penting adalah lingkungan suhu inkubasi yang penting bagi produksi protease oleh
mikroorganisme. Suhu tinggi akan memiliki beberapa efek buruk pada aktivitas metabolik
mikroorganisme penghasil enzim proteolitik (Tunga 1995).
Peningkatan aktivitas enzim ekstraseluler selama masa inkubasi disebabkan oleh induksi,
sedangkan penurunan aktivitas kemungkinan disebabkan oleh penghambatan umpan balik dan
autolisis. Protease merupakan enzim yang bersifat induktif yaitu enzim yang diproduksi oleh sel
apabila terdapat substrat disekitarnya. Seperti enzim yang bersifat induktif pada umumnya, biasanya
produk akhir aktivitas enzim bersifat menghambat produksi enzim (penghambatan umpan balik)
sehingga aktivitas enzim di dalam media akan berkurang. Autolisis terjadi karena terhidrolisanya
enzim oleh aktivitas proteinase yang dihasilkan dari proses autolisis sel (Whitaker 1994).
Aktivitas enzim selulase diperoleh pada tiga perlakuan yaitu isolat tunggal (FLs1), kombinasi
dua isolat (FLs1 dan FLp1) dan kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1). Nilai aktivitas enzim
yang dihasilkan oleh selulase menunjukkan bahwa isolat FLs1 mampu menghidrolisis substrat kulit
kopi.
Pada Tabel 5 menunjukkan perbedaan aktivitas enzim yang diperoleh pada setiap kombinasi.
Aktivitas enzim yang dihasilkan pada kedua suhu tersebut menunjukkan penurunan setelah
mengalami aktivitas optimalnya. Aktivitas enzim selulase yang diperoleh selama fermentasi berkisar
antara 9 113 mU/ml. Berdasarkan hasil penelitian ini, aktivitas enzim selulase yang dihasilkan
paling tinggi dari semua perlakuan sebesar 87 mU/ml yang diperoleh dari perlakuan kombinasi isolat
FLp1 dan FLs1 dengan waktu fermentasi selama 2 hari pada suhu 30 oC. Suhu optimal pada penelitian
ini sama dengan penelitian Chen et al. (2010) yang memproduksi enzim selulase dengan T. viride
N879 pada media batang gandum memperoleh aktivitas selulase tertinggi pada suhu 30 oC.

20
Tabel 5. Aktivitas enzim selulase dan xilanase selama fermentasi
Selulase dan Xilanase (mU/ml)
Jenis Bakteri Hari ke
30oC 37oC
1 43 35
2 78 43
FLs1
3 52 61
4 35 9
1 52 26
2 87 52
FLs1+FLp1
3 43 69
4 26 17
1 44 52
2 61 61
FLp1+FLs1+FLx3
3 113 96
4 26 9

Pada kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1), yang merupakan kombinasi antara
selulase dengan xilanase menghasilkan aktivitas enzim tertinggi pada hari ke-3 sebesar 113 mU/ml.
Pada suhu 37oC, aktivitas enzim yang diperoleh cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan suhu
30oC dan optimal pada hari ke tiga fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi isolat FLx3 dan
FLs1 mampu menghidrolisis substrat kulit kopi yang memiliki struktur lebih kompleks.
Pada saat puncak aktivitas enzim selulase, bakteri mengeluarkan enzim selulase secara
maksimal ke lingkungan luarnya, namun terjadi feed back inhibition sehingga dapat menghambat
aktivitas pada enzim selulase. Molekul glukosa sebagai produk akhir dari enzim selulase menempel
pada sissi alosterik enzim sehingga sisi aktif enzim selulase tidak dapat lagiditempati oleh substrat
selulosa. Selain itu terjadi represi sintesis enzim selulosa oleh karena kehadiran glukosa yang
berlimpah. Glukosa merupakan sumber karbon sederhana yang dapat merepresi sintesis enzim
selulase (Abalos et al. 1997).
Menurut Irawadi (1990), turunnya aktivitas pada suhu di bawah suhu optimum, diduga
karena rendahnya afinitas antara enzim dengan substrat atau rendahnya kecepatan awal pemutusan
kompleks enzim dengan substrat, sedangkan turunnya aktivitas di atas suhu optimum terutama
disebabkan menurunnya stabilitas enzim akibat panas. Pemberian panas dapat menyebabkan putusnya
sebagian besar ikatan-ikatan yang kurang kuat pada struktur protein enzim, misalnya ikatan hidrogen
yang membentuk struktur tersier protein, yang akhirnya dapat menyebabkan denaturasi pada enzim.
Beberapa sumber karbon yang sering digunakan adalah molases, serealia, pati, glukosa,
sukrosa, dan laktosa. Produksi enzim xilanase sebagai sumber karbon adalah xilan. Xilan dengan
aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan terhidrolisis menjadi xilosa (Richana
2012).

21
4.2.2 Kadar Protein dan Aktivitas Enzim Spesifik

Kandungan protein terlarut dalam filtrat diukur untuk mengetahui gambaran jumlah relatif
protein enzim yang telah disintesis oleh bakteri selama proses fermentasi. Kandungan protein terlarut
yang terukur dalam penelitian ini masih merupakan protein kasar yaitu campuran dari protein enzim
dan protein yang berasal dari sumber N organik yang masih tersisa dalam medium pada akhir masa
inkubasi.

Tabel 6. Perubahan kadar protein selama fermentasi


Kadar Protein (mg/ml)
Jenis Bakteri Hari ke
30oC 37oC
1 0.048 0.045
2 0.063 0.049
FLs1
3 0.071 0.055
4 0.077 0.058
1 0.070 0.065
2 0.072 0.068
FLs1+FLp1
3 0.074 0.072
4 0.078 0.074
1 0.098 0.093
2 0.104 0.099
FLp1+FLs1+FLx3
3 0.110 0.106
4 0.116 0.113

Pada Tabel 6 menunjukkan kadar protein yang diperoleh selama fermentasi. Kadar protein
memiliki pola yang semakin meningkat seiring lamanya waktu inkubasi dan pada suhu 30oC memiliki
nilai kadar protein yang lebih tinggi yaitu pada perlakuan kombinasi tiga dengan isolat FLs1, FLp1
dan FLx3 sebesar 0.116 mg/ml jika dibandingkan dengan suhu 37oC.Kandungan protein sangat
sensitif terhadap perubahan suhu terutama pada suhu tinggi.
Peningkatan kadar protein tersebut dikarenakan oleh kehilangan bahan kering selama
fermentasi (Ramos et al. 1983). Penurunan bahan kering ini disebabkan karena bakteri tersebut
memproduksi enzim kemudian menghasilkan gula sederhana yang dapat dipakai untuk
pertumbuhannya. Kemudian, gula sederhana diuraikan menjadi energi dan CO 2 yang dihasilkan
dilepaskan ke udara. Dalam proses fermentasi dan respirasi, materi-materi organik dihidrolisis
menjadi molekul yang lebih kecil, CO 2 , H2 O, dan energi (Purwadaria 1997).
Aktivitas enzim spesifik perlu diketahui untuk menyatakan kemampuan sesungguhnya enzim
dapat bekerja. Setelah diketahui kandungan protein terlarut dalam enzim maka dapat dihitung aktivitas
spesifiknya. Aktivitasenzim spesifik disajikan pada Tabel 7 berikut. Aktivitas enzim spesifik yang
diperoleh dari perbandingan antara nilai aktivitas enzim dengan kadar proteinnya. Nilai aktivitas
enzim spesifik tertinggi yang diperoleh protease pada suhu 30oC dan 37oC pada semua perlakuan
memiliki rentang yang tidak terlalu berbeda jauh yaitu yang diperoleh pada jam ke-24. Hal ini
menunjukkan bahwa protease dapat memiliki aktivitas pada kisaran suhu 30oC sampai 37oC.

22
Aktivitas enzim spesifik tertinggi pada selulase berada pada suhu 30oC yang terjadi pada
semua perlakuan. Hal ini sesuai dengan pola yang diperoleh pada nilai aktivitas enzim, sehingga
selulase memiliki kecenderungan aktivitas pada suhu 30oC, sedangkan aktivitas enzim spesifik
tertinggi pada perlakuan kombinasi antara selulase dan xilanase yaitu isolat FLS1 dan FLx3 dicapai
pada suhu 37oC yang menunjukkan bahwa pada xilanase memiliki kecenderungan aktivitas pada suhu
tersebut.

Tabel 7. Aktivitas enzim spesifik selama fermentasi


Selulase (mU/mg) Selulase dan Xilanase (mU/mg) Protease (unit/mg)
Hari ke o o o o
30 C 37 C 30 C 37 C 30oC 37oC
1 888.225 779.997 - - - -
2 1.229.261 870.052 - - - -
3 735.944 1.104.337 - - - -
4 455.426 154.620 - - - -
1 744.602 402.537 - - 26.084 27.17
2 1.216.063 763.961 - - 11.558 15.025
3 578.555 956.856 - - 2.123 5.06
4 335.010 229.904 - - 0.000 3.864
1 - - 450.034 558.199 15.432 15.516
2 - - 588.172 618.712 9.769 6.641
3 - - 1.031.723 905.238 0.000 0.000
4 - - 223.826 79.645 0.000 0.000

4.2.3 Gula Total dan Gula Pereduksi

Gula total merupakan gula terlarut yang dilepaskan dari hidrolisis selulosa dan hemiselulosa
dengan menggunakan bakteri selulolitik dan xilanolitik. Gula total hasil hidrolisis dianalisis dengan
menggunakan metode Fenol dengan prinsip bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida, dan
turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange yang
stabil.
Hemiselulosa merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa. Hemiselulosa terdiri
dari xilan, mannan, arabinogalaktan dan arabinan. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan
selulosa dalam dinding sel tanaman. Lima gula netral yaitu heksosa (glukosa, manosa, galaktosa) dan
pentosa (xilosa dan arabinosa) merupakan konstituen utama hemiselulosa (Saha, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan nilai gula total yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan,
namun memiliki pola yang sama yaitu mengalami penurunan setelah waktu optimalnya (Tabel 8).
Secara keseluruhan, perlakuan dalam penelitian mengakibatkan penurunan kandungan gula total
setelah melalui proses fermentasi yang menunjukkan kemampuan hidrolisis bakteri selulolitik dan
xilanolitik.
Terlihat pada Tabel 8 tersebut, bahwa selama tiga hari hidrolisis jumlah gula total yang
dihasilkan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh kandungan gula dalam larutan relatif
semakin banyak karena proses hidrolisis selulase pada fraksi selulosa. Fraksi selulosa yang
sebelumnya sukar larut (Hayashida et al. 2004) dalam berbagai pelarut setelah mengalami hidrolisis

23
selulase menjadi komponen yang lebih sederhana dan mudah larut. Komponen yang lebih sederhana
tersebut adalah selo-oligosakarida dan glukosa.
Tabel 8. Perubahan gula total selama fermentasi
Gula Total (mg/ml)
Jenis Bakteri Hari ke
30oC 37oC
1 1803.012 1729.679
2 1625.383 1672.642
Kontrol
3 1612.346 1631.901
4 1693.827 1657.975
1 1451.734 1394.816
2 1512.717 1467.183
FLs1
3 1589.963 1599.720
4 1528.979 1533.858
1 1445.229 1274.475
2 1459.865 1293.989
FLs1+FLp1
3 1484.258 1334.645
4 1460.678 1311.065
1 1474.643 1512.124
2 1526.791 1543.902
FLp1+FLs1+FLx3
3 1623.753 1583.828
4 1587.902 1574.865

Terjadinya aktivitas enzim menyebabkan polisakarida yang terdapat pada kulit kopi terurai
menjadi gula sederhana yang mengakibatkan gula total mengalami peningkatan pada cairan hidrolisis.
Gula total yang terbentuk dari hidrolisis selulosa oleh selulase terjadi pada perlakuan isolat tunggal
(FLs1) dan pada perlakuan kombinasi dua isolat (FLs1 dan FLp1), sedangkan pada kombinasi tiga
isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1) merupakan gula total yang terbentuk dari hidrolisis selulosa dan xilan.
Gula total tertinggi dihasilkan dari kombinasi tiga isolat yaitu FLs1, FLp1 dan FLx3 pada suhu 30oC
berkisar antara 1474.643 mg/ml 1587.902 mg/ml, namun pada hari ke tiga merupakan hasil optimal
yang dicapai dengan nilai gula total sebesar 1623.753mg/ml.Gula total yang terbentuk semakin
meningkat seiring dengan lamanya waktu optimal inkubasi, karena semakin banyak selulosa dan xilan
yang diserang dan membebaskan gula penyusunnya. Penurunan pada hari terakhir fermentasi terjadi
karena bakteri akan memanfaatkan gula yang terkandung dalam media untuk pertumbuhannya
sehingga kadar gula dalam cairan hidrolisis berkurang.
Gula pereduksi ialah gula yang dihasilkan dari pemotongan enzim secara acak oleh enzim
endoglukanase yang membebaskan ujung pereduksi, baik dalam bentuk rantai panjang (oligosakarida)
atau rantai pendek (polisakarida). Kemampuan mereduksi gula dapat diketahui dengan adanya gugus
aldehida yang bebas. Pada Tabel 9 disajikan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan selama
fermentasi. Terlihat bahwa selama tiga hari hidrolisis jumlah gula pereduksi yang dihasilkan
mengalami peningkatan. Dapat diketahui bahwa jenis enzim yang digunakan akan berpengaruh dalam
menghasilkan gula pereduksi.
Gula pereduksi tertinggi dihasilkan dari kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1) pada
o
suhu 30 C yang dihidrolisis oleh selulase dan xilanase yaitu berkisar antara 47.301 mg/ml 55.986
mg/ml dan pada hari ke tiga merupakan hasil optimal yang dicapai dengan nilai gula pereduksi

24
sebesar 55.986 mg/ml. Menurut Himmel et al. (1999), gula pereduksi dihasilkan dari hidrolisis enzim
selulase dan xilanase yang bekerja secara sinergis.
Tabel 9. Perubahan gula pereduksi selama fermentasi
Gula Pereduksi (mg/ml)
Jenis Bakteri Hari ke
30oC 37oC
1 51,629 49,932
2 51,686 51,233
Kontrol
3 52,874 52,195
4 53,949 53,157
1 25.168 26.514
2 27.831 28.476
FLs1
3 31.840 31.644
4 30.158 31.111
1 27.467 26.514
2 27.803 26.570
FLs1+FLp1
3 29.597 27.915
4 29.373 27.943
1 47.301 40.880
2 49.876 43.879
FLp1+FLs1+FLx3
3 55.986 50.781
4 54.713 48.489

Menurut Sutrisno (2006), penambahan waktu inkubasi akan meningkatkan aktivitas ekstrak
kasar enzim. Sisi aktif enzim dalam mengikat substrat secara optimum membutuhkan waktu yang
cukup. Jika waktu yang dikondisikan pada enzim dan substrat kurang dari cukup, maka sisi aktif
enzim belum optimal dalam mengikat substrat, sehingga produk yang terbentuk masih sedikit pada
saat reaksi dihentikan. Pada saat waktu inkubasi optimum, substrat terikat secara maksimum oleh sisi
aktif enzim. Aktivitas enzim mengalami penurunan dengan penambahan waktu inkubasi lebih lanjut.
Produk gula pereduksi yang dihasilkan dari reaksi enzimatis sebanding dengan lama waktu inkubasi,
tetapi jika sisi aktif enzim telah jenuh oleh substrat, lama waktu inkubasi kurang berpengaruh,
sehingga produk yang dihasilkan hanya mengalami peningkatan yang relatif kecil.
Aktivitas enzim selulase dan enzim xilanase mendegradasi selulosa dan xilan yang
terkandung dalam bahan akan meningkatkan kadar gula pereduksi dan gula total. Akan tetapi, bakteri
juga memanfaatkan gula pereduksi yang terbentuk sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan dan
pembentukan biomassa. Penurunan gula pereduksi dalam hal ini akan diikuti dengan semakin
rendahnya gula total dalam bahan. Dengan demikian, penurunan selulosa dan xilan tidak dapat
memastikan gula yang terkandung dalam bahan akan tetap ataupun meningkat.

4.2.4 Susut Bobot

25
Analisa susut bobot dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan jenis bakteri yang
berbeda perlakuan kombinasi terhadap substrat yang menyusut pada proses fermentasi. Perubahan
susut bobot disajikan dalam Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Perubahan susut bobot selama fermentasi


Susut Bobot (%)
Jenis Bakteri Hari ke o
30 C 37oC
1 25.400 22.370
2 28.386 23.167
FLs1
3 33.948 32.145
4 41.222 34.939
1 20.026 18.865
2 31.388 28.851
FLs1+FLp1
3 35.924 33.157
4 38.617 36.242
1 31.126 23.097
2 41.759 42.612
FLp1+FLs1+FLx3
3 43.462 47.126
4 49.118 49.027

Semakin lama fermentasi maka penyusutan terhadap bobot semakin tinggi. Data tersebut
menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi menghasilkan penyusutan yang semakin tinggi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Setyatwan (2007) yang menyatakan bahwa lama inkubasi berkaitan erat
dengan waktu yang dapat digunakan oleh mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak. Semakin lama
waktu fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan bakteri untuk hidupnya
sehingga jumlah zat makanan yang tersisa semakin sedikit.
Penyusutan bobot tertinggi dihasilkan oleh perlakuan kombinasi tiga isolat yaitu FLs1, FLp1
dan FLx3 pada suhu 30oC sebesar 49.118% dengan lama waktu hari ke empat fermentasi. Hal ini
menunjukkan bahwa proses fermentasi berjalan, dimana nutrien yang terkandung di dalam substrat
telah digunakan oleh bakteri. Penyusutan ini disebabkan karena senyawa organik yang terkandung
dalam substrat didegradasi menjadi molekul yang lebih sederhana. Selain itu, dengan semakin lama
fermentasi terjadi proses transpirasi atau proses respirasi yang terus berlangsung dan perombakan
senyawa organik menghasilkan air, karbondioksida dan melepaskan sejumlah energi.

4.3 Kualitas Biji Kopi Hasil Fermentasi

Kadar gula awal dalam daging biji kopi akan mempengaruhi konsentrasi gula akhir setelah
fermentasi. Fermentasi menghasilkan produk sampingan berupa asam organik. Melalui jalur Embden-
Mayer-Parnas menghasilkan produk sampingan seperti asam piruvat, asetaldehid, dan asam organik
lainnya seperti asam laktat, asam asetat dan gliserol (Basuki 1995). Dalam proses fermentasi glukosa
melalui jalur glikolisis akan terjadi reduksi asam piruvat yang menghasilkan asam laktat, kemudian
asam piruvat menghasilkan asetil-KoA yang merupakan salah satu senyawa hasil katabolisme
karbohidrat, lemak maupun protein (Fardiaz 1990).Kandungan karbohidrat pada biji kopi

26
yaitusebesar 48,8%. Dari hasil tersebut, kadar karbohidrat yang cukup besar berpengaruh pada
terbentuknya asam-asam organik yang berpotensi pada pembentukan aroma kopi yang lebih nikmat.
Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa asam laktat pada biji kopi hasil fermentasi lebih tinggi
dibandingkan dengan biji kopi Arabika maupun kopi luwak. Pada kopi luwak, kadar asam laktat lebih
rendah jika dibandingkan dengan biji kopi Arabika sedangkan pada biji kopi hasil fermentasi
menghasilkan kadar asam laktat yang lebih tinggi. Pada kombinasi bakteri FLs1 dan FLp1 memiliki
kadar asam laktat sebesar 6600 ppm yang paling rendah dari ketiga perlakuan fermentasi.Hal ini
mungkin dapat diakibatkan oleh adanya protease dengan konsentrasi 5% yang dapat menghambat
proses pemecahan gula sehingga asam laktat yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini sama dengan hasil
penelitian Rohman (2013) yang memperoleh kadar asam laktat paling rendah sebesar 1400 ppm pada
perlakuan biji kopi yang difermentasi menggunakan protease dengan konsentrasi 10%. Asam laktat
dapat membantu metabolisme sel di dalam tubuh. Kondisi asam laktat yang tinggi dapat mencegah
serangan penyakit kanker (Naland 2008).

Tabel 11. Hasil analisa biji kopi menggunakan HPLC


Asam Asam Asam Asam
Kafein
Sampel Askorbat Butirat Laktat Oksalat
(ppm)
(ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
FLs1 370.2 9723.4 3300 18400 1667.74
FLs1+FLp1 396.6 9529.5 1500 6600 1272.2
FLs1+FLp1+FLx3 440.4 10193.8 1000 10600 930.43
Kopi Arabika 224.6 72 74 3000
18857.8
(tanpa fermentasi)
Kopi Luwak 202.8 13426 82 26 1700

Glukosa difermentasi oleh berbagai macam bakteri, dan perbedaan dalam tipe-tipe fermentasi
biasa terletak pada penggunaan asam piruvat yang terbentuk. Pembentukan asam butirat meliputi
tahap pemecahan karbohidrat menjadi glukosa, setelah itu menjadi asam piruvat. Kemudian sebelum
terbentuk asam butirat, akan melalui dua senyawa antara yaitu asetil-KoA dan asam asetoasetat
(Pelczar dan Chan 2007).
Pada kopi luwak menghasilkan asam butirat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi
Arabika, sedangkan kadar asam butirat yang diperoleh pada biji kopi hasil fermentasi memiliki nilai
yang lebih tinggi yaitu sebesar 3300 ppm dengan menggunakan bakteri selulolitik (FLs1). Hal ini
menunjukkan kemampuan selulolitik dalam mendegradasi selulosa yang terkandung di dalam kopi,
sehingga terjadi pemecahan kandungan gula yang menghasilkan asam-asam diantaranya merupakan
asam butirat. Asam butirat dapat digunakan sebagai sumber energi kolonisitas dan mempunyai sifat
anti inflamasi yang penting untuk menjaga kesehatan dan penyembuhan sel-sel kolon (Hijova 2007).
Komponen yang cukup penting dalam biji kopi adalah kafein dan kafeol. Kandungan kafein
dalam biji kopi bervariasi menurut jenisnya. Kafein (1,3,7- trimetilsantin) merupakan zat perangsang
syaraf yang sangat penting dalam bidang farmasi dan kedokteran sedangkan kafeol merupakan salah
satu zat pembentuk cita rasa dan aroma. Kadar kafein rata-rata dalam biji kopi Arabika adalah 12000
ppm sedangkan kopi Robusta 22000 ppm. Meskipun rasanya pahit tetapi kafein hanya menyumbang
cita rasa bitterness kurang dari 10%. Kafein tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap cita rasa.
Namun, pada beberapa kultivar kopi, kafein berhubungan dengan komponen lainnya seperti lemak
dan asam khlorogenat (Yusianto 1999).

27
Proses fermentasi yang terjadi di dalam perut luwak akan mempengaruhi buah kopi yang di
uraikan oleh enzim proteolitik. Hal ini menunjukan bahwa sekresi endogen pencernaan hewan luwak
tersebut meresap ke dalam biji kopi, kemudian sekresi enzim proteolitik memecah kandungan protein
yang terdapat pada biji kopi dan menjadikan buah kopi tersebut sangat rendah kafein (Buldani
2011).Pada hasil analisa kafein yang diperoleh pada hasil fermentasi ini berkisar antara 9529.5-
10193.8 ppm. Kadar kafein pada ketiga perlakuan kombinasi bakteri tersebut memiliki nilai yang
tidak terlalu berbeda jauh. Penurunan kadar kafein biji kopi fermentasi tertinggi terhadap biji kopi
arabika diperoleh pada kombinasi bakteri FLs1 dan FLp1. Kandungan protein pada biji kopi yaitu
sebesar 10.34%. Dari hasil tersebut, kadar protein akan mempengaruhi kinerja proteolitik yang
digunakan dalam proses fermentasi.Hal ini menunjukkan jika proses fermentasi secara enzimatis dapat
menurunkan kadar kafein pada biji kopi.Rendahnya kafein berindikasi baik karena kafein dapat
menyebabkan insomnia, meningkatkan denyut jantung, mudah gugup, sakit kepala, merasa tegang dan
cepat marah. Pada wanita hamil juga disarankan tidak mengkonsumsi kopi dan makanan yang
mengandung kafein, karena pada janin dapat menyerang plasenta kemudian masuk dalam sirkulasi
darah janin dan dapat menyebabkan keguguran (Anonim 2009).

60
49 48
Penurunan Kafein (%)

50 46

40
29
30

20

10

0
Biji kopi+FLs1 Biji kopi+FLs1 Biji kopi+FLs1 Kopi Luwak
+FLp1 +FLp1+FLx3

Gambar 8. Penurunan kadar kafein biji kopi setelah fermentasi dan kopi luwak

Secara umum dengan semakin lamanya proses fermentasi, maka keasaman kopi akan
semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya asam-asam alifatik selama proses
fermentasi. Apabila lama fermentasi diperpanjang akan terus terjadi perubahan komposisi kimia biji
kopi, dimana asam-asam alifatik akan berubah menjadi ester-ester asam karboksilat yang dapat
mengakibatkan cacat fermentasi dengan cita rasa busuk (Sulistyowati dan Sumartono 2002).
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), senyawa yang membentuk aroma di dalam kopi
adalah golongan fenol dan asam tidak mudah menguap yaitu asam kofeat, asam klorogenat, asam
ginat dan riboflavin, golongan senyawa karbonil yaitu asetaldehid, propanon, alkohol, vanilin aldehid,
golongan senyawa karbonil asam yaitu oksasuksinat, aseto asetat, hidroksi pirufat, keton kaproat,
oksalasetat, mekoksalat, merkaptopiruvat, golongan asam amino yaitu leusin, iso leusin, variline,
hidroksiproline, alanin, threonin, glisin dan asam aspartat, golongan asam mudah menguap yaitu asam
asetat, propionat, butirat dan volerat.
Pada biji kopi hasil fermentasi memiliki kadar asam oksalat yang lebih rendah dibandingkan
dengan kopi Arabika dan kopi luwak. Kadar asam oksalat paling rendah dihasilkan oleh biji kopi hasil
fermentasi dengan kombinasi bakteri FLs1, FLx3 dan FLp1 sebesar 930.43 ppm. Hal ini menunjukkan

28
jika proses fermentasi secara enzimatis dapat menurunkan kadar asam oksalat pada biji kopi. Asam
oksalat bersama-sama dengan kalsium di dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang tak larut
dan tak dapat diserap oleh tubuh, hal ini tak hanya mencegah penggunaan kalsium yang juga terdapat
dalam produk-produk yang mengandung oksalat, tetapi menurunkan CDU dari kalsium yang
diberikan oleh bahan pangan lain. Hal tersebut dapat menekan mineralisasi kerangka dan mengurangi
pertambahan berat badan (Rahma 2011).
Selain asam laktat, asam butirat dan asam oksalat, juga dilakukan analisa pada asam askorbat
atau yang biasa dikenal secara umum dengan vitamin C. Kadar vitamin C pada kopi selama proses
fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan kopi Arabika dan kopi luwak. Pada fermentasi dengan
bakteri FLs1 memiliki kadar asam askorbat yang paling rendah yaitu sebesar 370.2 ppm jika
dibandingkan dengan perlakuan fermentasi yang lain. Vitamin C umumnya hanya terdapat pada sayur
dan buah. Vitamin C merupakan vitamin yang paling tidak stabil dari semua vitamin, mudah rusak
karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) (Almatsier 2004).

29
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Bakteri proteolitik (FLp1) merupakan isolat bakteri yang terbaik dengan nilai aktivitas enzim
tertinggi yaitu 1.4 unit/ml.Perlakuan terbaik pada fermentasi tunggal menggunakan selulolitik dan
kombinasi dua bakteri menggunakan selulolitik dan proteolitik diperoleh pada hari ke-2, dan pada
kombinasi tiga bakteri menggunakan selulolitik, xilanolitik dan proteolitik diperoleh pada hari ke-3
dengan suhu 30oC.Hasil analisa pada biji kopi terbaik hasil fermentasi menunjukkanperubahan pada
asam organik dan kafein. Hal ini dibuktikan dengan hasil asam oksalat dan kadar kafein yang lebih
rendah dibandingkan kopi luwak, serta tingginya asam butirat, asam laktat dan asam askorbat.
Berdasarkan kandungan nutrisinya, kopi luwak enzimatis ini lebih baik dari kopi luwak.

5.2 SARAN

Perlu dikaji analisa dengan pengujian organoleptik, sehingga dapat mengetahui aroma dan rasa
terhadap kopi hasil fermentasi secara enzimatis.

30
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia, Jakarta.

Anonim. 2009. Manfaat dan Bahaya Kandungan Kafein dalam


Kopi. http://www.azk4.com/2009/02/manfaat-dan-bahaya-kopi.htm. [20 Oktober 2011].

Aunstrup K, Andersen O, Falch A, Nielsen TK. 1979. Production of Microbial Enzymes. Diacu dalam
Pepler, H.J. dan D. Perlman (eds.). Microbial Technology Microbial Process. Academic
Press, New York.

Abalos JMF, Arribas AR, Garda AL, Santamaria RI. 1997. Effect of Carbon Source on the Expression
of celAl, a Cellulase-Encoding Gene from Streptomyces halstedii JM8. FEMS Microbiol.
153: 97-103.

Allen, Collen M. 1998. Kombucha FAQFrequently Asked Questions about Kombucha


Tea. http://persweb.direct.ca/chaugen/kombucha_faq_home.html. [18 Januari 2013].

Basuki W. 1995. Teknologi Fermentasi untuk Produksi Etanol. Prosiding Seminar Nasional
Mikrobiologi Kelautan dan Bioremediasi. Ujung Pandang, 6-7 Desember 1995.

Beg QK, Kapoor M, Mahajan L, Honndal GS. 2001. Microbial Xylanases and Their Industrial
Applications. [ulasan]. Appl Microbiol Biotechnol. 56: 326-338.

Bradford, MM. 1976. A Rapid and Sensitive Method for the Quantitation of Microg Quantities of
Protein Utilizing the Principal of Protein-dye Binding. Anal Biochem.72:248-254.

Buldani D. 2011. Mengungkap Rahasia Bisnis Kopi Luwak. [e-book] Cicalengka, Bandung.

Chen S, Wang J, Xu F, Qin W, Yu Z, Zhao H, Xing X, Li H. 2011. Strain Improvement for Enhanced
Production of Cellulase in Trichoderma viride. Appl Biochemist and Microbiol.47(1):53-58.

Cho GS, Suh JH, Choi YI. 1996. Overproduction, Purification, and Characterization of Bacilluss
stearothmophillus Endo-Xylanase A (XynA). Microbiol and Biotechnol.6: 79-85.

Ciptadi W, Nasution MZ. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Considine DM, Considine GD. 1983. Van Nostrands Scientific Encyclopedia, 6th ed. Van Nostrand
Reinhold Company, New York.

Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammals of the Indomalayan Region: a Systematic Review. Nat. Hist.
Mus. Publ. and Oxford Univ. Press, Singapura.

Cranbrook. 1987. Riches of the Wild: Land Mammals of South-East Asia. Oxford Univ. Press,
Singapura. ISBN 0-19-582697-3.

Dewi SL. 2012. Isolasi Bakeri Selulolitik dan Xilanolitik dari Feses Luwak [skripsi]. Departemen
Biologi Institut Pertanian Bogor,Bogor.

31
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric Method for
Determination of Sugar and Related Substances. Anal Chem.28: 350-356.

El-Raheem A, El-Shanshory R, El-Sayed MA, El-Shouny WA. 1994. Optimal Production Conditions
of an Extracellular Protease from Streptomyces corchorusii ST 36. Acta Microbial. 43: 313-
320.
Elias LG. 1979. Chemical Composition of Coffee-Berry By-Products. Diacu dalam Braham J E dan
Bressani R. (eds.) Coffee Pulp: Composition, Technology, and Utilization. Institute of
Nutrition of Central America and Panama.

Enari TM. 1983. Microbial Cellulases. Microbial Enzymes and Biotechnol. Appl Sci Publisher, New
York.

Fardiaz S. 1987. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB, Bogor.

_______. 1989. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB, Bogor.

_______. 1990. Mikrobiologi Pangan . Grameedia Pustaka Utama, Jakarta.

_______. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Girindra, A. 1993. Biokimia I. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.

Hasbi H. 2009. Budidaya Kopi. http://budidayatanamantahunan.blogspot.com [9 September 2012].

Hayashida S, Mo K, Hosoda A. 1998. Production and Characteritics of Avicel-Digesting and Non-


Avicel Digesting Cellobiohydrolases From Aspergillus ficum. Appl Environ Microbiol.54(6)
: 1523-1529.

Hijova E, Chmelarova A. 2007. Short Chain Fatty Acids and Colonic Health. BratisI Lek Listy,
108(8):354-358. Slovakia.

Himmel ME, Ruth M, Wyman CE. 1999. Cellulase for Comodity Products from Cellulosic Biomass.
Current Opinion of Biotechnol. 10: 358-364.

Irawadi TT. 1990. Selulase. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Irawadi TT. 1991. Produksi Enzim Ekstraselular (Selulase dan Xilanase dari Neurospora sitopila Pada
Substrat Limbah Padat Kelapa Sawit [disertasi]. Prog Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Lehninger AL. 1988. Principles of Biochemistry. Thenawidjaja M, penerjemah. Erlangga, Jakarta.

Lonsane BK, Saucedo CG, Raimbault M, Roussos S, Viniegra GG, Ghildyal NP, Ramakrishna M,
Krishnaiah MM. 1992. Scale-up strategies for solid-statefermentation system. Process
Biochem. 27: 259273.

Madigan T, Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall Internasional lnc,
New Jersey.

Mandels M, Reese T, Spano LA. 1976. Enzymatic Convertion of Cellulosic Material. Technology
and Application Interscience. Publishing John Willey and Sons. New York.

Miller GL. 1959. Usage of Dinitrosalicyclic Acid Reagent for Determination of Reducing Sugar. Anal
Chem. 31: 426-428.

Miyamoto K. 1997. Renewable Biological System for Alternative Sustainable Senergy Production.
FAO Agric Services Bul. 128.

32
Muchtadi D. 1992. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Muthulakshmi C, Gomathi D, Kumar DG, Ravikumar D, Kalaiselvi M, Uma C. 2011. Production,


Purification and Characterization of Protease by Aspergillus flavus under Solid State
Fermentation. Biochem. 4:137-148
Najiyati S dan Danarti. 2006. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Naland, H. 2008. Kombucha,Teh dengan Seribu Khasiat. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Pandey A, Selvakumar P, Soccol CR, Nigam P. 1999. Solid State Fermentation for the Production of
Industrial Enzymes. Curr Sci. 77: 149162.

Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Pelczar MJ dan Chan ECS. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press, Jakarta.

Perez J, Munoz-Dorado J, de la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and Biological Treatment


of Cellulose, Hemicellulose and Lignin. Int Microbial. 5(2): 53-63.

Purwadaria T.1997. The Correlation between Amylase and Cellulase Activities with Starch an Fibre
Contents on The Fermentation of Cassapro (Cassava Protein) with Aspergillus niger. Proc
Indonesian BiotechnolConference. Jakarta, 17-19 Juni, 1997. 1: 379-390.

Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB,
Bogor.

Rahma. 2011. Asam Oksalat, Sifat-sifat Asam Oksalat dan Pengaruh Asam Oksalat.
http://www.landasanteori.blogspot.com/2011/09/asam-oksalat-sifat-sifat-asam-oksalat.html.
[1 Februari 2013].

Ramos-Valdivia A, de la Torre M, Casas-Campillo C. 1983. Solid State Fermentation of Cassava with


Rhizopus Oligosporus. In Production and Feeding of Single Cell Protein. Ed. M.P. Ferranti
dan A. Fiechter. Appl Sci Pub, London.

Reilly PJ. 1981. Enzymatic Degradation of Starch. Starch Convertion Technology. Marcell Dekker,
New York.

Richana N. 2012.Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di


Indonesia.Bul AgroBio.5(1): 29-36.

Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi [skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Lampung.

Rimbault M. 1998. General and Microbiological Aspects of Solid Subtrate Fermentation. EJB
ElectronicJ Biotechnol. 0717-3458.

Rohman H. 2013. Produksi Kopi Secara Enzimatis Menggunakan Bakteri Proteolitik dan Kombinasi
Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik dari Luwak [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor.

Saha BC. 2003. Hemicelluocesa Bioconversion. Microbiol Biotechnol. 30: 279-291.

Satiawiharja B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Pemanfaatannya. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, Jakarta.

33
Schaefer. 1969. Sporulation and The Production of Antibiotics, Exoenzyme, and Exotoxins. Rev. 33:
48-71.

Secades P, Alvarez B, Guijarro JA. (2001). Purification andCharacterization of a Psychrophilic,


Calcium-Induced, Growth-Phase-DependentMetalloprotease from the Fish Pathogen
Flavobacterium psychrophilum. ApplEnviron Microbiol. 67(6):2436-2444.

Senez J. 1979. Solid State Fermentation of Starchy Subtrates. Food and Nutrition Bul. 1(2): 199.

Setyatwan H. 2007. Peningkatan Kualitas Nutrisi Duckweed Melalui Fermentasi Menggunakan


Trichodermaharzianium. JIT. 7(2) :113-116.

Siswoputranto PS. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanisius, Yogyakarta.

Subramaniyan S, Prema P. 2002. Biotechnology of Microbial Xylanases: Enzymology, Molecular


Biology and Application. Critical Rev Biotechnol. 22(1): 33-64.

Sugiarto JW. 2001. Studi Produksi Enzim Protease Bacillus subtilis DB104 Rekombinan R-1 pada
Media Tepung Kedelai [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Suhartono MT. 1988. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor.

___________. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.

____________. 1991. Protease. IPB Press, Bogor.

___________. 1992. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.

Sulistyowati dan Sumartona. 2002. Metode Uji Citarasa Kopi. Materi Pelatihan Uji Citarasa Kopi 19-
21 Februari 2002. Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.

Sutrisno. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Enzim Ekstrak Kasar Xilanase Sari Aspergillus niger.
Availabe at http://fisika.brawijaya.ac.ai. [16 Oktober 2012].

Tunga RB. 1995. Influence of Temperature on Enzyme Production. Tech. M [thesis] IIT. Kharagpur,
India.

Walter H-E. 1984. Proteinases (Proteins as Substrates). Method with Haemoglobin, Casein and
Azocoll as Substrate. Di dalam Bergmeyer J, GraI M, editor. Method of enzymatic Analysis.
Edisi ke-3. Verlag Chemie, Weinheim.

Ward OP. 1983. Properties of Microbial Proteinase. Di dalam W. Fogarty (ed). Microbial Enzymes
and Biotechnol. Applied Science Publishing, London.

Webb EE . 1979. Enzymes. Academic Press, New York.

Wery N, Gerike U, Sharman A, Chaudhuri JB, Hough DW, Danson MJ. (2003). Use of a Packed-
Column Bioreactor for Isolation of Diverse Protease Producing Bacteria from Antarctic Soil.
Appl Environ Microbiol. 69(3):1457-64.

Whitaker Jr. 1994. Principle of Enzymology for the Food Science.Ed ke-2. Oxford University Pr, New
York.

Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Winarno FG. 1983. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

34
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yusianto S, Widyotomo S, dan Mulato S. 1999. Studi pembuatan papan partikel darikulit kopi kering.
Pelita Perkebunan. 15(3) : 188-202.

Yusianto S dan Mulato S. 2003. Pengolahan dan Komposisi Kimia Biji Kopi : Pengaruhnya Terhadap
Cita Rasa Seduhan. Materi Pelatihan Uji Citarasa Kopi 5-6 Agustus 2003. Jember : Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao.

35
LAMPIRAN

36
Lampiran 1. Komposisi Media dan Pereaksi

1. Komposisi media CMC (Carboxy Methyl Cellulose) agar

Bahan Jumlah
CMC 1g
MgSO 4 .7H2 O 0.02 g
KNO 3 0.075 g
K 2 HPO 4 0.05 g
FeSO 4. 7H 2 O 0.02 g
CaCl 2 0.004 g
Ekstrak khamir 0.2 g
Glukosa 0.1 g
Agar-agar 2g
Akuades 100 ml

2. Komposisi media xilan agar

Bahan Jumlah
Birchwood xylan 0.5 g
Sukrosa 10.3 g
Ekstrak khamir 1g
Agar-agar 2g
Akuades 100 ml

3. Komposisi media skim agar

Bahan Jumlah
Susu skim 1g
Nutrient Broth 1.3 g
Agar-agar 2g

37
Akuades 100 ml

4. Komposisi pereaksi DNS (Dinitrosalicylic Acid)

Bahan Jumlah
NaOH 10 g
KNa tartrat 182 g
Na 2 SO 4 0.5 g
Akuades 1000 ml

5. Komposisi pereaksi Bradford

Bahan Jumlah
CBB G-250 0.05 g
Etanol 95% 25 ml
Asam fosfat 85% 50 ml
Akuades 500 ml

38
Lampiran 2. Prosedur Analisis Proksimat Biji dan Kulit Kopi

1. Kadar Air
Cawan aluminium dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 5 menit, dan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang bobotnya (a). Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam cawan
aluminium yang telah ditimbang, kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105oC selama
delapan jam. Selanjutnya cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (b).
Kadar air dihitung dengan rumus :
a-b
Kadar air (%)= x 100%
a

Keterangan :

a = bobot awal sampel (g)

b = bobot akhir sampel (g)

2. Kadar Abu
Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam cawan porselain dan dibakar sampai tidak berasap,
kemudian diabukan dalam tanur dengan suhu 600oC selama 2 jam. Selanjutnya cawan tersebut
didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Kadar abu dihitung dengan rumus :

bobot abu
Kadar abu (%)= x 100%
bobot sampel

3. Kadar lemak kasar


Sebanyak 2 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk
thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Kemudian di ekstraksi selama 6 jam dengan
pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak, kemudian dikeringkan di
dalam oven pada suhu 1000C selama 1 jam.
bobot lemak terekstrak
Kadar lemak (%)= x 100%
bobot sampel

4. Kadar protein kasar


Sebanyak 0.25 g sampel dimasukkan ke dalam labu kjehdahl 100 ml dan ditambahkan 0.25 g
selenium dan 3 ml asam sulfat pekat. Sampel didihkan selama 1jam sampailarutan jernih. Setelah
dingin tambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% kemudian di distilasi. Hasil distilasi
ditampung di dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3 BO 3 2% dan 2 tetes indikator
Brom Cresol Green-Methyl Red bewarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan tersebut
menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, distilasi dihentikan dan dilakukan titrasi dengan HCl

39
0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Dengan
metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus :

(S-B) x N HCl x 14
%N= x 100%
W x 1000

Keterangan :
S = volume titran sampel (ml)
B = volume titran sampel (ml)
N=normalitas NaOH
W =bobot sampel kering (mg)
Kadar protein (%) = %N x 6.25

5. Kadar serat kasar


Sebanyak 1g sampel dilarutkan dengan 100 ml H2 SO 4 1.25%, dan dipanaskan hingga
mendidih.Selanjutnya di destruksi selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring dan
dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30ml air mendidih dan
dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan NaOH 1.25 % selama 30
menit. Kemudian di saring dengan cara seperti di atas dan di bilas berturut-turut dengan 25 ml
H 2 SO 4 1.25%, 25 ml air mendidih sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu dan kertas saring
dipindahkan ke cawan porselain dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 130oCselama 2 jam.
Setelah dingin residu beserta cawan porselain ditimbang (a), dan dimasukkan dalam tanur 600oC
selama 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang kembali bobotnya (b).

Keterangan :
Bobot serat kasar = W-W0
W : Bobot residu sebelum dibakar dalam tanur
W0: Bobot residu setelah dibakar dalam tanur

bobot serat kasar


Kadar serat kasar = x 100%
bobot sampel

40
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi

1. Penentuan kadar gula total (Metode Phenol H2 SO 4 , Dubois 1956)

a. Pembuatan Kurva Standar Gula Total


Pembuatan kurva standar gula total dilakukan dua macam. Pembuatan larutan standar sebagai
stok pada perlakuan isolat tunggal hanya menggunakan glukosa, sedangkan pada perlakuan
kombinasi selulase dan xilanase maka menggunakan campuran glukosa dan xilosa dengan
perbandingan 1:1. Larutan stok diambil sebanyak 0 ml, 0.10 ml, 0.20 ml, 0.30 ml, 0.40 ml, 0.50
ml dan 0.60 ml, yang masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 1 ml, ditambahkan 2,5 ml H2 SO 4 pekat dan
divortex kemudian didinginkan. Larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 490 nm.

b. Prosedur Penentuan Gula Total


Penentuan gula total dilakukan dengan menambahkan larutan fenol 5% sebanyak 0,5 ml ke
dalam tabung reaksi berisi 1 ml supernatan dan divortex. Selanjutnya ditambahkan 2,5 ml H2 SO 4
pekat dan divortex kembali supaya homogen kemudian didinginkan, setelah dingin divortex
kembali dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Gula total
(mg/ml) sampel ditentukan dengan persamaan matematik dari kurva regresi linear standar gula
total.

Konsentrasi glukosa (mg/ml) Absorbansi


0 0
0,1 0,183
0,2 0,288
0,3 0,489
0,4 0,680
0,5 0,770
0,6 0,913

Konsentrasi glukosa & xilosa (mg/ml) Absorbansi


0 0
0,1 0,163
0,2 0,309
0,3 0,486
0,4 0,669

41
0,5 0,785
0,6 0,897

Kurva Standar Gula Total Glukosa

1
0.9 y = 1.537x + 0.013
0.8 R = 0.992
Absorbansi

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Konsentrasi (mg/ml)

Kurva Standar Gula Total Gukosa dan Xilosa

1
0.9
0.8 y = 1.534x + 0.012
R = 0.994
0.7
Absorbansi

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Konsentrasi (mg/ml)

42
2. Penentuan kadar gula pereduksi (Metode Dinitrosalicylic acid, Miller 1959)

a. Pembuatan Kurva Standar Gula Pereduksi


Pembuatan kurva standar gula pereduksi dilakukan dua macam. Pembuatan larutan standar
sebagai stok pada perlakuan isolat tunggal hanya menggunakan glukosa, sedangkan pada
perlakuan kombinasi selulase dan xilanase maka menggunakan campuran glukosa dan xilosa
dengan perbandingan 1:1. Larutan stok diambil sebanyak 0 ml, 0.10 ml, 0.20 ml, 0.30 ml, 0.40
ml, 0.50 ml dan 0.60 ml, yang masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 2 ml, ditambahkan 2 ml pereaksi DNS dan
divortex. Selanjutnya dipanaskan dengan suhu 100oC selama 15 menit dan didinginkan. Larutan
diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.

b. Prosedur Penentuan Nilai Gula Pereduksi


Penentuan gula pereduksi dilakukan dengan menambahkan pereaksi DNS sebanyak 1 ml ke
dalam tabung reaksi berisi 1 ml supernatan dan divortex. Kemudian diinkubasi pada suhu 100oC
selama 15 menit dan didinginkan. Larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 540 nm. Gula pereduksi (mg/ml) sampel ditentukan dengan persamaan matematik
dari kurva regresi linear standar gula pereduksi.

Konsentrasi glukosa (mg/ml) Absorbansi


0 0
0,05 0,087
0,1 0,228
0,15 0,403
0,2 0,529
0,25 0,676
0,3 0,756

Konsentrasi glukosa & xilosa (mg/ml) Absorbansi


0 0
0,1 0,183
0,2 0,288
0,3 0,489
0,4 0,680

43
0,5 0,770
0,6 0,913

Kurva Standar Gula Pereduksi Glukosa

0.8
0.7 y = 2.675x - 0.018
0.6 R = 0.993
Absorbansi

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3
Konsentrasi (mg/ml)

Kurva Standar Gula Pereduksi Glukosa dan Xilosa

0.8
y = 2.651x + 0.011
0.7 R = 0.993
0.6
Absorbansi

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3
Konsentrasi (mg/ml)

44
Lampiran 4. Prosedur Uji Aktivitas Enzim Protease

Pengukuran aktivitas enzim protease dengan metode Kunitz yang dimodifikasi (Walter 1984)

Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml)


Buffer Tris HCl (0,2 M) pH 8 1.00 1.00 1.00
Buffer Kasein (1% w/v) 1.00 1.00 1.00
Tirosin standar (5 mM) - - 0.20
Akuades - 0.20 -
Larutan enzim 0.20 - -
o
Diinkubasi pada suhu 37 C selama 10 menit
Asam trikloroasetat (0,1 M) 2.00 2.00 2.00
Larutan enzim - 0.20 0.20
Akuades 0.20 - -
Diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit
Supernatan 1.5 1.5 1.5
Na 2 CO 3 (0,4 M) 5.00 5.00 5.00
Pewarna folin (1:2) 1.00 1.00 1.00
o
Diinkubasi pada suhu 37 C selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 578 nm

Unit aktivitas dihitung dengan persamaan :

(Asp - Abl)
UA = x P x 1/T
(Ast-Abl)

Keterangan :
UA = Jumlah tirosin yang dihasilkan per ml enzim per unit
Asp = Nilai absorbansi sampel
Abl = Nilai absorbansi blanko
Ast = Nilai absorbansi standar
P = Faktor pengenceran
T = Waktu inkubasi

45
Lampiran 5. Prosedur Uji Aktivitas Enzim Selulase dan Xilanase

Pengukuran aktivitas enzim selulase dan xilanase


Sebanyak 0.05 g kulit kopi ditambahkan 5 ml buffer phospat pH 7 dan 5 ml enzim ekstrak kasar
kemudian direaksikan di dalam labu erlenmeyer 100 ml pada suhu ruangan selama 60 menit.
Selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu
4oC. Sebanyak 1 ml supernatan diambil dan ditambahkan 1 ml DNS, lalu diinkubasi pada suhu 100oC
selama 15 menit. Sampel diukur aktivitas enzimnya dengan menghitung pembentukan gula sederhana
dengan metode DNS.

Bahan Jumlah Kontrol Sampel Blanko


Substrat 0.5 ml Ya Ya Ya
Enzim ekstrak 0.5 ml Ya (setelah DNS) Ya (sebelum DNS) -
kasar
DNS 1 ml Ya Ya (setelah inkubasi 40oC, Ya
selama 60 menit)
Akuades steril 0.5 ml - - Ya
Kemudian di vortex
Diinkubasi pada suhu 100 oC selama 15 menit
Didinginkan, kemudian diukur pada panjang gelombang 540 nm

Aktivitas enzim dihitung berdasarkan formula :


A = OD sampel OD blanko
B = OD kontrol OD blanko

Gula pereduksi sampel (mg/ml) = (A + 0.0187) / 2.6754 = CX sampel


Gula pereduksi kontrol (mg/ml) = (B + 0.0187) / 2.6754 = CX kontrol

(CX sampel - CX kontrol) x FP x 1000


Aktivitas enzim (U/ml) =
BM gula pereduksi x waktu inkubasi

Keterangan :
BM : Bobot molekul
FP : Faktor pengenceran

Aktivitas enzim (nkat/ml) = 16.67 x Aktivitas enzim (U/ml)

46
Lampiran 6. Pengukuran Kadar Protein dengan Metode Bradford (1976)

1. Pengukuran kadar protein (Bradford 1976)

a. Pembuatan kurva standar protein


Larutan stok BSA (Bovine Serum Albumine) diambil sebanyak 0 ml, 0.08 ml, 0.16 ml,0.24 ml,
0.32 ml, dan 0.40 ml masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan akuades hingga volumenya menjadi 0.4 ml. Setiap tabung reaksi ditambah 4 ml
pereaksi Bradford dan divortex. Selanjutnya larutan didiamkan selama 15 menit dan diukur
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm.
b. Pengujian kadar protein
Pengujian kadar protein dilakukan dengan mengambil 0,2 ml sampel ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 2 ml larutan Bradford dan divortex. Larutan didiamkan selama 15 menit
dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Kadar protein
(mg/ml) sampel ditentukan dengan persamaan matematik dari kurva regresi linear standar BSA.

Konsentrasi BSA (mg/ml) Absorbansi


0 0
0,02 0,129
0,04 0,213
0,06 0,270
0,08 0,340
0,1 0,416

47
Kurva Standar Protein

0.5
y = 3.955x + 0.03
R = 0.981
0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
Konsentrasi (mg/ml)

48

Das könnte Ihnen auch gefallen