Sie sind auf Seite 1von 53

AKTIVITAS INSEKTISIDA

CAMPURAN EKSTRAK EMPAT JENIS TUMBUHAN


TERHADAP LARVA Crocidolomia pavonana (F.)
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)

Oleh:

Nia Yunia
A44101026

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
ABSTRAK

NIA YUNIA. Aktivitas Insektisida Campuran Ekstrak Empat Jenis Tumbuhan


terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Dibimbing
oleh DADANG.
Sampai saat ini usaha pengendalian hama kubis masih tergantung pada
penggunaan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang kurang
bijaksana dapat berpengaruh buruk pada ekosistem, sehingga perlu dicari
alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan.
Penelitian bertujuan untuk mempelajari aktivitas insektisida campuran dari
empat ekstrak tumbuhan terhadap kematian hama kubis C. pavonana dan
mendapatkan kombinasi ekstrak tumbuhan yang paling baik dalam mempengaruhi
kematian hama C. pavonana.
Sumber ekstrak yang digunakan berasal dari biji Aglaia odorata, Annona
squamosa, Swietenia mahogani dan Piper retrofractum. Uji mortalitas dilakukan
pada konsentrasi 0,05%; 0,1%; 0,2%; 0,4%; 0,8% dan 1%. Perbandingan
campuran ekstrak yang digunakan adalah 3:7, 1:1 dan 7:3. Uji mortalitas
dilakukan dengan metode pencelupan daun. Larva diberi makan daun perlakuan
selama 48 jam, kemudian diberi makan daun tanpa perlakuan. Setiap perlakuan
diulang 5 kali.
Campuran ekstrak yang memiliki potensi tinggi terhadap mortalitas larva
C. pavonana adalah MS 3:7 0,05%; OS 3:7 0,05%; OS 1:1 0,05%; RS 3:7 0,05%;
RS 1:1 0,05% dan RS 7:3 0,05%. Mortalitas yang disebabkan oleh masing- masing
campuran setelah 48 jam perlakuan berkisar antara 94%-100% dan pada
pengamatan terakhir yaitu 72 jam setelah perlakuan ekstrak campuran
mengakibatkan kematian hingga 100%. Dari enam campuran ekstrak di atas,
setiap campuran terdapat ekstrak A. squamosa. A. squamosa yang diaplikasikan
dalam bentuk campuran memiliki aktivitas senyawa yang tinggi terhadap
mortalitas C. pavonana.
AKTIVITAS INSEKTISIDA
CAMPURAN EKSTRAK EMPAT JENIS TUMBUHAN
TERHADAP LARVA Crocidolomia pavonana (F.)
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian


pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Nia Yunia
A44101026

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judul Skripsi : AKTIVITAS INSEKTISIDA CAMPURAN EKSTRAK
EMPAT JENIS TUMBUHAN TERHADAP LARVA
Crocidolomia pavonana (F.) (LEPIDOPTERA:
PYRALIDAE)
Nama Mahasisiwa : Nia Yunia
NRP : A44101026

Menyetujui,
Pembimbing

Dr. Ir. Dadang, MSc


NIP. 131879337

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr


NIP. 130422698

Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka, Jawa Barat pada tanggal 8 Juni 1982


sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Bapak M. Erfand Kosasih
dan Ibu Cicih Suhayaningsih.
Penulis memperoleh pendidikan sekolah lanjutan atas di SMU Negeri 2
Majalengka pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama
penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Program
Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis aktif di pengurusan HIMASITA pada periode 2001-2002. Penulis juga
merupakan salah satu anggota di Yayasan PEKA Indonesia pada tahun 2003-
2004. Aktif juga mengikuti kegiatan Masa Pengenalan Fakultas (MPF) 2004
sebagai anggota P3K, serta di bidang akademik penulis menjadi asisten dosen
untuk mata kuliah Pestisida dan Teknik Aplikasi.
PRAKATA

Segala puji penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT Yang Maha


Pengasih dan Maha Penyayang atas karunia, rahmat dan hidayat-Nya sehingga
penulis dapat mnyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan lancar
karena semua daya dan upaya hanya milik ALLAH SWT semata. Skripsi yang
berjudul Aktivitas Insektisida Kombinasi Ekstrak Empat Jenis Tumbuhan
terhadap Larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institutr Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu, Bapak yang telah
membesarkan dengan penuh kasih sayang dan cinta yang tulus serta doanya untuk
keberhasilan penulis di dunia dan akhirat. Saudara-saudaraku tercinta (Teh Reni,
Teh Angi, Ima, A Rama dan Niko) yang telah mendukung secara moral dan
material selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih juga penulis
haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Dadang, MSc atas bimbingan, nasihat, dan
perhatiannya selama penelitian dan saat penyusunan skripsi dan kepada Ibu Ir.
Ivon Oley Sumarauw, MSi atas ketersediaannya menjadi penguji tamu dan atas
saran-sarannya yang bermanfaat bagi penulis. Kepada Pak Agus, Mba Nana, Iis,
Budi, Ferdy dan anggota Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga yang
sering diajak berdiskusi tentang berbagai masalah oleh penulis. Kepada Pak Sodik
dan Mas Agung yang telah membantu saat penelitian. Teman-teman Tim KKP
Gunung Keling terima kasih atas persahabatan yang tak terlupakan. Kepada anak-
anak Andaleb dan Wisma Nadia serta teman-teman DPT angkatan 38 yang selalu
memberikan semangat. Tidak lupa kepada sahabat-sahabatku (Winta, Indah, Iis
dan Nita) yang selalu siap menemani, menghibur dan membantu. Terimakasih
atas perhatian dan dukungannya. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis
ungkapkan satu persatu.
Semoga penelitian dan skripsi ini dapat memberikan manfaat yang banyak
bagi kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2006

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

Latar Belakang ................................................................................... 1


Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5

Brokoli ................................................................................................ 5
Bioekologi Crocidolomia pavonana .................................................. 5
Annona squamosa ............................................................................. 8
Aglaia odorata .................................................................................... 9
Swietenia mahogani ........................................................................... 10
Piper retrofractum .............................................................................. 11
Prospek Insektisida Botani ................................................................... 12

BAHAN DAN METODE .............................................................................. 15

Tempat dan Waktu ............................................................................. 15

Metode ................................................................................................ 15
Sumber Ekstrak ...................................................................... 15
Penanaman Brokoli ................................................................ 15
Perbanyakan Serangga Uji . ................................................... 16
Ekstraksi ................................................................................. 16
Uji Mortalitas .......................................................................... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 18

Aktivitas Campuran Ekstrak terhadap Kematian Crocidolomia


pavonana ............................................................................................. 18
Pembahasan Umum .............................................................................. 26

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 29

Kesimpulan ......................................................................................... 29
Saran ................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30

LAMPIRAN .... 34
DAFTAR GAMBAR

No Halaman
Teks
1. Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran
ekstrak S. mahogani dan A. squamosa (MS) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c) ...... . 19

2. Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran


ekstrak A. odorata dan P retrofractum (OR) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c) . 20
3. Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran
ekstrak A. odorata dan A. squamosa (OS) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c) ............ . 21
4. Perkembangan mor6alitas C. pavonana yang diperlakuan campuran
ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani (RM) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c) ..... 22
5. Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran
ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa (RS) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c) . 23
6. Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran
ekstrak A. odorata dan S. mahogani (OM) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c) 25
DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman
Teks
1. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan
campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa (MS) 3:7...................... 34

2 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa (MS) 1:1...................... 34

3. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa (MS) 7:3 .................... 35

4. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan P. retrofractum (OR) 3:7 .................. 35

5. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan P. retrofractum (OR) 1:1 .................. 36

6. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan P. retrofractum (OR) 7:3 ................... 36

7. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa (OS) 3:7 ......................... 37

8. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa (OS) 1:1 . 37

9. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa (OS) 7:3.. 38

10. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani (RM) 3:7. 38

11. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani (RM) 1:1 . 39

12. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani (RM) 7:3 39
13. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan
campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa (RS) 3:7 . 40

14. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa (RS) 1: 1 40

15. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa (RS) 7:3 . 41

16. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan S. mahogani (OM) 3:7 41

17. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak S A. odorata dan S. mahogani (OM) 1:1 . 42

18. Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi perlakuan


campuran ekstrak A. odorata dan S. mahogani (OM) 7:3 42
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kubis (Brassicaceae) adalah salah satu sayuran yang penting


yang banyak diusahakan di dataran tinggi di Indonesia. Tanaman kubis juga
merupakan sayuran daun yang digemari masyarakat sehingga merupakan jenis
sayuran yang paling banyak dihasilkan di Indonesia. Pada tahun 1992 luas areal
pertanaman kubis di Indonesia sekitar 36.250 ha dengan produksi rata-rata
660.467 ton atau sekitar 18,2 ton per ha (Ba lai penelitian Hortikultura dalam
Islamiah 2003). Kubis memiliki potensi produksi yang tinggi karena berdaya hasil
tinggi, sehingga tepatlah bila kubis diprioritaskan sebagai salah satu tanaman
sayuran daun yang perlu diperhatikan lebih lanjut guna memperbaiki gizi
masyarakat Indonesia. Namun demikian pada tahun-tahun terakhir ini terjadi
penurunan produksi kubis.
Penurunan hasil panen tanaman sayuran dalam beberapa tahun belakangan
ini disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang baik, gangguan hama dan
penyakit, serta pengurangan luasan areal pertanaman kubis akibat penggunaan
lahan untuk aktivitas lain. Usaha untuk meningkatkan produktivitas tanaman
kubis telah dilakukan dengan penggunaan bibit unggul, meningkatkan
pemeliharaan tanaman dan pengendalian ha ma dan penyakit (Permadi &
Sastrosiswojo 1993). Di antara beberapa kendala dalam peningkatan produktivitas
tanaman kubis gangguan hama merupakan salah satu kendala yang memicu
semakin rendahnya produktivitas tanaman kubis.
Salah satu serangga hama tanaman kubis yang sangat merugikan dan
merusak, terutama pada musim kemarau yaitu Crocidolomia pavonana (F.)
(Lepidoptera : Pyralidae) disamping Plutella xylostella (Lepidoptera:
Yponomeutidae) (Kalshoven 1981). Sejak tahun 1916 telah diketahui bahwa P.
xylostella dan C. pavonana merupakan hama utama tanaman kubis di dataran
tinggi di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan daerah lain di Indonesia. C.
pavonana menyerang tanaman sejak awal pembentukan krop hingga pembentukan
krop, namun dapat juga serangga ini menyerang tanaman kubis mulai awal tanam.
Akibat kerusakan tersebut kuantitas dan kualitas kubis menurun dan dalam
keadaan yang ekstrem kubis tidak dapat dipanen sama sekali. Apabila tidak
dilakukan pengendalian kerusakan oleh hama tersebut dapat mencapai 100 %
(Permadi dan Sastrosiswojo 1993).
Sampai saat ini untuk mengendalikan hama kubis tersebut petani masih
tergantung pada penggunaan insektisida sintetik. Petani umumnya menggunakan
insektisida sintetik secara rutin tanpa mempertimbangkan populasi hama maupun
tingkat keracunan tanaman (Satrosiswojo 1984). Seperti yang telah terjadi di
Lembang yaitu petani kubis mengaplikasikan insektisida hingga mencapai 18 kali
per musim tanam (Setiawati & sastrosiswojo 1995). Penggunaan insektisida
sintetik sangat diminati oleh petani karena mudah dalam aplikasi dan dapat
mengendalikan hama dalam waktu singkat (Prijono 1998). Namun demikian
apabila aplikasi yang dilakukan tidak bijaksana, insektisida sintetik dapat
menimbulkan dampak negatif bagi organisme bukan sasaran seperti parasitoid dan
predator, resistensi dan resurgensi hama. Selain itu insektisida sintetik juga dapat
mencemari lingkungan, meracuni tanaman serta manusia terutama para petani
yang melakukan aplikasi langsung di lapangan.
Sekarang ini upaya pencarian insektisida alami yang tidak bersifat
persisten di alam (lebih mudah terurai) mulai dikembangkan untuk mengatasi
dampak negatif dari aplikasi insektisida sintetik. Insektisida yang banyak menarik
perhatian saat ini adalah yang berasal dari tumbuhan. Banyak senyawa insektisida
yang berasal dari tumbuhan yang memiliki cara kerja yang spesifik. Diharapkan
aplikasi insektisida botani (insektisida yang berasal dari bahan tumbuhan) dapat
bekerja secara selektif terhadap musuh alami dan tidak menimbulkan residu ya ng
tinggi karena sifatnya yang mudah terurai di alam (Prijono 1999; Dadang 2000).
Sumber insektisida botani yang potensial antara lain dari berbagai jenis
tanaman dalam famili Meliaceae, Annonaceae, Piperaceae, Asteraceae dan
Zingiberaceae (Dadang 1999). Sedangkan menurut Schmutterer (1995) insektisida
botani yang diketahui memiliki potensi besar dalam pengendalian hama adalah
Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae, Malvaceae, Zingiberaceae dan
Solanaceae.
Tanaman yang telah banyak diteliti sifat insektisida antara lain tanaman
dari famili Meliaceae. Ekstrak tanaman ini umumnya bersifat sebagai penghambat
makan dan penghambat perkembangan serangga (Prijono 1998). Salah satu
contoh tumbuhan famili Meliaceae yang berpotensi sebagai insektisida botani
adalah biji mahoni (Swietenia mahogani). Tumbuhan ini mengandung senyawa
limonoid yang berpotensi sebagai repellent, antifeedant dan insektisida. Ekstrak
biji S. mahogani diketahui dapat menghambat aktivitas makan P. xylostella
hingga 100% pada konsentrasi 5 % (Dadang & Ohsawa 2000). S. mahogani juga
dapat mempengaruhi biologi C. pavonana, yaitu menghambat aktivitas makan dan
menyebabkan kematian.
Anggota famili Meliaceae lain yang juga berpotensi adalah Aglaia
odorata. A. odorata mengandung senyawa aktif rokaglamida (golongan
benzofuran) dan beberapa senyawa turunannya yang terbukti efektif sebagai
antifeedant, penghambat perkembangan dan insektisida. Ekstrak ranting A.
odorata mampu mematikan larva C. pavonana instar II dengan LC 50 pada
konsentrasi 0,04 % (Nugroho 1999), sementara ekstrak daunnya pada konsentrasi
0,5% mampu mematikan larva 98,7%.
Umumnya penelitian mengenai insektisida botani dilakukan dalam bentuk
tunggal. Namun insektisida botani dalam bentuk tunggal memiliki beberapa
kekurangan karena begitu kompleksnya hama yang menyerang pertanaman di
lapangan, tidak selalu tersedianya suatu jenis tanaman yang berpotensi sebagai
insektisida botani di alam, untuk lebih mengefisienkan waktu dan biaya aplikasi,
serta untuk menghindari munculnya resistensi serangga hama terhadap suatu jenis
bahan aktif insektisida, maka akhir-akhir ini dilakukan penelitian mengenai
insektisida botani dalam bentuk campuran. Salah satu keunggulan dari
penggunaan campuran insektisida botani ini yaitu dapat mengefisienkan
katersediaan bahan tanaman. Bahan tanaman yang diperlukan menjadi lebih
sedikit karena digantikan oleh bahan tanaman lain. Tetapi penggunaan campuran
insektisida botani ini masih sangat sedikit dilakukan sehingga perlu penelitian
lebih lanjut untuk digali potensinya.
Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mempelajari aktivitas insektisida campuran dari


empat ekstrak tumbuhan terhadap kematian hama kubis C. pavonana dan
mendapatkan campuran ekstrak tumbuhan yang paling efektif dalam
mempengaruhi kematian hama C. pavonana.

Manfaat

Diharapkan hasil penelitian digunakan sebagai sarana pengendalian hama


Crocidolomia pavonana yang paling efektif dan ramah lingkungan.
TINJAUAN PUSTAKA

Brokoli

Dilihat secara morfologi, brokoli (kubis bunga hijau) memang mirip


dengan kubis bunga putih. Tanaman ini membentuk sejenis kepala bunga yang
terdiri dari kuntum-kuntum bunga berwarna hijau dengan tangkai bunga yang
berdaging. Tebal kepala bunga yang utama dapat mencapai 15 cm atau lebih. Pada
ketiak daun timbul juga kepala bunga yang lebih kecil, kepala bunga samping
akan cepat keluar bila kepala bunga utama telah dipanen. Kepala bunga utama,
samping dan tangkai yang berdaging dapat disayur. Brokoli banyak mengandung
vitamin A, vitamin C dan beberapa mineral lain seperti kalsium dan besi dalam
jumlah yang cukup (Pracaya 1990).
Tanaman brokoli memerlukan tanah yang subur. Tanah yang kurang subur
memerlukan pupuk buatan atau pupuk organik, baik pupuk kandang atau kompos.
Tetapi bila pertumbuhannya terlalu subur, tangkai bunga akan jadi berlubang.
Brokoli agak tahan garam tapi memerlukan banyak nitrogen diband ing kubis
bunga putih dan juga memerlukan cukup banyak unsur molybden serta boron
(Pracaya 1990).
Kubis bunga hijau (brokoli) dapat tumbuh baik pada iklim yang dingin
atau sejuk. Udara panas tidak cocok, karena kuntum bunga akan mmbuka lebih
awal hingga kepala bunga akan cepat menjadi tidak kompak dan beberapa jam
setelah dipanen menjadi layu. Udara panas pada periode panen akan menimbulkan
daun yang tak diharapkan pada kepala bunga sehingga bisa menurunkan harga
(Pracaya 1990).

Bioekologi Crocidolomia pavonana

Di dalam upaya meningkatkan produksi tanaman kubis masalah hama dan


penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas yang dapat menghambat
keberhasilan usaha tersebut. Di antara sekian banyak hama, ulat krop kubis (C.
pavonana) dan ulat daun kubis (P. xylostella) merupakan hama utama yang selalu
menimbulkan kerusakan dan mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup berarti.
Ulat krop kubis (C. pavonana) tergolong famili Pyralidae, ordo
Lepidoptera, bersama hama daun P. xylostella, merupakan hama penting pada
pertanaman kubis, yang dapat mengakibatkan kerusakan cukup besar. Pada
tanaman kubis P. xylostella sering ditemukan pada tanaman muda sedangkan C.
pavonana kebanyakan ditemukan pada tanaman yang telah dewasa dan
membentuk krop (Sudarwohadi & Permadi 1999). Selain menyerang kubis, C.
pavonana ternyata dapat juga menyerang tanaman petsai, lobak, caisin, turlip dan
sawi baik yang dibudidayakan maupun yang tumbuh liar. Kerugian akibat
serangan C. pavonana rata-rata 30% walaupun sering kali dapat mencapai 100%
apabila tidak dilakukan pengendalian (Kalshoven 1981).
Daerah penyebaran C. pavonana meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara,
Afrika Selatan, Australia, Papua Nugini dan beberapa kepulauan di Samudera
Pasifik (Kalshoven 1981, Waterhouse dan Norris dalam Islamiah 2003). Di pulau
Jawa serangga ini ditemukan baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi
(Kalshoven 1981).
Habitat yang sesuai dengan perkembangan C. pavonana adalah tanaman
kubis-kubisan. Tanaman kubis-kubisan mengandung senyawa mustard oil
glycoside yang mampu menarik (sebagai antraktan) serangga-serangga hama
untuk datang dan memakan tanaman tersebut. Sebenarnya senyawa tersebut
merupakan racun bagi banyak spesies serangga, akan tetapi bagi spesies serangga
tertentu senyawa ini justru menarik, sehingga memanfaatkan tanaman yang
mengandung senyawa tersebut sebagai tanaman inang (Rockstein 1978 dalam
Islamiah 2003).
Telur C. pavonana berwarna hijau muda atau kekuningan yang diletakkan
pada permukaan daun bagian bawah secara berkelompok dan berbentuk pipih.
Telur berubah menjadi cokelat kemerahan sebelum menetas. Periode inkubasi
telur hasil biakan pada kubis 3-6 hari dengan persentase penetasan 92,4%
(Othman 1982), sedangkan Prijono & Hasan (1992) melaporkan periode inkubasi
telur hasil biakan pada brokoli 4-5 hari.
Larva dapat menyerang tanaman dari fase awal tanam hingga menjelang
panen, serangan yang terjadi pada tanaman kubis yang telah membentuk krop
akan menurunkan nilai ekonomi. Bagian yang dimakan oleh instar awal biasanya
menyisakan epidermis daun bagian atas sehingga berwarna keperakan. Pada instar
lanjut umumnya daun habis dimakan dan keberadaan larva dalam krop terdeteksi
dengan adanya sisa kotoran berwarna kehijauan. Serangan berat mengakibatkan
daun tinggal tulang, bila serangan sudah mencapai titik tumbuh maka
pembentukkan krop akan terhambat dan tanaman tidak dapat dipetik hasilnya
(Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Serangan biasanya diikuti oleh serangan
cendawan dan bakteri sehingga crop menjadi busuk.
Perkembangan larva C. pavonana pada saat larva melalui empat instar
sebelum membentuk pupa. Stadium larva 8-14 hari pada suhu 25,5-28,00 C dengan
kelembaban nisbi 60-70% (Prijono & Hasan 1992). Pada akhir fase larva instar
akhir, larva tidak makan lagi, tubuhnya mulai mengecil/mengkerut, dilanjutkan
dengan pembentukkan pupa di tanah. Pupa berwarna cokelat kekuningan yang
kemudian berangsur-angsur menjadi cokelat tua. Stadium pupa berlangsung
selama 9-13 hari (Othman 1982), tetapi kadang hanya satu minggu. Imago C.
pavonana secara visual dapat dibedakan antara jantan dengan yang betina. Imago
betina memiliki ukuran abdomen lebih besar daripada jantan. Corak sayap imago
jantan lebih jelas dan berawarna cokelat tua.
Serangga betina yang diberi madu mampu meletakkan 2-21 kelompok
telur yang mengandung 60-598 butir telur, dengan periode peletakkan telur 3-10
hari (Othman 1982). Siklus hidup serangga betina berkisar 23-28 hari, sedangkan
jantan 24-29 hari (Prijono & Hasan 1992).
Di alam C. pavonana diserang oleh beberapa musuh alami antara lain
parasitoid telur Starmia inconspicuoides Bar. (Diptera: Tachinidae) dan parasitoid
larva Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae).
Tingkat parasitisasi oleh kedua spesies tersebut rendah (Sastrosiswojo & Setiawati
1993) sehingga pengendalian dengan musuh alami tidak efektif.

Annona squamosa

Tumbuh di daerah tropika dan subtropika. Tumbuhan dari famili ini


mengandung senyawa-senyawa bioaktif yang mempunyai aktifitas sebagai anti
tumor, anti malaria, anti mikroba dan pestisida.
Tumbuhan dari keluarga Annonaceae mengandung alkaloid, karbohidrat,
lemak 42-45 %, asam amino, protein, polifenol, minyak atsiri, terpen dan
senyawa-senyawa aromatik seperti tumbuhan pada umumnya. Senyawa-senyawa
bioaktif dari keluarga tumbuhan Annonaceae dikenal dengan nama asetogenin.
Dari bijinya telah berhasl diisolasi senyawa aktifnya yaitu squamosin dan
asimisin. Beberapa anggota famili Annonaceae telah diketahui mampu
menghambat pertumbuhan larva Myzus brassicae, C. pavonana,. dan P.
xyllostella. Selain bijinya, bagian tanaman lain yang mengandung bahan aktif
yang efektif sebagai pestisida nabati adalah buah mentah, daun dan akar.
Kandungan aktif tersebut bekerja sebagai racun kontak dan perut serta bersifat
sebagai insektisida, repellent dan antifeedant (Kardinan 2001).
Penyiapan ekstrak dapat dilakukan dengan cara biji/kulit
dibersihkan terlebih dahulu, kemudian dikeringanginkan, dikuliti, dan digiling.
Biji yang sudah berupa tepung direndam dalam metanol, eter atau heksana.
Kemudian disaring dan diekstrak dengan alat ekstraksi. Aplikasi dilakukan
dengan penyemprotan. A. glabra dan A. squamosa pada konsentrasi 2% dan 0,4%
mengakibatkan penghambatan aktifitas makan yang tinggi pada larva C.
pavonana ( Herawati 1998).
Aplikasi ekstrak biji A. squamosa pada tanaman padi secara tidak
langsung menurunkan persentase terjadinya penyakit tungro karena terjadi
penurunan aktivitas makan pada vektor. Dengan demikian aplikasi ekstrak-ekstrak
tumbuhan yang dapat menghambat makan serangga selain memberikan pengaruh
langsung pada penurunan aktivitas serangga sasaran juga secara tidak langsung
menurunkan terjadinya penyakit tanaman yang ditularkan oleh serangga vektor
(Dadang 1999).

Aglaia odorata
Aglaia odorata termasuk famili Meliaceae. Tanaman ini bukan asli
tanaman Indonesia tetapi didatangkan dari daerah Cina dan diperkenalkan di
Indonesia sekitar tahun 1692 (Sastropradja & Bimantoro 1983).
Tanaman A. odorata merupakan perdu tegak yang dapat mencapai tinggi 2
m hingga 5 m (Heyne 1987). Tanaman yang dikenal dengan nama pacar cina ini
memiliki batang berkayu. Daunnya majemuk, anak daun berjumlah 3-5 buah per
tangkai, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 3-6 cm, dan lebar 1-3
cm (Kardinan 2001). Bunga berwarna kuning kehijauan dalam malai rapat dengan
panjang 5-16 cm. Buah berbentuk bulat lonjong dengan warna merah.
Perbanyakan dilakukan dengan stek batang atau cabang (Wijayakesuma et al.
1993). Tanaman A. odorata dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah dan
tinggi pada tempat terbuka dan terkena sinar matahari langsung (Heyne 1987).
Daun A. odorata digunakan secara tradisional antara lain sebagai obat
batuk, influenza dan pereda iritasi maupun peradangan dan bunganya sering
digunakan sebagai bahan campuran pewangi teh (Pannel dalam Suhaendah 2001).
A. odorata banyak ditanam di halaman rumah sebagai tanaman pagar atau
tanaman peneduh. Batang yang keras sering digunakan sebagai bahan ukiran
sedangkan bunganya dicampur dengan teh sebagai pewangi. Daun sering
digunakan sebagai obat tradisional untuk luka terpukul dan bisul (Wijayakesuma
et al. 1993). A. odorata banyak mengandung zat kimia seperti minyak atsiri,
alkaloid, saponin, flavonoid dan tanin (Kardinan 2001).
Sifat insektisida tanaman ini sudah banyak diteliti dan diketahui berpotensi
sebagai sumber insektisida botani. Ekstrak sederhana ranting A. odorata yang
disiapkan dengan perebusan dalam air dengan atau tanpa detergen 0,1% selama 15
hingga 30 menit pada konsentrasi 100 g/l memiliki aktifitas yang sedang terhadap
kematian C. pavonana. Menurut Suharto (2000) ekstrak daun A. odorata yang
diujikan pada Spodoptera litura (Lepidoptera:Noctuidae) lebih bersifat racun
perut (LC50: 4,43%) dari pada racun kontak (LC50: 33,52%). Bagian tanaman
yang paling aktif dari tanaman ini adalah ekstrak ranting. Sudarmo (2001) juga
melaporkan bahwa perlakuan ekstrak pada konsentrasi 0,25% dan rokaglamida
pada konsentrasi 80 ppm terhadap larva C. pavonana mengakibatkan mortalitas
berturut-turut 90% dan lebih dari 60% pada dua hari setelah perlakuan. Senyawa-
senyawa tersebut dapat bersifat sebagai racun kontak dan menghambat aktifitas
makan larva serangga. Senyawa aktif ini dihasilkan dari isolasi sehingga
menghasilkan enam turunan rokaglamida yang bersifat racun kontak dan
menghambat aktivitas makan (Nugroho 1999).
Swietenia mahogani

Swietenia mahogani termasuk tanaman famili Meliaceae. Tanaman ini


berasal dari Hindia Belanda dan dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati atau
ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung (Wijayakesuma et al. 1996).
Tanaman S. mahogani adalah tanaman tahunan, tinggi tanaman berkisar
antara 5-25 m dengan akar tunggal, batang bulat, banyak cabang dan batang
bergetah. Daunnya termasuk daun majemuk, menyirip genap, helaian daun bulat
telur, ujung dan pangkal runcing tepi rata dan tulang menyirip. Daun berwarna
merah ketika masih muda dan hijau setelah tua. Tanaman ini berbunga setelah
berumur 7 tahun. Buah berbentuk kapsul berwarna cokelat dan biji berbentuk
pipih berwarna hitam (Wijayakesuma et al.1996).
Tanaman S. mahogani sudah banyak dibudidayakan di pulau Jawa pada
tanah kering. Batangnya digunakan sebagai peralatan rumah tangga atau bahan
seni. Kulit biji digunakan untuk menyembuhkan penyakit demam dan diare
sedangkan bijinya untuk penyakit kencing manis dan hipertensi (Wijayakesuma et
al. 1996). Selain digunakan sebagai obat, biji S. mahogani juga telah diteliti sifat
insektisidanya. Ekstrak tanaman ini dilaporkan dapat menghambat aktifitas
peneluran yang cukup tinggi pada C. chinensis (Dadang 1999). Menurut Dadang
dan Ohsawa (2000) ekstrak kasar biji S. mahogani ini pada konsentrasi 5% dapat
menghambat aktifitas makan P. xylostella hingga 100%. Dadang dan Ohsawa
(2000) telah berhasil mengisolasi senyawa triterpenoid dari ekstrak biji S.
mahogani yang dapat menghambat aktivitas makan larva P. xylostella secara total
pada konsentrasi 5%.

Piper retrofractum
Tanaman cabe jawa (Piper retrofractum) sering disebut dengan lada
panjang, termasuk dalam genus piper, famili piperaceae, ordo piperales, sub klas
monoklamidae, kelas dikotiledon, sub divisi angiospermae dan divisi
spermathophyta (Tjitrosoepomo 1998).
Cabe jawa merupakan tumbuhan memanjat dan berkayu dengan
percabangan yang seolah membagi diri menyerupai tumbuhan terna. Daun
memiliki bentuk lonjong dengan jari-jari pertulangan yang jelas dan helai daun
tidak kaku. Buah berbentuk silinder dengan panjang sekitar 4-5 cm, diameter
sekitar 0,6 cm. Buah yang masih muda berwarna hijau muda beraroma tajam dan
pedas. Semakin tua warna semakin kuning dan akhirnya merah serta menjadi
lunak. Buah tua tersebut sedikit manis dan mengandung butir-butir kehitaman
yang terasa pedas menyerupai cabe.
Cabe jawa merupakan tanaman tropis, ya ng penyebarannya sangat luas.
Hampir di seluruh wilayah Indonesia tanaman ini dapat tumbuh dengan baik.
Cabe jawa tumbuh pada ketinggian antara 0-600 m di atas permukaan laut dan
masih dapat tumbuh dengan hasil baik hingga ketinggian 100 m dpl (Heyne
1987).
Habitat alaminya adalah hutan tropis, tanaman tumbuh memanjat sehingga
mencapai tajuk yang terkena sinar matahari. Umumnya pada habitat alamiah
tanaman akan tumbuh bergerombol dalam kelompok murni, sehingga buah cabe
jawa mudah diperoleh (Heyne 1987).
Pada habitat alami, tanaman cabe jawa yang tidak dipangkas akan tumbuh
dan sulit menghasilkan buah. Tanaman akan mulai berbuah setelah berumur 6
bulan dan akan menghasilkan buah sepanjang tahun dengan hasil rata-rata 30-40
buah per hari/tanaman. Tanaman yang telah berumur lebih dari satu tahun akan
berbunga dan berbuah sepanjang tahun.

Prospek Insektisida Botani

Pestisida merupakan bahan berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh


negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Namun demikian, sebaliknya
pestisida dapat memberikan manfaat, oleh karena itu pestisida dapat digunakan
dalam pembangunan di berbagai sektor termasuk sektor pertanian. Sehubungan
dengan itu maka pestisida perlu dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya tetapi dengan dampak negatif yang
sekecil-kecilnya.
Penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir apabila cara
pengendalian lain dianggap sudah tidak efektif dan tidak efisien lagi. Oleh karena
itu, apabila pestisida benar-benar diperlukan maka penggunaannya harus secara
bijaksana mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu benar, tepat dan aman (Kompes 1999).
Beberapa kerugian di dalam penggunaan insektisida sintetik yaitu
timbulnya resistensi (kekebalan), timbulnya resurjensi (kenaikan populasi),
timbulnya organisme pengganggu, masalah residu pestisida pada
tanaman/makanan, pencemaran lingkungan, keracunan dan kematian musuh alami
organisme pengganggu dan hewan bukan sasaran lainnya, keracunan dan
kematian pada manusia serta keracunan dan kematian pada tanaman. Setelah
diketahui dampak samping akibat pengunaan insektisida yang kurang bijaksana,
perlu adanya pengendalian alternatif lainnya seperti tumbuhan sebagai sumber
insektisida baru.
Pemanfaatan insektisida botani di tingkat petani masih terbatas karena
beberapa kendala antara lain terbatasnya bahan-bahan alami yang bersifat
insektisida, persistensi yang relatif singkat di lapangan, dan biaya produksi yang
tidak selalu lebih murah dibandingkan biaya insektisida sintetik. Untuk mengatasi
hal tersebut perlu dilakukan pencarian tanaman sumber insektisida botani yang
efektif dan penelitian cara perbanyakan (Irmayetri 2001).
Tumbuhan merupakan organisme yang kaya akan senyawa kimia.
Senyawa metabolit sekunder tumbuhan seperti flavonoid, terpenoid, alkaloid, dan
limonoid diketahui sebagai pertahanan kimia tumbuhan. Senyawa-senyawa kimia
tanaman dapat memberikan pengaruh yang merugikan kehidupan serangga
diantaranya mengganggu pertumbuhan, menghambat pembentukkan kulit,
mengganggu penemuan inang, menghambat perkembangan serangga,
menurunkan fertilitas, dan membunuh telur (Dadang 1998).
Insektisida botani berpotensi untuk digunakan dalam PHT karena cukup
aman terhadap musuh alami dan memiliki tingkat persistensi yang singkat
sehingga tidak dikhawatirkan meninggalkan residu pada hasil panen (Prijono
1999), sebagai contoh insektisida dari ekstrak biji Aglaia harmsiana yang
diberikan secara kontak tidak berdampak negatif terhadap betina Eriborus
argenteopilosus (Dono 1998), pengujian lapangan ekstrak biji S. mahogani secara
umum tidak mempengaruhi aktivitas parasitoid larva P. xylostella dan C.
pavonana karena ekstrak mahoni memiliki efek panghambat makan, sedangkan
imago parasitoid tidak melakukan aktivitas makan dan hanya memerlukan inang
untuk meletakkan telur (Ruranto 2003).
Tanaman dari famili Meliaceae seperti A. harmsiana dan Trichilia trijuga
pada konsentrasi 0,25% mempunyai pengaruh mematikan terhadap larva C.
pavonana (Prijono 1999). A. glabra dan A. squamosa pada konsentrasi 2% dan
0,4% mengakibatkan penghambatan aktivitas makan yang tinggi pada larva C.
pavonana (Herawati 1998). Sediaan pestisida yang berbahan aktif piretrin yang
berasal dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium (piretrum), nikotin dari daun
Nicotiana spp. telah digunakan secara luas untuk mengendalikan berbagai jenis
hama. Beberapa fakta yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa tumbuhan
mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai agens pengendali serangga.
PHT adalah suatu metode pengendalian hama agar hama tersebut secara
ekonomis tidak merugikan dan kelestarian lingkungan dapat diperhatikan (Ria
1995). PHT pada dasarnya mencakup semua strategi pengendalian hama termasuk
penggunaan insektisida. Namun demikian, dalam sistem ini ditekankan pada
penggunaan insektisida sebagai alternatif terakhir dan insektisida yang digunakan
harus mudah terdegradasi, selektif terhadap hama sasaran dan aman bagi
pengguna dan lingkungan (Dadang 1998). Insektisida botani memiliki sifat yang
dimaksud di atas sehingga sangat cocok dikembangkan sebagai alternatif
pengendalian. Insektisida botani terdiri dari beberapa bahan aktif yang dapat
mengurangi kemampuan hama untuk membentuk sistem pertahanan sekaligus dan
ini dapat menunda terjadinya resistensi pada hama (Prijono 1999)
Penggunaan insektisida botani dalam bentuk campuran diharapkan dapat
lebih memberikan manfaat di dalam perkembangan pertanian. Dengan
penggunaan bahan tanaman campuran yang didalamnya terdapat bahan aktif atau
senyawa-senyawa yang berasal dari kedua tanaman tadi dapat menghasilkan suatu
campuran ekstrak yang dapat mematikan serangga dengan cepat dan efektif untuk
berbagai serangga hama.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga,


Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian, Bogor.
Penelitian dilaksanakan mulai April hingga Oktober 2005.

Sumber Ekstrak

Sumber ekstrak yang digunakan adalah biji mahoni (Swietenia mahogani)


famili Meliaceae, ranting pacar cina (Aglaia odorata) famili Meliaceae, biji
srikaya (Annona squamosa) famili Annonaceae dan cabe jawa (Piper
retrofractum) famili Piperaceae. Bahan-bahan ini diperoleh dari Jawa Timur.
Sebelum diekstrak bahan tumbuhan ini dikeringanginkan selama kurang lebih satu
minggu dalam ruangan.

Penanaman Brokoli

Benih yang digunakan yaitu benih Brokoli. Benih brokoli disemai terlebih
dahulu dalam nampan plastik yang berisi tanah dan pupuk kandang (3:1 w/v).
Bibit yang telah berumur tiga minggu dipindahkan ke polibag besar (5 liter)
sebanyak satu bibit per polibag. Tanaman dipupuk dengan NPK (15:15:15) yaitu
sebanyak 0,4 gram per polibag pada saat umur tanaman 3-4 minggu. Tanaman
brokoli yang dipelihara dilakukan penyiraman, penyiangan, dan pemusnahan
hama jika ada pada tanaman. Tanaman dapat digunakan sebagai pakan larva C.
pavonana setelah berumur dua bulan. Setelah tanaman berumur dua setengah
bulan, tanaman dapat digunakan sebagai pakan larva C. pavonana.

Perbanyakan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan yaitu larva C. pavonana yang ada di


laboratorium. Pemeliharaan dilakukan dengan memberikan daun brokoli bebas
pestisida pada larva C. pavonana yang dimasukkan ke dalam kotak plastik (30 cm
x 25 cm x 5 cm) yang bagian atasnya berjendela kasa. Larva yang telah
berkepompong kemudian dipindahkan ke dalam kurungan plastik yang bagian
atasnya diberi kain kasa dengan tinggi 35 cm dan diameter 15 cm dan dipelihara
hingga menjadi imago. Imago diberi makan larutan madu 10% yang diserapkan
pada kapas. Untuk peletakkan telur, ke dalam kurungan dimasukkan daun brokoli
yang pangkalnya dimasukkan ke dalam tabung film yang berisi air. Daun yang
sudah ada telurnya dipindahkan ke dalam kotak plastik (5 cm x 25 cm x 5 cm).
Larva dipelihara seperti di atas sampai beberapa generasi. Setelah telur menetas
kembali, larva dipelihara sampai larva instar II. Larva ini siap digunakan untuk
perlakuan dan selebihnya digunakan untuk perbanyakan selanjutnya.

Ekstraksi

Bagian tumbuhan uji yang akan digunakan masing- masing


dikeringanginkan kemudian dipotong kecil-kecil la lu diblender (digiling). Hasil
penggilingan berupa serbuk direndam dalam metanol (1:10; w/v) selama 48 jam.
Setelah itu disaring dengan menggunakan corong Buchner yang dialasi kertas
saring. Hasil penyaringan diuapkan menggunakan rotary evaporator pada tekanan
sekitar 400-500 mmHg dan suhu 50 0 C yang menghasilkan ekstrak kasar. Ekstrak
yang diperoleh disimpan dalam lemari es (-4 o C) hingga saat digunakan.

Uji Mortalitas

Ekstrak kasar yang dihasilkan masing- masing diencerkan dengan metanol


1%, Latron 77L 0,1% dan aquades. Keempat ekstrak tumbuhan ini
dikombinasikan sehinggga menghasilkan 6 kombinasi ekstrak yaitu campuran
ekstrak A. odorata dan S. mahogani (OM), P. retrofractum dan S. mahogani
(RM), S. mahogani dan A. squamosa (MS), A. odorata dan P. retrofractum (OR),
A. odorata dan A. squamosa (OS), serta P retrofractum dan A. squamosa (RS).
Keenam campuran ekstrak ini dikombinasikan dengan perbandingan 3:7, 1:1 dan
7:3 (w/w) pada konsentrasi yang digunakan yaitu 0,05%, 0,1%, 0,2%, 0,4%,
0,8%, 1% serta kontrol.
Metode uji mortalitas ini yaitu metode pencelupan. Daun brokoli dipotong
dengan ukuran 2 cm x 2 cm lalu dicelupkan ke dalam campuran ekstrak pada
konsentrasi tertentu. Potongan daun brokoli tadi dimasukan ke cawan petri yang
telah dialasi dengan kertas tisu. Sebanyak 10 ekor larva C. pavonana instar II
dimasukkan ke cawan petri. Percobaan ini dilakukan sebanyak 5 ulangan. Larva
dibiarkan makan daun yang telah diberi perlakuan. Larva diamati setiap 24, 48
dan 72 jam setelah perlakuan. Hari pertama pengamatan daun diganti dengan daun
segar yang telah diberi perlakuan yang sama, kemudian hari kedua pengamatan
daun tadi diganti dengan daun segar tanpa perlakuan. Pengamatan dilakukan
dengan menghitung jumlah larva yang mati. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Campuran Ekstrak terhadap Kematian Crocidolomia pavonana

Penggunaan pestisida dalam bentuk campuran dapat lebih meningkatkan


efisiensi aplikasi karena komponen campuran yang tidak antagonis biasanya
digunakan pada dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis masing-
masing komponennya secara terpisah (Stone et all. , Hewitt dalam Prijono 2004).
Campuran ekstrak tanaman yang diuji ternyata mampu menyebabkan kematian
pada larva C. pavonana secara umum sangat efektif.
Perkembangan mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan
campuran ekstrak S. mahogani dan A squamosa MS 3:7 pada pengamatan 24 JSP
secara umum cukup tinggi. Kematian larva konsentrasi 1% (82%) tidak berbeda
nyata dengan konsentrasi 0,05% (66%). Perkembangan mortalitas larva
meningkat pada hari berikutnya. Sebagai contoh, rata-rata kematian larva
konsentrasi 1% mencapai 82% pada 24 JSP dan meningkat menjadi 100% pada 48
JSP (Gambar 1a).
Pada perbandingan 1:1 konsentrasi 0,05% mengakibatkan kematian larva
34%, sedangkan pada konsentrasi 0,1% rata-rata kematian larva 38%. Kematian
larva pada konsentrasi 0,2% mencapai 58% sedangkan konsentrasi 0,4% kematian
larva lebih rendah (40%), namun tidak berbeda nyata. Rata-rata kematian larva
mencapai 100% pada konsentrasi 0,4% pada 48 JSP (Gambar 1b).
Rata-rata kematian larva C. pavonana yang diperlakukan MS 7:3 pada
konsentrasi 0,05%, 0,1% dan 0,2% masing- masing 66% pada 24 JSP dan 90%
pada konsentrasi 1%. Pada konsentrasi 0,4% ekstrak campuran ini mengakibatkan
rata-rata kematian larva 100%, walaupun secara statisitik tidak berbeda nyata
dengan kematian larva konsentrasi 0,05% (94%) pada 48 JSP (Gambar 1c).
Campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa yang mengakibatkan
kematian larva paling efektif yaitu pada perbandingan 3:7. Hal ini berarti ekstrak
campuran yang memiliki kandungan A. squamosa lebih tinggi menunjukkan lebih
efektif dalam mempengaruhi mortalitas larva C. pavonana.
\
100
100

80
80 b

Mortalitas (%)
a
Mortalitas (%)

60
60
40
40
20
20
0
0 24 48 72
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

c
100

80 kontrol
0.05
Mortalitas (%)

60 0.1
0.2
40 0.4
0.8
20
1
0
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

Gambar 1 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang di perlakukan campuran


ekstrak S. mahogani dan A. squamosa (MS) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c)

Larva yang diberi perlakuan ekstrak A. odorata dan P. retrofractum (OR)


3:7 pada 24 JSP mengakibatkan mortalitas larva secara umum masih cukup
rendah, walaupun pada konsentrasi 1% mengakibatkan kematian tinggi yaitu 94%.
Pada 72 JSP konsentrasi lebih dari 0,4% memberikan kematian antara 60% -
100% sedangkan pada konsentrasi kurang dari 0,4% mengakibatkan kematian
yang lebih rendah. Kematian larva mencapai 100% pada konsentrasi 0,8% pada
pengamatan 48 jam setelah perlakuan. (Gambar 2a).
Pada perbandingan 1:1, konsentrasi lebih dari 0,1% mengakibatkan
mortalitas larva antara 96% - 100%, sedangkan pada konsentrasi 0,05% dan 0,1%
hanya mencapai 22% dan 56% pada 72 JSP (Gambar 2b). Pada perbandingan 7:3,
mortalitas pada konsentrasi 0,05% yaitu 38% pada 72 JSP (Gambar 2c).
Dari ketiga perbandingan, pada campuran ekstrak A. odorata dan P.
retrofractum perbandingan 1:1 menunjukkan mortalitas larva yang lebih baik
dibandingkan yang lain.

a
b
100
100

80
80

Mortalitas (%)
Mortalitas (%)

60
60
40
40
20
20
0
0 24 48 72
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

c
100
kontrol
80 0.05
Mortalitas (%)

0.1
60
0.2
0.4
40
0.8
20 1

0
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

Gambar 2 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran


ekstrak A. odorata dan P retrofractum (OR) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c).

Pada perlakuan ekstrak campuran A. odorata dan A. squamosa, mortalitas


larva perbandingan 3:7 pada pengamatan 24 JSP secara umum cukup tinggi. Pada
konsentrasi 0,05% mengakibatkan kematian larva 76%. Pada pengamatan 48 JSP
rata-rata kematian larva pada semua perlakuan mencapai 100% (Gambar 3a).
Pada perbandingan 1:1 dengan ekstrak campuran yang sama, konsentrasi
0,05% telah mengakibatkan kematian larva 74%. Mortalitas larva pada 72 JSP
mengakibatkan kematian larva 100% pada konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,4%, 0,8%
dan 1%, kecua li pada konsentrasi 0,05% yang hanya mengakibatkan kematian
larva 94%, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (Gambar 3b). Pada
perbandingan 7:3, pada konsentrasi 0,4%, 0,8% dan 1% menunjukkan kematian
yang tinggi sedangkan pada konsentrasi kurang dari 0,4% kematian larva lebih
rendah (Gambar 3c). Pada campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa (OS)
3:7 menyebabkan kematian yang paling baik dibandingkan dengan perbandingan
1:1 dan 7:3.

100 100

80 80
Mortalitas (%)
Mortalitas (%)

60 a 60 b
40 40

20 20

0 0
24 48 72 24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP) Jam Setelah Perlakuan (JSP)

c
100
kontrol
80 0.05
Mortalitas (%)

0.1
60 0.2
0.4
40
0.8
1
20

0
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

Gambar 3 Perkembangan C. pavonana yang dip erlakukan campuran ekstrak A.


odorata dan A. squamosa (OS) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c)
100
100

80 a 80
b

Mortalitas (%)
Mortalitas (%)

60 60

40 40

20 20

0 0
24 48 72
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP) Jam Setelah Perlakuan (JSP)

100 c
kontrol
80
0.05
Mortalitas (%)

60 0.1
0.2
40 0.4
0.8
20 1

0
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

Gambar 4 Perkembangan C. pavonana yang diperlakuan campuran ekstrak P.


retrofractum dan S. mahogani (RM) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c)

Pada perlakuan dengan ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani 3:7,


mortalitas larva pada 24 JSP secara umum cukup tinggi walaupun pada
konsentrasi 0,05% dan 0,1% hanya mengakibatkan kematian 32% dan 38%.
Kematian larva mencapai 100% pada konsentrasi 0,4% (Gambar 4a). Pada
perbandingan 1:1, mortalitas larva pada pengamatan 24 JSP secara umum masih
rendah dan kematian tertinggi pada konsentrasi 1% yaitu mencapai 58%.
Mortalitas larva pada pengamatan terakhir mencapai 100% pada setiap
konsentrasi (Gambar 4b).
Pada perbandingan 7:3, kematian larva tertinggi pada konsentrasi 1% yaitu
86%. Pada 72 JSP mulai konsentrasi 0,2% menyebabkan kematian larva 94%-
100%, sedangkan pada konsentrasi 0,05% dan 0,1% mencapai 42% dan 72%
(Gambar 4c). Pada ekstrak ini mortalitas larva yang mengakibatkan kematian
larva yang paling efektif adalah perbandingan 1:1, karena pada konsentrasi yang
paling rendah yaitu 0,05% telah mengakibatkan kematian 100% pada pengamatan
72 jam setelah perlakuan. Tampaknya kadar ekstrak campuran yang seimbang
memiliki aktivitas kematian larva yang tinggi.

a b
100 100

80 Mortalitas (%) 80
Mortalitas (%)

60 60

40 40

20 20

0
0
24 48 72 24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

c
100

kontrol
80
0.05
Mortalitas (%)

0.1
60
0.2
40 0.4
0.8
20 1

0
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

Gambar 5 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran


ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa (RS) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c)
Pada perlakuan dengan ekstrak campuran P. retrofractum dan A.
squamosa perbandingan 3:7, mortalitas larva pada pengamatan 24 JSP telah
memperlihatkan kematian cukup tinggi. Pada konsentrasi 0,05% telah mencapai
kematian 90%. Pada konsentrasi 0,2% kematian larva mencapai 100%. Mortalitas
larva pada 48 JSP mencapai 100% pada setiap konsentrasi (Gambar 5a). Pada
perbandingan 1:1 dan 7:3 juga memberikan hasil yang cukup baik, namun tampak
bahwa semakin tinggi kandungan A. squamosa semakin tinggi tingkat mortalitas
(Gambar 5).
Pada perlakuan dengan ekstrak campuran A.odorata dan S. mahogani 3:7,
mortalitas larva pada 24 JSP secara umum masih rendah. Mortalitas tertinggi
hanya sekitar 44% pada konsentrasi 1%. Pada konsentrasi kurang dari 0,4% di
akhir pengamatan kematian larva mencapai kurang dari 50% saja (Gambar 6a).
Pada perbandingan 1:1, mortalitas tertingi pada konsentrasi 0,8% yaitu mencapai
50%. Pada pengamatan terakhir tingkat kematian larva mencapai 94% - 100%
mulai konsentrasi dari 0,4%, sedangkan pada konsentrasi lainnya menunjukkan
lebih rendah (Gambar 6b). Pada perbandingan 7:3 mortalitas larva pada 24 JSP
secara umum masih rendah, kecuali konsentrasi 0,8% dan 1%. Di akhir
pengamatan tingkat kematian larva secara umum cukup tinggi yaitu mulai
konsentrasi 0,2% menyebabkan kematian larva antara 94% - 100%. sedangkan
untuk konsentrasi 0,05% dan 0,1% hanya mencapai kematian larva 36% dan 42%.
(Gambar 6c).
Pada ekstrak campuran A.odorata dan S. mahogani dari ketiga
perbandingan, perbandingan 7:3 menunjukkan kematian larva yang paling baik
dibandingkan perband ingan lainnya. Ekstrak campuran yang memiliki A. odorata
lebih banyak mengakibatkan kematian yang lebih tinggi terhadap larva C.
pavonana.
100
100 b
a 80
80

Mortalitas (%)
Mortalitas (%)
60
60
40
40
20
20
0
0
24 48 72
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP) Jam setelah perlakuan (JSP)

cc
100

80 kontrol
Mortalitas (%)

0.05
60 0.1
0.2
0.4
40
0.8
1
20

0
24 48 72
Jam Setelah Perlakuan (JSP)

Gambar 6 Perkembangan mortalitas C. pavonana yang diperlakukan campuran


ekstrak A. odorata dan S. mahogani (OM) 3:7 (a), 1:1 (b), 7:3 (c)
Pembahasan Umum

Beberapa campuran ekstrak tanaman yang diuji mampu menyebabkan


kematian larva C. pavonana secara efektif. Larva yang diberi perlakuan campuran
ekstrak menunjukkan gejala keracunan yang seragam. Tubuh larva mengerut dan
berwarna cokelat kehitaman.
Uji ekstrak tunggal masing- masing ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat
mempengaruhi aktivitas serangga C. pavonana. Ekstrak ranting A. odorata dapat
mematikan larva C. pavonana instar II hingga 98,7% ( Prijono et al. 2001). S.
mahogani juga dapat menghambat aktivitas dan mengakibatkan kematian pada
serangga C. pavonana. Sedangkan P. retrofractum diketahui menunjukkan
aktivitas yang tinggi terhadap larva P. xylostella (Dadang & Ohsawa 2000).
Mortalitas larva pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan secara umum
masih rendah, walaupun beberapa diantaranya telah menunjukkan kematian larva
cukup tinggi (RS 3:7, 1:1, 7:3, OS 3:7, 1:1). Umumnya pada 24 jam pertama larva
tidak begitu banyak makan. Dalam kaitannya dengan aktivitas makan, serangga
dapat mengenali senyawa-senyawa asing dalam makanannya walaupun dalam
konsentrasi rendah dan akan merespon atas kehadiran senyawa tersebut dalam
makanannya (Bell et al. 1990 dalam Dadang & Ohsawa 2000). Senyawa-senyawa
yang telah dikenal baik oleh serangga akan dijadikan tanda bahwa tanaman
tersebut adalah inang mereka dan kebanyakan senyawa-senyawa yang telah
dikenal dijadikan sebagai senyawa penarik (atraktan). Sebaliknya kehadiran
senyawa-senyawa yang belum dikenal (foreign compounds) dapat mengakibatkan
penolakan pada serangga.
Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa daun brokoli yang diberi
perlakuan ekstrak campuran lebih tinggi mengakibatkan kematian pada serangga
uji dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan. Hal ini disebabkan oleh
adanya senyawa-senyawa aktif yang terkandung pada ekstrak tersebut (Dadang
1999).
Hasil pengujian dengan beberapa ekstrak campuran pada tujuh taraf
konsentrasi menunjukkan bahwa tingkat mortalitas larva C. pavonana terpaut
konsentrasi (mortalitas meningkat pada konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi).
Ekstrak yang tidak aktif pada konsentrasi rendah mungkin disebabkan karena
senyawa yang terkandung di dalamnya kurang aktif atau senyawa tersebut
sebenarnya cukup aktif tetapi kandungannya rendah (Prijono 1999). Tetapi
beberapa ekstrak seperti ekstrak campuran OR 7:3; OS 1:1; OS 7:3; OM 1:1; OM
7:3 pada konsentrasi rendah mengakibatkan kematian larva yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan yang konsentrasi lebih tinggi , walaupun secara statistik
tidak berbeda nyata.
Campuran ekstrak yang memiliki potensi tinggi terhadap mortalitas larva
C. pavonana adalah MS 3:7 0,05%; OS 3:7 0,05%; OS 1:1 0,05%; RS 3:7 0,05%;
RS 1:1 0,05% dan RS 7:3 0,05%. Mortalitas yang disebabkan oleh masing- masing
campuran setelah 48 jam perlakuan berkisa antara 94%-100%. Pada pengamatan
terakhir yaitu 72 jam setelah perlakuan ekstrak campuran mengakibatkan
kematian hingga 100%. Dari enam campuran ekstrak di atas, setiap campuran
terdapat ekstrak A. squamosa. Selain mengakibatkan kematian pada serangga, A.
squamosa juga aktif dalam penghambatan atau penolakan makan dan penghambat
pertumbuhan dan perkembangan serangga.
Beberapa bahan aktif yang terkandung di dalam ekstrak tanaman ini telah
berhasil diisolasi. Dadang dan Ohsawa (2000) telah berhasi mengisolasi senyawa
triterpenoid dari ekstrak biji S. mahogani yang dapat menghambat aktivitas makan
larva P. xylostella secara total pada konsentrasi 0,2%. Senyawa aktif squamosin
dan asimisin telah diisolasi dari biji A. glabra. A. squamosa dan A. glabra
(Annonaceae) pada konsentrasi 0,4% dan 2% mengakibatkan penghambatan
makan yang tinggi pada C. pavonana (Herawati 1998). Kemudian dari ranting A.
odorata telah berhasil diisolasi senyawa aktifnya yaitu enam turunan rekoglamida
dan dapat menghambat proses makan serangga (Nugroho 1999). Menurut
Sudarmo (2001), perlakuan ekstrak pada konsentrasi 0,25% dan rekoglamida A.
odorata pada konsentrasi 80 ppm terhadap larva C. pavonana mengakibatkan
mortalitas 90% dan lebih dari 60% pada 2 hari setelah perlakuan. Piperaceae
adalah famili lainnya yang menunjukkan aktivitas mematikan pada serangga.
Menurut Dadang (1999) ekstrak piper bantamense, P. betle, P. longum dan P.
retrofractum menunjukkan aktivitas mematikan pada C. chinenchis, kemudian P.
betle dan P. nigrum mengakibatkan kematian pada N. virescens. Ekstrak P. betle
dan P. retrofractum juga diketahui menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap P.
xylostella.
Uji mortalitas dengan campuran ekstrak tanaman menghasilkan salah satu
potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut dari tanaman-tanaman ini. Dari
penelitian ini menghasilkan suatu campuran ekstrak yang memiliki aktivitas tinggi
yaitu campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa, dimana pada
konsentrasi terendah dapat mengakibatkan kematian hingga 100%. Efek knock
down yang cepat sering ditunjukkan oleh ekstrak-ekstrak Piperaceae yang
menunjukkan sifat insektisida.
Pencampuran beberapa insektisida botani juga dapat mengefisienkan
sediaan bahan tanaman. Tetapi sebelum diaplikasikan perlu dilihat sifat
campurannya karena dapat menimbulkan efek antagonisme. Aplikasi insektisida
botani dalam bentuk campuran dapat menekan perkembangan resistensi hama
terhadap insektisida karena mengandung beberapa bahan aktif yang diaplikasikan
sekaligus. Hal ini akan mengurangi kemampuan serangga untuk membentuk
sistem pertahanan secara bersamaan (Prijono 1999).
KESIMPULAN

Campuran ekstrak yang memiliki potensi tinggi yaitu S. mahogani dan A.


squamosa (MS) 3:7, A. odorata dan A. squamosa (OS) 3:7 dan 1:1 serta P.
retrofractum dan A. squamosa (RS) 3:7, 1:1, dan 7:3. Mortalitas yang disebabkan
oleh masing- masing campuran setelah 48 JSP berkisar antara 94%-100% pada
konsentrasi 0,05%. A. squamosa merupakan ekstrak tumbuhan yang memberikan
efektifitas cukup baik jika dicampurkan dengan ekstrak lain.

SARAN

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai fitotoksisitas terhadap


tumbuhan serta dampak terhadap organisme bukan sasaran.
DAFTAR PUSTAKA

Dadang. 1998. Prospek dan tantangan pengembangan insektisida botanis di


Indonesia. Proceedings of Scientific Writing Contest III; Hiroshima, 5-6
Sep 1998. hlm 11-21

Dadang. 1999. Sumber Insektisida Botani. Dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono
D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan
Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bo gor: Pusat Kajian
Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. Hlm 9-20.

Dadang. 2000. The development of botanical inscticides as alternative insect pest


control agents in Indonesia. Presented on first workshop, Review of
Existing Agriculture Technologies and Prospects for Development of New
Bio-Agent (Bio-Pesticide) and Farming System. Tokyo, 20-28 Jan 2000.

Dadang, Ohsawa K. 2000. Penghambatan aktivitas makan Plutella xylostella (L.)


(Lepidoptera: Yponomeutidae) yang diperlakukan ekstrak biji Swietenia
mahogani JACQ. (Meliaceae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan
12(1): 27-32.

Dono D, Prijono D, Manuwoto S, Buchori D. 1998. Pengaruh ekstrak biji Aglaia


harmsiana Pekins terhadap interaksi antara larva Crocidolomia pavonana
Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) dan parasitoidnya Eriborus
argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae). Bul HPT 10:
38-46.

Herawati T. 1998. Pengaruh ekstrak sepuluh jenis tanaman terhadap aktivitas


makan, mortalitas dan perkembangan Crocidolomia pavonana Zeller
(Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Institut Pertania n Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid ke-2. Badan Litbang


Kehutanan Jakarta, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Wahana Jaya.
Terjemahan dari: De Nuttige Planten Van Idonesia.

Irmayetri. 2000. Aktivitas residu ekstrak ranting Dysoxylum acutangulum MIQ.


(Meliaceae) terhadap larva Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:
Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Institut Pertanian Bogor.
Islamiah MM. 2003. Populasi parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron)
(Hymenoptera: Ichneumonidae) pada larva Crocidolomia binotalis
(Fabricius) (Lepidoptera: Pyralidae) di pertanaman kubis-kubisan daerah
Cibodas dan Cisarua Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA,
penerjemah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Translation of : De
Plagen Van de Cultuurgewassen in Indonesia.

Kardinan A. 2001. Pestisida nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: PT Penebar


Swadaya.

Komisi Pestisida. 1999. Syarat peredaran dan perdagangan pestisida nabati.


Soetopo et al. penyunting. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah
Pemanfaatan Pestisida Nabati; Bogor, 9-10 Nop 1999. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Hlm 20-32.

Nugroho BW. 1999. Ulasan singkat: Isolasi senyawa insektisida botani dari
tanaman Aglaia odorata (Meliaceae). Dalam : Nugroho BW, Dadang,
Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan
Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian
Pengendalian Hama Terpadu, Institut Pertanian Bogor. Hlm 88-91

Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:


Pyralidae) and its parasit from Cipanas area (West Java). [Research
report]. Bogor: SEAMEO BIOTROP.

Permadi AH, Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Edisi pertama. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura. Le mbang

Pracaya. 1990. Kol alias Kubis. Jakarta: Penebar Swadaya

Prijono D, Hasan E. 1992. Life cycle and demography of Crocidolomia binotalis


Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) on brocolli in laboratory. Indonesia J Trop
Agric 4: 18:24

Prijono D. 1998. Insecticidal activity of Meliaceous seed extracts againts


Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Bul HPT 10: 1-7
Prijono D. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT.
Dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan
Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus
1999. Bogor : Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian
Bogor. hal 1-7

Prijono D. 2001. Insecticidal activity of extracts of Aglaia spp. (Meliaceae)


against the cabbage cluster caterpillar Crocidolomia binotalis
(Lepidoptera: pyralidae). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 7(2):
70-78

Ria ER. 1995. Analisis perbandingan penerapan pengendalian hama kubis dengan
dan tanpa penggunaan ambang kendali [tesis]. Program pascasarjana. IPB.

Ruranto H. 2003. Pengujian lapang ekstrak biji Swietenia mahogani Jacq.


(Meliaceae) terhadap larva Plutella xylostella Linn. (Lepidoptera:
Pyralidae) serta pengaruhnya terhadap parasitoid larva di pertanaman
kubis [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sastropradja S, Bimantoro R. 1983. Tanaman Pagar. Bogor: Lembang Biologi


Nasional- LIPI.

Sastrosiswojo S. 1984. Status pengendalian hayati hama Pluttella xylostella


(Lepidoptera: Yponomeutidae) oleh parasitoid Diadegma eucerophaga di
Jawa Barat. Dalam: Risalah seminar Hama dan Penyakit Sayuran;
Cipanas, 29-30 Mei 1974. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Hlm 11-19

Sastrosiswojo B, Setiawati W. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara


pengendaliannya. Dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, penyunting.
Kubis. Lembang: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan
Balai Penelitian Hortikultura. Hlm 39-50.

Schumutterer H, (Ed.). 1995. The neem tree Azadirachta indica A. juss and other
Meliaceous plants: sources of unique natural products for integrated pest
management, medicine, industry and other purposes. Weinheim, Germany.
VCH publishers inc.

Setiawati W, Sastrosiswojo S. 1995. Penerapan komponen tekno logi PHT pada


tanaman kubis di dataran tinggi dan dataran medium. Prosiding Seminar
Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran, Lembang. 24 Oktober 1995 Balitsa
(Bandung): Balitsa. Hal 347-354.

Sudarmo. 2001. Pengaruh ekstrak Aglaia odorata Lour (Meliaceae) dan senyawa
aktifnya terhadap Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae)
dan parasitoidnya Eriborus argenteopilosus (CAMERON), (Hymenoptera:
Ichneumotidae) [Tesis]. Bogor: Program pascasarjana IPB.
Suhaendah E. 2001. Pengaruh ekstrak empat jenis tanaman terhadap mortalitas
dan peletakan telur Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae)
[skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Suharto. 2000. Efek insektisidal ekstrak daun pacar cina (Aglaia odorata Lour. )
terhadap larva Spodoptera litura F. Soetopo et al. [penyunting] Prosiding
Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Insektisida Nabati; Bogor, 9-10
Nop 1999. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan
Perkebunan. Hlm 89-95.

Tjitrosoepomo G. 1998. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Wijayakesuma H, Dalimartha S, Wirian AS, Yaputra T, Wibowo B. 1993.


Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid ke-2. Jakarta: Pustaka
Kartini.

Wijayakesuma H, Dalimartha S, Wirian AS. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat di


Indonesia. Jilid ke-4. Jakarta: Pustaka Kartini.
LAMPIRAN
LAMPIRAN

Lampiran 1 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa
(MS) 3:7

Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakua n)


Konsentrasi (%)
24 48 72b

0,05 66,00 33,62a 100,00 0,00a 100,00 0,00a


0,10 70,00 18,71a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,20 70,00 14,14a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 68,00 29,50a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 68,00 21,68a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 82,00 10,96a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 2 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa
(MS) 1:1

Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)

Konsentrasi (%) 24 48 72b

0,05 34,00 23,02a 82,00 29,50a 96,00 5,48a


0,10 38,00 23,87a 96,00 8,94a 100,00 0,00a
0,20 58,00 19,24a 98,00 4,47a 100,00 0,00a
0,40 40,00 12,25a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 58,00 16,43a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 62,00 17,89a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 3 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak S. mahogani dan A. squamosa
(MS) 7:3

Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


Konsentrasi (%) 24 48 72 b

0,05 66,00 16,73a 94,00 8,94a 94,00 8,94a


0,10 66,00 20,74a 94,00 8,94a 94,00 8,94a
0,20 66,00 20,74a 96,00 8,94a 96,00 8,94a
0,40 74,00 18,17a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 88,00 10,95a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 90,00 14,14a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 4 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan P. retrofractum
(OR) 3:7

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 6,00 5,48c 14,00 5,48c 20,00 12,25c


0,10 10,00 7,07c 24,00 11,40c 28,00 13,04c
0,20 14,00 8,94bc 24,00 11,40c 40,00 35,36bc
0,40 30,00 18,71b 58,00 21,68b 60,00 22,36b
0,80 80,00 18,71a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 94,00 8,94a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 5 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan P. retrofractum
(OR) 1:1

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 4,00 5,48d 12,00 13,04c 22,00 20,49b


0,10 16,00 11,40d 44,00 25,10c 56,00 25,10b
0,20 30,00 17,32c 84,00 20,74b 96,00 8,94a
0,40 64,00 8,94b 98,00 4,47a 100,00 0,00a
0,80 88,00 10,95a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 88,00 13,04a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 6 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan P. retrofractum
(OR) 7:3

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 12,00 4,47d 26,00 11,40d 38,00 20,49c


0,10 12,00 16,43cd 30,00 15,81c 30,00 15,81c
0,20 18,00 13,04c 46,00 16,73b 56,00 25,10b
0,40 34,00 5,48b 86,00 16,73a 100,00 0,00a
0,80 82,00 13,04a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 88,00 21,68a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 7 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan A. Squamosa
(OS) 3:7

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 76,00 23,02b 100,00 0,00a 100,00 0,00a


0,10 88,00 13,04ab 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,20 96,00 5,48a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 98,00 4,47a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 98,00 4,47a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 8 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa
(OS) 1:1

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 74,00 34,35a 94,00 13,42a 94,00 13,42a


0,10 70,00 44,72a 86,00 31,30a 100,00 0,00a
0,20 86,00 19,49a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 98,00 4,47a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 98,00 4,47a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 9 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa
(OS) 7:3

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 12,00 13,04b 60,00 12,25a 82,00 13,04a


0,10 18,00 13,04b 66,00 21,91a 90,00 17,32a
0,20 28,00 16,43b 92,00 13,04a 98,00 4,47a
0,40 82,00 23,87a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 92,00 10,95a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 10 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani
(RM) 3:7

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 32,00 35,64b 50,00 46,37c 50,00 46,37c


0,10 38,00 21,68b 62,00 38,99b 62,00 38,99bc
0,20 84,00 26,08a 92,00 17,89ab 92,00 17,89ab
0,40 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 11 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani
(RM) 1:1

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 40,00 14,14a 92,00 10,95a 100,00 0,00a


0,10 40,00 17,32a 92,00 13,04a 100,00 0,00a
0,20 40,00 33,17a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 46,00 5,48a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 56,00 15,17a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 58,00 20,49a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 12 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak P. retrofractum dan S. mahogani
(RM) 7:3

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72

0,05 20,00 12,25c 42,00 36,33b 42,00 36,33c


0,10 46,00 32,09b 58,00 30,33b 72,00 23,87b
0,20 72,00 26,83a 94,00 5,48a 94,00 5,48ab
0,40 78,00 13,04a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 82,00 10,95a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 86,00 8,94a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 13 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa
(RS) 3:7

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 90,00 10,00b 100,00 0,00a 100,00 0,00a


0,10 90,00 7,07b 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,20 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 100,00 0,00a 100,00 0,0a 100,00 0,00a
0,80 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 14 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa
(RS) 1: 1

Konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 88,00 13,04b 100,00 0,00a 100,00 0,00a


0,10 94,00 5,48ab 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,20 98,00 4,48a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 00,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 100,00 0,00a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 15 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa
(RS) 7:3

konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72

0,05 50,00 32,40b 98,00 4,47a 100,00 0,00a


0,10 78,00 4,47a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,20 92,00 10,95a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,40 96,00 8,94a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
0,80 96,00 8,94a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 96,00 8,94a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 16 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan S. mahogani
(OM) 3:7

konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 0,00 0,00c 12,00 8,37b 22,00 8,37c


0,10 2,00 4,47c 22,00 20,49b 26,00 16,73b
0,20 4,00 5,48c 28,00 17,89b 44,00 33,62b
0,40 24,00 19,49b 96,00 8,94a 98,00 4,47a
0,80 42,00 16,43a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 44,00 16,73a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%
Lampiran 17 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi
perlakuan campuran ekstrak S A. odorata dan S. mahogani
(OM) 1:1

konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 18,00 10,95bc 40,00 18,71b 48,00 20,49b


0,10 8,00 13,04c 36,00 27,02b 44,00 32,09b
0,20 28,00 24,90ab 52,00 26,83b 58,00 25,88b
0,40 28,00 8,37ab 84,00 18,17a 94,00 8,94a
0,80 50,00 27,39a 92,00 17,89a 98,00 4,47a
1,00 42,00 10,95a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Lampiran 18 Persentase rata-rata kematian larva C. pavonana yang diberi


perlakuan campuran ekstrak A. odorata dan S. mahogani (OM) 7:3

konsentrasi Mortalitas larva (%) SDa (Jam Setelah Perlakuan)


(%) 24 48 72 b

0,05 16,00 13,42b 30,00 21,21c 36,00 20,74b


0,10 10,00 10,00b 24,00 8,94c 42,00 20,49b
0,20 30,00 41,23b 66,00 24,08b 94,00 5,48a
0,40 28,00 21,68b 84,00 15,17ab 92,00 8,37a
0,80 88,00 13,07a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
1,00 s96,00 8,94a 100,00 0,00a 100,00 0,00a
a
Standar deviasi
b
Rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf nyata 0,05%

Das könnte Ihnen auch gefallen