Sie sind auf Seite 1von 4

OBAT ANTIEPILEPSI

Epilepsi merupakan penyakit kronis dimana terjadi bangkitan akibat lepasnya muatan
abnormal dari neuron otak. Bangkitan di klasifikasikan secara empiris.

Bangkitan persial (fokal) mulai dari lokus spesifik pada otak dan terbatas pada sentakan
klonik ekstremitas. Akan tetapi, muatan listrik bisa menyebar dan menjadi menyeluruh
(bangkitan umum sekunder). Bangkitan umum primer adalah bangkitan yang tidak
terbukti memniliki awitan lokal dan kedua hemisfer otak terlibat mulai dari awuitan.
Gejalanya termasuk serangan tonik klonik (gerand mal-rigiditas tonik yang selanjutnya di
ikuti oleh sentakan tubuh masif) dan absans/lena (petit mal-perubahan kesadaran yang
biasanya berlangsung kurang dari 10 detik).

Bangkitan tonik-klonik yang persial terutama diterapi dengan karbamazepin (tengah atas),
valproat, lamotrigin, atau fenitoin oral. Obat-obat ini mempunyai evektifitas yang sama.
Obat tunggal akan mengendalikan serangan pada 70-80% pasien dengan bangkitan tonik-
klonik, tetapi hanya 30-40% pasien dengan bangkitan persial. Pada pasien yang tidak
terkontrol dengan baik, penambahan topiramat, vigabatrin, atau gabapetin bisa
menurunkan insidensi serangan, tetapi hanya sekitar 7% dari pasien yang refrakter ini
menhjadi bebas bangkitan total. Fenobarbital, primidon, dan klonazepam merupakan obat
alternatif, tetapi lebih bersifat sedatif.

Bangkitan lena diterapi dengan etosuksimid (kanan bawah) atau valproat. Epilepsi absans
hanya sedikit yang berlanjut sampai dewasa, tetapi paling tidak 10% daei anak-anak yang
mendeita epilepsi absans selanjutnya akan berkembang menjadi serangan tonik-klonik.

Status epileptikus didefinisikan sebagai bangkitan kontinu yang berlangsung minimal 30


menit atau suatu keadaan dimana bangkitan terjadi berulang-ulang tanpa kembalinya
kesadaran penuh. Terapi segera dengan obat intravena (kiri bawah) penting untuk
menghentikan serangan, yang bila tidak diperiksa menyebabkan kelelahan dan kerusakan
otak. Awalnya digunakan lorazepan atau diazepan, bila perlu ditambahkan fenitoin. Bila
serangan tidak dapat dikendaliakan, pasien dianestesi dengan propofol atau tiopental.

Obat antiepilepsi mengendalikan bangkitan dengan mekanisme yang sering kali tidak jelas,
tetapi biasanya melibatkan penguatan inhibisi yang diperantarai asam y-aminobutirat
(GABA) (benzodiazepin, vigabatrin, fenobarbital, valproat, kiri gambar) maupun penurunan
fulks Na+ (fenitoin, karbamazepin, valproat, lamotrigin, kanan gambar). Etosuksimid dan
valproat bisa menghambat aliran Ca2+ yang mengakibatkan spike pada neuron talamik (kanan
bawah).

Penyebab Epilepsi

Etiloginya tidak diketahui pada 60-70% kasus, tetapi keturunan merupakan faktor yang
penting. Kerusakan pada otak (misalnya tumor, asfiksia, infeksi atau trauma otak) selanjutnya
bisa mengakibatkan epilepsi. Konvulsi bisa dicetuskan pada penderita epilepsi oleh beberapa
kelompok obat termasuk fenotiazin, antidepresan trisiklik, dan banyak antihistamin.

Mekanismee Kerja Antikonvulsan

Obat yang paling banyak diteliti adalah fenitoin, yang pada konsentrasi terapeutik tidak
mempunyai pengaruh pada pelepasan transmitor atau pada respons neuron terhadap glutamat
atau GABA. Kerja antikonvulsannya kemungkinan diakibatkan oleh kemampuannya untuk
mencegah aktivitas repiptitif frekuensi tinggi, namun bagaimana fenitoin melakukan kerja ini
tidak jelas. Percobaan klem tehgangan menunjukan bahwa fenitoin meningkatkan proporsi
kanal Na+ inaktif untuk semua potensial membran yang diberikan. Fenitoin cenderung terikat
pada kanal Na+ yang inaktif (tertutup) menstabilkan kanal dalam keadaan inaktif, dan
mencegahnya kembali ke keadaan istrahat (tertutup) yang harus dilalui sebelum kanal dapat
membuka kembali. Depolarisasi repititif berfrekuensi tinggi meningkatkan proporsi kanal
Na+ inaktif dan, karena kanal Na+ rentan terhadap blokade oleh fenitoin, aliran Na+ berkurang
secara progresif sampai akhirnya tidak cukup untuk membangkitkan potensial aksi. Transmisi
neuronal pada frekuensi normal relatif tidak dipengaruhi oleh fenitoin karena proporsi Na+
yang jauh lebih kecil berada dalam keadaan inaktif. Karbamazepin, lamotrigin, valproat, dan
kemungkinan topiramat mempunyai aksi yang serupa pada kanal Na + neuron. Valproat
melibatkan stimulasi aktivitas dekarboksilase asam glutamat dan inhibisi aktivitas GABA-T.
Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA-T yang meningkatkan kadar GABA otak
dan pelepasan GABA sentral. Benzodiazepin (misalnya klonnazepan) dan fenobarbital juga
meningkatkan inhibisi sentral, tetapi dengan cara memperkuat kerja dari GABA yang
dilepaskan pada sinaps, dikompleks reseptor GABAA-kanal C1-. Fenobarbital juga bisa
mengurangi efek glutamat pada sinaps eksitasi.

Bangkitan lena melibatkan aktivitas neuron osilasi antara talapmus dan korteks serebri.
Osilasi melibatkan kanal Ca2+ (tipeT) pada neuron talamus yang menghasilkan spike dengan
ambang batas rendah dan memungkinakan sel untuk terbakar dalam ledakan. Bukti-bukti
terakhir menunjukan bahwa obat yang mengendalikan absans (etosuksimid dan volproat)
menurunkan aliran Ca2+ ini dan telah mengacaukan osilasi talamokortikal yang penting dalam
terjadinya bangkitan lena.

Obat Yang Digunakan Pada Bangkitan Persial Dan Tonik_-Klonik Umum (Grand Mal)

Terapi dengan obat tunggal cenderung dipilih karena mengurangi efek samping dan interaksi
obat. Selain itu sebagian besar pasien tidak mendapatkan tambahan dari regimen obat
multipel. Karbamazepin dan valproat merupakan obat lini pertama pada epilepsi karena
menimbulkan efek samping yang relatif sedikit dan tampaknya mempunyai efek merugikan
pada fungsi koginitif dan perilaku yang paling sedikit. Beberapa antikonvulsan, khususnyas
fenitoin, fenobarbital, dan karbamazepin, merupakan penginduksi enzim hati yang poten dan
menstimulasi metabolisme beberapa obat, misalnya kontrasepsi oral, warfarin, teofilin.

Karbamazepin dimetabiolisme dalam hati menjadi karbamazepin-10,11-epoksid, suatu


metabolit aktif yang sebagian berperan pada efek antikonvulsan dan neurotoksisitas
karbamezapin. Tidak seperti fenitoin, terdapat peningkatan linier konsentrasi serum seriring
dengan dosis. Efek neurotoksin ringan (mual, pusing, rasa kantuk, pandangan kabur, dan
ataksia) biasa terjadi dan sering menentukan batas dosis. Agranulositosis merupakan reaksi
idiosinkrasi terhadap karbamazepin yang lebih jarang terjadi.

Fenitoin mengalami hidroksilasi dalam hati oleh sistem enzim yang mudah tersaturasi.
Kecepatan metabolisme sangat bervariasi pada setiap pasien, mungkin dibutuhkan sampai
dengan 20 hari agar kadar serum stabil setelah mengubah dosis. Oleh sebab itu, dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap sampai serangan dapat dicegah atau sampai tanda-tanda
gangguan sebelum terjadi (nistagmus, ataksia, gerakan involunter). Prengukuran kadar obat
dalam serum sangat berguna karena, saat enzim yang memetabolisme mengalami saturasi,
peningkatan dosis yang sedikit bisa menyebabkan kadar obat yang toksis dalam darah. Efek
samping lain termasuk hipertrofi gusi, jerawat, kulit berminyak, gambaran wajah yang
menjadi kasar, dan hirsutisme.

Lamotrigin yang dapat digunakan sebagai obat tunggal tampaknya serupa dengan henitoin,
namun dengan efek samping yang lebih sedikit. Efek samping meliputi pengelihatan kabur,
pusing, dan rasa kantuk. Bisa terjadi reaksi kulit yang serius terutama pada anak-anak.

Topiramat memblok kanan natrium pada neuron yang dikultur. Topiramat juga
meningkatkan efek GABA dan memblok reseptor asam a-amino-3-hidroksi-5-metil-4-
isoxazolpropionat (AMPA). Efek samping meliputi mual, nyeri perut, dan anoreksia.
Topiramat berkaitan dengan miopia akut dan glaukoma sudut tertutup sekunder.

Fenobarbital kemungkinan mempunyai efektifitas yang sama dengan karbamazepin dan


fenitoin dalam terapi bangkitan tonik-klonik dan pasrsial, namun lebih bersifat sedatif.
Toleransi terjadi dengan penggunaan jangka panjang dan penghentian obat yang tiba-tiba bisa
mencetuskan status epileptikus. Efek samping mencakup gejala sebelum (misalnya sedasi,
ataksia, nistagmus) rasa kantuk pada orang dewasa, dan hiperkineksia pada anak-anak.
Primidon mengalami metabolisme menjadi metabolit antikonvulsan aktif yang salah satunya
adalah fenobarbital.

Vigabatrin, gabapentin, dan tiagabin digunakan sebagai obat tanmbahan pada pasien
epilepsi yang tidak terkontrol baik dengan obat antiepilepsi yang lain. Vigabatrin lebih jarang
digunakan karena mengurangi lapang pandang pada sampai sepertiga pasien. Gabapentin
(dan karbamazepin) jarang digunakan untuk meredakan nyeri neurpatik seperti ditembak dan
ditusuk-tusuk yang memberikan respons buruk terhadap analgesik konvensional.
Bgabapentin merupakan analog GABA, namun tidak bekerja sebagai reseptor GABA.
Mekanisme kerjanya mungkin dengan menghambat ambilan GABA.

Obat Yang Digunakan Untuk Terapi Bangkitan Lena (Petit Mal)

Etosuksimid hanya efektif sebagai terapi bangkitan lena dan mioklonik (gerakan menyentak
yang singkat tanpa hilangnya kesadaran). Obat ini banyak digunakan sebagai obat anti-
bangkitan lena karena efek sampingnya yang relatif ringan (misalnya mual, muntah) dan
tidak mempunyai hepatotoksisitas idiosinkratik seperti yang dimiliki valproat, satu-satunya
obat alternatif selain etosuksimid.

Obat Yang Efektif Pada Bangkitan Tonik-Klonik (Grand Mal) Dan Bangkitan Lena
(Petit Mal)

Valproat. Kelebihan valproat adalah efek sedatifnya yang relatif kecil, spektrum aktivitasnya
yang lebar, dan sebagian besar efek samping yang sifatnya ringan (muntah, peningkatan berat
badan, kecenderungan pendarahan, dan kerontokan rambut sementara) kekurangan utamanya
adalah bahwa respons idiosinkrasi yang kadang-kadang terjadi menyebabkan toksisitas
hepatik yang berat atau fatal.

Benzodiazepin. Klonazepam merupakan antikonvulsan poten yang efektif pada bangkitan


lena, tonik-klonik, dan mioklonik. Klonazepam bersifat sangat sedatif dan toleransi terjadi
dengan pemberian oral jangka panjang.

Penghentian Obat

Penghentian obat antiepilepsi secara mendadak dapat menyebabkan bangkitan rebound,


terutama dengan benzodidzepin dan barbiturat. Namun penghentian obat-obat tersebut pada
pasien nonepilepsi tidak menyebabkan bangkitan. Sulit untuk menentukan kapan obat
antiepilepsi dihentikan, namun bila pasien bebas bangkitan selama 3-4 tahun, maka
penghentian obat secara bertahap dapat dilakukan.

Das könnte Ihnen auch gefallen